Anda di halaman 1dari 7

A.

Bentuk Sediaan Cair


Bentuk sediaan cair dalam farmasi terdapat bentuk sediaan secara oral,
parental, dan topikal. Bentuk sediaan secara parental contohnya sediaan injeksi.
Sediaan injeksi ini termasuk sediaan steril dimana sediaan steril terdapat beberapa
macam yaitu injeksi, infus intravena, imunoserum, dan irigasi. Sediaan steril untuk
penggunaan parental pada umumnya tidak berlaku untuk sediaan biologi dikarenakan
sifat khusus dan persyaratan mengenai perizinan. Sediaan steril untuk parental dapat
digolongkan menjadi 5 jenis yaitu:
1. Obat atau larutan atau emulsi yang digunakan untuk injeksi, ditandai dengan
nama, Injeksi……
Dalam Farmakope Indonesia III jenis ini disebut Larutan
2. Sediaan padat kering atau cairan pekat tidak mengandung dapar, pengencer,
atau bahan tambahan lain, dan larutan yang diperoleh setelah penambahan
pelarut yang sesuai dan memenuhi persyaratan injeksi, ditandai dengan nama
bentuknya…….. Steril.
Dalam Farmakope Indonesia III disebut berupa zat padat kering yang
jika akan disuntikkan ditambah zat pembawa yang cocok dan steril maka
hasilnya berupa larutan yang memenuhi syarat larutan injeksi.
3. Sediaan seperti tertera pada no.2 tetapi mengandung satu atau lebih dapar,
pengenceran, atau bahan tambahan lain, dan dapat dibedakan dari nama
bentuknya…… untuk injeksi.
Dalam FI III disebut bahan obat dalam pembawa cair yang cocok,
hasilnya berupa emulsi yang memenuhi semua persyaratan emulsi steril.
4. Sediaan berupa suspensi serbuk dalam medium cair yang sesuai dan tidak
disuntikkan secara intravena atau ke dalam saluran spinal, ditandai dengan
nama Suspensi Steril.
Dalam FI III disebut suspensi steril (zat padat yang telah disuspensikan
dalam pembawa yang cocok dan steril).
5. Sediaan padat kering dengan bahan pembawa ynag sesuai membentuk larutan
yang memenuhi persyaratan untuk suspensi steril setelah penambahan bahan
pembawa yang sesuai, ditandai dengan nama……. Steril untuk Suspensi.
Dalam FI III disebut berupa zat padat kering yang jika akan
disuntikkan ditambah zat pembawa yang cocok dan steril, hasilnya merupakan
suspensi yang memenuhi syarat suspensi steril.
(Syamsuni, 2006).

B. Definisi Injeksi
Injeksi sering disebut sebagai ‘shot’ atau ‘jab’ dalam bahasa Inggris, adalah
proses memasukkan cairan ke tubuh menggunakan jarum.  injeksi kerap dikenal
sebagai teknik pemberian obat melalui parenteral, yaitu pemberian melalui rute selain
saluran pencernaan. Injeksi parenteral meliputi injeksi subkutan, intramuskular,
intravena, intraperitoneal, intrakardiak, intraartikular, dan intrakavernosa.
Menurut Farmakope Indonesia Edisi III, injeksi adalah sediaan steril berupa
larutan, emulsi, suspensi atau serbuk yang harus dilarutkan atau disuspensikan
terlebih dahulu sebelum digunakan, yang disuntikkan dengan cara merobek jaringan
ke dalam kulit atau melalui kulit ataumelalui selaput lendir (FI III,1979). 
Sedangkan menurut Farmakope Indonesia Edisi IV, injeksi adalah injeksi yang
dikemas dalam wadah 100 mL atau kurang. Umumnya hanya larutan obat dalam air
yang bisa diberikan secara intravena. Suspensi tidak bisa diberikan karena berbahaya
yang dapat menyebabkan penyumbatan pada pembuluh darah kapiler (FI IV, 1995).

Macam-macam injeksi :

a. Injeksi intrakutan (i.k/i.c) atau intradermal


Dimasukkan ke dalam kulit yang sebenarnya, digunakan untuk diagnosis.
Volume yang disuntikkan antara 0,1-0,2 ml, berupa larutan atau suspensi dalam air.
Biasanya juga digunakan adalah ekstrak alergenik.

b. Injeksi subkutan (s.k/s.c) atau hipodermik


Disuntikkan ke dalam jaringan di bawah kulit ke dalam alveolus, volume yang
disuntikkan tidak lebih dari 1 ml. umumnya larutan bersifat isotonis, pH netral
karena untuk mengurangi iritasi jaringan dan mencegah kemungkinan terjadi
nekrosis (mengendornya kulit) (Anief, 2006), dan bersifat depo (absorpsinya
lambat). Dapat diberikan dalam jumlah besar (volume 3-4 liter/ hari dengan
penambahan enzim hialuronidase), jika pasien tersebut tidak dapat menerima infus
intravena. Cara ini disebut “Hipodermoklisa”.

c. Injeksi intramuskular (i.m)


Disuntikkan ke dalam atau di antara lapisan jaringan atau otot. Injeksi ini
dalam bentuk larutan, suspensi, atau emulsi. Dalam penyerapannya yang berupa
larutan dapat diserap dengan cepat sedangkan yang berupa emulsi atau suspensi
diserap lambat karena bertujuan untuk mendapakan efek yang lama. Volume
penyuntikan antara 4-20 ml, disuntikkan perlahan-lahan untuk mencegah rasa sakit.

d. Injeksi intravena (i.v)


Disuntikkan langsung ke dalam pembuluh darah vena biasanya penggunaan
injeksi ini memiliki efek sistemik yang cepat. Bentuknya berupa larutan,
sedangkan bentuk suspensi atau emulsi tidak boleh diberikan melalui rute ini,
karena akan menyumbat pembuluh darah vena yang bersangkutan. Injeksi ini
biasanya isotonis, tetapi ada juga yang hipertonis (disuntikkan secara lambat atau
perlahan-lahan dan tidak memengaruhi sel darah); volume antara 1-10 ml. injeksi
intravena yang diberikan dalam dosis tunggal dengan volume lebih dari 10 ml
disebut “infus intravena/infus/infundabilia”. Infus harus bebas pirogen, tidak boleh
mengandung bakterisida, jernih, dan isotonis.
Injeksi i.v dengan volume 15 ml atau lebih tidak boleh mengandung
bakterisida. Injeksi i.v dengan volume 10 ml atau lebih harus bebas pirogen.

e. Injeksi intraarterium (i.a)


Injeksi ini biasanya berupa larutan yang mengandung cairan non-iritan yang
dapat bercampur dengan air. Disuntikkan ke dalam pembuluh darah
arteri/perifer/tepi, volume antara 1-10 ml, tidak boleh mengandung bakterisida.

f. Injeksi intrakordal/intrakardiak (i.kd)


Injeksi ini berupa larutan. Disuntikkan langsung ke dalam otot jantung atau
ventrikel, tidak boleh mengandung bakterisida, disuntikkan hanya dalam keadaan
gawat.

g. Injeksi intratekal (i.t), intraspinal, intrasisternal (i.s), intradural (i.d), subaraknoid


Disuntikkan langsung ke dalam saluran sumsum tulang belakang di dasar otak
(antara 3-4 atau 5-6 lumbar vertebrata) tempat terdapatnya cairan cerebrospinal.
Injeksi ini berupa larutan harus isotonis karena sirkulalasi cairan serebrospinal
lambat, meskipun larutan anestetik untuk sumsum tulang belakang sering
hipertonis. Jaringan saraf di daerah anatomi ini sangat peka.

h. Intraartikular
Disuntikkan ke dalam cairan sendi di dalam rongga sendi. Injeksi ini berupa
suspensi atau larutan dalam air.

i. Injeksi subkonjungtiva
Berupa suspensi atau larutan Disuntikkan ke dalam selaput lendir di bawah
mata, tidak lebih dari 1 ml.

j. Injeksi intrabursa
Disuntikkan ke dalam bursa subcromilis atau bursa olecranon dalam bentuk
larutan suspensi dalam air

k. Injeksi intraperitoneal (i.p)


Disuntikkan langsung ke dalam rongga perut. Penyerapan berlangsung cepat;
namun bahaya infeksi besar dan biasanya injeksi ini jarang dipakai.

l. Injeksi peridural (p.d), ekstradural, epidural


Disuntikkan ke dalam ruang epidural, terletak di atas durameter, lapisan
penutup terluar dari otak dan sumsum tulang belakang.

CORTIDEX INJEKSI
Cortidex injeksi diproduksi oleh Sanbe Farma. Obat ini termasuk golongan keras sehingga
harus ada resep dokter. Obat Cortidex memiliki komposisi yaitu Deksametason 5mg/ml
injeksi. Indikasi bentuk sediaan Cortidex yaitu semua penyakit yang dapat diobati dengan
kortikosteroid secara sistemik, anti peradangan, penyakit aleri, gangguan pada darah
misalnya leukemia akut. Kontra indikasinya dapat menyebabkan ulkus peptikum
osteoporosis, psikosis (IAI, 2017). Efek samping yang bisa saja timbul selama penggunaan
Cortidex, yaitu retensi cairan dan garam, hipertensi, hiperhidrosis atau kelebihan cairan,
gangguan mental, osteonekrosis, pankreatitis septik akut, kelemahan otot, gangguan visual,
nafsu makan meningkat, retardasi pertumbuhan. Dosis sediaan untuk penggunaan injeksinya
jika dalam terapi intensif atau darurat: dosis 2-4 mg diberikan 6-8 kali sehari dengan dosis
maksimal per harinya adalah 50 mg. Sedangkan dalam keadaan syok: dosis 1-6 mg per kg
berat badan. Penyimpanan obat ini disimpan pada suhu di bawah 25 derajat Celsius, di tempat
kering dan sejuk (Klik Dokter, 2020). Kemasannya terdapat 10 ampul 1 ml (IAI, 2017).

C. Bentuk Sediaan Cair Injeksi yang terdapat Dipasaran

DEXAMETHASONI PHOSPHATIS INJECTIO


Injeksi Deksametason Fosfat

Komposisi :
Tiap ml mengandung :
Dexamethasoni Natrii Phosphas setara
dengan dexamethasone Phosphas 4 ml
Zat tambahan yang cukup secukupnya
Aqua pro injection hingga 1 ml

Penyimpanan dalam wadah dosis tunggal atau wadah dosis ganda, terlindungi
dari cahaya (Depkes RI, 1978)
Dosis : im (Injeksi Intramuskular) artinya disuntikkan ke dalam atau di antara
lapisan jaringan atau otot; iv (Injeksi intravena) artinya disuntikkan langsung ke
dalam pembuluh darah vena. Digunakan 2 kali sehari setara dengan deksametason
fosfat, 500 μg sampai 20 mg; ia atau soft tissue injection tiap 1 sampai 2 minggu,
setara dengan deksametason fosfat 200 μg sampai 6 mg (Depkes RI, 1978).

Catatan: 1. pH 7,0 sampai 8,5(Depkes RI, 1978).


yang bertujuan untuk menjamin stabilitas obat dan mencegah
terjadinya rangsangan atau rasa sakit ketika disuntikkan (Syamsuni,
2006).
2. disterilkan dengan cara sterilisasi C
3. Pada etiket harus tertera. Kesetaraan deksametason fosfat.
4. 1,1 g Deksametason Natrium Fosfat setara dengan 1 g deksametason
fosfat (Depkes RI, 1978).

D. Keuntungan dan kerugian cair injeksi


 a. Memberikan efek yang cepat
Keuntungan : b. Tidak melalui first pass effect
c. Dapat diberikan apabila penderita dalam keadaan tidak
d. Dapat bekerjasama dengan baik tidak sadar dan tidak
e. Dapat dengan cara pemberian lain (seperti oral)
f. Kadar obat didalam darah yang hasilmya lebih bisa di
ramalkan
g. Dapat untuk obat yang rusak/tidak diabsorbsi dalam
sistem saluran cerna
h. Kemurnian dan takaran zat khasiat lebih terjamin
i. Dapat digunakan sebagai depo terapi

 Kerugian a. Karena bekerja cepat, jika terjadi kekeliruan sukar


: dilakukan pencegahan.
b. Cara pemberian lebih sukar, harus memakai tenaga khusus
c. Kemungkinana terjadinya infeksi pada bekas suntikan
d. Secara ekonomis lebih mahal dibandingkan dengan
sediaan yang digunakan per oral.
DAFTAR PUSTAKA

Anief.2006. Ilmu Meracik Obat. Yogyakarta: UGM Press.


Anonim. 1979. Farmakope Indonesia Edisi III. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik
Indonesia.
Anonim. 1995. Farmakope Indonesia Edisi IV. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik
Indonesia.
Depkes RI. I978. Formularium Nasional Edisi II. Jakarta: Depkes RI.
IAI. 2017. Informasi Spesialite Obat Indonesia Vol. 52. Jakarta. ISFI Penerbit.
Klik Dokter. 2020.
Parrot, E.L., 1971. Pharmaceutical Technology Fundamental Pharmaceutics, third,
Burgess Publishing Company, Minneapolis, 76-82
Syamsuni. 2006. Ilmu Resep. Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai