Anda di halaman 1dari 23

SEDIAAN

PaRENTERAL
VOLUME KECIL ( SVP)
Oleh kelompok V B-4 18 :
Nur Azizah (1351810259)
Dwi Susanti (1351810260)
Endah W (1351810269)
Nur Zamaniyah (1351810272)
Khusnul Chotimah (1351810274)
Diah Firliyanti (1351810275)

Akademi Farmasi Surabaya


2018/2019
DEFINISI SVP

 Menurut USP, larutan parenteral volume kecil (SVP)


adalah injeksi yang menurut label pada kemasan,
bervolume 100 ml atau kurang (Ita R Nurtika, 2019)
 Termasuk kedalam kategori SVP adalah kemasan injeksi
dalam ampul, vial, alat suntik, cartridges, botol, atau
kemasan lain dengan kapasitas volume 100 ml atau
kurang (dhadang, 2013)
 Sediaan ophtalmik yang dikemas dengan pengemas
plastic mudah ditekan termasuk kategori SVP, jika
ukuran kemasan 100 ml atau kurang (dhadang, 2013)

2
 SVP meliputi semua tipe produk parenteral, untuk
aplikasi topikal oftalmik, atau injeksi menurut berbagai
rute:
 Rute primer: i.m., i.v., s.c.
 Rute skunder: hiperdermoklisis, intraperitonial,
intraarterial, intraartikular, intrakardiak,
intrasisternal, intradermal, intralesional,
intraokular, intrapleural, intratekal, intrauterin,
intraventricular
 Formulasi sediaan SVP relatif sederhana: berbahan
aktif, eksipien yang digunakan untuk berbagai tujuan,
sistem pelarut (lebih disukai air), kemasan, dan penutup
kemasan yang sesuai. Atau diformulasikan dalam bentuk
emulsi steril

3
KEUNTUNGAN

1. Respons fisiologis segera


2. Untuk obat yang tidak efektif jika diberikan
secara oral karena obat mudah rusak akibat
sekresi lambung.
3. Pengobatan pada pasien yang tidak sadar
4. Bila diinginkan efek lokal
5. Koreksi gangguan kesetimbangan cairan &
elektrolit (dengan diinfus)

4
KERUGIAN

1. Pemberian obat harus dilakukan o/ personel terlatih


(dokter) tidak o/ pasien.
2. Pemberian obat perlu waktu lebih lama dr bentuk
sediaan lain.
3. Pemberian obat perlu teknik aseptis.
4. Menimbulkan rasa nyeri pada lokasi penyuntikkan
5. Sukar menghilangkan efek fisiologis jika obat
sudah berada dalam sirkulasi sistemik.
6. Harga lebih mahal

5
KARAKTERISTIK DASAR SVP
 Sterilitas
 Bebas partikel partikulat
 Stabilitas fisika dan kimia
 Isotonisitas
 Injeksi tidak harus isotonis, S.c dan I.M kadang hipertonis
untuk memfasilitasi absorbsi
 Untuk sediaan parenteral subkutan, intradermal,
intramuskular harus dibuat seisotonis mungkin,
sedangkan larutan hipotonis tidak boleh dipakai.
 Intra spinal : harus isotonis karena sirkulasi cairan
serebrospinal lambat

6
PENGGUNAAN UTAMA SVP
1. injeksi terapeutik
 Yang termasuk dalam injeksi terapeutik adalah injeksi
antiinfeksi, steroid, hormon, vitamin, agen
kardiovaskular, barbiturat, agen CNS, protein, dan
bermacam-macam obat lainnya.
 Injeksi biasanya berupa larutan yang mengandung bahan
aktif dan bahan tambahan.
 Injeksi dapat juga tersedia dalam bentuk cairan pekat
yang harus diencerkan sebelum digunakan (misal KCl
untuk injeksi konsentrat)

7
2. Produk oftalmik
 Produk oftalmik berbentuk obat dalam larutan, suspensi,
gel, atau salep, yang diberikan secara topikal pada
permukaan kornea mata.
 Termasuk produk oftalmik adalah larutan pencuci dalam
ukuran SVP.
 Sediaan oftalmik harus steril. Sediaan larutan dan suspensi
oftalmik dikemas dalam kemasan polietilen berbobot jenis
rendah yang mudah dipencet untuk memudahkan
penggunaan.
 Salep mata harus steril, bebas dari partikel logam, dan
dikemas dalam tube. Sediaan oftalmik yang berdosis
ganda harus ditambahkan pengawet antimikroba.

8
FORMULA SVP

Untuk mendapatkan formula sediaan parenteral yang


baik harus mempunyai data preformulasi yang
meliputi sifat kimia, sifat fisika, dan sifat biologis,
sehingga didapatkan:
1.Pembawa yang tepat, yaitu pembawa larut air,
pembawa yang tak larut air atau pelarut campur
2.Zat penambah yang diperlukan, meliputi zat
antimikroba (pengawet), komplekson, zat
pengisotoni, antioksidan, dapar, dsb
3.Wadah dan jenis wadah yang sesuai

9
PENGARUH RUTE PEMBERIAN

1. Kelarutan obat dan volume injeksi


Obat harus terlarut sempurna, lebih disukai dalam air, dapat
diberikan scr injeksi intra vena.
Rute pemberian obat scr parenteral selain iv memiliki
keterbatasan dalam hal volume injeksi yang dapat diberikan.
Volume pemberian
 Intra vena > 10 ml
 Intra spinal < 10 ml
 Intra muskular < 3 ml
 Sub kutan < 2 ml
 Intradermal < 0,2 ml

10
PENGARUH RUTE PEMBERIAN

2. Pemilihan solven
 I.v dan intra spinal  larutan air
 i.m dan subkutan  larutan dalam minyak, kosolven,
suspensi, emulsi

3. Ph atau osmolaritas
- Larutan suntik harus di formulasi pH dan osmolaritas
yg sama dengan cairan tubuh isohidri dan isotoni).
- Pada umumnya larutan parenteral hipertonis
dikontraindikasikan untuk penyuntikan sub kutan
atau intramuskular

11
PEMILIHAN PEMBAWA
 Umumnya air (Water for Injection)
 Persyaratan pelarut air untuk sediaan injeksi yang tercantum
dalam USP adalah:
1.Harus dibuat baru dan bebas pirogen
2.Jumlah zat padat terlarut total tidak boleh lebih dari 10 ppm
3.pH 5,0 –7,0
4.Tidak boleh mengandung ion-ion klorida, sulfat, kalsium,
amonium, dan CO2
5.Batas logam berat
6.Batas bahan-bahan organik seperti tanin dan lignin
7.Batas jumlah partikel

12
 Dapat ditambahkan kosolven seperti gliserin, etanol,
propilen glikol, PEG
 Surfaktan ditambahkan pada formulasi vitamin, hormon,
sulfonamid  sebagai wetting agent dan surfaktan 
dispersi koloid seperti larutan sejati
 Pelarut minyak : minyak kacang, jagung, zaitun (untuk
i.m)

13
BAHAN TAMBAHAN
1. Buffer
 Untuk menjaga pH stabil dari larutan
 Ideal : 7,4
 pH > 9 menyebabkan nekrosis, < 3 menyebabkan rasa sakit
dan phlebitis
 Rentang yang dapat diterima untuk SVP I.V: 3,0 – 10,5
 Rentang parenteral rute lain adalah 4 – 9
2. Antimikroba
 Harus ditambahkan pada multiple dose
 Sering ditambahkan pada injeksi yang tidak disterilkan
akhir
 5 golongan yang umum digunakan : amonium kuartener,
alkohol, ester, merkuri, dan asam

14
FORMULASI SVP DIBAGI
MENJADI:
1. Suspensi
2. Emulsi
3. Larutan
4. Solid for reconstitution ( padat kering
yang direkonstitusikan dalam pelarut )

15
Suspensi
 Persyaratan yang harus dipenuhi suspensi parenteral : kemurnian,
bahan tambahan yang diijinkan, sifat alir, dan Bebas pirogen
 Contoh sediaan : Ampicillin for injection, betametason acetate,
tetanus toxoid suspension
 Suspending agent yang biasa digunakan : Gelatin, manitol, PVP,
SCMC, Sorbitol
Larutan injeksi termasuk larutan yang dikonstitusi dari zat padat
steril untuk penggunaan parenteral, harus bebas dari partikel yang
dapat diamati pada pemeriksaan visual (Farmakope Ind. Ed. IV, hal
981).
Adapun ukuran partikel yang dikatakan visual adalah lebih dari 50-
150 µm dan sub visual adalah antara 1-50 (1,10,25,50) µm, dan non
visual kurang dari 1 µm (USP 34-NF 29, hal. 844) 16
Emulsi

 Contoh : emulsi w/o ekstrak alergen (s.c), emulsi


o/w sediaan depot sustained release (i.m),
emulsi nutrisi o/w (i.v)
 Merupakan formulasi yang sulit karena diameter
fase dalam harus kurang dari 1 um untuk
mencegah emboli
 Stabilitas juga menjadi fokus utama

17
Larutan (Steril)

Mengandung satu atau lebih bahan tambahan:


1. Adjust tekanan osmotik
2. Bacteriostatic agent
3. Buffer: fosfat, asetat, sitrat
4. Adjust pH: NaOH, HCl
5. Antioksidan: bisulfit, ascobat, sitrat
6. Chelating agent: EDTA

18
Larutan:

Alasan:
 Bentuknya menyenangkan
 Dapat digunakan secara IV, IM dan SC
 Mempunyai kandungan yang seragam sehingga mudah
pembuatan dan penggunaannya

19
Bentuk kering (padatan)

 SVP juga tersedia dalam bentuk serbuk steril, yang


penggunaannya harus direkonstitusi dengan aqua
pro injenctio (USP 34-NF 29)
 Serbuk steril SVP dibuat menurut 2 cara: kering-
beku (freeze-drying) dan pengisian zat padat
(serbuk) pro injectio ke dalam vial/ampul
 Kebanyakan serbuk kering steril SVP dibuat dengan
cara kering-beku, sering dinyatakan sebagai
liofilisasi.
 Untuk obat yang tidak stabil dalam air
 Direkonstitusi dengan pembawa yang sesuai
20
PROBLEMATIK

Menjaga homogenitas campuran serbuk bila


serbuk/ bahan aktif jumlah sedikit dicampur
dengan serbuk jumlah besar.

Pemisahan disebabkan:
 Densitas
 Distribusi ukuran partikel
 Bentuk partikel
 Kohesi
 Muatan, dsb.

21
Daftar pustaka
 Dirjen POM. 1979. Farmakope Indonesia. Jakarta :
Departemen Kesehatan RI.
 Dirjen POM. 1995. Farmakope Indonesia. Jakarta :
Departemen Kesehatan RI.
 https://dhadhang.files.wordpress.com/2013/10/sediaa
n-svp.pdf ( diakses 15/10/19 20:55)
 Priyambodo, B. 2007. Manajemen Farmasi Industri.
Global Pustaka Utama. Yogyakarta.
 Rizkah,Sauda,Suchi, 2015, Makalah Biofarmasi Sediaan
Parenteral, Farmasi Sekolah Tinggi Muhamadiyah
Tangerang.
 Jannah,nur, 2015, Tekhnologi Sediaan Steril, Farmasi
UIN ALAUDIN Makassar.
22
TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai