Anda di halaman 1dari 36

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Menurut Farmakope Indonesia Edisi III, injeksi adalah sediaan steril berupa larutan,
emulsi, suspensi atau serbuk yang harus dilarutkan atau disuspensikan terlebih dahulu
sebelum digunakan, yang disuntikkan dengan cara merobek jaringan ke dalam kulit atau
melalui kulit ataumelalui selaput lendir.(FI.III.1979)
Sedangkan menurut Farmakope Indonesia Edisi IV, injeksi adalah injeksi yang
dikemas dalam wadah 100 mL atau kurang. Umumnya hanya larutan obat dalam air yang
bisa diberikan secara intravena. Suspensi tidak bisa diberikan karena berbahaya yang dapat
menyebabkan penyumbatan pada pembuluh darah kapiler.(FI.IV.1995)
Sediaan steril injeksi dapat berupa ampul, ataupun berupa vial. Injeksi vial adalah
salah satu bentuk sediaan steril yang umumnya digunakan pada dosis ganda dan memiliki
kapasitas atau volume 0,5 mL 100 mL. Injeksi vial pun dapat berupa takaran tunggal atau
ganda dimana digunakan untuk mewadahi serbuk bahan obat, larutan atau suspensi dengan
volume sebanyak 5 mL atau pun lebih. (Anonim.Penuntun Praktikum Farmasetika I.2011).

Sterilisasi adalah proses yang dirancang untuk menciptakan keadaan steril. Secara
tradisional keadaan steril adalah kondisi mutlak yang tercipta sebagai akibat penghancuran
dan penghilangan semua mikroorganisme hidup. Formulasi sediaan steril merupakan salah
satu bentuk sediaan farmasi yang paling penting banyak dipakai terutama saat pasien
dioperasi, diinfus, disuntik, mempunyai luka terbuka yang harus diobati dan sebagainya.
Semuanya membutuhkan kondisi steril karena pengobatan yang bersentuhan langsung
dengan sel tubuh, lapisan mukosa organ tubuh, dan dimasukkan langsung kedalam cairan
atau rongga tuubuh memungkinkan terjadinya infeksi bila obat tidak steril. Karena itu,
dibutuhkan sediaan obat yang steril dan juga dalam kondisi isohidris dan isotonis agar tidak
mengiritasi (Lachman, 1986;1254).

Produk steril adalah sediaan terapetis dalam bentuk terbagi bagi yang bebas dari
mikroorganisme hidup. Sediaan parenteral ini merupakan sediaan yang unik diantara bentuk
obat terbagi bagi, karena sediaan ini disuntikkan melalui kulit atau membran mukosa

1
kebagian dalam tubuh. Karena sediaan menggelakkan garis pertahanan pertama dari tubuh
yang paling efisien, yakni membran kulit dan mukosa, sediaan tersebut harus bebas dari
kontaminasi mikroba dan dari komponen toksis dan harus mempunyai tingkat kemurnian
tinggi dan luar biasa. Semua komponen dan proses yang terlibat dalam penyediaan produk ini
harus dipilih dan dirancang untuk menghilangkan semua jenis kontaminasi secara fisik, kimia
atau mikrobiologi (Lachman, 1989;1292).

Sediaan parenteral yang diberikan secara penyuntikan intravena, subkutan, dan


intramuscular merupakan rute pemberian obat yang kritis jika dibandingkan dengan
pemberian obat-obatan secara oral. Bentuk sediaan steril bisa berbagai bentuk, yaitu cair,
padat atau semi padat. Proses pembuatannya sama dengan sediaan non steril. Namun, dalam
pembuatan sediaan steril kita perlu mengetahui proses steriliasinya yang berkaitan dengan
stabilitas bahan aktif maupun bahan bahan tambahannya. Dengan demikian, dalam
pembuatan sediaan steril bekal pengetahuan tidak sekedar pengetahuan formulasi sediaan,
tetapi juga pemahaman kimia fisika yang berkaitan dengan stabilitas proses pembuatan,
sehingga menghasilkan sediaan yang dikehendaki (R. Voight, 1994;159). Oleh karena itu,
perlu dilaksanakan proses pembuatan sediaan steril berupa injeksi.

1.2 Tujuan Khusus

Untuk memenuhi penugasan kelompok yang diberikan oleh dosen pembimbing.

1.3 Tujuan Umum

1. Tujuan obat dibuat steril (seperti obat suntik) karena berhubungan langsung
dengan darah atau cairan tubuh dan jaringan tubuh yang lain dimana pertahanan
terhadap zat asing tidak selengkap yang berada di saluran cerna / gastrointestinal,
misalnya hati yang dapat berfungsi untuk menetralisir / menawarkan racun
(detoksikasi=detoksifikasi).
2. Diharapkan dengan steril dapat dihindari adanya infeksi sekunder. Dalam hal ini
tidak berlaku relatif steril atau setengah steril, hanya ada dua pilihan yaitu steril
dan tidak steril.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Injeksi
2.1.1 Pengertian Injeksi
Injeksi adalah sediaan steril berupa larutan, emulsi atau suspensi atau serbuk
yang harus dilarutkan atau disuspensikan lebih dahulu sebelum digunakan, yang
disuntikkan dengan cara merobek jaringan ke dalam kulit atau melalui kulit atau
selaput lendir.
Dalam FI.ed.IV, sediaan steril untuk kegunaan parenteral digolongkan
menjadi 5 jenis yang berbeda :
1. Sediaan berupa larutan dalam air/minyak/pelarut organik yang lain yang
digunakan untuk injeksi, ditandai dengan nama, Injeksi.
Dalam FI.ed.III disebut berupa Larutan. Misalnya :
Inj. Vit.C, pelarutnya aqua pro injection
Inj. Camphor oil , pelarutnya Olea neutralisata ad injection
Inj. Luminal, pelarutnya Sol Petit atau propilenglikol dan air
2. Sediaan padat kering (untuk dilarutkan) atau cairan pekat tidak mengandung
dapar, pengencer atau bahan tambahan lain dan larutan yang diperoleh
setelah penambahan pelarut yang sesuai memenuhi persyaratan injeksi.
Dalam FI.ed..III disebut berupa zat padat kering jika akan disuntikkan
ditambah zat pembawa yang cocok dan steril, hasilnya merupakan larutan
yang memenuhi syarat larutan injeksi. Misalnya: Inj. Dihydrostreptomycin
Sulfat steril.
3. Sediaan padat kering dengan bahan pembawa yang sesuai membentuk
larutan yang memenuhi persyaratan untuk suspensi
steril setelahpenambahan bahan pembawa yang sesuai. Dalam FI.ed.III
disebut berupa zat padat kering jika akan disuntikkan ditambah zat
pembawa yang cocok dan steril, hasilnya merupakan suspensi yang
memenuhi syarat suspensi steril. Misalnya : Inj. Procaine Penicilline Gsteril
untuk suspensi.

3
4. Sediaan berupa suspensi serbuk dalam medium cair yang sesuai dan tidak
disuntikkan secara intravena atau ke dalam saluran spinal. Dalam FI.ed.III
disebut Suspensi steril ( zat padat yang telah disuspensikan dalam pembawa
yang cocok dan steril).
Misalnya : Inj. Suspensi Hydrocortisone Acetat steril.
5. Sediaan berupa emulsi, mengandung satu atau lebih dapar, pengencer atau
bahan tambahan lain. Dalam FI.ed.III disebut bahan obat dalam pembawa
cair yang cocok, hasilnya merupakan emulsi yang memenuhi semua
persyaratan emulsi steril. Misalnya : Inj. Penicilline Oil untuk injeksi.

2.1.2 Rute-rute Injeksi


1. Parenteral Volume Kecil
a. Intradermal
Istilah intradermal (ID) berasal dari kata "intra" yang berarti lipis dan
"dermis" yang berarti sensitif, lapisan pembuluh darah dalam kulit.
Ketika sisi anatominya mempunyai derajat pembuluh darah tinggi,
pembuluh darah betul-betul kecil. Makanya penyerapan dari injeksi
disini lambat dan dibatasi dengan efek sistemik yang dapat
dibandingkan karena absorpsinya terbatas, maka penggunaannya biasa
untuk aksi lokal dalam kulit untuk obat yang sensitif atau untuk
menentukan sensitivitas terhadap mikroorganisme.
b. Intramuskular
Istilah intramuskular (IM) digunakan untuk injeksi ke dalam obat. Rute
intramuskular menyiapkan kecepatan aksi onset sedikit lebih normal
daripada rute intravena, tetapi lebih besar daripada rute subkutan.
c. Intravena
Istilah intravena (IV) berarti injeksi ke dalam vena. Ketika tidak ada
absorpsi, puncak konsentrasi dalam darah terjadi dengan segera, dan
efek yang diinginkan dari obat diperoleh hampir sekejap.
Merupakan larutan yang dapat mengandung cairan yang tidak
menimbulkan iritasi yang dapat bercampur dengan air, volume 1 ml
sampai 10 ml. Larutan ini biasanya isotonis dan hipertonis. Bila larutan
hipertonis maka disuntikkan perlahan-lahan. Larutan injeksi intravena
harus jernih betul, bebas dari endapan atau partikel padat, karena dapat

4
menyumbat kapiler dan menyebabkan kematian. Penggunaan injeksi
intravena tidak boleh mengandung bakterisida dan jika lebih dari 10 ml
harus bebas pirogen.
Pemberian obat intramuscular menghasilkan efek obat yang kurang
cepat, tetapi biasanya efek berlangsung lebih lama dari yang dihasilkan
oleh pemerian lewat IV.
d. Subkutan
Subkutan (SC) atau injeksi hipodermik diberikan di bawah kulit.
Parenteral diberikan dengan rute ini mempunyai perbandingan aksi
onset lambat dengan absorpsi sedikit daripada yang diberikan dengan
IV atau IM.
e. Rute intra-arterial
Disuntikkan langsung ke dalam arteri, digunakan untuk rute intravena
ketika aksi segera diinginkan dalam daerah perifer tubuh.
f. Intrakardial
Disuntikkan langsung ke dalam jantung, digunakan ketika kehidupan
terancam dalam keadaan darurat seperti gagal jantung.
g. Intraserebral
Injeksi ke dalam serebrum, digunakan khusus untuk aksi lokal
sebagaimana penggunaan fenol dalam pengobatan trigeminal
neuroligia.
h. Intraspinal
Injeksi ke dalam kanal spinal menghasilkan konsentrasi tinggi dari
obat dalam daerah lokal. Untuk pengobatan penyakit neoplastik seperti
leukemia.
i. Intraperitoneal dan intrapleural
Merupakan rute yang digunakan untuk pemberian berupa vaksin
rabies. Rute ini juga digunakan untuk pemberian larutan dialisis ginjal.
j. Intra-artikular
Injeksi yang digunakan untuk memasukkan bahan-bahan seperti obat
antiinflamasi secara langsung ke dalam sendi yang rusak atau teriritasi.

5
k. Intrasisternal dan peridual
Injeksi ke dalam sisterna intracranial dan durameter pada urat spinal.
Keduanya merupakan cara yang sulit dilakukan, dengan keadaan kritis
untuk injeksi.
l. Intrakutan (i.c). Injeksi yang dimasukkan secara langsung ke dalam
epidermis di bawah stratum corneum. Rute ini digunakan untuk
memberi volume kecil (0,1-0,5 ml) bahan-bahan diagnostik atau
vaksin.
m. Intratekal
Larutan yang digunakan untuk menginduksi spinal atau anestesi
lumbar oleh larutan injeksi ke dalam ruang subarachnoid. Cairan
serebrospinal biasanya diam pada mulanya untuk mencegah
peningkatan volume cairan dan pengaruh tekanan dalam serabut saraf
spinal. Volume 1-2 ml biasa digunakan. Berat jenis dari larutan dapat
diatur untuk membuat anestesi untuk bergerak atau turun dalam kanal
spinal, sesuai keadaan tubuh pasien.

2.1.3 Komposisi Injeksi


1. Bahan aktif
a. Kelarutan
Terutama data kelarutan dalam air dari zat aktif sangat diperlukan,
karena bentuk larutan air paling dipilih pada pembuaan sediaan steril.
Data kelarutan ini diperlukan untuk menentukan bentuk sediaan. Zat
aktif yang larut air membentuk sediaan larutan dalam air, zat aktif yang
larut minyak dibuat larutan dalam pembawa minyak. Jika zat aktif
tidak larut dalam air ada beberapa alternatif yang dapat diambil
sebelum memutuskan untuk membuat sediaan suspensi atau larutan
minyak yaitu dengan mencari bentuk garam dari zat aktif, melakukan
reaksi penggaraman, atau dicari bentuk kompleksnya.
b. pH stabilitas
pH stabilita adalah pH dimana penguraian zat aktif paling minimal,
sehingga diharapkan kerja farmakologinya optimal. pH stabilita
dicapai dengan menambahkan asam encer, basa lemah atau dapar.

6
c. Stabilitas zat aktif
Data ini membantu menentukan jenis sediaan, jenis bahan pembawa,
metoda sterilisasi atau cara pembuatan. Beberapa factor yang
mempengaruhi penguraian zat aktif adalah:
Oksigen (Oksidasi) Pada kasus ini, setelah air dididihkan
makaperlu dialiri gas nitrogen dan ditambahkan antioksidan.
Air (Hidrolisis) Jika zat aktif terurai oleh air dapat dipilih
alternatif:
Dibuat pH stabilitanya dengan penambahan asam/basa
atau buffer.
Memilih jenis pelarut dengan polaritas lebih rendah
daripada air, seperti campuran pelarut air-gliserin-
propilenglikol atau pelarut campur lainnya.
Dibuat dalam bentuk kering dan steril yang dilarutkan
saat disuntikkan.
Suhu Jika zat aktif tidak tahan panas dipilih metode sterilisasi
tahan panas, seperti filtrasi.
Cahaya Pengaruh cahaya matahari dihindari dengan
penggunaan wadah berwarna cokelat.
Tak tersatukannya (homogenitas) zat aktif.
Baik ditinjau dari segi kimia, fisika, atau farmakologi.
d. Dosis
Data ini menentukan tonisitas larutan dan cara pemberian. Rute
pemberian yang akan digunakan akan berpengaruh pada formulasi,
dalam hal: Volume maksimal sediaan yang dapat diberikan pada rute
tersebut. Pemilihan pelarut disesuaikan dengan rute pemberian.
Isotonisitas dari sediaan juga dipengaruhi oleh rute pemberian. Pada
larutan intravena isotonisitas menjadi kurang penting selama
pemberian dilakukan dengan perlahan untuk memberikan waktu
pengenceran dan adjust oleh darah. Injeksi intraspinal mutlak harus
isotonis.

7
2. Bahan tambahan
a. Antioksidan : Garam-garam sulfurdioksida, termasuk bisulfit,
metasulfit dan sulfit adalah yang paling umum digunakan sebagai
antioksidan. Selain itu digunakan :Asam askorbat, Sistein,
Monotiogliseril, Tokoferol.
b. Bahan antimikroba atau pengawet : Benzalkonium klorida, Benzil
alcohol, Klorobutanol, Metakreosol, Timerosol, Butil p-
hidroksibenzoat, Metil p-hidroksibenzoat, Propil p-hidroksibenzoat,
Fenol.
c. Buffer : Asetat, Sitrat, Fosfat.
d. Bahan pengkhelat : Garam etilendiamintetraasetat (EDTA).
e. Gas inert : Nitrogen dan Argon.
f. Bahan penambah kelarutan (Kosolven) : Etil alcohol, Gliserin,
Polietilen glikol, Propilen glikol, Lecithin.
g. Surfaktan : Polioksietilen dan Sorbitan monooleat.
h. Bahan pengisotonis : Dekstrosa dan NaCl
i. Bahan pelindung : Dekstrosa, Laktosa, Maltosa dan Albumin serum
manusia.
j. Bahan penyerbuk : Laktosa, Manitol, Sorbitol, Gliserin.

3. Bahan Pembawa
Bahan pembawa injeksi dapat berupa air maupun non air.Sebagian besar
produk parenteral menggunakan pembawa air. Hal tersebut dikarenakan
kompatibilitas air dengan jaringan tubuh, dapat digunakan untuk berbagai
rute pemberian, air mempunyai konstanta dielektrik tinggi sehingga lebih
mudah untuk melarutkan elektrolit yang terionisasi dan ikatan
hydrogen yang terjadi akan memfasilitasi pelarutan dari alkohol, aldehid,
keton, dan amin.
Syarat air untuk injeksi menurut USP :
a. Harus dibuat segar dan bebas pirogen.
b. Tidak mengndung lebih dari 10 ppm dari total zat padat.
c. pH antara 5-7

8
d. Tidak mengandung ion-ion klorida, sulfat, kalsium dan amonium,
karbondioksida, dan kandungan logam berat serta material organik
(tanin, lignin), partikel berada pada batas yang diperbolehkan.

2.1.4 Air Pro Injeksi


Aqua bidest dengan pH tertentu, tidak mengandung logam berat (timbal, Besi,
Tembaga), juga tidak boleh mengandung ion Ca, Cl, NO3, SO4, amonium,
NO2, CO3. Harus steril dan penggunaan diatas 10 ml harus bebas
pirogen. Aqua steril Pro Injeksi adalah air untuk injeksi yang disterilisasi dan
dikemas dengan cara yang sesuai, tidak mengandung bahan antimikroba atau
bahan tambahan lainnya.
1. Air Pro Injeksi Bebas CO2
CO2 mampu menguraikan garam natrium dari senyawa organic
seperti barbiturate dan sulfonamide kembali membentuk asam
lemahnya yang mengendap. Cara pembuatan : Mendidihkan air p.i
selama 20-30 menit lalu dialiri gas nitrogen sambil didinginkan.
2. Air Pro Injeksi bebas O2
Dibuat dengan mendidihkan air p.i selama 20-30 menit dan pada
saat pendinginannya dialiri gas nitrogen. Dipakai untuk melarutkan
zat aktif yang mudah teroksidasi, seperti apomorfin, klorfeniramin,
klorpromazin, ergometrin, ergotamine, metilergotamin,
proklorperazin, promazin, promesatin HCl, sulfamidin, turbokurarin.

3. Pembawa Non Air


Pembawa non air digunakan jika:
a. Zat aktif tidak larut dalam air
b. Zat aktif terurai dalam air
c. Diinginkan kerja depo dalam sediaan Syarat umum pembawa
non air .
d. Tidak toksik, tidak mengiritasi dan menyebabkan sensitisasi
e. Dapat tersatukan dengan zat aktif
f. Inert secara farmakologi
g. Stabil dalam kondisi di mana sediaan tersebut biasa digunakan

9
h. Viskositasnya harus sedemikian rupa sehingga dapat disuntikan
dengan muda
i. Harus tetap cair pada rentang suhu yang cukup lebar
j. Mempunyai titik didih yang tinggi sehingga dapat dilakukan
sterilisasi dengan panas
k. Dapat bercampur dengan air atau cairan tubuh

Tonisitas larutan sediaan injeksi :


1. Isotonis
Jika suatu larutan konsentrasinya sama besar dengan konsentrasi dalam
sel darah merah, sehingga tidak terjadi pertukaran cairan di antara
keduanya, maka larutan dikatakan isotoni (ekuivalen dengan larutan
0,9% NaCl).
2. Isoosmotik
Jika suatu larutan memiliki tekanan osmose sama dengan tekanan
osmose dalam serum darah, maka larutan dikatakan isoosmotik (0,9%
NaCl, 154 mmol Na+ dan 154 mmol Cl- per liter = 308 mmol per liter,
tekanan osmose 6,86). Pengukuran menggunakan alat osmometer
dengan kadar mol zat per liter larutan.
3. Hipotonis
Turunnya titik beku kecil, yaitu tekanan osmosenya lebih rendah dari
serum darah, sehingga menyebabkan air akan melintasi membran sel
darah merah yang semipermeabel memperbesar volume sel darah
merah dan menyebabkan peningkatan tekanan dalam sel. Tekanan yang
lebih besar menyebabkan pecahnya sel-sel darah merah. Disebut
Hemolisa.
4. Hipertonis
Turunnya titik beku besar, yaitu tekanan osmosenya lebih tinggi dari
serum darah merah, sehingga menyebabkan air keluar dari sel darah
merah melintasi membran semipermeabel dan mengakibatkan
terjadinya penciutan sel-sel darah merah, disebut plasmolisa.

10
2.1.5 Kelebihan dan Kekurangan Sediaan Injeksi
1. Keuntungan Injeksi
Respon fisiologis yang cepat dapat dicapai segera bila diperlukan, yang
menjadi pertimbangan utama dalam kondisi klinik seperti gagal
jantung, asma, shok.
Terapi parenteral diperlukan untukobat-obat yang tidak efektif secara
oral atau yang dapat dirusak oleh saluran pencernaan, seperti insulin,
hormon dan antibiotik.
Obat-obat untuk pasien yang tidak kooperatif, mual atau tidak sadar
harus diberikan secara injeksi.
Bila memungkinkan, terapi parenteral memberikan kontrol obat dari
ahli karena pasien harus kembali untuk pengobatan selanjutnya. Juga
dalam beberapa kasus, pasien tidak dapat menerima obat secara oral.
Penggunaan parenteral dapat menghasilkan efek lokal untuk obat bila
diinginkan seperti pada gigi dan anestesi.
Dalam kasus simana dinginkan aksi obat yang diperpanjang, bentuk
parenteral tersedia, termasuk injeksi steroid periode panjang secara
intra-artikular dan penggunaan penisilin periode panjang secara i.m.
Terapi parenteral dapat memperbaiki kerusakan serius pada
keseimbangan cairan dan elektrolit.
Bila makanan tidak dapat diberikan melalui mulut, nutrisi total
diharapkan dapat dipenuhi melalui rute parenteral.
Aksi obat biasanya lebih cepat.
Seluruh dosis obat digunakan.
Beberapa obat, seperti insulin dan heparin, secara lengkap tidak aktif
ketika diberikan secara oral, dan harus diberikan secara parenteral.
Beberapa obat mengiritasi ketika diberikan secara oral, tetapi dapat
ditoleransi ketika diberikan secara intravena, misalnya larutan kuat
dektrosa.
Jika pasien dalam keadaan hidrasi atau shok, pemberian intravena
dapat menyelamatkan hidupnya.

11
2. Kerugian Injeksi
Bentuk sediaan harus diberikan oleh orang yang terlatih dan
membutuhkan waktu yang lebih lama dibandingkan dengan pemberian
rute lain.
Pada pemberian parenteral dibutuhkan ketelitian yang cukup untuk
pengerjaan secara aseptik dari beberapa rasa sakit tidak dapat
dihindari.
Obat yang diberikan secara parenteral menjadi sulit untuk
mengembalikan efek fisiologisnya.
Yang terakhir, karena pada pemberian dan pengemasan, bentuk
sediaan parenteral lebih mahal dibandingkan metode rute yang lain.
Beberapa rasa sakit dapat terjadi seringkali tidak disukai oleh pasien,
terutama bila sulit untuk mendapatkan vena yang cocok untuk
pemakaian i.v.
Dalam beberapa kasus, dokter dan perawat dibutuhkan untuk
mengatur dosis.
Sekali digunakan, obat dengan segera menuju ke organ targetnya. Jika
pasien hipersensitivitas terhadap obat atau overdosis setelah
penggunaan, efeknya sulit untuk dikembalikan lagi.
Pemberian beberapa bahan melalui kulit membutuhkan perhatian
sebab udara atau mikroorganisme dapat masuk ke dalam tubuh. Efek
sampingnya dapat berupa reaksi phlebitis, pada bagian yang
diinjeksikan.

2.2 Kulit
2.2.1 Pengertian Kulit
Kulit adalah organ yang terletak paling luar dan membatasinya dari
lingkungan hidup manusia. Luas kulit orang dewasa 2m2 dengan berat kira-kira 16%
berat badan. Kulit merupakan organ yang esensial dan vital serta merupakan cermin
kesehatan dan kehidupan. Kulit juga sangat kompleks, elastis dan sensitive, bervariasi
pada keadaan iklim, umur, jenis kelamin, ras, dan juga bergantung pada lokasi tubuh.
Kulit mempunyai berbagai fungsi seperti sebagai perlindung, pengantar hama,
penyerap, indera perasa, dan fungsi pergetahan.

12
2.2.2 Anatomi kulit

Kulit merupakan pembungkus yang elastisk yang melindungi tubuh dari


pengaruh lingkungan. Kulit juga merupakan alat tubuh yang terberat dan terluas
ukurannya, yaitu 15% dari berat tubuh dan luasnya 1,50 1,75 m2 . Rata- rata tebal
kulit 1-2 mm. Paling tebal (6 mm) terdapat di telapak tangan dan kaki dan paling tipis
(0,5 mm) terdapat di penis.

Kulit terbagi atas tiga lapisan pokok, yaitu epidermis, dermis atau korium, dan
jaringan subkutan atau subkutis.

Gambar 1 : Lapisan-lapisan Kulit

2.2.3 Epidermis

Epidermis terbagi atas empat lapisan yaitu :


1. Lapisan Basal atau Stratum Germinativum
2. Lapisan Malpighi atau Stratum Spinosum
3. Lapisan Granular atau Sratum Granulosum
4. Lapisan Tanduk atau Stratum Korneum

Pada telapak tangan dan kaki terdapat lapisan tambahan di atas lapisan
granular yaitu Stratum Lusidium atau lapisan-lapisan jernih. Stratum Lusidium,
selnya pipih, bedanya dengan stratum granulosum ialah sel-selnya sudah banyak yang
kehilangan inti dan butir-butir sel telah menjadi jernih sekali dan tembus sinar. Dalam
lapisan terlihat seperti suatu pita yang bening, batas- batas sel sudah tidak begitu
terlihat, disebut stratum lusidium.

13
Lapisan basal atau germinativum, disebut stratum basal karena sel-selnya
terletak di bagian basal. Stratum germinativum menggantikan sel-sel yang di atasnya
dan merupakan sel-sel induk. Bentuknya silindris (tabung) dengan inti yang lonjong.
Di dalamnya terdapat butir-butir yang halus disebut butir melanin warna. Sel tersebut
disusun seperti pagar (palisade) di bagian bawah sel tersebut terdapat suatu membran
yang disebut membran basalis. Sel-sel basalis dengan membran basalis merupakan
batas terbawah dari epidermis dengan dermis. Ternyata batas ini tidak datar tetapi
bergelombang. Pada waktu kerium menonjol pada epidermis tonjolan ini disebut
papila kori (papila kulit), dan epidermis menonjol ke arah korium. Tonjolan ini
disebut Rete Ridges atau Rete Pegg (prosessus interpapilaris).

Lapisan Malpighi atau lapisan spinosum/akantosum, lapisan ini merupakan


lapisan yang paling tebal dan dapat mencapai 0,2 mm terdiri dari 5-8 lapisan. Sel
selnya disebut spinosum karena jika kita lihat di bawah mikroskop selselnya terdiri
dari sel yang bentuknya poligonal (banyak sudut) dan mempunyai tanduk (spina).
Disebut akantosum karena selselnya berduri. Ternyata spina atau tanduk tersebut
adalah hubungan antara sel yang lain disebut Interceluler Bridges atau jembatan
interseluler.

Lapisan granular atau stratum granulosum, stratum ini terdiri dari selsel pipih
seperti kumparan. Selsel tersebut terdapat hanya 2-3 lapis yang sejajar dengan
permukaan kulit. Dalam sitoplasma terdapat butirbutir yang disebut keratohiolin
yang merupakan fase dalam pembentukan keratin oleh karena banyaknya butirbutir
stratum granulosum. Stratum korneum, selnya sudah mati, tidak mempunyai inti sel
(inti selnya sudah mati) dan mengandung zat keratin.

Epidermis juga mengandung kelenjar ekrin, kelenjar apokrin, kelenjar


sebaseus, rambut dan kuku. Kelenjar keringat ada dua jenis, ekrin dan apokrin.
Fungsinya mengatur suhu tubuh, menyebabkan panas dilepaskan dengan cara
penguapan. Kelenjar ekrin terdapat di semua daerah di kulit, tetapi tidak terdapat pada
selaput lendir. Seluruhnya berjumlah antara 2 sampai 5 juta, yang terbanyak di telapak
tangan. Sekretnya cairan jernih, kirakira 99% mengandung klorida, asam laktat,
nitrogen, dan zat lain. Kelenjar apokrin adalah kelenjar keringat besar yang bermuara
ke folikel rambut. Tardapat di ketiak, daerah anogenital, puting susu, dan areola.
Kelenjar sebaseus terdapat di seluruh tubuh, kecuali di tapak tangan, tapak kaki, dan

14
punggung kaki. Terdapat banyak kulit kepala, muka, kening, dan dagu. Sekretnya
berupa sebum dan mengandung asam lemak, kolesterol, dan zat lain.

Rambut terdapat diseluruh tubuh, rambut tumbuh dari folikel rambut di


dalamnya epidermis. Folikel rambut dibatasi oleh epidermis sebelah atas, dasrnya
terdapat papil tempat rambut tumbuh. Akar berada di dalam folikel pada ujung paling
dalam dan bagian sebelah luar disebut batang rambut. Pada folikel rambut terdapat
otot polos kecil sebagai penegak rambut. Rambut terdiri dari rambut panjang di
kepala, pubis dan jenggot, rambut pendek dilubang hidung, liang telinga dan alis,
rambut bulu lanugo diseluruh tubuh, dan rambut seksual di pubis dan aksila (ketiak).

2.2.4 Dermis

Dermis merupakan lapisan kedua dari kulit. Batas dengan epidermis dilapisi
oleh membran basalis dan di sebelah bawah berbatasan dengan subkutis tetapi batas
ini tidak jelas hanya kita ambil sebagai patokan ialah mulainya terdapat sel lemak.
Dermis terdiri dari dua lapisan yaitu bagian atas, pars papilaris (stratum papilar) dan
bagian bawah, retikularis (stratum retikularis). Batas antara pars papilaris dan pars
retikularis adalah bagian bawahnya sampai ke subkutis. baik pars papilaris maupun
pars retikularis terdiri dari jaringan ikat longgar yang tersusun dari serabutserabut
yaitu serabut kolagen, serabut elastis dan serabut retikulus. Serabut ini saling
beranyaman dan masingmasing mempunyai tugas yang berbeda. Serabut kolagen,
untuk memberikan kekuatan kepada kulit, dan retikulus, terdapat terutama di sekitar
kelenjar dan folikel rambut dan memberikan kekuatn pada alai tersebut.

2.2.5 Subkutis

Subkutis terdiri dari kumpulankumpulan selsel lemak dan di antara


gerombolan ini berjalan serabutserabut jaringan ikat dermis. Selsel lemak ini
bentuknya bulat dengan intinya terdesak ke pinggir, sehingga membentuk seperti
cincin. Lapisan lemak ini disebut penikulus adiposus yang tebalnya tidak sama pada
tiaptiap tempat dan juga pembagian antar lakilaki dan perempuan tidak sama
(berlainan). Guna penikulus adiposus adalah sebagai shock braker atau pegas bila
tekanan trauma mekanis yang menimpa pada kulit, isolator panas atau untuk
mempertahankan suhu, penimbunan kalori, dan tambahan untuk kecantikan tubuh. Di
bawah subkurtis terdapat selaput otot kemudian baru terdapat otot.

15
2.2.6 Fisiologi Kulit

Kulit merupakan organ paling luas permukaannya yang membungkus seluruh


bagian luar tubuh sehingga kulit sebagai pelindung tubuh terhadap bahaya bahan
kimia, cahaya matahari mengandung sinar ultraviolet dan melindungi terhadap
mikroorganisme serta menjaga keseimbangan tubuh terhadap lingkungan. Kulit
merupakan indikator bagi seseorang untuk memperoleh kesan umum dengan melihat
perubahan yang terjadi pada kulit.

Perasaan pada kulit adalah perasaan reseptornya yang berada pada kulit. Pada
organ sensorik kulit terdapat 4 perasaan yaitu rasa raba/tekan, dingin, panas, dan sakit.
Kulit mengandung berbagai jenis ujung sensorik termasuk ujung saraf telanjang atau
tidak bermielin. Pelebaran ujung saraf sensorik terminal dan ujung yang berselubung
ditemukan pada jaringan ikat fibrosa dalam. Saraf sensorik berakhir sekitar folikel
rambut, tetapi tidak ada ujung yang melebaratau berselubung untuk persarafan kulit.

2.2.7 Fungsi kulit

Kulit mempunyai fungsi bermacam-macam untuk menyesuaikan dengan


lingkungan. Adapun fungsi utama kulit:

a. Fungsi proteksi
Kulit menjaga bagian dalam tubuh terhadap gangguan fisik atau mekanik
(tarikan, gesekan, dan tekanan), gangguan kimia ( zat-zat kimia yang
iritan), dan gagguan bersifat panas (radiasi, sinar ultraviolet), dan
gangguan infeksi luar.
b. Fungsi absorpsi
Kulit yang sehat tidak mudah menyerap air, larutan dan benda padat
tetapi cairan yang mudah menguap lebih mudah diserap, begitupun yang
larut lemak. Permeabilitas kulit terhadap O2, CO2 dan uap air
memungkinkan kulit ikut mengambil bagian pada fungsi respirasi.
Kemampuan absorpsi kulit dipengaruhi oleh tebal tipisnya kulit, hidrasi,
kelembaban, metabolisme dan jenis vehikulum.
c. Fungsi ekskresi
Kelenjar kulit mengeluarkan zat-zat yang tidak berguna lagi atau sisa
metabolisme dalam tubuh berupa NaCl, urea, asam urat, dan amonia.

16
d. Fungsi persepsi
Kulit mengandung ujung-ujung saraf sensorik di dermis dan subkutis
sehingga kulit mampu mengenali rangsangan yang diberikan.
Rangsangan panas diperankan oleh badan ruffini di dermis dan subkutis,
rangsangan dingin diperankan oleh badan krause yang terletak di dermis,
rangsangan rabaan diperankan oleh badan meissner yang terletak di
papila dermis, dan rangsangan tekanan diperankan oleh badan paccini di
epidermis.
e. Fungsi pengaturan suhu tubuh (termoregulasi)
Kulit melakukan fungsi ini dengan cara mengekskresikan keringat dan
mengerutkan (otot berkontraksi) pembuluh darah kulit. Di waktu suhu
dingin, peredaran darah di kulit berkurang guna mempertahankan suhu
badan. Pada waktu suhu panas, peredaran darah di kulit meningkat dan
terjadi penguapan keringat dari kelenjar keringat sehingga suhu tubuh
dapat dijaga tidak terlalu panas.
f. Fungsi pembentukan pigmen
Sel pembentuk pigmen (melanosit) terletak di lapisan basal dan sel ini
berasal dari rigi saraf. Jumlah melanosit dan jumlah serta besarnya
butiran pigmen (melanosomes) menentukan warna kulit ras maupun
individu.

2.3 Piridoksin HCL


2.3.1 Pengertian

Piridoksina (vitamin B6) termasuk dalam kelompok vitamin B kompleks.


Senyawa ini bersifat larut dalam air dan berperan sebagai koenzim untuk membantu
memperlancar proses metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein yang berujung
pada pelepasan energi. Vitamin ini juga berperan vital dalam metabolisme asam
amino dan sistem imun tubuh. Terdapat 6 bentuk umum yang sering dijumpai,
yaitu piridoksal (PL), piridoksina (PN), piridoksamine (PM), piridoksal 5'-
fosfat (PLP), piridoksin 5'-fosfat (PNP), dan pridoksamin 5'-fosfat (PNP). Sumber
utama vitamin ini adalah sayur-sayuran.

17
2.3.2 Peranan Bagi Tubuh
Piridoksina berperan sangat penting dalam metabolisme asam amino di dalam
tubuh. Dengan bantuan piridoksina, asam amino dapat diserap tubuh di usus
penyerapan dan digunakan untuk berbagai keperluan di dalam tubuh. Vitamin ini juga
turut bekerja dalam pemecahan protein dan sintesis asam amino. Selain itu,
pembentukan senyawa histamin, serotonin, dopamin, dan adrenalin juga sangat
tergantung pada keberadaan vitamin ini. Serotonin yang dibentuk akan digunakan
untuk menjaga sistem imun yang baik. Piridoksina juga mampu menyembuhkan PMS
pada wanita.

2.3.3 Konsumsi
Konsumsi vitamin B6 yang cukup akan sangat membantu tubuh menjalankan
fungsi dan metabolisme yang baik. Peranannya yang besar menjadikan vitamin ini
bersifat esensial bagi tubuh manusia. Bila tidak terpenuhi maka tubuh akan
mengalami berbagai gangguan kesehatan. Beberapa makanan yang dapat digunakan
sebagai sumber vitamin ini adalah biji bunga matahari,
ikan, telur, daging, gandum, roti, sereal, sayur bayam, wortel, dan buah pisang.
Karena bersifat sensitif cahaya dan panas, vitamin B6 seringkali rusak selama proses
pemasakan.

2.3.4 Defisiensi

Defisiensi piridoksina pada umumnya jarang terjadi karena vitamin ini tersebar
di banyak sumber makanan. Jika terjadi kasus defisiensi, hal ini biasanya dikarenakan
oleh adanya gangguan sistem penyerapan nutrisi di saluran pencernaan. Kejadian ini
banyak terjadi pada pecandu alkohol. Mekanisme lain yang dapat terjadi adalah bila
penderita banyak mengonsumsi obat tertentu, seperti isoniazid, hidrolazin,
dan penisilamin yang mampu menonaktifkan kerja vitamin ini. Gejala yang
ditimbulkan antara lain dermatitis, bibir pecah-pecah, peradangan mulut, sirosis,
dan insomnia.

2.4 Sterilisasi
2.4.1 Pengertian
Sterilisasi adalah proses yang dirancang untuk menciptakan keadaan steril.
Secara tradisional keadaan steril adalah kondisi mutlak yang tercipta sebagai akibat

18
penghancuran dan penghilangan semua mikroorganisme hidup. Konsep ini
menyatakan bahwa steril adalah istilah yang mempunyai kondisi konotasi relatif, dan
kemungkinan menciptakan kondisi mutlak bebas dari mikrorganisme hanya dapat
diduga atas dapat proyeksi kinetis angka kematian mikroba.
Produk steril adalah sediaan terapetis dalam bentuk terbagi-bagi yang bebas
dari mikroorganisme hidup. Sediaan parenteral ini merupakan sediaan yang unik
diantara bentuk obat terbagi-bagi, karena sediaan ini disuntikkan melalui kulit atau
membran mukosa kebagian dalam tubuh. Karena sediaan mengelakkan garis
pertahanan pertama dari tubuh yang paling efisien, yakni membran kulit dan mukosa,
sediaan tersebut harus bebas dari kontaminasi mikroba dan dari komponen toksik dan
harus mempunyai tingkat kemurniaan tinggi dan luar biasa.

2.4.2 Syarat Sediaan Steril


1. Efikasi mencakup kemanjuran suatu obat yang dalam terapi termasuk
efektivitas obat dalam terapi.
2. Safety : keamanan ini antara lain meliputi: eamanan dosis obat dalam
terapi, memberikan efek terapi sesuai dengan yang diinginkan dan tidak
memberikan efek toksik atau efek samping yang tidak diinginkan.
3. Aceeptable : maksudnya disukai oleh pasien. Jadi obat perlu dibuat
sedemikian menarik dan mudah dipakai konsumen.
4. Sediaan obat harus jernih. Jernih maksudnya tidak ada partikel yang tidak
larut dalam sediaan tersebut. Jadi, meskipun sediaan berearna, tetap
terlihat jernih (tidak keruh).
5. Tidak berwarna. Maksudnya sediaan larutan bisa saja berwarna, namun
warna larutan sama dengan warna zat aktifnya sehingga tidak ada
campuran warna lain dalam sediaan itu.
6. Bebas dari partikel asing. Partikel asing; partikel yang bukan penyusun
obat. Sumber partikel bisa berasal dari: air, bahan kimia, personil yang
bekerja, seratr dari alat/pakaian personil, alat-alat, lingkungan, pengemas
(gelas, plastik).
7. Keseragaman volume/berat. Terutama untuk sediaan solid steril.
8. Memenuhi uji kebocoran. Terutama untuk injeksi yang dikemas dalam
ampul. Uji kebocoran dapat dilakukan dengan:
Uji dengan larutan warna (dye bath test)
19
Metode penarikan vakum ganda (the double vacuum pull method)
9. Stabil. Artinya sediaan tidak mengalami degradasi fisika. Misal jika
bentuk sediaan larutan maka sediaan tersebut tetap berada dalam bentuk
larutan (bukan suspensi). Sifat stabil ini berkaitan dengan formulasi.
Ketidakstabilan dapat dilihat dari:
Terjadi perubahan warna. Contoh: larutan adrenalin yang awalnya
berwarna jernih karena teroksidasi akan menjadi merah karena
terbentuk adenokrom.
Terjadi pengendapan. Contoh: injeksi aminophilin dibuat dengan
air bebas CO2, karena jika tidak bebas CO2 maka akan terbewntuk
theopilin yang kelarutannya kecil dalam air sehingga
kanmengendap. Akibatnya dosis menjadi berkurang.

2.4.3 Persyaratan Dalam Larutan Injeksi


1. Kerja optimal dan sifat tersatukan dari larutan obat yang diberikan secara
parenteral hanya akan diperoleh jika persyaratan berikut terpenuhi
2. Sesuainya kandungan bahan obat yang dinyatakan di dalam etiket dan
yang ada dalam sediaan, tidak terjadi penggunaan efek selama
penyimpanan akibat perusakan obat secara kimia dan sebagainya.
3. Penggunaan wadah yang cocok, yang tidak hanya memungkinkan sediaan
tetap steril tetapi juga mencegah terjadinya antaraksi antarbahan obat dan
material dinding wadah.
4. Tersatukan tanpa terjadinya reaksi. Untuk beberapa faktor yang paling
menentukan: bebas kuman, bebas pirogen, bebas pelarut yang secara
fisiologis, isotonis, isohidris, bebas bahan melayang.

2.4.4 Metode Sterilisasi


1. Sterilisasi uap (Lembab panas) :
Sterilisasi uap dilakukan dalam autoklaf dan menggunakan uap air dengan
tekanan. Cara ini dilakukan sebagai cara yang terpillih pada hampir semua
keadaan di mana produk mampu diperlakukan seperti itu. Tekanan uap air
yang lazim, temperatur yang dapat dicapai dengan tekanan tersebut, dan

20
penetapan waktu yang dibutuhkan untuk sterilisasi sesudah sistem
mencapai temperatur yang ditentukan, adalah sebagai berikut :

Tekanan 10 pound (115,5oC), untuk 30 menit


Tekanan 15 pound (121,5oC), untuk 20 menit
Tekanan 20 pound (126,5oC), untuk 15 menit

Dapat dilihat, makin besar tekanan yang dipergunakan makin tinggi


temperatur yang dicapa dan makin pendek waktu yang diutuhkan untuk
sterilisasi. USP menentukan sterilisasi uap sebagai penerapan uap jenuh di
bawah tekanan paling kurang 15 menit dengan temperatur minimal 121oC
dalam jaringan tekanan. Bentuk yang paling sederhana dari autoklaf
adalah home pressure cooker.
A. Uap panas pada 100oC
Uap panas pada suhu 100oC dapat digunakan dalam bentuk uap
mengalir atau air mendidih. Metode ini mempunyai keterbatasan
penggunaan uap mengalir dilakukan dengan proses sterilisasi
bertingkat untuk mensterilkan media kultur. Metode ini jarang
memuaskan untuk larutan yang mengandung bahan-bahan karena
spora sering gagal tumbuh dibawah kondisi ini, bentuk vegetatif
dari kebanyakan bakteri yang tidak membentuk spora. Temperatur
suhu titik mati bervariasi, tetapi tidak ada bentuk non spora yang
bertahan.
B. Pemanasan dengan bakterisida
Ini menghadirkan aplikasi khusus dari pada uap pans pada 100oC.
adanya bakterisida sangat meningkatkan efektifitas metode ini.
Metode ini digunakan untuk larutan berair atau suspensi obat yang
tidak stabil pada temperatur yang biasa diterapkan pada autoklaf.
Larutan yang ditumbuhkan bakterisida ini dpanaskan dalam wadah
bersegel pada suhu 100oC selama 20 menit dalam pensterilisasi uap
atau penangas air. Bakterisida yang dapat digunakan termasuk
0,5%, fenol, 0,5% klorbutanol, 0,2% kresol atau 0.002% fenil
merkuri nitrat saat larutan dosis tunggal lebih dari 15 ml larutan

21
obat untuk injeksi intratekal atau gastro intestinal sehingga tidak
dibuat dengan metode ini.
C. Air mendidih
Penangas air mendidih mempunyai kegunaan yang sangat banyak
dalam sterilisasi jarum spoit, penutup karet, penutup dan alat-alat
bedah. Bahan-bahan ini harus benar-benar tertutupi oleh air
mendidih dan harus mendidih paling kurang 20 menit. Setelah
sterilisasi bahan-bahan dipindahkan dan air dengan pinset yang
telah disterilisasi menggunakan pemijaran. Untuk menigkatkan
efisiensi pensterilan dari air, 5 % fenol, 1-2% Na-carbonat atau 2-
3% larutan kresol tersaponifikasi yang menghambat kondisi bahan-
bahan logam.

2. Sterilisasi panas kering


Sterilisasi panas kering biasanya dilakukan dengan oven pensteril yang
dirancang khusus untuk tujuan itu. Sterilisasi panas kering, biasanya
ditetapkan pada temperatur 160o 170oC dengan waktu tidak kurang dari 2
jam. Rentang suhu khas yang dapat diterima di dalam bejana sterilisasi
kosong adalah lebih kurang 15oC, jika alat strilisasi beroperasi pada suhu
tidak kurang dari 250oC.
Sterilisasi panas kering umumnya digunakan untuk senyawa senyawa
yang tidak efektif disterilkan dengan uap air panas. Senyawa senyawa
tersebut meliputi minyak lemak, gliserin, berbagai produk minyak tanah
seperti petrolatum, petrolatum cair (minyak mineral), paraffin dan berbagai
serbuk yang stabil oleh pemanasan seperti ZnO.
a. Udara Panas Oven
Bahan yang karena karakteristik fisikanya tidak dapat disterilisasi
dengan uap destilasi dalam udara panas-oven. Yang termasuk dalam
bahan ini adalah minyak lemak, paraffin, petrolatum cair, gliserin,
propilen glikol.
Selama pemanasan kering, mikroorganisme dibunuh oleh proses
oksidasi. Ini berlawanan dengan penyebab kematian oleh koagulasi
protein pada sel bakteri yang terjadi dengan sterilisasi uap panas.
Pada umumnya suhu yang lebih tinggi dan waktu pemaparan yang

22
dibutuhkan saat proses dilakukan dengan uap di bawah tekanan. Saat
sterilisasi di bawah uap panas dipaparkan pada suhu 121C selama 12
menit adalah efektif. Sterilisasi panas kering membutuhkan
pemaparan pada suhu 150C sampai 170C selama 1-4 jam.
Beberapa waktu dan suhu yang umum digunakan pada oven :
170C (340 F) sampai 1 jam
160C (320 F) sampai 2 jam
150C (300 F) sampai 2,5 jam
140C (285 F) sampai 3 jam
b. Minyak dan penangas lain
Bahan kimia yang stabil dalam ampul bersegel dapat disterilisasi
dengan mencelupkannya, dalam penangas yang berisi minyak mineral
pada suhu 1620C. larutan jenuh panas dari natrium atau ammonia
klorida dapat juga digunakan sebagai pensterilisasi. Ini merupakan
metode yang mensterilisasi alat-alat bedah. Minyak dikatakan bereaksi
sebagai lubrikan, untuk menjaga alat tetap tajam, dan untuk
memelihara cat penutup.
c. Pemijaran langsung
Pemijaran langsung digunakan untuk mensterilkan spatula logam,
batang gelas, filter logam bekerfield dan filter bakteri lainnya. Mulut
botol, vial, dan labu ukur, gunting, jarum logam dan kawat, dan alat-
alat lain yang tidak hancur dengan pemijaran langsung. Papan salep,
lumping dan alu dapat disterilisasi dengan metode ini.

3. Sterilisasi dengan penyaringan


Sterilisasi dengan penyaringan tergantung pada penghilangan mikroba
secara fisik dengan adsorbsi pada media penyaring atau dengan makanisme
penyaringan, digunakan untuk sterilisasi larutan yang tidak tahan panas.

4. Sterilisasi gas
Beberapa senyawa yang tidak tahan terhadap panas dan uap dapat
disterilkan dengan baik dengan memaparkan gas etilen oksida tau propilen
oksida bila dibandingkan dengan cara cara lain. Keburukan dari etilen

23
oksida adalah sifatnya yang sangat mudah terbakar, walaupun sudah
dicampur dengan gas inert yang sesuai, bersifat mutagenik, dan
kemungkinan adanya residu toksik di dalam bahan yang disterilkan,
terutama yang mengandung ion klorida.

5. Sterilisasi dengan radiasi pengionan


Teknik teknik yang disediakan untuk sterilisasi beberapa jenis sediaan
sediaan farmasi dengan sinar gama dan sinar sinar katoda, tetap
penggunaan tehnik tehnik ini terbatas karena memerlukan peralatan yang
sangat khusus dan pengaruh pengaruh radiasi pada produk produk dan
wadah wadah. Keunggulan sterilisasi iradiasi meliputi reaktivitas kimia
rendah, residu rendah yang dapat diukur, dan kenyataan yang
membuktikan bahwa variabel yang dikendalikan lebih sedikit. Ada 2 jenis
radiasi ion yang digunakan, yaitu disintegrasi radioaktif dari radioisotop
(radiasi gamma) dan radiasi berkas elektron.

Secara umum ada 2 peosedur pembuatan sediaan steril yaitu :

1. Cara sterilisasi akhir


Cara ini merupakan cara sterilisasi umum dan paling banyak digunakan
dalam pembuatan sediaan steril. Zat aktif harus stabil dengan adanya
molekul air dan suhu sterilisasi. Dengan cara ini sediaan disterilkan pada
tahap terakhir pembuatan sediaan. Semua alat setelah lubang-lubangnya
ditutup dengan kertas perkamen, dapat langsung digunakan tanpa perlu
disterilkan terlebih dahulu.
2. Cara aseptis
Cara ini terbatas penggunaannya pada sediaan yang mengandung zat aktif
peka suhu tinggi dan dapat mengakibatkan penurunan kerja
farmakologinya. Antibiotik dan bebrapa hormon tertentu merupakan zat
aktif yang sebaiknya diracik secara aseptis. Cara aseptis bukanlah suatu
cara sterilisasi melainkan suatu cara untuk memperoleh sediaan steril
dengan mencegah kontaminasi jasad renik dalam sediaan.

24
BAB III

FORMULASI

3.1 Preformulasi
3.1.1 Piridoksin HCL
Rumus molekul : C8H11NO8.HCL

Pemerian : Hablur putih atau tidak berwarna, atau serbuk hablur


putih, tidak berbau, rasa asin.
Kelarutan : Mudah larut dalam air, sukar larut dalam etanol (95%)
P, praktis tidak larut dalam eter.
Dosis : 100 mg/mL (10 mL, 30 mL)
Khasiat : Pengobatan dan pencegahan defisiensi Vitamin B6
Ph : 2 3,8
Stabilitas : Stabilitas dipengaruhi oleh beberapa faktor termasuk
konsentrasi, pH, temperatur. Terurai oleh cahaya.
OTT : larutan alkalin, garam besi dan larutan pengoksida.
Wadah : Simpan dalam tempat kedap udara
Penyimpanan : Lindungi larutan terkonstitusi dari pembekuan.

3.1.2 Aqua Pro Injeksi

Rumus Molekul : H2O


Berat Molekul : 18,02
Fungsi : Sebagai bahan pembawa sediaan iv
Pemerian : Cairan jernih / tidak berwarna, tidak berbau, tidak
berasa
Kelarutan : Dapat bercampur dengan pelarut polar dan elektrolit
OTT : Dalam sediaan farmasi, air dapat bereaksi dengan obat
dan zat tambahan lainnya yangmudah terhidrolisis
(mudah terurai dengan adanya air atau kelembaban).

25
Stabilitas : Stabil secara kimia dalam bentuk fisika bagian dengan
cairan uap, air stabil dalam setiap keadaan (es, cairan,
uap panas).
Wadah : Dalam wadah tertutup kedap, disimpan dalam wadah
tertutup kapada berlemak, harus digunakan dalam
waktu 30 hari setelah pembuatan.

3.1.3 Natrium Klorida


Rumus Molekul : NaCl
Pemerian : Hablur heksahedral tidak berwarna atau serbuk hablur
putih; tidak berbau; rasa asin.
Kelarutan : Larut dalam 2,8 bagian air, dalam 2,7 bagian air
mendidih dan dalam lebih kurang 10 bagian gliserol P;
sukar larut dalam etanol (95%) P.
Titik leleh : 801 C (1074 K)
Titik didih : 1465 C (1738 K)
Penyimpanan : dalam wadah tertutup baik.
Kegunaan : sumber ion klorida dan ion natrium.
OTT : larutan natrium klorida bersifat korosif dengan besi;
membentuk endapan bila bereaksi dengan perak; garam
merkuri; agen oksidasi kuat pembebas klorine dari
larutan asam sodium klorida; kelarutan pengawet
nipagin menurun dalam larutan sodium klorida.
Stabilitas : larutan sodium klorida stabil tetapi dapat
menyebabkan perpecahan partikel kaca dari tipe tertentu
wadah kaca. Larutan cair ini dapat disterilisasi dengan
cara autoklaf atau filtrasi. Dalam bentuk padatan stabil
dan harus disimpan dalam wadah tertutup rapat, sejuk
dan tempat kering.

26
3.2 Formulasi
3.2.1 Formulasi Piridoksin HCL
Komposisi : Tiap ml mengandung

Vitamin B6 50 mg

Disuspensikan dalam aqua pi add 1 ml

3.2.2 Prosedur Kerja

1. Bahan dan Alat

Bahan :

1. Piridoksin HCL
2. Aqua pro injeksi

Alat
1. Gelas ukur
2. Erlenmeyer
3. Spatula
4. Beaker glass
5. Corong kaca
6. Kertas saring
7. Botol/ampul
8. Pipet
9. Karet pipet
10. Pinset
11. Spuit
12. Timbangan

27
Persyaratan sediaan parenteral (termasuk injeksi)
1. Sesuai antara kandungan bahan obat yang ada didalam sediaan
dengan pernyataan tertulis pada etiket dan tidak terjadi pengurangan
kualitas selama penyimpanan akibat kerusakan obat secara kimiawi
dan sebaginya.
2. Penggunaan wadah yang cocok, sehingga tidak hanya
memungkinkan sediaan tetap steril, tetapi juga mencegah terjadinya
interaksi antara bahan obat dengan material dinding wadah.
3. Tersatukan tanpa terjadi reaksi
4. Bebas kuman
5. Bebas pirogen
6. Isotonis
7. Isohidris
8. Bebas partikel melayang

Tonisitas metode ekivalen nacl


Isohidris : pH sediaan diusahakan mendekati pH darah yaitu 7,4
akan tetapi larutan vitamin B6 stabil pada pH lebih kurang 3 dan dalam
bentuk sediaan injeksi stabil pada pH 2,0 3,8 maka dipakai pH stabilitas
zat aktif yaitu sekitar 2,0 3,8.

Alasan-alasan :
Zat aktif larut dalam air sehingga dapat dipakai sebagai sediaan
parenteral volume kecil karena akan dibuat sediaan injeksi dan
larutan bersifat larutan sejati.
IM karena pemberian secara IM merupakan pemberian yang tepat
untuk sdiaan kerja diperlambat yang dibuat dengan pembawa air.
Dan pemberian secara IM digunakan untuk larutan < 3ml.
Autoklaf
Filtrasi autoklaf larutan disterilkan dengan cara autoklaf 115-116C
selama 30 menit. Tidak harus cara sterilisasi dengan filtrasi karena
tidak ada data kestabilan pada suhu 115-116C.

33
Tetap memakai formula pada fornas dan tidak menambah zat tambahan lain
seperti :

Zat pengawet : Karena sediaan ditujukan untuk single doses maka


tidak diperlukan zat pengawet, pengawet juga tidak diperlukan
karena sediaan dilakukan sterilisasi akhir.
Antioksidan digunakan untuk melindungi zat yang peka terhadap
oksidasi, tetapi vitamin B6 tidak terlalu peka terhadp oksidasi
sehigga tidak diperlukan antioksidan hanya pada penyimpanannya
diletakkan pada wadah berwarna gelap.
Pengatur pH (dapar) : Tujuan digunakan untuk meningkatkan
stabilitas obat, mengurangi rasa nyeri, iritasi, nekrosis saat
penggunaannya, menghambat pertumbuhan mikroorganisme.

2. Perhitungan bahan :

Akan dibuat sediaan ampul 1 ml sebanyak 10 ampul, maka volume berlebih


yang akan dimasukkan ke dalam ampul adalah 1,15 mL

Volume yang dibuat = (n + 2)V + (2 x 3)

= (10 + 2) 1,15 mL + (2 x 3)

= (12) 1,15 mL + 6

= 13,8 + 6

= 19, 8 mL ~ 20 mL

Penimbangan Bahan = ( 50 mg/1 mL) x 20 mL

= 1000 mg / 1 g

Perhitungan Isotonis metode ekivalen NaCL 0,9% = kesetaraan


piridoksin dengan NaCL adalah 0,36

= 1 g x 0,36 = 0,36 g

Untuk memperoleh larutan isotonis dari 20 ml injeksi piridoksin adalah


0,9 0,36 = 0,54 gram

33
3. Penimbangan (dilebihkan 5%)

4. Cara sterilisasi alat dan bahan


- Spatel logam, pinset, batang pengaduk, erlenmeyer, kaca arloji,
beaker glass, di oven selama 30 menit pada suhu 1500C
- Gelas ukur, pipet tetes, vitamin B6 dan kertas saring di autoklav
selama 30 menit pada suhu 1150C 1160C
- Karet pipet tetes direbus selama 30 menit

5. Prosedur kerja
a. Prosedur tetap
Persiapan alat-alat yang akan digunakan, bersihhkan terlebih
dahulu alat yang akan digunakan seperti gelas ukur, gelas
piala, corong, erlenmeyer, dll
Sterilisasi alat-alat dan wadah ampul yang akan digunakan.
Praktikkan menyiapkan IK pembuatan sediaan injeksi
volume kecil.
Praktikkan melakukan kegiatan sesuai dengan IK.

b. Kegiatan Produksi
Penimbangan bahan obat dan bahan tambahan.
Pelarutan bahan dalam pembawa sesuai kelarutan
Pengukuran volume I
Penyaringan
Pengukuran volume II
Penyaringan
Pengisian keburet
Ampul berisi larutan obat dialiri uap air untuk mencegah
pengarangan kemudian disemprotkan gas N2
Penutupan ampul
Sterilisasi akhir

33
c. Instruksi Kerja
Disiapkan alat yang diperlukan untuk disteriisasi alat.
Dibuat aquadest kedalam erlenmeyer tutup dengan kaca
arloji, dididhkan dengan penangas air setelah mendidih
hitung 30 detik (air bebas CO2), setelah mendidih
dipanaskan lagi 10menit kemudian ditutup erlenmeyer dgn
kpas dibungkus dengan kain kasa ataau tutup yang permeable
(air bebas CO2). Dibuat bebas CO2 dan O2 agar pada saat
penyimpanan sediaan lebih stabil dan tidak teroksidasi air
pada formula tidak ditambahkan antioksidan
Ditimbang vit B6 sebanyak 1 gram dgn kaca arloji, kemudian
dimasukkan kedalm pass box
Sebagian API yang akan digunakan dalam pembuatan
sediaan obat dimasukkan kedalam beacker glass kemudian
ditambahkan sdikit demi sedikit vit B6, aduk ad larut.
Disiapkan erlenmeyer, corong dan kertas saring serta
membasahkan kertas saring yang digunakan dengan sedikit
API.
Disaring larutan dalam gelas ukur melalui corong kedalam
erlenmeyer yang telah disiapkan.
Dilakukan pengukuran pH hingga sesuai dengan pH sediaan
Dibilas beacker glass yang digunakan untuk melarutkan vit
B6 dengan sisa API kemudian menyaringnya kedalam
erlenmeyer yang berisi filtrat larutan sebelumnya.
Diisikan larutan obat kedalam ampul sebanyak 1,15ml
dengan menggunakan spuit
Ditutup ampul dengan panas api dari bunsen gas
Disterilkan sediaan dalam autoklaf pada suhu 115-116C
selama 30 menit
Dilakukan evaluasi terhadap sediaan dan wadah

33
3.2.3 Evaluasi Sediaan
a. Potensi / Kadar
Penentuan kadar dilakukan dengan SP UV, HPLC, SP IR dll
(Evaluasi tidak dilakukan).
b. Penetapan pH
pH sediaan diukur dengan menggunakan kertas lakmus setelah
sediaan jadi. pH sediaan kami yaitu 3.
c. Warna
Warna yang terjadi pada sediaan adalah bening atau jernih.
d. Kekeruhan
Alat yang dipakai adalah Tyndall, karena larutan dapat menyerap dan
memantulkan sinar. Idealnya larutan parenteral dapat melewatkan 92-
97% pada waktu dibuat dan tidak turun menjadi 70% setelah 3-5
tahun. Terjadinya kekeruhan dapat disebabkan oleh : benda asing,
terjadinya pengendapan atau pertumbuhan m.o. Evaluasi ini hanya
dilihat oleh kasat mata karena tidak tersedianya alat tyndall. Secara
fisik sediaan yang kami buat tergolong jernih atau bebas pirogen.
e. Bau
Sediaan yang kami buat tidak memiliki bau.
f. Evaluasi Wadah
Dalam uji kebocoran, menggunakan metylen blue dari 10 ampul
berwarna jernih atau sediaan tidak berubah menjadi warna biru dan
sediaan tidak ada yang bocor.
g. Uji kejernihan
Menggunakan latar belakang hitam tidak ada kotoran-kotoran
berwarna muda yang melayang,
Menggunakan latar belakang putih tidak ada kotoran-kotoran
berwarna gelap melayang. Sediaan yang dibuat mempunyai
kejernihan.

33
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada praktikum kali ini, kami membuat sediaan parenteral volume kecil yaitu
sediaan injeksi dengan pelarut larut air dan sebagai zat aktifnya yaitu vitamin B6 atau
Piridoksin HCl. Pada saat pengerjaan tidak banyak kendala yang kami temukan karena vit
B6 tergolong mudah larut dalam air. Piridoksin HCl yang kami gunakan disterilisasi
dengan sterilisasi akhir menggunakan autoklaf dan tidak harus dengan cara filtrasi karena
tidak ada data ketidakstabilan pada suhu 115-116C. Untuk pembutan sediaan sebelumnya
kami melakukan sterilisasi alat untuk menghindari kontaminasi dari luar. Berikut tabel
sterilisasi alat yang kami lakukan :

Nama alat Jumlah Sterilisasi waktu Masuk Keluar


Spatel logam 1 Oven 150C 30 menit 9.25 9.55
Pinset logam 1 Oven 150C 30 menit 9.25 9.55
Batang pengaduk gelas 1 Oven 150C 30 menit 9.25 9.55
Kaca arloji 2 Oven 150C 30 menit 9.25 9.55
Autoklaf 115 -
Gelas ukur 1 30 menit 9.30 10.00
116C
Pipet tetes tnpa karet 1 Oven 150C 30 menit 9.30 10.00
Rebus air
Karet pipet 1 30 menit 9.31 10.01
mendidih
Corong gelas dan kertas
1 Oven 150C 30 menit 9.25 9.55
sarin lipat
Kasa steril 1 - 30 menit - -
Beacker glass 1 Oven 150C 30 menit 9.25 9.55
Erlenmeyer 2 Oven 150C 30 menit 9.25 9.55
Ampul 10 Oven 150C 30 menit 9.25 9.55

Dalam prosesnya, piridoksin HCl hanya dilarutkan dalam air yang kemudian
disaring dengan kertas saring. Air merupakan suatu pembawa utama pada sediaan
parenteral. Air juga digunakan pada pencucian, pembilasan dan pada proses sterilisasi.
Suplai air harus menjamin kualitas air yang sesuai dengan kebutuhan mulai dari proses
awal hingga akhir. Untuk kepentingan farmaseutik, air perlu perhatian khusus seperti
kontaminasi elektrolit, zat organik, partikel, gas terlarut (CO2) dan mikroorganisma. Air
untuk injeksi harus memiliki kemurnian yang tinggi dan bebas pirogen.
Sediaan injeksi B6 kami tidak menggunakan pengawet karena kami menggunakan dosis
33
tunggal. Dan sesuai dengan formularium nasional, B6 juga tidak memerlukan zat
pengisotoni karena sudah hipertonis.
Pada praktikum kali ini kami membuat sediaan parenteral volume kecil yaitu
sediaan injeksi dengan pelarut air dan sebagai zat akifnya yaitu vitamin B6 dengan rute
IM. Dimana pada pemberiaan IM sebaiknya isotonis, kadang dibuat sediaan hipertonis
untuk mempermudah absorspsi jaringan, Praktikum sediaan injeksi B6 kali ini dibuat
sediaan isotonis dengan perhitungan ekivalen Nacl 0,9%,yaitu penambahan 0,54 gram
nacl. Volume yang disuntikkan 1 ml didaerah deltoid.
Vitamin B6 mempunyai kelarutan mudah larut dalam air sehingga sediaan larutan
dengan pembawa air yaitu aqua pro injection, pH stabilitas dari vitamin B6 yaitu pada pH
2,0 3,8 sehingga pH sediaan dibuat mendekati pH stabilitas zat aktif sehingga penguraian
zat aktif dapat diminimalkan dan memberi efek farmakologi yang optimal. pH sediaan
yang dibuat pada praktikum injeksi B6 adalah pH 3 menggunakan pH meter.
Piridoksin HCL yang kami gunakan disterillisasi akhir dengan menggunakan
autoklaf suhu 115 - 116C selama 30 menit. Sediaan yang injeksi yang dibuat tidak berbau
dan dihasilkan sediaan yang berwarna bening, sedangkan kebocoran dari 10 ampul tidak
ada yang bocor ditandai dengan tidak berubahnya warna injeksi menjadi biru setelah
dicelupkan metilen blue.

33
BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Injeksi adalah sediaan steril berupa larutan, emulsi atau suspensi atau
serbuk yang harus dilarutkan atau disuspensikan lebih dahulu sebelum digunakan,
yang disuntikkan dengan cara merobek jaringan ke dalam kulit atau melalui kulit
atau selaput lendir.
Sediaan parenteral yang diberikan secara penyuntikan intravena, subkutan,
dan intramuscular merupakan rute pemberian obat yang kritis jika dibandingkan
dengan pemberian obat-obatan secara oral. Bentuk sediaan steril bisa berbagai
bentuk, yaitu cair, padat atau semi padat. Proses pembuatannya sama dengan
sediaan non steril. Namun, dalam pembuatan sediaan steril kita perlu mengetahui
proses steriliasinya yang berkaitan dengan stabilitas bahan aktif maupun bahan
bahan tambahannya.
Sediaan injeksi yang kami buat terdiri dari : Piridoksin HCl 50 mg Aqua
Pro Injection 1 ml (Kekuatan sediaan 50mg/ml). Piridoksin HCl berfungsi sebagai
antidote, agen pemulihan kekurangan vitamin B6 dan suplemen nutrisi Piridoksin
HCl yang kami gunakan disterilisasi dengan sterilisasi akhir menggunakan autoklaf
dan tidak harus dengan cara filtrasi karena tidak ada data ketidakstabilan pada suhu
115-116C. Sediaan yang kami buat tidak menggunakan pengawet karena dibuat
dalam dosis tunggal dan tidak menggunakan pendapar karena sudah
hipertonis. Hasil Sediaan vit B6 kami memiliki kejernihan yang cukup baik, tidak
memiliki warna dan bau dan pH

5.2 Saran

Dalam pembuatan sediaan steril (untuk injeksi/suntik), harus diperhatikan


dengan baik sifat dari obat yang akan dibuat.

33
DAFTAR PUSTAKA

Ansel. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Jakarta : UI press


Anonim. 1979. Farmakope Indonesia edisi III. Jakarta : Departemen Kesehatan RI
Anonim. 1995. Farmakope Indonesia ediai IV. Jakarta : Departemen Kesehatan RI
American Hospital Service, 1998. Drug Information 88 Jilid II. USA
American Pharmaceutical Asosiation. Handbook of Pharmaceutical Excipient Edisi II.
London: The Pharmaceutical Press, 1994
Moh. Anief. 1997. Ilmu Meracik Obat Teori dan Praktik. Yogyakarta : Gadjah Mada
University Press
Taketomo, Carol dkk. 1992. Pediatric Dosage Handbook. Ohio : American
Pharmaceutical Assosiation
Harjasaputra, Purwanto, dkk. 2002. Data Obat di Indonesia. Jakarta : Grafidian
Medipress
Suryani, Nelly M.Si, Apt. dan Sulistiawati, Farida M.Si, Apt..2007. Penuntun
Praktikum Teknologi Sedian Steril. Jakarta : UIN Press
Department of Pharmaceutical Sciences. Martindale The Extra Pharmacopoeia,
twenty-eight edition. 1982. London : The Pharmaceutical Press
Departemen Kesehatan RI. 1978. Formularium Nasional edisi II. Jakarta
Departement of pharmaceutical Science. 1982. Martindale the Extra Pharmacopeia
28th edition. London: The Pharmaceutical Press.
Lachman dkk. 1994. Teori Dan Praktek Farmasi Industri. Jakarta : UI Press
Martindale, The Extra Pharmacopeia Twenty-eight Edition. The Parmaceutical Press,
London. 1982.
Voigt. 1995. Buku Pelajaran Teknologi Farmasi. Yogyakarta : UGM Press
Wade, Ainley and Paul J Weller. Handbook of Pharmaceutical excipients.Ed
II.1994.London; The Pharmaceutical Press.

33

Anda mungkin juga menyukai