PENDAHULUAN
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 TEORI UMUM
2.1.1. Sterilisasi Alat
Metode sterilisasi yang biasa digunakan dapat berupa
sterilisasi fisika dan kimia (Suendra et al, 1991). Pada sterilisasi
fisika terdapat dua metode sterilisasi yaitu metode sterilisasi panas
dan metode sterilisasi bukan panas. Pada metode sterilisasi panas
terdapat dua macam sterilisasi yaitu sterilisasi panas basah dan
sterilisasi panas kering. Menurut Rizal (2016) sterilisasi panas basah
merupakan sterilisasi yang menggunakan alat pemanasan tertutup
bertekanan tinggi yang biasanya disebut autoklaf. Autoklaf sendiri
digunakan untuk mensterilkan suatu benda menggunakan uap
bersuhu dan bertekanan tinggi 121 º C, 15 lbs selama kurang lebih
15 menit. Penurunan tekanan pada autoklaf tidak dimaksudkan untuk
membunuh mikroorganisme, melainkan meningkatkan suhu dalam
autoklaf. Suhu yang tinggi inilah yang akan membunuh
mikroorganisme. Autoklaf terutama ditunjukkan untuk membunuh
endospora, yaitu sel resisten yang diproduksi oleh bakteri, sel ini
tahan terhadap pemanasan, kekeringan, dan antibiotik.
Metode sterilisasi panas yang selanjutnya yaitu sterilisasi
panas kering menggunakan sebuah bejana yang terdapat udara panas
didalamnya yang disebut oven. Prinsip dasar dari sterilisasi dengan
panas kering ini melalui mekanisme konduksi. Panas akan di
absorpsi oleh permukaan luar dari peralatan yang di sterilkan lalu
merambat kebagian yang lebih dalam dari peralatan tersebut sampai
suhu untuk sterilisasi tercapai secara merata (Darmadi, 2008).
Sterilisasi menggunkan oven ini memanfaatkan gas atau listrik
dengan suhu 160 – 180 º C dengan waktu sterilisasi 1-2 jam
(Darmadi, 2008). Metode ini sebaiknya hanya digunakan untuk
peralatan gelas atau logam. Metode ini tidak boleh dipakai untuk
media kultur yang digunakan dalam mikrobiologi (Chairl & Lestari,
2011).
Metode sterilisasi bukan panas merupakan metode yang
dilakuakn menggunakan sinar UV dan radiasi pengion (sinar
gamma). Sinar UV memiliki kemampuan untuk mempengaruhi kerja
fungsi inti sel mikroorganisme. Sinar UV sangat efektif
menghancurkan asam nukleat yang ada didalam mikroorganisme
(Cahyono, 2017). Sterilisasi dengan sinar UV digunakan pada alat
yang terbuat dari plastik dan kain stow, sarung tangan kain,
micripiper lip (Susilawati, 2013). Sterilisasi selanjutnya
menggunakan radiasi pengion (sinar gamma). Radiasi pengion
merupakan energi tinggi yang terpancar dari radiasi isotop radioaktif
seperti kobalt-60 (sinar gamma) atau yang dihasilkan oleh
percepatan mekanisme elektron sampai kekecepatan dan energi
(sinar katoda, sinar beta) (Lachman, 1994).
Metode sterilisasi dengan cara kimia terbagi menjadi dua cara
yaitu menggunakan gas kimia dan cairan kimia. Pada metode
sterilisasi menggunakan gas kimia, gas yang digunakan yaitu etilen
oksida yang berfungsi membunuh mikroba melalui reaksi kimia,
yaitu reaksi alkilasi. Pada reaksi ini terjadi penggantian gugus atom
hydrogen pada sel mikroba dengan gugus alkil, sehingga
metabolisme dan reproduksi sel tertanggu. Cara sterilisasi ini
digunakan pada alat medis dari plastik, dan lai-lain (Darmadi, 2008).
Gas lain yang digunakan pada metode sterilisasi ini yaitu
formaldehid yang digunkan untuk membunuh mikroba dengan cara
mengikat gugus asam amino dari mikroba. Cara ini hanya untuk
sterilisasi yang terbatas seperti kateter, sarung tangan, dan
sebagainya (Darmadi, 2008). Selanjutnya sterilisasi menggunakan
ozon dengan proses oksidasi langsung. Kekuatan oksidasi ozon dapat
merusak membran sel, dinding bagian luar sel mikroorganisme (cell
lysis) dan juga dapat membunuhnya (nekrosis) (Adji et al, 2007).
Sterilisasi menggunakan cairan kimia dapat menggunakan
bahan desinfektan dan antiseptik. Sediaan antiseptik merupakan
bahan kimia yang dapat menghambat atau membunuh pertumbuhan
jasad renik pada jaringan hidup (Subronto & Tjahajati, 2001).
Sedangkan desinfektan merupakan bahan kimia yang dapat
mencegah infeksi dengan jalan penghancuran atau pelarutan jasad
renik yang patogen (Subronto & Tjahajati, 2001). Desinfektan
biasanya ditunjukkan terhadap benda-benda mati (Irianto, 2007).
2.1.2. Ampul Vitamin C
Ampul adalah wadah berbentuk silindris terbuat dari gelas,
yang memiliki ujung runcing (leher) dan bidang dasar datar ukuran
normalnya adalah 1, 2, 5, 10, 20, kadang – kadang juga 25 atau 30
ml. Ampul adalah wadah takaran tunggal, oleh karena total jumlah
cairannya ditentukan pemakainannya untuk satu kali injeksi
(Voight, 1995).
Vitamin C atau L-asam askorbat merupakan antioksidan yang
larut dalam air (aqueous antioxidant). Vitamin C termasuk salah
satu vitamin esensial karena manusia tidak dapat menghasilkan
vitamin C didalam tubuh sendiri, vitamin C harus diperoleh dari
luar tubuh. Sumber vitamin C adalah sayuran seperti brokoli,
bayam, cabai dan buah seperti jambu biji, nanas, jeruk, tomat, dan
mangga. Rasa asam disebabkan oleh asam lain yang terdapat dalam
buah bersama dengan vitamin C (Vitahealth, 2006).
Vitamin C berfungsi melindungi sel darah putih dari enzim
yang dilepaskan saat mencerna bakteri yang telah ditelannya,
sintesa hormon-hormon steroid dari kolesterol, membantu dalam
pembentukan kolagen, menyembuhkan penyakit sariawan, proses
penyembuhan luka serta daya tahan tubuh melawan infeksi dan
stress dan sebagai antioksidan. Vitamin C merupakan antioksidan
yang berperanan penting dalam membantu menjaga kesehatan sel
(Kumalaningsih, 2007). Meskipun diketahui antioksidan bersifat
baik, apabila jumlahnya berlebihan dapat berbahaya bagi tubuh.
Vitamin C yang berlebihan akan berpotensi menjadi vitamin C
radikal yang bersifat radikal bebas, sehingga glutation tidak cukup
untuk menetralkannya (Nugraheni, 2003).
Vitamin C didalam tubuh akan mengalami proses absorpsi,
distribusi, metabolisme dan eksresi (ADME). Kelenjar adrenal
mengandung banyak vitamin C. Kadar vitamin C didalam darah
mencapai puncaknya 2-3 jam (Jimm man, 2014). Vitamin C
setelah dikonsumsi akan diekskresikan didalam urin, keringat dan
tinja. Ekskresi melalui urine merupakan yang terbesar sekitar 3-6
jam sedangkan dalam feses hanya sekitar 6-10 mg dalam 24 jam.
Ekskresi melalui air keringat sedikit. Vitamin C yang telah
diberikan secara oral atau parenteral diekslresikan cepat melalui
urin. Vitamin C menembus glomerulus masuk kedalam cairan
filtrate, sebagian vitamin C diserap kembali oleh tubuh (,
(Sediaoetama, 2010).
Efek vitamin C jika dikonsumsi berlebihan (melebihi batas
maksimal 200 mg atau penggunaan setiap hari berlebih) :
a. Menyebabkan produksi asam lambung meningkat.
BAB III
METODOLOGI PERCOBAAN
3.1 ALAT DAN BAHAN
3.1.1. Alat
- gelas ukur
- pipet tetes
- gelas beaker
- corong
- kertas saring
- batang pengaduk
- sendok tanduk
- ampul
- erlenmeyer
- buret
- karet warna merah
- pipa kapiler
- gelas ukur
- pH meter
- pinset
- kaca arloji
- kertas timbanagn
- kertas perkamen
- tali kasur
- tabung gas
- alat pemijaran
- cawan porselin
- lampu Bunsen
- tube salep
- labu ukur
- batang pengaduk
3.1.2 Bahan
- vitamin c
- NaOH
- benzalkoinum klorida
- aqua pro injeksi
- Kloramfenikol
- Lanolin
- Liquid Paraffin
- Vaseline flavum
- Alkohol Glukosa
- Water For Injection (WFI)
- Paraffin liquid
- Aqua Pro Injection (API)
- NaCl
- Alcohol (Disenfektan)
- Glukosa anhidrat
- Norit
- WFI Steril
3.2. PROSEDUR KERJA
3.2.1 Prosedur kerja sterilisasi alat
Pencucian, Pengeringan dan Pembungkusan alat
a. Pencucian alat gelas
b. Pencucian karet
Merendam dengan HClencer 2% selama 2 hari
d. Pembungkusan alat
Menutup mulut tabung dengan alumunium foil (gelas beker
dan Erlenmeyer), membungkus dengan kertas perkamen,
kertas saring
4.1 HASIL
4.1.1 Hasil sterilisasi alat
Table 1. Metode beberapa sterilisasi pada berbagai alat dan bahan
Oven Batang pengaduk, botol infuse 100 mL, botol 150 mL,
corong gelas, Erlenmeyer, gelas beker, tube salep, vial,
alumunium foil, paraffin liquid, lanolin, vaselin, NaCl
Desinfeksi Buret
dengan
fenol
Tabel 2. Alat-alat yang perlu dalam keadaan bebas alkali, sulfur dan pirogen
Syarat Alat
pH : 6,0
- kebocoran
Kejernihan : Jernih
Team 2
Team 3
- Uji pH
Team 1
Team 2
pH infusa : pH yang di dapatkan 5,5
Team 3
pH infusa : pH yang di dapatkan 5,0
- Uji Kejernihan
Team 1
Team 2
Team 3
Team 2
Team 3
4.2 PEMBAHASAN
4.2.1. Sterilisasi Alat
BAB V
5.1 KESIMPULAN
Berdasarkan percobaan yang dilakukan pada paraktikum teknologi
sediaan steril dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Sterilisasi dengan oven digunakan untuk alat dan bahan yang tahan
suhu sangat tinggi dan tidak memiliki spesifikasi yang ketelitian alatnya
tinggi seperti batang pengaduk, botol infuse 100 mL, botol 150 mL,
corong gelas, Erlenmeyer, gelas beker, tube salep, vial, alumunium foil,
paraffin liquid, lanolin, vaselin, NaCl
2. Sterilisasi dengan autoclave untuk erlenmeyer, gelas ukur, tutup gabus,
botol semprot, kertas saring, tali kasur, kertas coklat, plastic bening,
glukosa, WFI steril,
3. Sterilisasi dengan desinfeksi untuk alat dan bahan Buret, pipet tetes,
tube salep, karet penutup, plastik bening, plastik ikan
4. Sterilisasi dengan pemijaran untuk spatula logam dan mortar stamper
5. Bebas alkali, sulfur dan pathogen merupakan syarat sediaan steril. Alat
untuk membuat sediaan steril juga dituntut untuk bebas alkali (yaitu
alat-alat gelas), bebas sulfur (alat dari karet) dan bebas pathogen (botol
dan alat berbahan kaca)
6. Formulasi yang dibuat yaitu vitamin C 100 mg, NaOH 100 mg,
Benzalkoinum klorida 0,1 mg dan aqua pro injeksi 1 ml.
7. Evaluasi uji yang dilakukan yaitu:
a. Uji organoleptis
Warna : kekuningan
Bau : bau khas dari vitamin C
Bentuk sediaan : larutan
b. Uji pH
pH yang didapat yaitu 6,0
c. Uji kebocoran
Uji kebocoran didapat tidak ada kebocoran pada sediaan ampul
vitamin c
d. Uji kejernihan
Uji kejernihan didapat yaitu jernih, tidak ada partikel kecil yang
terdapat didalam larutan
8. Pada kegiatan praktikum membuat sediaan infus dengan bahan aktif
cladribine 1 %, Sodium chloride 9 %, Phosporic Acid for PH
Adjustment q.s, Sodium phosphate Dibasic for pH Adjusment qs, Water
for injection, USP qs, dibuat sediaan tersebut sebanyak 1 L.
berdasarkan data stabilitas suhu dapat disimpulkan bahwa sediaan ini
dapat dilakukan sterilisasi dengan autoklaf.
9. Berdasarkan data kelarutan sediaan yang dibuat adalah kelarutan.
10. Uji PH
Cek PH larutan dengan menggunakan pH meter atau kertas indikator
universal, PH yang didapat dalam praktikum ini 5 , PH yang spesifikasi
adalah 5.
11. Uji Kejernihan
Pemeriksaan dilakukan secara visual dilakukan oleh seseorang yang
memeriksa wadah bersih dari luar dibawah penerangan cahaya baik.
12. Uji kebocoran
Diletakan ampul didalam zat warnanya dalam ruangan vakum.
13. Rancangan formula yang digunakan untuk memproduksi sediaan salep
pada praktikum ini adalah kloramfenikol kloramfenikol, adeps lanae
vaselin flavum, parafin cair.
14. Berdasarkan hasil evaluasi terhadap sediaan salep, dapat disimpulkan
sebagai berikut:
a. Uji Organoleptik : Sediaan salep berwarna kuning pucat,bau
yang dihasilkan
tidak berbau, bentuk sediaan semi padat
dan mempunyai
konsistensi lembut, licin, halus dan tidak
lengket.
b. Uji Homogenitas : Sediaan salep homogen.
c. Uji Daya Sebar : Uji daya sebar belum memenuhi syarat
daya sebar yang
baik dikarenakan hasil yang didapat tidak
sesuai dengan
daya sebar salep yang seharusnya.
d. Uji Daya Lekat : Dari hasil yang diperoleh bahwa daya lekat
salep mata
sangat singkat, hal ini menandakan basis
yang digunakan
mampu melepaskan bahan obat dengan
baik
e. Uji Pemeriksaan pH : pH sediaan salep mata pada percobaan 1,2,
dan 3 adalah
pH 6, 7 dan 7.
5.2 SARAN
Saran untuk praktikum selanjutnya yaitu lebih dikenalkan kepada praktikan
alat-alat yang biasa digunakan praktikum teknologi sediaan steril beserta
fungsinya serta cara sterilisasinya. diharapkan mahasiswa dapat melihat
langsung proses sterilisasi, dikarenaka tidak semua praktikan bisa memahami
prosedur sterilisasi.
DAFTAR PUSTAKA
Ansel, H.C. 2008. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi Edisi Keempat. Jakarta :
UI Press.
Chairlan dan Lestar, Estu. 2011. Pedoman Teknik Dasar Untuk Laboratorium
Kesehatan Edisi 2. ECG, Jakarta.
Denis, Rica. 2014. Identifikasi Bakteri Escherichia coli (E.coli) pada Air Galon
Reverse Osmosis (RO) dan Non Reverse Osmosis (Non RO). Jurnal
Gradien, 10(1).
Departmen of health ang ageing. 2011. Laporan Penilaian Publik Australia untuk
Cladribine Tablet. TGA: Australia.
Hadioetomo dan Ratnasari. 1989. Mikrobiologi Dasar dalam Praktik Teknik dan
Prosedur Dasar Laboratorium. PT Gramedia, Jakarta.
Ilyas, S. 2010. Anatomi dan Fisiologi Mata Dalam : Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata
Untuk Dokter Umum dan Mahasiswa Kedokteran. Edisi 3. Balai Penerbit
FKUI, Jakarta.
Irianto, Koes. 2007. Mikrobiologi Menguak Dunia Organisme Jilid 1. CV. Yrania
Widya, Bandung.
Jenkins, G.L., Grande, D.E., Brecht, E.A., Sperandio, B.J.1957. Scoville’s the Art
of Compounding 9th Edition, The Blakiston Division, McGraw Hill Book
Company Inc., New York.
Kemenkes RI. 2016. Praktikum Teknologi Sediaan Steril. Pusdik SDM Kesehatan,
Jakarta.
Lukas, Syamsuni, H.A., 2006. Ilmu Resep. Penerbit Buku Kedokteran EGC:
Jakarta.
Madin, S. H. dan Junior, B.D. 1958. Esthablished Kidney Cell Lines of normal
adult sovie and ovine origin. Journal of Experimental Biology and
Medicine, 98(3) : 574-576.
Murray, R.K., Granner, D.K., Mayes, P.A., dan Rodwell, V.W. 2003. Biokimia
Harper. Edisi 25. Penerbit Buku Kedokteran EGC: Jakarta.
Nurrachmamila, P.L., dan Saputro, T.B. 2017. Analisis Daya Perkecambahan Padi
(Oryza sativa L.) Varietas Bahbutang Hasil Iradiasi. Jurnal Sains dan
Seni ITS, 6(2): 2337-3520.
Raudah., Tien, Z., Imam, S. 2017. Efektivitas Sterilisasi Metode Panas Kering
pada Alat Medis Ruang Perawatan Luka Rumah Sakit Dr. H. Soemarno
Sosroatmodjo Kuala Kapuas. Jurnal Kesehatan Lingkungan. 14 (01) 425
– 430.
Rizal, M.S., Sumaryadi, E., dan Suprihana. 2016. Pengaruh Waktu Dan Suhu
Sterilisasi Terhadap Susu Sapi Rasa Coklat. Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian.
“AGRIKA”. 10 (1).
Subronto dan Tjahadjati, 2001. Ilmu Penyakit Ternak 11. UGM Press, Yogyakarta.
Suendra, N., Rahayu, S., Soemini dan Suprijo, T. 1991. Mikrobiologi Lingkungan.
Pusat Pendidikan Kesehatan. Depkes RI, Jakarta.
Sweetman, S.C. 2009. Martindie The Complate Drug Reference, 36th Edition.
Pharmaceutical press, New York.
Syamsuni. 2005. Ilmu Resep. Jakarta : EGC.
Syaifullah, T.N. & Rina Kuswahyuning. 2008. Teknologi dan Formulasi Sediaan
Semi Padat. Yogyakarta : Laboratorium Teknologi Farmasi UGM
Volk, W.A and M.F. Wheeler. 1993. Mikrobiologi Dasar. Edisi Kelima. Jilid 1.
Penerbit Erlangga, Jakarta.
Wattimena, J.R., Sugiarso, N.C., Widianto, M.B., Sukandar, E.Y. dan Soemardji,
A.A. 1991. Farmako Dinamika dan Terapi Antibiotik. Gajah Mada
University Press, Yogyakarta.
LAMPIRAN
R/ Vitamin C 100 mg
Natrium Hidroksida 100 mg
Benzalkoinum Klorida 0,1 mg
Aqua Pro Injectio add 1 ml
Dibuat sediaan sebanyak 10 ml
Gambar 1. Gambar 2.
Penimbangan bahan Penimbangan bahan
Gambar 3. Gambar 4.
Melarutkan Vitamin C Cek Ph
Gambar 5.
Gambar 4. Memasukan larutan vitamin c kedalam
Penyaringan larutan vitamin C buret
Gambar 5.
Gambar 6.
Memasukan larutan vitamin c
Vitamin C yang sudah dimasukan
kedalam ampul
kedalam ampul
Gambar 7.
Ampul di sealing Gambar 8.
Sediaan jadi
Lampiran 3.Kemasan, Etiket dan Brosur
Lampiran 4. Formulasi Sediaan
Bentuk : Cairan (Infus)
Gambar 3.
Gambar 4.
Penambahan norit kedalam larutan
Penyaringan larutan di LAF
glukosa
Gambar 5. Gambar 6.
Uji pH larutan infus Sebelum larutan infus
disterilkan
Gambar 8.
Gambar 7. Uji Penetapan volume
Uji Kejernihan
Gambar 9.
Sediaan Infus Glukosa
R/ Kloramfenikol 0,02 gr
Lanolin 0,2 gr
Liquid Paraffin 0,2 gr
Vaseline flavum 1,58 gr
Gambar 1. Gambar 2.
Sterilisasi Menggunakan Autoklaf Sterilisasi Menggunakan Alkohol
Gambar 3. Gambar 4.
Sterilisasi Menggunakan Oven Penimbangan Vaseline flavum
Gambar 4. Gambar 5.
Penimbangan Vaseline flavum Penimbangan lanolin
Gambar 5. Gambar 6.
Penimbangan Kloramfenikol Peleburan Basis Salep
Gambar 7. Gambar 8.
Pencampuran Basis Salep Dengan Penimbangan Salep Kloramfenikol
Kloramfenikol
Gambar 11.
Evaluasi Uji