Anda di halaman 1dari 21

LABORATORIUM TEKNOLOGI SEDIAAN STERIL

PROGRAM STUDI FARMASI F-MIPA


UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT

PERCOBAAN III
PEMBUATAN SEDIAAN STERIL VOLUME BESAR
AMONIUM KLORIDA

Disusun Oleh :
Kelompok XV

Clinton Ciputra NIM. J1E115208


Hema Novita Rendati NIM. J1E115036
Kesty Aprini NIM. J1E115213
Ningsih NIM. J1E115013
Siti Apsari Rez'na NIM. J1E115231

PROGRAM STUDI S1 FARMASI


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
BANJARBARU
2017
LABORATORIUM TEKNOLOGI SEDIAAN STERIL
PROGRAM STUDI FARMASI F-MIPA
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT

PERCOBAAN III
PEMBUATAN SEDIAAN STERIL VOLUME BESAR
AMONIUM KLORIDA

KELOMPOK XV

Mengetahui, Nilai Laporan


Asisten

(Siti Humairah Z.A) Tanggal : 5 Desember 2017


J1E114036

PROGRAM STUDI S1 FARMASI


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
BANJARBARU
2017
PERCOBAAN III
PEMBUATAN SEDIAAN STERIL VOLUME BESAR
AMONIUM KLORIDA

I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sediaan steril adalah bentuk sediaan obat dalam bentuk terbagi - bagi yang Commented [MH1]: Tdk usah pakai spasi

bebas dari mikroorganisme hidup. Pada prinsipnya, yang termasuk sediaan ini
antara lain sediaan parental preparat untuk mata dan preparat irigasi (misalnya
infus). Sediaan parental merupakan jenis sediaan yang unik di antara bentuk
sediaan obat terbagi-bagi, karena sediaan ini disuntikan melalui kulit atau
membran mukosa ke bagian tubuh yang paling efisien, yaitu membran kulit dan
mukosa, maka sediaan ini harus bebas dari kontaminasi mikroba dan dari bahan-
bahan toksis lainnya, serta harus memiliki tingkat kemurnian yang tinggi. Semua
bahan dan proses yang terlibat dalam pembuatan produk ini harus dipilih dan
dirancang untuk menghilangkan semua jenis kontaminasi, apakah kontaminasi
fisik, kimia atau mikrobiologis (Priyambodo, 2007).
Terapi Intravena (IV) adalah menempatkan cairan steril melalui jarum,
langsung ke vena pasien. Biasanya cairan steril mengandung elektrolit (natrium,
kalsium, kalium), nutrient (biasanya glukosa), vitamin atau obat. Terapi intravena
adalah pemberian sejumlah cairan ke dalam tubuh, melalui sebuah jarum, ke
dalam pembuluh vena (pembuluh balik) untuk menggantikan kehilangan cairan
atau zat-zat makanan dari tubuh. Terapi intravena (IV) digunakan untuk
memberikan cairan ketika pasien tidak dapat menelan, tidak sadar, dehidrasi atau
syok, untuk memberikan garam yang dirperlukan untuk mempertahankan
keseimbangan elektrolit, atau glukosa yang diperlukan untuk metabolisme dan
memberikan medikasi (Perry & Potter, 2005).
Terapi intravena adalah salah satu tindakan keperawatan yang dilakukan
dengan cara memasukkan cairan, elektrolit, obat intravena dan nutrisi parenteral
ke dalam tubuh melalui intravena. Tindakan ini sering merupakan tindakan life
saving seperti pada kehilangan cairan yang banyak, dehidrasi dan syok, karena itu
keberhasilan terapi dan cara pemberian yang aman diperlukan pengetahuan dasar
tentang keseimbangan cairan dan elektrolit serta asam basa. Tindakan ini
merupakan metode efektif dan efisien dalam memberikan suplai cairan ke dalam
kompartemen intravaskuler. Terapi intravena dilakukan berdasarkan order dokter
dan perawat bertanggung jawab dalam pemeliharaan terapi yang dilakukan.
Pemilihan pemasangan terapi intravena didasarkan pada beberapa faktor, yaitu
tujuan dan lamanya terapi, diagnosa pasien, usia, riwayat kesehatan dan kondisi
vena pasien. Apabila pemberian terapi intravena dibutuhkan dan diprogramkan
oleh dokter, maka perawat harus mengidentifikasi larutan yang benar, peralatan
dan prosedur yang dibutuhkan serta mengatur dan mempertahankan sistem.
Kesalahan dalam terapi intravena akan dapat menimbulkan komplikasi
sampingan. Salah satunya adalah kejadian flebitis (Komaling et al., 2014).
Infus merupakan salah satu sediaan steril yang digunakan dalam terapi
intravena. Infus adalah suatu piranti kesehatan yang dalam kondisi tertentu
digunakan untuk menggantikan cairan yang hilang dan menyeimbangkan
elektrolit tubuh. Pada kondisi yang serius misalnya pada pasien dehidrasi, stres
metabolik berat yang menyebabkan syok hipovolemik, asidosis, gastroenteritis
akut, demam berdarah dengue (DBD), luka bakar, syok hemoragik serta trauma,
infus dibutuhkan dengan segera untuk menggantikan cairan tubuh yang hilang.
Infus juga digunakan sebagai larutan awal bila status elektrolit pasien belum
diketahui, misal pada kasus dehidrasi karena asupan oral tidak memadai, demam,
dan lain-lain. (Handayani, 2010). Commented [MH2]: hapus

Pemasangan infus merupakan salah satu metode yang efektif dan efisien
dalam memberikan cairan ke dalam tubuh melalui intravena, yang merupakan
tindakan penggantian cairan dalam volume yang banyak terutama pada kondisi
dehidrasi berat dan shock. Tindakan pemasangan infus akan berkualitas baik
apabila pada pelaksanaannya mengacu pada standar operasional prosedur (SOP)
yang telah ditetapkan. infus merupakan salah satu sediaan steril dalam volume
besar (Rohani, 2016).
1.2 Tujuan
Tujuan dari percobaan ini adalah agar mahasiswa mampu memahami dan
terampil dalam pembuatan sediaan steril volume besar dan kontrol kualitas
sediaan steril (evaluasi sediaan).
II. DASAR TEORI
Infus adalah larutan dalam jumlah besar terhitung mulai dari 100 ml yang
diberikan melalui intravena tetes demi tetes dengan bantuan peralatan yang cocok.
Asupan air dan elektrolit dapat terjadi melalui makanan dan minuman dan
dikeluarkan dalam jumlah yang relatif sama, rasionya dalam tubuh adalah air
57%; lemak 20,8%; protein 17,0%; serta mineral dan glikogen 6%. Ketika terjadi
gangguan hemostatif, maka tubuh harus segera mendapatkan terapi untuk
mengembalikan keseimbangan air dan elektrolit larutan untuk infus intravenous
harus jernih dan praktis bebas partikel (Syamsuni, 2006). Infus intravenous adalah
sediaan steril berupa larutan atau emulsi, bebas pirogen dan sedapat mungkin
dibuat isotonis terhadap darah, disuntikkan langsung ke dalam vena, dengan
volume relatif banyak. Kecuali dinyatakan lain, infus intravenous tidak
diperbolehkan mengandung bakteriasida dan zat dapar. Larutan untuk infus
intravenous harus jernih dan praktis bebas partikel (Depkes RI, 1979).
Injeksi volume besar atau injeksi yang dimaksudkan untuk pemberian
langsung ke dalam pembuluh darah vena harus steril dan isotonis dengan darah,
dikemas dalam wadah tunggal berukuran 100 mL-2000 mL. Tubuh manusia
mengandung 60 air dan terdiri atas cairan intraseluler (di dalam sel), 40 yang
mengandung ion-ion K+, Mg+, sulfat, fosfat, protein serta senyawa organik asam
fosfat seperti ATP, heksosa, monofosfat dan lain-lain. Air mengandung cairan
ekstraseluler (di luar sel) 20 yang kurang lebih mengandung 3 liter air dan terbagi
atas cairan intersesier (diantara kapiler) 15 dan plasma darah 5 dalam sistem
peredaran darah serta mengandung beberapa ion seperti Na+, klorida dan
bikarbonat (Anief, 2008).
Persyaratan yang ditujukan pada sediaan infus antara lain aman yaitu tidak
boleh menyebabkan iritasi jaringan dan efek toksis. Jernih yang berarti tidak ada
partikulat dalam sediaan. Tidak berwarna, kecuali bahan obat yang digunakan
memang berwarna. Isohidris yaitu pH larutan sama dengan darah dan cairan tubuh
lain yakni 7,4. Isotonis, artinya mempunyai tekanan osmosis yang sama dengan
darah atau cairan tubuh yang lain tekanan osmosis cairan tubuh seperti darah, air
mata, cairan lumbai dengan tekanan osmosis larutan NaCl 0,9 %. Harus steril,
suatu bahan dinyatakan steril bila sama sekali bebas dari mikroorganisme hidup
dan patogen maupun non patogen, baik dalam bentuk vegetatif maupun dalam
bentuk tidak vegetatif (spora). Bebas pirogen, karena cairan yang mengandung
pirogen dapat menimbulkan demam. Pirogen adalah senyawa kompleks
polisakarida dimana mengandung radikal yang ada unsur N, dan P. Selama radikal
masih terikat, selama itu dapat menimbulkan demam dan pirogen bersifat
termostabil (Anief, 1993).
Keuntungan sediaan infus yaitu obat memiliki onset (mula kerja) yang
cepat, efek obat dapat diramalkan dengan pasti, biovaibilitas obat dalam traktus
gastrointenstinalis dapat dihindarkan, obat dapat diberikan kepada penderita sakit
keras atau dalam keadaan koma, dan kerusakan obat dalam tractus gastrointestinal
dapat dihindarkan. Sedangkan kerugian sediaan infus antara lain rasa nyeri saat
disuntikkan apalagi kalau harus diberikan berulang kali, memberikan efek
fisikologis pada penderita yang takut suntik, kekeliruan pemberian obat atau dosis
hapir tidak mungkin diperbaiki terutama sesudah pemberian intravena, obat hanya
dapat diberikan kepada penderita dirumah sakit atau ditempat praktek dokter oleh
perawat yang kompeten, dan lebih mahal dari bentuk sediaan non steril
dikarenakan ketatnya persyaratan yang harus dipenuhi (steril, bebas pirogen,
jernih, praktis dan bebas partikel) (Anief, 1993).
Terapi intravena dapat digunakan apabila obat dirusak oleh asam lambung
atau obat tidak diabsorbsi, obat diabsorbsi tetapi dikeluarkan cepat akibat
metabolisme lintas pertama, makanan mempengaruhi absorbsi, jika pasien tidak
mau atau tidak dapat menelan, usus tidak berfungsi dengan baik, diperlukan
absorbsi yang sangat cepat, diperlukan kadar yang tinggi dalam jaringan,
diperlukan pelepasan obat perlahan dan sediaan oral tidak dapat memenuhi
ketentuan tersebut, dan bilamana diperlukan penyesuaian dosis secara terus
menerus. Injeksi intravena tidak diberikan untuk obat yang menimbulkan endapan
dengan protein atau butiran darah. Pasien sebaiknya tidak diberikan injeksi
intravena bila terapi per oral dapat dilakukan karena terapi per oral pada
umumnya lebih aman, lebih murah dan lebih mudah digunakan (Nasif et al.,
2013).
Tujuan pemasangan infus/terapi intravena adalah untuk mempertahankan
atau mengganti cairan tubuh yang hilang yang tidak dapat diberikan atau
dipertahankan melalui pemberian peroral. Mengoreksi dan mempertahankan
keseimbangan cairan dan elektrolit. Mengoreksi dan mempertahankan
keseimbangan asam-basa. Memberikan obat intravena. Pemasangan infus
merupakan media yang efektif untuk pemberian obat–obatan. Memberikan nutrisi
parenteral, dukungan nutrisi parenteral dapat diberikan melelui infus bilamana
tidak dapat diberikan melalui enteral (oral) (Rohani, 2016).
Konsentrasinya (zat terlarut dalam larutan) dalam cairan infus dapat
dikatagorikan menjadi beberapa jenis, antara lain :
 Larutan Isotonis
Larutan isotonis adalah suatu cairan / larutan yang memiliki konsentrasizat
terlarut sama atau mendekati sama dengan konsentrasi plasma. Cairan
Isotonik digunakan untuk mengganti volume ekstrasel, misalnya kehilangan
cairan setelah muntah yang berlangsung lama. Cairan ini akan
meningkatkan volume ekstrasel. Contoh NaCl 0,9% dan RingerLaktat.
 Larutan Hipotonik
Larutan atau cairan hipotonik adalah larutan yang memiliki konsentrasi zat
terlarut lebih kecil daripada konsentrasi plasma. Tujuan pemberian larutan
hipotonik adalah untuk menggantikan cairan seluler dan menyediakan air
bebas untuk ekskresi sisa metabolisme. Pemberian cairan ini umumnya
menyebabkan difusi konsentrasi larutan plasma dan mendorong air masuk
ke dalam sel unruk memperbaiki keseimbangan di intrasel dan ekstrasel, sel
akan membesar atau membengkak. Perpindahan cairan akan terjadi dari
ekstravaskuler ke intrasel. Pemberian cairan hipotonik yang berlebihan akan
menyebabkan delusi cairan intravaskuler, penurunan tekanan darah, edema
seluler dan kerusakan sel. Contoh cairan hipotonik adalah NaCl 0,45%.
 Larutan Hipertonik
Larutan / cairan hipertonik adalah suatu larutan yang memiliki konsentrasi
zat terlarut lebih tinggi daripada konsentrasi plasma. Pemberian larutan
hipertonik yang cepat dapat menyebabkan kelebihan dalam sirkulasi dan
dehidrasi di dalam sel, terjadi perpindahan cairan dari intrasel ke ekstrasel
(intravaskuler) sehingga menyebabkan sel menjadi mengkerut (mengecil).
Pemberian cairan ini dikontraindikasikan untuk pasien dengan gangguan
ginjal, jantung dan dehidrasi berat. Contoh cairan hipertonik yaitu dekstrose
10% dan albumin 25%.
(Rohani, 2016).

III. FORMULASI
3.1 Formulasi Standar
Formulasi Standar Sediaan Infus Amonnium klorida, yaitu :
R/ Amonium klorida 0,5%
Na EDTA 0,2%
NaCl 0,9%
Water for injection ad 100%
3.2 Formulasi usulan
Formulasi Sediaan Infus Amonium klorida, yaitu :
R/ Amonium klorida 0,5%
Na EDTA 0,2%
Dextrosa 1,58%
WFI ad 100 ml

IV. METODE KERJA


4.1 Alat dan Bahan
4.1.1 Alat
Alat-alat yang digunakan pada percobaan ini adalah :
1. Aluminium foil
2. Batang pengaduk
3. Botol kaca
4. Bunsen
5. Erlenmeyer
6. Gelas beker
7. Kapas
8. Kertas perkamen
9. pH meter
10. Pipet
11. Pot salep
12. Rak tabung
13. Sendok tanduk
14. Sendok tanduk
15. Tabung reaksi
4.1.2 Bahan
Bahan-bahan yang digunakan dalam percobaan ini adalah :
1. Amonnium klorida
2. Dextrosa
3. Larutan biru metilen
4. Na EDTA
5. WFI
4.2 Cara Kerja
4.2.1 Pembuatan Sediaan Infus Amonium klorida Secara Aseptik

NH4Cl 2,5 mg
Dextrosa 1 mg
Na EDTA 7.9 mg
WFI ad 500 ml

 Disiapkan dan ditimbang masing-masing


bahan

Amonium Klorida
 Dilarutkan dengan WFI di dalam gelas
beker, aduk hingga homogen
Na EDTA
 Dilarutkan dengan WFI di dalam gelas
beker, aduk hingga homogen
Dextrosa

 Dilarutkan dengan WFI di dalam gelas


beker, aduk hingga homogen
 Dicampur ketiga bahan dalam beker gelas
 Diaduk hingga homogen
 Ditambahkan WFI hingga volume 500 ml
 Dibagi menjadi lima bagian
 Dimasukkan masing-masing bagian ke dalam
botol infus 100 ml, seluruh pengerjaan
produksi dilakukan di LAF
 Dikemas dan diberi label sesuai dengan
produk yang dibuat

Hasil

4.2.2 Pembuatan Media Tioglikolat

Tioglikolat 5 gram

 Ditimbang
 Dimasukkan ke dalam erlenmeyer
 Dilarutkan dengan WFI sebanyak 25 ml
 Dihomogenkan
 Dibagi ke tiga tabung reaksi sama banyak
 Disumbat dengan kapas
 Dibungkus dengan aluminium foil dan diikat
dengan karet gelang

Hasil

4.2.3 Sterilisasi Media Tioglikolat dengan Autoklaf

Media Tioglikolat Cair

 Dimasukkan ke dalam autoklaf


 Dilakukan sterilisasi pada suhu 121Oc selama
30 menit

Hasil
4.2.4 Pemeriksaan Kebocoran

Sediaan Infus
Amonium klorida

 Dimasukkan ke dalam larutan biru metilen


 Diamati, apabila terjadi kebocoran maka akan
tampak gelembung-gelembung udara
Hasil

4.2.5 Pemeriksaan Mikrobiologi (sterilitas)

Sediaan Infus
Amonium
kloridaSediaan Infus
 Diambil secukupnya dengan mikro pipet,
Paracetamol
pengerjaan dilakukan di dalam LAF
 Dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang
telah berisi media tioglikolat, usahakan
pengerjaan dekat dengan bunsen
 Ditutup dengan kapas dan dibungkus dengan
aluminium foil
 Diinkubasi dan diamati
Hasil

4.2.6 Pemeriksaan Kejernihan dan Warna

Sediaan Infus
Amonium klorida

 Dilihat secara visual, bisa dibantu dengan


menyinari wadah dari samping dengan latar
belakang sehelai papan yang separohnya di cat
hitam dan separohnya di cat putih
 Diamati

Hasil
4.2.7 Pemeriksaan pH

Sediaan Infus
Amonium klorida

 Dituang sediaan kedalam gelas beker


 Dimasukkan pH meter ke dalam sediaan
 Diamati pH yang ada

Hasil

V. HASIL
No. Perlakuan Hasil Dokumentasi
1. Ditimbang dan Berat bahan :
disiapkan NH4Cl, NH4Cl = 2,5 mg
dextrosa, Na EDTA, Dextrosa = 1 mg
WFI, dan Tioglikolat. Na EDTA = 7,9 mg
WFI = 500 ml
Tioglikolat = 5 g Commented [MH3]: 0,5 atau 5 gram?

2. Pembuatan sediaan Sediaan infus


infus amonium klorida amonium klorida.
di dalam LAF

3. Pembuatan media Media Tioglikolat


tioglikolat dengan cara cair.
melarutkan tioglikolat
sebanyak 5 gram Commented [MH4]: cek

dengan WFI 25 ml di
dalam erlenmeyer dan
dihomogenkan.
4. Dibagi ke dalam tiga Media tioglikolat
tabung reaksi sama cair di dalam
banyak dan ditutup tabung reaksi siap
dengan kapas serta untuk disterilisasi.
dibungkus dengan
aluminium foil dan
diikat dengan karet
gelang.

5. Sterilisasi media Media tioglikolat


tioglikolat dengan cair telah steril
autoklaf pada suhu
O Commented [MH5]: cek penulisan
121 c selama 30 menit.

6. Pemeriksaan kebocoran Sediaan infus


dilakukan dengan cara amonium klorida
memasukkan sediaan yang dibuat tidak
infus amonium klorida mengalami
yang telah jadi ke kebocoran
dalam larutan biru
metilen dan diamati.

7. Pemeriksaan sterilitas, Pengamatan hari


diambil secukupnya ke-1 yaitu tidak ada
sediaan infus dengan endapan.
mikro pipet, pengerjaan Pengamatan hari
dilakukan di dalam ke-2 yaitu ada
LAF, dimasukkan ke endapan
dalam tabung reaksi Pengamatan hari
yang telah berisi media ke-3 yaitu ada
tioglikolat, usahakan endapan
pengerjaan dekat
dengan bunsen, ditutup
dengan kapas dan
dibungkus dengan
aluminium foil.
Terakhir diinkubasi dan
diamati.

8. Pemeriksaan kejernihan Sediaan infus


dan warna dengan cara amonium klorida
mengamati sediaan agak jernih dan
secara visual berwarna putih
bening

9. Pemeriksaan pH, pH sediaan infus


dimasukkan pH meter amonium klorida
ke dalam sediaan dan yaitu 6,5
diamati pH yang ada.

10. Sediaan yang telah jadi Produk dalam


diberi label dan kemasan
dikemas dengan
kemasan sekunder

VI. PEMBAHASAN
Praktikum kali ini berjudul pembuatan sediaan steril volume besar amonium
klorida. Adapun tujuan dari praktikum kali ini adalah agar mahasiswa mampu
memahami dan terampil dalam pembuatan sediaan steril volume besar. Selain itu,
diharapkan mahasiswa dapat melakukan kontrol kualitas sediaan steril (evaluasi
sediaan).
Sediaan steril merupakan suatu sediaan yang bebas dari semua kontaminasi
serta pertumbuhan hama atau mikroorganisme yang memenuhi persyaratan fisika-
kimia. Contoh sediaan steril salah satunya yaitu infus. Infus dapat diartikan juga
sebagai larutan dalam jumlah besar terhitung mulai dari 100 mL yang diberikan
melalui intravena tetes demi tetes dengan bantuan peralatan yang cocok. Manfaat
pemasangan infus adalah dengan pemberian melalui intravena maka efek
terapeutik segera dapat tercapai karena transportasi / penghantaran obat ke organ
target berlangsung lebih cepat daripada melalui akses lainnya.
Percobaan ini dilakukan untuk membuat sediaan infus amonium klorida.
Berikut formulasi dari sediaan infus amonium klorida :
R/ Amonium klorida 0,5%
Na EDTA 0,2%
Dextrosa 1,58%
WFI ad 100 ml
Fungsi bahan dari formulasi di atas yaitu amonium klorida sebagai zat aktif.
Dextrosa sebagai zat pengisotonis. Na EDTA berfungsi sebagai angen pengkelat.
WFI sebagai pelarut. Tioglikolat berfungsi sebagai media pertumbuhan bakteri
untuk uji sterilitas. Amonium klorida digunakan untuk pengasaman urin dan
untuk memperbaiki alkalosis metabolik. Farmakodinamik amonium klorida ion
amonium diubah menjadi urea di hati sedangkan anion Cl- dibebaskan ke dalam
darah dan cairan ekstraseluler menyebabkan asidosis metabolik dan menurunkan
pH urine. Infus amonium klorida dibat dengan metode sterilisasi aseptis
(Anderson et al., 2002). Pemerian amonium klorida (NH4Cl) yaitu Tidak Commented [MH6]: cek

berwarna, tidak berbau, kristal atau massa kristal, berwarna putih, bubuk granul,
rasa asin, bersifat higroskopis dan memiliki kecenderungan untuk cacking.
Kelarutannya yaitu larut dalam air, asam klorida dan natrium klorida juga larut
dalam gliserin, sedikit larut dalam metanol, etanol. Hampir tidak larut dalam
aseton, eter, dan etil asetat. Pada suhu 338°C terurai seluruhnya membentuk
amonia dan asam klorida dengan pH antara 4,6 dan 6,0. Penyimpanan pada wadah
yang tertutup rapat, sejuk dan kering (Depkes RI, 1979).
Natrium EDTA (Na EDTA) dengan rumus molekul C10H12N2Na4O8 dan
berat molekul sebesar 380.20 memiliki pemerian yaitu bubuk kristal putih.
Kelarutannya yaitu larut dalam satu bagian air. Stabilitasnya yaitu meskipun
cukup stabil dalam keadaan padat tetapi lebih stabil daripada asam bebas, yang
decarboxylates jika dipanaskan di atas suhu 150°C. Dinatrium edetat dihidrat
kehilangan air kristal jika dipanaskan sampai 120°C. Edetat kalsium dinatrium
sedikit higroskopis dan harus dilindungi dari kelembaban. Larutan asam atau
garam edetat edetic dapat disterilkandengan autoklaf, dan harus disimpan dalam
wadah bebas alkali. Bahan ini berfungsi sebagai agen pengkelat yang tidak
kompatibel dengan agen pengoksidasi kuat, basa kuat, dan ion logam polivalen
seperti tembaga, paduan nikel, dan tembaga. Asam edetik dan disodium edetat
berperilaku sebagai asam lemah, merubah karbon dioksida dari karbonat dan
bereaksi dengan logam untuk membentuk hidrogen. Kompatibel lainnya termasuk
inaktivasi jenis tertentu insulin akibat khelasi seng, dan chelation. Kalsium
dinatrium edetat juga telah terbukti tidak sesuai dengan amfoterisin dan dengan
hidroklorida hydralazine di infus cairan (Rowe et al., 2009).
Dextrosa dengan rumus molekul C6H12O6 memiliki berat molekul sebesar
198,17. Pemeriannya yaitu kristal tidak berwarna atau kristal putih atau bubuk
granul, tidak berbau, berasa manis. Kelarutannya sedikit larut dalam etanol 95%
dan eter, larut dalam methanol (1:20) larut dalam air (1:1,1) pada suhu 25°C, larut
dalam air (1:0,8) pada suhu 30°C, larut dalam air (1:0,41) pada suhu 50°C, larut
dalam air (1:0,28) pada suhu 70°C, larut dalam air (1:0,18) pada suhu 90°C.
Bahan yang berfungsi sebagai agen tonisitas ini memiliki stabilitas yang baik pada
kondisi penyimpanan kering. Larutan encer dapat disterilisasi menggunakan
autoklaf. Pemanasan yag berlebih dapat mengakibatkan penurunan pH dan
karamelisasi larutan. Larutan dekstrosa tidak kompatibel dengan beberapa obat-
obatan seperti cyanocobalamin, kanamisin sulfat, natrium novobiocin, dan sodium
warfarin. Eritromisin gluceptate tidak stabil dalam larutan dekstrosa pada pH
kurang dari 5,05. Dekomposisi vitamin B-kompleks dapat terjadi jika menghangat
dengan dekstrosa. Dalam bentuk aldehida, dekstrosa dapat bereaksi dengan amina,
amida, asam amino, peptida, dan protein. Warna coklat dan dekomposisi terjadi
dengan alkalis kuat. Dekstrosa dapat menyebabkan pencoklatan tablet yang
mengandung amina (Reaksi Maillard) (Rowe et al., 2009).
Water for injection (WFI) dengan rumus molekul H2O memiliki berat
molekul sebesar 18,02. Pemeriannya yaitu cairan jernih, tidak berbau, tidak
berwarna, tidak berasa. Bahan ini dapat bercampur dengan pelarut polar lainnya.
Stabil disemua keadaan fisik (padat, cair, gas) dan berfungsi sebagai pelarut WFI
dapat bereaksi dengan obat dan berbagai eksipien yang rentan akan hidrolisis
(terjadi dekomposisi jika terdapat air atau kelembapan) pada peningkatan
temperatur. WFI bereaksi secara kuat dengan logam alkali dan bereaksi cepat
dengan logam alkali tanah dan oksidanya seperti kalsium oksida dan magnesium
oksida. WFI juga bisa bereaksi dengan garam anhidrat menjadi bentuk hidrat
(Rowe et al., 2009).
Prosedur kerja pertama yaitu pembuatan sediaan infus amonium klorida
diawali dengan menimbang dan menyiapkan Amonium klorida 2,5 mg, dextrosa 1
mg, Na EDTA 7.9 mg dan WFI ad 500 ml. Bahan-bahan ini digunakan untuk
membuat 5 botol inful amonium klorida, yang mana masin-masing botol berisi Commented [MH7]: cek

100ml infus amonium klorida. Selanjutnya dilarutkan amonium klorida dengan Commented [MH8]: spasi

WFI. Na EDTA dan dextrose jugan dilarutkan menggunakan WFI. Campur ketiga Commented [MH9]: cek

bahan tersebut dan tambahkan WFI hingga volume 500 ml. Kemudian diaduk
hingga homogen agar larut. Seluruh pengerjaan produksi dilakukan di LAF. Hasil
tersebut kemudian di bagi menjadi 5 bagian dan masing-masing dimasukkan Commented [MH10]: tidak pakai spasi

dalam botol 100 ml. Dilakukan pengujian IPC yang meliputi uji kebocoran botol,
uji kejernihan, uji pH, dan uji mikrobiologi (uji sterilitas). Terakhir beri label pada
botol infus dan kemas dengan kemsan sekunder.
Prosedur kerja kedua yaitu pembuatan media tioglikolat dengan cara
melarutkan tioglikolat sebanyak 5 gram dengan WFI 25 ml di dalam erlenmeyer
dan dihomogenkan. Selanjutnya dibagi ke dalam tiga tabung reaksi sama banyak.
Terakhir ditutup dengan kapas serta dibungkus dengan aluminium foil dan diikat
dengan karet gelang.
Prosedur kerja ketiga yaitu sterilisasi media tioglikolat dengan autoklaf.
Pertama-tama, media tioglikolat yang telah dibuat dimasukkan ke dalam autoklaf.
Kemudian dilakukan sterilisasi pada suhu 121Oc selama 30 menit. Commented [MH11]: cek
Prosedur kerja keempat yaitu pemeriksaan kebocoran dilakukan dengan cara
memasukkan sediaan infus amonium klorida yang telah jadi ke dalam larutan biru
metilen dan diamati. Apabila terjadi kebocoran maka akan tampak gelembung-
gelembung udara. Hasilnya yaitu sediaan infus amonium klorida yang dibuat tidak
mengalami kebocoran.
Prosedur kerja kelima yaitu pemeriksaan kejernihan dan warna. Diawali
dengan cara mengamati sediaan infus yang dibuat secara visual. Bisa dibantu
dengan menyinari wadah dari samping dengan latar belakang sehelai papan yang
separohnya di cat hitam dan separohnya di cat putih. Hasilnya yaitu sediaan infus
amonium klorida agak jernih dan berwarna putih bening.
Prosedur kerja keenam yaitu pemeriksaan pH. Selanjutnya dimasukkan pH
meter ke dalam sediaan dan diamati pH yang ada. Hasilnya yaitu pH sediaan infus
amonium klorida sebesar 6,5. Hal ini menunjukkan sediaan yg telah dibuat tidak
isohidris. Prosedur kerja terakhir yaitu pemeriksaan sterilitas, diambil secukupnya
sediaan infus dengan mikro pipet, pengerjaan dilakukan di dalam LAF. Kemudian
dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang telah berisi media tioglikolat, usahakan
pengerjaan dekat dengan bunsen, ditutup dengan kapas dan dibungkus dengan
aluminium foil. Terakhir diinkubasi dan diamati. Adapun hasil dari pengamatan
hari ke-1 yaitu tidak ada endapan. Pengamatan hari ke-2 yaitu ada endapan.
Pengamatan hari ke-3 yaitu ada endapan. Hal ini menunjukkan bahwa sediaan
yang telah dibuat tidak steril.
Hasil dari pengujian IPC, masih ada yang belum memenuhi syarat dari
sediaan infus. Adapun syarat-syarat infus, yaitu aman, tidak boleh menyebabkan
iritasi jaringan dan efek toksis. Jernih, berarti tidak ada partikel padat. Tidak
berwarna, kecuali obatnya memang berwarna. Isohidris, pH larutan sama dengan
darah dan cairan tubuh lain yakni 7,35-7,45. Isotonis, artinya mempunyai tekanan
osmosis yang sama dengan darah atau cairan tubuh yang lain tekanan osmosis
cairan tubuh seperti darah, air mata, cairan lumbai dengan tekanan osmosis larutan
NaCl 0,9 %. Harus steril, suatu bahan dinyatakan steril bila sama sekali bebas dari
mikroorganisme hidup dan patogen maupun non patogen, baik dalam bentuk
vegetatif maupun dalam bentuk tidak vegetatif (spora). Bebas pirogen, karena
cairan yang mengandung pirogen dapat menimbulkan demam. Pirogen adalah
senyawa kompleks polisakarida dimana mengandung radikal yang ada unsur N,
dan P. Selama radikal masih terikat, selama itu dapat menimbulkan demam dan
pirogen bersifat termostabil. Ketidaksesuaian hasil yang didapat dengan syarat
dari sediaan infus dapat dikarenakan adanya kesalahan atau ketidaktelitian dari
personil saat produksi. Selain itu, pelarut yang digunakan saat produksi bukan
water for injection tetapi menggunakan water for irrigation sehingga adanya
bakteri yang dapat tumbuh pada sediaan.
Tujuan pemasangan infus/terapi intravena adalah untuk mempertahankan
atau mengganti cairan tubuh yang hilang yang tidak dapat diberikan atau
dipertahankan melalui pemberian peroral. Mengoreksi dan mempertahankan
keseimbangan cairan dan elektrolit. Mengoreksi dan mempertahankan
keseimbangan asam-basa. Memberikan obat intravena. Pemasangan infus
merupakan media yang efektif untuk pemberian obat–obatan. Memberikan nutrisi
parenteral, dukungan nutrisi parenteral dapat diberikan melelui infus bilamana
tidak dapat diberikan melalui enteral (oral).

VII. KESIMPULAN
Kesimpulan dari percobaan ini adalah :
1. Sediaan steril merupakan suatu sediaan yang bebas dari semua kontaminasi
serta pertumbuhan hama atau mikroorganisme yang memenuhi persyaratan
fisika-kimia. Contoh sediaan steril salah satunya yaitu infus. Pada praktikum
kali ini membuat infus amonium klorida.
2. Pembuatan sediaan infus amonium klorida dengan metrtode sterilisasi
aseptis di dalam LAF.
3. Evaluasi sediaan infus yang dilakukan antara lain pemeriksaan kebocoran
dengan larutan biru metilen, pemeriksaan sterilitas dengan media tioglikolat,
pemeriksaan kejernihan dan warna secara visual, serta pemeriksaan pH.
4. Evaluasi yang dilakukan beberapa tidak memenuhi persyaratan seperti
pemeriksaan sterilitas dan pemeriksaan pH dikarenakan adanya kesalahan
atau ketidaktelitian dari personil saat produksi. Selain itu, pelarut yang
digunakan saat produksi bukan water for injection tetapi menggunakan
water for irrigation sehingga adanya bakteri yang dapat tumbuh pada
sediaan.
5. Sediaan infus amonium klorida yang dibuat tidak layak untuk diedarkan.
DAFTAR PUSTAKA

Anderson, P. O., J. E. Knoben & W. G. Troutman. 2002. 10th Hanbook Of


Clinical Drug Data. The MC Graw Hill Companies, USA.

Anief. 1993. Farmasetika. UGM Press, Yogyakarta.

Anief. 2008. Ilmu Meracik Obat. UGM Press, Yogyakarta.

Depkes RI. 1979. Farmakope Indonesia III. Departemen Kesehatan Republik


Indonesia, Jakarta.

Handayani, S. 2010. Buku Ajar Pelayanan Keluarga Berencana. Pustaka Rihama,


Yogyakarta.

Komaling, C. M., L. Kumaat & F. Onibala. 2014. Hubungan Lamanya


Pemasangan Infus (Intravena) dengan Kejadian Flebitis pada Pasiendi Irina
FBLU RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado. Ejournal Keperawatan. 2 :
1-6.

Nasif, H., M. Yuned & H. Muchtar. Kajian Penggunaan Obat Intravena di SMF
Penyakit Dalam RSUD DR. Achmad Mochtar Bukittinggi. Jurnal Sains dan
Teknologi Farmasi. 18 :17-27.

Potter, P. A. & Perry, A. G. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan. EGC,


Jakarta.

Priyambodo, B. 2007. Manajemen Farmasi Industri. Global Pustaka Utama,


Yogyakarta.

Rohani. 2016. Hubungan Lama Pemasangan Infus Dengan Terjadinya Plebitis di


RS Husada Jakarta Tahun 2015. Jurnal Ilmiah WIDYA. 4 : 1-8.

Rowe, R. C., P. J. Sheskey & S. C. Owen. 2009. Handbook Of Pharmacetical


Exipient 6th Edition. Pharmaceutical Press, London.

Syamsuni, H. A. 2006. Ilmu Resep. EGC, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai