Anda di halaman 1dari 30

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sterilisasi adalah proses yang dirancang untuk menciptakan keadaan steril.
Secara tradisional keadaan steril adalah kondisi mutlak yang tercipta sebagai
akibat penghancuran dan penghilangan semua mikroorganisme hidup. Konsep ini
menyatakan bahwa steril adalah istilah yang mempunyai konotasi relatif, dan
kemungkinan menciptakan kondisi mutlak bebas dari mikroorganisme hanya
dapat diduga atas dapat proyeksi kinetis angka kematian mikroba (Lachman,
1994).
Sediaan steril adalah bentuk sediaan obat dalam bentuk terbagi-bagi yang
bebas dari mikroorganisme hidup. Salah satu bentuk sediaan steril adalah sediaan
parenteral. Sediaan parenteral merupakan jenis sediaan yang unik diantara bentuk
sediaan obat terbagi-bagi, karena sediaan ini disuntikkan melalui kulit atau
membrane mukosa ke bagian tubuh yang paling efisien, yaitu membrane kulit dan
mukosa, maka sediaan ini harus bebas dari kontaminasi mikroba dan dari bahan-
bahan toksis lainnya, serta harus memiliki tingkat kemurnian yang tinggi.
Parenteral menunjukkan pemberian lewat suntikan seperti berbagai sediaan yang
diberikan dengan disuntikkan Ansel (1989).
Menurut Priyambodo (2007), Sediaan parenteral adalah bentuk sediaan
untuk injeksi atau sediaan untuk infus. Injeksi adalah pemakaian dengan cara
penyemprotan larutan atau suspensi ke dalam tubuh untuk tujuan terapeutik atau
diagnostik. Injeksi dapat dilakukan langsung ke dalam aliran darah, jaringan, atau
organ (Lukas, 2006).
Sediaan injeksi volume kecil dikenal dengan beberapa wadah yaitu dosis
tunggal (single dose) wadah ampul atau cartridge dan dosis ganda (multiple dose)
wadah vial atau flacon. Wadah dosis tunggal adalah suatu wadah yang kedap
udara yang mempertahankan jumlah obat steril yang dimaksudkan untuk
pemberian parenteral sebagai dosis tunggal, dan yang bila dibuka dapat ditutup
rapat kembali dengan jaminan tetap steril. Sedangkan wadah dosis berganda
adalah wadah kedap udara yang memungkinkan pengambilan isinya secara

1
berulang tanpa terjadi perubahan kekuatan, kualitas atau kemurnian pada bagian
yang tertinggal. (Ansel, 1989).
Ampul adalah botol dosis tunggal kecil dengan leher tertutup. Ampul bisa
dari kaca atau plastik. Sebagian besar terbuat dari kaca. Leher ampul disegel
menggunakan api terbuka untuk mencegah kontaminasi. Hal ini menyebabkan
penyumbatan kedap udara untuk mencegah udara, kelembaban dan air dari
mencemari cairan di dalam ampul (Lukas, 2006).
Mengingat pentingnya cara pembuatan dan pemakaiannya serta khasiat
sediaan injeksi dalam bentuk ampul dan vial yang merupakan bentuk-bentuk
sediaan steril, maka dilakukanlah percobaan formulasi sediaan injeksi (ampul)
dengan menggunakan zat aktif piracetam.
1.2 Maksud dan Tujuan Praktikum
1.2.1 Maksud Percobaan
1. Agar mahasiswa mampu mengetahui dan memahami cara preformulasi
sediaan injeksi volume kecil dalam wadah ampul
2. Agar mahasiswa mampu mengetahui dan memahami cara pembuatan
sediaan injeksi volume kecil dalam wadah ampul
3. Agar mahasiswa mampu mengetahui dan memahami cara evaluasi sediaan
injeksi volume kecil dalam wadah ampul
1.2.2 Tujuan Percobaan
1. Agar mahasiswa mampu mengetahui dan memahami cara preformulasi
sediaan injeksi volume kecil dalam wadah ampul.
2. Agar mahasiswa mampu mengetahui dan memahami cara pembuatan
sediaan injeksi volume kecil dalam wadah ampul.
3. Agar mahasiswa mampu mengetahui dan memahami cara evaluasi sediaan
injeksi volume kecil dalam wadah ampul.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Dasar Teori
2.1.1 Sediaan Steril
Sterilisasi adalah proses yang dirancang untuk menciptakan keadaan steril.
Secara tradisional keadaan steril adalah kondisi mutlak yang tercipta sebagai
akibat penghancuran dan penghilangan semua mikroorganisme hidup. Konsep ini
menyatakan bahwa steril adalah istilah yang mempunyai konotasi relatif, dan
kemungkinan menciptakan kondisi mutlak bebas dari mikroorganisme hanya
dapat diduga atas dapat proyeksi kinetis angka kematian mikroba (Lachman,
1994).
Produk steril adalah sediaan terapetis dalam bentuk terbagi-bagi yang
bebas dari mikroorganisme hidup. Sediaan parenteral ini merupakan sediaan
yang unik diantara bentuk obat terbagi-bagi, karena sediaan ini disuntikkan
melalui kulit atau membran mukosa kebagian dalam tubuh. Karena sediaan
mengelakkan garis pertahanan pertama dari tubuh yang paling efisien, yakni
membran kulit dan mukosa, sediaan tersebut harus bebas dari kontaminasi
mikroba dan dari komponen toksik dan harusmempunyai tingkat kemurniaan
tinggi dan luar biasa. Semua komponen dan proses yang terlibat dalam
penyediaan produk ini harus dipilih dan dirancang untuk menghilangkan semua
jenis kontaminasi secara fisik, kimia atau mikrobiologi. (Lachman, 1994).
Sediaan steril adalah bentuk sediaan obat dalam bentuk terbagi- bagi yang
bebas dari mikroorganisme hidup. Pada prinsipnya, yangtermasuk sediaan ini
antara lain sediaan parental preparat untuk mata dan preparat irigasi (misalnya
infus) (Priyambodo, 2007).
2.1.2 Sediaan Parenteral
Sediaan parenteral merupakan jenis sediaan yang unik diantara bentuk
sediaan obat terbagi-bagi, karena sediaan ini disuntikkan melalui kulit atau
membran mukosa ke bagian tubuh yang paling efisien, yaitu membrane kulit dan
mukosa, maka sediaan ini harus bebas dari kontaminasi mikroba dan dari bahan-
bahan toksis lainnya, serta harus memiliki tingkat kemurnian yang tinggi. Semua

3
bahan dan proses yang terlibat dalam pembuatan produk ini harus dipilih dan
dirancang untuk menghilangkan semua jenis kontaminasi, apakah kontaminasi
fisik, kimia, atau mikrobiologis (Priyambodo, 2007).
Sediaan parenteral adalah sediaan obat steril, dapat berupa larutan atau
suspensi yang dikemas sedemikian rupa sehingga cocok untuk diberikan dalam
bentuk injeksi hypodermis dengan pembawa atau zat pensuspensi yang cocok.
Injeksi adalah sediaan steril berupa larutan, Emulsi atau suspensi atau serbuk
yang harus dilarutkan atau disuspensikan lebih dahulu sebelum digunakan, yang
disuntikkan dengan cara merobek jaringan ke dalam kulit atau melalui kulit atau
selaput lendir (Ansel, 1989).
Menurut Depkes (1995), sediaan steril untuk kegunaan parenteral
digolongkan menjadi 5 jenis yang berbeda :
1. Sediaan berupa larutan dalam air, minyak, pelarut organik yang lain yang
digunakan untuk injeksi
2. Sediaan padat kering (untuk dilarutkan) atau cairan pekat tidak
mengandung dapar, pengencer atau bahan tambahan lain dan larutan yang
diperoleh setelah penambahan pelarut yang sesuai memenuhi persyaratan
injeksi
3. Sediaan padat kering dengan bahan pembawa yang sesuai membentuk
larutan yang memenuhi persyaratan untuk suspensi steril setelah
penambahan bahan pembawa yang sesuai
4. Sediaan berupa suspensi serbuk dalam medium cair yang sesuai dantidak
disuntikkan secara intravena atau ke dalam saluran spinal
5. Sediaan berupa emulsi, mengandung satu atau lebih dapar, pengencer atau
bahan tambahan lain.
2.1.1 Syarat Sediaan Parenteral
Sediaan-sediaan parenteral menurut Lutfiah (2009) hanya dapat diberikan
kerja yang optimal apabila memenuhi persyaratan sebagai berikut :
1. Kandungan bahan obat yang terdapat dalam sediaan parenteral, harus sama
yang terdapat didalam etiket dan tidak terjadi pengurangan kualitas dan

4
kuantitas selama penyimpanan, baik terjadinya kerusakan secara kimia
maupun secara fisika.
2. Wadah yang digunakan pada sediaan parenteral harus sesuai sehingga
wadah tersebut bukan hanya menjaga sterilitasnya saja, Tetapi juga dapat
mencegah terjadinya interaksi antara bahan obatnya dengan material dari
dinding wadahnya.
3. Tersatukan tanpa terjadinya reaksi
4. Harus steril
5. Bebas pirogen
6. Isotonis dan isohidris
7. Bebas dari partikel
2.1.2 Cara Pemberian Sediaan Prenteral
Menurut Latifah dan Natsir (2009), cara-cara pemberiaan sediaan
parenteral meliputi :
1. Subkutan
Subkutan atau pemberian dibawah kulit (s.c), yaitu disuntikkan kedalam
tubuh melalui bagian yang sedikit mengandung lemak dan masuk kedalam
jaringan dibawah kulit. Volume pemberiannya jarang melewati 1 ml, sedapat
mungkin isotonis dan isohidris, karena sediaan yang menyimpang dari isotonisnya
dapat menimbulkan rasa nyeri atau nekrosis dan absorpsi dari zat aktifnya tidak
optimal.
2. Intra Muskular (i.m)
Intra muskular yaitu suntikan kedalam jaringan otot, pada umumnya pada
otot pantat atau paha. Tempat suntikan sebaiknya sejauh mungkin dari saraf-saraf
utama atau pembuluh darah utama. Kerusakan akibat suntikan intra muskular
biasanya berkaitan dengan titik tempat jarum ditusukkan dan dimana obat
ditempatkan. Kerusakan ini meliputi paralisis akibat rusaknya saraf, abses,
emboli, terkelupasnya kulit, dan pembentukan parut.

5
3. Intra Vena (i.v)
Intra vena yaitu disuntikkan langsung kedalam pembuluh darah vena.
Larutannya biasanya dalam jumlah kecil (kurang dari 5 ml) sebaiknya isotonis
dan isohidris. Khusus pemberian dengan cara infus, harus isotonis, isohidris dan
bebas pirogen. Tidak ada fase absorbsi, karena obatnya langsung masuk kedalam
pembuluh darah vena, onset of action cepat. Disamping cara pemberiaan seperti
yang telah diuraikan, masih adaara pemberian lainnya yaitu: (Latifah dan natsir,
2009)
2.1.3 Macam- macam Injeksi
Menurut Depkes (1995), injeksi terbagi menjadi dua jenis. yaitu larutan
injeksi volume besar (Large Volume Parenteral) dan volume kecil (Small Volume
Parenteral).
1. Injeksi Volume Kecil (Small Volume Parenteral)
Larutan injeksi volume kecil adalah sediaan parenteral volume kecil yang
dikemas dalam wadah bertanda volume 100 ml atau kurang dan biasa disebut
dengan injeksi (Departemen Kesehatan RI, 1995).
Sediaan injeksi volume kecil adalah ampul 1 ml, 2 ml, 3 ml, 5 ml, dan
serta vial 2 ml, 5 ml, 10 ml, 15 ml, 20 ml, dan 30 ml. Sediaan ini dapat digunakan
untuk penyuntikan secara intramuskular, intravena, intradermal, subkutan,
intraspinal, intrasisternal atau intratekal (Agoes,2009).
2. Injeksi Volume Besar (Large Volume Parenteral
Injeksi volume besar, disebut juga sediaan infuse steril. Sediaan infus,
merupakan salah satu bentuk sediaan steril dapat berupa larutan atau emulsi,
bebas pirogen, sedapat mungkin isotonis dengan darah, yang cara penggunaanya
disuntikkan kedalam tubuh dengan merobek jaringan tubuh melalui kulit atau
selaput lendir. Larutan injeksi volume besar digunakan untuk intravena dengan
dosis tunggal dan dikemas dalam wadah bertanda volume lebih dari 100 ml
(Syamsuni, 2007).
2.1.6 Definisi Ampul
Ampul adalah wadah gelas yang disegel rapat sebagai wadah dosis tunggal
yang dapat berisi bahan padat atau larutan obat jernih atau suspensi halus,

6
dimaksudkan untuk penggunaan parenteral. Biasanya kecil, dari 1 sampai 50 ml,
tetapi mungkin mempunyai kapasitas sampai 100 ml (Jenkins, 1969).
Ampul merupakan kemasan obat tunggal yang berbentuk cair. Dengan
volume obat 1 – 10 ml atau lebih. Terbuat dari kaca, berbentuk botol kecil dan
berleher. Warna garis pada leher menunjukkan tempat tersebut mudah dipotong
untuk membuka kemasan ampul tersebut (Sprowls, 1996).
Ampul adalah wadah berbentuk silindris yang terbuat dari gelas yang
memiliki ujung runcing (leher) dan bidang dasar datar. Ukuran nominalnya adalah
1, 2, 5, 10, 20 kadang-kadang juga 25atau 30 ml. Ampul adalah wadah takaran
tunggal, oleh karena total jumlah cairannya ditentukan pemakaian dalam satu kali
pemakaiannya untuk satu kali injeksi. Menurut peraturan ampul dibuat dari gelas
tidak berwarna, akan tetapi untuk bahan obat peka cahaya dapat dibuat dari bahan
gelas berwarna coklat tua. Ampul gelas berleher dua ini sangat berkembang pesat
sebagai ampul minum untuk pemakaian peroralia (R. Voigt, 1995).
2.1.7 Hal yang Harus Diperhatikan Pada Ampul
Menurut R. Voigt (1995) hal-hal yang perlu diperhatikan pada ampul
sebagai berikut
1. Tidak perlu pengawet karena merupakan takaran tunggal
2. Tidak perlu isotonis
3. Diisi melalui buret yang ujungnya disterilkan terlebih dahulu dengan
alkohol 70%
4. Buret dibilas dengan larutan obat sebelum diisi
2.1.8 Cara Pengisian Ampul
Untuk pengisian ampul, jarum hipodermik panjang adalah penting karena
lubangnya kecil. Jarum harus dimasukkan ke dalam ampul sampai di bawah leher
ampul, tetapi tidak cukup jauh untuk masuk ke dalam larutan yang dimasukkan ke
dalam ampul. Jarum harus dikeluarkan dari ampul tanpa menggunakan tetes
larutan pada dinding primer dari leher ampul. Metode ini digunakan untuk
mencegah pengurangan dan pengotoran jika ampul disegel (Jenkins,1969).

7
2.1.9 Cara Penyegelan Ampul
Ampul dapat ditutup dengan melelehkan bagian gelas dari leher ampul
sehingga membentuk segel penutup atau segel tarik. Segel penutup dibuat dengan
melelehkan sebagian gelas pada bagian atas leher ampul bulatan gelas dan
menutup bagian yang terbuka. Segel tarik dibuat dengan memanaskan leher dari
suatu ampul yang berputar di daerah ujungnya kemudian menarik ujungnya
hingga membentuk kapiler kecil yang dapat diputar sebelum bagian yang meleleh
tersebut ditutup (Lachman, 1986).
Ampul dapat disegel secara manual melalui penggunaan api. Sumbu
dibawah ujungnya dan tarik ujungnya melalui sentuhan dengan tangkai gelas.
Gelas yang kuat dihasilkan dengan peleburan disekitar butiran dan segel dari
ampul. Untuk menghasilkan segel pada ampul dapat digunakan konfeyor untuk
menyegelnya, dimana ini diletakkan di tengah dan diputar dalam api penyegelan
sampai ujung gelas melebur dan membentuk seperti manik penyegelan (Parrot,
1971).
2.1.10 Cara Sterilisasi
Menurut Jawetz (2001) Cara sterilisasi dapat dilakukan dengan 2 cara,
yaitu:
1. Terminal Sterlization (sterilisasi akhir).
merupakan proses sterilisasi yang dilakukan setelah sediaan selesai
dikemas, untuk selanjutnya dilakukan sterilisasi, jenis metode sterilisasi yang
sering digunakan adalah metode sterilisasi panas lembab menggunakan autoklaf,
namun sterilisasi akhir dapat dilakukan dengan berbagai metode (panas kering,
filterisasi, EM, pengion, gas), hal ini tergantung pertimbangan keefektifan,
efisiensi, dan ketepatan serta kesesuaian dengan zat-zat dalam sediaan.
a. Overkill Method
Yaitu metode sterilisasi menggunakan pemanasan dengan uap panas pada
suhu 121C selama 15 menit.Penggunaan metode ini biasanya dipilih untuk
bahan-bahan yang tahan panas seperti zat anorganik. Dasar pemilihan
metode ini adalah karenalebih efisien, cepat, dan aman.

8
b. Bioburden Sterilitation
Merupakan suatu metode sterilisasi yang dilakukan dengan
monitoringterkontrol dan ketat terhadap beban mikroba sekecil mungkin
dibeberapa lokasi jalur produksi sebelum menjalani prosessterilisasi
lanjutan dengan tingkat sterilitas yangdipersyaratkanSAL 10 -6. Dalam
metode ini digunakan suatu zat yangdapatmengalami degradasi kandungan
bila dipanaskan pada suhu yangsangattinggi. Sebagai contoh adalah
penggunaan Dextrose yangbiladipanaskan dapat menghasilkan
senyawaHidro Methyl Furfural (HMF) yangmerupakan suatu senyawa
hepatotoksik.
2. Aseptic Processing Metode
Merupakan metode pembuatan produk steril menggunakan saringan
dengan filter khusus untuk bahan obat steril atau bahan baku steril yang
diformulasi dan dimasukkan kedalam kontainer steril dalam lingkungan
terkontrol. Suplai udara, material, peralatan, dan petugas telah terkontrol
sedemikian hingga kontaminasi mikroba tetap berada pada level yang dapat
diterima dalam clear zone.
a. Sterilisasi dengan cara rebus. Mensterikan peralatan dengan cara merebus
didalam air sampai mendidih (100oC) dan ditunggu antara 15 sampai 20
menit. Misalnya peralatan dari logam, kaca dan karet.
b. Sterilisasi dengan cara stoom. Mensterikan peralatan dengan uap panas
didalam autoklaf dengan waktu, suhu dan tekanan tertentu. Misalnya alat
tenun, obat-obatan dan lain-lain.
c. Sterilisasi dengan cara panas kering. Mensterikan peralatan dengan oven
dengan uap panas tinggi. Misalnya peralatan logam yang tajam, peralatan
dari kaca dan obat tertentu.
d. Sterilisasi dengan cara menggunakan bahan kimia. Mensterikan peralatan
dengan menggunakan bahan kimia seperti alkohol, sublimat, uap, formalin,
khususnya untuk peralatan yang cepat rusak bila kena panas. Misalnya
sarung tangan, kateter, dan lain-lain.

9
2.2 Studi Preformulasi Zat Aktif
2.2.1 Piracetam
Nama resmi : PYRROLIDONE ACETAMID (Reynads, 1993)
Nama lain : Piracetam, Asetamida (Reynads,1993)
Rumus Molekul : C6C10N2O2
Rumus Struktur :

Berat Molekul : 142,2 g/mol (Reynads,1993)


Pemerian : Merupakan serbuk berwarna putih, dan tidak
berbau (Martindale, 368).
Kelarutan : Larut dalam air, mudah larut dalam etanol (95%)
P (Martindale, 368).
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat (Martindale, 368).
Kegunaan : Zat aktif
Stabilitas : Stabil dalam air (Reynads,1993)
Suhu : Harus disimpan pada suhu 15oC - 30o C,
(Martindale, 368).
pH : 6,0 (Suelen, 2013).
Oksidasi : Mudah terbakar dan terurai pemanasan
(Martindale, 368)
Hidrolisis : Harus dilindungi dari sinar matahari, disimpan
dalam wadah yang tertutup rapat, ditempat sejuk,
dan tempat yang kering (Martindale, 368).
Inkompatibilitas : Pemberian bersama dengan ekstrak tiroid
menyebabkan confusion dan gangguan tidur
(Martindale, 368).

10
Farmakologi : Memodulasi neurotransmisi kolinergik
serotonergik, meningkatkan kepadatan reseptor,
atau mengembalikan fungsi reseptor melalui
fluiditas membran piracetam. Meningkatkan
formabilitas eritrosit. Mengurangi agregat platelet
dan mengurangi adhesi ke endotel vascular, dan
vasoplasma kapiler (Pubchem, 2021).
Cara sterilisasi : Larutan disterilisasi di autoklaf atau difiltrasi
(Sweetman, 2009).
Dosis : 0,4 % (Martindale, 368)
Wadah : Dalam wadah tertutup baik dan kering (Rowe,
2009)
Alasan penambahan : Untuk beberapa fungsi kognitif rehidrasi oral
tidak memungkinkan (Martindale, 368).

11
BAB III
PENDEKATAN FORMULA
3.1 Waktu dan Tempat Pelaksanaan
Praktikum Teknologi Sediaan Steril “Ampul” dilaksanakan pada hari
jum’at 19 November 2021 pada pukul 07:40 sampai 10:30 WITA di Laboratorium
Teknologi Farmasi, Jurusan Farmasi, Fakultas Olahraga dan Kesehatan,
Universitas Negeri Gorontalo.
3.2 Pendekatan Formula
3.2.1 Aqua Pro Injeksi (Depkes RI, 1979)
Nama resmi : AQUA PRO INJECTION (FI III, hal. 97)
Nama lain : Aqua untuk injeksi, api, water for injection
Berat molekul : 18,02 g/mol (Dirjen POM, 1979)
Rumus Kimia : H2O (Dirjen POM, 1979)
Struktur Kimia :

Pemerian : Keasaman, kebasaan, ammonium, besi,


tembaga, timbale, kalsium, klorida, nitrat,
sulfat, zat tenoksidasi menurut syarat yang
terasa pada aqua destilata (Dirjen POM,
1979)
Kelarutan : Dapat bercampur dengan polar
PH : 7 (Dirjen POM, 1979)
Suhu : 100o C (Rowe, 2009)
Hidrolisi : Dapat stabil dengan semua keadaan (cair dan
padat) (Depkes RI, 1979)
Oksidasi : Bebas dari karbondioksida (Dirjen POM,
1979)
Bentuk Zat : Cairan jernih, tidak berbau dan tidak
berwarna (FI III, hal. 97).
Cara Sterilisasi : Autoklaf (FI III, hal. 97).

12
Wadah : Disimpan dalam wadah yang sesuai (Rowe,
2009)
Alasan Penambahan : Sebagai pembawa dan pelarut (FI III, hal. 97).
3.2.2 Asam Fosfat
Nama resmi : PHOSPHORIC ACID (Rowe, 2009)
Nama lain : Acid fosforico, acide phosphorique, acidum
phosphorum (Dirjen POM, 1979)
Berat molekul : 98,00 g/mol (Rowe, 2009)
Rumus Kimia : H3PO4 (Rowe, 2009)
Struktur Kimia :

Pemerian : Larutan asam fosfat pekat tidak berwarna,


tidak berbau dan merupakan cairan manis
(Rowe, 2009)
Kelarutan : Dapat bercampur dengan polar (Rowe, 2009)
PH : 1,6 (Dirjen POM, 1979)
Suhu : 100o C (Rowe, 2009)
Hidrolisi : Dapat stabil dengan semua keadaan (cair dan
padat) (Rowe, 2009)
Oksidasi : Bebas dari karbondioksida (Rowe, 2009)
Inkompatibilitas : Asam fosfat adalah asam kuat dan bereaksi
dengan zat alkali campuran dengan
nitrometana dapat meledak (rowe, 2009)
Bentuk Zat : Cairan jernih, tidak berbau dan tidak
berwarna (Dirjen POM, 1979)
Cara Sterilisasi : Autoklaf (FI III, hal. 97).
Wadah : Disimpan dalam wadah yang sesuai (Rowe,
2009)
Alasan Penambahan : Sebagai pendapar (Rowe, 2009)
3.2.3 Natrium Fosfat

13
Nama resmi : SODIUM PHOSPHATE (Rowe, 2009)
Nama lain : Dinatrii phosphas anhydricus, dinatrii
phosphas dihydricus, disodium hydrogen
phosphate (Rowe, 2009)
Berat molekul : 141,96 g/mol (Rowe, 2009)
Rumus Kimia : Na2HPO4 (Rowe, 2009)
Struktur Kimia :

Pemerian : Anhidrat dibasic natrium fosfat merupakan


bubuk putih, dihidrat merupakan kristal putih
atau hamper putih, tidak berbau (Rowe, 2009)
Kelarutan : Sangat mudah larut dalam air, lebih cepat
pada air panas atau air mendidih. Praktis tidak
larut dalam etanol (95%). Bentuk anhidratnya
larut 1 dalam 8 bagian air (Rowe, 2009).
Ph : 9,1 (Rowe, 2009).
Suhu : 100o C (Rowe, 2009)
Hidrolisi : Dapat stabil dengan semua keadaan (cair dan
padat) (Rowe, 2009)
Oksidasi : Bebas dari karbondioksida (Rowe, 2009)
Inkompatibilitas : Natrium fosfat tidak kompatibel dengan
alkaloid, asetat pirogalol. Inteaksi antara
kalsium dan fosfat berakibat pada
pembentukkan endapan kalsium-fosft yang
tidak larut, dimungkinkan dilaukan ada
campuran parenteral (Rowe, 2009)
Bentuk Zat : Bubuk putih, tidak berbau dan tidak berwarna
(Rowe, 2009)
Cara Sterilisasi : Autoklaf (FI III, hal. 97).
Wadah : Disimpan dalam wadah yang sesuai (Rowe,

14
2009)
Alasan Penambahan : Sebagai pendapar (Dirjen POM, 1979)
3.2.4 Natrium Klorida
Nama resmi : NATRII CHLORIDUM (FI IV, hal. 584)
Nama lain : Natrium klorida, garam dapur (FI IV, hal.
584)
Berat molekul : 58,44 g/mol (FI IV, hal. 584)
Rumus Kimia : NaCl (FI IV, hal. 584)
Struktur Kimia :

Pemerian : Kristal tidak berbau tidak berwarna atau


serbuk kristal putih tiap 1 gram (FI IV, hal.
584)
Kelarutan : Larut dalam 2,5 bagian air, dalam 2,7 bagian
air mendidih dan dalam kurang lebih 10
bagian gliserol P, sukar larut dalam etanol
(95%) (FI IV, hal. 584).
PH : 5,0 – 7,5 (Dirjen POM, 1995)
Suhu : Tahan panas hingga suhu 804 o C (The
Handbook of Pharmaceutical Excipients, hal.
637).
Hidrolisi : NaCl merupakan garam yang pembentuknya
berasal dari asam kuat HCl dan basah kuat
NaOH (Dirjen POM, 1979)
Oksidasi :
Bentuk Zat : Kristal tidak berbau, tidak berwarna atau
sebuk putih tiap 1 gram (FI IV, hal. 584)
Cara Sterilisasi : Autoklaf (FI III, hal. 97).
Wadah : Disimpan dalam wadah tertutup baik (Rowe,

15
2009)
Alasan Penambahan : Sebagai zat aktif (Dirjen POM, 1979)

BAB IV
FORMULASI DAN PERHITUNGAN
4.1 Formulasi

16
R/
Piracetam 0,4 %
Natrium Fosfat 0,0066 gr
Asam Fosfat 0,00342 gr
NaCl 0,6 %
API ad 5 Ml
4.2 Perhitungan
4.2.1 Tonisitas
a. Piracetam
Zat Tipe Ion LISO BM E
(17.Liso/BM)
Univalent-
C6H10+ + N2O2- Univalent 3,4 142,2 0,406
electrolyte
b. Asam Fosfat
Zat Tipe Ion LISO BM E
(17.Liso/BM)
Univalent-
H3 + PO4
+ -
Univalent 3,4 98,00 0,589
electrolyte
c. Natrium Fosfat
Zat Tipe Ion LISO BM E
(17.Liso/BM)
Univalent-
Na+ + O2P2- Univalent 4,3 117,9 0,620
electrolyte

Zat E Massa Tonisitas


(gram) (M x E)
Piracetam 0,406 0,002 0,000812
Na. Fosfat 0,620 0,0066 0,00409

17
Asam Fosfat 0,0589 0,00342 0,00020
NaCl 1 0,03 0,03
0,9
Jumlah NaCl yang ditambahkan agar isotonis dalam sediaan 5 mL= x5
100
= 0,045
NaCl yang ditambahkan agar isotonis = 0,045-0,0351
= 10 mg
4.2.2 Osmolaritas
a. Piracetam dalam 5 mL sediaan = 0,02 gr
BM = 142,2
Jumlah Ion/ NaCl = C6H10+ + N2O2- = 2
g /L
mOsmole / L =
BM
x 1000 X Jumlah Ion
0,02 /0,005
=
142,2
x 1000 X 2
= 56,2 mOsmole / L
1
C6H10+ =
2
x 56,2
= 28,1 mOsmole/L
1
N2O2- =
2
x 56,2
= 28,1 mOsmol/L
b. Asam Fosfat dalam 5 mL sediaan = 0,00342 gr
BM = 98
Jumlah Ion/ NaCl = H3+ + PO4 - =2
g /L
mOsmole / L =
BM
x 1000 X Jumlah Ion
0,00342 /0,005
=
98
x 1000 X 2
= 13, 95 mOsmole / L

18
1
H3+ =
2
x 13, 95
= 6,97 mOsmole/L
1
PO4 - =
2
x 13,95
= 6,97 mOsmole/L
c. Na Fosfat dalam 5 mL sediaan = 0,0066 gr
BM = 117,96
Jumlah Ion/ NaCl = Na+ + O4P2 - =3
g /L
mOsmole / L =
BM
x 1000 X Jumlah Ion
0,0066 /0,005
=
117,96
x 1000 X 3
= 33,57 mOsmole / L
1
Na+ =
3
x 33, 57
= 11,19 mOsmole/L
2
O4P2
-
= 3 x 33,57
= 22,38 mOsmole/L
d. NaCl dalam 5 mL sediaan = 0,03 gram
BM = 58,44
Jumlah Ion/ NaCl = Na+ + Cl - =2
g /L
mOsmole / L =
BM
x 1000 X Jumlah Ion
0,03 /0,005
=
58,44
x 1000 X 2
= 205 mOsmole / L
1
Na+ =
2
x 205
= 102,5 mOsmole/L
1
Cl - =
2
x 205

19
= 102,5 mOsmole/L
Total
C6H10+ = 28, 1 mOsmole/L
N2O2- = 28,1 mOsmole/L
H3+ = 6,97 mOsmole/L
PO4 - = 6,97 mOsmole/L
Na+ = 11, 19 + 102, 5
-
O4P2 = 22,38 mOsmole/L
Cl- = 102,5 mOsmole/L
= 308,71 mOsmole/L
4. Perhitungan dapar
Ampul Piracetam : 5 ml
pH sediaan : 7,4
pH dapar fosfat : 5,9-8,9
pKa 1 : 2,11
pKa 2 : 7,20
pKa 3 : 12,30

pKa = - Log Ka
7,20 = - Log Ka
Ka = 7,20
Ka = 15,848
pH = -Log (H+)
7,4 = -Log (H+)
(H+) = antilog 7,4
(H+) = 25,118

Kapasitas dapar
B = 2,303 X C X Ka ¿¿

20
0,01 = 2,303 X C X
( 15,848 ) (25,118)
¿¿
398,070
0,01 = 2,303 x C x
1678,213
0,01 = 0,545 x C
0,01
C =
0,545
C = 0,0183
g
pH = pKa + Log ( a )

g
7,4 = 7,20 + Log ( a )

g
Log ( a ) = 7,4-7,20
= 0,2
g
(a) = antilog 0,2

g
(a) = 1,58

g = 1,58 (a)
C = (g) + (a)
0,0183 = 2,58 (a)
0,0183
4 = = 0,0070
2,58
C = (g + a)
0,0183 = (g) + 0,0070
(g) = 0,0183- 0,0070 = 0,0113
Masam = BM x Casam x Volume
= 97, 99 x 0,0070 x 0,005
= 0,00342
Mgaram = BM x Cgaram x Volume
= 117, 96 x 0,0113 x 0,005
= 0,0066 gram

21
BAB V
CARA KERJA DAN EVALUASI

22
5.1 Cara Kerja
1. Disiapkan alat dan bahan didalam ruangan grey area (ruang sterilisasi)
2. Semua alat dan bahan disterilisasi dengan cara masing-masing di ruangan
grey area (ruang sterilisasi)
3. Ditimbang semua bahan didalam ruangan grey area (Ruang
penimbangan). Piracetam sebanyak 0,002 gram, asam fosfat sebanyak
0,0034 gram dan NaCl sebanyak 0,0066 gram
4. Setelah semua bahan ditimbang, dimasukkan kedalam White area melalui
transfer box
5. Dilarutkan Piracetam dengan sedikit aqua pro injeksi dalam gelas kimia
dan aduk hingga homogen didalam ruangan white area (ruang
pencampuran)
6. Ditambahkan aqua pro injeksi hingga mencukupi 5 ml kedalam gelas
kimia dan aduk hingga homogen
7. Ditambahkan Asam fosfat dan natrium fosfat kedalam gelas kimia dan
aduk hingga homogen
8. Dimasukkan larutan kedalam wadah ampul dan tutup rapat
9. Sterilisasi sediaan menggunakan filtrasi atau penyaringan mikroba
didalam ruangan white area (LAF)
10. Ditransfer sediaaan ke Grey area melalui transfer box
11. Diberi etiket, dikemas serta dilengkapi dengan brosur didalam ruangan
grey area (ruangan evaluasi)
12. Dilakukan evaluasi sediaan didalam ruangan grey area (ruangan evaluasi)

5.2 Evaluasi
Tabel evaluasi sediaan infus

23
No Jenis Prinsip Syarat Hasil
1. Uji penetapan Uji pH 4-10 pH 7,5
menggunakan (Rowe, R.C.
pH meter 2009)

2. Uji Partikel Partikel Bebas dari Tidak terdapat


pengotor cairan partikel, serat partikulat
dihitung dengan halus
sistem elektrolit
yang dilihat
dengan latar
belakang hitam

3. Penetapan Dua tabung Kejernihan Keruh


Kejernihan reaksi zat uji sampe dengan
dan suspensi aturan pelarut
larutan yang
dibandingkan 5 digunakan
menit dengan
pembawa
suspensi

4. Uji volume Pengukuran Volume rata- Volume yang


terpindahkan jumlah sediaan rata yang dihasilkan sudah
yang dikemas diperoleh dari sesuai dengan
dalam wadah wadah tidak ketentuan syarat.
dikeluarkan dari kurang dari
wadah aslinya 100% dan tidak
ada satupun
wadah yang
kurang dari
95% dan

24
volume
dinyatakan
pada etiket

5. Uji kebocoran Botol diputar Tidak ada Tidak terdapat


1800 C diuji larutan yang kebocoran pada
apakah ada keluar sediaan
tetesan yang
mengalir

BAB VI
PEMBAHASAN

25
Sterilisasi merupakan suatu proses menghancurkan atau memusnahkan
semua mikroorganisme termasuk spora, dari sebuah benda atau lingkungan.
Peranan sterilisasi pada pembuatan makanan yaitu berfungsi untuk menjamin
keamanan terhadap pencemaran oleh mikroorganisme dan memperpanjang waktu
simpan (Purnawijayanti, 2001). Prinsip dasar sterilisasi yaitu memperpanjang
umur simpan bahan pangan dengan cara membunuh mikroorganisme yang ada di
dalamnya. Mikroorganisme yang tumbuh pada produk pangan biasanya dapat
mencemari produk pangan dan membuat makanan lebih cepat basi.
Mikroorganisme pembusuk tersebut bisa berupa bakteri, khamir (yeast) dan
kapang (jamur) (Hiasinta, 2001).
Pada praktikum kali ini, dilakukan percobaan sediaan Ampul. Sebelum
masuk ke dalam pembuatan sediaan Ampul. Alat dan bahan harus di sterilkan
terlebih dahulu karena membunuh semua bentuk mikroorganisme hidup termasuk
sporanya pada alat-alat yang disterilkan demi menjamin kebersihan dari sediaan.
Dalam mensterilkan akat dan bahan, digunakan dua metode yakni metode uap
panas (Autoklaf) dan menggunakan metode pemanasan kering (Oven). Adapun
alat yang digunakan pada praktikum kali ini yaitu gelas ukur, gelas kimia, corong,
pipet tetes, karet pipet tetes, batang pengaduk, dan pingset logam . Untuk bahan
yang digunakan yaitu tisu , kertas saring, fenitin, dapar fosfat, A.P.I .
Pertama disterilkan alat menggunakan uap panas (Autoklaf) dengan suhu
121ºC selama 15 menit dimana menurut Nurhabibah (2014), pada suhu 121°C
endospora dapat dibunuh dalam waktu 4-5 menit, dimana sel vegetatif bakteri
dapat dibunuh hanya dalam waktu 6-30 detik pada suhu 65°C. Disiapkan alat dan
bahan yang akan di sterilkan. Di sterilkan botol infus menggunakan alkohol 70%
dengan cara aseptis, karena efektivitas alkohol 70% sebagai disinfektan terhadap
kuman dengan menyemprot dan menggenangi terbukti mampu mereduksi jumlah
koloni kuman sampai 91% tiap membrane (Handoko, 2007). Dibungkus alat-alat
yang akan di sterilkan menggunakan koran, yakni batang pengaduk, corong, gelas
ukur, gelas kimia. Dimasukkan ke dalam autoklaf dengan suhu 121ºC dengan
waktu 15 menit. Hal ini sesuai dengan pernyataan Walton dan Torabinejad (2008),
alat-alat yang telah dibungkus diautoklafkan selama 20 menit, namun pada

26
praktikum digunakan waktu 15 menit pada suhu 121ºC dan tekanan 15 psi. Ini
akan membunuh semua bakteri, spora, dan virus.. Disterilkan juga bahan
menggunakan autoklaf dengan suhu dan waktu yang sama.
Pada proses sterilisasi berikutnya kami menggunakan pemanasan kering
(Oven). Disiapkan alat dan bahan yang akan di sterilkan. Dibungkus
menggunakan kertas koran untuk alat yang akan disterilkan yakni pingset logam,
tisu, dan kertas saring . Hal ini sesuai dengan pernyataan Drs. Lestanto Unggul
Widodo, M.S. (2013), sterilisasi dengan oven 170oC Sterilisasi panas kering cocok
untuk alat yang terbuat dari kaca, misalnya gelas kimia, gelas ukur. Untuk pinset,
di sterilkan menggunakan pemijaran (dengan api langsung) membakar alat pada
api secara langsung, contoh alat: jarum inokulum (jarum ose), pinset, batang L.
Untuk bahan yang kami gunakan disterilisasi menggunakan autoklaf yaitu Aqua
Pro Injeksi, fenitoin, dan dapar fosfat (Drs. Lestanto Unggul Widodo, M.S.2013).
Kemudian masuk pada tahap formulasi dimana menurut Siregar (2010),
formulasi merupakan tahapan lanjutan dari kegiatan preformulasi. Dalam kegiatan
formulasi harus diperhatikan tahapan-tahapan dalam menggabungkan tiap
komponen yang tertera pada formula yang telah dibuat. Formulasi adalah salah
satu kegiatan dalam pembuatan sediaan yang menitikberatkan pada kegiatan
merancang komposisi bahan baik bahan aktif maupun bahan tambahan yang
diperlukan untuk membuat sediaan tertentu yang meliputi nama dan takaran
bahan, dimana penentuan bahan harus selalu melewati proses studi preformulasi.
Pertama dilakukan yaitu dikalibrasi Ampul, kalibrasi dilakukan agar
menjaga kondisi alat agar tetap sesuai dengan standar besaran spesifiknya
(Kemenkes RI, 2015). Lalu dilarutkan piracetam dengan aqua pro injeksi dalam
gelas kimia sampai larut. Kemudian ditambahkan A.P.I sampai 2 ml,lalu
ditambahkan dapar fosfat, kemudian dicampur hingga homogen. Alasan
penambahan piracetam yaitu sebagai zat aktif dari sediaan ini, lalu di tambahakan
A.P.I sebanyak 2 ml, alasan menggunakan aqua pro injeksi (A.P.I) yaitu sebagai
larutan aqua steril yang ditujukan sebagai pengencer atau pelarut sediaan injeksi
(Rowe,2009). Lalu di tambahkan dapar fosfat, alasan menggunakan dapar fosfat
karena dapat mencegah perubahan Ph sediaan ampul (Dirjen POM, 1979).

27
Kemudian di transfer ke LAF (Laminar Air Flow) dengan tujuan untuk
mensterilkan dari mikroba atau kontaminasi yang terbawa ikut oleh aliran udara,
akan tetapi hasilnya masih kurang maksimal karena masih terkontaminasi oleh
mikroba lainya yang tidak dikehendaki (Departemen Kesehatan RI, 2007).
Selanjutnya dilakukan evaluasi pada sediaan ampul yang dibuat. Pada
evaluasi kali ini kami menguji Uji Organoleptik, kami mendapatkan hasil Bau,
warna, dan bentuk pada sediaan yang sudah sesuai. Uji penetepan pH sediaan,
yaitu tidak mendapatkan hasil. Uji partikulat kami mendapatkan hasil Terdapat
sedikit partikulat.Uji Penetapan kejernihan mendapatkan hasil Kejernihan dari
sediaan yang dibuat sesuai dengan syarat. Dan Uji volume terpindahkan kami
mendapatkan hasil volume yang dihasilkan sudah sesuai dengan ketentuan syarat
Sebelum wadah botol ampul diberi etiket, brosur dan dikemas, terlebih
dahulu dilakukan uji pemeriksaan hasil sediaan atau evaluasi. Menurut Agoes
(2009), Tujuan dilakukan evaluasi itu agar dapat mengetahui apakah sediaan
masih ada kekurangan atau tidak memenuhi syarat kestabilan sediaan, sehingga
perlu dilakukan uji evaluasi. Evaluasi yang dilakukan meliputi uji organoleptik,
uji penetapan pH sediaan, uji partikulat, uji penetapan kejernihan, dan uji volume
terpindahkan.
Uji organoleptik dilakukan dengan cara mengamati sediaan dengan panca
indra dengan melihat warna dari sediaan, bau yang dihasilkan serta bentuk dari
cairan infus apakah masih ada partikel-partikel kecil dari zat aktif maupun zat
tambahan yang tidak larut. Berdasarkan hasil yang telah dilakukan, didapatkan
hasil larutan sedian ampul berwarna bening dengan bau khas zat aktif dan bentuk
cairan larutannya larut sempurna hal ini sesuai dengan syarat dari sediaan Larutan
untuk infus harus jernih (Departemen Kesehatan RI,1995).
Uji pH pada sediaan yang dibuat dengan menggunakan kertas lakmus.
Menurut Trissel (2011), pengujian pH dilakukan untuk mengetahui apakah
sediaan ampul steril sudah sesuai dengan range pH fisiologi tubuh. Menurut
Depkes RI (1995), pH darah normal adalah 7,35-7,45 sehingga bila sediaan
parenteral volume kecil mempunyai PH diluar batas maka akan menyebabkan
masalah pada tubuh.

28
Selanjutnya dilakukan uji bahan partikulat dalam sediaan yang dilakukan
dengan cara melihat secara visual ada tidaknya bahan partikulat pada sediaan
ampul yang telah dibuat. Bahan partikulat merupakan zat asing, tidak larut dan
melayang, kecuali gelembung gas yang tanpa disengaja ada dalam larutan
parenteral (Depkes RI, 1995). Dimana setelah dilakukan pengamatan didapatkan
bahwa dalam sediaan ampul yang telah dibuat ditemukan adanya bahan partikulat
menurut Rachmawati (2010) apabila terdapat partikulat dalam sediaan disebabkan
oleh udara dalam suatu ruangan yang kurang bersih atau masih terdapat partikel-
partikel kecil.
Uji penetapan kejernihan. Uji kejernihan bertujuan untuk mengetahui
kejernihan sediaan ampul yang dibuat. Menurut dirjen POM (1995) suatu cairan
dikatakan jernih jika kejernihannya sama dengan air atau pelarut yang digunakan.
Sediaan ampul yang kami buat jernih, tidak terdapat partikel yang terlihat dalam
sediaan. Berdasarkan hasil yang didapatkan, dalam sediaan ampul hasil larutannya
jernih.
Uji volume terpindahkan adalah uji bertujuan untuk melihat Pengkuran
jumlah sediaan yang dikemas dalam wadah. Menurut dirjen POM (1995) Volume
rata-rata yang diperoleh dari wadah tidak kurang dari 100% dan tidak ada satupun
wadah yang kurang dari 95% & volume yang dinyatakan pada etiket. Berdasarkan
hasil yang pengujian volume terpindahkan volume yang dihasilkan sudah sesuai
dengan ketentuan syarat.dan berkurang 2 ml hal ini menunjukkan bahwa pada saat
pemberian kepada pasien, jumlah obat yang diinjeksikan tetap sesuai dosis yang
diperlukan (dirjen POM, 1995)
Adapun kemungkinan kesalahan yang tidak disadari atau kekurangan
bahan-bahan maka sediaan ampul tidak begitu efisien sebagaimana mestinya
seperti kesalahan dalam penimbangan dan sterilisasi yang menyebabkan sediaan
yang dibuat kurang baik kualitasnya.

BAB 7
PENUTUP

29
7.1 Kesimpulan
1. Sediaan injeksi volume kecil adalah ampul 1 ml, 2 ml, 3 ml, 5 ml, dan 20
ml, serta vial 2 ml, 5 ml, 10 ml, 15 ml, 20 ml, dan 30 ml. Sediaan ini dapat
digunakan untuk penyuntikan secara intramuscular, intravena, intradermal,
subkutan, intraspinal, intrasisternal atau intratekal.
2. Sediaan injeksi volume kecil dikenal dengan beberapa wadah yaitu dosis
tunggal (single dose). Wadah dosis tunggal adalah suatu wadah yang kedap udara
yang mempertahankan jumlah obat steril yang dimaksudkan untuk pemberian
parenteral sebagai dosis tunggal, dan yang bila dibuka dapat ditutup rapat kembali
dengan jaminan tetap steril.
3. Evaluasi dalam sediaan injeksi sediaan kecil seperti ampul yaitu dengan
cara uji kebocoran pada wadah, uji kejernihan pada sediaan, uji ph sediaan, uji
volume terpindahkan, dan uji partikel.
7.2 Saran
7.2.1 Saran Kepada Jurusan
Di harapakan kepada jurusan agar lebih memperhatikan infrastruktur yang
ada di jurusan tepatnya di laboratorium agar proses praktikum berjalan dengan
lancar.
7.2.2 Saran Kepada Laboratorium
Di harapakan Agar kiranya dapat meningkatkan kualitas alat-alat yng ada
di dalam lab agar bisa digunakan dengan baik oleh praktikan.
7.2.3 Saran Kepada Asisten
Di harapakan Agar kiranya dapat memberikan informasi materi-materi
kepada praktikan dengan baik agar bisa di terima dengan baik oleh praktikan.

30

Anda mungkin juga menyukai