Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN

PRAKTIKUM FORMULASI SEDIAAN STERIL INFUSA


GLUKOSA

Disusun Oleh : M. Maulana Yusuf


Prodi : S1 Semester VI

STIKES Muhammadiyah Kuningan


Jln.Raya Pangeran Adipati No.D4 Kel.Cipari Kec.Cigugur
Kuningan
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Infus cairan intravena (intravenous fluids infusion) adalah pemberian
sejumlah cairan ke dalam tubuh, melalui sebuah jarum, ke dalam pembuluh
vena (pembuluh balik) untuk menggantikan kehilangan cairan atau zat-zat
makanan dari tubuh. Tujuan dari sediaan infus adalah memberikan atau
menggantikan cairan tubuh yang mengandung air, elektrolit, vitamin, protein,
lemak, dan kalori, yang tidak dapat dipertahankan secara adekuat melalui
oral, memperbaiki keseimbangan asam-basa, memperbaiki volume komponen
-komponen darah, memberikan jalan masuk untuk pemberian obat-obatan
kedalam tubuh, memonitor tekanan vena sentral (CVP), memberikan nutrisi
pada saat sistem pencernaan mengalami gangguan (Perry & Potter., 2005).
Terapi Intravena (IV) adalah menempatkan cairan steril melalui jarum,
langsung kevena pasien. Biasanya cairan steril mengandung elektrolit
(natrium, kalsium, kalium), nutrient (biasanya glukosa), vitamin atau obat
(Brunner & Sudarth, 2002). Terapi intravena adalah pemberian sejumlah
cairan ke dalam tubuh, melalui sebuah jarum, ke dalam pembuluh vena
(pembuluh balik) untuk menggantikan kehilangan cairan atau zat-zat
makanan dari tubuh.
Terapi intravena (IV) digunakan untuk memberikan cairan ketika pasien
tidak dapat menelan, tidak sadar, dehidrasi atau syok, untuk memberikan
garam yang dirperlukan untuk mempertahankan keseimbangan elektrolit, atau
glukosa yang diperlukan untuk metabolisme dan memberikan medikasi (Perry
& Potter., 2005).
Tipe-tipe dari sediaan infus adalah
1. Cairan hipotonik: osmolaritasnya lebih rendah dibandingkan serum
(konsentrasi ion Na+ lebih rendah dibandingkan serum), sehingga larut
dalam serum, dan menurunkan osmolaritas serum. Maka cairan “ditarik”
dari dalam pembuluh darah keluar ke jaringan sekitarnya (prinsip cairan
berpindah dari osmolaritas rendah keosmolaritas tinggi), sampai akhirnya
mengisi sel-sel yang dituju. Digunakan pada keadaan sel “mengalami”
dehidrasi, misalnya pada pasien cuci darah (dialysis) dalam terapi diuretik,
juga pada pasien hiperglikemia (kadar gula darah tinggi) dengan
ketoasidosis diabetik. Komplikasi yang membahayakan adalah
perpindahan tiba-tiba cairan dari dalam pembuluh darah ke sel,
menyebabkan kolaps kardiovaskular dan peningkatan tekanan intrakranial
(dalam otak) pada beberapa orang. Contohnya adalah NaCl 45% dan
Dekstrosa 2,5%.
2. Cairan Isotonik: osmolaritas (tingkat kepekatan) cairannya mendekati
serum (bagiancair dari komponen darah), sehingga terus berada di
osmolaritas (tingkat kepekatan) cairannya mendekati serum (bagian cair
dari komponen darah), sehingga terus berada di dalam pembuluh darah.
Bermanfaat pada pasien yang mengalami hipovolemi (kekurangan cairan
tubuh, sehingga tekanan darah terus menurun). Memiliki risiko terjadinya
overload (kelebihan cairan), khususnya pada penyakit gagal jantung
kongestif dan hipertensi. Contohnya adalah cairan Ringer-Laktat (RL), dan
normalsaline/larutan garam fisiologis (NaCl 0,9%).
3. Cairan hipertonik: osmolaritasnya lebih tinggi dibandingkan serum,
sehingga “menarik” cairan dan elektrolit dari jaringan dan sel ke dalam
pembuluh darah. Mampu menstabilkan tekanan darah, meningkatkan
produksi urin, dan mengurangi edema (bengkak). Penggunaannya
kontradiktif dengan cairan Hipotonik. Misalnya Dextrose 5%, NaCl 45%
hipertonik, Dextrose 5%+Ringer-Lactate, Dextrose 5% + NaCl 0,9%,
produk darah (darah), dan albumin. (Perry & Potter., 2005).

Berdasarkan uraian di atas yang menyebutkan bahwa banyak manfaat dari


sedian infus dibidang pengobatan maka, kami tertarik untuk melakukan
praktikum pembuatan sediaan infus.

B. Tujuan Praktikum
1. Mempelajari cara pembuatan larutan parenteral berupa sediaan infus.
2. Mempelajari cara evaluasi sediaan larutan parenteral berupa sediaan infus.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Sediaan Parenteral
Sediaan steril adalah bentuk sediaan obat dalam bentuk terbagi - bagi yang
bebas dari mikroorganisme hidup. Pada prinsipnya, yang termasuk sediaan ini
antara lain sediaan parental preparat untuk mata dan preparat irigasi
(misalnya infus). Sediaan parental merupakan jenis sediaan yang unik di
antara bentuk sediaan obat terbagi - bagi, karena sediaan ini disuntikan
melalui kulit atau membran mukosa ke bagian tubuh yang paling efesien,
yaitu membran kulit dan mukosa, maka sediaan ini harus bebas dari
kontaminasi mikroba dan dari bahan - bahan toksis lainnya, serta harus
memiliki tingkat kemurnian yang tinggi. Semua bahan dan proses yang
terlibat dalam pembuatan produk ini harus dipilih dan dirancang untuk
menghilangkan semua jenis kontaminasi, apakah kontaminasi fisik, kimia
atau mikrobiologis (Priyambodo, B., 2007).
Produk steril yang banyak diproduksi di industri farmasi adalah dalam
bentuk larutan terbagi (ampul) dan bentuk serbuk padat siap untuk digunakan
dengan diencerkan terlebih dahulu dengan larutan pembawa (vial). Sediaan
parental, bisa diberikan dengan berbagai rute : intra vena (i.v), sub cutan (s.c),
intradermal, intramuskular (i.m), intra articular, dan intrathecal. Bentuk
sediaan sangat mempengaruhi cara (rute) pemberian. Sediaan bentuk
suspensi, misalnya tidak akan pernah diberikan secara intravena yang
langsung masuk ke dalam pembuluh darah karena adanya bahaya hambatan
kapiler dari partikel yang tidak larut, meskipun suspensi yang dibuat telah
diberikan dengan ukuran partikel dari fase dispersi yang dikontrol dengan hati
- hati. Demikian pula obat yang diberikan secara intraspinal (jaringan syaraf
di otak), hanya bisa diberikan dengan larutan dengan kemurnian paling tinggi,
oleh karena sensivitas jaringan syaraf terhadap iritasi dan kontaminasi
(Priyambodo, B., 2007).
Injeksi adalah sediaan steril berupa larutan, emulsi atau suspensi atau
serbuk yang dilarutkan, atau disuspensikan lebih dahulu sebelum digunakan,
yang disuntikan dengan cara merobek jaringan ke dalam kulit atau melalui
selaput lendir. Injeksi diracik dengan melarutkan, mengemulsikan atau
mensuspensikan sejumah obat kedalam sejumlah pelarut atau dengan
mengisikan sejumlah obat kedalam wadah dosis tunggal atau wadah dosis
ganda (DepKes., 1979).
Sedangkan menurut Farmakope Indonesia Edisi IV, injeksi adalah injeksi
yang dikemas dalam wadah 100 mL atau kurang. Umumnya hanya laruitan
obat dalam air yang bisa diberikan secara intravena. Suspensi tidak bisa
diberikan karena berbahaya yang dapat menyebabkan penyumbatan pada
pembuluh darah kapiler (DepKes., 1995).
Menurut Farmakope Indonesia Edisi IV, hal 10 larutan intravena volume
besar adalah injeksi dosis tunggal untuk intravena dan dikemas dalam wadah
bertanda volume lebih dari 100 mL.
Infus adalah larutan dalam jumlah besar terhitung mulai dari 100 ml yang
diberikan melalui intravena tetes demi tetes dengan bantuan peralatan yang
cocok. Asupan air dan elektrolit dapat terjadi melalui makanan dan minuman
dan dikeluarkan dalam jumlah yang relatif sama, rasionya dalam tubuh adalah
air 57%; lemak 20,8%; protein 17,0%; serta mineral dan glikogen 6%. Ketika
terjadi gangguan hemostatif, maka tubuh harus segera mendapatkan terapi
untuk mengembalikan keseimbangan air dan elektrolit larutan untuk infus
intravenous harus jernih dan praktis bebas partikel (Lukas, Syamsuni, H.A.,
2006).
Menurut Farmakope Indonesia Edisi III halaman 12, infus intravenous
adalah sediaan steril berupa larutan atau emulsi, bebas pirogen dan sedapat
mungkin dibuat isotonis terhadap darah, disuntikkan langsung ke dalam vena,
dengan volume relatife banyak. Kecuali dinyatakan lain, infus intravenous
tidak diperbolehkan mengandung bakteriasida dan zat dapar. Larutan untuk
infus intravenous harus jernih dan praktis bebas partikel.
Injeksi volume besar atau injeksi yang dimaksudkan untuk pemberian
langsung ke dalam pembuluh darah vena harus steril dan isotonis dengan
darah, dikemas dalam wadah tunggal berukuran 100 mL - 2000 mL. Tubuh
manusia mengandung 60 air dan terdiri atas cairan intraseluler (di dalam sel),
40 yang mengandung ion-ion K+, Mg+, sulfat, fosfat, protein serta senyawa
organik asam fosfat seperti ATP, heksosa, monofosfat dan lain-lain. Air
mengandung cairan ekstraseluler (di luar sel) 20 yang kurang lebih
mengandung 3 liter air dan terbagi atas cairan intersesier (diantara kapiler) 15
dan plasma darah 5 dalam sistem peredaran darah serta mengandung
beberapa ion seperti Na+, klorida dan bikarbonat (Anief., 2008).
Menurut Anief tahun 2008 Injeksi dapat digolongkan sebagai berikut :
1. Injeksi intrakutan atau intradermal (i.c)
Biasanya berupa larutan atau suspensi dalam air, volume yang disuntikan
sedikit (0,1-0,2 mL). digunakan untuk tujuan diagnosa.
2. Injeksi subkutan atau hipoderma (s.c)
Umumnya larutan isotonus, jumlah larutan yang disuntikan tidak lebih dari
1 mL. Disuntikan ke dalam jaringan di bawah kulit ke dalam “alveola”,
kulit mula-mula diusap dengan cairan desinfektan (etanlo 70%). Dapat
ditambahkan vasokonstriktor seperti epinefrina 0,1% untuk melokalisir
efek obat. Larutan harus sedapat mungkin isotonus, sedangpH-nya
sebaiknya netral, maksudkan untuk mengurangi iritasi jaringan dan
mencegah kemungkinan terjadi nekrosis (mengendornya kulit).
Jika tidak disuntikan secara infus, volume injeksi 3 Lt sampai 4 Lt sehari,
masih dapat disuntikkan secara subkutan dengan penambahan
hialuronidase ke dalam injeksi atau jika sebelumnya disuntik
hialuronidase.
3. Injeksi intramuscular (i.m)
Merupakan larutan atau suspense dalam air atau minyak atau emulsi.
Disuntikkan masuk otot daging dan volume sedapat mungkin tidak lebih
dari 4 mL. Penyuntikan volume besar dilakukan perlahan-lahan untuk
mencegah rasa sakit, sedapat mungkin tidak lebih dari 4 mL.
Ke dalam otot dada dapat disuntikkan sampai 200 mL, sedang otot lain
volume yang disuntikkan lebih kecil.
4. Injeksi intravenus (i.v)
Merupakan larutan, dapat mengandung cairan yang tidak menimbulkan
iritasi yang dapat bercampur dengan air, volume 1 mL sampai 10 mL.
Larutan ini biasanya isotonus atau hipertonus. Bila larutan hipertonus
maka disuntikan perlahan-lahan. Jika larutan yang diberikan banyak
umumnya lebih dari 10 mL disebut infus, larutan diusahakan supaya
isotonus dan diberikan dengan kecepatan 50 tetes tiap menit dan lebih baik
pada suhu badan.
Emulsi minyak-air dapat diberikan, asal ukuran butiran minyak cukup
kecil (emulsi mikro). Bentuk suspensi atau emulsi makro tidak boleh
diberikan melalui intravena.

5. Injeksi intraarterium (i.a)


Umumnya berupa larutan, dapat mengandung cairan non-iritan yang dapat
bercampur dengan air, volume yang disuntikan 1 mL sampai 10 mL dan
digunakan bila diperlukan efek obat yang segera dalam daerah perifer.
6. Injeksi intrakor atau intrakardial (i.k.d)
Berupa larutan, hanya digunakan untuk keadaan gawat, dan disuntikan ke
dalam otot jantung atau ventrikulus.
7. Injeksi intratekal (i.t), intraspinal, intradural
Berupa laturan harus isotonus, sebab sirkulasi cairan cerebropintal adalah
lambat, meskipun larutan anestetika sumsum tulang belakang sering
hipertonus. Larutan harus benar-benar steril, bersih sebab jaringan syaraf
daerah anatomi di sini sangat peka.
8. Injeksi intrakulus
Berupa larutan atau suspense dalam air yang disunikan ke dalam cairan
sendi dalam rongga sendi.
9. Injeksi subkonjungtiva
Berupa larutan atau suspensi dalam air yang untuk injeksi selaput lendir
mata bawah, umumnya tidak lebih dari 1 mL.
10. Injeksi yang digunakan lain:
a. Intraperitoneal (i.p) disuntikkan langusng ke dalam rongga perut,
penyerapan cepat, bahaya infeksi besar dan jarang dipakai.
b. Peridural (p.d) ekstra dural, disuntikan ke dalam ruang epidural,
terletak diatas durameter, lapisan penutup terluar dari otak dan
sumsum tulang belakang.
c. Intrasisternal (i.s) disuntikkan ke dalam saluran sumsum tulang
belakang pada otak.
B. Tetapan Isotonis
Osmolarita (M osmole/Liter) Tonisitas
> 350 Hipertonis
329 – 350 Sedekit hipertonis
270 – 328 Isotonis
250 - 269 Sedikit hipotonis
0 - 249 Hipotonis

C. Syarat-Syarat Infus
1. Aman, tidak boleh menyebabkan iritasi jaringan dan efek toksis.
2. Jernih, berarti tidak ada partikel padat.
3. Tidak berwarna, kecuali obatnya memang berwarna.
4. Sedapat mungkin isohidris, pH larutan sama dengan darah dan cairan
tubuh lain yakni 7,4.
5. Sedapat mungkin isotonis, artinya mempunyai tekanan osmosis yang sama
dengan darah atau cairan tubuh yang lain tekanan osmosis cairan tubuh
seperti darah, air mata, cairan lumbai dengan tekanan osmosis larutan
NaCl 0,9 %.
6. Harus steril, suatu bahan dinyatakan steril bila sama sekali bebas dari
mikroorganisme hidup dan patogen maupun non patogen, baik dalam
bentuk vegetatif maupun dalam bentuk tidak vegetatif (spora).
7. Bebas pirogen, karena cairan yang mengandung pirogen dapat
menimbulkan demam. Menurut Co Tui, pirogen adalah senyawa kompleks
polisakarida dimana mengandung radikal yang ada unsur N, dan P. Selama
radikal masih terikat, selama itu dapat menimbulkan demam dan pirogen
bersifat termostabil.
D. Keuntungan Sediaan Infus
1. Obat memiliki onset (mula kerja) yang cepat.
2. Efek obat dapat diramalkan dengan pasti.
3. Biovaibilitas obat dalam traktus gastrointenstinalis dapat dihindarkan.
4. Obat dapat diberikan kepada penderita sakit keras atau dalam keadaan
koma.
5. Kerusakan obat dalam tractus gastrointestinal dapat dihindarkan.
E. Kerugian Sediaan Infus
1. Rasa nyeri saat disuntikkan apalagi kalau harus diberikan berulang kali.
2. Memberikan efek fisikologis pada penderita yang takut suntik.
3. Kekeliruan pemberian obat atau dosis hapir tidak mungkin diperbaiki
terutama sesudah pemberian intravena.
4. Obat hanya dapat diberikan kepada penderita dirumah sakit atau ditempat
praktek dokter oleh perawat yang kompeten.
5. Lebih mahal dari bentuk sediaan non steril dikarenakan ketatnya
persyaratan yang harus dipenuhi (steril, bebas pirogen, jernih, praktis dan
bebas partikel).
F. Fungsi Pemberian Infus
1. Dasar nutrisi, kebutuhan kalori untuk pasien dirumah sakit harus disuplai
via intravenous. Intravenous seperti protein dan karbohidrat.
2. Keseimbangan elektrolit digunakan pada pasien yang shock, diare, mual,
muntah, membutuhkann cairan inrravenous.
3. Pengganti cairan tubuh seperti dehidrasi.
4. Pembawa obat obat. Contohnya seperti antibiotik (Voight., 1995).
G. Sterilisasi
Sterilisasi adalah proses yang dirancang untuk menciptakan keadaan steril.
Secara tradisional keadaan steril adalah kondisi mutlak yang tercipta sebagai
akibat penghancuran dan penghilangan semua mikroorganisme hidup.
Konsep ini menyatakan bahwa steril adalah istilah yang mempunyai konotasi
relative, dan kemungkinan menciptakan kondisi mutlak bebas dari
mikroorganisme hanya dapat diduga atas dasar proyeksi kinetis angka
kematian mikroba (Lachman., 1994).
Ada tiga cara utama yang umum dipakai dalam sterilisasi yaitu
penggunaan panas, penggunaan bahan kimia, dan penyaringan (filtrasi). Bila
panas digunakan bersama-sama dengan uap air maka disebut sterilisasi panas
lembab atau sterilisasi basah, bila tanpa kelembaban maka disebut sterilisasi
panas kering atau sterilisasi kering. Sedangkan sterilisasi kimiawi dapat
dilakukan dengan menggunakan gas atau radiasi. Pemilihan metode
didasdarkan pada sifat bahan yang akan disterilkan (Hadioetomo, R. S.,
1985).
Pada umumnya metode sterilisasi ini digunakan untuk sediaan farmasi dan
bahan-bahan yang dapat tahan terhadap temperatur yang dipergunakan dan
penembusan uap air, tetapi tidak timbul efek yang tidak dikehendaki akibat
uap air tersebut.metode ini juga dipergunakan untuk larutan dalam jumlah
besar, alat – alat gelas, pembalut operasi dan instrumen. Tidak digunakan
untuk mensterilkan minyak-minyak, minyak lemak, dan sediaan-sediaan lain
yang tidak dapat ditembus oleh uap air atau pensterilan serbuk terbuka yang
mungkin rusak oleh uap air jenuh (Ansel., 1989).

Metode-metode sterilisasi menurut Ansel , yakni:


1. Sterilisasi uap (lembab panas), yakni sterilisasi yang dilakukan dalam
autoklaf dan menggunakan uap air dengan tekanan.
2. Sterilisasi panas kering, yakni sterilisasi yang biasa dilakukan dengan oven
pensteril yang dirancang khusus untuk tujuan sterilisasi. Oven dapat
dipanaskan dengan gas atau listrik dan umumnya temperatur diatur secara
otomatis.
3. Sterilisasi dengan penyaringan, yakni sterilisasi yang tergantung pada
penghilangan mikroba secara fisik dengan adsorpsi pada media penyaring
atau dengan mekanispe penyaringan, digunakan untuk sterilisasi larutan
yang tidak tahan panas. Sediaan obat yang disterilkan dengan cara ini,
diharuskan menjalani pengesahan yang ketat dan memonitoring karena
efek produk hasil penyaringan dapat sangat dipengaruhi oleh banyaknya
mikroba dalam larutan yang difiltrasi.
4. Sterilisasi gas, sterilisasi gas dilakukan pada senyawa-senyawa yang tidak
tahan terhadap panas dan uap dimana dapat disterilkan dengan cara
memaparkan gas etilen oksida atau protilen oksida. Gas-gas ini sangat
mudah terbakar bila tercampur dengan udara, tetapi dapat digunakan
dengan aman bila diencerkan dengan gas iner seperti karbondioksida, atau
hidrokarbon terfluorinasi yang tepat sesuai.
5. Sterilisasi dengan radiasi pengionan, yakni teknik-teknik yang disediakan
untuk sterilisasi beberapa jenis sediaan-sediaan farmasi dengan sinar
gama dan sinar-sinar katoda, tetapi penggunaan teknik-teknik ini terbatas
karena memerlukan peralatan yang sangat khusus dan pengaruh-pengaruh
radiasi pada produk-produk dan wadah-wadah.
H. Wadah
Wadah berhubungan erat dengan produk. Tidak ada wadah yang tersedia
sekarang ini yang benar - benar tidak reaktif, terutama dengan larutan air.
Sifat fisika dan kimia mempengaruhi kestabilan produk tersebut, tetapi sifat
fisika diberikan pertimbangan utama dalam pemilihan wadah pelindung
(Lachman., 1994).
Wadah terbuat dari berbagai macam bahan, wadah plastik, wadah gelas,
dan wadah dari karet. Wadah plastik, bahan utama dari plastik yang
digunakan untuk wadah adalah polimer termoplastik, unit struktural organik
dasar untuk masing - masing type yang biasa terdapat dalam bidang medis.
Sesuai dengan namanya, polimer termoplastik meleleh pada temperatur yang
meningkat. Wadah plastik digunakan terutama karena bobotnya ringan, tidak
dapat pecah, serta bila mengandung bahan penambah dalam jumlah kecil,
mempunyai toksisitas dan reaktivitas dengan produk yang rendah. Suatu
golongan plastik baru, poliolefin, patut disebut secara khusus, yang saat ini
mendapat perhatian dalam bidang parenteral adalah polipropilen dan
kopolimer polietilen - polietilen (Lachman., 1994).
Wadah Gelas masih tetap merupakan bahan pilihan untuk wadah produk
yang dapat disuntikkan. Gelas pada dasarnya tersusun dari silkon dioksida
tetrahedron, dimodifikasi secara fisika dan kimia dengan oksida - oksida
seperti oksida natrium, kalium, kalsium, magnesium, alumunium, boron, dan
besi. Gelas yang paling tahan secara kimia hampir seluruhnya tersusun dari
silikon dioksida, tetapi gelas tersebut relatif rapuh dan hanya dapat dilelehkan
dan dicetak pada temperatur tinggi (Lachman., 1994).
BAB III
METODOLOGI
A. Alat dan Bahan Praktikum
Tabel III.1. Alat dan Bahan Praktikum Pembuatan Larutan Infus

ALAT BAHAN
Beaker gelas (1000 ml) HCl
Batang pengaduk Dekstrosa (glukosa)
Corong gelas NaoH
Gelas ukur NaCl
Penangas air Aqua Pro Injection
Timbangan analitik Norit
Kertas perkamen
Spatula

B. Data Zat Aktif


1. Nama zat aktif
a. NaCl (Natrium Klorida)
b. Glukosa (dekstrosa)
2. Uraian Fisik Obat
a. NaCl (Natrium Klorida)
NaCl (Natrium Klorida) mengandung tidak kurang dari 99,0% dan
tidak lebih dari 101,0% NaCl dihitung terhadap zat yang telah
dikeringkan. Tidak mengandung zat tambahan. Pemerian : Hablur
bentuk kubus, tidak berwarna atau serbuk hablur putih, rasa asin
(KemenKes., 2014).
b. Glukosa (Dekstrosa)
Glukosa (Dekstrosa) yaitu suatu gula yang diperoleh dari hidrolisis pati.
Mengandung satu molekul air hidrat atau anhidrat. Pemerian : Hablur
tidak berwarna, serbuk hablur atau serbuk granul putih; tidak berbau;
rasa manis (KemenKes., 2014).
c. Norit adalah suatu jenis karbon yang memiliki luas permukaan yang
sangat besar, norit digunakan untuk menyerap kontaminan.
Pemeriannya : hitam tidak berbau (DepKes., 1995., dan Reynolds.,
1982).
3. Kelarutan
a. NaCl (Natrium Klorida)
Mudah larut dalam air; sedikit lebih mudah larut dalam etanol, air
mendidih; larut dalam gliserin; sukar larut dalam etanol (KemenKes.,
2014).
b. Glukosa (Dekstrosa)
Sangat mudah larut dalam air mendidih; sukar larut dalam etanol.
c. Norit (Arang/Karbon Aktif)
Praktis tidak larut dalam suasana pelarut biasa.
4. Indikasi
a. NaCl (Natrium Klorida) : Pengganti ion Na+, Cl- dalam tubuh.
b. Glukosa (Dekstrosa) : Sebagai sumber kalori dan zat pengisotonis.
c. Norit (Arang/Karbon Aktif) : Untuk kelebihan H2O2 dalam Sediaan.
5. Stabilitas dan pH
a. NaCl
Stabilitas : Stabil dalam bentuk larutan. Larutan stabil dapat
menyebabkan pengguratan partikel dari tipe gelas (Reynolds., 1982).
pH : Antara 4,5 dan 7,0 (KemenKes., 2014).
b. Glukosa (Dekstrosa)
Stabilitas : Stabil dalam bentuk larutan. Dekstrosa stabil dalam keadaan
penyimpanan yang kering dengan pemanasan tinggi, dapat
menyebabkan reduksi pH dan karamelisasi dalam larutan. (Reynolds.,
1982).
pH : Antara 3,2 dan 6,5 (KemenKes., 2014).
c. Norit (Arang/Karbon Aktif)
Stabilitas : Stabil ditempat yang tertutup dan kedap udara.
6. Dosis dan cara pemakaian
a. NaCl (Natrium Klorida) : Lebih dari 0,9%. Injeksi intravena 3-5%
dalam 100 ml selama satu jam. Injeksi NaCl mengandung 2,5-4
mEq/ml. Na+ dalam p-plasma : 135-145 mEq/L
b. Glukosa (Dekstrosa) : 2,5-11% untuk intravena 0,5-0,8 g/Kg/jam untuk
hipoglikemia 20-50 ml (konsentrasi 50%)
7. Tak tersatukan zat aktif (OTT)
a. NaCl (Natrium Klorida) : Logam Ag, Hg, Fe (KemenKes., 2014).
b. Glukosa (Dekstrosa) : Sianokobalamin, kanamisin, SO4, novabiorin, Na
dan warfarin, eritromisin, vitamin A kompleks (Reynolds., 1982).
C. Perhitungan Isotonis / Isohidri
1. Metode White-Vincent
Rumus :
V = W x E x 111,1

Gambar III.1. Rumus White-Vincent


Sumber : Smith, Blaine Templar (2016)

Keterangan :
V = Volume yang harus digunakan untuk melarutkan zat supaya
isotonis
W = Berat zat dalam gram
E = Ekivalensi NaCl dari bahan obat
111,1 = Volume dari 1 gram NaCl yang isotonis

Perhitungan :
V = W x E x 111,1
V = 12,5g x 0,16 x 111,1
V = 44,4
Rencana formula

Dekstrosa 5%

NaCl q.s

Aqua p.i ad 500 ml

 Perhitungan tonisitas

E dekstrosa = 5 % x 0,16 = 0,8 %

NaCl yang dibutuhkan = 0,9 % - 0,8 % = 0,1 %


g NaCl = 0,1 g /100ml x 500 ml = 0,5 g

Penimbangan Bahan :
1. Dekstrosa = 2,6 gram
2. NaCl = 6,052 gram
3. Aqua Pro Injection = 52 mL

D. Cara Kerja Pembuatan Larutan Infus


1. Pembuatan larutan infus umumnya sama dengan pembuatan larutan
injeksi. Obat dilarutkan dalam aquadest, dimasukkan dalam beaker gelas
1000 ml.
2. Kedalam larutan ini ditambahkan karbon aktif sebanyak 0,1 % cukupkan
volumenya, ditutup dengan perkamen (ikat dengan tali).
3. Panaskan larutan ini diatas nyala api spiritus pada suhu 60-70 oC selama
15 menit sambal diaduk-aduk dengan batang pengaduk.
4. Larutan disaring langsung kedalam botol infus yang akan diserahkan
(terlebih dahulu di sterilkan), menggunakan kertas saring rangkap dua.
Pengerjaan ini dilakukan di lemari aseptis.
5. Kemudian di sterilkan dengan autoclave.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Percobaan
Dalam praktikum kali ini, praktikan membuat larutan infus gula. Larutan
infus gula dibuat dengan mencampurkan tiga bahan yaitu natrium klorida
(NaCl), glukosa (dekstrosa) dan norit (arang serap). Didapatkan hasil
percobaan sebagai berikut :
Tabel IV.1. Hasil Uji Terhadap Sediaan Parenteral

No Evaluasi Sediaan Hasil

1 Uji pH 6
2 Uji kejernihan dan warna 
3 Uji Kebocoran 

B. Pembahasan
Pada praktikum kali ini kami melakukan pembuatan sediaan steril berupa
sediaan infus dengan bahan aktif berupa glukosa yang dibuat dengan
sterilisasi akhir. Tujuan suatu sediaan dibuat steril, karena berhubungan
langsung dengan darah atau cairan tubuh dan jaringan tubuh lain yang
pertahanannya terhadap zat asing tidak selengkap pada saluran cerna atau
gastrointestinal. Diharapkan dengan kondisi steril dapat dihindari adanya
infeksi sekunder. Dalam hal ini tidak berlaku relative steril atau setengah
steril, hanya ada dua pilihan yaitu steril dan tidak steril. Dan infus merupakan
sediaan yang perlu di sterilkan dan harus bebas dari mikroorganisme hidup
maupun pirogen. Sifat glukosa yang stabil pada pH 3,5- 6,5 dan tahan
terhadap pemanasan merupakan alasan digunakannya metode sterilisasi akhir
dalam pembuatan infus glukosa. Sehingga semua peralatan yang akan
digunakan juga harus disterilkan terlebih dahulu sebelum digunakan. Karena
cairan infus digunakan secara intravena, maka sediaan infus harus isotonis,
isohidri, bebas dari kuman dan pirogen, semua bahan tersatukan tanpa terjadi
reaksi dan bebas partikel melayang. Oleh karena itu, perlu ditambahkan NaCl
0,9 % sebagai agen tonisitas dan carbon aktif 0,1 % untuk membebaskan
sediaan dari pirogen,untuk mencegah demam dan untuk menyerap cemaran.
Pembuatan larutan infus harus dilakukan secara steril, setelah pembuatan
larutan infus selesai dibuat, yang selanjutnya dilakukan adalah evaluasi
sediaan larutan infus yang meliputi uji pH, uji kerjernihan dan warna serta uji
kebocoran.
Setelah dilkukan uji pH menggunakan kertas lakmus, pada lakmus merah
tidak menunjukan perubahan warna dan pada lakmus biru juga tidak
menunjukan perubahan warna. Ini menunjukan bahwa pH sediaan infus kami
adalah 7 (netral), artinya sediaan kami tidak sesuai dengan standar yang telah
ditentukan pada FI edisi 3 yaitu 3,5-5,5. Hal ini mungkin disebabkan karena
human error (penimbangan glokosa terlalu berlebih).
Selanjutnya dilakukan uji kejernihan dan warna, dengan cara pengamatan
visual secara langsung hasilnya adalah sediaan kami jernih dan tidak tampak
warna apapun artinya tidak ada zat pengotor dan bebas partikel melayang.
Evaluasi terakhir yang dilakukan yaitu evaluasi kebocoran. Larutan yang
telah di masukkan kedalam botol kemudian dilakukan uji kebocoran yang
dilakukan dengan cara menyiapkan larutan gantian violet dalam beaker glass
kemudian sediaan tersebut dimasukkan kedalam larutan gantian violet
tersebut dengan cara di balikkan, yaitu posisi tutup botol di bawah. Setelah
dilakukan uji kebocoran ternyata larutan infus dalam botol tidak bocor yang
ditandai dengan larutan infus dalam botol tidak mengalami perubahan warna.
Ketidak bocoran kemasan yang digunakan ini akan meminimalisir terjadinnya
kontaminasi.
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Praktikum pembuatan larutan infus glukosa dibuat dengan menggunakan
natrium klorida (NaCl) dan glukosa (dekstrosa) sebagai zat aktif dan norit
sebagai zat tambahan. Berdasarkan hasil percobaan yang telah dilakukan,
pada evaluasi sediaan dengan uji pH diperoleh hasil netral. Ini menunjukkan
bahwa adanya ketidaksesuaian dengan yang tercantum pada Farmakope
Indonesia edisi III yaitu infus glukosa pHnya berkisar 3,5-5,5. Hal ini, bisa
disebabkan oleh kesalahan individu (human error) ketika melakukan
penimbangan bahan. Namun, untuk evaluasi sediaan uji kejernihan dan warna
diperoleh larutan infus glukosa yang jernih dan bebas partikulat. Ini berarti
bahwa larutan yang dibuat sudah memenuhi syarat yang berlaku untuk
pembuatan sediaan parenteral. Pada evaluasi sediaan uji kebocoran-pun sudah
memenuhi syarat yang berlaku untuk sediaan parenteral karena larutan infus
glukosa yang ditempatkan pada botol kaca tidak bocor ketika botol dibalik
dan dimasukkan kedalam larutan yang berisi gentian violet.
DAFTAR PUSTAKA
Anief, Moh., 2008. Ilmu Meracik Obat. Yogyakarta : UGM Press

Anonim., 2016. Penuntun Praktikum Formulasi dan Teknologi Sediaan Steril.


Tangerang : STF Muhammadiyah Tangerang

Ansel, H.C., 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi, Edisi ke 4. Jakarta :


Penerbit Universitas Indonesia

Brunner and Suddarth., 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Alih
Bahasa : Agung Waluyo, dkk, Edisi 8. Jakarta : EGC

DepKes., 1979. Farmakope Indonesia Edisi III. Jakarta : Departemen Kesehatan


Republik Indonesia

DepKes., 1995. Farmakope Indonesia Edisi IV. Jakarta : Departemen Kesehatan


Republik Indonesia

Hadioetomo, R. S., 1985. Mikrobiologi Dasar dalam Praktek. Jakarta : PT.


Gramedia

KemenKes., 2014. Farmakope Indonesia Edisi V. Jakarta : Kementerian


Kesehatan Republik Indonesia

Lachman, Lieberman, Kanig., 1994. Teori dan Praktek Farmasi Industri II.
Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia

Lukas, Syamsuni, H.A., 2006. Ilmu Resep. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran
EGC

Potter, P.A, Perry, A.G., 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan : Konsep,
Proses, dan Praktik, Edisi 4. Volume 2, Alih Bahasa : Renata
Komalasari,dkk. Jakarta : EGC

Priyambodo, B., 2007. Manajemen Farmasi Industri. Yogyakarta : Global


Pustaka Utama

Reynolds, J.E.F (editor)., 1982. Martindale The Extra Pharmacopoeia, Edisi 28.
London : The Pharmaceutical Press
Smith, Blaine Templar., 2016. Remington Education, Physical Pharmacy. London
: The Pharmaceutical Press

Voight, R., 1995. Buku Pelajaran Teknologi Farmasi. Yogyakarta : UGM Pres

DOKUMENTASI PRAKTIKUM

Anda mungkin juga menyukai