Anda di halaman 1dari 27

LAPORAN PRAKTIKUM

ILMU FARMASI DAN RESEPTIR VETERINER


“APLIKASI PEMBERIAN OBAT PADA HEWAN”

NAMA : Dewi Lestari


NIM : 195130101111039
KELAS : 2019C
KELOMPOK : C2
ASISTEN : Ilhami Maulia Fatra

LABORATORIUM FARMAKOLOGI VETERINER


FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2022
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Secara farmakologi, obat merupakan ilmu yang mempelajarai pengetahuan
obat dengan sepenuh aspeknya yang bersifat fisika, kimia, kegiatan fisiologi,
resorpsi dan nasibnya dalam organisme hidup. Secara toksikologi, obat
mempelajari tentang pengetahuan efek racun dari obat tersebut terhadap tubuh
dan karena efek terapeutis obat yang berhubungna dengan efek toksiknya. Obat
yang digunakan untuk terapi dibagi menjadi 4 golongan yaitu obat
farmakodinamis (memperlambat/mempercepat proses fisiologis), obat
kemoterapeutis (membunuh parasite dan kuman didalam tubuh), obat
tradisional (bahan atau ramuan bahan dari tumbuhan, hewan, mineral yang
secara turun-temurun digunakan untuk pengobatan), dan obat diagnostis (untuk
membantu melakukan diagnosis atau pengenalan penyakit). Obat merupakan
suatu zat yang dapat mempengaruhi proses hidup dan dapat digunakan untuk
mencegah, mengobati, mendiagnosis penyakit atau dapat menimbulkan kondisi
tertentu. Obat dapat digunakan untuk mengobati penyakit, memodifikasi proses
kimia didalam tubuh dan juga untuk mengurangi gejala (Prabowo, 2021).
Sediaan obat ada berbagai macam diantaranya yaitu sediaan obat cair,
sediaan tablet dan kapsul, sediaan obat vagina dan ovula, sediaan aerosol atau
spray. Berbagai jenis sediaan obat dipilih karena sesuai dengan alasan tertentu
seperti contohnya berhubungan dengan pengukuran dosis yang tepat.
Penyimpanan obat juga harus diperhatikan untuk menghindari terjadinya
degradasi oleh oksigen atau kelembaban udara (Prabowo, 2021).
Pemberian obat pada hewan dapat disesuaikan dengan kebutuhan dan tujuan
pemberian obat. Administrasi obat dapat menentukan kecepatan dan
kelengkapan resorpsi dari obat tersebut. Dalam pemberiannya harus
diperhatikan efek yang diinginkan seperti untuk efek sistemis dapat diberikan
melalui seluruh bagian tubuh dan efek local dapat diberikan pada area tertentu
yang mengalami sakit atau membutuhkan obat. Untuk menghasilkan efek
sistemis, obat dapat diberikan secara per oral, sublingual, injeksi, implantasi
subkutan, dan per rektal. Sedangkan untuk menghasilkan efek local maka obat
dapat diberikan melalui intranasal, intraokuler, intraaurikuler, dan inhalasi
(Tjay dan Kirana, 2015).

1.2 Tujuan
1.2.1 Mengetahui macam-macam rute administrasi obat pada hewan
1.2.2 Mengetahui lokasi administrasi obat pada reptile, kucing, mencit, sapid an
burung
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Peroral
Merupakan proses pemberian obat melalui mulut dan merupakan cara yang
paling lazim digunakan karena praktis, mudah dan aman. Keuntungan dari
aplikasi obat melalui peroral adalah dapat mencapai efek local di usus seperti
contohnya obat cacing untuk mensterilkan lambung hingga usus pada infeksi
atau sebelum pembedahan. Kekurangan dari pemberian obat secara peroral
diantaranya adalah resorpsi obat tidak teratur dan tidak lengkap meskipun
formulasinya sudah optimal. Selain itu, dalam di tubuh setelah proses resorpsi
perlu melalui hati yang dapat terjadi inaktivasi sebelum diedarkan ke lokasi
sakit (Tjay dan Kirana, 2015).

2.2 Subkutan
Aplikasi obat melalui subkutan dilakukan dengan cara injeksi yang biasanya
memiliki efek lebih cepat, kuat dan lengkap. Obat-obatan yang diinjeksi tidak
dapat diserap oleh usus. Injeksi subkutan dilakukan di bawah kulit untuk obat
yang tidak dapat merangsang dan melarut baik dalam air atau minyak. Efeknya
tidak terlalu cepat dibandingkan dengan IM atau IV. Keuntungan dari
administrasi obat melalui subkutan adalah mudah dilakukan sendiri misalnya
suntik insulin pada pasien penderita penyakit gula atau diabetes. Kekurangan
dari injeksi obat melalui subkutan adalah cukup mahal, terdapat rasa nyeri,
bahaya infeksi kuman dan bahaya merusak pembuluh darah atau saraf apabila
tempat suntikan tidak tepat sasaran (Tjay dan Kirana, 2015).

2.3 Intravena
Administrasi obat secara intravena dapat dilakukan secara intravena. Injeksi
intravena dilakukan melalui pembuluh darah vena. Obat yang diinjeksi bukan
obat yang tidak larut dalam air atau dapat menimbulkan endapan dengan protein
atau butiran darah. Keuntungan dari injeksi obat secara intravena adalah efek
yang dihasilkan sangat cepat yaitu sekitar 18 detik dimana dengan waktu satu
peredaran darah obat sudah tersebar ke seluruh jaringan. Kekurangan dari
administrasi obat secara intravena adalah lama kerja obat hanya singkat. Selain
itu injeksi IV memiliki bahaya karena terganggunya zat-zat koloida darah
dengan reaksi yang hebat. Lebih bahaya lagi apabila injeksi dilakukan terlalu
cepat sehingga kadar obat di dalam darah meningkat terlalu pesat (Tjay dan
Kirana, 2015).

2.4 Intramuskular
Administrasi obat secara intramuscular pada umumnya sama yaitu melalui
injeksi yang dilakukan di dalam otot tertebal. Tempat injeksi biasanya
dilakukan pada otot bokong (antara muskulus semimembranosus dan
semitendinosus) yang tidak banyak pembuluh darah dan saraf sehingga akan
lebih aman. Dengan rute ini, obat yang terlarut akan bekerja dalam waktu 10-
30 menit. Untuk memperlambat resorpsi obat yang mana dapat memperpanjang
kerja obat, biasanya digunakan larutan atau suspense dalam minyak seperti
penisilin dan hormone kelamin (Tjay dan Kirana, 2015).

2.5 Transdermal
Administrasi obat secara transdermal dapat dilakukan melalui kulit yang
mana sediaan obat ini sekarang sudah berkembang pesat dalam sediaan gel,
cream, patch atau bentuk lainnya. Sediaan transdermal merupakan sediaan yang
dapat menghantarkan obat masuk ke dalam tubuh melalui kulit untuk
menghasilkan efek sistemik. Penggunaan obat secara transdermal dapat
mencegah terjadinya first pass effect di hati dan mengurangi efek samping obat
daripada sediaan peroral (Suwalie dan Soraya, 2020).

2.6 Perektal
Merupakan proses administrasi obat yang dilakukan melalui rectum (anus)
untuk obat yang dapat merangsang atau yang dapat diuraikan oleh asam
lambung. Sediaan obat ini biasanya dalam bentuk suppositoria atau cairan.
Keuntungan penggunaan obat ini adalah dapat diberikan pada pasien yang
mengalami mual, muntah atau kesulitan menelan obat apabila diberikan secara
peroral. Selain itu administrasi obat melalui perektal dapat digunakan untuk
memberikan efek local yang cepat. Namun, kekurangan dari administrasi obat
secara perektal adalah banyak obat yang tidak diresorpsi secara teratur dan
lengkap sehingga dengan adanya hal ini obat dapat diberikan melebihi dosis
oral. Apabila obat dapat diresorpsi dengan baik maka efek sistemisnya akan
lebih cepat dan lebih kuat daripada pemberian secara peroral. Selain itu,
administrasi obat secara perektal harus diperhatikan dalam pemakaiannya
karena apabila terlalu sering digunakan dapat menimbulkan peradangan (Tjay
dan Kirana, 2015).
BAB III
METODOLOGI
3.1 Alat dan Bahan
Alat: Bahan:
 Sonde  Kucing
 Handuk  Burung dara
 Spuit 1 cc  Tikus
 Spuit 3 cc  Kadal
 Cairan infus
3.2 Langkah Kerja
3.2.1 Peroral

Hewan

Dihandling hewan terlebih dahulu


Digunakan sonde untuk memasukkan obat
Dihadapkan kepala hewna menuju ke atas
Dimasukkan sonde melewati esophagus
Dicek kembali apakah sonde sudah masuk ke dalam esophagus
Dimasukkan obat kedalam esophagus

Hasil

3.2.2 Subkutan

Hewan

Dihandling hewan terlebih dahulu


Dicubit bagian kulit daerah tengkuk atau ketiak dan dipastikan otot
tidak ikut tercubit
Diberi alcohol untuk desinfeksi
Dimasukkan jarum dan pastikan jarum dapat digoyangkan
Diinjeksikan obat

Hasil
3.2.3 Intravena

Hewan

Dihandling hewan terlebih dahulu


Dicari pembuluh darahnya, missal di vena brachialis, vena
coccygea, atau vena chepalica
Dibersihkan area vena menggunakan kapas alcohol
Dimasukkan jarum melewati otot hingga peredaran darah vena
Diinjeksikan obat

Hasil

3.2.4 Intramuskular

Hewan

Dihandling hewan terlebih dahulu


Dicari bagian otot, pada kucing terletak di M. tendinosus dan pada
bururng terletak di M. pectoralis
Diberi kapas alcohol
Diinjeksikan obat dan pastikan tidak sampai ke tulang

Hasil
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Penjelasan Rute Administrasi pada Hewan
4.1.1 Reptile
a. Peroral

Jenis reptile seperti ular dan kadal dapat diberikan obat melalui
mulut dengan bantuan alat berupan otoscope. Namun melalui rute secara
peroral akan sulit dilakukan pada reptile kecil. Selain itu, melalui rute
ini dapat menyebabkan stress pada hewan apalagi hewan tersebut susah
untuk dihandling maupun restrain. Pemberian obat melalui rute peroral
harus memperhatikan gingiva, lidah dan semua gigi yang ada agar tidak
menyebabkan kerusakan atau gangguan pada hewan. Apabila sulit untuk
dilakukan, dapat menggunakan alat bantu berupa tali untuk fiksasi
bagian mulut untuk mengamankan hewan dan juga administrator
(Ballard and Ryan, 2013).
b. Intraosseous

Rute injeksi secara intraosseous (IO) dilakukan di dalam tulang.


Karena hal ini, maka harus dilakukan saat reptil telah melakukan
radiografi untuk memeriksa kepadatan tulang. Jika mereka memiliki
penyakit tulang metabolik, tusukan IO kemungkinan besar akan
mematahkan tulang. Pada kadal, injeksi IO diberikan ke femur
proksimal (dimasukkan antara sendi panggul dan trokanter mayor) atau
femur distal (dimasukkan pada sendi kaku). Tibia proksimal dapat
digunakan pada kadal yang lebih besar. Titik injeksi adalah di puncak
tibialis (Chastain, 2018).
c. Subkutan
Injeksi secara subkutan dapat dilakukan pada area bawah kulit yang
longgar. Pada kadal, penyuntukan dapat dilakukan pada sekitar region
lateral scapula. Kulit sedikit diangkat dan dapat diinjeksi pada ruang
subkutikular (Ballard and Ryan, 2013).
d. Intramuskular
Pada semua hewan, rute administrasi ini dilakukan pada daerah yang
memiliki lapisan otot paling tebal. Pada kadal dengan ukuran besar
dapat diinjeksikan pada muskulus epaxial atau muskulus triceps.
Berbeda dengan kadal berukuran kecil, maka injeksi tidak dapat
dilakukan secara IM karena ukuran muskulus yang masih kecil
dikhawatirkan menembus saraf atau tulang (Ballard and Ryan, 2013).

4.1.2 Kucing
a. Peroral

Administrasi obat secara peroral pada kucing dapat dilakukan


dengan memiringkan kepala menuju ke belakang kemudian dicongkel
rahangnya dan obat (biasanya dalam bentuk kapsul) diletakkan jauh di
belakang pangkal lidah. Hal ini harus dilakukan dengan tepat karena
apabila obat tidak diletakkan pada pangkal lidah maka biasanya kucing
akan mengeluarkan kembali obat tersebut. Sebagai tanda bahwa obat
sudah tertelan adalah ketika kucing mulai menjilat bagian hidungnya.
Selain itu obat juga dapat diberikan melalui spuit apabila sediaannya
dalam bentuk cair. Obat tablet yang kontak terlalu lama dengan
kerongkongan dapat menyebabkan iritasi dan penyempitan lumen
kerongkongan sehingga pemberian obat cair lebih disarankan dengan
melalui bantuan spuit (Bassert et.al, 2018).
b. Intravena

Administrasi obat secara intravena paling sering digunakan untuk


sediaan obat berupa cairan dengan efek yang dihasilkan memiliki onset
kerja cepat. Pada kucing, pemberian obat secara IV dilakukan pada vena
cephalica, vena saphena medial dan vena femoralis. Rute administrasi
ini dapat digunakan pula untuk menyuntikkan infus. Penyerapan obat
dalam tubuh apabila diberikan melalui rute IV akan lebih cepat dan pada
kasus peningkatan kadar darah dapat menjadi penolong pasien (Bassert,
et.al, 2018).
c. Intramuskularis
Administrasi obat secara intramuscular dilakukan melalui muskulus
kucing tepatnya pada bagian muskulus lumbosacral lateral prosessus
spinosus dorsal. Selain itu dapat pula diberikan melalui muskulus
semimembrinosis atau semitendinosus ekstremitas caudal. Pemberian
obat melalui rute ini biasanya hanya dalam jumlah kecil saja.
Penempatan jarum pada muskulus lumbosacral tidak direkomendasikan
pada kucing kecil karena dapat menyebabkan jarum menusuk tulang dan
saraf. Prosedur injeksi secara IM dapat dilakukan dengan langkah
berikut yaitu, otot diisolasi antara jari dan ibu jari, dan jarum ukuran
22G hingga 25G yang dipasang pada spuit ditancapkan di otot. Seperti
suntikan SC, needle hub diperiksa untuk darah sebelum obat diberikan,
untuk memastikan pembuluh darah tidak ditembus secara tidak sengaja.
Jika darah diamati, jarum dilepas dan dimasukkan ke tempat lain.
Setelah penempatan di dalam otot telah diverifikasi, obat disuntikkan
secara perlahan. Situs dipijat selama beberapa detik setelah injeksi untuk
membantu mendistribusikan obat (Bassert, et.al, 2018).
d. Subkutan

Administrasi obat secara subcutan dapat dilakukan melalui bawah


bagian kulit tertebal tepatnya pada daerah tengkuk kucing. Rute ini
paling sering digunakan untuk pemberian vaksin, cairan isotonis dan
beberapa jenis antibiotic pada kucing. Penyerapan dalam tubuh melalui
rute ini relative cepat namun tidak direkomendasikan pada pasien
dehidrasi berat atau sakit kritis. Ketika injeksi SC diberikan, lipatan kulit
ditekuk, dan jarum dimasukkan di dasar dan sejajar dengan long axis.
Jika jarum dimasukkan tegak lurus terhadap long axis, jarum dapat
menembus kedua sisi kulit, dan isi jarum suntik dapat secara tidak
sengaja menempel pada bulu pasien. Plunger jarum suntik ditarik
sedikit, dan needle hub diperiksa untuk darah sebelum injeksi; jika tidak
ada darah yang muncul, suntikkan tanpa ragu, jika darah muncul di hub,
pembuluh darah telah ditembus, dan jarum harus dilepas dan
dimasukkan kembali di lokasi lain. Setelah injeksi, kulit dipijat sebentar
untuk memudahkan distribusi obat. Jika beberapa vaksinasi atau obat-
obatan diberikan, tempat suntikan harus berjarak minimal beberapa
sentimeter (Bassert, et.al, 2018).

4.1.3 Sapi
a. Peroral

Administrasi obat secara peroral dapat juga dilakukan pada sapi


dengan sediaan obat berupa tablet, kapsul, bubuk, pasta atau cairan.
Pemberian obat melalui rute ini dapat dilakukan dengan mencampurkan
obat pada makanan atau air yang diminum. Penyerapan obat melalui rute
ini cukup lambat daripada rute secara IV atau IM tetapi terdapat
beberapa obat yang hanya dapat diberikan melalui rute ini. Obat oral
diberikan dengan berbagai metode, termasuk jarum suntik, drenching,
balling gun, dan intubasi nasogastrik dan orogastrik (Bassert, et.al,
2018).
b. Intravena
Injeksi intravena pada sapi dapat dilakukan melalui vena jugularis
karena pembuluh darahnya terlihat besar dan sangat jelas. Dimasukkan
jarum ke dalam kulit pada sudut 45 derajat. Pada saat ini, spuit yang
berisi obat yang akan diberikan dapat dilekatkan pada jarum dengan
aspirasi dilakukan untuk memastikan kembali bahwa jarum masih
berada di dalam vena. Jika tidak ada darah yang diperoleh, jarum harus
diarahkan tanpa benar-benar dikeluarkan dari kulit. Begitu berada di
dalam vena, tekanan yang diberikan pada alur jugularis untuk oklusi
dapat dihilangkan, dan obat dapat diberikan. Setelah seluruh jumlah
telah diberikan, jarum dan spuit dilepas, dan tekanan diterapkan di atas
situs akses untuk mencegah pembentukan hematoma (Bassert, et.al,
2018).
c. Intramuskular
Injeksi secara IM pada sapi sebenarnya mudah dilakukan karena sapi
memiliki otot yang tebal. Namun, administrasi obat dengan rute ini tidak
disarankan karena dapat merusak struktur otot dimana daging sapi
nantinya akan dikonsumsi oleh manusia. Untuk mengurangi hal yang
tidak diinginkan, maka penyuntikan dapat dilakukan dengan hati-hati
dan perlahan. Pada satu tempat injeksi, banyaknya obat tidak boleh
melebihi 10 mL. Restrain pada sapi yang akan diinjeksi secara IM harus
dilakukan dengan benar yaitu dengan menahan kepala sapi
menggunakan tali pengikat. Injeksi IM dapat dilakukan melalui otot
bagian leher, otot semitendinosus, otot semimembranosus dan otot
gluteal (Bassert, et.al, 2018).
d. Subkutan

Administrasi obat secara SC pada sapi akan menghasilkan


penyerapan yang lambat dibandingkan dengan rute IV atau IM. Injeksi
subkutan pada sapi dapat dilakukan melalui leher, belakang siku, dan
fossa ischiorectal untuk melakukan vaksinasi. Situs yang dipilih harus
memiliki kulit longgar yang mudah digenggam. Desinfeksi
menggunakan alkohol 70%, kulit digenggam dan ditarik dari tubuh sapi
sebelum jarum dimasukkan ke dasar kulit. Ukuran jarum yang
digunakan akan tergantung pada kekentalan zat yang akan diberikan,
ukuran sapi, dan ketebalan kulitnya. Jarum berukuran 18G - 22G dapat
digunakan untuk sapi. Sebelum menyuntikkan zat dari jarum suntik,
aspirasi kembali untuk memastikan bahwa pembuluh tidak tertusuk.
Setelah penempatan jarum di ruang SC telah dikonfirmasi, suntikkan
obat dengan lembut. Solusinya harus dikeluarkan dengan mudah dari
jarum suntik, dan benjolan sering terlihat di bawah kulit. Aliran larutan
yang lambat dapat menunjukkan bahwa jarum ditempatkan secara
intradermal. Jika resistensi dirasakan, jarum harus diposisikan ulang
sebelum injeksi dilanjutkan. Setelah jarum dan spuit dilepas, area injeksi
harus digosok dengan lembut untuk mengurangi benjolan yang
terbentuk dan untuk meningkatkan sirkulasi di area yang meningkatkan
penyerapan obat. Jika injeksi SC ke jaringan edema dilakukan, benjolan
tidak akan terlihat (Bassert, et.al, 2018).
e. Intraperitoneal

Injeksi secara intraperitoneal dapat dilakukan melalui area abdomen


tanpa menyentuh organ dalam abdomen. Rute ini biasanya diberikan
apabila pemberian obat secara IV tidak memungkinkan untuk mencapai
area peritoneal. Lokasi injeksi pada sapi biasanya adalah daerah fossa
paralumbal (Bassert, et.al, 2018).
f. Perektal
Administrasi obat dilakukan langsung melalui anus dan menuju ke
dalam usus yang akan dilakukan penyerapan. Ujung distal tabung
dilumasi dengan larutan yang larut dalam air dan tabung dimasukkan 1
sampai 12 inci ke dalam rektal. Jarak ini ditentukan oleh ukuran pasien.
Pengekangan yang tepat, disesuaikan dengan spesies individu dan usia
hewan. Pada hewan yang berdiri, teknisi harus mengambil tindakan
pencegahan untuk berdiri di samping hewan agar tidak ditendang. Obat
disuntikkan dengan lembut melalui jarum suntik ujung kateter ke dalam
tabung. Tabung kemudian dilepas dengan lembut. Menggunakan
selongsong rektal yang dilumasi dengan baik, teknisi akan dengan
lembut memasukkan tangan dalam jarak pendek ke dalam rektal dan
dengan lembut akan mengeluarkan kotoran yang jelas ada sebelum
selang dimasukkan (Bassert, et.al, 2018).

4.1.4 Mencit
a. Peroral

Pemberian obat pada mencit dapat dilakukan melalui mulut dengan


bantuan alat berupa sonde. Sonde diarahkan menuju ke kerongkongan
dan obat dalam sediaan cair dapat dimasukkan. Selain itu, dapat
diberikan dengan mencampurkan obat pada air minum atau makanan.
Namun, hal ini tergantung dari kemauan mencit untuk makan atau
minum dari zat yang sudah dicampurkan dengan obat, sehingga hal ini
dirasa kurang efektif (Hrapkiewicz, et.al, 2013).
b. Intraperitoneal

Merupakan administrasi obat yang dapat diberikan melalui area


perut tanpa menyentuh organ dalam dari abdomen. Massa otot pada
mencit sangat kecil, sehingga melalui rute ini pemberian ketamine atau
obat iritan lainnya lebih cepat onset kerjanya. Mencit dihandling
menggunakan tangan dalam posisi terlentang dengan kepala
dimiringkan lebih rendah dari tubuh. Jarum disuntikkan dengan sudut
10 derajat pada permukaan abdomen kuadran bawah. Jarum menuju
jaringan subkutan kemudian menuju ke arah cranial 2-3 mm lalu
dimasukkan melalui dinding perut (Hedrich, 2014).
c. Intravena

Administrasi obat melalui intravena dapat diberikan melalui ekor


lateral mencit dengan ukuran jarum yang kecil yaitu 25G. Mencit
ditempatkan dalam corong dengan ekor terletak pada luar corong.
Kemudian ekor didesinfeksi menggunakan alcohol 70% dan jarum
dimasukkan sejajar dengan vena ekor hingga 2-4 mm. Larutan
disuntikkan secara perlahan. Namun, injeksi melalui ekor mencit lebih
sering digunakan saat akan melakukan proses pengambilan darah
(Hedrich, 2014).
d. Intramuskular

Administrasi obat secara intramuscular dilakukan pada muskulus


quadriceps kaki belakang namun bagian ini memiliki muskulus yang
tipis dan kecil. Rute administrasi obat intramuscular dapat diberikan
pada otot paha. Ujung jarum harus diarahkan menjauh dari femur dan
saraf siatik. Mencit dibius atau ditahan secara manual oleh orang lain.
Ujung jarum dimasukkan melalui kulit dan ke dalam otot. Aspirasi
sebentar dengan spuit sebelum injeksi. Jika darah atau cairan tubuh
terbalik, hentikan prosedur. Jarum harus dipindahkan atau upaya baru
harus dilakukan (Hedrich, 2014).
e. Subkutan

Administrasi obat secara subkutan diberikan melalui area tubuh


dengan kulit yang longgar salah satunya pada area tengkuk mencit.
Jarum suntik yang digunakan yaitu dengan ukuran 25G atau 23G.
Pemberian subkutan pada area interskapular dilakukan dengan mencit
ditahan secara manual dan kemudian diletakkan di atas handuk bersih
atau permukaan padat. Jarum ditusukkan di bawah kulit daerah
interskapular yang dibatasi oleh ibu jari dan jari telunjuk dan zat tersebut
kemudian disuntikkan (Hedrich, 2014).
4.1.5 Burung
a. Peroral

Administrasi obat secara peroral merupakan pemberian senyawa


berbentuk makanan atau air dengan tidak menimbulkan stres karena
tidak memerlukan pengurungan dan pengekangan. Meskipun teknik ini
cukup mudah dan mungkin merupakan satu-satunya metode praktis
pemberian obat dalam kelompok besar, umumnya tidak
direkomendasikan untuk studi eksperimental karena variasi konsumsi
individu yang dapat menyebabkan dosis yang tidak akurat. Jika
diperlukan dosis yang tepat maka diperlukan metode pemberian yang
berbeda (Taylor, et.al, 2016).
b. Subkutan

Administrasi obat secara subkutan biasanya dilakukan untuk terapi


cairan pada burung dimana injeksi IV atau IM tidak memungkinkan
untuk dilakukan. Namun melalui rute ini senyawa akan lebih lambat
diserap oleh tubuh dan juga dapat menyebabkan pengumpulan cairan
dengan volume yang lesar pada ruang subkutan. Injeksi subkutan
dilakukan pada daerah inguinal tidak berbulu seperti antara kaki dan
dinding tubuh, sayap axilla dan daerah interscapular (Taylor, et.al,
2016).
c. Intravena

Administrasi obat secara IV dilakukan secara langsung melalui


pembuluh darah atau sirkulasi darah untuk terapi cairan. Tempat untuk
injeksi IV pada burung biasanya dilakukan pada area vena jugularis
kanan, vena ulnaris dan vena metatarsal medial. Injeksi IV umumnya
sesuai untuk pemberian tunggal karena risiko pembentukan hematoma.
Jika beberapa injeksi diperlukan dalam interval pendek maka dilakukan
injeksi pada pembuluh darah lain atau kateter IV harus tetap
ditempatkan (tidak boleh terlepas) (Taylor, et.al, 2016).
d. Intrasmuskular

Administrasi obat secara IM memiliki proses penyerapat yang lebih


cepat daripada SC. Injeksi dilakukan pada area muskulus pectoralis
karena memiliki struktur otot tebal dan luas. Selain itu, dapat juga
dilakukan pada muskulus femoralis apabila otot sudah berkembang
dengan baik. Jarum yang digunakan disarankan ukuran pendek dan kecil
dengan tempat injeksi bergantian dan membagi volume yang lebih besar
di beberapa situs untuk meminimalkan kerusakan muskulus (Taylor,
et.al, 2016).
e. Intraosseus

Merupakan injeksi obat yang dilakukn melalui kateter yang


langsung menuju ke kanal meduler tulang. Rute ini digunakan apabila
terapi obat atau cairan diperlukan beberapa kali (Taylor, et.al, 2016).
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Obat merupakan ilmu yang mempelajarai pengetahuan obat dengan sepenuh
aspeknya yang bersifat fisika, kimia, kegiatan fisiologi, resorpsi dan nasibnya
dalam organisme hidup. Obat yang digunakan untuk terapi dibagi menjadi 4
golongan yaitu obat farmakodinamis, obat kemoterapeutis, obat tradisional, dan
obat diagnostis. Administrasi obat dapat menentukan kecepatan dan
kelengkapan resorpsi dari obat tersebut. Untuk menghasilkan efek sistemis, obat
dapat diberikan secara per oral, sublingual, injeksi, implantasi subkutan, dan per
rektal. Sedangkan untuk menghasilkan efek local maka obat dapat diberikan
melalui intranasal, intraokuler, intraaurikuler, dan inhalasi.

5.2 Saran
Diharapkan pada praktikum selanjutnya, jarkom mengenai prosedur
praktikum atau alat dan bahan yang harus dipersiapkan dalam praktikum dapat
disampaikan jauh-jauh hari sebelum pelaksanaan.
DAFTAR PUSTAKA

Ballard and Ryan Cheek. 2013. Exotic Animal Medicine for the Veterinary
Technician Second Edition. USA.
Bassert, J. M., Beal, A. D., dan Samples, O. M. 2018. McCurnin's Clinical Textbook
for Veterinary Technicians (9th ed.). Canada: Elsevier Saunders.
Chastain, C. B. 2018. Animal Handling and Physical Restraint. US: CRC Press.

Hedrich, H. 2014. The Laboratory Mouse. USA: Elsevier.

Hrapkiewicz, K., Colby, L., dan Denison, P. 2013. Clinical Laboratory Animal
Medicine: An introduction. USA: Wiley Blackwell.
Prabowo, W.L. 2020. Teori Tentang Pengetahuan Peresepan Obat. Jurnal Medika
Hutama, Vol. 2(4).
Suwalie, E.R., dan Soraya R.M. 2020. Terpen Sebagai Peningkat Penetrasi pada
Sediaan Transdermal. Jurnal Farmaka, Vol. 15(3): 102-110.
Taylor, D.K., Lee, V.K., and Strait, K.R. 2016. The Laboratory Bird. New York:
CRC Press.
Tjay, T. H., Kirana, R. 2015. Obat-obat Penting. Jakarta: PT Elex Media
Komputindo.
LAMPIRAN
No Gambar Keterangan
1. Administrasi obat peroral
pada kucing

2. Administrasi obat secara


subkutan pada kucing

3. Pengambilan darah pada


kucing
4. Administrasi obat secara
IM pada kucing

5. Administasi obat secara


peroral pada burung

6. Administrasi obat secara


IV pada vena brachialis
burung

7. Administrasi obat secara


IM pada muskulus
pectoralis burung
8. Pengambilan darah
melalui vena brachialis
burung

9. Administrasi obat secara


peroral pada kadal

10. Administrasi obat secara


IM pada kadal

11. Administrasi obat secara


SC pada kadal
12. Pengambilan darah pada
kadal

13. Administrasi obat secara


peroral pada mencit

14. Administrasi obat secara


SC pada mencit

15. Administrasi obat secara


IM pada mencit

Anda mungkin juga menyukai