vegetatif, non vegetatif (spora), patogen ataupun non patogen. Penandaan obat “steril” artinya bahwa “batch” darimana cuplikan diambil dan dilakukan pengujian uji sterilitas (farmakope), hasil uji sterilitas memenuhi syarat yang sudah ditetapkan dalam buku resmi. PENDAHULUAN Cuplikan yang diambil dan diuji harus representatif mewakili batch yang diuji Parenteral berasal dari kata yunani para enteron artinya disamping usus obat yang tidak diberikan melalui usus. PENDAHULUAN Mutu setiap sediaan farmasi harus ditangani secara dini. - Penggunaan bahan awal yang memenuhi spesifikasi - Alat-alat yang digunakan harus memenuhi syarat dalam mempersiapkan sediaan steril. - Teknik manufaktur yang dilakukan - Persyaratan ruangan dan personil yang bekerja harus memahami dengan baik. Sediaan steril yaitu sediaan terapetis yang bebas mikroroganisme baik vegetatif atau bentuk sporanya baik patogen atau nonpatogen. Yang termasuk dalam sediaan steril : sediaan parenteral volum besar, sediaan parenteral volum kecil (injeksi), sediaan mata(tetes/salep mata) Proses Manufaktur Sediaan Parenteral Digolongkan menjadi 2 : 1. Proses sterilisasi akhir 2. Proses secara aseptik Mengapa sediaan parenteral harus steril? Obat secara langsung mengikuti sirkulasi cairan dalam tubuh. Penyuntikan sediaan yang terkontaminasi dengan mikroorganisme hidup (terutama patogen) akan menimbulkan banyak masalah dan komplikasi terutama terhadap pasien yang sedang sakit Macam-macam sediaan steril (USP) 1. Injeksi/obat suntik (volume kecil) : obat dilarutkan dalam pembawa yang cocok, dengan atau tanpa zat tambahan, ditujukan untuk pemberian parenteral. - -Pemberian injeksi : single dose atau multiple dose. Macam-macam sediaan steril 2. Infus : sama seperti injeksi, tapi diberikan dalam volume besar. Contoh : - Infus dextrosa : nutrisi dasar - Infus Ringer (ion natrium, kalium, kalsium) : untuk mengganti elektrolit yang hilang. - Kombinasi dextrosa & NaCl : untuk pengganti cairan tubuh karena dehidrasi Macam-macam sediaan steril (USP) 3. Radiopharmaceutical Bahan kimia radioaktif digunakan untuk tes/uji fungsi dari organ-organ tertentu, bukan merupakan bagian injeksi, tetapi masuk golongan radiopharmaceutical, karena obat- obatan ini merupakan bentuk radioaktif, teknik preparasi dan penanganan yang diperlukan berbeda dengan bentuk injeksi. Macam-macam sediaan steril (USP) 4. Sterile Solids Karena tidak stabil dalam bentuk injeksi, maka dibuat dalam bentuk kering dan dilarutkan pada waktu akan dipakai. - Jika dry solids tidak mengandung dapar, pengencer atau zat tambahan lain, maka pada etiket diberi tanda “Sterile......” co : Sterile Sodium Nafcilin Macam-macam sediaan steril (USP) - Jika dry solids terdiri dari dapar, pengencer atau zat tambahan lain, maka pada etiket diberi tanda “obat untuk injeksi” (.... for injection) co : “Amfoterisin B for injection”. - Perbedaan dalam penandaan diatas untuk menunjukkan ada/tidak adanya material yang ditambahkan. Macam-macam sediaan steril (USP) 5. Suspensi Steril -Obat-obat disuspensikan dalam pembawa yang cocok dan diberi etiket : steril ......suspension (obat steril suspensi) contoh: Sterile Hidrokortison Asetat Suspension. - Jika obat dalam bentuk kering dan akan disuspensikan ketika akan digunakan “sterile .....for suspension” contoh : Sterile Chloramfenicol for Suspension. Kedua tipe suspensi diatas tidak diberikan secara intra vena atau ke dalam ruang spinal. Macam-macam sediaan steril (USP) 6. Obat tetes mata larutan, suspensi dan salep - Contoh : Larutan OTM Sulfasetamid Na, suspensi OTM Hidrokortison Asetat. - Pada salep mata, zat aktif dan tambahan harus mempunyai ukuran yang mikronise dan basis harus non iritan, contoh Salep mata adalah : hidrokortison asetat dan gentamisin sulfat. Macam-macam sediaan steril (USP) 7. Larutan Irigasi - Larutan yang digunakan untuk merendam dan membilas luka terbuka, sayatan-sayatan bedah atau jaringan tubuh dan digunakan untuk topikal tidak untuk parenteral. - Pada etiket harus diberi tanda ...untuk irigasi contoh : Natrium Cl untuk irigasi. Macam-macam sediaan steril (USP) 8. Zat-zat diagnostik - Untuk tujuan diagnostik seperti Evans Blue Injection (untuk menentukan volume darah), Injeksi Radiopharmaceutical dsb. 9. Ekstrak Allergenik - Konsentrat steril : untuk tujuan diagnostik atau pengobatan reaksi-reaksi alergi. - Pada saat akan digunakan, ekstrak dilarutkan dalam konsentrasi yang diinginkan dengan teknik aseptik dan cairan steril sebagai pelarut. Macam-macam sediaan steril (USP) 10. Larutan dialisis peritonial - Untuk membuang kelebihan sampah tubuh, cairan tubuh, serum elektrolit dan untuk menghilangkan senyawa toksik yang secara normal dikeluarkan oleh ginjal. - Harus bebas pirogen, steril, bebas dari partikulat KLASIFIKASI OBAT SUNTIK/INJEKSI 1. Larutan sejati dengan pembawa air, contoh vitamin C, strikhnin NO3, Sulfadiazin Na, Na-ringer, Vitamin B1, Papaverin HCl, Ziemsen (As2O3 + NaOH), kinin antipirin. 2. Larutan sejati dengan pembawa minyak, contoh : Menadion, testosteron propionat, kamfer, dll. KLASIFIKASI OBAT SUNTIK/INJEKSI 3. Larutan sejati dengan pembawa pelarut campur : Fenobarbital natrium. 4. Suspensi steril dengan pembawa air : Kortison asetat, kortikotropin-seng hidroklorida. 5. Suspensi steril dengan pembawa minyak : Bismuth sub salisilat, prokain-penisilin. KLASIFIKASI OBAT SUNTIK/INJEKSI 6. Serbuk kering yang dilarutkan dalam pembawa air sesaat sebelum digunakan contoh : pentotal natrium, ampisilin, penisilin. 7. Serbuk kering yang disuspensikan dalam pembawa air sesaat sebelum digunakan : streptomisin, prokain- penisilin. 8. Emulsi steril : infus lemak, dll. Syarat-syarat sediaan steril 1. steril 2. isotonis 3.Isohidris 4. bebas pirogen 5. bebas partikel asing 6. kejernihan 7. Stabil baik secara fisika, kimia, maupun mikrobiologi 8. aman (tidak toksik) 9. Tidak terjadi reaksi antar bahan dalam formula 10. Penggunaan wadah yang sesuai, sehingga mencegah terjadinya interaksi dengan bahan obat 11. Sesuai antara bahan obat yang ada dalam wadah dengan etiket, dan tidak terjadi pengurangan kualitas selama penyimpanan Persyaratan Umum Sediaan Steril 1. Steril 2. Bebas pirogen (untuk obat suntik yang sekali penyuntikan diberikan >10 mL) 3. Isotoni (tonisitas) Jika larutan tertentu konsentrasinya sama besar dengan konsentrasi dalam sel darah merah sehingga tidak terjadi pertukaran cairan diantara keduanya (ekivalen dengan 0,9% NaCl) 4. Isohidri pH suatu larutan zat = pH cairan tubuh 7,4 Persyaratan Umum Sediaan Steril 5. Bentuk larutan jernih (berhubungan dengan stabilitas) Rute pemberian sediaan parenteral Intravena, intramuskuler,, subcutan, intradermal, dan intraspinal Absorbsi obat dipengaruhi oleh: banyaknya pembuluh darah yang mensuplai jaringan, sifat fisikokikima obat, karakteristik bentuk sediaan (larutan, suspensi, atau emulsi), sifat pembawa, dan pH Pemberian intravena dan intraspinal harus dalam bentuk larutan, sedangkan intramuskuler, subcutan, intradermal sediaan dapat berbentuk larutan, suspensi atau emulsi Pembawanya dapat berupa air, glikol ataupun minyak lemak Perhatikan adanya logam-logam dalam pembawa, misal adanya Cu (bisa bersumber dari air atau wadah) dapat mengoksidasi asam askorbat dalam larutan. Keuntungan dan kerugian sediaan parenteral Keuntungan: -lebih cepat efek terapinya dibandingkan penggunaan oral, dan dapat juga digunakan dengan tujuan memberikan efek yang lambat (sistem depot) , implant, dapat digunakan oleh pasien dalam keadaan tidak sadar, dapat digunakan untuk obat yang mengiritasi lambung atau rusak oleh cairan lambung, dapat untuk terapi keseimbangan elektrolit dalam tubuh Kerugian : mahal , butuh keahlian khusus dan alat khusus dalam menggunakannya, menimbulkan rasa sakit (tidak nyaman), adanya kekeliruan dosis atau obat tidak mungkin diperbaiki, terutama sesudah pemberian intravena. SEDIAAN PARENTERAL A. Penggolongan sediaan steril untuk parenteral 1. Larutan atau emulsi yang cocok untuk injeksi 2. Sediaan padat kering atau cairan kental, yang tidak mengandung zat tambahan, dengan pelarut yang cocok untuk injeksi 3. Sediaan padat kering atau cairan kental yang mengandung satu atau lebih zat tambahan 4. Sediaan padat bentuk suspensi dalam media yang cocok tidak untuk injeksi iv atau kolon spinal 5. Sediaan padat kering yang dengan penambahan pelarut yang cocok menjadi sediaan steril bentuk suspensi. SEDIAAN PARENTERAL B. Definisi Sediaan Parenteral Sediaan obat steril, dapat berupa larutan atau suspensi, yang dikemas sedemikian rupa hingga cocok untuk diberikan dalam bentuk injeksi hipodermis dengan pembawa atau zat pensuspensi yang cocok. RUTE, MASALAH DAN CATATAN YANG HARUS DIPERHATIKAN PADA PEMBERIAN OBAT SECARA PARENTERAL Pemberian obat secara parenteral : pemberian langsung ke dalam jaringan, rongga jaringan, atau kompartemen-kompartemen tubuh secara suntikan/ injeksi atau infus. Perkembangan teknik-teknik untuk pemberian obat secara parenteral dan penggunaannya telah berkembang pesat beberapa tahun terakhir ini. INDIKASI UMUM PEMBERIAN OBAT SECARA PARENTERAL 1. Untuk menjamin penyampaian obat yang masih belum banyak diketahui sifat-sifatnya ke dalam suatu jaringan yang sakit atau daerah target dalam tubuh dalam kadar yang cukup. Contoh : Pemberian injeksi antibiotik golongan aminoglikosida secara intraventrikular sulit menembus lapisan pembatas darah-otak- selaput otak dapat dilakukan pada penderita radang selaput otak/rongga otak akibat bakteri dan jamur. INDIKASI UMUM PEMBERIAN OBAT SECARA PARENTERAL 2. Pengendalian langsung terhadap beberapa parameter farmakologi tertentu, seperti waktu tunda, kadar puncak dalam darah, kadar dalam jaringan dll. 3. Menjamin dosis dan kepatuhan terhadap obat (khusus untuk penderita rawat jalan) 4. Mendapatkan efek obat yang tidak mungkin dicapai melalui rute lain : obat tidak dapat diab- sorpsi/rusak oleh asam lambung atau enzim jika diberikan secara oral contoh insulin. INDIKASI UMUM PEMBERIAN OBAT SECARA PARENTERAL 5. Untuk memberikan obat pada keadaan rute lain yang lebih disukai tidak memungkinkan, misal pada penderita yang saluran cerna bagian atas sudah tidak ada karena dioperasi. 6. Untuk menghasilkan efek secara lokal jika diinginkan yaitu untuk mencegah /meminimum- kan reaksi toksik sistemik : pemberian metotreksat secara injeksi intra tekal pada penderitan leukemia. 7. Penderita yang tidak sadarkan diri/tidak dapat kerja sama (gila) INDIKASI UMUM PEMBERIAN OBAT SECARA PARENTERAL 8. Memperbaiki dengan cepat cairan tubuh atau ketidakseimbangan elektrolit/ mensuplai kebutuhan nutrisi. 9. Mendapatkan efek lokal yang diinginkan : anastesi lokal pada pencabutan gigi. KERUGIAN PEMBERIAN OBAT SECARA PARENTERAL 1. Harus dilakukan oleh personel yang terlatih dan membutuhkan waktu lebih banyak daripada pemberian obat bentuk lain. 2. Rasa nyeri pada lokasi penyuntikan 3. Sukar sekali untuk merubah/menghilangkan efek fisiologisnya jika obat sudah berada dalam sirkulasi sistemik. 4. Harga sediaan parenteral lebih mahal dibandingkan sediaan yang lain karena persyaratan manufaktur dan pengemasan KERUGIAN PEMBERIAN OBAT SECARA PARENTERAL 5. Masalah yang timbul setelah pemberian parenteral : septisemia, infeksi jamur, inkompatibilitas karena pencampuran sediaan parentera dan antaraksi obat. FAKTOR FARMASETIK YANG MEMPENGARUHI PEMBERIAN OBAT SECARA PARENTERAL 1. Kelarutan obat dan volume injeksi - Obat harus terlarut sempurna, lebih disukai dalam air, sebelum dapat diberikan secara injeksi intra vena. - Kelarutan obat dalam pembawa dan dosis yang diperlukan untuk menghasilkan efek terapetik akan menentukan volume injeksi yang harus diberikan. - Rute pemberian obat secara parenteral selain iv memiliki keterbatasan dalam hal volume injeksi yang dapat diberikan. FAKTOR FARMASETIK YANG MEMPENGARUHI PEMBERIAN OBAT SECARA PARENTERAL 2. Karakteristik Bahan Pembawa - Pembawa air : dapat diberikan melalui rute parenteral apa saja. - Pembawa non air : yang dapat bercampur atau tidak dengan air biasanya diberikan dengan intra muskular. - Larutan suntik dengan pelarut campur (diazepam, digoksin, fenitoin) dapat iv, hati-hati pengaturan kecepatan penyuntikan untuk mencegah terjadinya pengendapan senyawa obat pada daerah penyuntikan. FAKTOR FARMASETIK YANG MEMPENGARUHI PEMBERIAN OBAT SECARA PARENTERAL 3. pH atau osmolaritas larutan injeksi Larutan suntik harus diformulasi pada pH dan osmolaritas yang sama dengan cairan tubuh (isohidri dan isotoni). Tidak dapat dipenuhi oleh semua obat karena masalah stabilitas, kelarutan atau dosis. - Misal : diazoksid dibuat pada pH 11,6 karena pH tersebut pH stabilitasnya. Difenilhidantoin (pH 12) dan tetrasiklin HCl (pH 2) untuk mendapatkan larutan yang sempurna dalam dosis yang dibutuhkan. FAKTOR FARMASETIK YANG MEMPENGARUHI PEMBERIAN OBAT SECARA PARENTERAL Kadang-kadang larutan parenteral hipertonis karena mengandung kadar obat yang tinggi untuk mencapai kadar obat dalam darah yang efektif, misal : - Obat tetes mata sulfasetamid - Larutan nutrisi yang mengandung dosis tinggi asam amino, dekstrosa dll. Larutan yang sangat hipertonis : harus diberikan melalui vena yang sangat besar (subclevian) vena tsb akan masuk langsung ke dalam jantung cepat diencerkan dengan vol. besar FAKTOR FARMASETIK YANG MEMPENGARUHI PEMBERIAN OBAT SECARA PARENTERAL Pada umumnya larutan parenteral hipertonis dikontraindikasikan untuk penyuntikan sub kutan atau intramuskular. 4. Jenis bentuk sediaan obat Suspensi : hanya intramuskular atau sub kutan. Tidak boleh iv atau rute parenteral selain diatas obat langsung masuk ke cairan biologis atau jaringan sensitif (otak dan mata). Serbuk untuk injeksi harus dilarutkan sempurna dalam pembawa yang sesuai sebelum diberikan. FAKTOR FARMASETIK YANG MEMPENGARUHI PEMBERIAN OBAT SECARA PARENTERAL 5. Komposisi bahan pembantu - Sediaan parenteral untuk pemakaian berulang mengandung antimikroba sebagai pengawet. Bahan pengawet dikontraindikasikan untuk pemberian ke dalam cairan serebrospinal atau intra okular dapat terjadi efek toksik. - Dapat mengandung surfaktan mendapatkan kelarutan yang sesuai. Surfaktan dapat merubah permeabilitas membran, sehingga harus diketahui keberadaannya ketika akan diberikan secara sk atau im. RUTE-RUTE SPESIFIK Rute Utama : Intramuskular, intravena dan sub kutan. Ketiga rute utama tersebut memuaskan untuk keempat alasan pemberian obat secara parenteral : pengobatan, pencegahan, diagnosis dan mengubah sementara fungsi jaringan untuk mempermudah pengobatan. Rute lain : intraokular, intratekal dll. RUTE-RUTE UTAMA - INTRAMUSKULAR I. Intramuskular - Injeksi langsung ke dalam bagian otot relaksasi, meliputi otot gluteal, deltoid, trisep, pektoral dan vastus lateralis. Otot gluteal : dapat diinjeksikan dengan volume besar. Vastus lateralis : mentolerir volume besar, jauh dari pembuluh darah dan syaraf-syaraf. - Untuk sediaan kerja diperlama. Sediaan dalam bentuk larutan lebih cepat diabsorpsi daripada suspensi atau larutan dengan pembawa minyak. INTRAMUSKULAR - Larutan sedapat mungkin dibuat isotoni - Zat aktif dengan kerja lambat serta mudah terakumulasi dapat menimbulkan keracunan. - Contoh : Injeksi kamfer, injeksi kinin antipirin, injeksi fenilbutazon, injeksi amidopirin, injeksi kortison asetat. INTRAVENA II. Intravena Injeksi langsung ke dalam vena (pembuluh darah). Dalam jumlah kecil tidak mutlak harus isotoni dan isohidri. Dalam jumlah besar harus isotoni dan isohidri Tidak tepat untuk zat aktif yang merangsang dinding pembuluh darah. Tidak diperkenankan penggunaan zat aktif penyebab hemolisa seperti plasmokhin, saponin, nitrobenzol, nitrit dan sulfonal. INTRAVENA Sediaan yang diberikan umumnya berbentuk larutan sejati dengan pembawa air. Penggunaan suspensi masih dipertentangkan dengan membatasi ukuran partikel zat aktif < 0,1 µm, ukuran yang lebih besar dapat menyebabkan emboli. Pemberian larutan 10 mL atau lebih besar sekali suntik, harus bebas pirogen. Contoh : injeksi kalsium glukonat, injeksi aminofilin, infus glukosa, infus Ringer. TUJUAN PEMBERIAN INTRAVENA Tujuan pemberian intravena : a. Menjamin penyampaian dan distribusi obat dalam keadaan syok b. Mengembalikan segera kesetimbangan elektrolit dan cairan tubuh c. Efek farmakologis yang segera (darurat) d. Pengobatan infeksi yang serius e. Pemberian nutrisi secara kontinyu f. Mencegah komplikasi lainnya jika diberikan melalui rute lainnya. g. Untuk tujuan khusus : transfusi darah, plasmaferesis dll. KOMPLIKASI INTRA VENA Komplikasi yang dapat terjadi karena pemberian secara intravena : a. Trombosis b.Penyuntikan mikroorganisme, toksin, partikel atau udara. c. Ketidaktercampuran fisik atau kimia beberapa senyawa sebelum atau pada saat penyuntikan. d. Pemberian obat yang tidak terkontrol dan berlebihan SUB KUTAN III. Sub Kutan Penyuntikan dilakukan ke dalam jaringan longgar di bawah kulit (dermis), disuntikkan ke dalam tubuh melalui bagian yang sedikit lemaknya. Larutan yang disuntikkan sebaiknya isotoni dan isohidri dengan kerja zat aktif lebih lambat dibandingkan dengan pemberian intravena dan intramuskular. Larutan yang sangat menyimpang isotoninya dapat menimbulkan rasa nyeri atau nekrosis dan absorpsi zat aktif tidak optimal. Obat yang diberikan melalui rute sk : insulin, vaksin, narkotika, epinefrin, vit B12. Obat yang tidak boleh diberikan melalui rute sk : yang bersifat asam kuat, basa kuat, iritan, yang dapat menimbulkan rasa sakit, inflamasi, nekrosis jaringan. RUTE LAIN- Hipodermoklisis 1. Hipodermoklisis - Pemberian sediaan larutan injeksi dalam jumlah besar/infus melalui rute subkutan. - Dilakukan jika absorpsi dengan kecepatan yang rendah diinginkan jika tidak ada vena yang cocok yang dapat dipakai (pada bayi atau lansia). - Penyuntikan harus perlahan untuk mencegah terjadinya pembengkakan. Intraperitonial 2. Intraperitonial/intraabdominal Injeksi yang dilakukan ke dalam rongga peritonial (rongga perut) dengan jarum/kateter, atau penyuntikan langsung ke dalam organ-organ abdominal seperti hati, ginjal atau kandung kemih. Absorpsinya cepat Untuk pengobatan penyakit secara lokal atau yang tersebar di dalam abdomen/perut yang disebabkan oleh infeksi atau tumor. Komplikasi pada ip : peritonitis dan haemorrhage Intraarterial 3. Intra-arterial - Langsung ke dalam arteri (pembuluh nadi) yang akan membawa obat langsung ke dalam organ sasaran. - Untuk tujuan diagnostik - Cukup berbahaya, karena sediaan tidak mengalami penyaringan terlebih dahulu oleh paru-paru, hati atau ginjal. - Sediaan yang terkontaminasi (mikroorganisme, endotoksin, partikel yang tidak larut) dapat menyebabkan komplikasi atau reaksi yang serius seperti infeksi atau penyumbatan pembuluh nadi. Intraartikular 4. Intraartikular - Injeksi ke dalam kantong sinovial dari sejumlah persendian yang dapat dicapai. - Beberapa antiobiotika, lidokain, ester kortikosteron dapat diberikan melalui rute ini untuk pengobatan infeksi rasa nyeri, inflamasi, dsb. - Infeksi iatrogenik (mengakibatkan rusaknya sendi): komplikasi setelah dilakukan injeksi intraartikular Intrakardiak 5. Intrakardiak - Langsung ke dalam bilik-bilik jantung. - Tidak direkomendasikan, kecuali kasus-kasus khusus seperti berhentinya jantung. - Otot jantung, pembuluh nadi koroner dapat rusak akibat pemberian obat secara intrakardiak. Intrasisternal 6. Intrasisternal - Langsung ke dalam rongga sisternal (sumsum tulang belakang) sekeliling dasar otak. - Untuk tujuan diagnostik - Rute ini cukup berbahaya, dapat menyebabkan terjadinya kelumpuhan syaraf atau kematian. Intraderma/Intrakutan 7. Intraderma/Intrakutan - Disuntikkan ke dalam kulit - Sejumlah zat diagnostik antigen (misal tuberkulin) dan vaksin (misal smallpox) diberikan melalui rute ini. - Volume yang diinjeksikan tidak lebih dari 0,1 mL. - Absorpsi sangat lambat. Intralesional, intraokular 8. Intralesional - Injeksi yang dilakukan langsung ke dalam atau sekitar luka, yang biasanya terdapat pada kulit. - Diberikan jika diinginkan efek lokal yang kuat : tetanus, antisera rabies. 9. Intraokular - Ke dalam mata meliputi 3 daerah : ruang anterior, intravitreal, retrobulbar. - Untuk infeksi dan inflamasi mata. Intrapleural 10. Intrapleural - Ke dalam rongga selaput dada, biasanya dilakukan hanya 1 kali (single injection). - Untuk infeksi atau penyakit berbahaya yang berkaitan dengan rongga selaput dada. - Komplikasi yang dapat terjadi : pneumothorax, perdarahan intrapleural. Intratekal 11. Intratekal - Langsung ke dalam kantung lumbar (sumsum tulang belakang), terletak pada ujung kaudal dari spinal cord - Larutan harus isotoni dan isohidri. - Untuk maksud anastesi digunakan larutan yang hipertoni. - Untuk tujuan diagnostik, dapat juga untuk pengobatan infeksi atau tumor pada sepanjang jaringan syaraf tulang punggung. Intrauterin 12. Intra-uterin - Injeksi/infus dilakukan ke dalam uterus pada keadaan hamil. - Pada minggu keenambelas kehamilan untuk tujuan aborsi. - Tujuan diagnostik - Komplikasi : amnionitis dan myometritis Intraventrikular 13. Intraventrikular - Injeksi/infus ke dalam rongga-rongga sisi otak. - Untuk pengobatan infeksi atau penyakit kanker yang melibatkan membran atau cairan serebrospinal sekeliling sistem syaraf pusat. Misal pada pengobatan meningitis jamur dengan amfoterisin B atau pengobatan sel-sel leukemia yang masuk dengan metotreksat. - Pemakaian rute ini sangat berbahaya, dapat menyebabkan kelumpuhan/kematian, inflamasi dari sistem. DISTRIBUSI OBAT YANG DIBERIKAN SECARA PARENTERAL Zat-zat yang diberikan secara im, iv, sk masuk ke dalam sistem sirkulasi melalui pembuluh balik atau limfatik. Sebelum dipompakan ke dalam sirkulasi pembuluh nadi oleh jantung, zat tsb pertama kali harus melewati paru-paru. Pembuluh kapiler paru-paru berfungsi ganda : filter dan reservoir. Juga berfungsi tempat metabolisme untuk senyawa-senyawa tertentu. DISTRIBUSI OBAT YANG DIBERIKAN SECARA PARENTERAL Setelah injeksi iv, obat yang masuk ke dalam paru- paru akan terdistribusi ke seluruh volume distribusinya. Setelah injeksi im dan sk, obat yang diabsorpsi juga akan didistribusikan oleh paru-paru, namun ada waktu tunda antara saat injeksi dengan munculnya obat dalam darah. Faktor yang mempengaruhi distribusi obat yang disuntikan secara sk dan im: 1. Kelarutan Obat - Kelarutan obat dalam pembawa dan kelarutan obat dalam cairan tubuh. - Obat bentuk larutan : faktor kelarutan dalam pembawa tidak ada. - Suspensi : kecepatan pelarutan obat dalam pembawa dan kelarutan obat dalam cairan jaringan tempat penyuntikan akan menentukan kecepatan absorpsi obat. Faktor yang mempengaruhi distribusi obat yang disuntikan secara sk dan im: - Kecepatan pelarutan obat dalam bentuk suspensi yang disuntikkan tergantung : ukuran partikel obat, pH cairan jaringan tempat penyuntikan, bentuk kristal dan koefisien obat. 2. Koefisien Partisi Obat - Makin rendah kelarutan obat dalam lemak, makin rendah koefisien partisi, dan makin lambat absorpsi obat ke dalam sistem sirkulasi terjadi. Faktor yang mempengaruhi distribusi obat yang disuntikan secara sk dan im 3. Kecepatan aliran darah pada tempat penyuntikkan - Makin cepat aliran darah kapiler ke dan dari tempat penyuntikan, makin tinggi kecepatan absorpsi obat akan terjadi. 4. Penguraian obat pada tempat penyuntikan - Distribusi obat akan terhambat jika terjadi penguraian atau metabolisme obat pada tempat penyuntikan Faktor yang mempengaruhi distribusi obat yang disuntikan secara sk dan im 5. Ukuran Partikel Obat Ukuran partikel obat dalam sediaan suspensi akan mempengaruhi kecepatan obat dalam sediaannya. Makin besar ukuran partikel, makin lambat pelarutan terjadi. 6. Bahan Pembantu - Dapat mempengaruhi distribusi obat dari tempat penyuntikan. - Kekentalan yang tinggi dapat menghambat distribusi dan transport obat dari tempat penyuntikan ke dalam sirkulasi sistemik MASALAH YANG HARUS DIPERHATIKAN BERKAITAN DENGAN PEMBERIAN OBAT SECARA PARENTERAL 1. Bahaya atau komplikasi umum - Sepsis, Trombosis (intravena, intra- arterial), flebitis (iv), pendarahan (tergantung kondisi pasien), reaksi terhadap bahan asing yang tidak terlarut (terutama iv atau intra arterial), ketidaktercampuran, reaksi karena pH dan tonisitas ekstrim, reaksi hipersensitivitas, over dosis, emboli udara ( iv dan intraarterial), demam dan keracunan. MASALAH YANG HARUS DIPERHATIKAN BERKAITAN DENGAN PEMBERIAN OBAT SECARA PARENTERAL 2. Bahaya dan komplikasi khusus - Disebabkan oleh senyawa yang disuntikkan, meliputi beberapa efek samping yang sifatnya idiosinkratik terhadap senyawa yang diberikan (trombositopenia, anemia, neutropenia), imunosupresi, aritmia, rasa nyeri. METODE DAN PERALATAN UNTUK MEMBANTU PEMBERIAN OBAT Pompa (dapat ditanam atau eksternal) Kanula dan kateter Alat suntik (disposable atau reusable) Filter akhir untuk intravena Heparin lock Stopcock Piggybacks Penghubung “Y” Pengendali aliran Kawat pembimbing untuk pemasangan kateter, dll. JENIS-JENIS PELARUT 1. Pelarut Air 2. Pelarut non air yang dapat bercampur dengan air 3. Pelarut non air yang tidak dapat bercampur dengan air. PELARUT AIR Air merupakan pelarut yang paling banyak digunakan dalam sediaan injeksi karena sifatnya yang dapat bercampur dengan cairan fisiologis tubuh : a. Air mempunyai harga konstanta dielektrik yang tinggi sehingga dapat melarutkan senyawa an- organik seperti elektrolit. b. Air mempunyai kemampuan membentuk ikatan hidrogen sehingga air dapat melarutkan sejumlah senyawa organik seperti alkohol, aldehid, keton, dll. Persyaratan Air pro Injeksi (USP) 1. Harus dibuat segar dan bebas pirogen 2. Jumlah zat padat terlarut total tidak boleh lebih dari 10 ppm. 3. pH 5,0 – 7,0 4. Tidak boleh mengandung ion-ion klorida, sulfat, kalsium, amonium, nitrat, nitrit. 5. Batas logam berat 6. Batas bahan-bahan organik seperti tanin dan lignin 7. Batas jumlah partikel Air pro Injeksi Bebas CO2 CO2 yang bersifat asam lemah mampu menguraikan garam natrium dari senyawa organik seperti barbiturat dan sulfonamida kembali membentuk asam lemahnya yang mengendap. Fenobarbital natrium (1:3 bagian air) + CO2 + H2O Fenobarbital (endapan) (1:1000 bagian air) + Na2CO3 Air pro Injeksi Bebas CO2 Sulfadiazin natrium (1:2 bagian air) + CO2 + H2O Sulfadiazin (endapan) (sangat sukar larut dalam air) + Na2CO3 Aminofilin yang terdiri dari teofilin dan etilendiamin dengan adanya CO2 dapat menyebabkan terbentuknya teofilin (endapan) yang kelarutannya 1:120 bagian air Air pro Injeksi Bebas CO2 Air pro Injeksi bebas CO2 dibuat dengan jalan mendidihkan air pro injeksi selama 20-30 menit setelah air mendidih, lalu dialiri gas nitrogen sambil didinginkan. Air pro Injeksi Bebas Oksigen Dibuat dengan jalan mendidikan air pro injeksi selama 20-30 menit, dihitung setelah air mendidih, jika dibutuhkan dalam jumlah besar maka saat pendinginan dialiri gas nitrogen. Digunakan untuk melarutkan zat aktif yang mudah teroksidasi seperti : apomorfin, klorfeniramin, klorpromazin, ergometrin, ergotamin, metilergometrin, proklorperazin, promazin, promezatin HCl, sulfadimidin, tubokurarin. PELARUT NON AIR Digunakan bila : 1. Zat aktif tidak larut dalam pembawa air 2. Zat aktif terurai dalam pembawa air 3. Diinginkan kerja depo dari sediaan PEMILIHAN PELARUT NON AIR 1. Tidak toksis, tidak mengiritasi dan tidak menyebabkan sensitisasi 2. Dapat tersatukan dengan zat aktif 3. Tidak memberikan efek farmakologi yang merugikan 4. Stabil dalam kondisi di mana sediaan tersebut biasanya digunakan 5. Viskositasnya harus sedemikian rupa sehingga dapat disuntikkan dengan mudah. PEMILIHAN PELARUT NON AIR 6. Pelarut tersebut harus tetap cair pada rentang suhu yang cukup lebar. 7. Mempunyai titik didih yang tinggi sehingga dapat dilakukan sterilisasi yang menggunakan panas. 8. Dapat bercampur dengan air atau cairan tubuh. Pada umumnya tidak ada pelarut yang dapat memenuhi seluruh kriteria di atas, oleh karena itu biasanya diambil jalan tengah yaitu dengan memenuhi beberapa kriteria saja. PELARUT NON AIR YANG DAPAT BERCAMPUR DENGAN AIR Sebagai ko-solven dalam sediaan injeksi untuk meningkatkan kelarutan suatu obat yang kurang larut dalam air. Meningkatkan stabilitas zat-zat tertentu yang mudah terhidrolisis, contoh pembuatan injeksi fenobarbital dengan pelarut yang terdiri dari campuran air, etanol dan propilen glikol (solutio petit) PELARUT NON AIR YANG DAPAT BERCAMPUR DENGAN AIR : 1. Etanol Banyak digunakan terutama pada injeksi glikosida digitalis Injeksi yang mengandung etanol bila disuntikkan secara intramuskular akan menimbulkan rasa nyeri; secara sub kutan akan menimbulkan nyeri yang diikuti dengan anastesia; jika disuntikkan pada daerah yang dekat syaraf maka dapat mengakibatkan degenerasi syaraf dan neuritis; secara intravena (tidak disarankan) harus hati- hati karena pemberian yang terlalu cepat akan mengakibatkan bahaya pengendapan obat dalam darah. 2. Propilen glikol Banyak digunakan dalam pembuatan sediaan injeksi senyawa golongan barbiturat, beberapa alkaloida dan antibiotika. Sediaan yang mengandung propilen glikol dapat menimbulkan rasa nyeri dan iritasi pada tempat penyuntikan, sehingga perlu ditambahkan lokal anastetik seperti benzil alkohol. 3. Polietilen glikol Ko solven dalam pembuatan sediaan injeksi adalah yang mempunyai bobot molekul rendah (300-400) dan berbentuk cairan. Penggunaan kosolven senyawa glikol (propilen atau polietilen) dalam pembuatan injeksi senyawa golongan barbiturat dapat meningkatkan stabilitas senyawa tersebut. 4. Gliserin Merupakan cairan yang jernih dan kental, titik didih tinggi, dapat bercampur dengan air maupun alkohol dan merupakan pelarut yang baik untuk beberapa zat. Penggunaan dalam dosis tinggi dapat menimbulkan efek konvulsi dan gejala paralitik karena kerja langsung gliserin terhadap susunan syaraf pusat. Pada dosis rendah (5%) tidak terlihat adanya efek toksik. PELARUT NON AIR YANG TIDAK DAPAT BERCAMPUR DENGAN AIR Minyak hewan : Tidak digunakan sebagai pembawa Minyak mineral atau parafin cair: tidak boleh digunakan karena tidak dapat dimetabolisme tubuh dan dapat menimbulkan tumor atau reaksi terhadap jaringan Minyak tumbuhan : 1. Mudah tengik, karena mengandung asam lemak bebas terutama asam lemak tidak jenuh. Untuk mengatasi ketengikan dengan menambahkan antioksidan (BHA, BHT). PELARUT NON AIR YANG TIDAK DAPAT BERCAMPUR DENGAN AIR 2. Sering menimbulkan rasa nyeri sehingga perlu penambahan benzil alkohol 5% untuk anastesi lokal. 3. Jenis minyak tumbuhan yang digunakan harus dicantumkan dalam etiket. 4. Digunakan untuk injeksi zat aktif : Deoksikortison asetat, dimerkaprol, nandrolon fenilpropionat, progesteron, testosteron propionat, propiliodon, estradiol benzoat, testosteron fenilpropionat. 5. Jenis minyak tumbuhan yang digunakan : ol. Arachidis, ol. Gossypii, ol. Terebinthinae, Ol. Maydis, Ol. Sesami, Ol. Olivarum neutral, Ol. Amygdalarum. PELARUT NON AIR YANG TIDAK DAPAT BERCAMPUR DENGAN AIR Minyak Semi Sintetis : Milgyol-minyak netral Ester asam lemak : 1. Menghasilkan larutan yang lebih encer daripada pembawa minyak sehingga lebih mudah disuntikkan meski kerja depo yang timbul tidak selama pembawa minyak. 2. Kadangkala dikombinasi dengan senyawa alkohol seperti etanol atau benzil alkohol untuk memperbaiki kelarutan zat aktif. 3. Contohnya adalah etil oleat, isopropil miristat, polioksilen trigliserida oleat. Tonisitas Tonisitas menggambarkan tekanan osmose yang diberikan oleh suatu larutan (zat padat yang terlarut di dalamnya) Suatu larutan dapat bersifat isotonis, hipotonis, atau hipertonis NaCl 0,9 % sebagai larutan pengisotoni Tidak semua sediaan steril harus isotonis, tapi tidak boleh hipotonis, beberapa boleh hipertonis Pengaturan Tonisitas Pengaturan tonisitas adalah suatu upaya untuk mendapatkan larutan yang isotonis. Upaya tersebut meliputi pengaturan formula sehingga formula yang semula hipotonis menjadi isotonis,dan langkah kerja pengerjaan formula tersebut. Ada dua kelas untuk pengaturan tonisitas : 1. Metode Kelas satu 2. Metode kelas 2 Metode Pengaturan tonisitas Metode Kelas Satu Dari formula yang ada (termasuk jumlah solvennya) dihitung tonisitasnya dengan menentukan ΔTf – nya, atau kesetaraan dengan NaCl. Jika ΔTf-nya kurang dari 0,52O atau kesetaraannya dengan NaCl kurang dari 0,9 %, dihitung banyaknya padatan NaCl, yang harus ditambahkan supaya larutan menjadi isotonis. Cara pengerjaannya semua obat ditimbang, ditambah NaCl padat, diatamabah air sesuai formula. Metode kelas satu meliputi metode kriskopik (penurunan titik beku), perhitungan dengan faktor disosiasi dan metode ekuivalensi NaCl Metode Pengaturan tonisitas (lanjutan) Metode Kelas Dua Dari formula yang ada (selain solven) hitung volume larutannya yang memungkinkan larutan menjadi isotonis. Jika volume ini lebih kecil dari pada volume dalam formula, artinya larutan bersifat hipotonis. Kemudian hitunglah volume larutan isotonis, atau larutan dapar isotonis, yang ditambahkan berupa larutan NaCl 0,9%, bukan padatan NaCl, misalnya NaCl 0,9 % yang harus ditambahkan dalam formula tadi untuk mengganti posisi solven selisih volume formula dan volume larutan isotonis. Metode kelas dua meliputi metode White-Vincent dan metode Sprowls. ISOTONI Jika suatu larutan konsentrasinya sama besar dengan konsentrasi dalam sel darah merah sehingga tidak terjadi pertukaran cairan di antara keduanya, maka larutan tersebut dikatakan isotoni (ekivalen dengan 0,9% NaCl) ISOOSMOTIK Jika suatu larutan memiliki tekanan osmosa sama dengan tekanan osmose serum darah, maka larutan tersebut dikatakan isoosmotik (0,9% NaCl memiliki tekanan osmose 6,86 atm) Umumnya larutan isoosmotik identik dengan larutan isotoni, artinya secara fisiologis (terutama terhadap sel darah merah) memiliki kondisi yang sama (ekivalen dengan 0,9% NaCl) HIPOTONI Turunnya titik beku kecil, tekanan osmosenya lebih rendah dari serum darah menyebabkan air akan melintasi membran sel darah merah yang semipermeabel memperbesar volume sel darah merah dan menyebabkan peningkatan tekanan dalam sel. Tekanan yang lebih besar menyebabkan pecahnya sel-sel darah merah. Peristiwa demikian dikenal dengan Hemolisa. HIPOTONI Jadi, bila larutan hipotonis disuntikkan (mempunyai tekanan osmosis yang lebih kecil dari cairan tubuh), maka air akan diserap masuk ke dalam sel tubuh dan akan mengembang atau dapat terjadi pecah sel. HIPERTONI Turunnya titik beku besar, tekanan osmosenya lebih tinggi dari serum darah menyebabkan air keluar dari sel darah merah melintasi membran semipermeabel mengakibatkan terjadinya penciutan sel-sel darah merah, peristiwa demikian dikenal dengan nama Plasmolisa Hipertoni Jadi, bila larutan hipertonis disuntikkan, (tekanan osmosa lebih tinggi dari cairan tubuh), maka air dari sel akan ditarik keluar dan sel akan mengkerut. Toleransi tubuh : dapat mengimbangi penyimpangan- penyimpangan isotonis sampai 10%. Larutan yang hipertonis masih dapat ditolerir oleh tubuh lebih baik. Isotonis perlu diperhatikan pada cara-cara penyuntikan : 1. sk, bila tidak isotonis akan menimbulkan sakit, sel- sel di sekitar penyuntikan dapat rusak (nekrosis), penyerapan obat menjadi tidak baik. 2. Intra lumbal: bila terjadi perubahan dalam cairan lumbal, dapat timbul perangsangan pada selaput otak. 3. Intra vena, bila diberikan infus, bila terlalu jauh menyimpang dari isotonis ada kemungkinan terjadi hemolisis. Pada volume kecil, pemberian intra vena, isotonis tidak perlu diperhatikan, kecuali pada jumlah yang besar. Bahan Pembantu Pengatur Tonisitas NaCl Glukosa Sukrosa KNO3 NaNO3 METODE PERHITUNGAN ISOTONI 1. Metode Penurunan Titik Beku 2. Metode Ekivalensi NaCl 3. Metode White Vincent 4. Metode Sprowls 5. Metode Grafik 1. Metode Penurunan Titik Beku Turunnya titik beku serum darah atau cairan lakrimal sebesar -0,52oC; setara dengan larutan 0,9% NaCl yang isotoni baik terhadap serum darah maupun air mata. Makin besar konsentrasi zat terlarut makin besar turunnya titik beku, jadi turunnya titik beku dipengaruhi oleh jumlah molekul atau ion yang terdapat dalam larutan. Metode L iso (untuk mencari ∆tb) ∆tb = L iso x Berat x 1000 BM x V ∆tb : penurunan titik beku Liso : harga tetapan; non elektrolit=1,86; elektrolit lemah = 2; uni univalen=3,4 BM= berat molekul V = volume larutan dalam mL Berat = dalam g zat terlarut Contoh Soal Berapa ∆tb dari 1% larutan Na-propionat (BM=96). Na propionat adalah uni univalen elektrolit; L iso = 3,4 Jawab : ∆tb = 3,4 x 1 x 1000 96 x 100 = 3,4 x 0,104 = 0,35o Tabel Nilai L iso untuk beberapa tipe ionik Tipe L iso Contoh
Non elektrolit 1,9 Sukrosa, gliserin, urea,
campher Elektrolit 2,0 Asam borat, kokain, lemah fenobarbital Di-divalen 2,0 Magnesium sulfat, zink elektrolit sulfat Tabel Nilai L iso untuk beberapa tipe ionik
Uni-univalen 3,4 NaCl, kokain HCl, Na-
elektrolit fenobarbital Uni-divalen 4,3 Na-sulfat, atropin elektrolit sulfat Di-univalen 4,8 Zink klorida, kalsium elektrolit bromida Uni-trivalen 5,2 Na-sitrat, Na-fosfat elektrolit Tabel Nilai L iso untuk beberapa tipe ionik
Tri-univalen 6,0 Aluminium klorida,
elektrolit ferri iodida Tetraborat 7,6 Sodium borat, kalium elektrolit borat Metode Penurunan Titik Beku (Cara BPC) W = 0,52 – a b W = jumlah (g) bahan pembantu isotoni dalam 100 mL larutan a = perkalian penurunan titik beku disebabkan oleh 1% zat dengan kadar zat b = penurunan titik beku air yang dihasilkan oleh 1% b/v bahan pembantu isotoni, jika NaCl= 0,576 Contoh Soal Berapa NaCl yang dibutuhkan untuk membuat larutan Apomorfin HCl 1%, supaya isotonis dengan serum darah. ∆tb apomorfin = 0,08 Jawab : W = 0,52 – (0,08 x 1) = 0,76 g 0,576 Jadi, supaya larutan isotoni maka : R/ Apomorfin 1g NaCl 0,76 g Aq ad 100 mL 2. Metode Ekivalensi NaCl Ekivalensi NaCl = E = adalah jumlah NaCl yang mempunyai tekanan osmosa yang sama dengan 1 g zat khasiat, dengan rumus : E = 17 Liso BM Misal : ekivalensi NaCl asam borat 0,55 berarti 1 g asam borat dalam larutan memberikan efek osmotik yang sama dengan 0,55 g NaCl Metode Ekivalensi NaCl Cara Menghitung : 1. Tentukan harga E NaCl untuk setiap zat yang dilarutkan, jika perlu diperbanyak dengan besarnya konsentrasi zat dalam larutan. 2. Jumlahkan NaCl yang dibutuhkan untuk setiap zat terlarut. 3. Tentukan selisih jumlah NaCl diatas terhadap jumlah NaCl isotoni (0,9%). Selisih tersebut adalah jumlah NaCl yang harus ditambahkan untuk mencapai isotoni. 2. Metode Ekivalensi NaCl 4. Jika zat terlarut tidak tersatukan dengan ion klorida dari NaCl maka zat seperti glukosa, KNO3, NaNO3 dapat digunakan untuk menggantikan NaCl. Jumlah yang harus ditambahkan merupakan hasil bagi antara jumlah NaCl yang harus ditambahkan dengan E NaCl zat-zat tersebut. Contoh Soal 1. Hitung ekivalensi NaCl dari KCl Jawab : KCl termasuk dalam tipe 2B (uni-univalen elektrolit). Lihat tabel, harga Liso = 3,4 BM KCl= 74,55 E = 17 . 3,4 = 0,78 74,55 Jadi 1 g KCl memberikan efek osmotik yang sama dengan 0,78 g NaCl Contoh Soal 2. Suatu larutan mengandung 1 g efedrin sulfat dalam 100 mL. Berapa jumlah NaCl yang ditambahkan agar larutan isotonis? Berapa jumlah dekstrosa yang ditambahkan untuk tujuan tersebut? Diketahui : E efedrin sulfat = 0,23 E dekstrosa = 0,16 Ingat : 1 g efedrin sulfat mempunyai efek osmotik yang sama dengan 0,23 g NaCl Jawab: Efedrin sulfat 1,0 g x 0,23 =0,23 g NaCl NaCl yang dibutuhkan agar larutan isotonis (0,9- 0,23)=0,67 g NaCl Jadi NaCl yang ditambahkan agar larutan isotonis = 0,67 g E dekstrosa = 0,16 1 g dekstrosa mempunyai efek osmotik yang sama dengan 0,16 g NaCl 1 g dekstrosa~0,16 g NaCl X g dekstrosa~0,67 g NaCl X = 0,67 x 1 g dekstrosa 0,16 = 4,1875 g dekstrosa Dari hasil diatas dapat digunakan rumus : X=Y E Dimana X= gram dari zat pengisotoni yang diperlukan untuk meng’adjust tonisitas Y = penambahan jumlah NaCl agar isotonis E= gram dari NaCl ekivalen dengan 1 g zat pengisotoni 3. Buat 200 mL larutan isotonis thimerosal, BM = 404,84 g/mol. Konsentrasi 1:5000 atau 0,2 g/1000 mL. Liso = 3,4 Hitung E NaCl thimerosal, jumlah NaCl yang ditambahkan agar larutan isotonis. Diketahui bahwa NaCl berinteraksi dengan merkuri pada thimerosal yaitu dapat mengurangi stabilitas dan efektifitas sediaan. Maka diputuskan untuk mengganti NaCl dengan propilen glikol sebagai zat pengisotoni. Diketahui : Liso propilen glikol= 1,9 BM=76,09 Jawab : Hitung dulu E NaCl thimerosal E = 17. Liso = 17 . 3,4 = 0,143 BM 404,84 Larutan thimerosal : c=0,2 g/1000 mL Akan dibuat 200 mL jadi 0,04 g/200 mL Berat thimerosal agar mempunyai efek osmotik yang sama dengan 0,143 adalah= 0,04 g thimerosal x 0,143 = 0,0057 g NaCl Jumlah NaCl yang ditambahkan agar isotonis Y= 1,8 g NaCl – 0,0057 = 1,794 g NaCl diganti dengan propilen glikol sebagai zat pengisotoni. Liso propilen glikol= 1,9 BM=76,09 E = 17 . 1,9 = 0,42 76,09 Dengan rumus X = Y = 1,794 = 4,3 g E 0,42 Jadi propilen glikol yang diperlukan untuk mengadjust 200 mL larutan thimerosal agar isotonis adalah 4,3 g 3. Metode White Vincent Tonisitas yang diinginkan ditentukan dengan penambahan air pada sediaan parenteral agar isotoni Metode White Vincent V = w. E. V’ V = Volume larutan isotoni yang ditentukan (mL) w = Bobot obat (g) yang ada dalam larutan E = Ekivalensi NaCl V’ = Volume suatu larutan isotoni (mL) yang di dalamnya mengandung 1 g NaCl (111,1 mL) Contoh Soal Buatlah 500 mL larutan etilmorfin HCl 2% isotoni (E= 0,15) V = 10 x 0,15 x 111,1 mL = 166,7 mL Artinya jika 10 gr etilmorfin HCl dilarutkan dalam 166,7 mL air diperoleh larutan yang isotoni. Sisa larutan sebanyak (500-166,7) = 333,3 mL digantikan dengan larutan NaCl isotoni atau larutan dapar isotoni. Untuk larutan NaCl isotoni diperlukan sebanyak 333,3/100 x 0,9 g NaCl = 2,99 g NaCl R/ Phenacaine HCl 0,06 g Asam borat 0,30 g Ad pengisotoni ad 100 mL Maka V = {(0,06 x 0,20) + (0,3x0,5)}x 111,1 mL = 18 mL Jadi obat dicampur dengan air sampai 18 mL, lalu ditambah dengan pelarut isotonis sampai 100 mL Metode Sprowls Merupakan metode yang dimodifikasi dari metode White Vincent, dimana W dibuat tetap 0,3 g, jadi : V = E x 33,3 mL Metode Grafik Perbandingan antara konsentrasi bahan obat (g/kg) vs penurunan titik beku. Pada grafik yang sama digambarkan pula kurva penurunan titik beku dan pengisotonisan jumlah NaCl yang dibutuhkan. Tentukan sebuah titik pada ordinat yang sesuai dengan konsentrasi zat (misal 20 g/kg). Tarik garis sejajar dari titik tersebut terhadap absis sampai tepat memotong kurva zat yang bersangkutan. Metode Grafik Dari titik potong ini buat lagi garis sejajar ordinat, maka titik potong dengan absis menyatakan turunnya titik beku larutan yang disebabkan zat tersebut (misal 0,18oC). Dari titik potong antara garis yang sejajar ordinat dengan kurva NaCl, ditarik garis sejajar absis sehingga memotong ordinat. Titik potong ini menyatakan jumlah NaCl yang dibutuhkan untuk membuat larutan isotoni (misalnya 5,6 g/kg). Untuk 500 mL dibutuhkan 2,8 g NaCl. Metode Grafik Metode Grafik Exercise 1. Using the sodium chloride method, calculate the grams of sodium chloride needed to make 30 mL of a 2% isotonic physostigmine salycilate solution! E fisostigmin salisilat : 0,16 2. A new drug having a molecular weight of 300 g/mole produced a freezing point depression of 0.52oC in a 0.145 M solution. What are calculated Liso value, the E value and the V value for this drug? Exercise 3. A 1 fluid ounce (29.573 mL) solution contain 4.5 grains (291.6 mg) of silver nitrat. How much sodium nitrat must be added to this solution to make it isotonic with nasal fluid?. Assume that nasal fluid has an isotonicity value of 0.9% NaCl. E AgNO3 = 0,33; E NaNO3 = 0,68 4. Using the sodium chloride equivalent method, make the following solutions isotonic with respect to the mucous lining of the eye (ocular membrane). E tetracain HCl = 0,14 - Tetracaine hydrochloride 10 grams - NaCl x grams - Sterilize distilled water, enough to make 1000 mL Hitung tonisitas dibawah ini dengan ekivalensi NaCl : R/ Asam borat 8 Atropin sulfat 2 mf isotonis 1000 mL Hitung dengan metode White Vincent R/ Antipirin 4% Efedrin 1% mf isotonis pH 6,5 100 mL Buatlah larutan Metadon HCl 1% 100 mL isotoni dengan NaCl. Diketahui ∆tb Metadon HCl = 0,101 dan ∆tb NaCl : 0,576 Buatlah 100 mL larutan Pilokarpin HCl 2% isotoni dengan NaCl. Diketahui ∆tb Pilokarpin HCl 0,13. Kumpulkan kamis, 21/10/10 dikerjakan di kertas folio bergaris PUSTAKA Kenneth E.Avis, Lieberman, Leon Lachman., Pharmaceutical Dosage Forms : Parenteral Medication Vol 1, 2,3. Salvatore Turco, Robert E. King, Sterile Dosage Forms. Benny Logawa & Sundani Nurono, Repetitorium Teknologi Formulasi Sediaan Steril. Wayne P Olsen, et al., Aseptic Pharmaceutical Manufacturing Technology for the 1990s. Frederick J Carleton, James P. Agalloco, Validation of Aseptic Pharmaceutical Process.