Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN PRAKTIKUM

TEKNOLOGI DAN FORMULASI SEDIAAN STERIL

“UJI STERILITAS SEDIAAN STERIL INJEKSI VITAMIN C”

Oleh :
YUDINTYA AISYAH ERMANDY
17930036

JURUSAN FARMASI
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
2020
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Vitamin C atau asam askorbat (AA) telah digunakan secara luas sebagai salah
satu terapi peremajaan kulit, baik secara topikal maupun peroral. Demikian juga
injeksi vitamin C intravena (IV) dosis tinggi telah digunakan secara luas oleh dokter
spesialis kulit, ahli kecantikan maupun dokter umum untuk memperoleh penampilan
kulit yang lebih cerah dan bebas keriput secara cepat.Namun sayangnya bukti empiris
berdasarkan penelitian yang mendasari penggunaan injeksi vitamin C dosis tinggi
untuk terapi penuaan belum tersedia. Data penelitian menunjukkan bahwa injeksi
vitamin C dosis tinggi banyak digunakan sebagai terapi pada penyakit keganasan
(Naidu, 2003).
Kontaminasi mikroba dan bahan asing bisa saja terjadi dalam pembuatan
sediaan injeksi, oleh karena itu prosedud pembuatannya harus dilakukan dengan
sangat hati – hati untuk menghindari kontaminasi mikroba dan bahan asing. Cara
Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) mensyaratkan pula tiap wadah akhir injeksi
harus diamati satu persatu secara fisik. Selanjutnya, sediaan yang menunjukkan
pencemaran bahan asing yang terlihat visual dipisahkan dan dilakukan proses
penolakan. Obat yang dibuat sebagai obat suntik tergantung pada sifat obat itu sendiri
dengan memperhitungkan sifat kimia dan fisika, serta pertimbangan terapetik
tertentu. Dalam pembuatan obat suntik syarat utamanya adalah obat harus steril, tidak
terkontaminasi bahan asing, dan disimpan dalam wadah yang menjamin sterilitas
(Lukas, 2011).
Berdasarkan uraian diatas, praktikum uji sterilitas sediaan steril injeksi
vitamin C penting untuk dilakukan. Melalui praktikum ini, praktikan dapat
mengetahui uji sterilitas yang dilakukan pada sediaan steril injeksi vitamin C, serta
syarat-syarat dari sediaan injeksi. Diketahui bahwasanya sediaan injeksi termasuk
sediaan steril yang pembuatannya membutuhkan proses sterilisasi sehingga
praktikum ini termasuk salah satu cara praktikan mengetahui bagaimana operasional
sediaan steril yang sesuai dengan FI dan CPOB.

1.2. Tujuan
Tujuan dilakukannya praktikum ini antara lain :
- Praktikan dapat mempelajari cara uji sterilitas injeksi vitamin C secara
benar.
- Praktikan dapat melakukan interpretasi hasil uji sterilitas sediaan steril yang
dikaji berdasarkan persyaratan FI dan CPOB.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Sterilisasi
Sterilisasi dalam pengertian medis merupakan proses dengan metode tertentu
yang dapat memberikan hasil akhir yaitu suatu bentuk keadaan yang tidak dapat
ditunjukkan lagi adanya mikroorganisme. Metode sterilisasi cukup banyak, namu
alternative yang dipilih sangat bergantung pada keadaan, serta kebutuhan setempat.
Adapun pemilihan metode hendaknya tetap menjaga kualitas hasil sterilisasi (Raudah,
2017).
Sterilisasi merupakan kunci keberhasilan dan kesuksesan dalam pengembangan
mikrobiologi. Untuk mendapatkan semua atau keberhasilan sterilisasi, maka alat-alat
yang digunakan harus disterilkan terlebih dahulu. Apabila alat yang digunakan tidak
steril, maka akan terjadi kontaminasi yang dapat merusak hubungan kelangsungan
kerja di laboratorium tersebut (Lay, 1994).
Pengembangan produk steril ditunjukkan dengan persyaratan khusus dengan
tujuan mengurangi risiko kontamninasi mikrobiologi, partikulat, dan kontaminasi
pirogen. Banyaknya kontaminasi tergantung pada skill, pelatihan, dan sikap personel
yang melakukan sterilisasi. Quality assurance juga memiliki peran yang penting, dan
jenis pengembangan ini harus mengikuti metode preparasi dan prosedur yang
tervalidasi dan ketat (European Comission, 2008).
Terdapat lima metode yang umum digunakan untuk mensterilkan produk farmasi
yaitu sterilisasi uap (lembab panas), sterilisasi panas kering, sterilisasi dengan
penyaringan, sterilisasi gas, dan sterilisasi dengan radiasi pengionan. Metode yang
digunankan untuk mendapatkan sterilitas pada sediaan farmasi sangat ditentukan oleh
sifat sediaan dan zat aktif yang dikandungnya. Walau demukian, apa pun cara yang
digunakan, produk yang dihasilkan harus memenuhi tes sterilitas sebagai bukti dari
keefektifan cara, peralatan dan petugas (Ansel,2008).
2.2. Sediaan Steril
Sediaan steril merupakan suatu sediaan farmasi yang telah terbebas dari
berbagai macam mikroorganisme, baik berbentuk vegetatif maupun spora.
Penggunaan dari sediaan steril banyak diterapkan dalam fasilitas kesehatan seperti
rumah sakit, puskesmas, klinik, dan lain-lain. Seluruh jenis sediaan steril harus
memiliki tingkat sterilitas sesuai dengan persyaratan yang berlaku. Hal ini
dikarenakan sediaan steril merupakan pengobatan yang bersentuhan langsung dengan
sel tubuh, lapisan mukosa organ tubuh, dan dimasukkan langsung ke dalam cairan
atau rongga tubuh memungkinkan terjadinya infeksi bila sediaan tidak steril. Oleh
karena itu, dibutuhkan sediaan obat yang steril dan juga dalam kondisi isohidris dan
isotonis agar tidak megiritasi (Lachman dkk, 2008).
Bentuk sediaan steril bisa berbagai bentuk, yaitu cair, padat, atau semi padat.
Proses pembuatannya sama dengan sediaan non steril. Namun, dalam pembuatan
sediaan steril kita perlu mengetahui proses sterilisasinya yang berkaitan dengan
stabilitas bahan aktif maupun bahan-bahan tambahannya. Dengan demikian, dalam
pembuatan sediaan steril bekal pengetahuan tidak sekedar pengetahuan formulasi
sediaan, tetapi juga pemahaman kimia fisika yang berkaitan dengan stabilitas proses
pembuatan, sehingga menghasilkan sediaan yang dikehendaki (Voight, 1994).
Umumnya, sediaan steril terbagi menjadi tiga macam adalah sebagai berikut :
1. Sediaan Parenteral
Sediaan parenteral merupakan suatu sediaan steril yang diberikan dengan cara
menyuntikkan ke dalam jaringan kulit. Sediaan parenteral ini harus terbebas dari
kontaminasi mikroorganisme secara keseluruhan. Maka, sediaan parenteral dapat
diberikan menggunakan volume kecil maupun volume besar tergantung dari
kebutuhan pasien (Dongare et al, 2015).
2. Sediaan Mata
Sediaan mata merupakan suatu sediaan steril yang diberikan dengan cara
memasukkan ke dalam mata. Sediaan mata dapat berbentuk tetes mata, salep mata,
cairan irigasi mata, dan lain-lain. Maka, sediaan mata harus tetap dalam kondisi yang
steril untuk mencegah terjadinya iritasi pada organ mata tersebut (Lachman dkk,
2008).
3. Sediaan Infus
Sediaan infus merupakan pemberian sejumlah cairan ke dalam pembuluh darah
vena (pembuluh balik) melalui sebuah jarum tertentu. Hal ini bertujuan untuk
menggantikan kehilangan cairan atau zat-zat makanan dari tubuh. Maka, penggunaan
dari sediaan infus akan mampu mempertahankan fungsi normal tubuh dari pasien
secara keseluruhan (Muljodipo dkk, 2015).

2.3. Uji Sterilitas


Uji sterilitas dilakukan terhadap produk dan bahan yang sebelumnya telah
mengalami proses pensterilan yang telah diberlakukan. Hasilnya membuktikan bahwa
prosedur sterilisasi dapat diulang secara efektif. Tetapi umumnya disetujui bahw
kontrol yang dilaksanakan selama proses validasi memberikan jaminan lebih
efektifnya proses sterilisasi. Uji ini dilakukan terhadap sampel yang dipilih untuk
mewakili keseluruhan lot bahan tersebut. Sampel bisa diambil dari kemasan atau
wadah akhir suatu produk, atau sebagai bagian dari tangku bulk cairan atau dari
bahan bulk lainnya (Lachman dkk., 2008).
Menurut Farmakope edisi IV (1995), uji sterilitas digunakan untuk menetapkan
apakah suatu bahan/sediaan farmasi yang diharuskan steril memenuhi syarat sesuai
dengan uji sterilitas seperti yang tertera pada masing-masing monografi, dimana
untuk penggunaannya sesuai dengan prosedur pengujian sterilitas sebagai bagian dari
pengawasan mutu pabrik, seperti yang tertera dalam sterilisasi dan jaminan sterilitas
bahan. Uji sterilitas ini dapat dilakukan pada sediaan obat seperti obat tetes mata,
injeksi, infus maupun pada alat kesehatan seperti kasa steril, jarum suntik, benang
bedah, dan lain-lain.
Salah satu tujuan uji sterilisasi pembuatan sediaan steril adalah untuk
meminimalkan ketidakpercayaan terhadap pengujian produk akhir. Tiga prinsip yang
terlibat dalam proses uji sterilisasi sediaan steril adalah (Zinda,2008) :
1) Untuk membuat sterilitas kedalam sediaan
2) Untuk menunjukkan tingkat kemungkinan maksimum yang pasti dimana
proses dan metode sterilisasi memiliki sterilisasi yang terpercaya terhadap
semua unit dari batch sediaan.
3) Untuk memberikan jaminan yang lebih luas dan mendukung hasil dari uji
sterilitas sediaan akhir.

2.4. Uji Sterilitas Menurut FI


Pengujian sterilitas dilaksanakan pada kondisi aseptik. Untuk mencapai kondisi
tersebut, lingkungan pengujian harus dibuat sama seperti ketika uji sterilitas
dilakukan. Tindakan pencegahan untuk mencegah kontaminasi tidak boleh
mempengaruhi mikroba yang ada dalam pengujian. Kondisi pengerjaan, ketika uji
dilakukan dimonitor secara berkala dengan melakukan sampling yang sesuai pada
area kerja dan kontrol yang sesuai (Depkes RI,1995).
Uji sterilisasi menurut Farmakope Indonesia Edisi IV dapat dilakukan dengan
dua prosedur pengujian yang terdiri dari metode inokulasi langsung ke dalam media
uji dan metode teknik filtrasimembran. Prosedur berikut dapat digunakan untuk
menetapkan apakah bahan farmakope yang harus steril memenuhi syarat berkenaan
dengan uji sterilitas seperti yang tertera pada masing-masing monografi (untuk
penggunaan prosedur uji sterilisasi sebagai bagian dari pengawasan mutu di pabrik,
seperti yang tertera pada Sterilisasi dan Jaminan Sterilitas Bahan (Depkes RI,1995).
A. Prosedur Uji Inokulasi Langsung ke Dalam Media uji
Uji pada cairan, pindahkan cairan dari wadah uji menggunakan pipet atau
jarum suntik steril. Secara aseptik inokulasikan sejumlah tertentu bahan dari tiap
wadah uji ke dalam tabung media. Campur cairan dengan media tanpa aerasi
berlebihan. Inkubasi dalam media sesuai dengan prosedur umum selama tidak kurang
14 hari. Amati pertumbuhan pada media secara visual sesering mungkin sekurangnya
pada hari ke-3 atau ke-4 atau ke-5, pada hari ke-7 atau ke-8 dan pada hari terakhir
masa uji. Jika zat uji menyebabkan media menjadi keruh sehingga ada atau tidaknya
pertumbuhan mikroba tidak segera dapat ditentukan secara visual, pindahkan
sejumlah memadai media ke dalam tabung baru berisi media yang sama, sekurangnya
1 kali antara hari ke-3 dan ke-7 sejak pengujian dimulai. Lanjutkan inkubasi media
awal dan media baru selama total waktu tidak kurang dari 14 hari sejak inokulasi
awal (Depkes RI,1995).
B. Prosedur Uji Menggunakan Penyaringan Membran
Teknik penyaringan membran digunakan untuk bahan cair yang tidak dapat
diuji dengan cara inokulasi langsung ke dalam media uji, uji tidak kurang dari volume
dan jumlah seperti yang tertera pada pemilihan spesimen uji dan masa inkubasi.
Peralatan unit penyaring membran yang sesuai terdiri dari satu perangkat yang dapat
memudahkan penanganan bahan uji secara aseptic dan membran yang telah diproses
dapat dipindahkan secara aseptik untuk inokulasi ke dalam media yang sesuai atau
satu perangkat yang dapat ditambahkan media steril ke dalam penyaringnya dan
membran diinkubasi in situ. Membran yang sesuai umumnya mempunyai porositas
0,45m dengan diameter lebih kurang 47mm, dan kecepatan penyaringan air 55 mL
sampai 75 mL per menit pada tekanan 70cmHg. Unit keseluruhan dapat dirakit dan
disterilkan bersama dengan membrane sebelum digunakan atau membrane dapat
disterilkan terpisah dengan cara apa saja yang dapat mempertahankan karakteristik
penyaring dan menjamin sterilitas penyaring dan perangkatnya. Jika bahan uji berupa
minyak, membran dapat disterilkan terpisah dan setelah melalui pengeringan unit
dirakit secara aseptic (Depkes RI, 1995).

2.5. Uji Sterilitas Menurut CPOB 2018


Berdasarkan peraturan CPOB (Cara Pembuatan Obat Yang Baik ) tahun 2018
pada poin 127 dan 128 menyatakan bahwa ketentuan dalam uji sterilitas adalah
sebagai berikut :
127. Semua radiofarmaka untuk penggunaan parenteral harus steril. Meskipun tidak
selalu memungkinkan untuk menunggu hasil uji sterilitas sebelum diluluskan untuk
penggunaan karena sifat alamiah radioaktif, uji sterilitas hendaklah menjadi bagian
dari pengawasan mutu produksi. Proses produksi hendaklah divalidasi secara teratur.
128. Uji sterilitas hendaklah dilakukan sesuai prosedur yang ditetapkan dalam
Farmakope Indonesia atau farmakope internasional yang diakui oleh otoritas
pengawasan.

2.6. Media Sterilitas


Media untuk pengujian dapat dibuat seperti yang tertera di bawah ini, atau
dapat digunakan campuran kering yang menghasilkan formulasi sama, asalkan jika
direkonstitusi sesuai petunjuk pabrik atau distributor, mempunyai sifat merangsang
pertumbuhan yang sama atau lebih baik dari formula yang diberikan di bawah ini
(Depkes RI, 1995) :
1. Media Tioglikolat Cair
L-Sistin P 0,5 g
Natrium klorida P 2,5 g
Glukosa P (C6H12O6.H2O) 5,5 g
Agar P, granul (kadar air tidak lebih dari 15%) 0,75 g
Ekstrak ragi P (larut dalam air) 5.0 g
Digesti pankreas kasein P 15,0 g
Natrium tioglikolat atau 0,5 g
Asam tioglikolat P 0,3 ml
Larutan natrium resazurin P (1 dalam 1000) dibuat agar 1,0 ml
Air 1000 ml
pH setelah sterilisasi 7,1 + 0,2

Campur dan panaskan hingga larut. Atur pH larutan hingga setelah sterilisasi
7,1 + 0,2 menggunakan natrium hidroksida 1 N. Jika perlu saring selagi panas
menggunakan kertas saring. Tempatkan media dalam tabung yang sesuai, yang
memberikan perbandingan permukaan dengan kedalaman media sedemikian rupa
sehingga tidak lebih dari setengah bagian atas media yang mengalami perubahan
warna sebagai indikasi masuknya oksigen pada akhir masa inkubasi. Sterilisasi dalam
otoklaf. Jika lebih dari sepertiga bagian atas terjadi warna merah muda, media dapat
diperbaiki satu kali dengan pemanasan di atas tangas air atau dalam uap yang
mengalir bebas hingga warna merah muda hilang. Media siap digunakan jika tidak
lebih dari sepersepuluh bagian atas media berwarna merah muda. Gunakan Media
Tioglikolat Cair untuk inkubasi dalam kondisi aerob.

2. Media Tiglikolat Alternatif


(untuk alat yang mempunyai lumen kecil)
L-Sistin P 0,5 g
Natrium klorida P 2,5 g
Glukosa P (C6H12O6.H2O) 5,5 g
Ekstrak ragi P (larut dalam air) 5,0 g
Digesti pankreas kasein P 15,0 g
Natrium tioglikolat P atau 0,5 ml
Asam tioglikolat P 0,3 ml
Air 1000 ml
pH setelah sterilisasi 7,1 + 0,2

Panaskan semua bahan dalam wadah yang sesuai hingga larut. Campur, dan jika
perlu, atur pH larutan hingga setelah sterilisasi 7,1 + 0,2 menggunakan natrium
hidroksida 1 N. Saring jika perlu, tempatkan dalam tabung yang sesuai dan sterilisasi
dengan uap air. Media dibuat segar atau dipanaskan di tangas uap dan didinginkan
saat akan digunakan. Tidak boleh dipanaskan kembali. Gunakan Media Tioglikolat
Alternatif dengan cara yang menjamin kondisi anaerob selama masa inkubasi.

3. Soybean ± Casein Digest Medium


Digesti pankreas kasein P 17,0 g
Digesti papaik tepung kedele 3,0 g
Natrium klorida P 5,0 g
Kalium fosfat dibasa P 2,5 g
Glukosa (C6H12O6.H2O) 2,5 g
Air 1000 ml
pH setelah sterilisasi 7,3 + 0,2

Larutkan semua bahan padat dalam air, hangatkan hingga larut. Dinginkan
larutan hingga suhu kamar, dan jika perlu atur pH larutan hingga setelah sterilisasi 7,3
+ 0,2 menggunakan natrium hidroksida 1 N. Saring jika perlu, dan bagikan dalam
tabung yang sesuai. Sterilisasi dengan uap air.Gunakan Soybean – Casein Digest
Medium untuk inkubasi dalam kondisi aerob.
Catatan Jika digunakan Media TIoglikolat Cair dan Soybean – Casein Digest
Medium dalam Prosedur Uji Inokulasi Langsung ke Dalam Media Uji untuk
menetapkan spesimen yang mengandung antibiotik golongan penisilin atau
sefalosporin, secara aseptik tambahkan sejumlah penisilinase ke dalam tabung media
untuk menginaktifkan antibiotik dalam spesimen uji. Tetapkan jumlah penisilinase
yang diperlukan dengan menambahkannya ke dalam tabung Media Tioglikolat Cair
dan sejumlah antibiotik penisilin atau Sefalosporin setara jumlah antibiotic dalam
spesimen uji, inokulasi media dengan 1 ml pengenceran (1 dalam 1000) biakan 18
jam sampai 24 jam Staphylococcus aureus (ATCC 29737) dalam Media Tioglikolat
Cair, dan inkubasi selama 24 jam pada suhu 30o sampai 35o: pada saat ini harus
teramati pertumbuhan mikroba yang spesifik. Lakukan uji konfirmasi di daerah yang
benar-benar terpisah dari tempat uji sterilitas.

4. Cairan K
Digesti peptik jaringan hewan P 50 g
Ekstrak dagin P 3,0 g
Polisorbat 80 P 10,0 g
Air 1000 ml
pH setelah sterilisasi 6,9 + 0,2
Sterilisasi dengan uap air. [Catatan Cairan steril tidak boleh bersifat antibakteri atau
antijamur jika digunakan sebagai pelarut, pengencer, ataupun pembilas pada uji
sterilitas.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Alat
Alat yang digunakan dalam praktikum ini antara lain :
1. Erlenmeyer
2. Corong kaca
3. Beaker glass
4. Gelas ukur
5. Batang pengaduk
6. Kaca arloji
7. Tabung reaksi
8. Inkubator
9. Spuit 1 cc
10. JAF/Enkas

3.2 Bahan
Bahan yang digunakan dalam praktikum ini antara lain :
1. Media tumbuh bakteri tioglikat
2. Larutan uji
3. Aquadest
4. Alkohol 7-%
5. Kapas
6. Kassa
7. Alumunium foil
3.3 Prosedur Kerja
A. Sterilisasi Alat
- Dicuci bersih alat-alat yang akan digunakan
Alat
- Dibungkus dengan kertas perkamen minimal 2 lapis
- Ditutup rapat autoklaf dan mulai dipanaskan (11 menit)
- Ditunggu suhu hingga mencapai 121o C (15 menit)
- Dihitung waktu kesetimbangan 0 menit setelah suhu autoklaf mencapai
121o C
- Disterilisasi dengan autoklaf pada suhu 121o C selama 15 menit
- Dilanjutkan waktu tambahan jamininan sterilitas hingga 0 menit
- Diturunkan suhu autoklaf (8 menit)
- Didinginkan autoklaf (7 menit)
- Dikeluarkan semua alat dari dalam autoklaf
- Dimasukkan dalam kantong klip
- Diltekkan dalam ruang steril

Hasil

B. Pembuatan Media

Alat dan Bahan


- Ditimbang media tioglikolat sebanyak 1,4875 gram
- Dil rutkan media dengan 50 mL aquadest
a
mbil sebanyak 10 mL lalu dimasukkan ke dalam tabung reaksi
- Dia
tup wadah medium dengan kapas berbalut kasa, kemudian
- Ditu
munium foil
alu
erilisasi dengan autoklaf pada suhu 121o C selama 15 menit
- Dist
Hasil
C. Cara Pengujian

Alat dan Bahan


- Diambil 1 mL sediaan (sesuai dengan isi wadah menurut aturan FI)
- Diinkubasi pada suhu 30-35o C dan dilakukan pengamatan terhadap
media

Hasil
BAB IV
HASIL FORMULASI

4.1. Skema Alur Pikir

Zat aktif sebagai Vitamin C


suplemen dan

Penambahan Natrium metabisulfite sebagai antiokidan dan Na- EDTA sebagai


Memiliki sifat yang mudah

Injeksi Memiliki sifat yang tidak Natrium


Penambahan stabil hidroksida dan Natrium bikarbonat sebagai
Injeksi pengatur
Vitamin

Mudah Penambahan Benzalkonium klorid


terkontaminasi

Digunakan pelarut Aqua Pro Inejct untuk melarutkan zat aktif dan bahan lainnya.
Kelarutan larut
dalam air

4.2. Tabel Komponen Penyusun Formula


No Bahan Fungsi Referensi Kadar Referensi
1 Asam askorbat Bahan aktif 100 100 Fornas hal. 6
mg/mL mg/mL
2 Natrium Pengatur pH 0,05% 0,05% (HOPE, 648)
hidroksida
3. Natrium Pengatur pH 1,39% 1,39% (HOPE, 630)
bikarbonat
4. Na-EDTA Chelating agent 0,005- 0,1% (HOPE, 243)
0,1%
5. Natrium Antioksidan 0,01-1% 1% (HOPE, 654)
metabisulfit
6. Benzalkonium Pengawet 0,01- 0,01% (HOPE, 56)
klorid 0,02%
7. Aqua pro inject Pelarut dan - ad 2 mL -
pembawa

4.3. Pemilihan Bahan Komponen Penyusun


No Bahan Fungsi Alasan
1. Vitamin C pada tubuh manusia juga
berfungsi sebagai sintesis kolagen,
sintesis karnitin,
noradrenalin,serotonin, adsorbsi dan
Asam askorbat Adsorben
metabolisme besi,absorbsi kalsium,
mencegah infeksi serta mencegah
kanker dan penyakit jantung (Dani,
2009).
2. Untuk menstabilkan pH karena
bersifat basa dan merupakan alkali
natrium yang paling lemah, karena
Natrium vitamin C tidak stabil dalam bentuk
Pengatur pH
hidroksida larutan. Selain itu dapat larut
sempurna dalam air, non higroskopik,
dan harganya murah (Siregar dan
Wikarsa, 2010)
3. Untuk menstabilkan pH karena
Natrium bersifat basa dan merupakan alkali
Pengatur pH
bikarbonat natrium yang paling lemah, karena
vitamin C tidak stabil dalam bentuk
larutan. Selain itu dapat larut
sempurna dalam air, non higroskopik,
dan harganya murah (Siregar dan
Wikarsa, 2010)
4. Untuk membentuk chelat dengan ion
logam yang dilepaskan dari
Chelatin
Na-EDTA permukaan gelas, sehingga dapat
g agent
memperlambat reaksi oksidasi vitamin
C dalam sediaan larutan
5. Na metabisulfit bekerja sebagai
antioksidan yang bekerja
memperlambat terjadinya reaksi
oksidasi vitamin C dalam sediaan
Natrium
Antioksidan injeksi. zat ini biasanya digunakan
metabisulfit
dalam sediaan oral, parenteral, dan
topikal. khususnya terhadap
pembuatan larutan asam dan basa
(Wade et al., 1994).
6. Salah satu pengawet yang sering
digunakan adalah Benzalkonium
klorida karena toksisitasnya rendah,
tidak korosif, dan memiliki rentan pH
Benzalkonium yang luas. Selain itu, benzalkonium
Pengawet
klorid klorida sering digunakan untuk
modifikasi formulasi karena memiliki
stabilitas kimia dan karakteristik
antimikroba yang sangat baik
(Remington, 2005).
7. Aqua pro inject Pelarut dan Karena bahan-bahan yang digunakan
Pembawa dapat larut dalam air sehingga
digunakan untuk melarutkan zat aktif
dan zat-zat tambahan.

4.4. Formula Lengkap


No Bahan Fungsi Kadar Terpilih
1. Asam askorbat Bahan aktif 100 mg/mL
2. Natrium hidroksida Pengatur pH q.s
3. Natrium bikarbonat Pengatur pH 1,39%
4. Na-EDTA Chelating agent 0,1%
5. Natrium metabisulfit Antioksidan 1%
6. Benzalkonium klorid Pengawet 0,01%
7. Aqua pro inject Pelarut dan pembawa ad 2 mL

DAFTAR PUSTAKA

Ansel, H.C. 2008/ Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Jakarta : Penerbit UI


Dani, I. 2009. Alat otomatisasi pemgukur kadar vitamin C dengan metode titrasi
asam basa. Jurnal neutrino.Vol.1 No.2
Depkes RI. 1995. Farmakope Indoenesia IV. Jakarta : Depkes RI
Dongare, et al. 2015. Sterile Parenteral Products : A Narrative Approach. Journal of
Drug Delivery and Therapeutics. Volume. 5. Nomor. 1
European Commision. 2008. The Rules Governing Medicinal Product in the
European Union. Brussels : European Commisions.
Lachman, dkk. 2008. Teori dan Praktik Farmasi Indutsri Edisi Ketiga. Jakarta : UI
Press
Lay and Hastowo. 1994. Mikrobiologi. Jakarta : PT. Raja Gravindo
Lukas, S. 2011.Formulasi Steril. Yogyakarta : Penerbit Andi
Muljodipo, dkk. 2015. Rancang Bangun Otomatis Sistem Infus Pasien. E-Journal
Teknik Elektro dan Komputer. Volume. 4. Nomor. 04
Mutshler, E. 1991. Dinamika Obat. Bandung : Penerbit ITB
Naidu, K.A. 2003. Vitamin C in Human Health and Disease is Still a Mystery? An
overview". J Nutr. Vol. 2 No.7
Raudah, dkk. 2017. Efektivitas Sterilisasi Metode Panas Kering pada Alat Medis
Ruang Perawatan Luka RS Gemarno Sosroadmojo Kuala Kapuas. Jurnal
Kesehatan Lingkungan. Vol 14 (1)
Remington, J. P. 2005. Remington’s Pharmaceutical The Science and Practice in
Pharmacy 21st Edition. Pennsylvania : Lippincott Williams & Wilkins.
Siregar, C.J dan S. Wikarsa. 2010. Teknologi Farmasi Tablet Dasar-dasar Praktis.
Jakarta : EGC
Voight, R. 1994. Buku Pelajaran Teknologi Farmasi. Yogyakarta : UGM Press
Wade, A and Weller, P.J. 1994.Handbook of Pharmaceutical Excipients 2nd Edition.
London : The Pharmaceutical Press.
Zinda, R. 2008. Validasi Sediaan Steril : Dasar-dasar. Jakarta : Cahaya Ilmu

Anda mungkin juga menyukai