Anda di halaman 1dari 144

PENDAHULUAN

 Steril : Bebas dari mikroorganisme baik bentuk


vegetatif, non vegetatif (spora), patogen ataupun
non patogen.
 Penandaan obat “steril” artinya bahwa “batch”
darimana cuplikan diambil dan dilakukan
pengujian uji sterilitas (farmakope), hasil uji
sterilitas memenuhi syarat yang sudah ditetapkan
dalam buku resmi.
PENDAHULUAN
 Cuplikan yang diambil dan diuji harus representatif
mewakili batch yang diuji
 Parenteral berasal dari kata yunani para enteron
artinya disamping usus  obat yang tidak diberikan
melalui usus.
PENDAHULUAN
 Mutu setiap sediaan farmasi harus ditangani
secara dini.
- Penggunaan bahan awal yang memenuhi
spesifikasi
- Alat-alat yang digunakan harus memenuhi syarat
dalam mempersiapkan sediaan steril.
- Teknik manufaktur yang dilakukan
- Persyaratan ruangan dan personil yang bekerja
harus memahami dengan baik.
 Sediaan steril yaitu sediaan terapetis yang bebas
mikroroganisme baik vegetatif atau bentuk sporanya
baik patogen atau nonpatogen.
 Yang termasuk dalam sediaan steril : sediaan
parenteral volum besar, sediaan parenteral volum kecil
(injeksi), sediaan mata(tetes/salep mata)
Proses Manufaktur Sediaan Parenteral
 Digolongkan menjadi 2 :
1. Proses sterilisasi akhir
2. Proses secara aseptik
Mengapa sediaan parenteral harus steril?
 Obat secara langsung mengikuti sirkulasi cairan dalam
tubuh.
 Penyuntikan sediaan yang terkontaminasi dengan
mikroorganisme hidup (terutama patogen) akan
menimbulkan banyak masalah dan komplikasi
terutama terhadap pasien yang sedang sakit
Macam-macam sediaan steril (USP)
1. Injeksi/obat suntik (volume kecil) : obat dilarutkan
dalam pembawa yang cocok, dengan atau tanpa zat
tambahan, ditujukan untuk pemberian parenteral. -
-Pemberian injeksi : single dose atau multiple dose.
Macam-macam sediaan steril
2. Infus : sama seperti injeksi, tapi diberikan dalam
volume besar.
Contoh :
- Infus dextrosa : nutrisi dasar
- Infus Ringer (ion natrium, kalium, kalsium) :
untuk mengganti elektrolit yang hilang.
- Kombinasi dextrosa & NaCl : untuk pengganti
cairan tubuh karena dehidrasi
Macam-macam sediaan steril (USP)
3. Radiopharmaceutical
Bahan kimia radioaktif digunakan untuk tes/uji
fungsi dari organ-organ tertentu, bukan
merupakan bagian injeksi, tetapi masuk
golongan radiopharmaceutical, karena obat-
obatan ini merupakan bentuk radioaktif, teknik
preparasi dan penanganan yang diperlukan
berbeda dengan bentuk injeksi.
Macam-macam sediaan steril (USP)
4. Sterile Solids
Karena tidak stabil dalam bentuk injeksi, maka dibuat
dalam bentuk kering dan dilarutkan pada waktu akan
dipakai.
- Jika dry solids tidak mengandung dapar, pengencer
atau zat tambahan lain, maka pada etiket diberi tanda
“Sterile......” co : Sterile Sodium Nafcilin
Macam-macam sediaan steril (USP)
- Jika dry solids terdiri dari dapar, pengencer atau zat
tambahan lain, maka pada etiket diberi tanda “obat
untuk injeksi” (.... for injection) co : “Amfoterisin B for
injection”.
- Perbedaan dalam penandaan diatas untuk
menunjukkan ada/tidak adanya material yang
ditambahkan.
Macam-macam sediaan steril (USP)
5. Suspensi Steril
-Obat-obat disuspensikan dalam pembawa yang cocok dan
diberi etiket : steril ......suspension (obat steril suspensi)
contoh: Sterile Hidrokortison Asetat Suspension.
- Jika obat dalam bentuk kering dan akan disuspensikan
ketika akan digunakan  “sterile .....for suspension” contoh
: Sterile Chloramfenicol for Suspension.
Kedua tipe suspensi diatas tidak diberikan secara intra vena
atau ke dalam ruang spinal.
Macam-macam sediaan steril (USP)
6. Obat tetes mata larutan, suspensi dan salep
- Contoh : Larutan OTM Sulfasetamid Na,
suspensi OTM Hidrokortison Asetat.
- Pada salep mata, zat aktif dan tambahan harus
mempunyai ukuran yang mikronise dan basis
harus non iritan, contoh Salep mata adalah :
hidrokortison asetat dan gentamisin sulfat.
Macam-macam sediaan steril (USP)
7. Larutan Irigasi
- Larutan yang digunakan untuk merendam dan
membilas luka terbuka, sayatan-sayatan bedah atau
jaringan tubuh dan digunakan untuk topikal tidak
untuk parenteral.
- Pada etiket harus diberi tanda ...untuk irigasi contoh
: Natrium Cl untuk irigasi.
Macam-macam sediaan steril (USP)
8. Zat-zat diagnostik
- Untuk tujuan diagnostik seperti Evans Blue
Injection (untuk menentukan volume darah),
Injeksi Radiopharmaceutical dsb.
9. Ekstrak Allergenik
- Konsentrat steril : untuk tujuan diagnostik atau
pengobatan reaksi-reaksi alergi.
- Pada saat akan digunakan, ekstrak dilarutkan
dalam konsentrasi yang diinginkan dengan teknik
aseptik dan cairan steril sebagai pelarut.
Macam-macam sediaan steril (USP)
10. Larutan dialisis peritonial
- Untuk membuang kelebihan sampah tubuh, cairan
tubuh, serum elektrolit dan untuk menghilangkan
senyawa toksik yang secara normal dikeluarkan oleh
ginjal.
- Harus bebas pirogen, steril, bebas dari partikulat
KLASIFIKASI OBAT SUNTIK/INJEKSI
1. Larutan sejati dengan pembawa air, contoh vitamin
C, strikhnin NO3, Sulfadiazin Na, Na-ringer,
Vitamin B1, Papaverin HCl, Ziemsen (As2O3 +
NaOH), kinin antipirin.
2. Larutan sejati dengan pembawa minyak, contoh :
Menadion, testosteron propionat, kamfer, dll.
KLASIFIKASI OBAT SUNTIK/INJEKSI
3. Larutan sejati dengan pembawa pelarut campur :
Fenobarbital natrium.
4. Suspensi steril dengan pembawa air : Kortison
asetat, kortikotropin-seng hidroklorida.
5. Suspensi steril dengan pembawa minyak : Bismuth
sub salisilat, prokain-penisilin.
KLASIFIKASI OBAT SUNTIK/INJEKSI
6. Serbuk kering yang dilarutkan dalam pembawa air
sesaat sebelum digunakan contoh : pentotal natrium,
ampisilin, penisilin.
7. Serbuk kering yang disuspensikan dalam pembawa air
sesaat sebelum digunakan : streptomisin, prokain-
penisilin.
8. Emulsi steril : infus lemak, dll.
Syarat-syarat sediaan steril
 1. steril
 2. isotonis
 3.Isohidris
 4. bebas pirogen
 5. bebas partikel asing
 6. kejernihan
 7. Stabil baik secara fisika, kimia, maupun mikrobiologi
 8. aman (tidak toksik)
 9. Tidak terjadi reaksi antar bahan dalam formula
 10. Penggunaan wadah yang sesuai, sehingga mencegah terjadinya
interaksi dengan bahan obat
 11. Sesuai antara bahan obat yang ada dalam wadah dengan etiket,
dan tidak terjadi pengurangan kualitas selama penyimpanan
Persyaratan Umum Sediaan Steril
1. Steril
2. Bebas pirogen (untuk obat suntik yang sekali
penyuntikan diberikan >10 mL)
3. Isotoni (tonisitas) Jika larutan tertentu
konsentrasinya sama besar dengan konsentrasi
dalam sel darah merah sehingga tidak terjadi
pertukaran cairan diantara keduanya (ekivalen
dengan 0,9% NaCl)
4. Isohidri  pH suatu larutan zat = pH cairan
tubuh 7,4
Persyaratan Umum Sediaan Steril
5. Bentuk larutan jernih (berhubungan dengan
stabilitas)
Rute pemberian sediaan parenteral
 Intravena, intramuskuler,, subcutan, intradermal, dan
intraspinal
 Absorbsi obat dipengaruhi oleh: banyaknya pembuluh
darah yang mensuplai jaringan, sifat fisikokikima obat,
karakteristik bentuk sediaan (larutan, suspensi, atau
emulsi), sifat pembawa, dan pH
 Pemberian intravena dan intraspinal harus dalam bentuk
larutan, sedangkan intramuskuler, subcutan, intradermal
sediaan dapat berbentuk larutan, suspensi atau emulsi
 Pembawanya dapat berupa air, glikol ataupun minyak
lemak
 Perhatikan adanya logam-logam dalam pembawa,
misal adanya Cu (bisa bersumber dari air atau wadah)
dapat mengoksidasi asam askorbat dalam larutan.
Keuntungan dan kerugian sediaan
parenteral
 Keuntungan: -lebih cepat efek terapinya dibandingkan
penggunaan oral, dan dapat juga digunakan dengan
tujuan memberikan efek yang lambat (sistem depot) ,
implant, dapat digunakan oleh pasien dalam keadaan
tidak sadar, dapat digunakan untuk obat yang
mengiritasi lambung atau rusak oleh cairan lambung,
dapat untuk terapi keseimbangan elektrolit dalam
tubuh
 Kerugian : mahal , butuh keahlian khusus dan alat
khusus dalam menggunakannya, menimbulkan rasa
sakit (tidak nyaman), adanya kekeliruan dosis atau
obat tidak mungkin diperbaiki, terutama sesudah
pemberian intravena.
SEDIAAN PARENTERAL
A. Penggolongan sediaan steril untuk parenteral
1. Larutan atau emulsi yang cocok untuk injeksi
2. Sediaan padat kering atau cairan kental, yang tidak
mengandung zat tambahan, dengan pelarut yang cocok
untuk injeksi
3. Sediaan padat kering atau cairan kental yang
mengandung satu atau lebih zat tambahan
4. Sediaan padat bentuk suspensi dalam media yang cocok
tidak untuk injeksi iv atau kolon spinal
5. Sediaan padat kering yang dengan penambahan pelarut
yang cocok menjadi sediaan steril bentuk suspensi.
SEDIAAN PARENTERAL
B. Definisi Sediaan Parenteral
Sediaan obat steril, dapat berupa larutan atau
suspensi, yang dikemas sedemikian rupa hingga cocok
untuk diberikan dalam bentuk injeksi hipodermis
dengan pembawa atau zat pensuspensi yang cocok.
RUTE, MASALAH DAN CATATAN YANG HARUS
DIPERHATIKAN PADA PEMBERIAN OBAT SECARA
PARENTERAL
 Pemberian obat secara parenteral : pemberian
langsung ke dalam jaringan, rongga jaringan, atau
kompartemen-kompartemen tubuh secara
suntikan/ injeksi atau infus.
 Perkembangan teknik-teknik untuk pemberian
obat secara parenteral dan penggunaannya telah
berkembang pesat beberapa tahun terakhir ini.
INDIKASI UMUM PEMBERIAN OBAT SECARA
PARENTERAL
1. Untuk menjamin penyampaian obat yang masih
belum banyak diketahui sifat-sifatnya ke dalam
suatu jaringan yang sakit atau daerah target
dalam tubuh dalam kadar yang cukup. Contoh :
Pemberian injeksi antibiotik golongan
aminoglikosida secara intraventrikular
sulit menembus lapisan pembatas darah-otak-
selaput otak dapat dilakukan pada penderita
radang selaput otak/rongga otak akibat bakteri
dan jamur.
INDIKASI UMUM PEMBERIAN OBAT SECARA
PARENTERAL
2. Pengendalian langsung terhadap beberapa
parameter farmakologi tertentu, seperti waktu
tunda, kadar puncak dalam darah, kadar dalam
jaringan dll.
3. Menjamin dosis dan kepatuhan terhadap obat
(khusus untuk penderita rawat jalan)
4. Mendapatkan efek obat yang tidak mungkin
dicapai melalui rute lain : obat tidak dapat diab-
sorpsi/rusak oleh asam lambung atau enzim jika
diberikan secara oral contoh insulin.
INDIKASI UMUM PEMBERIAN OBAT SECARA
PARENTERAL
5. Untuk memberikan obat pada keadaan rute lain
yang lebih disukai tidak memungkinkan, misal
pada penderita yang saluran cerna bagian atas
sudah tidak ada karena dioperasi.
6. Untuk menghasilkan efek secara lokal jika
diinginkan yaitu untuk mencegah /meminimum-
kan reaksi toksik sistemik : pemberian
metotreksat secara injeksi intra tekal pada
penderitan leukemia.
7. Penderita yang tidak sadarkan diri/tidak dapat
kerja sama (gila)
INDIKASI UMUM PEMBERIAN OBAT SECARA
PARENTERAL
8. Memperbaiki dengan cepat cairan tubuh atau
ketidakseimbangan elektrolit/ mensuplai kebutuhan
nutrisi.
9. Mendapatkan efek lokal yang diinginkan : anastesi
lokal pada pencabutan gigi.
KERUGIAN PEMBERIAN OBAT SECARA
PARENTERAL
1. Harus dilakukan oleh personel yang terlatih dan
membutuhkan waktu lebih banyak daripada
pemberian obat bentuk lain.
2. Rasa nyeri pada lokasi penyuntikan
3. Sukar sekali untuk merubah/menghilangkan
efek fisiologisnya jika obat sudah berada dalam
sirkulasi sistemik.
4. Harga sediaan parenteral lebih mahal
dibandingkan sediaan yang lain karena
persyaratan manufaktur dan pengemasan
KERUGIAN PEMBERIAN OBAT SECARA
PARENTERAL
5. Masalah yang timbul setelah pemberian parenteral :
septisemia, infeksi jamur, inkompatibilitas karena
pencampuran sediaan parentera dan antaraksi obat.
FAKTOR FARMASETIK YANG MEMPENGARUHI
PEMBERIAN OBAT SECARA PARENTERAL
1. Kelarutan obat dan volume injeksi
- Obat harus terlarut sempurna, lebih disukai
dalam air, sebelum dapat diberikan secara
injeksi intra vena.
- Kelarutan obat dalam pembawa dan dosis yang
diperlukan untuk menghasilkan efek terapetik
akan menentukan volume injeksi yang harus
diberikan.
- Rute pemberian obat secara parenteral selain iv
memiliki keterbatasan dalam hal volume injeksi
yang dapat diberikan.
FAKTOR FARMASETIK YANG MEMPENGARUHI
PEMBERIAN OBAT SECARA PARENTERAL
2. Karakteristik Bahan Pembawa
- Pembawa air : dapat diberikan melalui rute
parenteral apa saja.
- Pembawa non air : yang dapat bercampur atau
tidak dengan air biasanya diberikan dengan intra
muskular.
- Larutan suntik dengan pelarut campur
(diazepam, digoksin, fenitoin) dapat iv, hati-hati
pengaturan kecepatan penyuntikan untuk
mencegah terjadinya pengendapan senyawa obat
pada daerah penyuntikan.
FAKTOR FARMASETIK YANG MEMPENGARUHI
PEMBERIAN OBAT SECARA PARENTERAL
3. pH atau osmolaritas larutan injeksi
 Larutan suntik harus diformulasi pada pH dan
osmolaritas yang sama dengan cairan tubuh
(isohidri dan isotoni).
 Tidak dapat dipenuhi oleh semua obat karena
masalah stabilitas, kelarutan atau dosis.
- Misal : diazoksid dibuat pada pH 11,6 karena pH
tersebut pH stabilitasnya. Difenilhidantoin (pH 12)
dan tetrasiklin HCl (pH 2) untuk mendapatkan
larutan yang sempurna dalam dosis yang
dibutuhkan.
FAKTOR FARMASETIK YANG MEMPENGARUHI
PEMBERIAN OBAT SECARA PARENTERAL
 Kadang-kadang larutan parenteral hipertonis
karena mengandung kadar obat yang tinggi untuk
mencapai kadar obat dalam darah yang efektif,
misal :
- Obat tetes mata sulfasetamid
- Larutan nutrisi yang mengandung dosis tinggi
asam amino, dekstrosa dll.
 Larutan yang sangat hipertonis : harus diberikan
melalui vena yang sangat besar (subclevian)
vena tsb akan masuk langsung ke dalam jantung
cepat diencerkan dengan vol. besar
FAKTOR FARMASETIK YANG MEMPENGARUHI
PEMBERIAN OBAT SECARA PARENTERAL
 Pada umumnya larutan parenteral hipertonis
dikontraindikasikan untuk penyuntikan sub kutan
atau intramuskular.
4. Jenis bentuk sediaan obat
 Suspensi : hanya intramuskular atau sub kutan.
Tidak boleh iv atau rute parenteral selain diatas 
obat langsung masuk ke cairan biologis atau
jaringan sensitif (otak dan mata).
 Serbuk untuk injeksi harus dilarutkan sempurna
dalam pembawa yang sesuai sebelum diberikan.
FAKTOR FARMASETIK YANG MEMPENGARUHI
PEMBERIAN OBAT SECARA PARENTERAL
5. Komposisi bahan pembantu
- Sediaan parenteral untuk pemakaian berulang
mengandung antimikroba sebagai pengawet.
Bahan pengawet dikontraindikasikan untuk
pemberian ke dalam cairan serebrospinal atau
intra okular  dapat terjadi efek toksik.
- Dapat mengandung surfaktan  mendapatkan
kelarutan yang sesuai. Surfaktan dapat merubah
permeabilitas membran, sehingga harus diketahui
keberadaannya ketika akan diberikan secara sk
atau im.
RUTE-RUTE SPESIFIK
 Rute Utama : Intramuskular, intravena dan sub
kutan.
 Ketiga rute utama tersebut memuaskan untuk
keempat alasan pemberian obat secara parenteral :
pengobatan, pencegahan, diagnosis dan
mengubah sementara fungsi jaringan untuk
mempermudah pengobatan.
 Rute lain : intraokular, intratekal dll.
RUTE-RUTE UTAMA - INTRAMUSKULAR
 I. Intramuskular
- Injeksi langsung ke dalam bagian otot relaksasi,
meliputi otot gluteal, deltoid, trisep, pektoral dan vastus
lateralis. Otot gluteal : dapat diinjeksikan dengan
volume besar. Vastus lateralis : mentolerir volume besar,
jauh dari pembuluh darah dan syaraf-syaraf.
- Untuk sediaan kerja diperlama. Sediaan dalam bentuk
larutan lebih cepat diabsorpsi daripada suspensi atau
larutan dengan pembawa minyak.
INTRAMUSKULAR
- Larutan sedapat mungkin dibuat isotoni
- Zat aktif dengan kerja lambat serta mudah
terakumulasi dapat menimbulkan keracunan.
- Contoh : Injeksi kamfer, injeksi kinin antipirin,
injeksi fenilbutazon, injeksi amidopirin, injeksi
kortison asetat.
INTRAVENA
II. Intravena
 Injeksi langsung ke dalam vena (pembuluh darah).
 Dalam jumlah kecil tidak mutlak harus isotoni dan
isohidri.
 Dalam jumlah besar harus isotoni dan isohidri
 Tidak tepat untuk zat aktif yang merangsang dinding
pembuluh darah.
 Tidak diperkenankan penggunaan zat aktif penyebab
hemolisa seperti plasmokhin, saponin, nitrobenzol, nitrit
dan sulfonal.
INTRAVENA
 Sediaan yang diberikan umumnya berbentuk
larutan sejati dengan pembawa air. Penggunaan
suspensi masih dipertentangkan dengan
membatasi ukuran partikel zat aktif < 0,1 µm,
ukuran yang lebih besar dapat menyebabkan
emboli.
 Pemberian larutan 10 mL atau lebih besar sekali
suntik, harus bebas pirogen.
 Contoh : injeksi kalsium glukonat, injeksi
aminofilin, infus glukosa, infus Ringer.
TUJUAN PEMBERIAN INTRAVENA
Tujuan pemberian intravena :
a. Menjamin penyampaian dan distribusi obat dalam
keadaan syok
b. Mengembalikan segera kesetimbangan elektrolit dan
cairan tubuh
c. Efek farmakologis yang segera (darurat)
d. Pengobatan infeksi yang serius
e. Pemberian nutrisi secara kontinyu
f. Mencegah komplikasi lainnya jika diberikan melalui
rute lainnya.
g. Untuk tujuan khusus : transfusi darah, plasmaferesis dll.
KOMPLIKASI INTRA VENA
 Komplikasi yang dapat terjadi karena pemberian
secara intravena :
a. Trombosis
b.Penyuntikan mikroorganisme, toksin, partikel
atau udara.
c. Ketidaktercampuran fisik atau kimia beberapa
senyawa sebelum atau pada saat penyuntikan.
d. Pemberian obat yang tidak terkontrol dan
berlebihan
SUB KUTAN
III. Sub Kutan
 Penyuntikan dilakukan ke dalam jaringan longgar
di bawah kulit (dermis), disuntikkan ke dalam
tubuh melalui bagian yang sedikit lemaknya.
 Larutan yang disuntikkan sebaiknya isotoni dan
isohidri dengan kerja zat aktif lebih lambat
dibandingkan dengan pemberian intravena dan
intramuskular.
 Larutan yang sangat menyimpang isotoninya
dapat menimbulkan rasa nyeri atau nekrosis dan
absorpsi zat aktif tidak optimal.
 Obat yang diberikan melalui rute sk : insulin,
vaksin, narkotika, epinefrin, vit B12.
 Obat yang tidak boleh diberikan melalui rute sk :
yang bersifat asam kuat, basa kuat, iritan, yang
dapat menimbulkan rasa sakit, inflamasi, nekrosis
jaringan.
RUTE LAIN- Hipodermoklisis
1. Hipodermoklisis
- Pemberian sediaan larutan injeksi dalam jumlah
besar/infus melalui rute subkutan.
- Dilakukan jika absorpsi dengan kecepatan yang
rendah diinginkan jika tidak ada vena yang cocok
yang dapat dipakai (pada bayi atau lansia).
- Penyuntikan harus perlahan untuk mencegah
terjadinya pembengkakan.
Intraperitonial
2. Intraperitonial/intraabdominal
 Injeksi yang dilakukan ke dalam rongga peritonial (rongga
perut) dengan jarum/kateter, atau penyuntikan langsung
ke dalam organ-organ abdominal seperti hati, ginjal atau
kandung kemih.
 Absorpsinya cepat
 Untuk pengobatan penyakit secara lokal atau yang tersebar
di dalam abdomen/perut yang disebabkan oleh infeksi atau
tumor.
 Komplikasi pada ip : peritonitis dan haemorrhage
Intraarterial
3. Intra-arterial
- Langsung ke dalam arteri (pembuluh nadi) yang akan
membawa obat langsung ke dalam organ sasaran.
- Untuk tujuan diagnostik
- Cukup berbahaya, karena sediaan tidak mengalami
penyaringan terlebih dahulu oleh paru-paru, hati atau
ginjal.
- Sediaan yang terkontaminasi (mikroorganisme,
endotoksin, partikel yang tidak larut) dapat menyebabkan
komplikasi atau reaksi yang serius seperti infeksi atau
penyumbatan pembuluh nadi.
Intraartikular
4. Intraartikular
- Injeksi ke dalam kantong sinovial dari sejumlah
persendian yang dapat dicapai.
- Beberapa antiobiotika, lidokain, ester
kortikosteron dapat diberikan melalui rute ini
untuk pengobatan infeksi rasa nyeri, inflamasi,
dsb.
- Infeksi iatrogenik (mengakibatkan rusaknya
sendi): komplikasi setelah dilakukan injeksi
intraartikular
Intrakardiak
5. Intrakardiak
- Langsung ke dalam bilik-bilik jantung.
- Tidak direkomendasikan, kecuali kasus-kasus khusus
seperti berhentinya jantung.
- Otot jantung, pembuluh nadi koroner dapat rusak
akibat pemberian obat secara intrakardiak.
Intrasisternal
6. Intrasisternal
- Langsung ke dalam rongga sisternal (sumsum tulang
belakang) sekeliling dasar otak.
- Untuk tujuan diagnostik
- Rute ini cukup berbahaya, dapat menyebabkan
terjadinya kelumpuhan syaraf atau kematian.
Intraderma/Intrakutan
7. Intraderma/Intrakutan
- Disuntikkan ke dalam kulit
- Sejumlah zat diagnostik antigen (misal tuberkulin)
dan vaksin (misal smallpox) diberikan melalui rute ini.
- Volume yang diinjeksikan tidak lebih dari 0,1 mL.
- Absorpsi sangat lambat.
Intralesional, intraokular
8. Intralesional
- Injeksi yang dilakukan langsung ke dalam atau
sekitar luka, yang biasanya terdapat pada kulit.
- Diberikan jika diinginkan efek lokal yang kuat :
tetanus, antisera rabies.
9. Intraokular
- Ke dalam mata meliputi 3 daerah : ruang
anterior, intravitreal, retrobulbar.
- Untuk infeksi dan inflamasi mata.
Intrapleural
10. Intrapleural
- Ke dalam rongga selaput dada, biasanya dilakukan
hanya 1 kali (single injection).
- Untuk infeksi atau penyakit berbahaya yang
berkaitan dengan rongga selaput dada.
- Komplikasi yang dapat terjadi : pneumothorax,
perdarahan intrapleural.
Intratekal
11. Intratekal
- Langsung ke dalam kantung lumbar (sumsum
tulang belakang), terletak pada ujung kaudal dari
spinal cord
- Larutan harus isotoni dan isohidri.
- Untuk maksud anastesi digunakan larutan yang
hipertoni.
- Untuk tujuan diagnostik, dapat juga untuk
pengobatan infeksi atau tumor pada sepanjang
jaringan syaraf tulang punggung.
Intrauterin
12. Intra-uterin
- Injeksi/infus dilakukan ke dalam uterus pada keadaan
hamil.
- Pada minggu keenambelas kehamilan untuk tujuan
aborsi.
- Tujuan diagnostik
- Komplikasi : amnionitis dan myometritis
Intraventrikular
13. Intraventrikular
- Injeksi/infus ke dalam rongga-rongga sisi otak.
- Untuk pengobatan infeksi atau penyakit kanker
yang melibatkan membran atau cairan
serebrospinal sekeliling sistem syaraf pusat. Misal
pada pengobatan meningitis jamur dengan
amfoterisin B atau pengobatan sel-sel leukemia
yang masuk dengan metotreksat.
- Pemakaian rute ini sangat berbahaya, dapat
menyebabkan kelumpuhan/kematian, inflamasi
dari sistem.
DISTRIBUSI OBAT YANG DIBERIKAN SECARA
PARENTERAL
 Zat-zat yang diberikan secara im, iv, sk  masuk
ke dalam sistem sirkulasi melalui pembuluh balik
atau limfatik. Sebelum dipompakan ke dalam
sirkulasi pembuluh nadi oleh jantung, zat tsb
pertama kali harus melewati paru-paru.
 Pembuluh kapiler paru-paru berfungsi ganda :
filter dan reservoir. Juga berfungsi tempat
metabolisme untuk senyawa-senyawa tertentu.
DISTRIBUSI OBAT YANG DIBERIKAN SECARA
PARENTERAL
 Setelah injeksi iv, obat yang masuk ke dalam paru-
paru akan terdistribusi ke seluruh volume
distribusinya.
 Setelah injeksi im dan sk, obat yang diabsorpsi juga
akan didistribusikan oleh paru-paru, namun ada
waktu tunda antara saat injeksi dengan munculnya
obat dalam darah.
Faktor yang mempengaruhi distribusi obat
yang disuntikan secara sk dan im:
1. Kelarutan Obat
- Kelarutan obat dalam pembawa dan kelarutan
obat dalam cairan tubuh.
- Obat bentuk larutan : faktor kelarutan dalam
pembawa tidak ada.
- Suspensi : kecepatan pelarutan obat dalam
pembawa dan kelarutan obat dalam cairan
jaringan tempat penyuntikan akan menentukan
kecepatan absorpsi obat.
Faktor yang mempengaruhi distribusi obat
yang disuntikan secara sk dan im:
- Kecepatan pelarutan obat dalam bentuk suspensi
yang disuntikkan tergantung : ukuran partikel
obat, pH cairan jaringan tempat penyuntikan,
bentuk kristal dan koefisien obat.
2. Koefisien Partisi Obat
- Makin rendah kelarutan obat dalam lemak,
makin rendah koefisien partisi, dan makin lambat
absorpsi obat ke dalam sistem sirkulasi terjadi.
Faktor yang mempengaruhi distribusi obat
yang disuntikan secara sk dan im
3. Kecepatan aliran darah pada tempat penyuntikkan
- Makin cepat aliran darah kapiler ke dan dari
tempat penyuntikan, makin tinggi kecepatan
absorpsi obat akan terjadi.
4. Penguraian obat pada tempat penyuntikan
- Distribusi obat akan terhambat jika terjadi
penguraian atau metabolisme obat pada tempat
penyuntikan
Faktor yang mempengaruhi distribusi obat
yang disuntikan secara sk dan im
5. Ukuran Partikel Obat
Ukuran partikel obat dalam sediaan suspensi akan
mempengaruhi kecepatan obat dalam sediaannya. Makin
besar ukuran partikel, makin lambat pelarutan terjadi.
6. Bahan Pembantu
- Dapat mempengaruhi distribusi obat dari tempat
penyuntikan.
- Kekentalan yang tinggi dapat menghambat distribusi dan
transport obat dari tempat penyuntikan ke dalam sirkulasi
sistemik
MASALAH YANG HARUS DIPERHATIKAN BERKAITAN
DENGAN PEMBERIAN OBAT SECARA PARENTERAL
1. Bahaya atau komplikasi umum
- Sepsis, Trombosis (intravena, intra- arterial),
flebitis (iv), pendarahan (tergantung kondisi
pasien), reaksi terhadap bahan asing yang tidak
terlarut (terutama iv atau intra arterial),
ketidaktercampuran, reaksi karena pH dan
tonisitas ekstrim, reaksi hipersensitivitas, over
dosis, emboli udara ( iv dan intraarterial),
demam dan keracunan.
MASALAH YANG HARUS DIPERHATIKAN BERKAITAN
DENGAN PEMBERIAN OBAT SECARA PARENTERAL
2. Bahaya dan komplikasi khusus
- Disebabkan oleh senyawa yang disuntikkan, meliputi
beberapa efek samping yang sifatnya idiosinkratik
terhadap senyawa yang diberikan (trombositopenia,
anemia, neutropenia), imunosupresi, aritmia, rasa
nyeri.
METODE DAN PERALATAN UNTUK
MEMBANTU PEMBERIAN OBAT
 Pompa (dapat ditanam atau eksternal)
 Kanula dan kateter
 Alat suntik (disposable atau reusable)
 Filter akhir untuk intravena
 Heparin lock
 Stopcock
 Piggybacks
 Penghubung “Y”
 Pengendali aliran
 Kawat pembimbing untuk pemasangan kateter, dll.
JENIS-JENIS PELARUT
1. Pelarut Air
2. Pelarut non air yang dapat bercampur dengan air
3. Pelarut non air yang tidak dapat bercampur dengan
air.
PELARUT AIR
 Air merupakan pelarut yang paling banyak
digunakan dalam sediaan injeksi karena sifatnya
yang dapat bercampur dengan cairan fisiologis
tubuh :
a. Air mempunyai harga konstanta dielektrik yang
tinggi sehingga dapat melarutkan senyawa an-
organik seperti elektrolit.
b. Air mempunyai kemampuan membentuk ikatan
hidrogen sehingga air dapat melarutkan
sejumlah senyawa organik seperti alkohol,
aldehid, keton, dll.
Persyaratan Air pro Injeksi (USP)
1. Harus dibuat segar dan bebas pirogen
2. Jumlah zat padat terlarut total tidak boleh lebih
dari 10 ppm.
3. pH 5,0 – 7,0
4. Tidak boleh mengandung ion-ion klorida,
sulfat, kalsium, amonium, nitrat, nitrit.
5. Batas logam berat
6. Batas bahan-bahan organik seperti tanin dan
lignin
7. Batas jumlah partikel
Air pro Injeksi Bebas CO2
 CO2 yang bersifat asam lemah mampu menguraikan
garam natrium dari senyawa organik seperti barbiturat
dan sulfonamida kembali membentuk asam lemahnya
yang mengendap.
 Fenobarbital natrium (1:3 bagian air) + CO2 + H2O 
Fenobarbital (endapan) (1:1000 bagian air) + Na2CO3
Air pro Injeksi Bebas CO2
 Sulfadiazin natrium (1:2 bagian air) + CO2 + H2O 
Sulfadiazin (endapan) (sangat sukar larut dalam air) +
Na2CO3
 Aminofilin yang terdiri dari teofilin dan etilendiamin
dengan adanya CO2 dapat menyebabkan terbentuknya
teofilin (endapan) yang kelarutannya 1:120 bagian air
Air pro Injeksi Bebas CO2
 Air pro Injeksi bebas CO2 dibuat dengan jalan
mendidihkan air pro injeksi selama 20-30 menit
setelah air mendidih, lalu dialiri gas nitrogen sambil
didinginkan.
Air pro Injeksi Bebas Oksigen
 Dibuat dengan jalan mendidikan air pro injeksi
selama 20-30 menit, dihitung setelah air
mendidih, jika dibutuhkan dalam jumlah besar
maka saat pendinginan dialiri gas nitrogen.
 Digunakan untuk melarutkan zat aktif yang
mudah teroksidasi seperti : apomorfin,
klorfeniramin, klorpromazin, ergometrin,
ergotamin, metilergometrin, proklorperazin,
promazin, promezatin HCl, sulfadimidin,
tubokurarin.
PELARUT NON AIR
 Digunakan bila :
1. Zat aktif tidak larut dalam pembawa air
2. Zat aktif terurai dalam pembawa air
3. Diinginkan kerja depo dari sediaan
PEMILIHAN PELARUT NON AIR
1. Tidak toksis, tidak mengiritasi dan tidak
menyebabkan sensitisasi
2. Dapat tersatukan dengan zat aktif
3. Tidak memberikan efek farmakologi yang
merugikan
4. Stabil dalam kondisi di mana sediaan tersebut
biasanya digunakan
5. Viskositasnya harus sedemikian rupa sehingga
dapat disuntikkan dengan mudah.
PEMILIHAN PELARUT NON AIR
6. Pelarut tersebut harus tetap cair pada rentang
suhu yang cukup lebar.
7. Mempunyai titik didih yang tinggi sehingga dapat
dilakukan sterilisasi yang menggunakan panas.
8. Dapat bercampur dengan air atau cairan tubuh.
Pada umumnya tidak ada pelarut yang dapat
memenuhi seluruh kriteria di atas, oleh karena
itu biasanya diambil jalan tengah yaitu dengan
memenuhi beberapa kriteria saja.
PELARUT NON AIR YANG DAPAT
BERCAMPUR DENGAN AIR
 Sebagai ko-solven dalam sediaan injeksi untuk
meningkatkan kelarutan suatu obat yang kurang larut
dalam air.
 Meningkatkan stabilitas zat-zat tertentu yang mudah
terhidrolisis, contoh pembuatan injeksi fenobarbital
dengan pelarut yang terdiri dari campuran air, etanol
dan propilen glikol (solutio petit)
PELARUT NON AIR YANG DAPAT BERCAMPUR DENGAN
AIR :
1. Etanol
 Banyak digunakan terutama pada injeksi glikosida
digitalis
 Injeksi yang mengandung etanol bila disuntikkan secara
intramuskular akan menimbulkan rasa nyeri; secara sub
kutan akan menimbulkan nyeri yang diikuti dengan
anastesia; jika disuntikkan pada daerah yang dekat
syaraf maka dapat mengakibatkan degenerasi syaraf dan
neuritis; secara intravena (tidak disarankan) harus hati-
hati karena pemberian yang terlalu cepat akan
mengakibatkan bahaya pengendapan obat dalam darah.
2. Propilen glikol
 Banyak digunakan dalam pembuatan sediaan
injeksi senyawa golongan barbiturat, beberapa
alkaloida dan antibiotika.
 Sediaan yang mengandung propilen glikol dapat
menimbulkan rasa nyeri dan iritasi pada tempat
penyuntikan, sehingga perlu ditambahkan lokal
anastetik seperti benzil alkohol.
3. Polietilen glikol
 Ko solven dalam pembuatan sediaan injeksi adalah
yang mempunyai bobot molekul rendah (300-400)
dan berbentuk cairan.
 Penggunaan kosolven senyawa glikol (propilen
atau polietilen) dalam pembuatan injeksi senyawa
golongan barbiturat dapat meningkatkan stabilitas
senyawa tersebut.
4. Gliserin
 Merupakan cairan yang jernih dan kental, titik
didih tinggi, dapat bercampur dengan air maupun
alkohol dan merupakan pelarut yang baik untuk
beberapa zat.
 Penggunaan dalam dosis tinggi dapat
menimbulkan efek konvulsi dan gejala paralitik
karena kerja langsung gliserin terhadap susunan
syaraf pusat. Pada dosis rendah (5%) tidak terlihat
adanya efek toksik.
PELARUT NON AIR YANG TIDAK DAPAT
BERCAMPUR DENGAN AIR
 Minyak hewan : Tidak digunakan sebagai
pembawa
 Minyak mineral atau parafin cair: tidak boleh
digunakan karena tidak dapat dimetabolisme
tubuh dan dapat menimbulkan tumor atau
reaksi terhadap jaringan
 Minyak tumbuhan :
1. Mudah tengik, karena mengandung asam lemak
bebas terutama asam lemak tidak jenuh. Untuk
mengatasi ketengikan dengan menambahkan
antioksidan (BHA, BHT).
PELARUT NON AIR YANG TIDAK DAPAT
BERCAMPUR DENGAN AIR
2. Sering menimbulkan rasa nyeri sehingga perlu
penambahan benzil alkohol 5% untuk anastesi lokal.
3. Jenis minyak tumbuhan yang digunakan harus
dicantumkan dalam etiket.
4. Digunakan untuk injeksi zat aktif : Deoksikortison asetat,
dimerkaprol, nandrolon fenilpropionat, progesteron,
testosteron propionat, propiliodon, estradiol benzoat,
testosteron fenilpropionat.
5. Jenis minyak tumbuhan yang digunakan : ol. Arachidis, ol.
Gossypii, ol. Terebinthinae, Ol. Maydis, Ol. Sesami, Ol.
Olivarum neutral, Ol. Amygdalarum.
PELARUT NON AIR YANG TIDAK DAPAT
BERCAMPUR DENGAN AIR
 Minyak Semi Sintetis : Milgyol-minyak netral
 Ester asam lemak :
1. Menghasilkan larutan yang lebih encer daripada
pembawa minyak sehingga lebih mudah disuntikkan
meski kerja depo yang timbul tidak selama pembawa
minyak.
2. Kadangkala dikombinasi dengan senyawa alkohol
seperti etanol atau benzil alkohol untuk memperbaiki
kelarutan zat aktif.
3. Contohnya adalah etil oleat, isopropil miristat,
polioksilen trigliserida oleat.
Tonisitas
 Tonisitas menggambarkan tekanan osmose yang
diberikan oleh suatu larutan (zat padat yang terlarut
di dalamnya)
 Suatu larutan dapat bersifat isotonis, hipotonis, atau
hipertonis
 NaCl 0,9 % sebagai larutan pengisotoni
 Tidak semua sediaan steril harus isotonis, tapi tidak
boleh hipotonis, beberapa boleh hipertonis
Pengaturan Tonisitas
Pengaturan tonisitas adalah suatu upaya untuk
mendapatkan larutan yang isotonis. Upaya tersebut
meliputi pengaturan formula sehingga formula yang
semula hipotonis menjadi isotonis,dan langkah kerja
pengerjaan formula tersebut.
Ada dua kelas untuk pengaturan tonisitas :
1. Metode Kelas satu
2. Metode kelas 2
Metode Pengaturan tonisitas
 Metode Kelas Satu
Dari formula yang ada (termasuk jumlah solvennya)
dihitung tonisitasnya dengan menentukan ΔTf – nya, atau
kesetaraan dengan NaCl. Jika ΔTf-nya kurang dari 0,52O
atau kesetaraannya dengan NaCl kurang dari 0,9 %,
dihitung banyaknya padatan NaCl, yang harus
ditambahkan supaya larutan menjadi isotonis. Cara
pengerjaannya semua obat ditimbang, ditambah NaCl
padat, diatamabah air sesuai formula. Metode kelas satu
meliputi metode kriskopik (penurunan titik beku),
perhitungan dengan faktor disosiasi dan metode
ekuivalensi NaCl
Metode Pengaturan tonisitas (lanjutan)
 Metode Kelas Dua
Dari formula yang ada (selain solven) hitung volume
larutannya yang memungkinkan larutan menjadi isotonis.
Jika volume ini lebih kecil dari pada volume dalam formula,
artinya larutan bersifat hipotonis. Kemudian hitunglah
volume larutan isotonis, atau larutan dapar isotonis, yang
ditambahkan berupa larutan NaCl 0,9%, bukan
padatan NaCl, misalnya NaCl 0,9 % yang harus
ditambahkan dalam formula tadi untuk mengganti posisi
solven selisih volume formula dan volume larutan isotonis.
Metode kelas dua meliputi metode White-Vincent dan
metode Sprowls.
ISOTONI
 Jika suatu larutan konsentrasinya sama besar dengan
konsentrasi dalam sel darah merah sehingga tidak
terjadi pertukaran cairan di antara keduanya, maka
larutan tersebut dikatakan isotoni (ekivalen dengan
0,9% NaCl)
ISOOSMOTIK
 Jika suatu larutan memiliki tekanan osmosa sama
dengan tekanan osmose serum darah, maka
larutan tersebut dikatakan isoosmotik (0,9% NaCl
memiliki tekanan osmose 6,86 atm)
 Umumnya larutan isoosmotik identik dengan
larutan isotoni, artinya secara fisiologis (terutama
terhadap sel darah merah) memiliki kondisi yang
sama (ekivalen dengan 0,9% NaCl)
HIPOTONI
 Turunnya titik beku kecil, tekanan osmosenya
lebih rendah dari serum darah menyebabkan air
akan melintasi membran sel darah merah yang
semipermeabel memperbesar volume sel darah
merah dan menyebabkan peningkatan tekanan
dalam sel. Tekanan yang lebih besar menyebabkan
pecahnya sel-sel darah merah. Peristiwa demikian
dikenal dengan Hemolisa.
HIPOTONI
 Jadi, bila larutan hipotonis disuntikkan (mempunyai
tekanan osmosis yang lebih kecil dari cairan tubuh),
maka air akan diserap masuk ke dalam sel tubuh dan
akan mengembang atau dapat terjadi pecah sel.
HIPERTONI
 Turunnya titik beku besar, tekanan osmosenya lebih
tinggi dari serum darah menyebabkan air keluar dari
sel darah merah melintasi membran semipermeabel
mengakibatkan terjadinya penciutan sel-sel darah
merah, peristiwa demikian dikenal dengan nama
Plasmolisa
Hipertoni
 Jadi, bila larutan hipertonis disuntikkan, (tekanan
osmosa lebih tinggi dari cairan tubuh), maka air dari
sel akan ditarik keluar dan sel akan mengkerut.
 Toleransi tubuh : dapat mengimbangi penyimpangan-
penyimpangan isotonis sampai 10%. Larutan yang
hipertonis masih dapat ditolerir oleh tubuh lebih baik.
Isotonis perlu diperhatikan pada cara-cara
penyuntikan :
1. sk, bila tidak isotonis akan menimbulkan sakit, sel-
sel di sekitar penyuntikan dapat rusak (nekrosis),
penyerapan obat menjadi tidak baik.
2. Intra lumbal: bila terjadi perubahan dalam cairan
lumbal, dapat timbul perangsangan pada selaput
otak.
3. Intra vena, bila diberikan infus, bila terlalu jauh
menyimpang dari isotonis ada kemungkinan terjadi
hemolisis. Pada volume kecil, pemberian intra vena,
isotonis tidak perlu diperhatikan, kecuali pada jumlah
yang besar.
Bahan Pembantu Pengatur Tonisitas
 NaCl
 Glukosa
 Sukrosa
 KNO3
 NaNO3
METODE PERHITUNGAN ISOTONI
1. Metode Penurunan Titik Beku
2. Metode Ekivalensi NaCl
3. Metode White Vincent
4. Metode Sprowls
5. Metode Grafik
1. Metode Penurunan Titik Beku
 Turunnya titik beku serum darah atau cairan
lakrimal sebesar -0,52oC; setara dengan larutan
0,9% NaCl yang isotoni baik terhadap serum darah
maupun air mata.
 Makin besar konsentrasi zat terlarut makin besar
turunnya titik beku, jadi turunnya titik beku
dipengaruhi oleh jumlah molekul atau ion yang
terdapat dalam larutan.
Metode L iso (untuk mencari ∆tb)
 ∆tb = L iso x Berat x 1000
BM x V
 ∆tb : penurunan titik beku
 Liso : harga tetapan; non elektrolit=1,86; elektrolit
lemah = 2; uni univalen=3,4
 BM= berat molekul
 V = volume larutan dalam mL
 Berat = dalam g zat terlarut
Contoh Soal
 Berapa ∆tb dari 1% larutan Na-propionat (BM=96). Na
propionat adalah uni univalen elektrolit; L iso = 3,4
 Jawab :
 ∆tb = 3,4 x 1 x 1000
96 x 100
= 3,4 x 0,104
= 0,35o
Tabel Nilai L iso untuk beberapa tipe ionik
Tipe L iso Contoh

Non elektrolit 1,9 Sukrosa, gliserin, urea,


campher
Elektrolit 2,0 Asam borat, kokain,
lemah fenobarbital
Di-divalen 2,0 Magnesium sulfat, zink
elektrolit sulfat
Tabel Nilai L iso untuk beberapa tipe ionik

Uni-univalen 3,4 NaCl, kokain HCl, Na-


elektrolit fenobarbital
Uni-divalen 4,3 Na-sulfat, atropin
elektrolit sulfat
Di-univalen 4,8 Zink klorida, kalsium
elektrolit bromida
Uni-trivalen 5,2 Na-sitrat, Na-fosfat
elektrolit
Tabel Nilai L iso untuk beberapa tipe
ionik

Tri-univalen 6,0 Aluminium klorida,


elektrolit ferri iodida
Tetraborat 7,6 Sodium borat, kalium
elektrolit borat
Metode Penurunan Titik Beku (Cara BPC)
 W = 0,52 – a
b
 W = jumlah (g) bahan pembantu isotoni dalam
100 mL larutan
 a = perkalian penurunan titik beku disebabkan
oleh 1% zat dengan kadar zat
 b = penurunan titik beku air yang dihasilkan oleh
1% b/v bahan pembantu isotoni, jika NaCl= 0,576
Contoh Soal
 Berapa NaCl yang dibutuhkan untuk membuat
larutan Apomorfin HCl 1%, supaya isotonis
dengan serum darah. ∆tb apomorfin = 0,08
 Jawab :
 W = 0,52 – (0,08 x 1) = 0,76 g
0,576
 Jadi, supaya larutan isotoni maka :
 R/ Apomorfin 1g
NaCl 0,76 g
Aq ad 100 mL
2. Metode Ekivalensi NaCl
 Ekivalensi NaCl = E = adalah jumlah NaCl yang
mempunyai tekanan osmosa yang sama dengan 1 g
zat khasiat, dengan rumus :
 E = 17 Liso
BM
 Misal : ekivalensi NaCl asam borat 0,55 berarti 1 g
asam borat dalam larutan memberikan efek
osmotik yang sama dengan 0,55 g NaCl
Metode Ekivalensi NaCl
 Cara Menghitung :
1. Tentukan harga E NaCl untuk setiap zat yang
dilarutkan, jika perlu diperbanyak dengan
besarnya konsentrasi zat dalam larutan.
2. Jumlahkan NaCl yang dibutuhkan untuk setiap
zat terlarut.
3. Tentukan selisih jumlah NaCl diatas terhadap
jumlah NaCl isotoni (0,9%). Selisih tersebut
adalah jumlah NaCl yang harus ditambahkan
untuk mencapai isotoni.
2. Metode Ekivalensi NaCl
4. Jika zat terlarut tidak tersatukan dengan ion klorida
dari NaCl maka zat seperti glukosa, KNO3, NaNO3
dapat digunakan untuk menggantikan NaCl. Jumlah
yang harus ditambahkan merupakan hasil bagi antara
jumlah NaCl yang harus ditambahkan dengan E NaCl
zat-zat tersebut.
Contoh Soal
1. Hitung ekivalensi NaCl dari KCl
Jawab : KCl termasuk dalam tipe 2B (uni-univalen
elektrolit). Lihat tabel, harga Liso = 3,4 BM KCl=
74,55
E = 17 . 3,4 = 0,78
74,55
Jadi 1 g KCl memberikan efek osmotik yang sama
dengan 0,78 g NaCl
Contoh Soal
2. Suatu larutan mengandung 1 g efedrin sulfat dalam
100 mL. Berapa jumlah NaCl yang ditambahkan agar
larutan isotonis?
Berapa jumlah dekstrosa yang ditambahkan untuk
tujuan tersebut?
Diketahui : E efedrin sulfat = 0,23
E dekstrosa = 0,16
 Ingat : 1 g efedrin sulfat mempunyai efek osmotik yang
sama dengan 0,23 g NaCl
 Jawab: Efedrin sulfat 1,0 g x 0,23 =0,23 g NaCl
 NaCl yang dibutuhkan agar larutan isotonis (0,9-
0,23)=0,67 g NaCl
 Jadi NaCl yang ditambahkan agar larutan isotonis =
0,67 g
 E dekstrosa = 0,16
 1 g dekstrosa mempunyai efek osmotik yang sama
dengan 0,16 g NaCl
 1 g dekstrosa~0,16 g NaCl
 X g dekstrosa~0,67 g NaCl
 X = 0,67 x 1 g dekstrosa
0,16
= 4,1875 g dekstrosa
 Dari hasil diatas dapat digunakan rumus :
X=Y
E
 Dimana X= gram dari zat pengisotoni yang
diperlukan untuk meng’adjust tonisitas
 Y = penambahan jumlah NaCl agar isotonis
 E= gram dari NaCl ekivalen dengan 1 g zat
pengisotoni
3. Buat 200 mL larutan isotonis thimerosal, BM =
404,84 g/mol. Konsentrasi 1:5000 atau 0,2 g/1000
mL. Liso = 3,4
 Hitung E NaCl thimerosal, jumlah NaCl yang
ditambahkan agar larutan isotonis.
 Diketahui bahwa NaCl berinteraksi dengan
merkuri pada thimerosal yaitu dapat mengurangi
stabilitas dan efektifitas sediaan.
 Maka diputuskan untuk mengganti NaCl dengan
propilen glikol sebagai zat pengisotoni. Diketahui :
Liso propilen glikol= 1,9 BM=76,09
 Jawab : Hitung dulu E NaCl thimerosal
E = 17. Liso = 17 . 3,4 = 0,143
BM 404,84
 Larutan thimerosal : c=0,2 g/1000 mL
 Akan dibuat 200 mL  jadi 0,04 g/200 mL
 Berat thimerosal agar mempunyai efek osmotik yang
sama dengan 0,143 adalah=
0,04 g thimerosal x 0,143 = 0,0057 g NaCl
 Jumlah NaCl yang ditambahkan agar isotonis Y= 1,8 g
NaCl – 0,0057 = 1,794 g
 NaCl diganti dengan propilen glikol sebagai zat
pengisotoni. Liso propilen glikol= 1,9 BM=76,09
 E = 17 . 1,9 = 0,42
76,09
 Dengan rumus X = Y = 1,794 = 4,3 g
E 0,42
 Jadi propilen glikol yang diperlukan untuk
mengadjust 200 mL larutan thimerosal agar
isotonis adalah 4,3 g
3. Metode White Vincent
 Tonisitas yang diinginkan ditentukan dengan
penambahan air pada sediaan parenteral agar isotoni
Metode White Vincent
 V = w. E. V’
 V = Volume larutan isotoni yang ditentukan (mL)
 w = Bobot obat (g) yang ada dalam larutan
 E = Ekivalensi NaCl
 V’ = Volume suatu larutan isotoni (mL) yang di
dalamnya mengandung 1 g NaCl (111,1 mL)
Contoh Soal
 Buatlah 500 mL larutan etilmorfin HCl 2% isotoni
(E= 0,15)
 V = 10 x 0,15 x 111,1 mL = 166,7 mL
 Artinya jika 10 gr etilmorfin HCl dilarutkan dalam
166,7 mL air diperoleh larutan yang isotoni. Sisa
larutan sebanyak (500-166,7) = 333,3 mL
digantikan dengan larutan NaCl isotoni atau
larutan dapar isotoni. Untuk larutan NaCl isotoni
diperlukan sebanyak 333,3/100 x 0,9 g NaCl = 2,99
g NaCl
 R/ Phenacaine HCl 0,06 g
Asam borat 0,30 g
Ad pengisotoni ad 100 mL
 Maka V =
{(0,06 x 0,20) + (0,3x0,5)}x 111,1 mL
= 18 mL
 Jadi obat dicampur dengan air sampai 18 mL, lalu
ditambah dengan pelarut isotonis sampai 100 mL
Metode Sprowls
 Merupakan metode yang dimodifikasi dari metode
White Vincent, dimana W dibuat tetap 0,3 g, jadi :
 V = E x 33,3 mL
Metode Grafik
 Perbandingan antara konsentrasi bahan obat
(g/kg) vs penurunan titik beku. Pada grafik yang
sama digambarkan pula kurva penurunan titik
beku dan pengisotonisan jumlah NaCl yang
dibutuhkan.
 Tentukan sebuah titik pada ordinat yang sesuai
dengan konsentrasi zat (misal 20 g/kg). Tarik garis
sejajar dari titik tersebut terhadap absis sampai
tepat memotong kurva zat yang bersangkutan.
Metode Grafik
 Dari titik potong ini buat lagi garis sejajar ordinat,
maka titik potong dengan absis menyatakan
turunnya titik beku larutan yang disebabkan zat
tersebut (misal 0,18oC).
 Dari titik potong antara garis yang sejajar ordinat
dengan kurva NaCl, ditarik garis sejajar absis
sehingga memotong ordinat. Titik potong ini
menyatakan jumlah NaCl yang dibutuhkan untuk
membuat larutan isotoni (misalnya 5,6 g/kg).
 Untuk 500 mL dibutuhkan 2,8 g NaCl.
Metode Grafik
Metode Grafik
Exercise
1. Using the sodium chloride method, calculate the
grams of sodium chloride needed to make 30 mL
of a 2% isotonic physostigmine salycilate
solution! E fisostigmin salisilat : 0,16
2. A new drug having a molecular weight of 300
g/mole produced a freezing point depression of
0.52oC in a 0.145 M solution. What are calculated
Liso value, the E value and the V value for this
drug?
Exercise
3. A 1 fluid ounce (29.573 mL) solution contain 4.5 grains
(291.6 mg) of silver nitrat. How much sodium nitrat must
be added to this solution to make it isotonic with nasal
fluid?. Assume that nasal fluid has an isotonicity value of
0.9% NaCl. E AgNO3 = 0,33; E NaNO3 = 0,68
4. Using the sodium chloride equivalent method, make the
following solutions isotonic with respect to the mucous
lining of the eye (ocular membrane). E tetracain HCl = 0,14
- Tetracaine hydrochloride 10 grams
- NaCl x grams
- Sterilize distilled water, enough to make 1000 mL
 Hitung tonisitas dibawah ini dengan ekivalensi NaCl :
R/ Asam borat 8
Atropin sulfat 2
mf isotonis 1000 mL
 Hitung dengan metode White Vincent
R/ Antipirin 4%
Efedrin 1%
mf isotonis pH 6,5 100 mL
 Buatlah larutan Metadon HCl 1% 100 mL isotoni
dengan NaCl. Diketahui ∆tb Metadon HCl = 0,101
dan ∆tb NaCl : 0,576
 Buatlah 100 mL larutan Pilokarpin HCl 2% isotoni
dengan NaCl. Diketahui ∆tb Pilokarpin HCl 0,13.
 Kumpulkan kamis, 21/10/10 dikerjakan di
kertas folio bergaris
PUSTAKA
 Kenneth E.Avis, Lieberman, Leon Lachman.,
Pharmaceutical Dosage Forms : Parenteral
Medication Vol 1, 2,3.
 Salvatore Turco, Robert E. King, Sterile Dosage Forms.
 Benny Logawa & Sundani Nurono, Repetitorium
Teknologi Formulasi Sediaan Steril.
 Wayne P Olsen, et al., Aseptic Pharmaceutical
Manufacturing Technology for the 1990s.
 Frederick J Carleton, James P. Agalloco, Validation of
Aseptic Pharmaceutical Process.

Anda mungkin juga menyukai