Anda di halaman 1dari 39

MAKALAH TELAAH JURNAL

PENGARUH KOMPRES NORMAL SALIN 0,9% TERHADAP PHLEBITIS


DI RUANG RAWAT INAP RUMAH SAKIT
PANTI WALUYA SAWAHAN MALANG

Telaah Jurnal
Disusun Oleh
Kelompok X’17 A
1. Atika Diyanti
2. Desti Rahmayani
3. Dini Aprisupitha
4. Haris Pratama
5. Gesti
6. Indah Puspa Riang T.

PROGRAM STUDI PROFESI NERS KEPERAWATAN


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS ANDALAS
2017
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Keselamatan pasien merupakan salah satu fenomena pelayanan

keperawatan yang sering dibicarakan pada saat ini. Menurut WHO,

keselamatan pasien merupakan salah satu bentuk pelayanan yang harus

diterapkan di sarana pelayanan kesehatan. Salah satu bentuk keselamatan

pasien yang perlu diterapkan adalah melindungi semaksimal mungkin pasien

dari infeksi nosokomial, mencegah terjadinya kesalahan prosedur dan

melakukan tindakan sesuai dengan SPO yang ada (Kohn, Corrigan &

Donaldson, 2000). Oleh karena itu dalam pemberian pelayanan kesehatan,

petugas kesehatan dituntut untuk mematuhi standar profesi dan

memperhatikan hak pasien.

Pasien yang menjalani rawat inap sebagian besar mendapatkan terapi

cairan melalui intravena. Terapi cairan intravena merupakan metode

pemberian cairan yang efisien dan efektif dengan memberikan cairan secara

langsung ke kompartemen cairan intravaskular dan menggantikan kehilangan

elektrolit (Kozier et all, 2010). Tindakan penatalaksanaan terapi intravena

tersebut memiliki resiko salah satunya adalah infeksi nosokomial). Dimana

salah satu contoh bentuk dari infeksi nosokomial tersebut yaitu phlebitis.

Phlebitis merupakan peradangan yang terjadi pada pembuluh darah vena

yang disebabkan oleh kateter atau iritasi kimiawi zat aditif dan obat-obatan

yang diberikan secara intravena (Potter & Perry, 2010). Peningkatan kejadian
phlebitis dapat dipengaruhi dari lamanya pemasangan terapi, komposisi

cairan atau obat yang diinfuskan (terutama pH dan tonisitasnya), ukuran dan

tempat kanula dimasukkan, pemasangan jalur IV yang tidak sesuai, dan

masuknya mikroorganisme pada saat penusukan (Smeltzer & Bare, 2010)

Beberapa penelitian mengemukakan angka kejadian phlebitis di Indonesia,

namun tidak ada angka yang pasti tentang prevalensi kejadian phlebitis ini di

sebabkan masih jarang penelitian tentang terapi intravena dan minimnya

publikasi tentang jurnal berkaitan. Menurut Depkes RI Tahun 2006 dikutip

dari Wijayasari, jumlah kejadian infeksi nosokomial berupa phlebitis di

Indonesia sebanyak (17,11%). Sejalan dengan penelitian yang dilakukan di

ruang perawatan bedah Ibnu Sina Rumah Sakit AR Bunda Prabumulih

sebesar 21% pasien dengan terapi intravena mengalami phlebitis. Angka ini

jauh lebih besar dari standar yang ditetapkan oleh Depkes RI yaitu ≤ 1,5%.

Pada penelitian Putri (2017), menunjukan bahwa kejadian plebitis di ruang

rawat inap shafa dan marwa RSI Ibnu Sina Padang sebesar 26,6%. Kejadian

phlebitis dalam penelitian ini cukup tinggi dari standar yang di

rekomendasikan oleh INS (2006) yaitu 5% atau kurang. Sementara angka

kejadian phlebitis yang dilaporkan rumah sakit pada tahun 2016 adalah

15,82%. Sejalan dengan penelitian yang dilakukan di RSCM Jakarta,

sebanyak 109 pasien yang mendapat cairan intravena, ditemukan 11 kasus

phlebitis, dengan rata-rata kejadian 2 hari setelah pemasangan, area

pemasangan di vena metacarpal, dan jenis cairan yang digunakan adalah

kombinasi antara Ringer Laktat dan Dekstrosa 5%, (Pujasari, 2010). Angka
tersebut memang tidak terlalu besar namun masih di atas standard yang

ditetapkan oleh Intravenous Nurses Society (INS) 5%. Sedangkan penelitian

yng dilakukan oleh Agustini, Utomo, Agrina (2014) di dapatkan kejadian

phlebitis di Rumah Sakit Awal Bross Pekanbaru sebanyak 20 responden

(21,7%). Skor phlebitis yang ditemui dalam penelitian ini semuanya berada

pada skor 1 dengan kriteria kulit sekitar lokasi insersi kemerahan dan kadang

di sertai rasa nyeri.

Nyeri pada lokasi terjadi phlebitis dapat di atasi dengan cara farmakologi

dan non farmakologi. Ketepatan menentukan intervensi dalam menangani

phlebitis dapat membantu meminimalkan nyeri. Salah satu cara non

farmakologi adalah dengan pemberian kompres. Berdasarkan teori yang

diadaptasi sebelumnya intervensi yang dianjurkan untuk menangani

phlebitis menurut beberapa penelitian adalah dengan pemberian kompres

normal salin 0,9% . Pemberian cairan normal salin 0,9% tidak menimbulkan

hipersensitivitas sehingga aman digunakan untuk tubuh dalam kondisi apapun

(Kozier et all, 2010). Selain itu NaCl 0,9% memiliki respon anti inflamasi

sehingga dapat menurunkan gejala nyeri dan eritema yang timbul pada luka,

serta meningkatkan aliran darah menuju area luka, sehingga mempercepat

proses penyembuhan luka.

Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa orang pasien di ruang

perawatan penyakit dalam RSUP Mdjamil Padang menemukan sebagian

pasien merasakan nyeri pada area yang terpasang infus, tampak kemerahan

dan bengkak sekitar area pemasangan infus pada hari ke 3-5 setelah
pemasangan dan sebagian pasien merasakan nyeri setelah diberikan obat

melalui selang infus, rata-rata nyeri yang dirasakan pada area phlebitis.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana penulisan jurnal “Pengaruh Kompres Normal Salin 0,9%

Terhadap Phlebitis di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Panti Waluya

Sawahan Malang”?
2. Bagaimana konten dari jurnal “Pengaruh Kompres Normal Salin 0,9%

Terhadap Phlebitis di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Panti Waluya

Sawahan Malang”?
C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Mengetahui pengembangan praktik dan pengetahuan baru terkait pengaruh

kompres normal salin 0,9% terhadap kejadian phlebitis dalam praktik

klinis asuhan keperawatan agar meningkatkan pelayanan keperawatan

yang holistik dan profesional.


2. Tujuan Khusus
a. Diketahui bagaimana penulisan jurnal “Pengaruh Kompres Normal

Salin 0,9% Terhadap Phlebitis di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Panti

Waluya Sawahan Malang


b. Diketahui bagaimana konten dari jurnal “Pengaruh Kompres Normal

Salin 0,9% Terhadap Phlebitis di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Panti

Waluya Sawahan Malang”

D. Manfaat
Penulisan telaah jurnal “Pengaruh Kompres Normal Salin 0,9% Terhadap

Phlebitis di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Panti Waluya Sawahan Malang”

diharapkan dapat bermanfaat:


1. Bagi Mahasiswa
Sebagai bahan pembelajaran terbaru untuk menambah wawasan mengenai

kegunaan normal salin 0,9% terhadap kejadian phlebitis.


2. Bagi Perawat
Sebagai referensi terbaru dalam praktik klinis keperawatan terkait dengan

manfaat cairan normal salin 0,9% terhadap pemberian asuhan

keperawatan untuk mengatasi kejadian infeksi nosokomial (phlebitis)

pada pasien yang mendapatkan terapi cairan intravena.


3. Bagi Ruangan
Sebagai bahan pertimbangan dalam pemberian asuhan keperawatan pada

pasien yang mengalami kejadian phlebitis sesuai dengan jurnal penelitian

terbaru yang direkomendasikan sehingga dapat meningkatkan kualitas

pelayanan di rumah sakit.

BAB II

KONSEP TEORITIS

A. Terapi Intravena

1. Pengertian Terapi Intravena

Terapi intravena adalah pemberian sejumlah cairan ke dalam tubuh,

melalui sebuah jarum, ke dalam pembuluh vena (pembuluh balik) untuk

menggantikan kehilangan cairan atau zat-zat makanan dari tubuh (Darmadi,


2010). Terapi intravena adalah kateter yang diinsersikan secara langsung

kedalam vena dengan ujungnya biasanya terletak di vena kava atrium kanan

(Dougherty, 2008).

Terapi intravena (IV) digunakan untuk memberikan cairan ketika pasien

tidak dapat menelan, tidak sadar, dehidrasi atau syok, untuk memberikan

garam yang diperlukan untuk mempertahankan keseimbangan elektrolit, atau

glukosa yang diperlukan untuk metabolism dan memberikan medikasi

(Potter & Perry, 2010). Terapi Intravena (IV) adalah menempatkan cairan

steril melalui jarum, langsung ke vena pasien. Biasanya cairan steril

mengandung elektrolit (natrium, kalsium, kalium), nutrient (biasanya

glukosa), vitamin atau obat (Smeltzer & Bare, 2009).

2. Tujuan utama terapi intravena

Menurut Hidayat (2008), tujuan utama terapi intravena adalah

mempertahankan atau mengganti cairan tubuh yang mengandung air,

elektrolit, vitamin, protein, lemak dan kalori yang tidak dapat dipertahankan

melalui oral, mengoreksi dan mencegah gangguan cairan dan elektrolit,

memperbaiki keseimbangan asam basa, memberikan tranfusi darah,

menyediakan medium untuk pemberian obat intravena, dan membantu

pemberian nutrisi parenteral

3. Jenis Cairan Intravena

Berdasarkan osmolalitasnya, menurut Perry dan Potter, (2005) cairan

intravena (infus) dibagi menjadi 3, yaitu :


a. Cairan bersifat isotonis : osmolaritas (tingkat kepekatan) cairannya

mendekati serum (bagian cair dari komponen darah), sehingga terus berada

di dalam pembuluh darah. Bermanfaat pada pasien yang mengalami

hipovolemi (kekurangan cairan tubuh, sehingga tekanan darah terus

menurun). Memiliki risiko terjadinya overload (kelebihan cairan),

khususnya pada penyakit gagal jantung kongestif dan hipertensi.

Contohnya adalah cairan Ringer-Laktat (RL), dan normal saline/larutan

garam fisiologis (NaCl 0,9%).


b. Cairan bersifat hipotonis : osmolaritasnya lebih rendah dibandingkan

serum (konsentrasi ion Na+ lebih rendah dibandingkan serum), sehingga

larut dalam serum, dan menurunkan osmolaritas serum. Maka cairan

ditarik dari dalam pembuluh darah keluar ke jaringan sekitarnya (prinsip

cairan berpindah dari osmolaritas rendah ke osmolaritas tinggi), sampai

akhirnya mengisi sel-sel yang dituju. Digunakan pada keadaan sel

mengalami dehidrasi, misalnya pada pasien cuci darah (dialisis) dalam

terapi diuretik, juga pada pasien hiperglikemia (kadar gula darah tinggi)

dengan ketoasidosis diabetik. Komplikasi yang membahayakan adalah

perpindahan tiba-tiba cairan dari dalam pembuluh darah ke sel,

menyebabkan kolaps kardiovaskular dan peningkatan tekanan intrakranial

(dalam otak) pada beberapa orang. Contohnya adalah NaCl 45% dan

Dekstrosa 2,5%.
c. Cairan bersifat hipertonis : osmolaritasnya lebih tinggi dibandingkan

serum, sehingga menarik cairan dan elektrolit dari jaringan dan sel ke

dalam pembuluh darah. Mampu menstabilkan tekanan darah,


meningkatkan produksi urin, dan mengurangi edema (bengkak).

Penggunaannya kontradiktif dengan cairan hipotonik. Misalnya Dextrose

5%, NaCl 45% hipertonik, Dextrose 5%+Ringer-Lactate.


4. Komplikasi Pemasangan Terapi Intravena
Terapi intravena diberikan secara terus-menerus dan dalam jangka waktu

yang lama tentunya akan meningkatkan kemungkinan terjadinya komplikasi.

Komplikasi dari pemasangan infus yaitu phlebitis, hematoma, infiltrasi,

trombophlebitis, emboli udara (Hinlay, 2006).


a. Phlebitis
Phlebitis merupakan Inflamasi vena yang disebabkan oleh iritasi kimia

maupun mekanik. Kondisi ini dikarakteristikkan dengan adanya daerah

yang memerah dan hangat di sekitar daerah insersi/penusukan atau

sepanjang vena, nyeri atau rasa lunak pada area insersi atau sepanjang

vena, dan pembengkakan.

b. Infiltrasi
Infiltrasi terjadi ketika cairan IV memasuki ruang subkutan di sekeliling

tempat pungsi vena. Infiltrasi ditunjukkan dengan adanya pembengkakan

(akibat peningkatan cairan di jaringan), palor (disebabkan oleh sirkulasi

yang menurun) di sekitar area insersi, ketidaknyamanan dan penurunan

kecepatan aliran secara nyata. Infiltrasi mudah dikenali jika tempat

penusukan lebih besar daripada tempat yang sama di ekstremitas yang

berlawanan. Suatu cara yang lebih dipercaya untuk memastikan infiltrasi

adalah dengan memasang torniket di atas atau di daerah proksimal dari

tempat pemasangan infus dan mengencangkan torniket tersebut


secukupnya untuk menghentikan aliran vena. Jika infus tetap menetes

meskipun ada obstruksi vena, berarti terjadi infiltrasi.


c. Iritasi vena
Kondisi ini ditandai dengan nyeri selama diinfus, kemerahan pada kulit di

atas area insersi. Iritasi vena bisa terjadi karena cairan dengan pH tinggi,

pH rendah atau osmolaritas yang tinggi (misal: phenytoin, vancomycin,

eritromycin, dan nafcillin)

d. Hematoma

Hematoma terjadi sebagai akibat kebocoran darah ke jaringan di sekitar

area insersi. Hal ini disebabkan oleh pecahnya dinding vena yang

berlawanan selama penusukan vena, jarum keluar vena, dan tekanan yang

tidak sesuai yang diberikan ke tempat penusukan setelah jarum atau

kateter dilepaskan. Tanda dan gejala hematoma yaitu ekimosis,

pembengkakan segera pada tempat penusukan, dan kebocoran darah pada

tempat penusukan.

e. Trombophlebitis
Trombophlebitis menggambarkan adanya bekuan ditambah peradangan

dalam vena. Karakteristik trombophlebitis adalah adanya nyeri yang

terlokalisasi, kemerahan, rasa hangat, dan pembengkakan di sekitar area

insersi atau sepanjang vena, imobilisasi ekstremitas karena adanya rasa

tidak nyaman dan pembengkakan, kecepatan aliran yang tersendat,

demam, malaise, dan leukositosis.


f. Trombosis
Trombosis ditandai dengan nyeri, kemerahan, bengkak pada vena, dan

aliran infus berhenti. Trombosis disebabkan oleh injuri sel endotel dinding

vena, pelekatan platelet.


g. Occlusion
Occlusion ditandai dengan tidak adanya penambahan aliran ketika botol

dinaikkan, aliran balik darah di selang infus, dan tidak nyaman pada area

pemasangan/insersi. Occlusion disebabkan oleh gangguan aliran IV, aliran

balik darah ketika pasien berjalan, dan selang diklem terlalu lama.
h. Spasme vena
Kondisi ini ditandai dengan nyeri sepanjang vena, kulit pucat di sekitar

vena, aliran berhenti meskipun klem sudah dibuka maksimal. Spasme vena

bisa disebabkan oleh pemberian darah atau cairan yang dingin, iritasi vena

oleh obat atau cairan yang mudah mengiritasi vena dan aliran yang terlalu

cepat.
i. Reaksi vasovagal
Digambarkan dengan klien tiba-tiba terjadi kollaps pada vena, dingin,

berkeringat, pingsan, pusing, mual dan penurunan tekanan darah. Reaksi

vasovagal bisa disebabkan oleh nyeri atau kecemasan


j. Kerusakan syaraf, tendon dan ligament
Kondisi ini ditandai oleh nyeri ekstrem, kebas/mati rasa, dan kontraksi

otot. Efek lambat yang bisa muncul adalah paralysis, mati rasa dan

deformitas. Kondisi ini disebabkan oleh tehnik pemasangan yang tidak

tepat sehingga menimbulkan injuri di sekitar syaraf, tendon dan ligament.


B. Phlebitis
1. Pengertian
Phlebitis adalah reaksi inflamasi yang terjadi pada pembuluh darah vena

yang ditandai dengan nyeri, kemerahan, bengkak, panas, indurasi (pengerasan)

pada daerah tusukan, dan pengerasan sepanjang pembuluh darah vena

(Alexander, Corrigan, Gorski, Hanskin, & Perruca, 2010).


Phlebitis didefenisikan sebagai inflamasi vena yang disebabkan baik oleh

iritasi kimia maupun mekanik. Hal ini dikarekteristik dengan adanya daerah

yang memerah dan hangat disekitar daerah penusukan atau sepanjang vena,
nyeri atau rasa lunak didaerah penusukan atau sepanjang vena, dan

pembengkakan.
Insiden phlebitis meningkat sesuai dengan lamanya pemasangan jalur

intravena, komposisi cairan atau obat yang diinfuskan (terutama pH dan

tonisitasnya), ukuran dan tempat kanula dimasukkan, pemasangan jalur IV

yang tidak sesuai, dan masuknya mikroorganisme pada saat penusukan

(Smeltzer & Bare, 2009).


C. Derajat Plebitis
Phlebitis diklasifikasikan sesuai faktor penyebabnya. Skala phlebitis yang

direkomendasikan oleh Infusion Nursing Standar of Practise (2006) terdiri

dari lima dengan skala 0 sampai dengan 4, dimana skala 0 menunjukan tidak

terjadi plebitis sedangkan skala 4 menunjukan derajat plebitis yang paling

berat. Berikut adalah tabel yang menunjukan skala plebitis yang

direkomendasikan oleh Infusion Nursing Standar of Practise:

Tabel 2.1 Skala Phlebitis

Skala Kriteria Klinis


0 Tidak ditemukan gejala klinis
1 Eritema pada daerah insersi dengan nyeri atau tanpa nyeri
2 Nyeri pada daerah insersi ditandai dengan eritema dan/atau edema
3 Nyeri pada daerah insersi ditandai dengan eritema, pembentukan
lapisan dan/atau pengerasan sepanjang vena
4 Nyeri pada daerah insersi ditandai dengan eritema, pembentukan
lapisan, pengerasan sepanjang vena sepanjang > 1 inchi,
dan/atau keluaran porulen
Sumber : Infusion Nurse Society : Standard of Practise, (2006) dalam Alexander,

et al. (2010).

Pendektesian adanya plebitis dilakukan dengan mengobservasi semua

pasien yang terpasang infus lebih kurang 1 × 24 jam. Observasi juga


dilakukan ketika memberikan obat intravena, mengganti cairan infus, dan

terhadap perubahan kecepatan tetesan infus (Daugherty, 2008).

D. Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya plebitis

Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya plebitis menurut Perdue

adalah umur, jenis penyakit, ukuran kanula, jumlah insersi, lokasi vena yang

digunakan, lama penggantian kateter, frekuensi penggantian balutan dan jenis

cairan (Ignatavicius, Donna, & Workman, 2010).

Adapun uraian dari masing-masing faktor adalah sebagai berikut :

a. Umur

Umur mempengaruhi kondisi vena seseorang, dimana semakin muda

manusia (misal pada usia infant) pembuluh darah masih fragil sehingga mudah

pecah apalagi dengan gerakan yang tidak terkontrol meningkat resiko plebitis

mekanik. Dan tentunya dengan ukuran pembuluh darah yang kecil akan

menyulitkan dalam pemasangannya, sehingga dibutuhkan orang yang benar-

benar terampil. Sebaliknya orang semakin tua mengalami kekakuan

pembuluh darah hal ini juga menyebabkan semakin sulit untuk dipasang, serta

kondisi pembuluh darah juga sudah tidak dalam kondisi baik (Daugherty,

2008). Kategori umur menurut Depkes RI (2009) :

a) Masa remaja = 12-25 tahun

b) Masa dewasa = 26-45 tahun

c) Masa lansia = > 46 tahun

Lansia mengalami perubahan dalam struktur dan fungsi kulit seperti turgor

kulit menurun dan epitel menipis, akibatnya kulit lebih mudah terjadi luka.
Seiring dengan peningkatan usia dimana pasien yang usianya >60 tahun ,

memiliki vena yang bersifat rapuh, tidak elastis dan mudah hilang, sedangkan

pada pasien anak vena lebih bersifat kecil, elastis, dan mudah hilang. Hal

inilah yang akan mempengaruhi kejadian plebitis pada seseorang (Potter &

Perry, 2005).

Kejadian plebitis didahului dengan adanya thrombus yang ada di dinding

vena. Kejadian thrombus pada vena meningkat pada usia >40 tahun. Usia

diannggap sebagai suatu faktor resiko terjadinya thrombus (Bakta, 2007).

b. Jenis penyakit
Setiap pasien yang dirawat dirumah sakit umumnya mengalami penurunan

kekebalan tubuh baik disebabkan karena penyakitnya maupun karena efek dari

pengobatan. Riwayat penyakit seperti pembedahan, luka bakar, gangguan

kardiovaskuler, gangguan ginjal, gangguan pencernaan, gangguan persarafan

dan juga keganasan dapat menimbulkan masalah keseimbangan cairan,

elektrolit, dan asam basa. Semua kondisi tersebut membutuhkan terapi

intravena baik sebagai terapi utama maupun sebagai akses medikasi.

Pemberian terapi intravena dapat menimbulkan resiko terjadinya infeksi,

termasuk plebitis, karena adanya portal the entry and exit yang merupakan

akses masuknya mikroorganisme kedalam tubuh jika dilakukan tindakan

pencegahan yang adekuat (Potter & Perry, 2010).

c. Materi (bahan), panjang dan ukuran kanula

Materi (bahan) kanula sebaiknya non-iritatif, radiopaque (suatu materi

dari logam yang jika difoto dengan sinar X maka akan mudah terlihat), dan

tidak mempengaruhi terbentuknya thrombus (Daugherti & Watson (2008)


dalam Daugherty (2008). Jenis material meliputi pulyvinnylchloride,

TeflonTM, VialonTM, dan berbagai bahan polyurethane (Gabriel, 2008).

Banyak jenis dan tipe kanula yang digunakan dengan berbagai ukuran,

panjang, komposisi dan desain (Daugherti & Watson (2008) dalam Daugherty

(2008). Ukuran jarum berkisar antara 16-24 dan panjangnya 25-45 mm.

Secara umum, ukuran kateter yang lebih kecil sebaiknya dipilih untuk

mencegah kerusakan intima pembuluh darah dan mempertahankan aliran

darah sekitar kanula untuk mengurangi resiko plebitis (Tagalaki, et al (2002)

dalam Daugherty (2008). Ukuran jarum yang terlalu besar memudahkan

pembuluh darah bersinggungan secara berlebihan. Akan tetapi pemilihan

ukuran kateter juga dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti durasi dan

komposisi cairan tubuh, kondisi klinik, usia pasien, ukuran dan kondisi vena

(Alexander,Corrigan, Gorski, Hanskin, & Perruca, 2010).

Tabel 2.2 Rekomendasi dalam pemilihan kateter

Ukuran kateter Aplikasi klinis


14,16,18 Trauma, pembedahan, transfusi darah
20 Infus kontinu atau intermitten, tranfusi darah
22 Infus intermitten umum, anak-anak, pasien lansia
24 Vena fragil untuk infus intermitten atau kontinu
Sumber: Infusion Nurse Society: Standard of Practise, (2006) dalam Alexander, et
al. (2010).
Pemilihan ukuran kateter, sebaiknya dipilih sesuai dengan anatomi vena

pasien. Kanula terdiri dari ukuran 16-20 untuk pasien dewasa dengan variasi.

Pada umumnya, pemilihan kanula dengan ukuran yang kecil seharusnya

menjadi pilihan utama pada terapi pemasangan intravena untuk mencegah

kerusakan pada vena intima dan memastikan darah mengalir di sekitar kanula
dengan adekuat untuk menurunkan resiko kejadian plebitis. Ukuran kateter

intravena merupakan bentuk kateter yang digunakan untuk menusuk vena

yang bertujuan untuk memasukkan cairan atau obat kedalam tubuh pasien,

sehingga lebih cepat untuk bereaksi atau berespon di dalam tubuh. Ukuran

kateter yang biasa digunakan pada pasien dewasa adalah ukuran kateter 16-

20.

Apabila ukuran kateter tidak sesuai dengan ukuran vena pasien maka akan

berisiko untuk terjadinya plebitis, sesuai dengan apa yang diungkapkan

Pujasari dalam Darmawan (2008) Plebitis mekanik terjadi cedera pada tunik

intima vena, plebitis mekanik berkenaan dengan pemilihan vena dan

penempatan kanula atau kateter, ukuran kanula atau kateter yang terlalu besar

dibandingkan dengan ukuran vena, fiksasi kanula yang tidak adekuat,

ambulasi berlebihan terhadap sistem dan pergerakan ekstremitas yang tidak

terkontrol.

d. Jumlah insersi

Jumlah insersi yang dimaksud adalah jumlah insersi kateter yang

dilakukan oleh perawat sebelum insersi yang berhasil (Ignatavicius, Donna, &

Workman, 2010). INS (2006) merekomendasikan tidak lebih dari dua upaya

penyisipan kateter oleh seorang perawat (Alexander, Corrigan, Gorski,

Hanskin, & Perruca, 2010). Pemahaman ini perlu diketahui oleh semua

perawat bahwa saat kateter diinsersikan kedalam vena, maka setelah itu

kateter telah terkontaminasi. Jadi, ketika kateter menembus kulit, maka akan

terkontaminasi mikroorganisme yang ada pada kulit.


e. Penggantian balutan (dressing)

INS (2006) dalam Alexander, et al. (2010) merekomendasikan bahwa

kriteria perawatan daerah insersi kateter yaitu : yang pertama pertemuan kulit

dengan kateter harus dibersihkan dengan cairan antiseptic, dan yang kedua

adalah meminimalkan kerusakan dan pergerakan kateter. Balutan untuk

menutupi tempat insersi kanula IV merupakan faktor yang mempengaruhi

terjadinya infeksi, hal ini dipengaruhi karena faktor kelembaban. Kondisi

lingkungan yang lembab menyebabkan mikroba akan lebih cepat berkembang,

sehingga tempat insersi kanula IV harus dijaga agar tetap kering (Hidley,

2006). Jenis balutan moisture-permeable transparan adalah termasuk kedalam

modern dressing untuk terapi intravena, selain mudah untuk memasangnya,

juga mudah untuk mengobservasi tempat insersi dari tanda-tanda infeksi, serta

bersifat waterproof untuk meminimalkan potensial infeksi (Gabriel, 2008).

Seperti hasil penelitian yang dilakukan oleh Gayatri dan Handayani (2012)

didapatkan bahwa penggunaan balutan transparan diperoleh probabilitas untuk

tidak terjadinya phlebitis pada 24 jam ketiga adalah 78% . Sedangkan

penggunaan balutan konvensional (kassa betadine dan plester) akan

meningkatkan resiko terjadinya plebitis sebesar 4,3 kali dibandingkan dengan

yang memakai balutan transparan.

Gorski (2007) dalam Ignatavicius, et al. (2010) mengatakan bahwa

frekuensi penggantian balutan dilakukan berdasarkan jenis balutan. Jenis

balutan yang menggunakan plester dan kassa harus diganti setiap hari,

sedangkan untuk jenis balutan transparan harus diganti maksimal selama 7


hari. Akan tetapi penggantian balutan dapat lebih cepat dari yang

direkomendasikan. Prinsipnya balutan harus diobervasi setiap hari, dijaga

supaya tetap kering, tidak boleh longgar, dan jika basah atau kotor harus

segera diganti dengan teknik aseptic atau steril.

f. Jenis cairan
Power of hyfrogen (pH) dan osmolalitas cairan infus yang ekstrem selalu

diikuti resiko phlebitis tinggi. ph larutan dekstrosa berkisar antara 3- 5,

dimana keasaman diperlukan untuk mencegah karamelisasi dekstrosa selama

proses sterilisasi autoklaf, jadi larutan yang mengandung glukosa, asam amino

dan lipid yang digunakan dalam nutrisi parenteral bersifat lebih flebitogenik

dibandingkan normal saline. Obat suntik yang bisa menyebabkan peradangan

vena yang hebat, antara lain kalium klorida, vancomycin, amphotrecin B,

cephalosporin, diazepam, midazolam, dan banyak obat kemoterapi. Larutan

infus dengan osmolalitas > 900 mOsm/L harus diberikan melalui vena sentral

(Daugherty, 2008).
Semakin tinggi osmolalitas cairan maka resiko untuk terjdinya phlebitis

akan semaki meningkat, karena terjadi iritasi pembuluh darah akibat gesekan,

misalnya dextrose 5%+RL, NaCl 45%, manitol. Larutan larutan ini menarik

air dan kompartemen intraseluler ke ekstraseluler dan menyebabkan sel-sel

mengkerut. Jika diberikan dengan cepat dan dalam jumlah yang besar, dapat

menyebabkan kelebihan volume ekstraseluler dan mencetuskan kelebihan

cairan sirkulatori dan dehidrasi. Selain konsentrasi cairan ph yang terlalu asam

atau terlalu basa juga meningkat resiko terjadinya plebitis. Selain itu, jenis

medikasi seperti anticoagulant atau pemberian kortikosteroid jangka panjang


menyebabkan vena menjadi rapuh dan rentan terjadi memar (Daugherty,

2008).
g. Teknik kesterilan perawat sewaktu pemasangan dan penusukan intravena
Teknik kesterilan sewaktu pemasangan infus juga sangat perlu

diperhatikan, melakukan desinfektan sebelum penusukan kanule intravena

pada daerah sekitar penusukan dengan kapas alcohol 70% serta kesterilan alat-

alat yang digunakan akan berperan penting untuk menghindari komplikasi

peradangan vena, seperti : cuci tangan sebelum melakukan tindakan,

desinfektan daerah yang akan dilakukan penusukan (Smeltzer dan Bare,

2009).
E. Pencegahan Phlebitis
a. Pencegahan phlebitis menurut Darmawan (2009) antara lain:
1) Cuci tangan.
2) Tehnik aseptik.
3) Perawatan daerah yang terpasang infus.
4) Tehnik antiseptik kulit
5) Ketepatan laju pemberian cairan infus.
b. Menurut Potter dan Perry (2005) sikap perawat dalam usaha pencegahan

phlebitis adalah:
1) Cuci tangan sebelum dan sesudah melakukan tindakan.
2) Memperhatikan sterilitas alat.
3) Ganti balutan infus setiap 24 jam
4) Perhatikan tanggal dan lama pemasangan, ganti infus padahari ke-3

untuk mencegah phlebitis. Usaha pencegahan infeksi nosokomial

phlebitis adalah tanggung jawab petugas kesehatan di rumah sakit

terutama perawat, perawat merupakan tenaga profesional yang selalu

berhubungan dengan pasien selama 24 jam.


F. Macam-Macam Kompres Plebitis
Bila terlihat ada infeksi pada pemasangan infus maka kanul harus

dipindahkan. Area kulit sekitar pemasangan infus harus dibersihkan dengan

70% isoprofil alkohol dan dibiarkan kering. Jika tampak drainase purulen
maka harus dilakukan pemeriksaan kultur sebelum kulit dibersihkan. Apabila

akan dilakukan pemasangan infus kembali maka lokasi pemasangan infus

harus dipindahkan pada area yang berseberangan, misal sebelumnya infus

dipasang di ektremitas kiri maka diusahakan untuk pemasangan infus

berikutnya di lokasi ekstremitas kanan. Sedangkan pada area yang mengalami

phlebitis dapat diberikan kompres untuk mempercepat penyembuhan dan

kenyamanan pasien (Hankins et al, 2001).


Kompres dapat diberikan selama 20 menit dilakukan beberapa kali sehari

lalu dievaluasi kemajuan penyembuhan luka yang dialami (Angeles, 1997).

Jenis kompres yang dapat diberikan adalah:


a. Kompres Normal Salin
Normal salin merupakan cairan kristaloid yang bersifat isotonis, fisiologis,

non toksik, dan tidak menimbulkan reaksi hipersensitivitas sehingga aman

digunakan untuk tubuh dalam kondisi apapun. Normal salin dalam setiap

liternya mempunyai komposisi natrium dan klorida yang dibutuhkan oleh

tubuh, sehingga cairan ini sering digunakan untuk terapi penggantian

cairan melalui pemasangan infus. Natrium klorida terdiri dari beberapa

konsentrasi, yang paling sering digunakan adalah natrium klorida 0.9%

atau disebut dengan NaCl 0.9% yang merupakan konsentrasi normal dari

natrium klorida sehingga disebut normal salin.


Cairan normal salin juga dapat digunakan dalam perawatan luka karena

menurut O’Neill (2002), Valente et al (2003), dan Salami, Imosemi, dan

Owaoye (2006) normal salin tidak menimbulkan iritasi, tidak merusak

pada jaringan baru, melindungi granulasi jaringan dari kondisi kering,

menjaga kelembaban sekitar luka, tidak berdampak pada fungsi fibroblast


dan keratinosit pada penyembuhan luka. Hasil penelitian Bansal et al

(2002) menunjukkan bahwa penggunaan normal salin dan air tidak

meningkatkan risiko terjadinya infeksi pada anak yang mengalami luka

laserasi. Penelitian lain membuktikan bahwa pemberian kompres normal

salin pada luka dapat membantu respon anti inflamasi dan meningkatkan

sirkulasi darah, sehingga mempercepat proses penyembuhan luka dan

menghilangkan gejala nyeri, kemerahan, dan edema (Bashir & Afzal,

2010).
b. Kompres Air Hangat
Air terdiri dari susunan senyawa kimia hidrogen dan oksigen. Air

merupakan unsur alam yang memiliki manfaat sangat banyak dalam

kehidupan alam semesta. Air dalam kesehatan biasanya digunakan untuk

hidro terapi, pelarut, dan pembersih luka. Berdasarkan penelitian yang

dilakukan oleh Cunliffe dan Fawcett (2002) bahwa penggunaan air untuk

membersihkan luka terbukti aman dan dapat menghemat biaya

pengeluaran, selain itu menurut Griffiths, Fernandez, dan Ussia (2001)

penggunaan air tidak meningkatkan terjadinya risiko infeksi pada luka.


Menurut Godinez et al, 2001 (dalam Trevillion, 2008) serta Sasson,

Kennah, dan Diner (2005) penggunaan air dapat menurunkan tingkat

infeksi pada luka. Sedangkan hasil penelitian Kulisch et al (2009)

diungkapkan bahwa penggunaan kompres air hangat dengan suhu 34o C

selama 20 menit dapat menurunkan tingkat nyeri pada pasien dengan nyeri

punggung bagian bawah. Pemberian kompres hangat dan lembab pada

area phlebitis dapat membantu proses penyembuhan dan memberikan

kenyamanan pada pasien (Hankins et al, 2001).


c. Kompres Alkohol
Alkohol merupakan cairan antiseptik yang bersifat bakterisida kuat dan

cepat dalam mensucihamakan kulit dan sering digunakan untuk

membersihkan luka. Masih terdapat kontroversi mengenai penggunaan

cairan antiseptik terhadap penyembuhan luka. Menurut Sibbald et al

(2000) antiseptik memiliki aktivitas antibakteri yang tinggi terhadap

bakteri gram positif dan negatif termasuk beberapa fungi dan virus.

Salami, Imosemi, dan Owaoye (2006) menyatakan antiseptik dapat

menimbulkan kerusakan pada jaringan-jaringan baru dan berdasarkan hasil

penelitian menunjukkan bahwa penggunaan antiseptik dengan jenis

chlorhexidine pada luka dapat mengalami granulasi jaringan dan sembuh

normal meskipun dengan waktu yang lebih lama dibandingkan dengan

menggunakan kompres normal salin dan air.Alkohol yang dapat digunakan

dalam perawatan luka adalah alkohol 70%.


Alkohol 70% memiliki kandungan osmolaritas cairan yang tidak bersifat

hipertonis sehingga tidak menimbulkan iritasi. Pada kadar 70%, alkohol

memiliki aktivitas bakterisida atau kemampuan membunuh bakteri gram

positif dan negatif yang optimal (Anwar, 2008). Selain itu alkohol 70%

tidak cepat menguap sehingga mudah untuk digunakan dalam perawatan

luka.
G. Normal Saline 0,9%
NaCl 0,9% (normal saline) dapat dipakai sebagai cairan resusitasi

(replacement therapy),terutama pada kasus seperti kadar Na+ yang rendah,

dimana RL tidak cocok untuk digunakan (sepertipada alkalosis, retensi


kalium). NaCl 0,9% merupakan cairan pilihan untuk kasus trauma

kepala,sebagai pengencer sel darah merah sebelum transfusi.


Cairan ini memiliki beberapa kekurangan yaitu tidak mengandung HCO3 -.

tidak mengandung K+, dapat menimbulkan asidosis hiperkloremik karena

mempunyai komposisi klorida sama dengannatrium, serta menyebabkan

asidosis dilusional, sebagai contoh, 1 liter larutan dengan komposisi Na+ 70

mEq/l dan Cl- 55 mEq/l (SID=15) ditambahkan 1 liter larutan NaCl 0,9 %

yang terdiri dariNa+ 154 mEq/l dan Cl- 154 mEq/l (SID=0), maka hasilnya

adalah kadar natrium akan meningkat, namun tidak sebesar peningkatan

kadar klorida, akibatnya SID turun, larutan saat ini mengandung Na+ 112

mEq/l dan Cl- 105 mEq/l sehingga SID turun dari 15 menjadi 7 (112-105).

Penurunan SID menyebabkan peningkatan H+ atau penurunan OH- yang

berakibat terjadinya asidosis.


Kemasan larutan kristaloid NaCl 0,9% yang beredar di pasaran memiliki

komposisi elektrolitNa+ (154 mEq/L) dan Cl- (154 mEq/L), dengan

osmolaritas sebesar 300 mOsm/L. Sediaannya adalah500 ml dan 1.000 ml.


NaCl 0,9% (normal saline) dapat dipakai sebagai cairan resusitasi

(replacement therapy), terutama pada kasus seperti kadar Na+ yang rendah,

dimana RL tidak cocok untuk digunakan (seperti pada alkalosis,retensi

kalium). NaCl 0,9% merupakan cairan pilihan untuk kasus traumakepala,

sebagai pengencer sel darah merah sebelum transfusi.


Cairan ini memiliki beberapa kekurangan, yaitu tidak mengandung HCO3,

tidak mengandung K+, dapat menimbulkan asidosis hiperkloremik, asidosis

dilusional, dan hipernatremi.Kemasan larutan kristaloid NaCl 0,9% yang

beredar di pasaran memiliki komposisi elektrolit Na+ (154 mEq/L) dan Cl-
(154 mEq/L), dengan osmolaritas sebesar 300 mOsm/L. Sediaannya adalah

500 ml dan1.000 ml.


Pemberian kompres normal salin pada pasien yang mengalami phlebitis

bertujuan untuk mengurangi gejala eritema, nyeri, dan edema pada area di

sekitar phlebitis sehingga dapat membantu menurunkan derajat phlebitis dan

memberikan kenyamanan pada pasien yang mengalami phlebitis. Hal tersebut

didukung oleh penelitian Bashir dan Afzal (2010) yangmenunjukkan bahwa

pemberian kompres normal salin pada luka dapat menurunkan gejala edema

karena cairan normal salin dapat menarik cairan dari luka melalui proses

osmosis, hal ini terbukti karena tingkat osmolaritas pada kassa yang

digunakan untuk kompres luka berubah menjadi hiperosmolar. Selain itu

dalam penelitian tersebut juga diketahui bahwa normal salin memiliki respon

anti inflamasi sehingga dapat menurunkan gejala nyeri dan eritema yang

timbulpada luka, serta meningkatkan aliran darah menuju area luka, sehingga

mempercepat proses penyembuhan luka.


BAB III

TELAAH JURNAL

A. Telaah Penulisan Jurnal

1. Judul Jurnal

Jurnal yang baik adalah jurnal yang memiliki judul yang jelas dan dapat

memudahkan pembaca dalam mengetahui inti jurnal. Judul tidak boleh

memiliki makna ganda.

Kelebihan Judul Jurnal :

a. Pada judul jurnal ini sudah mampu menjelaskan tentang keefektifan

pemberian kompres normal salin 0,9% terhadap phlebitis.

b. Pada judul jurnal ini sudah mengambarkan isi jurnal dengan cermat

dan mengambarkan sasaran pada penelitian ini.

c. Pada judul sudah mencantumkan nama peneliti, asal institusi dan

alamat.

d. Judul jurnal ini sudah mengambarkan subjek dan kata kunci dari

penelitian.
Kekurangan Judul Jurnal :

a. Pada judul jurnal terdiri dari 17 kata, dimana tidak sesuai dengan

aturan akreditasi dikti dimana judul yang baik memiliki 15 kata.

b. Judul jurnal dalam bahasa inggris tidak sesuai dengan aturan

akreditasi dikti, dimana judul jurnal (in english) yang baik adalah 10

kata, sedangkan pada jurnal ini 19 kata.

c. Pada penulisan judul jurnal bahasa inggris terdapat penulisan kata yang

tidak tepat.

2. Abstrak

Kriteria abstrak jurnal yang baik adalah pendek (kurang lebih 200 kata)

sesuai dengan kebijakan berkala, biasanya hanya 1 paragraf, di tulis

dengan kalimat penuh, dapat berdiri sendiri jika di pisah dari makalah

penelitian, isi jurnal lengkap (latar belakang, tujuan, lingkup, metode, dan
hasil dari peneltian serta kata kunci dari penelitian). Abstrak pada jurnal

berfungsi untuk menjelaskan secara singkat tentang keseluruhan isi jurnal.


Kelebihan Abstrak Jurnal :
a. Jurnal ini memiliki abstrak yang sesuai dimana terdiri dari 197

kata,dengan isi cukup jelas.


b. Abstrak pada jurnal ini sudah baik dan berurutan yang terdiri dari latar

belakang, tujuan, metode, hasil dan kata kunci.


Kelemahan Abstrak Jurnal
a. Pada abstrak jurnal ini tidak menggambarkan fenomena terkait dengan

penelitian
b. Jurnal ini juga menjelaskan hasil dari penelitian sebelumnya.
c. Abstrak di jurnal ini tidak menjelaskan jenis jurnal kesimpulan

dibidang dari jurnal tersebut


d. Pada abstrak jurnal ini tidak mencantumkan jumlah dan tahun dari

referensi yang biasanya di cantumkan di keyword penelitian


3. Pendahuluan

Pendahuluan jurnal terdiri dari latar belakang penelitian, tujuan penelitian,

penelitian sejenis yang mendukung penelitian dan manfaat penelitian.

Pendahuluan terdiri dari 4-6 paragraf, dimana dalam setiap paragraf terdiri

dari 4-5 kalimat.


Kelebihan pendahuluan jurnal :
a. Pendahuluan pada jurnal ini sudah baik memiliki 6 paragraf
b. Pada jurnal ini fenomena sudah cukup baik dimana membahasa

tentang prevalensi plebitis di rumah sakit di dunia.


Kelemahan pendahuluan jurnal :

a. Data pada pendahuluan tidak merupakan data terbaru, yaitu pada tahun

2007 yang seharusnya menggunakan data minimal 5 tahun terakhir


b. Pendahuluan tidak mencantumkan penelitian sebelumnya sehingga

membandingkan hasil penelitian


4. Metodologi
Metode penelitian pada jurnal ini merupakan orginal article, yaitu

penelitian yang dilakukan secara langsung oleh peneliti dan dibantu

dengan penelitian yang sebelumnya sehingga memunculkan rekomendasi-

rekomendasi terbaru yang berdasarkan dengan penelitian. Pada metode

peneltiian ini sudah mencantumkan jenis, design, populasi, jumlah sampel,

teknik penelitian, tempat penelitian dan waktu penelitian.

5. Hasil
Hasil pada jurnal ini membahas tentang hasil penelitian distribusi

karakteristik sosialdemografi dan terapi yang di dapatkan oleh responden


Kelebihan hasil jurnal :
 Hasil dari jurnal ini sudah menggambarkan tujuan dari penelitian

dimana untuk menganilisis kompres normal salin terhadap phlebitis


 Jurnal ini mengarahkan pembaca terutama perawat dan tenaga

medis bagaimana hasil pengaruh kompres normla salin 0,9%

terhadap phlebitis
6. Pembahasan
Kelebihan pembahasan jurnal :
Pada pembahasan jurnal ini, telah menjelaskan dengan cukup baik, dan

membandingkan dengan penelitian sebelumnya. Keseluruhan isi sudah

berurutan dan sesuai dengan kriterian teknik penulisan yang baik dan

benar.
kekurangan pembahasan jurnal :

Pada pembahasan tidak dijelaskan bagaimana patofisiologi dari phlebitis

sehingga tidak menggambarkan proses penyakit.

7. Kesimpulan
Kesimpulan pada jurnal ini lebih menjelaskan tentang bagaimana pengaruh

dari kompres normal salin 0,9% terhadap phlebitis namun tidak

menjelaskan secara rinci bagaimana hasil dari penelitian tersebut.

8. Saran
Jurnal ini sudah memiliki saran yang baik dimana jurnal ini

merekomendasikan untuk menambah referensi di institusi keperawatan.

B. Telaah Konten Jurnal

1. Phlebitis

Infusion Nursing Society (INS 2010), phlebitis merupakan peradangan

pada tunika intima pembuluh darah vena, yang sering dilaporkan sebagai

komplikasi pemberian terapi infus. Peradangan didapatkan dari mekanisme

iritasi yang terjadi pada endhothelium tunika intima vena, dan perlekatan

tombosit pada area tersebut. Phlebitis merupakan peradangan yang terjadi

pada pembuluh darah vena (Josephson, 2004). Phlebitis merupakan inflamasi

vena yang disebabkan oleh iritasi kimia maupun mekanik yang disebabkan

dari pemberian terapi infus yang ditandai dengan peradangan pada dinding

vena, nyeri, kemerahan, teraba lunak, pembengkakan dan hangat pada lokasi

penusukan (Trianiza, 2013). Peradangan merupakan respon imun tubuh

terhadap timbulnya berbagai jenis luka atau invasi.


Phlebitis dapat menyebabkan trombus yang selanjutnya menjadi

trombophlebitis. Perjalanan penyakit ini biasanya jinak, akan tetapi jika

trombus terlepas dan kemudian diangkut ke aliran darah dan masuk ke

jantung maka dapat menimbulkan seperti katup bola yang menyumbat atrio

ventricular secara mendadak dan dapat menimbulkan kematian (Trianiza,

2013). Phlebitis terjadi akibat vasodilatasi lokal yang dapat meningkatkan

aliran darah, peningkatan permeabilitas vaskular dan pergerakan sel darah

putih terutama netrofil dari aliran darah menuju area luka. Perpindahan

plasma terjadi dari kapiler menuju seluruh jaringan. Fenomena ini

mengakibatkan terjadinya pembengkakan lokal yang menimbulkan nyeri

akibat tekanan dari edema pada daerah ujung saraf. Sejalan dengan proses

inflamasi, bakteri toksin dan protein terbentuk akibat invasi sinyal organisme

ke hipotalamus untuk meningkatkan suhu tubuh di atas normal. Prostaglandin

terbentuk dari fosfolipid dalam membran sel yang juga berkontribusi terhadap

proses inflamasi, nyeri dan demam (Josephson, 2004).


Faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan risiko terjadinya phlebitis

adalah (Hankins et all, 2001) :


a. Bahan kanul, ukuran kanul dan balultan yang digunakan
b. Insersi kanul oleh petugas yang belum ahli
c. Area insersi kanul yang tidak tepat secaa anatomi
d. Pemasangan kanul yang berkepanjangan
e. Penggantian balutan tidak rutin
f. Ketidakcocokan jenis, pH dari medikasi dan cairan
g. Faktor karakteristik seperti usia dan penyakit yang menyertai.
Etiologi phlebitis diklasifikasikan menjadi phlebitis kimiawi, bakterial dan

mekanikal (Hankins,2001). Phlebitis kimiawi terjadi akibat adanya kontak

antara vena dengan cairan yang mengandung osmolaritas rendah atau tinggi

sehingga menyebabkan inflamasi seperti iritasi cairan atau obat-obatan,


ketidaktepatan campuran obat, pemberian obat atau cairan dalam tetesan

yang cepat, iritasi partikel, struktur atau bahan kanul (Josephson, 2004).

Phlebitis bakterial merupakan inflamasi vena intima yang berhubungan

dengan infeksi bakteri (Hankins et all, 2001). Sedangkan phlebitis mekanik

berhubungan dengan penempatan kanul, diantaranya kanul yang ditempatkan

pada area persendian, vena yang memiliki lumen yang kecil dan pergerakan

yang banyak.
Tanda dan gejala phlebitis yang dapat dirasakan pasien langsung salah

satunya adalah nyeri. Nyeri phlebitis dapat ditangani dengan cara farmakologi

dan non farmakologi. Ketepatan menentukan intervensi dalam menangani

nyeri phlebitis dapat membantu meminimalkan nyeri. Salah satu cara non

farmakologi untuk mengurangi nyeri phlebitis adalah dengan pemberian

kompres.
2. Pasien Yang Mengalami Phlebitis
Berdasarkan hasil penelitian di jurnal, kejadian phlebitis lebih banyak

terjadi pada pasien berjenis kelamin perempuan. Hal ini disebabkan karena

perempuan memiliki pembuluh darah yang berukuran lebih kecil

dibandingkan dengan ukuran pembuluh darah laki-laki yang terlihat besar.

Selain itu pasien yang berjenis kelamin perempuan juga cenderung

melakukan mobilitas tinggi saat dirawat dirumah sakit, seperti sering ke

kamar mandi sehingga dapat meningkatkan resiko phlebitis dibandingkan

dengan pasien berjenis kelamin laki-laki.


Usia mempengaruhi kondisi vena seseorang. Pada mereka yang berusia

lanjut vena yang dimiliki bersifat rapuh, tidak elastis dan mudah hilang

(kolap). Hal ini dapat mempengaruhi kejadian phlebitis pada saat pemasangan
infus. Pada usia lanjut, pembuluh darah akan mengalami kekakuan yang

dapat menyebabkan sulitnya infus untuk dipasang dan kondisi pembuluh

darah juga sudah tidak dalam kondisi baik (Dougherty, 2010).


Pasien yang terdiagnosa medis infeksi akan berisiko mengalami phlebitis,

karena prinsip dari pemasangan infus ialah memasukkan benda asing ke

dalam tubuh, apabila pasien tersebut sudah mengalami infeksi maka akan

berisiko tinggi mengalami phlebitis. Setiap pasien yang dirawat di rumah

sakit umumnya mengalami penurunan kekebalan tubuh baik disebabkan

karena penyakitnya maupun karena efek dari pengobatan (Potter & perry,

2009).
Berdasarkan lokasi pemasangan infus, pasien yang sering mengalami

phlebitis terpasang infus pada lokasi metacarpal. Pemasangan infus pada

lokasi ini cenderung menyebabkan phlebitis sebab jalur masuknya terapi

intravena sering terhalang karena pergerakan pergelangan tangan sehingga

tidak selalu terapi yang melalui intravena tersebut terbendung dan bisa

menyebabkan bengkak hingga kemerahan.


Pasien yang mengalami phlebitis karena pemberian cairan yang bersifat

isotonik. Cairan isotonik akan menajdi lebih hiperosmoler apabila ditambah

dengan obat, elektrolit maupun nutrisi. Selain itu pemberian antibiotik dalam

waktu yang sering akan berisiko menyebabkan phlebitis. Pemberian program

medikasi berupa antibiotik dapat mengakibatkan phlebitis kimiawi. Phlebitis

kimiawi berhubungan dengan respon vena intima terhadap zat kimia berupa

cairan atau obat-obatan yang menimbulkan inflamasi.


3. Kompres normal salin 0.9%
Sifat dari cairan isotonik dapat menurunkan derajat phlebitis. Penurunan

derajat phlebitis memerlukan waktu, yang dapat diterapkan dalam praktek


keperawatan sehingga pasien yang mengalami phlebitis dapat mengalami

penurunan derajat phlebitis dan mendapat kenyamanan. Pada jurnal ini,

peneliti mengungkapkan bahwa sebagian besar dari responden mengatakan

bahwa merasa nyaman setelah dilakukan kompres.


Prosedur kompres normal salin 0,9% yang dilakukan peneliti berdasarkan

jurnal dengan melakukan penilaian derajat phlebitis berdasarkan skor VIP.

Kemudian dilakukan intervensi kompres normal salin 0,9% selama 2 hari.

Untuk setiap ahrinya dilakukan kompres sebanyak 3 kali dalam 1 kali

kompres dilakukan selama 30 menit. Setelah 2 hari dilakukan intervensi

kompres normal salin 0,9% kemudian peneliti melakukan penilaian derajat

phlebitis.
4. Pengaruh kompres normal salin 0,9% terhadap phlebitis
Pada jurnal ini didapatkan hasil bahwa terdapat pengaruh kompres normal

salin 0,9% terhadap phlebitis di ruang rawat inap rumah sakit panti waluya

sawahan malang. Suasana luka osmolaritas yang tinggu juga dipertimbangkan

sebagai salah satu faktor yang mempercepat penyembuhan luka. Normal salin

0,9% sebagai bahan kompres luka merupakan salah satu bahan yang bersifat

osmolaritas tinggi (Ayodeji et all, 2006). Hal ini sejalan dengan penelitian

Bashir dan Afzal (2010) yang menunjukkan bahwa normal salin 0,9%

memiliki respon anti inflamasi sehingga dapat menurunkan gejala nyeri dan

eritema yang timbul pada luka, serta meningkatkan aliran darah menuju area

lulka sehingga mempercepat proses penyembuhan luka.


Selain dapat menurunkan derajat phlebitis, pemberian kompres normal

salin tidak menimbulkan efek samping apapun pada pasien yang mengalami

infeksi. Pemberian kompres normal salin pada pasien yang mengalami


phlebitis bertujuan untuk mengurangi gejala eritema, nyeri dan edema pada

area sekitar phlebitis sehingga dapat menurunkan derajat phlebitis dan

memberikan kenyamanan pada pasien yang mengalami phlebitis. Kompres

normal salin 0,9% dapat menurunkan nyeri phlebitis dan membantu proses

granulasi jaringan dan penyembuhan luka (Evangeline et all, 2015). Kompres

normal salin 0,9% lebih efektif pada pasien dengan phlebitis mekanik dan

kimiawi karena dapat mengurangi eritema dan edema.

BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

B. Saran
DAFTAR PUSTAKA

Alexander, M., Corrigan, A., Gorski, L., Hanskin, J., & Perruca, R.
(2010).Infusion nursing society, Infusion nursing: An evidence-based
approach. Third Edition. St. Louis: Dauders Elsevier.

Angeles, T. (1997). How to prevent phlebitis. Nursing, 01, 26-27. February 17,
2011. Nursing & Allied Health Source (Proquest) database.
Anwar, S. (2008). Aktivitas alkohol 70%, povidon iodin 10% dan kasa kering
steril dalam pencegahan infeksi pada perawatan tali pusat pasca
pemotongan, serta lama lepasnya tali pusat di ruang neonatologi bagian
ilmu kesehatan anak RSU Dr. Zainoel Abidin Banda Aceh. Jurnal
Dinamika, 6(2), 260-268. July 12, 2011. Google Search.Bansal, B., Wiebe,
R., Perkins, S., & Abramo, T. (2002). Tap water for irrigation of
lacerations. American Journal of Emergency Medicine, 20(5), 169-472.
January 11, 2011. CINHL (Ebsco Host) database.

Ayodeji A, Innocent I, Olatunde O. 2006. A Comparation Of The Effect Of

Chlorhexidine, Tap Water And Normal Salin On Wound Healing, Int J

Morphol; 24.P.673-676.

http://journals/ccmjournal/2006/05/woundhealing/673676. Diakses Pada 9

Desember 2017

Bashir, M.M., & Afzal, S. (2010). Comparison of normal saline and honey
dressing in wound preparation for skin grafting. Annals Journal, 2(6), 120-
123. February 11, 2011. CINHL (Ebsco Host) database.

Cunliffe, P., & Fawcett, T. (2002). Wound cleansing: The evidence for the
techniques and solutions used. Profesional Nurse, 18(2), 95-99. December
28, 2010. CINHL (Ebsco Host) database.

Darmadi. (2008). Infeksi Nasokomial Problema dan Pengendaliannya. Jakarta:


Salemba Medika

Darmawan. (2009). Kebutuhan Dasar Manusia. Jakarta : Salemba Medika.


Diponegoro.

Daugherty, L. (2008). Standard For Infusion Therapy. The RCN IV Therapy


Forum.
Gabriel, J., Bravery, K., Daugherty, L., Kayley, J., Malster, M. (2005). Vascular
access: Indication and implication for patient care. Nursing Standard,
19(26), 45-52.

Gayatri, D., & Handayani, H. (2008). Hubungan jarak pemasangan terapi


intravena dari persendian terhadap waktu terjadinya plebitis. Jurnal
Keperawatan Indonesia, 11(1), 1-5.

Griffiths, R.D., Fernandez, R.S., & Ussia, C.A. (2001). Is tap water a safe
alternative to normal saline for wound irrigation in the community setting?.
Journal of Wound Care, 10(10), 407-411. January 11, 2011. Nursing &
Allied Health Source (Proquest) database.

Hankins, J., Lonsway, R.A.W., Hedrick, C., & Perdue, M.B. (2001). Infusion
therapy in clinical practice (2nd ed.). Philadelphia: W.B. Saunders Company.

Hidayat, A. Aziz Alimul. 2008. Pengantar Konsep Dasar Keperawatan. Jakarta:


Salemba Medika

Hinlay.2006. Terapi Intravena pada Pasien di Rumah Sakit.Yogyakarta : Nuha


Medika

Ignatavicius, D., & Workman, M. L. (2010). Medical Surgical Nursing : Patient


Centered Collaborative care. 6 th Edition. Canada: WB Saunders Company.

Kulisch, A., Bender, T., Nemeth, A., & Szekeres, L. (2009). Effect of thermal
water and adjunctive electrotherapy on chronic low back pain: A double-
blind, randomized, follow-up study. Journal of Rehabilitation Medicine,
41(1), 73-79. January 19, 2011. Nursing & Allied Health Source (Proquest)
database.

O’Neill, D. (2002). Can tap water be used to irrigate wound in A&E?. Nursing
Times Plus, 98(14), 56-59. January 4, 2011. Nursing & Allied Health Source
(Proquest) database.
Potter, P. A., & Perry, A. G. (2010). Fundamental Of Nursing 7 th Ed. Canada:
Elsavier.

Pujasari, H. & Sumarwati, M. (2010). Angka kejadian plebitis dan tingkat


keparahannya di ruang penyakit dalam di sebuah rumah sakit di Jakarta.
Jurnal Keperawatan Indonesia, 6(1), 1-5.

Salami, A.A., Imosemi, I.O., & Owaoye, O.O. (2006). A comparison of the effect
of chlorhexidine, tap water, and normal saline on healing wounds.
International Journal Morphology, 24(4), 673-676. December 24, 2010.
CINHL (Ebsco Host) database.

Sasson, C., Kennah, A., & Diner, B. (2005). Evidence based medicine: Wound
cleaning water or saline?. Israeli Journal of Emergency Medicine, 5(4), 3-6.
January 11,2011. Nursing & Allied Health Source (Proquest) database.

Sibbald, R., Williamson, G.D., Orsted, H., Campbell, L.K., Keast, D., Krasner, D.,
et al. (2000). Preparing the wound bed debridement, bacterial balance, and
moisture balance. Ostomy/Wound Management, 46(11), 14-35. January 11,
2011. Nursing & Allied Health Source (Proquest) database.

Smeltzer, S. C., & Bare, B. G. (2009). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
Brunner & Suddarth (Edisi 8 Volume 1). Jakarta: EGC.

Trevillion, N. (2008). Cleaning wounds with saline or tap water. Emergency


Nurse, 16(2), 24-26. January 11, 2011. Nursing & Allied Health Source
(Proquest) database.

Trianiza.2013. Factor-Faktor Penyebab Kejadian Phlebitis Di Ruang Rawat Inap

RSUD Cengkareng.

http://jurnal.umsb.ac.id/wpcontentuploads/2013/jurnals-

trianiza/esaunggul.pdf Diakses Pada Tanggal 10 Desember 2017


Valente, J., Forti, R., Freundlich, L,, Zandieh, S., & Crain, E. (2003). Wound
irrigation in children: Saline solution or tap water?. Annuals of Emergency
Medicine, 41(5), 609-616. January 4, 2011. Nursing & Allied Health Source
(Proquest) database.

Anda mungkin juga menyukai