Anda di halaman 1dari 38

LAPORAN PRAKTIKUM

TEKNOLOGI DAN FORMULASI SEDIAAN STERIL


“Uji Sterilitas Sediaan Steril Injeksi Vitamin C”

Dosen Pengampu :
Apt. Novia Maulina, S. Farm, M. Farm
Apt. Luthfi Achmad M, S. Farm, M.
Farm
Apt. Ginanjar Putri Nastiti, S. Farm, M.
Farm Apt. Ziyana Walidah, S. Farm

Oleh Kelompok 1:

1. Dian Resty Puspitasari 16670039


2. Yudintya Aisyah Ermandy 17930036
3. Alfiyatul Mawaddah 17930041
4. Rahil Virginia Az Zahroh 17930076
5. Silvera Zaina Nuzula 17930102

JURUSAN FARMASI
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM
MALANG
2020
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Perkembangan sediaan farmasi di Indonesia sudah terlahir sejak zaman
dahulu kala. Sekarang ini telah banyak sediaan farmasi yang telah dikembangkan
salah satunya seperti perkembangan teknologi steril. Teknologi steril ini
merupakan sebuah ilmu yang mempelajari tentang bagaimana membuat suatu
sediaan farmasi yang steril dengan tanpa mengandung jasat renik. Teknologi steril
ini memiliki hubungan dengan proses sterilisasi yang berarti membunuh jasat
renik atau mikroorganisme pathogen ataupun non pathogen yang terkandung
dalam suatu benda mati.
Salah satu sediaan farmasi yang termasuk kedalam teknologi steril yaitu
injeksi. Injeksi adalah sediaan steril berupa larutan, emulsi atau suspensi atau
serbuk yang harus dilarutkan atau disuspensikan lebih dahulu sebelum digunakan
yang disuntikkan dengan cara menusuk jaringan ke dalam otot atau melalui kulit.
Pemberian injeksi merupakan prosedur invasif yang harus dilakukan dengan
menggunakan teknik steril. Injeksi whitening adalah suatu metode untuk
memasukkan liquid yang besifat depigmentasi dengan menggunakan spuit dan
jarum melalui kedalaman kulit tertentu agar bahan-bahan dapat didorong masuk
kedalam tubuh (Potter & Perry, 2005).
Sediaan steril harus terbebas dari mikroorganisme, bebas dari komponen
toksik dan memiliki kemurnia yang tinggi karena sediaan ini disuntikkan melalui
kulit atau embran mukosa bagian dalam tubuh. Sterilisasi adalah suatu proses
untuk membunuh semua jasad renik yang ada, sehingga jika ditumbuhkan di
dalam suatu medium tidak ada lagi jasad renik yang dapat berkembang biak.
Sterilisasi harus dapat membunuh jasad renik yang paling tahan panas yaitu spora
bakteri (Lchman dkk., 2008).
Penggunaan injeksi di bidang kefarmasian bertujuan untuk diberikan
kepada pasien yang tidak dapat menelan obat dan biasanya diberikan melalui
intravena, selain itu juga bertujuan agar seorang farmasis mengetahui cara
pembuatan sediaan steril injeksi. Berdasarkan uraian yang telah dijabarkan diatas,
maka sangat perlu melakukan dan membahas lebih dalam mengenai pembuatan
sediaan dan evaluasi sediaan injeksi berupa injeksi Vitamin C.

1.2 Tujuan Praktikum


Tujuan dilakukannya praktikum ini yaitu:
a. Mahasiswa dapat mempelajari cara uji sterilitas injeksi vitamin C
b. Mahasiswa dapat melakukan interpretasi hasil uji sterilitas sediaan
steril yang dikaji berdasarkan persyaratan FI dan CPOB
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Dasar Teori


2.1.1 Sediaan Steril
Perkembangan sediaan farmasi di Indonesia sudah terlahir sejak
zaman dahulu kala. Sekarang ini telah banyak sediaan farmasi yang telah
dikembangkan salah satunya seperti perkembangan teknologi steril. Sediaan
steril merupakan salah satu bentuk sediaaan farmasi yang banyak dipakai,
terutama saat pasien dirawat di rumah sakit. Sediaan steril sangat membantu
pada saat pasien dioperasi, diinfus, disuntik, mempunyai luka terbuka yang
harus diobati, dan sebagainya (Lukas, 2006). Sediaan yang termasuk sediaan
steril yaitu sediaan obat suntik bervolume kecil atau besar, cairan irigasi yang
dimaksudkan untuk merendam luka atau lubang operasi, larutan dialisa dan
sediaan biologis seperti vaksin, toksoid, antitoksin, produk penambah darah
dan sebagainya. Sterilitas sangat penting karena cairan tersebut langsung
berhubungan dengan cairan dan jaringan tubuh yang merupakan tempat infeksi
dapat terjadi dengan mudah (Ansel, 1989).
Salah satu yang termasuk sediaan steril yaitu sediaan parenteral.
sediaan parenteral merupakan jenis sediaan yang unik di antara bentuk sediaan
obat terbagi - bagi, karena sediaan ini disuntikan melalui kulit atau membran
mukosa ke bagian tubuh yang paling efesien, yaitu membrankulit dan mukosa,
maka sediaan ini harus bebas dari kontaminasimikroba dan dari bahan - bahan
toksis lainnya, serta harus memilikitingkat kemurnian yang tinggi# Semua
bahan dan proses yang terlibatdalam pembuatan produk ini harus dipilih dan
dirancang untuk menghilangkan semua jenis kontaminasi, apakah kontaminasi
fisik, kimia atau mikrobiologis (Priyambodo, B., 2007)

2.1.2 Injeksi
Injeksi adalah sediaan steril berupa larutan, emulsi atau suspensi atau
serbuk yang harus dilarutkan atau disuspensikan lebih dahulu sebelum
digunakan yang disuntikkan dengan cara menusuk jaringan ke dalam otot atau
melalui kulit. Pemberian injeksi merupakan prosedur invasif yang harus
dilakukan dengan menggunakan teknik steril. Injeksi whitening adalah suatu
metode untuk memasukkan liquid yang besifat depigmentasi dengan
menggunakan spuit dan jarum melalui kedalaman kulit tertentu agar bahan-
bahan dapat didorong masuk kedalam tubuh (Potter & Perry, 2005).

2.1.3 Macam-macam Injeksi


1. Injeksi Intramuskular (IM)
Injeksi intramuskuler (IM) adalah pemberian obat/ cairan dengan
cara dimasukkan langsung ke dalam otot (muskulus). Pada orang
dewasa tempat yang paling sering digunakan untuk suntikan
intramuskular adalah seperempat bagian atas luar otot gluteus maximus,
sedangkan pada bayi, tempat penyuntikan dibatasi sebaiknya paling
banyak 5 ml bila disuntikkan ke daerah gluteal dan 2 ml di daerah
deltoid. Tujuanya adalah agar absorsi obat dapat lebih cepat. Rute
intramuscular (IM) memungkinkan absorbsi obat yang lebih cepat dari
pada rute subcutan (SC), karena pembuluh darah lebih banyak terdapat
di otot. Bahaya kerusakan jaringan berkurang ketika obat memasuki
otot dalam, tetapi bila tidak hati-hati, ada resiko menginjeksi obat
langsung ke pembuluh darah. (Perry & Potter, 2005).

2. Injeksi Intravena (IV)


Pemberian obat dengan cara memasukan obat kedalam pembuluh
darah vena secara langsung dengan menggunakan spuit, sehingga obat
langsung masuk ke dalam sistem sirkulasi darah. Injeksi dalam
pembuluh darah menghasilkan efek tercepat dalam waktu 18 detik,
yaitu waktu satu peredaran darah, obat sudah tersebar ke seluruh
jaringan, tetapi lama kerja obat biasanya hanya singkat. Cara ini
digunakan untuk mencapai ukuran yang tepat dan dapat dipercaya, atau
efek yang sangat cepat dan kuat dan jalur ini dipilih karena untuk
menghindari ketidaknyamanan yang ditimbulkan oleh pengguna jalur
parental lainnya. Tidak untuk obat
yang tak larut dalam air atau menimbulkan endapan dengan protein atau
butiran darah (Sumijatun, 2010).
Bahaya injeksi intravena adalah dapat mengakibatkan
terganggunya zat-zat koloid darah dengan reaksi hebat, karena dengan
cara ini “benda asing” langsung dimasukkan ke dalam sirkulasi,
misalnya tekanan darah mendadak turun dan timbulnya shock. Bahaya
ini lebih besar bila injeksi dilakukan terlalu cepat, sehingga kadar obat
dalam darah meningkat terlalu pesat. Oleh karena itu, setiap injeksi
intravena sebaiknya dilakukan amat perlahan, antara 50-70 detik
lamanya (Sumijatun, 2010).

2.1.4 Vitamin C
Vitamin C atau asam askorbik merupakan vitamin yang larut dalam
air. Fungsi dasar vitamin C adalahmeningkatkan daya tahan tubuh
terhadapserangan penyakit dan sebagai antioksidan yang menetralkan racun
dan radikal bebas didalam darah maupun cairan sel tubuh. Selainitu, vitamin C
juga berfungsi menjagakesehatan paru-paru karena dapatmenetralkan radikal
bebas yang masukmelalui saluran pernafasan. Vitamin C jugameningkatkan
fungsi sel-sel darah putihyang dapat melawan infeksi dan dapatmeningkatkan
penyerapan zat besi sehinggadapat mencegah anemia. Vitamin ini
jugadiperlukan untuk pembentukan kolagen,kartinin, dan neurotransmitter.
Pada sedian murni vitamin C,selain diberikan secara oral,Vitamin C juga dapat
diberikan secara suntikan yaitu suntikan intravena,intramuscular dan
subkutan,dimana keuntungan pemberian suntikanefeknya lebih cepat dan
teratur. Khususnya suntikan secara subkutan,dimana absorpsinya terjadi lambat
dan konstansehingga efeknya dapat bertahan lama (Davies et al., 1991).
Kekurangan asam askorbat dapat menyebabkan terhentinya
pertumbuhan tulang. Pada skorbut (defisiensi vitamin C) dapat meyebabkan
dinding pembuluh darahmenjadi sangat rapuh karena terjadinyakegagalan sel
endotel untuk saling merekatsatu sama lain dengan baik dan kegagalanuntuk
terbentuknya fibril kolagen yang biasanya terdapat di dinding pembuluhdarah
Kelebihan vitamin C yang berasal darimakanan tidak menimbulkan gejala.
Tetapikonsumsi vitamin C berupa suplemen secara berlebihan setiap harinya
akan menimbulkan hiperoksaluria dan risiko lebih tinggi untukmenderita batu
ginjal.

2.1.5 Uji Sterilitas


Sterilisasi merupakan suatu proses untuk menghilangkan atau
membunuh semua jasad renik yang ada seperti bakteri mikroorganisme. Proses
sterilisasi harus dapat membunuh semua resin sekalipun yang tahan terhadap
panas seperti spora atau bakteri (Fardiaz, 1992). Tidak sempurnanya proses
sterilisasi ditandai dengan adanya pertumbuhan mikroorganisme yang masih
terus berlangsung. Apabila proses sterilisasi berlangsung dengan baik maka
mikroorganisme seperti jamur dan bakteri akan nihil tidak ada tanda-tanda
pertumbuhan (Lay dan Hatowo, 1992).
Dalam bidang Kesehatan, sterilisasi memiliki peran yang sangat
penting karena akan memiliki sifat terapi yang sangat bagus dan maksimal.
Kata steril memiliki arti bebas dari segala kenis mikroba pathogen maupun
tidak. Proses sterilisasi ini melibatkan suatu aplikasi yang disebut dengan
biocidal agent atau proses fisik dengan tujuan untuk membunuh atau
menghilangkan shaauatu mikroorganisme (Pratiwi, 2008).
Menurut CPOB 2018 dijelaskan bahwa uji sterilitas berarti semua
radiofarmaka untuk penggunaan parenteral harus steril. Meskipun tidak selalu
memungkinkan untuk menunggu hasil uji sterilitas sebelum diluluskan untuk
penggunaan karena sifat alamiah radioaktif, uji sterilitas hendaklah menjadi
bagian dari pengawasan mutu produksi. Proses produksi hendaklah divalidasi
secara teratur. Uji sterilitas hendaklah dilakukan sesuai prosedur yang
ditetapkan dalam Farmakope Indonesia atau Farmakope Internasional yang
diakui oleh otoritas pengawasan.

2.1.6 Media Sterilisasi


1. Thioglikolat cair (Fluid Thioglycolate Media)

Nama Bahan Jumlah Fungsi


L-sistin P 0,5 Antioksidan
Agar 0,75 Nutrient dan
konsistensi
NaCl 2,5 Bahan
pengisotonis
Glukosa 5,5 Nutrient
Ekstrak Ragi 5,0 Nutrient
Digesti Pankreas 15,0 Nutrient
Kasein P
Na-Tioglikolat/ 0,5 mL Antioksidan
Asam Tioglikolat 0,3 mL Antioksidan
Larutan Na- 1,0 mL Indikator redoks
resazurin
Air 1000 mL
pH 7,1 ± 0,2

Cara pembuatan media di atas adalah sebagai berikut.


1. Dicampur dan dipanaskan semua bahan hingga larut.
2. Diatur pH larutan hingga setelah sterilisasi 7,1 ± 0,2, menggunakan
natrium hidroksida 1 N.
3. Jika perlu saring selagi panas menggunakan kertas saring.
4. Media ditempatkan dalam tabung yang sesuai, yang memberikan
perbandingan permukaan dengan kedalaman media sedemikian rupa
sehingga tidak lebih dari setengah bagian atas media yang mengalami
perubahan warna sebagai indikasi masuknya oksigen pada akhir masa
inkubasi.
5. Disterilisasi dalam autoklaf. Jika lebih dari sepertiga bagian atas terjadi
warna merah muda, media dapat diperbaiki satu kali dengan pemanasan di
atas tangas air atau dalam uap yang mengalir bebas hingga warna merah
muda hilang.
6. Media siap digunakan jika tidak lebih dari sepersepuluh bagian atas media
berwarna merah muda.Gunakanlah media Tioglikolat Cair untuk inkubasi
dalam kondisi aerob (Depkes RI, 1995).
2. Thioglikolat alternatif
Nama Bahan Jumlah Fungsi
L-sistin P 0,5 Antioksidan
NaCl 2,5 Bahan
pengisotonis
Glukosa 5,5 Nutrient
Ekstrak Ragi 5,0 Nutrient
Digesti Pankreas 15,0 Nutrient
Kasein
Na-Tioglikolat/ 0,5 mL Antioksidan
Asam Tioglikolat 0,3 mL Antioksidan
Air 1000 mL
pH 7,1 ± 0,2

Cara pembuatan medium di atas adalah: panaskan semua bahan dalam


wadah yang sesuai hingga larut. Campur, dan jika perlu, atur pH larutan hingga
setelah sterilisasi 7,1 ±0,2 mnggunakan natrium hidroksida 1 N. Saring jika
perlu, tempatkan dalam tabung yang sesuai dan sterilisasi dengan uap air.
Media dibuat segar atau dipanaskan di tangas uap dan didinginan saat akan
digunakan. Gunakan Media Tioglikolat Alternatif dengan cara yang menjamin
kondisi anaerob selama masa inkubasi (Depkes RI, 1995).

2.1.7 Metode Sterilisasi


Menurut Suriawiria (2005), pada prinsipnya sterilisasi dapat dilakukan
dengan 3 cara yaitu secara mekanik,fisik dan kimiawi:
 Sterilisasi secara fisik (pemanasan, penggunaan sinar gelombang
pendekyang dapat dilakukan selama senyawa kimia yang akan
disterilkan tidak akan berubah atau terurai akibat temperatur atau
tekanan tinggi). Dengan udara panas, dipergunakan alat
“bejana/ruang panas” (oven dengan temperatur 170°C - 180°C dan
waktu yang digunakan adalah 2 jam yang umumnya untuk peralatan
gelas).
 Sterilisasi secara kimia (misalnya dengan penggunaan disinfektan,
larutanalkohol, larutan formalin).
 Sterilisasi secara mekanik, digunakan untuk beberapa bahan yang
akibat pemanasan tinggi atau tekanan tinggi akan mengalami
perubahan, misalnyaadalah dengan saringan/filter. Sistem kerja
filter, seperti pada saringan lainadalah melakukan seleksi terhadap
partikel- partikel yang lewat (dalam hal iniadalah mikroba).
Jenis-jenis sterilisasi lain yaitu:
 Sterilisasi panas basah
Sterilisasi basah merupakan proses pemusnahan bakeri yang
terdapat pada peralatan praktikum yang akan digunakan dengan
menggunakan autoklaf. Autoklaf merupakan alat yang berfungsi
untuk mensterilisasi uap panas bertekanan yang dipakai untuk
sterilisasi medium atau larutan atau alat-alat yang tidak tahan suhu
tinggi. Prinsipnya adalah dengan cara mengkoagulasi atau denaturasi
protein penyusunn tubuh mikroba sehingga dapat membunuh
mikroba (Gunawan, 2008). Sterilisasi panas basah atau sterilisasi uap
merupakan proses sterilisasi termal yang menggunakan uap jenuh
dibawah tekanan pada suhu 121°C selama 15 menit. Kecuali
dinyatakan lain sterilisasi uap dilakukan dalam autoklaf. Autoklaf ini
merupakan alat sterilisasi yang memanfaatkan uap air panas dan
memiliki tekanan yang tinggi. Alat ini biasanya digunakan untuk
mensterilisasi peralatan dan bahan ukur yang tahan terhadap panas
dan akan bertahan pada suhu tinggi (Sumarsih, 2003).
 Sterilisasi panas kering
Sterilisasi dengan panas kering dilakukan dengan
menggunakan oven. Sterilisasi jenis ini biasanya digunakan untuk
mensterilkan perangkat logam. Dalam keadaan kering, struktur
protein bersifat lebih stabil dan tidak mudah rusak sehingga untuk
mematikan organisme diperlukan suhu panas kering yang jauh lebih
tinggi dan waktu yang lebih lama dibandingkan dengan suhu pada
permukaan lembab (Gunawan, 2008). Sterilisasi panas kering
bekerja dengan
menerapkan konduksi panas. Sterilisasi kering panas biasanya
digunakan untuk alat-alat atau bahan dengan uap yang tidak dapat
dipenetrasi dengan mudah atau untuk peralatan yang terbuat dari
kaca. Karena panas dan kering kurang efektif untuk membunuh
mikroba dari autoklaf, maka sterilisasi memerlukan suhu yang lebih
tinggi dan waktu yang lebih lama (Stefanus, 2006).
BAB III
METODOLOGI PERCOBAAN

3.1 Alat Dan Bahan


1. Alat
Alat yang digunakan adalah sebagai berikut:
a. Erlenmeyer 1 buah
b. Corong kaca 1 buah
c. Beaker glass 1 buah
d. Gelas ukur 1 buah
e. Batang pengaduk 1 buah
f. Kaca arloji 1 buah
g. Tabung reaksi 1 buah
h. Incubator 1 buah
i. Suit 1 cc 1 buah
j. LAF/ Enkas 1 buah
k. Kapas 1 buah
l. Kassa 1 buah
m. Aluminium Foil 1 buah
2. Bahan
Bahan yang digunakan adalah sebagai berikut :
a. Asam askorbat 0,2448 gram
b. Natrium hidroksida 0,1224 mg
c. Natrium bikarbonat 0,0034 mg
d. Na-EDTA 0,2448 mg
e. Natrium metabisulfite 0,2405 mg
f. Aqua pro injection ad 2 mL
g. Media tumbuh bakteri tioglikolat 1,4875 gram
h. Larutan uji secukupnya
i. Aquadest 50 mL
j. Alcohol 70% secukupnya

3.2 Perhitungan Bahan


Perhitungan tonisitas menggunakan metode penurunan titik beku
 Ptb Asam askorbat : 0,105
 Ptb Natrium hidroksida : 0,138
 Ptb Natrium bicarbonate : 0,380
 Ptb Na-EDTA : 0,132
 Ptb Natrium metabisulfit : 0,386
 Ptb NaCl : 0,576

0,52−((C1xPtb 1)+(C2xPtb2)+(C3xPtb3)+(C4xPtb4)+(C5xPtb5))
B= Ptb Nacl

0,52−((10x0,105)+(0,005x0,138)+(1,39x0,380)+(0,1x0,132)+(1x0,386))
= 0,576

0,52 – (1,5+0,00069+0,5282+0,0132+0,386)
= 0,576

0,52−2,428
= 0,576

= -3,313 (hipertonis)
3.3 Penimbangan Bahan
 Volume ampul 2 mL sebanyak 3 buah
Rumus V = (n+2) x (v ampul + 0,15)
V = (3+2) x (2 mL + 0,15)
= 5 x 2,15
= 10,75 ~ 11mL

 Asam askorbat
100 mg/mL
x ~ 11 mL
x = 100 mg x 11 mL
= 1100 mg
= 1,1 gram

 Natrium hidroksida
0,05% x 11 mL = 0,055 + 2%
= 0,0561 gram
= 56,1 mg
 Natrium bikarbonat
1,39% x 11 mL = 0,1529 + 2%
= 0,1559 mg
= 155,9 gram
 Na-EDTA
0,1% x 11 mL = 0,0055 + 2%
= 0,00561 gram
= 5,61 mg
 Natrium metabisulfit
1%x11 mL = 0,11 + 2%
= 0,13 gram
= 0,00013 mg
 Aqua pro inject
2 mL + 20% = 11 mL
3.4 Sterilisasi Alat

3.5 Prosedur Kerja


a. Sterilisasi Alat
Alat
- Dicuci alat dan dibungkus dengan kertas perkamen minimal 2 lapis
- Disterilisasi dengan autoklaf pada suhu 121°C selama 15 menit

Hasil
b. Pembuatan Injeksi Vitamin C

Alat & bahan

- Disiapkan alat dan bahan


- Disterilkan semua alat
- Dilakukan proses pembuatan di LAF
- Ditimbang vitamin C sebanyak 1,1 gram ; natrium bikarbonat
0,1559 gram ; Na-EDTA 0,00561 gram ; natrium metabisulfit 0,13
gram; dan benzalkonium klorid 0,0561 gram
- Dicampurkan Na-EDTA dengan natrium metabisulfit
- Dimasukkan asam askorbat ke dalam beaker glass
- Dilarutkan dalam 1,15 mL aqua pro injection
- Ditambahkan natrium hidroksida dan natrium bikarbonat sedikit
demi sedikit
- Dilakukan pengecekan pH hingga sesuai dengan pH target
- Ditambahkan dengan benzalkonium klorid yang telah ditimbang
- Ditambahkan dengan aqua pro inject ad 2,4 mL
- Disaring dengan membrane filter 0,22 µm
- Diisikan ke dalam ampul sebanyak 2,15 ml menggunakan spuit.
- Dipasang penutup ampul
- Dilakukan evaluasi sediaan ampul vitamin C

Hasil
c. Pembuatan Media
Bahan
- Ditimbang medium sebanyak 1,4875 gram
- Dilarutk an medium dengan 50 mL aquadest
- Diambil sebanyak 10 mL lalu dimasukkan kedalam tabung reaksi
- Ditutup wadah medium dengan kapas berbalut kasa kemudian aluminium
foil
- Disterilisasi dalam autoklaf pada 121°C selama 15 menit

Hasil

d. Cara Pengujian

Injeksi
- Diambil 1 mL sediaan (sesuai denga nisi wadah menurut aturan FI)
- Diinkubasi pada suh 30-35°C dan dilakukan pengamatan terhadap media
Hasil
BAB IV
HASIL FORMULASI

4.1 Skema Alur Pikir

Zat aktif sebagai Vitamin C


suplemen dan antioksidan

Penambahan Natrium metabisulfite sebagai antiokidan dan Na-EDTA


Memiliki sifat yang sebagai chelating agent
mudah teroksidasi

Injeksi Memiliki sifat yang


Penambahan Natrium hidroksida dan Natrium bikarbonat sebagai
Injeksi
tidak stabil pengatur kestabilan Vitamin C

Digunakan pelarut Aqua Pro Inejct untuk melarutkan zat aktif dan
Kelarutan larut
dalam air bahan lainnya.

4.2 Tabel Komponen Penyusun Formula


No Bahan Fungsi Referensi Kadar Referensi
1 Asam askorbat Bahan aktif 100 100 Fornas hal. 6
mg/mL mg/mL
2 Natrium Pengatur pH 0,05% 0,05% (HOPE), 648
hidroksida
3. Natrium Pengatur pH 1,39% 1,39% (HOPE, 630)
bikarbonat
4. Na-EDTA Chelating 0,005- 0,1% (HOPE, 243)
agent 0,1%
5. Natrium Antioksidan 0,01-1% 1% (HOPE, 654)
metabisulfit
7. Aqua pro inject Pelarut dan - ad 2 mL -
pembawa

4.3 Pemilihan Bahan Komponen Penyusun


No Bahan Fungsi Alasan
1. Vitamin C pada tubuh manusia juga
berfungsi sebagai sintesis kolagen,
sintesis karnitin, noradrenalin,
Asam askorbat Adsorben serotonin, adsorbsi dan metabolisme
besi,absorbsi kalsium, mencegah
infeksi serta mencegah kanker dan
penyakit jantung (Dani, 2009).
2. Untuk menstabilkan pH karena
bersifat basa dan merupakan alkali
natrium yang paling lemah, karena
Natrium
Pengatur pH vitamin C tidak stabil dalam bentuk
hidroksida
larutan. Selain itu dapat larut
sempurna dalam air, non higroskopik,
dan harganya
murah (Siregar dan Wikarsa, 2010)
3. Untuk menstabilkan pH karena
bersifat basa dan merupakan alkali
natrium yang paling lemah, karena
Natrium
Pengatur pH vitamin C tidak stabil dalam bentuk
bikarbonat
larutan. Selain itu dapat larut
sempurna dalam air, non higroskopik,
dan harganya
murah (Siregar dan Wikarsa, 2010)
4. Untuk membentuk chelat dengan ion
logam yang dilepaskan dari
Chelatin
Na-EDTA permukaan gelas, sehingga dapat
g agent
memperlambat reaksi oksidasi vitamin
C dalam
sediaan larutan
5. Na metabisulfit bekerja sebagai
antioksidan yang bekerja
memperlambat terjadinya reaksi
oksidasi vitamin C dalam sediaan
Natrium
Antioksidan injeksi. zat ini biasanya digunakan
metabisulfit
dalam sediaan oral, parenteral, dan
topikal. khususnya terhadap
pembuatan larutan asam dan basa
(Wade et al., 1994).
7. Karena bahan-bahan yang digunakan
Pelarut dan dapat larut dalam air sehingga
Aqua pro inject
Pembawa digunakan untuk melarutkan zat aktif
dan zat-zat tambahan.

4.4 Formula Lengkap


No Bahan Fungsi Kadar Terpilih
1. Asam askorbat Bahan aktif 100 mg/mL
2. Natrium hidroksida Pengatur pH 0,05%
3. Natrium bikarbonat Pengatur pH 1,39%
4. Na-EDTA Chelating agent 0,1%
5. Natrium metabisulfit Antioksidan 1%
7. Aqua pro inject Pelarut dan pembawa ad 2 mL
BAB V
PEMBAHASAN

Praktikum mengenai “Uji Sterilitas Sediaan Steril Injeksi Vitamin C”


dilaksanakan pada hari Senin, 12 Oktober 2020 pada pukul 12.20-15.4 secara
virtual melalui media Zoom. Uji sterilitas merupakan suatu cara pengujian untuk
mengetahui suatu sediaan atau bahan farmasi atau alat-alat kesehatan yang
dipersyaratkan harus dalam keadaan steril. Dengan demikian sediaan dan
peralatan tersebut harus bebas dari mikroorganisme. Jadi, hanya dikenal sediaan
dan peralatan tersebut steril atau tidak steril, tidak ada istilah hampir atau setengah
steril (Radji,2010).

Uji sterilitas dilakukan terhadap produk dan bahan yang sebelumnya


telah mengalami proses pensterilan yang telah diberlakukan. Hasilnya
membuktikan bahwa prosedur sterilisasi dapat diulang secara efektif. Tetapi
umumnya disetujui bahw kontrol yang dilaksanakan selama proses validasi
memberikan jaminan lebih efektifnya proses sterilisasi. Uji ini dilakukan terhadap
sampel yang dipilih untuk mewakili keseluruhan lot bahan tersebut. Sampel bisa
diambil dari kemasan atau wadah akhir suatu produk, atau sebagai bagian dari
tangku bulk cairan atau dari bahan bulk lainnya (Lachman dkk., 2008).
Menurut Farmakope edisi IV (1995), uji sterilitas digunakan untuk
menetapkan apakah suatu bahan/sediaan farmasi yang diharuskan steril memenuhi
syarat sesuai dengan uji sterilitas seperti yang tertera pada masing-masing
monografi, dimana untuk penggunaannya sesuai dengan prosedur pengujian
sterilitas sebagai bagian dari pengawasan mutu pabrik, seperti yang tertera dalam
sterilisasi dan jaminan sterilitas bahan. Uji sterilitas ini dapat dilakukan pada
sediaan obat seperti obat tetes mata, injeksi, infus maupun pada alat kesehatan
seperti kasa steril, jarum suntik, benang bedah, dan lain-lain.
Salah satu tujuan uji sterilisasi pembuatan sediaan steril adalah untuk
meminimalkan ketidakpercayaan terhadap pengujian produk akhir. Tiga prinsip
yang terlibat dalam proses uji sterilisasi sediaan steril diantaranya adalah
(Zinda,2008) :
1) Untuk membuat sterilitas kedalam sediaan
2) Untuk menunjukkan tingkat kemungkinan maksimum yang pasti
dimana proses dan metode sterilisasi memiliki sterilisasi yang
terpercaya terhadap semua unit dari batch sediaan.
3) Untuk memberikan jaminan yang lebih luas dan mendukung hasil dari
uji sterilitas sediaan akhir.

Tujuan dari praktikum ini diantaranya untuk mengetahui sterilitas injeksi


vitamin C dan menginterpretasikan hasil uji sterilitas sediaan steril yang dikaji
berdasarkan persyaratan FI dan CPOB. Sediaan steril yang diujikan adalah
sediaan injeksi Vitamin C yang telah dibuat pada praktikum sebelumnya. Uji
sterilitas yang dilakukan menggunakan media tioglikolat cair. Media berfungsi
untuk menumbuhkan mikroba, isolasi, memperbanyak jumlah, menguji sifat-sifat
fisiologi dan perhitungan jumlah mikroba, dimana dalam proses pembuatannya
harus disterilisasi dan menerapkan metode aseptis untuk menghindari kontaminasi
pada media (Depkes RI, 1995). Selain itu, juga dibuat kontrol yang dignakan
sebagai perbandingan terhadap sediaan yang terjamin steril dan media yang
digunakan, serta digunakan untuk mengetahui apakah kontaminasi berasal dari
proses pengerjaan atau berasal dari media yang digunakan.
Uji sterilisasi menurut Farmakope Indonesia Edisi IV dapat dilakukan
dengan dua prosedur pengujian yang terdiri dari metode inokulasi langsung ke
dalam media uji dan metode teknik filtrasi membran. Prosedur berikut dapat
digunakan untuk menetapkan apakah bahan farmakope yang harus steril
memenuhi syarat berkenaan dengan uji sterilitas seperti yang tertera pada masing-
masing monografi (untuk penggunaan prosedur uji sterilisasi sebagai bagian dari
pengawasan mutu di pabrik, seperti yang tertera pada Sterilisasi dan Jaminan
Sterilitas Bahan (Depkes RI,1995).
Prinsip dari metode inokulasi didasarkan pada mencampurkan sampel
serta media secara langsung guna melihat ada atau tidaknya mikroorganisme yang
ditandai dengan kelarutan dalam media. Cara kerja dari metode inokulasi
langsung berupa sampel (sediaan obat atau alat kesehatan) diinokulasikan ke
media pengujian secara langsung. Prosedur yang kedua yakni dapat dilakukan
dengan menggunakan filtrasi membran. Teknik ini digunakan apabila bahan yang
diuji
tidak bisa diuji menggunakan inokulasi langsung. Metode pengujian ini
menggunakan penyaring yange memilki ukuran tertentu (<0,45 µm ). Prinsip dari
metode ini adalah menyaring sampel uji berbentuk cairan yang larut dalam
pembawa air menggunakan membran khusus. bakteri. Kemudian, diinokulasikan
membran ke media pengujian secara keseluruhan (Depkes RI, 1995).
Media yang digunakan untuk uji sterilitas yakni media tioglikolat. Media
tioglikolat memenuhi syarat media uji dimana mampu menunjukkan pertumbuhan
yang nyata dalam semua wadah media yang diinokulasi dalam kurun waktu 7
hari. Media ini juga memiliki spektrum yang luas, karena mampu menumbuhkan
bakteri anaerob dan aerob, jadi bisa melihat lebih dari satu jenis bakteri (Lukas,
2011).
Komponen penyusun media tiglikolat diantaranya sebagai berikut (Depkes
RI, 1995):
L-Sistin P 0,5 g
NNatrium klorida P 2,5 g
DDekstrosa monohidrat / anhidrat P 5,5 g / 5,0 g
AAgar 0,75 g
YYeast extract (larut dalam air) 5,0 g
PPancreatic digest of casein 15,0 g
NNatrium tioglikolat P atau 0,5 g
AAsam tioglikolat P 0,3 ml

LLarutan natrium resazurin P 1,0 ml


(1 dalam 1000) dibuat segar

AAir Murni 1000 ml


ppH setelah sterilisasi 7,1±0,2

Sterilisasi Alat
Langkah pertama yang dilakukan yaitu menyiapkan alat dan bahan yang
akan digunakan untuk uji sterilitas. Alat dan bahan yang akan digunakan
disterilisasi terlebih dahulu untuk mencegah kontaminasi mikroorganisme. Alat
dan bahan yang akan disterilisasi dibungkus terlebih dahulu menggunakan kertas
perkamen. Pemilihan kertas perkamen didasarkan untuk mengurangi resiko robek
pada saat proses sterilisasi berlangsung. Selanjutnya, dimasukkan dan ditata rapi
di dalam autoklaf.
Prinsip kerja autoklaf yaitu dengan menggunakan uap air panas bertekanan
untuk membunuh dan menghilangkan kotoran dan mikroba yang terdapat pada
alat atau bahan yang akan digunakan dalam praktikum atau percobaan
(Andriani,2016). Langkah pertama yang dilakukan dalam sterilisasi basah adalah
dimasukkan alat yang telah dibungkus kertas secara rapi ke dalam autoklaf.
Selanjutnya ditutup rapat autoklaf dan mulai dipanaskan proses ini kurang lebih
berjalan selama 11 menit. Selanjutnya dikeluarkan udara di autoklaf. Menurut
Tim Sandle (2013) saat mengoperasikan autoklaf, sangat penting untuk
memastikan udara yang terperangkap dibuang sebelum dimulainya sterilisasi
siklus. Udara dapat bertindak sebagai insulator dan mencegah panas mencapai
populasi mikroba.
Selanjutnya ditunggu hingga autoklaf mencapai suhu 121oC kurang lebih
selama 15 menit. Setelah suhu mencapai 121oC dihitung waktu kesetimbangan
dan mulia dilakukan proses sterilisasi selama 15 menit. Setelah proses sterilisasi
maka dilanjutkan dengan diturunkan suhu autoklaf kemudian autoklaf dapat
dibuka.Setelah proses sterilisasi 15 menit tidak boleh langsung membuka autoklaf
sebelum menurunkan suhunya karena perbedaan tekanan antara suhu didalam
autoklaf dan udara dapat membuat alat retak (pecah).Setelah itu alat dikeluarkan
dari autoklaf dan disimpan diruang steril.
Proses sterilisasi basah menggunakan basah menggunkan autoklaf telah
diaur suhu dan tekanannya. Tekanan pada autoklaf diatur sebesar 15-17,5 Psi dan
suhunya 121oC. Hal ini mengacu pada penelitian yang telah dilakukan
bahwasanya pada suhu 121oC akan dihasilkan uap air sebanyak 865 mL dalam
waktu 15 menit. Prinsip autoklaf didasarkan pada prinsip dari tekanan, yaitu
ketika tekanan gas dinaikkan maka temperaturnya akan meningkat. Ketika uap
mencapai suhu 121oC
- 148oC tekanan pada chamber berada pada 15 Psi. Umumnya uap pada autoklaf
akan mengalami siklus gravity-displacement, dimana udara akan keluar dari
chamber akibat adanya perpindahan gravitasi (Nikhilesh,2013).
Sterilisasi panas lembab sangat efektif meskipun pada suhu yang tidak
begitu tinggi, karena uap air berkondensasi pada bahan yang disterilkan,
dilepaskan panas sebanyak 636 kalori per gram uap air pada suhu 121oC. Panas ini
mendenaturasikan
atau mengkoagulkasikan protein pada organisme hidup, kemudian mematiannya
(Cahyani, 2009). Kelebihan dari sterilisasi jenis ini yaitu tidak beracun, murah,
cepat membunuk mikroba serta spora serta efisien dalam waktu pemanasan (Tim
Sandle,2013).

Pembuatan Media
Selanjutnya, dilanjutkan dengan proses membuat media. Tahap-tahap
pembuatan media Thioglikolat Cair adalah dicampurkan dan panaskan seluruh
bahan media thioglikolat cair hingga larut, kemudian atur pH larutan dengan
Natrium hidroksida 1 N hingga setelah sterilisasi 7,1±0,2. Jika diperlukan
penyaringan, maka saring selagi panas menggunakan kertas saring. Selanjutnya,
tempatkan media dalam tabung yang sesuai dan mampu memberikan
perbandingan permukaan dengan kedalaman media sedemikian rupa, sehingga
tidak lebih dari setengah bagian atas media yang mengalami perubahan warna
sebagai indikasi masuknya oksigen pada akhir masa inkubasi. Langkah yang
dilakukan dalam pembuatan media yaitu ditimbang media tioglikolat sebanyak 1,5
gram, kemudian dilarutkan dengan 50 mL aquadest. Jumlah media tioglikolat
yang digunakan ini mengacu pada literatur dari Abdassah dkk (2015). Dalam
literatur tersebut media tioglikolat yang digunakan sebanyak 29,8 gram dalam 1 L
aqudest, sehingga jika dalam praktikum ini menggunakan 50 mL aquadest maka
media tioglikolat yang digunakan yaitu sebanyak 1,49 gram. Selanjutnya media
diambil sebanyak 10mL dan dimasukkan dalam tabung reaksi. Dilanjutkan dengan
sterilisasi dalam autoklaf. Apabila lebih dari sepertiga bagian atas menjadi warna
merah muda, maka media dapat diperbaiki satu kali dengan pemanasan diatas
penangas air atau dalam uap yang mengalir bebas hingga warna merah muda
hilang. Gunakan media thioglikolat cair untuk inkubasi dalam kondisi aerob (30° -
35°C) (Depkes RI, 1995).

Uji Sterilitas
Langkah yang dilakukan uji uji sterilitas yaitu membuat terlebih dahulu
sampel untuk control negative (blanko) dan juga media uji. Sampel ini harus
dilakukan dengan aseptis untuk menghindari adanya kontaminasi. Langkah-
langkah yang dilakukan dalam pengujian sterilitas sediaan injeksi vitamin C yaitu
diambil 1 mL sediaan. Menurut FI V (2014) jika isi per wadah yang akan diuji
berisi 1 - 40 mL maka jumlah minimum yang digunakan untuk pengujian adalah
setengah isi tiap wadah, tetapi tidak kurang dari 1 mL. Dari penjelasan tersebut
maka pada praktikum ini digunakan 1 mL sediaan untuk pengujiaannya
dikarenakan sediaan injeksi vitamin C yang dibuat dalam 1 ampul berisi 2 mL.
Setelah itu sampel sediaan sebanyak 1 mL yang telah diambil dimasukkan ke
dalam tabung reaksi yang berisi media tioglikolat yang telah dibuat tadi dan telah
steril. Selanjutnya diinkubasi pada suhu 30 – 35 ℃. Inkubasi dilakukan pada suhu
30 – 35 ℃, dikarenakan media yang digunakan untuk pengujian adalah tioglikolat
sehingga digunakan suhu tersebut. Hal ini sesuai dengan FI V (2014), dimana
media tioglikolat diinkubasi pada suhu 30 – 35 ℃. Kemudian dilakukan
pengamatan terhadap media yang telah diikubasi tadi.

Hasil Praktikum
Hasil Praktikum Batch 1 = 10 Vial
HariKe Kontrol Negatif Sampel 1 Sampel 2 Sampel 3
(Media)
1 - - - -
2 - - - -
3 - - - -
4 - + - -
5 - ++ - -
6 - ++ + -
7 - +++ ++ +

Hasil Praktikum Batch 2 = 10 Vial


HariKe Kontrol Negatif Sampel 1 Sampel 2 Sampel 3
(Media)
1 - - - -
2 - - - -
3 - - - -
4 + + - -
5 + ++ - -
6 ++ ++ + -
7 +++ +++ ++ +

Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik Departemen Kesehatan


Republik Indonesia telah mengeluarkan Pedoman Pencampuran Obat Suntik1 dan
Pedoman Dasar Dispensing Sediaan Steril2 pada tahun 2009. Pedoman tersebut
memuat berbagai aspek yang harus diperhatikan dalam peracikan sedian steril, di
antaranya sumber daya manusia, fasilitas peracikan, teknik peracikan,
kompatibilitas, dan stabilitas sediaan racikan steril. Oleh karena itu perlu
dilakukannya uji sterilitas pada sediaan injeksi vitamin C (Dina, 2018).
Pada uji sterilitas batch 1 diambil 3 sampel uji dari 10 vial injeksi yang telah
dibuat untuk dilakukan analisa uji sterilitas. Menurut Farmakope Edisi VI tujuan
dilakukannya uji sterilitas yaitu menetapkan apakah sediaan yang harus steril
memenuhi syarat berkenaan dengan uji sterilitas seperti tertera pada masing-
masing monografi. Prinsip dari uji sterilitas yaitu menguji sterilitas suatu bahan
dengan melihat ada tidaknya pertumbuhan mikroba pada inkubasi bahan uji
menggunakan cara inokulasi langsung atau filtrasi dalam medium Tioglikonat
cairdan Soybean Casein Digest. Prosedur uji dapat menggunakan teknik inokulasi
langsung ke dalam media pada 30-35o C selama tidak kurang dari 7 hari.
Pada pengujian tahap pertama memperoleh hasil yaitu sampel 1 pada hari ke
1,2,dan 3 belum ditemukan tanda kekeruhan dengan sampel yang menunjukkan
tanda negatif, namun pada hari ke 4 mulai terjadi kekeruhan ditandakan dengan
tanda positif dilanjutkan dengan hari ke 5,6, dan 7 dimana tingkat kekeruhan pada
sampel cukup tinggi dengan positif dua dan tiga, selanjutnya pada sampel 2 pada
hari ke 1-5 belum muncul tanda kekeruhan dengan sampel menunjukkan tanda
negatif, lalu pada hari ke 6 mulai muncul kekeruhan dengan tanda positif dan
terakhir pada hari ke 7 dengan positif dua, lalu untuk sampel 3 diketahui pada hari
pertama hingga ke 6 tidak menunjukkan tanda kontaminasi dengan hasil negatif
namun pada hari ke 7 ditemukan tanda positif kemungkinan terjadi kontaminasi.
Pada kontrol negatif menunjukkan tanda negatif yang berarti bahwa tidak adanya
kontaminasi dalam pembuatan atau penuangan media. Oleh karena itu, tidak perlu
dilakukan kembali uji strilitas pada ampul vitamin C batch 1. Sediaan steril yang
terkontaminasi dapat menyebabkan angka kejadian kesalahan terapi pada sediaan
injeksi cukup tinggi, terutama untuk sedian steril yang membutuhkan persiapan
khusus sebelum digunakan seperti rekonstitusi atau pengenceran (Dina, 2018).
Pada Batch tahap pertama telah memenuhi syarat uji pada interval waktu
tertentu dan pada akhir periode inkubasi. Menurut farmakope IV (1995) jika tidak
terdapat pertumbuhan mikroba pada kontrol negatif maka pengujian dinyatakan
valid maka tidak perlu dilakukan pengulangan.
Pada tahap kedua volume minimum tiap spesimen yang diuji dan media dan
periode inkubasi sama seperti yang tertera pada Tahap pertama. Jika tidak
ditemukan pertumbuhan mikroba, bahan yang diuji memenuhi syarat. Jika
ditemukan pertumbuhan, hasil yang diperoleh membuktikan bahwa bahan uji
tidak memenuhi syarat. Jika dapat dibuktikan bahwa uji pada Tahap kedua tidak
berhasil karena kesalahan atau teknik aseptik tidak memadai, maka Tahap kedua
dapat diulang.
Pada pengujian tahap kedua didapatkan hasil yang sama pada tahap pertama
yaitu sampel 1 hari ke 1,2,dan 3 belum ditemukan tanda kekeruhan dengan sampel
menunjukkan tanda negatif, namun pada hari ke 4 mulai terjadi kekeruhan
ditandakan dengan tanda positif dilanjutkan dengan hari ke 5,6, dan 7 dimana
tingkat kekeruhan pada sampel cukup tinggi dengan positif 3, selanjutnya pada
sampel 2 pada hari ke 1-5 belum muncul tanda kekeruhan dengan sampel
menunjukkan tanda negatif, lalu pada hai ke 6 mulai muncul kekeruhan dengan
tanda positif dan terakhir pada hari ke 7 dengan positif dua, lalu untuk sampel 3
diketahui pada hari pertama hingga ke 6 tidak menunjukkan tanda kontaminasi
dengan hasil negatif namun pada hari ke 7 ditemukan tanda positif kemungkinan
terjadi kontaminasi. Positifnya control negative menunjukkan bahwa adanya
kontaminasi dalam pembuatan atau penuangan media. Oleh karena itu, perlu
dilakukan kembali uji strilitas pada ampul vitamin C batch 2. Menurut Farmakope
Indonesia IV 1995 jika terdapat pertumbuhan mikroba pada kontrol negatif maka
pengujian dinyatakan tidak valid maka perlu dilakukan pengulangan dengan
jumlah yang sama sesuai dengan uji sebelumya. jika pertumbuhan mikroba
ditemukan pada
pengujian ulang, maka produk tersebut tidak memenuhi syarat uji sterilitas,
namun dalam praktikum ini tidak dilakukan kembali pengujian ulang sehingga
hasil yang didapatkan menunjukkan sediaan steril injeksi vitamin C dinyatakan
tidak valid.
Media thiolglycollate dikatakan terdapat pertumbuhan bakteri jika terdapat
kekeruhan dalam media tersebut. Karakteristik kekeruhan yang muncul dapat
mengidentifikasi jenis bakteri apa yang tumbuh. Jika kekeruhan menyebar merata
dalam media (A), maka bakteri yang tumbuh adalah bakteri gram negatif jenis
anaerob facultative bacilli (yaitu, yang dapat tumbuh dengan atau tanpa adanya
O2). Jika terdapat “puffball” atau koloni berbentuk bola (B) maka bakteri yang
tumbuh adalah jenis bakteri gram postif jenis kokus. Jika kekeruhan berada di
bagian atas atau lebih pekat pada bagian atas (C), maka bakteri yang tumbuh
adalah bakteri aerob (membutuhkan oksigen). Dan jika bakteri tumbuh di bagian
bawah media (D), maka bakteri tersebut termasuk bakteri anaerob (tidak dapat
tumbuh jika ada oksigen) (Tille dan Forbes, 2014).
Berdasarkan PPOP CPOB (2013), dalam uji sterilitas tidak hanya digunakan
kontrol negatif melainkan juga menggunakan kontrol positif. Selain itu juga
diperlukan validitas dari metode yang dilakukan. Metode dikatakan valid apabila
ketika suatu media diinokulasikan bakteri, akan menghasilkan larutan keruh dalam
48 jam. Dan jenis bakteri yang diinokulasikan harus sama dengan bakteri yang
berada dalam media yang telah diinkubasi selama 48 jam tersebut. Prosedur
sterilisasi merupakan tahap penting dalam mencapai produk steril, namun semua
prosedur dan kondisi-kondisi lain yang dibutuhkan untuk pembuatan produk
tersebut harus dirancang untuk membantu tahap ini. Pembersihan ruangan yang
baik, lingkungan yang terkontrol dengan efektif,suatu muatan dari produk yang
dapat dikontrol dan diidentifikasi, prosesproduksi yang direncanakan dan
dikontrol dengan baik, serta personelberdedikasi tinggi untuk produksi dan
pengujian sangat penting untuk produksi suatu produk steril. Jaminan sterilitas
sediaan juga harus diperkuatdengan adanya uji-uji sterilitas sediaan meliputi uji
endotoksin maupun ujibiakan mikroba pada media tertentu (Lukas, 2006).
BAB VI
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulan bahwa:
a. Mahasiswa telah dapat mempelajari cara uji sterilitas pada sediaan steril
injeksi vitamin C dilakukan menggunakan pengujian inokulasi langsung pada
media dnegan menggunakan media tioglikoat cair pada bakteri aerob dan
anaerob.
b. Mahasiswa telahdapat melakukan interpretasi hasil uji sterilitas sediaan steril
yang dikaji berdasarkan persyaratan FI dan CPOB. Hasil pengujian
didapatkan dari perlakuan dua kali pada batch pertama dan batch kedua
dengan tiga buah sampel. Hasil pada batch pertama sampel 1,2,3 mengalami
kontaminasi lalu pada batch kedua sampel 1,2,3 juga mengalami kontaminasi
dengan kontrol negatif terkontaminasi sehingga hasil dinyatakan tidak valid
dan perlu dilakukan pengujian ulang dengan jumlah yang sesuai dnegan
pengujian sebelumnya.
DAFTAR PUSTAKA

Abdassah, M., dkk. 2015. Formulasi dan Uji Stabilitas Tetes Mata Sulfasetamida.
IJPST 2 (1).

Andriani,Ririn.2016.Pengenalan Alat-Alat Laboratorium Mikrobiologi Untuk


Mengatasi Keselamatan Kerja dan Keberhasilan Praktikum. Jurnal
Mikrobiologi Vol.1 No.1
Ansel, C Howard. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Jakarta: UI-Press
Badan POM. 2012. Pedoman Cara Pembuatan Obat Yang Baik. Jakarta: Badan Pengawas
Obat dan Makanan RI. Badan Pengawas Obat dan Makanan
Badan POM. 2013. POPP Cara Pembuatan Obat yang Baik. Jakarta : BPOM.
Buchanan & Philip J. Schneider, 2009. Peracikan Sediaan Steril. Edisi 2, Jakarta:
EGC.
Dani, I. 2009. Alat otomatisasi pemgukur kadar vitamin C dengan metode titrasi
asam basa. Jurnal neutrino.Vol.1 No.2
Davies MB, Austin J, Partridge DA,1991. Vitamin C: Its Chemistry
and Biochemistry. The Royal Society of Chemistry, Cambridge
Depkes RI. 1995. Farmakope Indonesia Edisi IV. Jakarta: Depkes RI.
Dewantari, Deti., dkk. 2020. Strategi Peningkatan Objektivitas hasil Uji Inspeksi
Visual Sediaan Injeksi:Review. Majalah Farmasetika. Volume 5. No 2
Gunawan, S.G., 2008, Farmakologi dan Terapi ed 5, Jakarta: Balai Penerbit. FKUI.
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2014, Farmakope Indonesia edisi V.
Kementrian Kesehatan RI
Lachman, dkk. 2008. Teori dan Praktik Farmasi Indutsri Edisi Ketiga. Jakarta : UI
Press
Lachman, H.A., Leon, I., 1994. Pharmaceutical Dosage Form. 2nd Edition. New
York: Marcel Dekker, INC.
Lachman,L., Herbert A.L., and Joseph L.K. 1994. Teori dan Praktek Farmasi
Industri Ed. 3. Jakarta : UI Press.
Lay, B.W. dan Hartowo.1992. Mikrobiologi Cetakan Pertama. Jakarta: Rajawali
Pers.
Lukas Stefanus. 2006. Formulasi Steril, Yogyakarta: Penerbit Andi Yogyakarta.
Lukas, S.,.2011.Formulasi Steril. Yogyakarta : Penerbit Andi
Lukas, Stefanus. 2006. Formulasi Steril. Yogyakarta : Rajawali Press.
Nikhilesh, B et al. 2013. A Review : Steam Sterilization A Method of Sterilization.
Journal of Biological and Scientifix Opinions. Vol 1 (2)
Potter, P & Perry, A. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan : Konsep,. Proses
dan Praktik. Edisi 4. Jakarata : EGC.
Pratiwi. 2008. Mikrobiologi Farmasi. Jakarta: Erlangga.
Priyambodo, B., (2007). Manajemen Farmasi Industri. Yogyakarta: Global Pustaka.
Utama.
Putri, D., dan Yuliani, Sri. 2018. Evaluasi Peracikan Injeksi Setriakson di Salah
Satu Rumah Sakit Swasta di Semarang. Jurnal Farmasi Klinik Indonesia.
Vol 7. No. 3.
Radji, Maksum. 2010. Buku Ajar Mikrobiologi Panduan Mahasiswa Farmasi dan
Kedokteran. Jakarta: EGC.
Remington, J. P. 2005. Remington’s Pharmaceutical The Science and Practice in
Pharmacy 21st Edition. Pennsylvania : Lippincott Williams & Wilkins.
Siregar, C.J dan S. Wikarsa. 2010. Teknologi Farmasi Tablet Dasar-dasar Praktis.
Jakarta : EGC
Stefanus. 2006. Formulasi Steril. Penerbit Andi. Yogyakarta.
Sumarsih, Sri. 2003. Mikrobiologi Dasar. Yogyakarta: Jurusan Ilmu Tanah UPN
Sumijatun. 2010. Konsep dasar menuju keperawatan profesional. Jakarta: TIM.
Suriawiria U. 2005. Mikrobiologi Dasar. Jakarta: Papas Sinar Sinanti.
Tille, P.M., dan Forbes, B.A. 2014. Bailey & Scott’s Diagnostic Microbiology. St.
Louis, Missouri : Elsevier.
Tim Sandle. 2013. Sterility,Sterilisation and Sterility Assurance
For Pharmaceuticals.USA : Published by Woodhead Publishing
Limited
Wade, A and Weller, P.J. 1994.Handbook of Pharmaceutical Excipients 2nd
Edition. London : The Pharmaceutical Press.

Zinda, R. 2008. Validasi Sediaan Steril : Dasar-dasar. Jakarta : Cahaya Ilmu

Anda mungkin juga menyukai