Anda di halaman 1dari 54

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG


Dewasa ini penyebaran penyakit dalam pelayanan kesehatan dapat
bersumber dari berbagai hal, baik dari lingkungan maupun dari perilaku
hidup yang kurag bersih. Dalam bidang kefarmasian menurut Raudah
(2017) semua alat kesehatan yang kontak langsung dengan pasien dapat
menjadi sumber infeksi, oleh karena itu persediaan dari barang steril
cukup memainkan peran penting dalam mengurangi penyebaran penyakit
dalam pelayanan kesehatan. Sterilisasi dalam pengertian medis merupakan
proses dengan metode tertentu dapat memberikan hasil akhir, yaitu suatu
bentuk keadaan yang tidak dapat ditunjukkan lagi adanya mikroorganisme.
Metode sterilisasi cukup banyak, namun alternatif yang dipilih sangat
bergantung pada keadaan serta kebutuhan setempat. Apapun pilihan
metodenya, hendaknya tetap menjaga kualitas hasil sterilisasi (Darmadi,
2008).
Sterilisasi perlu dilakukan karena kontaminasi mikroba lain akan
memberikan dampak yang tidak menguntungkan karena kontaminan
meningkatkan persaingan di dalam mengkonsumsi substrat sehingga akan
mengurangi perolehan (Volk & Wheeler, 1993). Data pada tahun 2014
menunjukkan Rumah Sakit Umum Daerah Dr. H. Soemarno Sosroatmodjo
Kabupaten Kuala Kapuas mengalami peningkatan pasien oprasi pada 3
tahun terakhir. Peningkatan tersebut terjadi pada tahun 2013 berjumlah
1.247 pasien, tahun 2014 berjumlah 1.306 pasien, tahun 2015 berjumlah
1.306 pasien dan tahun 2016 berjumlah 1.297 pasien. Peningkatan pasien
operasi ini diprediksi mempunyai risiko terjadinya infeksi nosokomial
yang dimana faktor penyebab infeksi salah satunya dapat melalui alat
medis (Raudah, 2017).
Berdasar dari hal tersebut diatas, maka diadakanlah praktikum
sterilisasi alat yang digunakan untuk memberikan pemahaman kepada kita
tentang hal-hal yang berkaitan dengan sterilisasi serta menambah
pengetahuan dan keterampilan kita tentang teknik atau tata cara sterilisasi
dalam sediaan steril.
Sediaan steril adalah bentuk sediaan obat dalam bentuk terbagi-
bagi yang bebas dari mikroorganisme hidup. Pada prinsipnya, yang
termasuk sediaan ini antara lain sediaan parental preparat untuk mata dan
preparat irigasi (misalnya infus). Sediaan parenteral merupakan jenis
sediaan yang unik diantara bentuk sediaan obat terbagi-bagi, karena
sediaan ini disuntikkan melalui kulit atau membrane mukosa ke bagian
tubuh yang paling efisien, yaitu membrane kulit dan mukosa, maka
sediaan ini harus bebas dari kontaminasi mikroba dan dari bahan-bahan
toksis lainnya, serta harus memiliki tingkat kemurnian yang tinggi. Semua
bahan dan proses yang terlibat dalam pembuatan produk ini harus dipilih
dan dirancang untuk menghilangkan semua jenis kontaminasi, apakah
kontaminasi fisik, kimia, atau mikrobiologis (Priyambodo, B., 2007).
Menurut defenisi dalam Farmakope, sediaan steril untuk kegunaan
parenteral digolongkan menjadi digolongkan menjadi lima jenis yang
berbeda yaitu :
1. Obat larutan, atau emulsi yang digunakan untuk injeksi ditandai
dengan nama injeksi, contohnya adalah injeksi insulin.
2. Sediaan padat kering atau cairan pekat yang tidak mengandung dapar,
pengencer atau bahan tambahan lain dan larutan yang diperoleh setelah
penambahan pelarut yang memenuhi persyaratan injeksi. Sediaan ini
dapat membedakannya dari nama bentuknya yaitu steril, contohnya
Ampicilin Sodium steril.
3. Sediaan seperti tertera pada no b, tetapi mengandung satu atau lebih
dapar, pengencer atau bahan tambahan lain dan dapat dibedakan dari
nama bentuknya.yaitu untuk injeksi, contohnya Methicillin Sodium
untuk injeksi.
4. Sediaan berupa susupensi serbuk dalam medium cair yang sesuai dan
tidak disuntikkansacara intravena atau di dalam saluran spinal, dan
dapat dibedakan dari nama bentuknya yaitu susupensi steril. Contoh
Cortisao Suspensi steril.
5. Sediaan padat kering dengan bahan pembawa yang sesuai membentuk
larutan yang memenuhi semua persyaratan untuk suspensi steril setelah
penambahan pembawanya yang sesuai. Dan dapat membedakannya
dari nama bentuknya yaitu steril untuk suspensi. Contohnya Ampicilin
steril untuk suspensi (Lachman, 1994).
Ampul adalah wadah berbentuk silindris terbuat dari gelas, yang
memiliki ujung runcing (leher) dan bidang dasar datar ukuran normalnya
adalah 1, 2, 5, 10, 20, kadang – kadang juga 25 atau 30 ml. Ampul adalah
wadah takaran tunggal, oleh karena total jumlah cairannya ditentukan
pemakainannya untuk satu kali injeksi (Voight, 1995).
Sediaan suntik dibuat secara steril karena sediaan ini diberikan
secara parenteral. Istilah steril adalah keadaan bebas dari mikroorganisme
baik bentuk vegetatif, nonvegetatif, pathogen maupun nonpatogen.
Sedangkan parenteral menunjukkan pemberian dengan cara disuntikkan.
Produk parenteral dibuat mengikuti prosedur steril mulai dari pemilihan
pelarut hingga pengemasan. Bahan pengemas yang biasa digunakan
sebagai sediaan steril yaitu gelas, plastik, elastik (karet), metal.
Pengemasan sediaan suntik harus mengikuti prosedur aseptis dan steril
karena pengemas ini langsung berinteraksi dengan sediaan yang dibuat,
termasuk dalam hal ini wadah. Wadah merupakan bagian yang
menampung dan melindungi bahan yang telah dibuat (Ansel,1989).
Pemberian cairan intravena adalah pemberian sejumlah cairan ke
dalam tubuh ke dalam pembuluh vena untuk memperbaiki atau mencegah
gangguan cairan dan elektrolit, darah, maupun nutrisi ( Perry & Potter,
2006). Pemberian cairan intravena disesuaikan dengan kondisi kehilangan
cairan pada klien,seberapa besar cairan tubuh yang hilang. Pemberian
cairan intravena merupakan salah satu tindakan invasif yang dilakukan
oleh tenaga kesehatan.
Pemberian cairan melaui infus adalah pemberian cairan yang
diberikan pada pasien yang mengalami pengeluran cairan atau nutrisi yang
berat. Tindakan ini membutuhkan kesteril-an mengingat langsung
berhubungan dengan pembuluh darah. Pemberian cairan melalui infus
dengan memasukkan kedalam vena (pembuluh darah pasien) diantaranya
vena lengan (vena sefalika basal ikadan median akubiti), pada tungkai
(vena safena) atau vena yang dikepala, seperti vena temprolis frontalis
(khusus untuk anak-anak).
Cladribine adalah sintesis diklorinasi purin analog (PA) dari
deoxyadenosine nukleosids alami. Ini berbeda dalam struktur dari
deoxyadenosine nukleosida alami. Ini berbeda dalam struktur dari
deoxyadenosine hanya dengan substitusi dari klorin untuk hydrogen dalam
2-posisi cincin purin. Cladribine tidak stabil dalam asam. Sejumlah
strategi diselediki untuk mengatasi ketidakstabilan ini, termasuk
pengembangan produk salut enterik. Namun Formulasi lisan akhirnya
dikembangkan melibatkan pembentukan kompleks cladribine dengan
hidroksipropil beta siklodekstrin.
Farmakokinetik Cladribine dipelajari setelah pemberian oral dan
intravena pada pasien MS, pada pasien dengan keganasan dan dalam
system in vitro. Volume rata-rata distribusi cladribine diperkirakan sebagai
487 L (SD kurang lebih 180), plasma protein yang mengikat adalah 20 %
dan independen dari konsentrasi plasma. Farmakokinetik cladribine yang
digambarkan oleh model tiga kompartemen dimana perkirakan terminal
paruh untuk pasien yang khas dari analisis farmakokinetik populasi adalah
23 jam. Metabolit primer 2-chloroadenine terbukti menjadi metabolit
minor baik dalam plasmain. Hanya jejak metabolit lainnya dapat
ditemukan dalam plasma dan urin. Hanya jejak metabolit lainnya dapat
ditemukan dalam plasma dan urin (Departemen of health and ageing,
2011).
Mata adalah salah satu alat indra manusia yang berfungsi sebagai
indra pengelihatan. Menurut (Abdassah dkk., 2005) mata merupakan salah
satu indera yang penting bagi manusia, melalui mata manusia menyerap
informasi visual yang digunakan untuk melaksanakan berbagai kegiatan.
Namun gangguan terhadap penglihatan banyak terjadi, mulai dari gangguan
ringan hingga gangguan berat. Jika mata mengalami gangguan atau
penyakit mata, maka akan berakibat sangat fatal bagi kehidupan manusia,
sehigga sudah semestinya mata merupakan anggota tubuh yang perlu dijaga
dalam kesehatan sehari -hari.
Meskipun sangat penting, namun masih banyak orang yang lupa
untuk merawat mata secara baik sehingga sering terjadi infeksi terhadap
mata yang disebabkan mikroorganisme sehingga diperlukan sediaan obat
mata. Sediaan obat mata biasanya dipakai untuk menghasilkan efek
setempat pada pengobatan bagian permukaan mata atau pada bagian
dalamnya. Menurut Hoover (1975) bentuk sediaan obat mata selain larutan
dapat berupa suspensi atau salep. Salep adalah sediaan setengah padat yang
mudah dioleskan dan digunakan sebagai obat luar (Depkes RI, 1979).
Sedangkan salep mata adalah salep steril untuk pengobatan mata dengan
menggunakan dasar salep yang cocok (Syamsuni, 2005).
Pada praktikum ini di lakukan percobaan tentang formulasi sediaan
salep mata dengan menggunakan kloramfenikol sebagai bahan aktif
formulasi. Kloramfenikol merupakan antibiotik spektrum luas yang dapat
mengatasi konjungtivitis akut pada mata, yang disebabkan oleh
mikroorganisme (Siswandono, 2000) dalam (Abdassah dkk., 2005).
1.2. TUJUAN
1. Memahami cara pencucian alat dan wadah untuk pembuatan sediaan
steril.
2. Melakukan proses pencucian alat seperti wadah gelas, karet dan
alumunium.
3. Menjamin kebersihan alat.
4. Tujuan dari percobaan ini adalah mahasiswa dapat mengetahui cara
membuat sediaan injeksi volume kecil pelarut air dan evaluasi sediaan
ampul vitamin C.
5. Pada percobaan ini, mahasiswa diharapkan dapat memahami cara
memformulasi sediaan salep mata, mengetahui faktor-faktor yang harus
dipertimbangkan dalam pemilihan basis, serta aksi terapetik dari bahan
aktif.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 TEORI UMUM
2.1.1. Sterilisasi Alat
Metode sterilisasi yang biasa digunakan dapat berupa
sterilisasi fisika dan kimia (Suendra et al, 1991). Pada sterilisasi
fisika terdapat dua metode sterilisasi yaitu metode sterilisasi panas
dan metode sterilisasi bukan panas. Pada metode sterilisasi panas
terdapat dua macam sterilisasi yaitu sterilisasi panas basah dan
sterilisasi panas kering. Menurut Rizal (2016) sterilisasi panas basah
merupakan sterilisasi yang menggunakan alat pemanasan tertutup
bertekanan tinggi yang biasanya disebut autoklaf. Autoklaf sendiri
digunakan untuk mensterilkan suatu benda menggunakan uap
bersuhu dan bertekanan tinggi 121 º C, 15 lbs selama kurang lebih
15 menit. Penurunan tekanan pada autoklaf tidak dimaksudkan untuk
membunuh mikroorganisme, melainkan meningkatkan suhu dalam
autoklaf. Suhu yang tinggi inilah yang akan membunuh
mikroorganisme. Autoklaf terutama ditunjukkan untuk membunuh
endospora, yaitu sel resisten yang diproduksi oleh bakteri, sel ini
tahan terhadap pemanasan, kekeringan, dan antibiotik.
Metode sterilisasi panas yang selanjutnya yaitu sterilisasi
panas kering menggunakan sebuah bejana yang terdapat udara panas
didalamnya yang disebut oven. Prinsip dasar dari sterilisasi dengan
panas kering ini melalui mekanisme konduksi. Panas akan di
absorpsi oleh permukaan luar dari peralatan yang di sterilkan lalu
merambat kebagian yang lebih dalam dari peralatan tersebut sampai
suhu untuk sterilisasi tercapai secara merata (Darmadi, 2008).
Sterilisasi menggunkan oven ini memanfaatkan gas atau listrik
dengan suhu 160 – 180 º C dengan waktu sterilisasi 1-2 jam
(Darmadi, 2008). Metode ini sebaiknya hanya digunakan untuk
peralatan gelas atau logam. Metode ini tidak boleh dipakai untuk
media kultur yang digunakan dalam mikrobiologi (Chairl & Lestari,
2011).
Metode sterilisasi bukan panas merupakan metode yang
dilakuakn menggunakan sinar UV dan radiasi pengion (sinar
gamma). Sinar UV memiliki kemampuan untuk mempengaruhi kerja
fungsi inti sel mikroorganisme. Sinar UV sangat efektif
menghancurkan asam nukleat yang ada didalam mikroorganisme
(Cahyono, 2017). Sterilisasi dengan sinar UV digunakan pada alat
yang terbuat dari plastik dan kain stow, sarung tangan kain,
micripiper lip (Susilawati, 2013). Sterilisasi selanjutnya
menggunakan radiasi pengion (sinar gamma). Radiasi pengion
merupakan energi tinggi yang terpancar dari radiasi isotop radioaktif
seperti kobalt-60 (sinar gamma) atau yang dihasilkan oleh
percepatan mekanisme elektron sampai kekecepatan dan energi
(sinar katoda, sinar beta) (Lachman, 1994).
Metode sterilisasi dengan cara kimia terbagi menjadi dua cara
yaitu menggunakan gas kimia dan cairan kimia. Pada metode
sterilisasi menggunakan gas kimia, gas yang digunakan yaitu etilen
oksida yang berfungsi membunuh mikroba melalui reaksi kimia,
yaitu reaksi alkilasi. Pada reaksi ini terjadi penggantian gugus atom
hydrogen pada sel mikroba dengan gugus alkil, sehingga
metabolisme dan reproduksi sel tertanggu. Cara sterilisasi ini
digunakan pada alat medis dari plastik, dan lai-lain (Darmadi, 2008).
Gas lain yang digunakan pada metode sterilisasi ini yaitu
formaldehid yang digunkan untuk membunuh mikroba dengan cara
mengikat gugus asam amino dari mikroba. Cara ini hanya untuk
sterilisasi yang terbatas seperti kateter, sarung tangan, dan
sebagainya (Darmadi, 2008). Selanjutnya sterilisasi menggunakan
ozon dengan proses oksidasi langsung. Kekuatan oksidasi ozon dapat
merusak membran sel, dinding bagian luar sel mikroorganisme (cell
lysis) dan juga dapat membunuhnya (nekrosis) (Adji et al, 2007).
Sterilisasi menggunakan cairan kimia dapat menggunakan
bahan desinfektan dan antiseptik. Sediaan antiseptik merupakan
bahan kimia yang dapat menghambat atau membunuh pertumbuhan
jasad renik pada jaringan hidup (Subronto & Tjahajati, 2001).
Sedangkan desinfektan merupakan bahan kimia yang dapat
mencegah infeksi dengan jalan penghancuran atau pelarutan jasad
renik yang patogen (Subronto & Tjahajati, 2001). Desinfektan
biasanya ditunjukkan terhadap benda-benda mati (Irianto, 2007).
2.1.2. Ampul Vitamin C
Ampul adalah wadah berbentuk silindris terbuat dari gelas,
yang memiliki ujung runcing (leher) dan bidang dasar datar ukuran
normalnya adalah 1, 2, 5, 10, 20, kadang – kadang juga 25 atau 30
ml. Ampul adalah wadah takaran tunggal, oleh karena total jumlah
cairannya ditentukan pemakainannya untuk satu kali injeksi
(Voight, 1995).
Vitamin C atau L-asam askorbat merupakan antioksidan yang
larut dalam air (aqueous antioxidant). Vitamin C termasuk salah
satu vitamin esensial karena manusia tidak dapat menghasilkan
vitamin C didalam tubuh sendiri, vitamin C harus diperoleh dari
luar tubuh. Sumber vitamin C adalah sayuran seperti brokoli,
bayam, cabai dan buah seperti jambu biji, nanas, jeruk, tomat, dan
mangga. Rasa asam disebabkan oleh asam lain yang terdapat dalam
buah bersama dengan vitamin C (Vitahealth, 2006).
Vitamin C berfungsi melindungi sel darah putih dari enzim
yang dilepaskan saat mencerna bakteri yang telah ditelannya,
sintesa hormon-hormon steroid dari kolesterol, membantu dalam
pembentukan kolagen, menyembuhkan penyakit sariawan, proses
penyembuhan luka serta daya tahan tubuh melawan infeksi dan
stress dan sebagai antioksidan. Vitamin C merupakan antioksidan
yang berperanan penting dalam membantu menjaga kesehatan sel
(Kumalaningsih, 2007). Meskipun diketahui antioksidan bersifat
baik, apabila jumlahnya berlebihan dapat berbahaya bagi tubuh.
Vitamin C yang berlebihan akan berpotensi menjadi vitamin C
radikal yang bersifat radikal bebas, sehingga glutation tidak cukup
untuk menetralkannya (Nugraheni, 2003).
Vitamin C didalam tubuh akan mengalami proses absorpsi,
distribusi, metabolisme dan eksresi (ADME). Kelenjar adrenal
mengandung banyak vitamin C. Kadar vitamin C didalam darah
mencapai puncaknya 2-3 jam (Jimm man, 2014). Vitamin C
setelah dikonsumsi akan diekskresikan didalam urin, keringat dan
tinja. Ekskresi melalui urine merupakan yang terbesar sekitar 3-6
jam sedangkan dalam feses hanya sekitar 6-10 mg dalam 24 jam.
Ekskresi melalui air keringat sedikit. Vitamin C yang telah
diberikan secara oral atau parenteral diekslresikan cepat melalui
urin. Vitamin C menembus glomerulus masuk kedalam cairan
filtrate, sebagian vitamin C diserap kembali oleh tubuh (,
(Sediaoetama, 2010).
Efek vitamin C jika dikonsumsi berlebihan (melebihi batas
maksimal 200 mg atau penggunaan setiap hari berlebih) :
a. Menyebabkan produksi asam lambung meningkat.

b. Mengakibatkan terjadinya gangguan pada urikosuria yaitu


peningkatan kadar asam urat dalam kandung kemih yang akan
memicu resiko gangguan pada ginjal.
c. Mengakibatkan beberapa gangguan yang berhubungan dengan
kerusakan jaringan otak.
d. Mengakibatkan pusing dan juga mual.
e. Mengakibatkan hasil positif palsu pada pemeriksaan glukosa
urine.
f. Bagi yang sedang melakukan pengobatan, khususnya
pengobatakn kanker akan mengakibatkan gangguan penyerapan
obat-obatan kanker dikarenakan terlalu banyak dosis vitamin C
yang masuk kedalam tubuh.
g. Pemberian secara langsung pada kulit akan menimbulkan ruam,
alergi, bahkan menyebabkan iritasi kulit (Rusdin, 2015).
2.1.3. Infus Glukosa
Infus adalah larutan dalam jumlah besar terhitung mulai dari
100 ml yang diberikan melalui intravena tetes demi tetes dengan
bantuan peralatan yang cocok. Asupan air dan elektrolit dapat
terjadi melalui makanan dan minuman dan dikeluarkan dalam
jumlah yang relatif sama, rasionya dalam tubuh adalah air 57%;
lemak 20,8%; protein 17,0%; serta mineral dan glikogen 6%.
Ketika terjadi gangguan hemostatif, maka tubuh harus segera
mendapatkan terapi untuk mengembalikan keseimbangan air dan
elektrolit larutan untuk infus intravenous harus jernih dan praktis
bebas partikel (Syamsuni, H.A., 2006).
Glukosa, suatu gula monosakarida, karbohidrat terpenting
yang digunakan sebagai sumber tenaga utama dalam tubuh.
Glukosa merupakan prekursor untuk sintesis semua karbohidrat
lain di dalam tubuh seperti glikogen, ribose dan deoxiribose dalam
asam nukleat, galaktosa dalam laktosa susu, dalam glikolipid, dan
dalam glikoprotein dan proteoglikan (Murray R. K. et al., 2003).
Glukosa adalah karbohidrat terpenting; kebanyakan
karbohidrat dalam makanan diserap ke dalam aliran darah sebagai
glukosa, dan gula lain diubah menjadi glukosa di hati. Glukosa
adalah prekursor untuk sintesis semua karbohidrat lain di tubuh,
termasuk glikogen untuk penyimpanan; ribosa dan deoksiribosa
dalam asam nukleat; galaktosa dalam laktosa susu, dalam
glikolipid, dan sebagai kombinasi dengan protein dalam
glikoprotein dan proteoglikan (Murray, Granner, dan Rodwell,
2006).
Glukosa dimetabolisme menjadi piruvat melalui jalur
glikolisis, yang dapat terjadi secara anaerob, dengan produk akhir
yaitu laktat. Jaringan aerobik memetabolisme piruvat menjadi
asetil-KoA, yang dapat memasuki siklus asam sitrat untuk oksidasi
sempurna menjadi CO2 dan H2O, berhubungan dengan
pembentukan ATP dalam proses fosforilasi oksidatif. Glukosa dan
metabolitnya juga ambil bagian dalam beberapa proses lain,
seperti: konversi menjadi polimer glikogen di otot rangka dan
hepar ; jalur pentosa fosfat yang merupakan jalur alternaltif dalam
glikolisis untuk biosintesis molekul pereduksi (NADPH) dan
sumber ribosa bagi sintesis asam nukleat ; triosa fosfat membentuk
gugus gliserol dari triasilgliserol ; serta piruvat dan zat-zat antara
dalam siklus asam sitrat yang menyediakan kerangka karbon untuk
sintesis asam amino, dan asetil-KoA sebagai prekursor asam lemak
dan kolesterol (Murray, Granner, dan Rodwell, 2006).
Cladribine (2-kloro-2'-deoxyadenosine [2-CdA]) adalah
sintetis diklorinasi purin analog (PA) dari deoxyadenosine
nukleosida alami. Ini berbeda dalam struktur dari deoxyadenosine
hanya dengan substitusi dari klorin untuk hidrogen dalam 2-posisi
cincin purin. Perubahan ini menjadikan cladribine tahan terhadap
deaminasi oleh deaminase adenosin (ADA). Sel dengan tingkat
tinggi deoxycytidine kinase (DCK) dan rendahnya tingkat
deoxynucleotidase (5'NTase) aktivitas (misalnya, limfosit)
memfosforilasi cladribine ke bentuk monofosfat (CdAMP).
Cladribine dengan cepat diserap setelah pemberian oral dengan
konsentrasi plasma maksimum dilihat 0,5-1,8 jam setelah
pemberian pada tikus, anjing, monyet dan manusia. Seperti yang
tercantum dalam laporan evaluasi sebelumnya, penghapusan
terminal paruh cladribine lebih panjang pada manusia daripada
hewan (t½nilai 20 jam dibandingkan dengan 1,2 jam pada tikus dan
3,6 jam pada monyet). Bioavailabilitas oral cladribine adalah 26%
-45 Cladribine saat ini tersedia di Australia 10 mg / 5 mL dan 10
mg / 10 suntikan mL (Departemen of health and ageing, 2011).
Farmakokinetik cladribine dipelajari setelah pemberian oral
dan intravena pada pasien MS, pada pasien dengan keganasan dan
dalam sistem in vitro. Volume rata-rata distribusi cladribine
diperkirakan sebagai 487 L (SD ± 180). Plasma protein yang
mengikat adalah 20%, dan independen dari konsentrasi plasma.
konsentrasi intraseluler cladribine terfosforilasi yang ditemukan
beberapa ratus-lipatan lebih tinggi dari yang sesuai konsentrasi
plasma. Farmakokinetik cladribine yang digambarkan oleh model
tiga kompartemen di mana diperkirakan terminal paruh untuk
pasien yang khas dari analisis farmakokinetik populasi adalah 23
jam. Metabolit primer 2-chloroadenine terbukti menjadi metabolit
minor baik dalam plasma dan urin. Hanya jejak metabolit lainnya
dapat ditemukan dalam plasma dan urin (Departemen of health and
ageing, 2011).
2.1.4. Salep Mata Kloramfenikol
Mata merupakan salah satu organ indra manusia yang
mempunyai fungsi yang sangat besar (Saminan, 2013).
Gambar 1. Anatomi Mata
- Kelopak Mata
Kelopak mata atau palpebra mempunyai fungsi melindungi
bola mata, serta mengeluarkan sekresi kelenjarnya membentuk
film air mata di depan kornea. Palpebra merupakan alat
menutup mata yang berguna untuk melindungi bola mata
terhadap trauma, trauma sinar, dan pengeringan bola mata
(Ilyas, 2010).
- Konjungtiva
Konjungtiva merupakan membran yang menutupi sklera dan
kelopak bagian belakang. Bermacam-macam obat mata dapat
diserap melalui konjungtiva ini. Konjungtiva mengandung
kelenjar musin yang di hasilkan oleh sel Goblet (Ilyas, 2010).
- Bola Mata
Bola mata berbentuk bulat dengan panjang maksimal 24 mm.
Bola mata di bagian depan (kornea) mempunyai kelengkungan
yang lebih tajam sehingga terdapat bentuk dengan 2
kelengkungan yang berbeda (Ilyas, 2010).
- Kornea
Kornea (Latin cornum = seperti tanduk) adalah selaput bening
mata, bagian selaput mata yang tembus cahaya, merupakan
lapis jaringan yang menutup bola mata sebelah depan (Ilyas,
2010).
Gambar 2. Perlintasan melalui sawar kornea berfase dua
digambarkan dalam skema Kinsey
- Pupil
Pupil anak-anak berukuran kecil akibat belum berkembangnya
saraf simpatis.Orang dewasa ukuran pupil adalah sedang, dan
pada orang tua, pupil mengecil akibat rasa silau yang
dibangkitkan oleh lensa yang 13clerosis (Ilyas, 2010).
- Lensa Mata
Jaringan ini berasal dari ektoderm permukaan yang berbentuk
lensa di dalam mata dan bersifat bening. Lensa di dalam bola
mata terletak di belakang iris yang terdiri dari zat tembus
cahaya berbentuk seperti cakram yang dapat menebal dan
menipis pada saat terjadinya akomodasi (Ilyas, 2010).
- Retina
Retina atau selaput jala, merupakan bagian mata yang
mengandung reseptor yang menerima rangsangan cahaya
(Ilyas, 2010).
- Saraf Optik
Saraf optik yang keluar dari polus posterior bola mata
membawa 2 jenis serabut saraf, yaitu : saraf penglihat dan
serabut pupilomotor. Kelainan saraf optik menggambarkan
gangguan yang diakibatkan tekanan langsung atau tidak
langsung terhadap saraf optik ataupun perbuatan toksik dan
anoksik yang mempengaruhi penyaluran aliran listrik (Ilyas,
2010).
- Sklera
Bagian putih bola mata yang bersama-sama dengan kornea
merupakan pembungkus dan pelindung isi bola mata. Sklera
berjalan dari papil saraf optik sampai kornea (Ilyas, 2010).
- Rongga Orbita
Rongga orbita adalah rongga yang berisi bola mata dan
terdapat 7 tulang yang membentuk dinding orbita yaitu :
lakrimal, etmoid, sfenoid, frontal, dan dasar orbita yang
terutama terdiri atas tulang maksila, bersama-sama tulang
palatinum dan zigomatikus (Ilyas, 2010).
- Otot Penggerak Mata
Otot ini menggerakkan mata dengan fungsi ganda dan untuk
pergerakan mata tergantung pada letak dan sumbu penglihatan
sewaktu aksi otot (Ilyas, 2010).
Salep (Unguenta) menutut menurut Depkes RI (1979)
adalah sediaan setengah padat yang mudah dioleskan dan
digunakan sebagai obat. Bahan obat harus larut atau terdispersi
homogen ke dalam dasar salep yang cocok (Syamsuni, 2005).
Salep mata adalah salep steril untuk pengobatan mata
dengan menggunakan dasar salep yang cocok. Bahan obat
ditambahkan sebagai larutan steril atau serbuk steril
termikronisasi pada dasar salep steril, hasil akhir dimasukkan
secara aseptic ke dalam tube steril. Bahan obat dan dasar salep
disterilkan dengan cara yang cocok, sedangkan tube disterilkan
dengan cara autoklaf suhu 115o-116oC, selama tidak kurang dari
30 menit (Syamsuni, 2005).
Homogenitas : tidak boleh mengandung bahan dasar yang dapat
Teraba
Sterilitas : memenuhi syarat uji sterilitas yang tertera pada
Uji Keamanan Hayati.
Penyimpanan : dalam tube, di tempat sejuk.
Penandaan : pada etiket juga harus tertera “salep mata”
(Syamsuni, 2005).
Kloramfenikol merupakan suatu antibiotik berspektrum luas
yang berasal dari beberapa jenis streptomyces misalnya S.
Venezuelae, S. phaeochromogenes var. chloromycetius dan S.
omiyanensis. Setelah para ahli berhasil mengelusidasi
strukturnya, maka sejak tahun 1950 kloramfenikol sudah dapat di
sintesis secaratotal. S. Venezuelae petama kali diisolasi oleh
Burkholder pada tahun 1947 dari contoh tanah yang diambil di
Venezuela. Filtrat kultur cair organisme menunjukkan aktivitas
terhadap bakteri gram negatif dan rikestia. Bentuk Kristal
antibiotik ini diisolasi oleh Bartz pada tahun 1948 dan
dinamakan kloromisetin karena adanya ion klorida dan didapat
dari suatu aktinomisetes (Wattimena dkk., 1991).
Kloramfenikol bekerja dengan menghambat sintesis protein
kuman. Obat ini terikat pada ribosom subunit 50s dan
menghambat enzim peptidil tansferase sehingga ikatan peptida
tidak terbentuk pada proses sintesis protein kuman (Setiabudy,
2007). Kloramfenikol terikat pada ribosom sub unit 50s dan
menghambat enzim peptidil transferase. Ini merintangi
pembentukan ikatan peptida antara asam amino-tRNA pada sisi
aminoasil. Selain itu juga dirintangi rantai peptida yang sedang
memanjang pada sisi peptidil pada ribosom sehingga translasi
terhenti (Nogrady, 1992).
2.2. URAIAN BAHAN
2.2.1 Ampul Vitamin C
a. Vitamin C
Vitamin C memiliki nama lain yaitu L-Ascorbid Acid;
Cevitamic Acid; Asam askorbat. Sifat fisika terbagi atas dua yaitu
pemerian dan kelarutran vitamin C. Pemerian pada vitamin c
mempunyai bentuk Kristal yang tidak berwarna atau putih atau
serbuk kristal berwarna kuning pucat, stabil pada pH 6-6,5
(Moffat dkk, 2005). Mengandung tidak kurang dari 99,0% dan

tidak lebih dari 100,5% dihitung terhadap zat yang telah

dikeringkan. Berbentuk hablur atau serbuk putih agak kuning.


Oleh pengaruh cahaya lambat laun menjadi gelap. Dalam keadaan
kering stabil di udara, dalam larutan cepat teroksidasi. Melebur

pada suhu lebih kurang 190 (Depkes RI, 1995: 39-40).


Sedangkan kelarutan vitamin C dapat larut dalam 3 bagian air,
larut dalam 30 bagian etanol, larut dalam 10 bagian metanol, dan
larut dalam 20 bagian propelenglikol. Tidak larut dalam benzene,
kloroform, eter, petroleum eter, minyak, lemak dan pelarut
berminyak (Moffat dkk, 2005). Mudah larut dalam air, agak sukar
larut dalam etanol, tidak larut dalam kloroform, eter, dan dalam
benzena (Depkes RI, 1995: 49-40). Sifat kimia dalam air bersifat
asam terhadap kertas lakmus, reduktor yang mudah teroksidasi
karena adanya gugus etanol pada atom C2 dan C3 yang mudah
melepaskan 2 atom H (Depkes, 1995). Stabilitas terbagi atas 4
diantaranya terhadap cahaya, terhadap suhu, terhadap pH dan
terhadap oksigen. Terhadap cahaya yaitu Proses oksidasi
dipercepat dengan adanya cahaya dan pemanasan dengan katalis
logam tembaga dan besi (Depkes RI, 1979; Rowe and Sheskey,
2006). Terhadap suhu yaitu pada sediaan injeksi vitamin C
dipengaruhi oleh suhu penyimpanan, dimana injeksi vitamin C

stabil pada suhu rendah yaitu Pada suhu 7 karena kecepatan

degradasi vitamin C kecil (Wariyah, 2010). Memiliki titik lebur


lebih kurang 190° ( Depkes RI, 1979). Dan memiliki
inkompatibilitas yang tidak kompatibel dengan alkali, ion logam
berat, terutama tembaga dan besi, bahan pengoksidasi,
metenamin, fenileprin hidroklorida, pyrilamine maleat,
salisilamida, natrium nitrit, natrium salisilat, theobromine
salisilat, dan picotamide. Selain itu asam askorbat telah
ditemukan mengganggu tes kolorimetrik tertentu dengan
mengurangi intensitas warna yang dihasilkan (HOPE: 45).
Struktur Kimia
b. Natrium Hidroksida
Natrium hidroksida memiliki nama resmi yaitu Natrii
hydroxydum dan nama lain yaitu Natrium hidroksida. Pemerian
pada natrium hidroksida yaitu bentuk batang, butiran, massa
hablur atau kepng, kering, rapuh dan mudah meleleh basah.
Sangat alkalis dan korosif. Segera menyerap C02. Berat molekul
40 g/mol (FI V hal 911, 2014 ). Dan memiliki kelarutan yaitu
mudah larut dalam air dan dalam etanol ( FI 4 hal 589 ).
c. Aqua Pro Injeksi (Excipient, 2009; 337)
Aqua pro injeksi memiliki nama resmi yaitu Aqua sterile
pro injectionea. Nama lain dari aqua pro ijeksi yaitu aqua pro
injeksi. Rumus molekul dari aqua pro injeksi yaitu H2O. Berat
molekul dari aqua pro injeksi yaitu 18,02 g/mol. Pemerian pada
aqua pro injeksi yaitu Cairan jernih, tidak berwarna, tidak
berbau, tidak berasa.Stabilitas dari aqua pro injeksi yaitu stabil
dalam semua keadaan baik minyak, dingin, ataupun panas.
Inkompatibilitas dari aqua pro injeksi yaitu Dalam formulasi
sediaan, air dapat bereaksi dengan obat dan bahan tambahan
lainnya terurai atau terhidrolisis .air juga dapat bereaksi dengan
logam alkali, kalsium dioxid dan magnesium oxid.
Struktur Kimia

Air untuk injeksi dimurnikan dengan cara penyulingan dan


memenuhi standar yang sama dengan purified water (USP)
dalam hal jumlah zat padat yang tidak lebih 1 mg per 100 ml.
Dimaksudkan untuk pembuatan produk injeksi yang akan
disterilisasi akhir dan harus disimpan dalam wadah yang
tertutup rapat pada suhu dibawah atau diatas kisaran suhu
tumbuh mikroba (Ansel dkk, 1989: 406-407).
d. Benzalkonium klorida 0,1 mg
Benzalkoinum memiliki warna air yaitu putih sampai
kuning pucat. Bentuk benzalkoinum mempunyai bentuk cair.
Bau yang ada didalam benzalkonium klorida yaitu bau kutrang
hingga pingsan almond. Memiliki nilai pH yaitu 7,5 (± 1). Dan
memiliki kelarutan yaitu sangat mudah larut dalam air dan
etanol bentuk anhidrat mudah larut dalam benzena dan agak
sukar larut dalam eter (FI 4 hal 130).
Struktur Kimia

2.2.2. Infus Glukosa


Glukosa (Dekstrosa) yaitu suatu gula yang diperoleh dari
hidrolisis pati. Mengandung satu molekul air hidrat atau anhidrat.
Pemerian berupa hablur tidak berwarna, serbuk hablur atau
serbuk granul putih; tidak berbau; rasa manis (KemenKes., 2014).
Dan kelarutan glukosa sangat mudah larut dalam air mendidih;
sukar larut dalam etanol, sehingga glukosa dalam sediaan dapat
berfungsi sebagai sumber kalori dan zat pengisotonis.
Stabilitas glukosa dapat stabil dalam bentuk larutan.
Dekstrosa stabil dalam keadaan penyimpanan yang kering dengan
pemanasan tinggi, dapat menyebabkan reduksi pH dan
karamelisasi dalam larutan. (Reynolds., 1982). Dan menurut
KemeKes (2014) glukosa mempunyai pH antara 3,2 dan 6,5.
Dosis utnuk glukosa (dekstrosa) adalah 2,5-11% untuk intravena
0,5-0,8 g/Kg/jam untuk hipoglikemia 20-50 ml (konsentrasi
50%).
Norit adalah suatu jenis karbon yang memiliki luas
permukaan yang sangat besar, norit digunakan untuk menyerap
kontaminan. Pemeriannya berupa hitam tidak berbau (DepKes.,
1995 dan Reynolds, 1982). Dan kelarutan norit praktis tidak larut
dalam suasana pelarut biasa, sehingga glukosa dalam sediaan
untuk kelebihan H2O2 dalam sediaan. Norit dapat stabil ditempat
yang tertutup dan kedap udara.
Menurut FI III (1979) air untuk injeksi adalah air suling
segar yang disuling kembali, disterilkan dengan cara sterilisasi A
atau C. Menurut FI IV (1995) air steril untuk injeksi adalah air
untuk injeksi yang disterilkan dan dikemas dengan cara yang
sesuai. Tidak mengandung bahan antimikroba atau bahan
tambahan lainnya. Pemeriannya berupa cairan jernih, tidak
berwarna, tidak berbau, sehingga glukosa dalam sediaan untuk
pembawa dan melarutkan Diluentsbacteriostatic water
for injection (up to 100% concentrate). Dalam formulasi sediaan,
air dapat bereaksi dengan obat dan bahan tambahan lainnya
terurai atau terhidrolisis .air juga dapat bereaksi dengan logam
alkali, kalsium dioxid dan magnesium oxid.
2.2.3. Salep Mata Kloramfenikol
Uraian bahan formulasi sediaan salep mata kloramfenikol
a. Kloramfenikol
Rumus Molekul : C11H12CI2N2O5
Berat Molekul : 323,13
Struktur :

Pemerian : Hablur halus berbentuk jarum atau Lempeng


memanjang, putih kekuningan, tidak berbau, rasa
sangat pahit ( Depkes RI, 1979)
Kelarutan : Larut dalam lebih kurang 400 bagian air, dalam
2,5 bagian etanol (95%) P dan dalam 7 bagian
propilengglikol P, sukar larut dalam kloroform P
dan dalam eter P (Depkes RI, 1979).
Titik Lebur : Antara 149o dan 153o C (Depkes RI, 1979).
pH : Antara 4,5 dan 7,5
Indikasi : Infeksi kulit yang disebabkan oleh alergi (Depkes
RI, 1979).
Stabilitas :
 Stabilitas terhadap cahaya :
kloramfenikol harus terlindung dari cahaya
agar tidak terurai. Sediaan salep mata
kloramfenikol diusahakan terlindung dari
cahaya atau sinar matahari (sweetman, 2009).
 Stabilitas terhadap pH :
antara 4,5-7,5 (Depkes RI, 1995).
b. Lanolin ( Rowe dkk., 2009)
Pemerian : Berbentuk solid, berwarna kuning terang dan
memiliki bau yang khas.
Titik leleh : 45oC – 55oC
c. Liquid Paraffin ( Depkes RI, 1979)
Sinonim : Parafin cair
Pemerian : Cairan kental, transparan, tidak berfluoresensi,
tidak berwarna, hampir tidak berbau, hampir tidak
mempunyai rasa.
Kelarutan : Praktis tidak larut dalam air dan dalam etanol
(95%) P; larut dalam kloroform P dan dalam eter
P.
d. Vaseline flavum (Depkes RI, 1995)
Pemerian : Massa seperti lemak, kekuningan hingga hamper
lemah, berfluoresensi sangat lemah walaupun
setelah melebur, hampir tidak berbau dan berasa.
Kelarutan : Tidak larut daam air, mudah larut dalam benzene,
dalam karbon disulfide, dalam kloroform dan
dalam minyak terpenting, larut dalam eter, dalam
heksana, dan umumnya dalam minyak lemak dan
minyak atsiri, praktis tidak larut dalam etanol dingin
dan etanol panas dan dalam etanol mutlak dingin.
Bobot Jenis : 0,815 dan 0,880
Jarak lebur : antara 38o dan 60o

BAB III
METODOLOGI PERCOBAAN
3.1 ALAT DAN BAHAN
3.1.1. Alat

- gelas ukur
- pipet tetes
- gelas beaker
- corong
- kertas saring
- batang pengaduk
- sendok tanduk
- ampul
- erlenmeyer
- buret
- karet warna merah
- pipa kapiler
- gelas ukur
- pH meter
- pinset
- kaca arloji
- kertas timbanagn
- kertas perkamen
- tali kasur
- tabung gas
- alat pemijaran
- cawan porselin
- lampu Bunsen
- tube salep
- labu ukur
- batang pengaduk
3.1.2 Bahan

- vitamin c
- NaOH
- benzalkoinum klorida
- aqua pro injeksi
- Kloramfenikol
- Lanolin
- Liquid Paraffin
- Vaseline flavum
- Alkohol Glukosa
- Water For Injection (WFI)
- Paraffin liquid
- Aqua Pro Injection (API)
- NaCl
- Alcohol (Disenfektan)

- Glukosa anhidrat
- Norit
- WFI Steril
3.2. PROSEDUR KERJA
3.2.1 Prosedur kerja sterilisasi alat
Pencucian, Pengeringan dan Pembungkusan alat
a. Pencucian alat gelas

Merendam dalam tampol dan air (30 menit)

Menyikat dan menggosok kemudian membilas dengan air


bagian luar dan dalamnya

Membilas kembali dan keringkan

b. Pencucian karet
Merendam dengan HClencer 2% selama 2 hari

Merendam dalam tampol dan Na2CO3 selama 1 hari,


mendidihkan larutan selama 15 menit

Merendam dalam aquadest, mensterilkan dengan autoclave


121oC selama 15 menit
c. Pengeringan

Mengeringkan menggunakan oven pada suhu 100-105oC

d. Pembungkusan alat
Menutup mulut tabung dengan alumunium foil (gelas beker
dan Erlenmeyer), membungkus dengan kertas perkamen,
kertas saring

Menutup gelas ukur dengan kertas perkamen dan


mengikatnya dengan tali

Membungkus kaca arloji, batang pengaduk, corong gelas,


spatula logam, pipet tetes dengan kertas perkamen lapis 2
e. Sterilisasi Alat

Menyiapkan alat dan bahan yang akan disterilkan, mengamati


alat dan bahan yang akan disterilkan.

Mensterilkan alat dengan menggunkan oven (kaca arloji,


botol, spatula, batang pegaduk dan lainnya), autoclave (gelas
kimia, corong kaca, pipet tetes, kertas saring dan lainnya),
mendispeksi maupun pemijaran.

3.2.2 Prosedur kerja ampul vitamin c

Menyiapkan alat dan bahan serta mensterilisasikan alat

Membuat API (Aqua Pro Injeksi) kedalam erlenmeyer 1000 ml


lalu diamkan selama 24 jam.

Menimbang vitamin c, lalu memasukkannya kedalam gelas beker


tambahkan sedikit API lalu aduk ad larut

Menambahkan NaOH sedikt demi sedikit sambil cek pH 5-6,5

Ad kan larutan dengan API sampai 10 ml

Saring larutan, masukkan dalam buret dan masukkan dalam


ampul sebanyak 1 ml
Sealing ampul, sterilisais ampul, kemudian dinginksn, beri
etiket dan masukkan dalam kemasan

3.2.3 Prosedur pembuatan infus glukosa

Timbang glukosa di kaca arloji

Kalibrasi beaker gelas dengan WFI steril 300 ml

Glukosa anhidrat yang sudah ditimbang dimasukkan


kedalam beaker glass yang sudah dikalibrasi dan
ditambahkan dengan WFI hingga kira-kira 250 ml. Aduk
hingga larut

Larutan campuran kemudian di cek pH (pH spesifikasi = 5),


apabila pH belum sesuai maka adjust dengan HCl 0,1 N dan
NaOH 0,1N

Tambahkan WFI pada larutan hingga mencapai 300 ml.


Aduk hingga homogeny

Tambahkan norit 500 mg di gelas arloji

Panaskan larutan glukosa hingga mencapai suhu 80°C

Saat sudah mencapai suhu 80°C tambahkan norit yang telah


ditimbang. Pertahankan suhu pada 80°C. Aduk hingga
homogen selama 15 menit. Pastikan volume tidak berkurang,
jika berkurang, tambahkan WFI hingga 300 ml.
Saring larutan dengan corong dan kertas saring rangkap dua.
Tamping filtrat dalam labu Erlenmeyer 1000 ml. Tandai
batas atas permukaan larutan.

Panaskan lagi larutan pada suhu konstan 80°C sembari


diaduk selama 15 menit. Tambahkan air yang berkurang
hingga tanda batas atas permukaan larutan.

Saring larutan dengan corong dan kertas saring rangkap dua


yang sama. Tampung filtrat dalam labu Erlenmeyer 1000 ml
yang lain.

Saring larutan yang telah ditampung dengan membran filter


0,45 mm untuk pembebasan sisa norit dan mikroorganisme.
Masukkan larutan ke dalam botol infus 100 ml.

Bilas botol infuse dengan sediaan lalu tutup rapat. Ikat


dengan tali champagne autoklaf pada suhu 115°C selama 30
menit.

Botol infuse dikeluarkan dari autoklaf, diberi etiket dan


brosur lalu dimasukkan kedalam kemasan sekunder

3.2.4 Prosedur pembuatan salep mata kloramfenikol

Mensterilisasikan alat dan bahan

Menimbang semua bahan (Kloramfenikol,


lanolin, liquid Paraffin, vaseline flavum).
Meletakkan basis salep (lanolin, paraffin cair, dan vaselin
flavum) pada cawan porselen dan diaduk hingga tercampur
Memasukkan basis salep kedalam gelas kimia yang di atasnya
dilapisi dengan kasa steril
Meleburkan basis salep menggunakan oven dengan suhu 600C
selama 60 menit.
Basis salep digerus hingga semua basis meleleh tercampur dan
homogen.
Menggerus kloramfenikol menggunakan mortir hingga halus

Memasukkan basis salep sedikit demi sedikit kedalam mortir


yang telah berisikan kloramfenikol kemudian mengaduk
hingga homogen
Menimbang campuran bahan yang sudah homogen sebanyak 2
gram, lalu dimasukkan kedalam tube yang telah disiapkan.
Memberi etiket pada tube yang telah berisikan salep, lalu
masukkan memasukkannya kedalam kemasan.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 HASIL
4.1.1 Hasil sterilisasi alat
Table 1. Metode beberapa sterilisasi pada berbagai alat dan bahan

Metode Alat dan bahan

Oven Batang pengaduk, botol infuse 100 mL, botol 150 mL,
corong gelas, Erlenmeyer, gelas beker, tube salep, vial,
alumunium foil, paraffin liquid, lanolin, vaselin, NaCl

Autoklaf Erlenmeyer, gelas ukur, tutup gabus, botol semprot, kertas


saring, tali kasur, kertas coklat, plastic bening, glukosa,
WFI steril,

Disenfeksi Buret, pipet tetes, tube salep, karet penutup, plastic


dengan bening, plastic ikan,
alkohol

Desinfeksi Buret
dengan
fenol

Pemijaran Spatula logam dan mortar stamper

Tabel 2. Alat-alat yang perlu dalam keadaan bebas alkali, sulfur dan pirogen

Syarat Alat

Bebas Batang pengaduk, corong gelas, Erlenmeyer, gelas beker,


alkali gelas ukur, pipet tetes dan alat-alat gelas lainnya

Bebas Karet penutup dan alat dari karet lainnya


sulfur

Bebas Botol infuse, alat berbahan kaca.alat-alat kaca (batang


pirogen pengaduk, Buret, corong gelas, Erlenmeyer, gelas beker,
gelas ukur, pipet tetes dan lainnya)

4.1.2 Hasil ampul vitamin c


- Uji organoleptis
Warna : Kekuningan
Bau : Bau khas
Bentuk sediaan : Larutan homogen
- pH

pH : 6,0
- kebocoran

kebocoran : Tidak bocor


- *kejernihan

Kejernihan : Jernih

4.1.3 Hasil infus glukosa


- Uji Organoleptis
Team 1

Warna : Bening (Tidak Berwarna)

Bau : Berbau Khas

Team 2

Warna : Bening (Tidak Berwarna)

Bau : Tidak berbau

Team 3

Warna : Bening (Tidak Berwarna)

Bau : Tidak berbau

- Uji pH
Team 1

pH infusa : pH yang di dapatkan 5,0

Team 2
pH infusa : pH yang di dapatkan 5,5
Team 3
pH infusa : pH yang di dapatkan 5,0

- Uji Kejernihan
Team 1

Kejernihan : Larutan Infus jernih bebas


dari partikulat

Team 2

Kejernihan : Larutan Infus jernih bebas


dari partikulat

Team 3

Kejernihan : Larutan Infus jernih bebas


dari partikel
- Uji Penetapan volume
Team 1

Penetapan : Volume larutan infus tetap dan tidak


Volume berkurang.

Team 2

Penetapan : Volume larutan infus tetap dan tidak


Volume berkurang.

Team 3

Penetapan : Volume larutan infus tetap dan tidak


Volume berkurang.

4.2 PEMBAHASAN
4.2.1. Sterilisasi Alat

Percobaan sterilisasi alat praktikum teknologi sediaan steril


bertujuan agar memahami dan dapat melakukan pencucian alat dan wadah
untuk pembuatan sediaan steril serta menjamin kebersihan alat melalui
sterilisasi. Alat-alat dan bahan yang diharuskan dalam keadaan steril dalam
pembuatan sediaan steril dalam praktikum teknologi sediaan steril yaitu
alumunium foil, batang pengaduk, botol 150 ml, botol infuse 100 ml, botol
semprot, buret, corong gelas, Erlenmeyer, gelas beker, gelas ukur, karet
penutup, kertas cokelat, kertas saring, pipet tetes, plastik bening, plastik ikan,
spatula logam, tali kasur, tube salep, tutup gabus, vial, glukosa, Water For
Injection (WFI), paraffin liquid, Aqua Pro Injection (API) dan NaCl.

Metode sterilisasi alat yang sering digunakan yaitu metode sterilisasi


menggunakan autoclave, metode panas kering (oven), pemijaran, dan
desinfeksi dengan menggunakan desinfektan seperti alcohol, fenol, deterjen.
Diketahui bahwa desinfeksi merupakan metode sterilisasi kimia. Sedangkan
autoclave termasuk sterilisasi fisika metode panas basah dan oven serta
pemijaran termasuk sterilisasi fisika metode panas kering.
Autoclave bekerja dengan membunuh dan menghilangkan mikroba
yang ada di alat maupun bahan dengan menggunakan uap air panas
bertekanan tinggi (2 atm). Uap air panas tersebut akan merusak protein
mikroba dan mengakibatkan denaturasi protein. Berdasarkan Dwidjoseputro
(2010) autoclave berfungsi untuk sterilisasi menggunakan uap air panas
bertekanan umumnya 15 psi/2 atm selama 15 menit dengan suhu 121 oC. alat-
alat serta bahan yang biasa disterilkan menggunakan autoclave yaitu
Erlenmeyer, gelas ukur, tutup gabus, botol semprot, kertas saring, tali kasur,
kertas coklat, plastic bening, glukosa, WFI steril. Menurut ayuhastuti (2016)
botol semprot, kertas saring, kertas perkamen (Pinkan, 2017), tutup gelas
(Depkes RI, 1979) tali kasur, Aqua Pro Injection (API) (Sweetmen, 2009)
disterilkan menggunakan autoclave pada suhu 121o C selama 15 menit.
Erlemeyer disterikan menggunakan autoclave pada suhu 121 oC dan tekanan
antara 15-17,5 psi selama 1 jam (Kharisma & Manan, 2012). Gelas ukur
disterilkan menggunakan autoclave pada 115oC-116oC selama 30 menit atau
121oC selama 15 menit (Depkes RI, 1995). Wadah yang digunakan harus
disterilkan terlebih dulu dengan cara dibungkus dengan kertas coklat/kertas
timah dan diikat dengan benang sterilisasi dalam autoclave selama 30 menit
pada suhu 121oC dengan tekanan 2 atm (Denis, 2014) atau disterilisasi
dengan autoclave pada suhu 121oC, tekanan 1,5 atm selama 15 menit
(Nurrahhcmamila & Saputro, 2017). Glukosa (Sweetmen, 2009), Water For
Injection (WFI) (Depkes RI, 1995) disterilkan menggunakan autoclave pada
suhu 115oC selama 30 menit. Alat-alat tersebut disterilkan menggunakan
autoclave karena autoclave proses sterilisasinya tidak memakan waktu yang
lama karena suhu dan tekanan autoclave yang relative tinggi, hal ini juga
menyebabkan bahan atau alat yang tidak tahan terhadap panas tinggi tidak
cocok menggunakan autoclave. Namun autoclave akan membentuk tetesan air
yang dapat mengenai bahan sehingga perlu dilakukan penutupan pada bahan.
Oven memiliki prinsip kerja yaitu memindahkan kalor secara radiasi
untuk sterilisasi alat berdasarkan panas kering sehingga membunuh
mikroorganisme karena mengalami dehidrasi kemudian dioksidasi akibat
panas sehingga proses perkembangbiakan mikroba tidak terjadi atau mati.
Secara umum, oven digunakan untuk memanaskan, mengeringkan maupun
mensterilkan dengan panas kering yaitu pada suhu sekitar 170 oC selama 1
jam bahkan bisa mencapai 340oC. Alat dan bahan yang sering disterilkan
menggunakan oven Batang pengaduk, botol infuse 100 mL, botol 150 mL,
corong gelas, Erlenmeyer, gelas beker, tube salep, vial, alumunium foil,
paraffin liquid, lanolin, vaselin, NaCl. Alumunium foil, cawan porselin dan
kaca arloji (Misna, 2016), tube salep (Ayuhastuti, 2016) disterilkan dengan
strelisasi panas kering oven pada suhu 170°C selama 1 jam (Kepmenkes,
2016). Batang pengaduk disterilkan menggunakan oven pada suhu160-170° C
selama 1 jam (Misna, 2016). Botol 150 mL disterilkan mnggunakan oven
pada suhu 250o C selama 30 menit (Hadioetomo & Ratnasari, 1989). Botol
Infus 100 mL disterilkan menggunakan oven pada suhu 200o C selama 1 jam
(Hadioetomo & Ratnasari, 1989). Corong gelas disterilkan menggunakan
oven pada suhu 150oC selama 1 jam atau suhu 250oC selama15 menit
dibungkus dengan kertas perkemen atau alumunium foil (Depkes RI, 1995).
Erlenmeyer disterilkan menggunakan oven pada suhu 180oC selama 1 jam
(Kharisma & Manan, 2012). Gelas Beker dibersihkan menggunakan air,
kemudian disterilsasikan dan dipirogenasi menggunakan panas kering, suhu
dapat mencapai 300oC. Gelas beker dicuci tanpa menggunkan detergen
kemudian diletakkan pada oven (panas kering) pada suhu 340oC selama 8
menit (Akess, 2010). Vial disterilkan menggunakan oven pada suhu 250oC
selama 30 menit (Hadioetomo & Ratnasari, 1985). Alat-alat yang disterilkan
menggunakan oven ini merupakan alat yang tahan terhadap suhu sangat
tinggi, dan alat gelas yang dapat disterilkan menggunakan oven merupakan
alat gelas yang memiliki spesifikasi tertentu saja, oleh karena itu untuk alat
gelas dengan ketelitian tinggi tidak dapat disterilkan dengan oven. Alat gelas
seperti gelas ukur, labu ukur, pipet volume, pipet ukur yang memiliki standar
pengukuran akan memuai dengan panas oven sehingga ketelitian
pengukurannya akan berubah, oleh karena itu alat tersebut disterilkan meng
gunakan autoclave.
Alkohol sebagai disenfektan bekerja sebagai bakterisidal,
tuberkulosidal, fungisidal, dan virusidal, tetapi tidak membunuh spora
bakteri. Mekanisme kerja dari alcohol sendiri yaitu denaturasi protein
mikroorganisme (Nursalam & Kurniawan, 2007). Alat serta bahan yang
disterilkan dengan merendam di dalam alcohol yaitu tube salep, plastik dan
plastic ikan serta pipet tetes. Tube salep, karet penutup didesinfeksi (alkohol
70%) selama 24 jam (tutup tube) (Ayuhastuti, 2016). Menurut Chairlan &
Lestari, (2011) plastik dan plastik ikan dilakukan desinfeksi menggunakan
alcohol dan pipet tetes direndam dalam alkohol selama 30 menit. Sedangkan
buret direndam menggunakan larutan fenol 5% selama 24 jam (Kemenkes RI,
2016). Fenol dalam desinfektan sebagai zat racun, menembus protoplasma,
merusak dinding sel dan menggumpalkan protein sel. Konsentrasi rendah
menghambat kerja enzim dan sebabkan kebocoran hasil metabolisme sel
melalui dinding sel (Nursalam & Kurniawan, 2007).
Pemijaran bekerja dengan langsung membunuh mikroorganisme
melalui kontak langsung api dengan mikroorganisme yang berada di alat. Alat
yang biasa disterilkan dengan pemijaran yaitu mortar dan stemper, serta
spatula logam. Mortir dan stamper dibakar dengan spiritus 96% (Depkes RI,
1995) sedangkan Spatula logam disterilisasi dengan pemijaran langsung
selama 20 detik (The Art Compounding 404).
Syarat alat yang akan digunakan untuk sterilisasi adalah alat yang bebas
alkali, bebas sulfur dan bebas patogen. Alkali ini merupakan logam alkali
seperti natrium, litium, kalium dan lainnya. Diketahu bahwa alkali merupakan
logam yang sangat reaktif, sehingga kemungkinan untuk bereaksi dengan
bahan obat sangat besar. oleh karena itu, alat disyaratkan untuk bebas alkali.
Alat yang biasanya harus dibebas alkali yaitu alat-alat gelas seperti buret,
Erlenmeyer, corong gelas, batang pengaduk dan lainnya. Sebelum digunakan
untuk membuat sediaan steril, alat juga disyaratkan terbebas oleh unsure
belerang. Hal ini dikarenakan belerang adalah unsure yang mudah bereaksi
dengan semua unsure, apabila terdapat unsure belerang dalam alat maka
dikhawatirkan belerang tidak inert terhadap bahan obat. Alat yang harus
dibebas sulfur adalah alat dari akret sepeti karet penutup. Alat bebas pathogen
berarti alat yang terhindar dari cemaran mikroba penyebab penyakit. Alat
yang dibebaskan pathogen biasanya alat yang terbuat dari kaca seperti beker
glas, buret, Erlenmeyer dan botol Bebas alkali, sulfur dan pathogen
merupakan syarat sediaan steril, dimana sediaan steril tidak boleh
mengandung pengotor seperti alkali, sulfur dan juga tidak ditumbuhi
mikroorganisme pathogen.
4.2.2. Ampul Vitamin C
Ampul adalah wadah berbentuk silindris terbuat dari gelas, yang memiliki
ujung runcing (leher) dan bidang dasar datar ukuran normalnya adalah 1, 2, 5,
10, 20, kadang – kadang juga 25 atau 30 ml. Ampul adalah wadah takaran
tunggal, oleh karena total jumlah cairannya ditentukan pemakainannya untuk
satu kali injeksi (Voight, 1995). Tujuan dari percobaan ini adalah mahasiswa
dapat mengetahui cara membuat sediaan injeksi volume kecil pelarut air dan
evaluasi sediaan ampul vitamin C. Dalam percobaan ampul ini menggunakan
bahan zat aktif yaitu vitamin c. vitamin c berguna untuk anti oksidan ketika
tubuh mengalami daya tahan yang rendah. Evaluasi yang dilakukan dalam
praktikum ini adalah uji homogenitas, pengukuran pH, uji kebocoran dan uji
kejernihan. Uji pertama yang dilakukan adalah uji pemerian yang meliputi
bentuk, bentuknya adalah semi padat. Sediaan salep berwarna kuning susu
dan berbau khas minyak zaitun. Warna dari sediaan salep ini jadi berwarna
kuning susu, sesuai dengan teori.
Uji yang pertama yaitu uji organoleptis. Uji organoleptis diantaranya
warna, baud an bentuk sediaan. Warna pada sediaan ampul vitamin C yaitu
kekuningan. Bau yang dihasilkan pada sediaan ampul vitamin c yaitu
memiliki bau yang khas. Dan yang terakhir yaitu bentuk sediaan, bentuk
sediaan pada ampul vitamin c berbentuk larutan.
Uji yang kedua yaitu uji pH. pH yang didapatkan yaitu 6,0 yang
mempunyai arti sediaan injeksi vitamin c stabil pada rentang pH 5,0-6,5
(Depkes,1978). Uji kebocoran pada sediaan ampul vitamin c yaitu tidak
mengalami kebocoran pada saat pengemasan sediaan ampul vitamin C. dan
uji kejernihan pada sediaan ampul vitamin C dapat dilihat secara kasat mata
yaitu larutan vitamin C itu jernih.
4.2.3. Infus Glukosa
Menurut Buku Iso Farmakoterapi 2 (2011) Cladribine dapat diberikan
secara parenteral dan intravena. Untuk Parenteral dilakukan pemberian injeksi
Subkutan. Sedangkan untuk intravena melalui infus. Sediaan Cladribine ini
diberikan melalui suntikan dikarenakan agar efek kemoterapi kanker didalam
tubuh bias lebih cepat. Sediaan yang akan dibuat saat praktikum adalah
sediaan infus calabrine.
Cladribine diberikan dengan menetes kepembuluh darah ( infus
intravena) untuk pengobatan leukemia sel berbulu, pengobatan tunggal
diberikan. Tetesan akan disiapkan untuk mendapatkan obat secara terus
menerus selama 7 hari berturut turut. Untuk pengobatan leukemia Linfosistik
kronis, infus diberikan setiap hari selama 5 hari pertama dalam siklus 28 hari.
Setiap infus diberikan lebih dari 2 jam. Maksimal 6 siklus pengobatan dapat
diberikan. (Anindita, 2014)
4.2.4. Salep Mata Kloramfenikol
Pada praktikum ini melakukan praktikum formulasi sediaan salep
mata yang bertujuan diharapkan dapat memahami cara memformulasikan
sediaan salep mata, mengetahui faktor-faktor yang harus dipertimbangkan
dalam pemilihan basis, serta aksi teraupetik dari bahan aktif. Pada
praktikum ini dibuat salah satu jenis sediaan semis olida untuk
penggunaan topical yaitu sediaan salep mata dengan bahan aktif
kloramfenikol sebesar 1% sesuai dengan yang telah ditetapkan dalam
literatur yakni kloramfenikol digunakan sebanyak 0,5 – 1% dalam
sediaan (Ansel, 2008).
Kloramfenikol dalam sediaan ini berkhasiat untuk mengobati infeksi
superficial pada mata yang disebabkan bakteri (McEvoy, 2002).
Kloramfenikol mempunyai stabilitas stabil dalam basis minyak dalam air ,
basis adeps lanae, oleh karena itu dipilih basis dasar hidrokarbon seperti
vaselin flavum (Vaselin kuning). Selain itu karena vaselin merupakan basis
salep yang paling banyak digunakan dalam pembuatan salep mata. Pemilihan
basis vaselin flavum karena vaselin ini tidak mengalami proses pemutihan
(bleaching) yang dikhawatirkan masih mengandung sesepora bahan pemutih
yang tertinggal dalam masa vaselin tersebut.
Pada praktikum salep mata ini alat-alat yang digunakan dalam
pembuatan salep harus di sterilisasi terlebih dahulu. Bahan yang digunakan
yaitu Kloramfenikol, Lanolin atau Adeps Lanae, Paraffin Liquid atau Paraffin
Cair Dan Vaselin Flavum. Pertama dengan menimbang Kloramfenikol
sebanyak 0,02 gram, Lanolin sebanyak 0,2 gram, Paraffin Cair sebanyak 0,2
gram dan Vaselin Flavum sebayak 1,58 gram. Selanjutnya basis salep
(Lanolin, Paraffin Cair, Vaselin Flavum) dileburkan pada cawan porselen
kemudian leburkan dalam oven pada suhu 600C selama 60 menit, setelah
meleleh gerus kloramfenikol pada mortir, selanjutnya campurkan
kloramfenikol dengan basis yang telah meleleh sempurna sampai homogen,
timbang 2 gram dan masukan dalam tube dan beri etiket. Sebelum campuran
bahan yang di campur dimasukan ke dalam tube terlebih dahulu lakukan
evaluasi sediaan salep mata.
Pertama melakukan tahap uji organoleptis salep mata yang telah dibuat
agar sediaan dapat diketahui warna, bau, dan bentuk. Warna yang dihasilkan
dari 3 percobaan adalah kuning pucat dan kekuningan, bau yang dihasilkan
tidak berbau dan konsistensi yang didapat lembut, licin, halus dan tidak
lengket. Hal ini sesuai dengan literatur yang menyebutkan bahwa aroma yang
dihasilkan tidak boleh berbau tengik (Ansel, 2007).
Pengujian homogenitas dilakukan dengan mengoleskan zat yang akan
diuji pada sekeping kaca. Menurut syamsuni, 2006 Jika salep dioleskan pada
sekeping kaca atau bahan transparan lain yang cocok, harus menunjukkan
susunan yang homogen. Dan hasil uji salep mata kloramfenikol yang didapat
sediaan salep homogen, homogen artinya semua bahan tercampur secara
merata. Hasil yang didapat sesuai dengan literatur yang dicantumkan. Salep
yang homogen adalah kadar zat aktif dalam sediaan salep cukup kecil,
sehingga diperlukan upaya/usaha agar zat aktif tersebut dapat
terdispersi/tercampur merata dalam basis (Saifullah, 2008).
Uji daya sebar dilakukan dengan cara menggunakan salep
kloramfenikol 0,5 gram yang diletakkan dibagian tengah kaca uji, kemudian
bagian atasnya ditutup dengan kaca uji yang lainnya dan diukur diameter.
Diameter yang didapat dari percobaan 1, 2 dan 3 tanpa menggunakan beban
yaitu 3,5 cm, 3,4 cm dan 3,4 cm dan setelah menggunakan beban 50 g
diameter bertambah menjadi 3,9 cm, 3,6 dan 3,6 cm. Kemudian
menggunakan beban 100 g diameter bertambah menjadi 4,3 cm, 3,9 dan 3,9
cm terakhir menggunakan beban 150 g diameter bertambah menjadi 4,6 cm,
4,1 cm dan 4,1 cm. Menurut Ansel (1989) Persyaratan daya sebar untuk
sediaan topikal yaitu sekitar 5 – 7 cm, maka berdasarkan hasil uji daya sebar
pada sediaan dapat dikatakan bahwa sediaan belum memenuhi syarat daya
sebar yang baik dikarenakan hasil yang didapat tidak sesuai dengan daya
sebar salep yang seharusnya, dikarenakan adanya kesalahan saat memasukkan
bahan atau perhitungan bahan yang akan digunakan tidak sesuai.
Uji daya lekat dilakukan dengan melekatkan 0,25 gram sediaan salep
diantara 2 kaca objek lalu ditahan dengan menggunakan beban 1 kg selama
lima menit, lalu digantung dan diberi beban seberat 80 gram. Berdasarkan uji
daya lekat yang dilakukan diperoleh hasil bahwa kaca objek setelah
digantung beban seberat 80 g dari percobaan 1,2, dan 3 jatuh dalam selang
waktu 25 mlisecond, 43 milisecond dan 63 milisecond. Dari hasil yang
diperoleh bahwa daya lekat salep mata sangat singkat, hal ini menandakan
basis yang digunakan mampu melepaskan bahan obat dengan baik dan
melebur ketika mengenai lensa mata sehingga kaburnya pandangan setelah
pemakaian dapat dikurangi walaupun tidak terlalu signifikan.
Pemeriksaan pH pada salep mata dengan cara mencelupkan kertas pH
universal ke dalam emulsi. Setelah dicelupkan kertas pH universal akan
berubah menjadi warna tertentu. Hasil uji pH yang dilakukan pada salep mata
yag dibuat pada percobaan 1,2 dan 3 yaitu pH 6, pH 7 dan pH 7 dimana batas
normal pH salep mata yaitu pH 7 hal ini sudah sesuai dengan persyaratan
salep mata.
Keuntungan utama suatu salep mata dibandingkan larutan untuk mata
adalah waktu kontak antara obat dengan mata yang lebih lama. Sediaan salep
mata umumnya dapat memberikan bioavailabilitas lebih besar daripada
sediaan larutan dalam air yang ekuivalen. Hal ini disebabkan karena waktu
kontak yang lebih lama sehingga jumlah obat yang diabsorbsi lebih tinggi.
Satu kekurangan bagi pengguna salep mata adalah kaburnya pandangan yang
terjadi begitu dasar salep meleleh dan meyebar melalui lensa mata. Beberapa
hal yang perlu diperhatikan dalam menyediakan sediaan salep mata, adalah
sediaan dibuat dari bahan yang sudah disterilkan dengan perlakuan aseptik
yang ketat serta memenuhi syarat uji sterilitas.

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 KESIMPULAN
Berdasarkan percobaan yang dilakukan pada paraktikum teknologi
sediaan steril dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Sterilisasi dengan oven digunakan untuk alat dan bahan yang tahan
suhu sangat tinggi dan tidak memiliki spesifikasi yang ketelitian alatnya
tinggi seperti batang pengaduk, botol infuse 100 mL, botol 150 mL,
corong gelas, Erlenmeyer, gelas beker, tube salep, vial, alumunium foil,
paraffin liquid, lanolin, vaselin, NaCl
2. Sterilisasi dengan autoclave untuk erlenmeyer, gelas ukur, tutup gabus,
botol semprot, kertas saring, tali kasur, kertas coklat, plastic bening,
glukosa, WFI steril,
3. Sterilisasi dengan desinfeksi untuk alat dan bahan Buret, pipet tetes,
tube salep, karet penutup, plastik bening, plastik ikan
4. Sterilisasi dengan pemijaran untuk spatula logam dan mortar stamper
5. Bebas alkali, sulfur dan pathogen merupakan syarat sediaan steril. Alat
untuk membuat sediaan steril juga dituntut untuk bebas alkali (yaitu
alat-alat gelas), bebas sulfur (alat dari karet) dan bebas pathogen (botol
dan alat berbahan kaca)
6. Formulasi yang dibuat yaitu vitamin C 100 mg, NaOH 100 mg,
Benzalkoinum klorida 0,1 mg dan aqua pro injeksi 1 ml.
7. Evaluasi uji yang dilakukan yaitu:
a. Uji organoleptis
Warna : kekuningan
Bau : bau khas dari vitamin C
Bentuk sediaan : larutan
b. Uji pH
pH yang didapat yaitu 6,0
c. Uji kebocoran
Uji kebocoran didapat tidak ada kebocoran pada sediaan ampul
vitamin c
d. Uji kejernihan
Uji kejernihan didapat yaitu jernih, tidak ada partikel kecil yang
terdapat didalam larutan
8. Pada kegiatan praktikum membuat sediaan infus dengan bahan aktif
cladribine 1 %, Sodium chloride 9 %, Phosporic Acid for PH
Adjustment q.s, Sodium phosphate Dibasic for pH Adjusment qs, Water
for injection, USP qs, dibuat sediaan tersebut sebanyak 1 L.
berdasarkan data stabilitas suhu dapat disimpulkan bahwa sediaan ini
dapat dilakukan sterilisasi dengan autoklaf.
9. Berdasarkan data kelarutan sediaan yang dibuat adalah kelarutan.
10. Uji PH
Cek PH larutan dengan menggunakan pH meter atau kertas indikator
universal, PH yang didapat dalam praktikum ini 5 , PH yang spesifikasi
adalah 5.
11. Uji Kejernihan
Pemeriksaan dilakukan secara visual dilakukan oleh seseorang yang
memeriksa wadah bersih dari luar dibawah penerangan cahaya baik.
12. Uji kebocoran
Diletakan ampul didalam zat warnanya dalam ruangan vakum.
13. Rancangan formula yang digunakan untuk memproduksi sediaan salep
pada praktikum ini adalah kloramfenikol kloramfenikol, adeps lanae
vaselin flavum, parafin cair.
14. Berdasarkan hasil evaluasi terhadap sediaan salep, dapat disimpulkan
sebagai berikut:
a. Uji Organoleptik : Sediaan salep berwarna kuning pucat,bau
yang dihasilkan
tidak berbau, bentuk sediaan semi padat
dan mempunyai
konsistensi lembut, licin, halus dan tidak
lengket.
b. Uji Homogenitas : Sediaan salep homogen.
c. Uji Daya Sebar : Uji daya sebar belum memenuhi syarat
daya sebar yang
baik dikarenakan hasil yang didapat tidak
sesuai dengan
daya sebar salep yang seharusnya.
d. Uji Daya Lekat : Dari hasil yang diperoleh bahwa daya lekat
salep mata
sangat singkat, hal ini menandakan basis
yang digunakan
mampu melepaskan bahan obat dengan
baik
e. Uji Pemeriksaan pH : pH sediaan salep mata pada percobaan 1,2,
dan 3 adalah
pH 6, 7 dan 7.

5.2 SARAN
Saran untuk praktikum selanjutnya yaitu lebih dikenalkan kepada praktikan
alat-alat yang biasa digunakan praktikum teknologi sediaan steril beserta
fungsinya serta cara sterilisasinya. diharapkan mahasiswa dapat melihat
langsung proses sterilisasi, dikarenaka tidak semua praktikan bisa memahami
prosedur sterilisasi.

DAFTAR PUSTAKA

Abdassah, Marline., Omandra, Fanni Syawli., Mita, Soraya Ratnawulan. 2005.


Profil Permeasi In Vitro Gel Mata Kloramfenikol pada Membran Kornea
Mata Kelinci dengan Metode Sel Difusi Franz. Farmaka. 13(4).

Adji, D., Zuliyani, dan Henry, L. 2007. Perbandingan Efektivitas Sterilisasi


Alkohol 70 %, Inframerah, Autoklaf, dan Ozon Terhadap Pertumbuhan
Bakteri Bacillus Subtilis. J. Sanvet. 25 (1).

Akess , M.J. 2010. Sterile Drug Product: Formulations, Packaging Manufacting


and Quality. Informa Health Care, London.

Allen, L.V. 2009. Handbook of Pharmaceutical Excipients. Six th Edition.


Pharmaceutical Press and American Pharmacists Assosiation, London.

Ansel, H.C., 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. diterjemahkan oleh


Farida Ibrahim, Asmanizar, Iis Aisyah,Edisi keempat, 255-271, 607-608,
700. Jakarta: UI Press.

Ansel, Howard C. 2007. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Jakarta : Universitas


Indonesia.

Ansel, H.C. 2008. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi Edisi Keempat. Jakarta :
UI Press.

Ayuhastuti, Anggreni. 2016. Praktikum Teknologi Sediaan Steril. Kementrian


Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.

Cahyono, T. 2017. Penyehatan Udara. Andi (IKAPI), Yogyakarta.


Chairl dan Lestari, E. 2011. Pedoman Teknik Dasar Untuk Laboratorium
Kesehatan. EGC, Jakarta.

Chairlan dan Lestar, Estu. 2011. Pedoman Teknik Dasar Untuk Laboratorium
Kesehatan Edisi 2. ECG, Jakarta.

Darmadi. 2008. Infeksi Nosocomial : Problematika dan Pengendaliannya.


Salemba Medika, Jakarta.

Denis, Rica. 2014. Identifikasi Bakteri Escherichia coli (E.coli) pada Air Galon
Reverse Osmosis (RO) dan Non Reverse Osmosis (Non RO). Jurnal
Gradien, 10(1).

Departmen of health ang ageing. 2011. Laporan Penilaian Publik Australia untuk
Cladribine Tablet. TGA: Australia.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1979. Farmakope Indonesia Edisi III.


Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1995. Farmakope Indonesia Edisi IV.


Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.

Hadioetomo dan Ratnasari. 1989. Mikrobiologi Dasar dalam Praktik Teknik dan
Prosedur Dasar Laboratorium. PT Gramedia, Jakarta.

Hoover, J. E. 1975. Remingtons’s Pharmaceutical Sciences.15th Edition. The


Pharmaceutical Press, London.

Ilyas, S. 2010. Anatomi dan Fisiologi Mata Dalam : Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata
Untuk Dokter Umum dan Mahasiswa Kedokteran. Edisi 3. Balai Penerbit
FKUI, Jakarta.

Irianto, Koes. 2007. Mikrobiologi Menguak Dunia Organisme Jilid 1. CV. Yrania
Widya, Bandung.

Jenkins, G.L., Grande, D.E., Brecht, E.A., Sperandio, B.J.1957. Scoville’s the Art
of Compounding 9th Edition, The Blakiston Division, McGraw Hill Book
Company Inc., New York.

Kemenkes., 2014. Farmakope Indonesia Edisi V. Kementerian Kesehatan


Republik Indonesia: Jakarta.

Kemenkes RI. 2016. Praktikum Teknologi Sediaan Steril. Pusdik SDM Kesehatan,
Jakarta.

Kharisma, A. dan Manan, A. 2012. Kelimpahan Bakteri Vibro sp pada Air


Pembesaran Udang Vannamei (Litopenaeus Vannamei) Sebagai Deteksi
Dini Serangan Penyakit Vibrosis. Jurnal Ilmia Perikanan dan Kelautan,
4(2).
Lachman, L., Lieberman, H.A., and Kanig, J.L. 1994. Teori Dan Praktik Industri
Farmasi, 643-705, Diterjemahkan oleh Suyatmi, S. UI Press, Jakarta.

Lukas, Syamsuni, H.A., 2006. Ilmu Resep. Penerbit Buku Kedokteran EGC:
Jakarta.

Madin, S. H. dan Junior, B.D. 1958. Esthablished Kidney Cell Lines of normal
adult sovie and ovine origin. Journal of Experimental Biology and
Medicine, 98(3) : 574-576.

Mastuti, Retno. 2017. Dasar-Dasar Kultur Jaringan Tumbuhan. Tim UB Press,


Malang.

McEvoy, G. K. 2002. AHFS Drug Information. United State of America :


American Society of Health System Pharmcists.

Misna, Diana, K. 2016. Aktivitas antibakteri Ekstrak Kulit Bawang Merah


(Allium cefa L.) terhadap bakteri Staphylococcus aureus. Galenika
Journal of Pharmacy. 2(2) : 138-144.

Murray, R.K., Granner, D.K., Mayes, P.A., dan Rodwell, V.W. 2003. Biokimia
Harper. Edisi 25. Penerbit Buku Kedokteran EGC: Jakarta.

Nogrady T. 1992. Kimia Medisinal : Pendekatan secara Biokimia, Penerjemah:


Rasyid R, Musadad A, 2-7, ITB, Bandung, Terjemahan dari Medicinal
Chemistry.

Nurrachmamila, P.L., dan Saputro, T.B. 2017. Analisis Daya Perkecambahan Padi
(Oryza sativa L.) Varietas Bahbutang Hasil Iradiasi. Jurnal Sains dan
Seni ITS, 6(2): 2337-3520.

Raudah., Tien, Z., Imam, S. 2017. Efektivitas Sterilisasi Metode Panas Kering
pada Alat Medis Ruang Perawatan Luka Rumah Sakit Dr. H. Soemarno
Sosroatmodjo Kuala Kapuas. Jurnal Kesehatan Lingkungan. 14 (01) 425
– 430.

Reynold, J. E. P. 1982. Martindale Thexxtra Pharmacopea Twenty Eight Edition


Book 1. Pharmaceutical Press: London.

Rizal, M.S., Sumaryadi, E., dan Suprihana. 2016. Pengaruh Waktu Dan Suhu
Sterilisasi Terhadap Susu Sapi Rasa Coklat. Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian.
“AGRIKA”. 10 (1).

Rowe, Raymond C., Paul J. Sheskey, MarianE. Quinn. 2009. Handbook Of


Pharmaceutical Excipients. The Pharmaceutical Press, London.

Saminan. 2013. Efek Penyimpangan Refraksi Cahaya Dalam Mata Terhadap


Rabun Dekat Atau Jauh. Idea Nursing Journal. 4(2).
Setiabudi, R., 2007, Golongan Kuinolon dan Fluorokuinolon.,dalam Gunawan,
S.G., Setiabudy, R., Nafrialdi. dan Elysabeth., Farmakologi dan
Terapi,Hal 720, Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, Jakarta.

Subronto dan Tjahadjati, 2001. Ilmu Penyakit Ternak 11. UGM Press, Yogyakarta.

Suendra, N., Rahayu, S., Soemini dan Suprijo, T. 1991. Mikrobiologi Lingkungan.
Pusat Pendidikan Kesehatan. Depkes RI, Jakarta.

Susilawati, T. 2013. Pedoman Inseminasi Buatan Pada Ternak. UB, Malang.

Sweetman, S.C. 2009. Martindie The Complate Drug Reference, 36th Edition.
Pharmaceutical press, New York.
Syamsuni. 2005. Ilmu Resep. Jakarta : EGC.

Syamsuni, H.A. 2006. Ilmu Resep. Jakarta : EGC.

Syaifullah, T.N. & Rina Kuswahyuning. 2008. Teknologi dan Formulasi Sediaan
Semi Padat. Yogyakarta : Laboratorium Teknologi Farmasi UGM

Volk, W.A and M.F. Wheeler. 1993. Mikrobiologi Dasar. Edisi Kelima. Jilid 1.
Penerbit Erlangga, Jakarta.

Wattimena, J.R., Sugiarso, N.C., Widianto, M.B., Sukandar, E.Y. dan Soemardji,
A.A. 1991. Farmako Dinamika dan Terapi Antibiotik. Gajah Mada
University Press, Yogyakarta.
LAMPIRAN

Lampiran 1. Formulasi Sediaan


Bentuk : Cairan (Ampul)

R/ Vitamin C 100 mg
Natrium Hidroksida 100 mg
Benzalkoinum Klorida 0,1 mg
Aqua Pro Injectio add 1 ml
Dibuat sediaan sebanyak 10 ml

Lampiran 2. Prosedur Kerja dan Evaluasi

Gambar 1. Gambar 2.
Penimbangan bahan Penimbangan bahan
Gambar 3. Gambar 4.
Melarutkan Vitamin C Cek Ph

Gambar 5.
Gambar 4. Memasukan larutan vitamin c kedalam
Penyaringan larutan vitamin C buret

Gambar 5.
Gambar 6.
Memasukan larutan vitamin c
Vitamin C yang sudah dimasukan
kedalam ampul
kedalam ampul

Gambar 7.
Ampul di sealing Gambar 8.
Sediaan jadi
Lampiran 3.Kemasan, Etiket dan Brosur
Lampiran 4. Formulasi Sediaan
Bentuk : Cairan (Infus)

R/ Glukosa monohidrat 5,9%


Norit 0,1%
Water for Injection, Steril ad to 500 ml

Lampiran 5. Prosedur Kerja dan Evaluasi


Gambar 1. Gambar 2.
Penambahan glukosa Penimbangan norit

Gambar 3.
Gambar 4.
Penambahan norit kedalam larutan
Penyaringan larutan di LAF
glukosa

Gambar 5. Gambar 6.
Uji pH larutan infus Sebelum larutan infus
disterilkan

Gambar 8.
Gambar 7. Uji Penetapan volume
Uji Kejernihan

Gambar 9.
Sediaan Infus Glukosa

Lampiran 6. Kemasan, Etiket dan Brosur


Lampiran 7. Formulasi Sediaan

R/ Kloramfenikol 0,02 gr
Lanolin 0,2 gr
Liquid Paraffin 0,2 gr
Vaseline flavum 1,58 gr

Lampiran 8. Prosedur Kerja & Evaluasi

Gambar 1. Gambar 2.
Sterilisasi Menggunakan Autoklaf Sterilisasi Menggunakan Alkohol

Gambar 3. Gambar 4.
Sterilisasi Menggunakan Oven Penimbangan Vaseline flavum

Gambar 4. Gambar 5.
Penimbangan Vaseline flavum Penimbangan lanolin
Gambar 5. Gambar 6.
Penimbangan Kloramfenikol Peleburan Basis Salep

Gambar 7. Gambar 8.
Pencampuran Basis Salep Dengan Penimbangan Salep Kloramfenikol
Kloramfenikol

Gambar 9. Gambar 10.


Proses Memasukkan Salep Sediaan Jadi
Kloramfenikol Kedalam Tube

Gambar 11.
Evaluasi Uji

Lampiran 9. Kemasan, Etiket dan Brosur

Anda mungkin juga menyukai