Anda di halaman 1dari 41

BAB I Pendahuluan

A. Latar Belakang Gap teori dan praktek dalam dunia keperawatan diartikan sebagai perbedaan antara apa yang dipelajari di kelas dengan apa yang dipraktekkan di klinik. Gap teori praktek berarti apa yang diajarkan di kelas tidak dipraktekkan di klinik. Hal ini juga menunjukkan bahwa prosedure keperawatan tidak diaplikasikan dalam praktek keperawatan. Teori yang didapat di kelas tidak sesuai dengan kenyataan di klinik (Kajermo, 1998: Estabrooks, 2003: Wallin, 2003 on Ehrenberg, 2006). Gap teori dan praktek juga dapat dilihat ketika perawat melakukan prosedur keperawatan, seperti terapi intravena. Terapi intravena adalah prosedur yang sering dilakukan di rumah sakit. Sekitar 63% pasien bedah dan 70% pasien dengan kondisi akut dilakukan pemasangan intravena (Wilkinson, 1999). Dan sekitar 80% dari pasien yang dirawat di Rumah sakit menerima obat melalui terapi ini dan terdapat peningkatan jumlah pasien di komunitas yang menerima obat melalui intravena (Dougherty, 2007). Terapi intravena adalah terapi dengan memberikan cairan (elektrolit, obat intravena, dan nutrisi parenteral) ke dalam tubuh melalui vena secara langsung, yang dapat dilakukan secara terus-menerus atau sementara. Kata intraven berarti dengan vena , tetapi sering berhubungan dengan terapi intravena (infus) (Wikipedia, 2008). Terapi

intravena dilakukan berdasarkan order dokter dan perawat bertanggung jawab dalam pemasangan dan perawatan terapi ini sesuai dengan order dokter (Kozier, 2004). Pemasangan dan perawatan infus yang tidak tepat akan menimbulkan berbagai komplikasi, baik sistemik maupun local. Sebuah studi menjelaskan, sekitar 44% pasien mengalami phlebitis, 23% mengalami infiltrasi, 20,83% mengalami extravasasi dan 44% harus dilakukan penusukan berulang, karena kesalahan posisi (Wilkinson, 1999). Disinilah peran perawat sangat penting dalam melakukan pemasangan dan perawatan infus. Untuk mengurangi komplikasi tersebut, perawat harus mampu melakukan pemasangan infus sesuai dengan teori dan protokol tetap tentang terapi ini. Sebuah survey di London, menunjukkan bahwa 48% dari 1000 perawat mengatakan tidak mengetahui protokol tetap tentang pemasangan terapi intravena (Wilkinson, 1999). Setiap perawat

mendemonstrasikan cara pemasangan dan perawatan infus yang berbeda denaga teori yang didapat di kelas. Apa yang didapat di kelas tidak dipraktekan di klinik (Bendall, 2006). Perbedaan tentang teori dan praktek ini dipengaruhi oleh beberapa hal: antara lain tingkat pengetahuan, ketersediaan alat, beban kerja perawat, ketepatan dan kecepatan prosedur, serta kebiasaan di ruangan (Ehrenberg, 2006). Rumah sakit harus memiliki protokol tetap tentang pemasangan intravena. Di RS ada protokol tetap tentang pemasangan terapi intravena,

tetapi tidak semua perawat tahu akan hal ini. Beberapa bulan lalu, tardapat keluhan dari masyarakat tentang pemasangan infus di bagian IGD RSDK, pemasangan infus harus dilakukan berulang kali pada pasien karena salah posisi penusukan dan fiksasi (Suara Merdeka, 2008). Kasus dan fenomena ini mendorong penulis untuk melakukan penelitian tentang pemasangan infus di RSDK, khususnya di bagian IGD. Penulis ingin mengetahui tentang gap teori dan praktek pemasangan infus yang dilakukan oleh perawat di bagian IGD.

B. Perumusan Masalah Sejauh mana gap teori dan praktek pemasangan infus di bagian IGD, Rumah Sakit Dr. Kariadi, Semarang?

C. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Tujuan umum: Untuk mengetahui gap teori dan praktek dalam pemasangan infus di IGD, RSDK. 2. Tujuan khusus: a. Untuk mengidentifikasi praktek

keperawatan dalam pemasangan infus. b. Untuk mengidentifikasi gap teori dan praktek pemasangan infus.

D. Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah: 1. Perawat Perawat dapat melakukan pemasangan infus sesuai dengan teori, dan dapat meningkatkan kualitas praktek keperawatan, dan sebagai reflective practice dari praktek perawat tentang pemasangan. 2. Rumah Sakit Penelitian ini dapat memberikan gambaran tentang praktek perawat dalam melakukan pemasangan infus, menjelaskan tentang protokol tetap dalam pemasangan infus kepada semua perawat dan mengontrol kinerja perawat tentang pengetahuan dan kemampuannya. 3. Mahasiswa Perawat Mereka dapat melakukan tindakan keperawatan sesuai dengan teori seperti pemasangan infus dan mahasiswa dapat melakukan praktek dengan selalu berorientasi pada teori. 4. Komunitas Mereka dapat ikut mengontrol tindakan keperawatan dalam pemasangan infus sebagai tindakan life saving oleh perawat di rumah sakit dr. Kariadi.

BAB II Tinjauan Pustaka

A. Konsep teori Bab ini berisi tentang tinjauan pustaka yang berhubungan dengan penelitian ini. Dengan judul penelitian gap teori dan praktek dalam pemasangan infus di bangsal IGD, rumah sakit dr. Kariadi Semarang. Semua yang berhubungan dengan hal ini akan dibahas dalam bab ini. 1. Gap Teori dan Praktek dalam Pemasangan Intravena Praktek keperawatan dalam hal peralihan dari kelas ke klinik selalu menimbulkan gap antara teori dan praktek, dan juga antara pendidikan dan pelayanan. Gap teori dan praktek dalam dunia keperawatan selalu diartikan sebagai jarak antara apa yang dipelajari di institusi pendidikan dan apa yang dipraktekkan di klinik. Gap teori dan praktek dikuatkan dengan banyaknya perawat yang tidak pernah membaca dan peduli dengan penemuan-penemuan baru dalam keperawatan. Praktek yang mereka lakukan hanya mengikuti kebiasaan di klinik ( Kajermo, 1998; Estabrooks, 2003; Wallin, 2003 On Ehrenberg, 2006). Teori diartikan sebagai tahu bahwa, yang dipelajario dengan aktivitas intelektual dan kognitiv. Sedangkan, praktek diartikan sebagai tahu bagaimana, yang dicapai dengan pengalaman dari pelatihan dan aplikasi praktek secara langsung (Ehrenberg, 2006). Lebih banyak terdapat jarak antara teori dan praktek daripada kesinambungan, walaupun teori dan praktek

merupakan bagian integral dari pendidikan keperawatan. Praktek dapat dianalisa dan dikritisi dengan teori, begitu juga teori dapat diperluas dan diaplikasikan dalam praktek. Gap teori dan praktek menunjukkan bahwa apa yang dipelajari di kelas tidak dipraktekkan di bangsal ataupun klinik. Ini dapat diartikan bahwa ketepatan prosedur tidak diaplikasikan sesuai dengan yang dipelajari. Teori yang didapat di kelas tidak sesuai dengan kenyataan praktek di klinik. Prosedur tidak dipraktekkan sesuai dengan teori yang didapat di kelas. Prosedur itu seperti insersi intravena, perawatan luka, kateterisasi, dan pemberian injeksi. Insersi atau penusukan intravena merupakan bagian dari terapi intravena. 2. Terapi Intravena di bagian IGD Terapi intravena adalah prosedur yang sering dilakukan di rumah sakit. Kata intravena berarti sama dengan vena, tetapi sering digunakan untuk merujuk pada terapi intravena. Terapi intravena adalah memberikan cairan, yang meliputi alektrolit, obat intravena, dan nutrisi parenteral secara langsung melalui vena. Terapi ini dapat berlangsung secara intermiten atau terus-menerus (Wikipedia, 2008). Berdasarkan Kozier (2004), Potter&Perry (2004), terapi intravena nerupakan terapi yang efektiv dan efisien untuk memenuhi kebutuhan cairan tubuh secara langsung, yang tidak dapat dipenuhi melalui oral. Cairan ini meliputi total parenteral nutrition (TPN), terapi cairan dan elektrolit, serta transfuse darah. Terapi intravena diorderkan oleh dokter, dan perawat

bertanggung jawab sebagai pelaksana untuk insersi dan perawatan intravena sesuai dengan advice dokter. Perawat juga bertanggung jawab dalam memberikan pendidikan kesehatan tentang terapi intravena, apanila perawatan dilanjutkan di rumah. Terapi intravena diberikan kepada pasien dengan kondisi gawat darurat, yang mungkin diberikan obat secara langsung ke vena, pasien yang memerlukan koreksi cairan atau mencegah ketidakseimbangan cairan dan elektrolit, pasien yang menjalani transfuse darah, dan pasien dengan shock dan dehidrasi cairan. Pemasangan infus meliputi persiapan alat, dan pelaksanaan prosedur. Tahapannya adalah: a. Persiapan Alat Peralatan yang diperlukan adalah: 1). 1 set pemasangan infus steril 2). 2 buah lidi kapas 3). 2 lembar kassa kecil 4). 1 pasang sarung tangan 5). Povidone iodine 6). 2 buah kapas alkohol 7). Cairan infus 8). 1 tourniquet 9). Pengalas 10).Bengkok berisis disinfektan 11).Tiang infus

12).Plester b. Prosedur pemasangan infuse, meliputi: 1). Mencuci tangan sebelum prosedur 2). Menjelaskan tujuan tindakan kepada pasien 3). Mengatur posisi pasien 4). Menyiapkan cairan 5). Mengecek cairan dan order dokter 6). Mengecek tanggal kadaluarsa cairan 7). Mengecek jika kemasan bocor 8). Menyiapkan dan mengecek infuse set 9). Menghubungkan dan memasang selang infus pada cairan 10).Menggantungkan cairan pada tiang infuse 11).Membuka klem dan alirkan cairan 12).Mengecek adanya gelembung udara 13).Memasang pengalas 14).Memilih vena yang sesuai, terutama pada daerah distal 15).Memastikan jarum intravena menusuk dengan benar 16).Mengenakan sarung tangan 17).Membersihkan area kulit yang akan ditusuk dengan alcohol 70 % 18).Melakukan penusukan dengan metode yang benar (dengan sudut 30-45)

19).Menempatkan tourniquet kurang lebih 15 cm di atas vena yang akan ditusuk 20).Melepaskan tourniquet 21).Menghubungkan jarum infuse dengan selang infuse 22).Melakukan fiksasi jarum intravena pada area insersi 23).Menutup area insersi dengan kasa kemudian plester 24).Mengatur tetesan sesuai dengan advice 25).Melepas sarung tangan 26).Mengobservasi, mengevaluasi respon pasien 27).Merapikan alat 28).Mencuci tangan 29).Memberikan tanda/label pada container cairan, meliputi tanggal, jam dan pelaksana 30).Mendokumentasikan tindakan Terapi intravena diberikan pada pasien dengan kondisi gawat darurat, dan biasanya dilakukan di bangian gawat darurat (IGD). Hal ini berarti bahwa ini adalah waktu pertama kali tim medis kontak dengan pasien. Terkadang, pasien mengidap penyakit yang tidak diketahu sebelumnya. Tim medis harus memperhatikan akan hal ini, terutam untuk penyakit yang menular. Di bagian igd, tim medis harus memperhatikan akan hal ini. Mereka harus melindungi diri mereka, seperti, pemasangan intravena. Mereka harus melakukan cuci tangan, memakai sarung tangan, dan perlindungan diri lainnya, karena

pemasangan intravena merupakan tindakan invasive. Hal ini sesuai dengan teori tentang pemasangan intravena yang dipelajari di kelas,. Tetapi dalam prakteknya, tidak semua perawat memperhatikan hal ini. Mereka hanya memasukkan jarum intravenatanpa perlindungan diri. Gap teori dan praktek juga terlihat dalam bidang ini. Hal ini menimbulkan jarak antara pendidikan dan pelayanan (Ehrenberg, 2006 & Wilkinson, 1996). Gap teori dan praktek harus dipersempit dalam praktek prosedur keperawatan. 3. Faktor Yang Mempengaruhi Perbedaan Teori dan Praktek Berdasarkan Ehrenberg(2007),teori dan praktek dipengaruhi oleh beberapa faktor, baik personean dariperawat dan setting lingkunga. Faktor-faktor tersebut adalah beban kerja perawat, ketersediaan alat, tingkat pengetahuan, kecepatan dan ketepatan prosedur, serta kebiasaan di lapangan. 1. Beban kerja perawat Beban kerja perawat merupakan istilah yang menunjukkan tekanan yang dialami perawat terhadap pekarjaannya. Beban kerja perawat disebabkan oleh ketidakseimbangan antara jumlah perawat dengan jumlah pasien, dan juga peningkatan waktukerja dari perawat. Beban kerja perawat mempengaruhi efisiensi dan produktivitas dari perawat. Beban kerja yang berlebihan di dalam praktek keperawtan sering terjadi, sebab banyak perawat yang tidak

hanya bekerja sesuai dengan tanggung jawabnya, tetapi juga mereka melakukan pekerjaan administrasi, kebersihan, pekerjaan sampingan, dan pekerjaan lain yang tidak berhubungan dengan praktek keperawatan. Berdasar Foxall, Zimmerman ,Standley , and Captain (1999), beban kerja perawat membuat perawat pusing, lelah, dan tidak memiliki waktu istirahat yang cukup. Inijuga berpengaruh terhadap praktek klinik yang mereka lakukan. Mereka tidak dapat melakukan prosedur secara tepat sasuai dengan teori. Beban kerja perawat mempengaruhi produktivitas dan efisiensi kerja perawt. Sebuah survey yang dilakukan oleh ICN, menunjukkan peningkatan dari ketidakseimbangan antara jumlah perawat dan jumlah perawat, hal ini mebuat mereka kurang produktif dan efisien dalam melakukan prosedur keperawatan dan membuat perbedaan yang semakin jauh antara teori dan praktek. Ketika melakukan pemasangan terapi intravena, oerawat harus melakukan sesuai dengan teori., hal ini atau beban kerja perawat akan mempengaruhi ketepatan perawat dalam melakukan prosedur keperawatan. Beban kerja perawat mempunyai hubungan yang besar dangan teori dan prakteknya dalam praktek keperawatan. Gap ini juga terlihat dalam pemasangan terapi intravena. Sebuah penelitian oleh Wilkinson (1996), perawat di bangsal dengan jumlah pasien yang lebih sedikit melakukan prosedur ini lebih tepat daripada perawat di bangsal lain yang memiliki jumlah pasien lebiih banyak. Di bagian IGD, beban

11

kerja perawat meningkat, dan setiap pasien datang secara tiba-tiba sehingga dibutuhkan tindakan yang cepat dan teoat. Terkadang, jumlah pasien yang datang tidak sesuai dengan jumlah perawat yang ada. Prosedur keperawatan disisni, seperti pemasangan terapi intravena sangat dibutuhkan, sehingga dituntut ketepatan perawat dalam melakukan terapi ini. 2. Ketersediaan Alat Ketersediaan alat berarti ada tidaknya alat atau instrument di bangsal. Ketersediaan alat di bangsal juga mempengaruhi praktek keperawatan, terutama dalam melakukan prosedur. Prosedur ini juga meliputi pemasangan terapi intravena. Peralatan tersebut meliputi, jarum, infuse set, sarung tangan, tourniquet dan sebagainya. Berdasarkan Wilkinson (1996), penelitian dilakukan kepada 1000 perawat di Inggris, menunjukkan 47% peralatan untuk pemasangan terapi intravena tidak lengkap dan 25% harus pinjam dari bangsal lain. Peralatan itu meliputi jarum, infuse set, tourniquet dan handuk. Peralatan itu tidak selau tersedia di bangsal, walaupun merupakan peralatan yang penting. Keterbatasan alat di Inggris ini juga sama dengan survey yang dilakukan oleh PPNI (2007) dalam jawa Pos (2008) di sebuah rumah sakit di Jakarta, 51,5% perawat mengatakan bahwa peralatan tidak lengkap. Peralatan itu meliputi infuse set, jarum, handuk, tourniquet, handuk, dan kassa tidak selau tersedia disini. Keterbatasan alat ini

mempengaruhi perawat dalam melakukan pemasangan terapi intravena. Perawat tahu proseduryang benar tetapi peralatan tidak tersedia, disini dituntut kreativitas perawat dalam menggunakan peralatan lain dan tetap dengan prinsip steril. Fenomena ini juga terlihat di bagian IGD, walaupun di bagian ini dituntut tindakan yang cepat dan tepat. 3. Tingkat Pengetahuan Pengetahuan adalah tahapan dalam mengetahui, persepsi tentang fakta, kepercayaan, kognitif (Encyclopedia Index, 1998). Pemasangan intravena adalah bagian dari prosedur keperawatan sebagai bantuan hidup dasar. Dari pengertian tersebut, peneliti dapat menyimpulkan bahwa tingkat pengetahuan perawat tentang

pemasangan intravena adalah tahapan pengetauan perawat yang berhubungan dengan system keperawatan dalam pemasangan intravena dengan tujuan memberikan terapi kepada pasien baik sebagai bantuan hidup dasar dan menhaga kondisi pasien. Berdasarkan Notoatmojo (2003), pengetahuan dipengaruhi oleh bebrapa faktor, seperti; social ekonomi, budaya, pendidikan, pengalaman, mass media, dan hubungan social. Social ekonomi, lingkungan social akan mendukung seseorang untuk memiliki pengetahuan yang tinggi, dimana ekonomi berhubungan dengan pendidikan. Jika seseorang memiliki tingkat ekonomi yang cukup, mereka juga memilki tingkat pendidikan yang cukup juga dan

13

akhirnya memiliki tingkat pengetahuan yang tinggi. Budaya, budaya memberikan pengaruh yang besar kepada tingkat pengetahuan seseorang, sebab pengetahuan baru akan dipilih jika sesuai dengan budaya dan agama. Pendidikan, semakin tinggi tingkat pendidikan seeorang maka semakin mudah mereka menerima informasi baru. Pengalaman, pengalaman memiliki hubungan yang erat dengan usia dan pendidikan. Ini berarti pendidikan yang tinggi dan usia yang lebih tua akan membawa seseorang pada pengalaman yang lebih banyak. Mass media, informasi dapat diterima seseorang melalui media masa. Hubungan social, mempengaruhi kemampuan seseorang untuk berkomunikasi dengan orang lain baik dala menyampaikan ataupun menerima pesan dan informasi baru. Gap teori dan praktek dalam keperawatan biasanya diartikan sebagi jarak antara apa yang dipelajari di kelas dengan apa yang dipraktekkan dalam praktek keperawatan (Kajermo, 1998:

Estabrooks, 2003: Wallin, 2003 on Ehrenberg, 2006). Teori diartikan sebagai tahu bahwa, yang dipelajari dengan aktivitas intelektual dan kognitiv. Sedangkan, praktek diartikan sebagai tahu

bagaimana, yang dicapai dengan pengalaman dari pelatihan dan aplikasi praktek secara langsung (Benner, 1984; Schons, 1987; Craddock, 1993 On Ehrberg, 2006). Walaupun pemasangan intravena sering dilakukan di rumah sakit, ini bukan merupakan jaminan bahwa perawat tahu prosedur

yang tepat tentang terapi ini. Perawat di Wales, 48% dari responden, diketahui bahwa mereka tidak tahu tentang prosedur yang tepat tentang pemasangan terapi intravena. Di bagian IGD, perawat selalu melakukan prosedur ini dan tidak semuanyan dapat melakukan secara tepat dan teoritically. Terapi intravena merupakan tindakan pemenuhan kebutuhan hidup dasar untuk pasien. Tingkat

pengetahuan perawat sangat mempengaruhi aplikasinya dalam praktek. Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat pengetahuan perawat juga mempengaruhi kemampuan meraka dalam praktek. 4. Kecepatan, Ketelitian dan Ketepatan Prosedur Setiap prosedur harus dilakukan secara akurat dan tepatsesuai dengan teori. Pemasangan intravena adalah prosedur keperawatan yang harus dilakukan secara tepat dan akurat. Ini juga dipengaruhi oleh kecepatan dalam melakukan prosedur. Kecepatan dalam melakukan prosedur mempengaruhi ketepatan atupun ketidaktepatan prosedur. Lebih cepat dalam melakukan prosedur tidak berarti prosedur yang dilakukan selau tepat. Terkadang, mereka melakukan secara cept tetapi salah. Melakukan pemasangan intravena harus dilakukan secara cepat dan tepat, serta akurat. Hal ini berarti melakukan prosedur tidak selalu cepat, tetapi salah dan tidak akurat, dan juga tidak berarti melakukan prosedur secara tepat dan akurat, tetapi butuh waktu yang lama. Terapi intravena adalah prosedur invasiv yang dapat berakibat

15

menimbulkan berbagai komplikasi, seperti plebitis, extravasasion, infiltration dan kelebihan cairan (Wilkinson, 1996). Ketepatan dan keakuratan prosedur dapat sebagai faktor pemicu dan sebagi tekanan bagi perawat untuk melakukan prosedur secara tepat. Lebih lanjut, di bangsal IGD, perawat dituntut melakukan prosedur seperti

pemasangan intravena secara tepat, akurat dan juga cepat dalam memberikan bantuan hidup dasar kepada pasien. Melakukan prosedur secara cepat, tepat dan akurat bukanlah hal yang mudah. Hal itu juga sebagi faktor yang mempengaruhi gap teori dan praktek itu sendiri. Perawat lebih banyak melakukan pemasangan intravena secara cepat tetapi tidak selalu benar. 5. Kebiasaan di Klinik Kebiasaan di klinik adalah segala hal yang sering dilakukan perawat di klinik. Perawat ataupun mahasiswa keperawatan hanya melakukan prosedur mengikuti senior mereka yang dipraktekkan di klinik. Mereka malas melakukan prosedur sesuai dengan evidance based praktek, teori dan juga penemuan-penemuan baru dalam prosedur yang benar. Hal ini akn membuat perbedaab yang semakin jauh antara teori dan praktek, dan juga perbedaan antara pengajar di kelas dan juga instruktur di klinik. Perawat di rumah sakit sering menunjukkan kebiasaan yang buruk, yaitu praktek tidak sesuai dengan teori di kelas (Bendell, 2006). Mereka tidak pernah mempraktekkan teori berdasarkan penemuan terbaru dalam

penelitian. Terkadang, mereka ketinggalan atau tidak lengkap dalam melakukan prosedur. Seperti, cuci tangan yang benar sebelum pemasangan kateter ataupun intravena, dsan proteksi diri dari infeksi nosokomial. Kebiasaan praktek di bangsal membuat penemuan-penemuan tebaru dalm hal praktek tidak ada manfaat yang berarti. Hal ini sangat sulit untuk dirubah. Mereka hanya mengikuti kebiasaan, dan terkadang kebijakan-kebijakan baru ditolak atau diacuhkan oleh perawat. Hal inijuga sebagai faktor yang mempengaruhi gap teori dan praktek. Faktor-faktor tesebut adalah faktor yangmempengaruhi

perbedaan teori dan praktek. Faktor-faktor tersebut dapat berubah sesuai dengan kondisi di klinik. B. Kerangka Teori 0100090000032a0200000200a20100000000a201000026060f003a03574d464301 00000000000100d29c000000000100000018030000000000001803000001000000 6c0000000000000000000000350000006f00000000000000000000006f3500007d 21000020454d460000010018030000120000000200000000000000000000000000 0000ec130000c8190000d8000000170100000000000000000000000000005c4b03 0068430400160000000c000000180000000a000000100000000000000000000000 09000000100000009f0c0000e9070000250000000c0000000e000080250000000c0 000000e000080120000000c00000001000000520000007001000001000000a4fffff f000000000000000000000000900100000000000004400022430061006c0069006

17

200720069000000000000000000000000000000000000000000000000000000000 0000000000000000000000000000000000000000000000000240068b1240010000 000ccb424004cb2240052514a68ccb42400c4b124001000000034b32400b0b4240 024514a68ccb42400c4b12400200000004964596ac4b12400ccb4240020000000fff fffff7c3e3b01d064596affffffffffff0180ffff0180efff0180ffffffff0000000000080000 000800004300000001000000000000005802000025000000632e90010008020f05 02020204030204ef0200a07b20004000000000000000009f0000000000000043006 1006c006900620072000000000041007200690061006c00200052006f0075006e0 0f8b124009c38516a050000000100000034b2240034b22400e8784f6a050000005c b224007c3e3b016476000800000000250000000c00000001000000250000000c00 000001000000250000000c00000001000000180000000c00000000000002540000 00540000000000000000000000350000006f0000000100000088878740d1458740 0000000057000000010000004c0000000400000000000000000000009f0c0000e9 07000050000000200035003600000046000000280000001c000000474449430200 0000ffffffffffffffffa00c0000ea07000000000000460000001400000008000000474 4494303000000250000000c0000000e000080250000000c0000000e0000800e000 000140000000000000010000000140000000400000003010800050000000b02000 00000050000000c02f3008301040000002e0118001c000000fb0202000100000000 00bc02000000000102022253797374656d00003f3f00000000000001003f3f3f3f3f 3f3f3f3f3f3f3f3f00040000002d010000040000002d01000004000000020101001c 000000fb02f5ff0000000000009001000000000440002243616c696272690000000 0000000000000000000000000000000000000000000040000002d0101000400000 02d010100040000002d010100050000000902000000020d000000320a0a0000000

1000400000000008401f30020000600040000002d010000040000002d010000030 000000000Ehrenberg (2006), Dougherty (2005)&Wilkinson(1996). C. Ringkasan Gap teori dan praktek dalam dunia keperawatan selalu diartikan sebagai jarak antara apa yang dipelajari di institusi pendidikan dan apa yang dipraktekkan di klinik. Gap teori dan praktek dikuatkan dengan banyaknya perawat yang tidak pernah membaca dan peduli dengan penemuan-penemuan baru dalam keperawatan. Praktek yang mereka lakukan hanya mengikuti kebiasaan di klinik (Kajermo, 1998; Estabrooks, 2003; Wallin, 2003 On Ehrenberg, 2006). Berdasarkan Ehrenberg (2007),teori dan praktek dipengaruhi oleh beberapa faktor, baik personean dariperawat dan setting lingkunga. Faktor-faktor tersebut adalah beban kerja perawat, ketersediaan alat, tingkat pengetahuan, kecepatan dan ketepatan prosedur, serta kebiasaan di lapangan. Faktor-faktor tersebut adalah faktor yang mempengaruhi gap teori dan praktek dalam pemasanga terapi intravena. Pemasangan terapi intravena di bagian IGD juga dipengaruhi faktor tersebut.

19

BAB III Metode Penelitian

Pada bab ini, peneliti akan menjelaskan mengenai variable penelitian, definisi operasional, desain penelitian, populasi dan sample, instrument, etika penelitian, pemgumulan data dan analisa data.

A. Desain Penelitian Desain penelitian adalah cetak biru tindakan untuk memandu jalannya penelitian dan untuk mengontrol faktor-faktor yang mempengaruhi hasil dari penelitian (Burn and Grove, 2003). Berdasarkan tujuan penelitian yang akam dicapai, penelitian ini menggunakan study observasi deskripsi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui sejauh mana perbedaan teori dan praktek dalam pemasangan infus.

B. Variable Penelitian Variable dalam penelitian ini adalah variable tunggal, yaitu perbedaan antara teori dan praktek pada pemasangan infus oleh perawat.

C. Definisi Operasioanal Brink & Wood (2000) mengatakan bahwa definisi operasional adalah

istilah yang diguanakan intuk memonitor atau mengukur setiap variable yang harus diidentifikasi secara operasional. Gap teori dan praktek adalah perbedaan antara teori dan praktek yang dilakukan di klinik. Gap teori dan praktek juga meliputi pemasangan infuse. Pemasangan infuse meliputi teknik aseptic, persiapan cairan, menjelaskan prosedur kepada pasien, vena pungsi, dan mendokumentasikan prosedur. Gap teori dan praktek pada pemasangan infuse diukur dengan observasi dan menggunakan skala nominal. Hasil daripenelitian ini akan dibagi dalam dua kategori, yaitu berbeda dengan teori dan sama dengan teori. Indikatornya adalah di bawah ini : Tidak semua prosedur dilakukan : berbeda dengan teori (ada gap) 100% prosedur dilakukan : sama dengan teori (tidak ada gap) Tindakan perawata dalam melakukan pemasangan infus akan sama dengan teori jika, semua prosedur telah dilakukan, dan akan berbeda dengan teori jika, tidaks emua prosedur dilakukan.

D. Populasi dan Sampel 1. Populasi Berdasarkan Polit&Hungler (1999), kata populasi berarti subjek yang berhubungan dengan kasus yang sesuai dengan kriteria. Populasi dari penelitian ini adalah semua perawat yang ada di IGD RS Dr. Kariadi yang berjumlah 47 perawat. 2. Sampel

21

Sampel adalah bagian dari populasi yang dipilih sebagai bagian dari penelitian dan sampel merupakan subjek dari penelitian (Brink and Wood, 2000). Sampel digunakan adalah semua perawat di bagian IGD RSDK. Pada penelitian ini, penulis menggunakan teknik purposive sampling, dan didapat jumlah sample 42 perawat sesuai criteria inklusi dan criteria exklusi. Criterianya adalah sebagai berikut: a. Kriteria inklusi Criteria inklusi aadalah persyaratan umum yang harus dipenuhi oleh sample sebagai responden. Criteria inklusi dari penelitian ini adalah perawat yang melakukan pemasangan infuse pada pasien dewasa (18-45 tahun). b. Exclusion criteria Criteria exklusi adalah kondisi yang menyebabkan sample yang memenuhi persyaratan sebagi responden tidak dapat sebagai responden. Criteria exclusi dari penelitian ini adalah perawat klinik yang masih cuti dan kepala ruang ataupun manager perawat.

E. Tempat Penelitian Tempat penelitian yang diambil adalah bagian IGD RSDK yang berada di Semarang. RSDK dikenal sebagai rumah sakit rujukan di Jawa Tengah.

F.

Waktu Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan pada bulan November 2008. peneliti datang

ke UGD untuk melakukan penelitian sesuai dengan jadwal dinas perawat.

G. Instrumen Penelitian 1. Instrument penelitian Peneliti mengguanakn ceklis untuk melakukan observasi pada perawat. Ceklis ini digunakan untuk melakukan observasi pada perawat, ketika melakukan pemasangan infuse pada pasien dewasa yang terjadi di bagian IGD RSDK. Ceklis yang digunakan ini bersumber dari Kozier (2004), Altman (2004) and Dougherty (2007). Tahapan prosedur yang digunakan pada ceklis ini meliputi pemasangan infuse yang terbagi dalam 5 pilar ICN yaitu, praktek berdasar etika, prktek profesional, berpikir kritis, manajemen asuhan dan komunikasi, keamanan. Ceklis ini juga berisi data tentang perawat, meliputi pendidikan perawat, lama kerja di IGD dan waktu yang diperlukan untuk melakukan pemasangan infus. 2. Validitas Validasi berarti menunjukkan seberapa jauh instrumen mengukur apa yang akan diukur (Polit and Hungler, 1999). Peneliti menggunakan form observasi dari Kozier (2004), Altman (2004) and Dougherty (2007). Penelitian ini menggunakan Content validitas. Contenn validitas dilakukan dengan melakukan konsultasi pada tiga ajhli, dua dari dosen kebutuhan dasar manusia dan satu dari ahli klinik, yang merupakan perawat dari RSDK. Tiga ahli tersebut merupakan ahli dalam tindakan keperawatan terutama untuk pemasangan infuse. Para ahli memberikan

23

saran untuk instrument ini, dan peneliti melakukan konsultasi lagi, hingga instrument ini dinyatakan valid. Para ahli memberikan saran dalam hal penyusunan yang sistematis dan membandingkannya dengan standart operasional prosedur yang ada di IGD RSDK, sehingga peneliti melakukan perbandingan denag SOP ini dan keduanya hamper sama.

H. Pengumpulan Data Setelah proposal disetujui oleh pembimbing dan juga mendapat ijin dari RSDK,pengumpulan data dimulai. Pertama, peneliti meminta ijin kepada kepala ruang bagian IGD untuk melakukan penelitian. Setelah mendapatkan ijin, peneliti melakukan pertemuan dengan perawat di bagian ini. Peneliti melakukan presentasi secara informal kepada perawat di bagian ini, peneliti memaparkan tentang tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan hasil yang diharapkan dari penelitian ini. Peneliti menjelaskan akan melakukan penelitian dengan observasi, ketika mereka melakukan pemasangan infus pada pasien dewasa, tetapi tidak menjelaskan waktu pastinya.

I.

Analisa Data

Setelah pengumpulan data, peneliti akan memproses data. DistrIbusi frekuensi digunakan untuk menganalisa data. Metode analisa data meliputi: 1. Prosessing Data 1. Editing Edting diperlukan untuk meyakinkan bahwa data telah tersedia.

Selama proses editing, peneliti menuliskan jumlah lembar observasi yang didapat dan telah terisi selama proses observasi kepada responden, kemudian menyesuaikan dengan jumlah sample yang ada. 2. Tabulasi data Setelah data dikumpulkan, tahapan selanjutnya adalah tabulasi data, yaitu memasukkan semua data atau hasil observasi yang didapat ke dalam tabel, sehingga lebih mudah dibaca. 3. Entry Entry adalah tahapan ketika peneliti memasukkan data ke dalam komputer untuk diproses dan dihitung. Peneliti menggunakan Microsoft Excel 2003. 4. Data analisa Setelah semua data terkumpul, fase berikutnya adalah analisa data dengan frekuensi distributif dan dipersenkan. Akhirnya, peneliti dapat mengetahui sejauh mana gap teori dan praktek dalam pemasangan infus. X = f N Keterangan: X = Hasil dari persen f = Frekuensi dari hasil N = Total dari responden x 100 %

25

J.

Etika Penelitian

Dalam melakukan penelitian, terdapat beberapa prinsip etik yang harus diperhatikan oleh peneliti. Hal ini sangat penting karena menjadikan manusia sebagai subjek dari penelitian. Prinsip itu meliputi: 1. Persetujuan Peneliti harus menjelaskan kepada responden tentang penelitian ini (tujuan, manfaat). Kemudian memberikan kesempatan kepada partisipan untuk bersedia ataupun menolak untuk menjadi responden. 2. Anonimity Tidak boleh dipublikasikan nama ataupun identitas lain tentang responden kepada pembaca. 3. Kerahasiaan Peneliti harus menjaga kerahasiaan data dari respondent, karena sebagai privasi.

BAB IV Hasil penelitian dan Pembahasan

A. Hasil Penelitian Pada bab ini, peneliti akan menjelaskan mengenai hasil penelitian keperawatan tentang gap teori dan praktek pemasangan infuse oleh perawat di bagian IGD RSDK, Semarang. Selama 14 hari (November 2008), peneliti telah melakukan

pengumpulan data. Selama penelitian, peneliti melakukan observasi kepada 39 perawat di bagian IGD di shift yang berbeda. Jumlah tersebut merupakan 92.85 % dari jumlah semua perawat di IGD yang termasuk dalam kriteria inklusi (sampel). Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini meliputi karakteristik responden dan ceklis prosedur. Karakteristik responden meliputi pendidikan dan lama kerja di bagian IGD. Karakteristik responden dan ketepatan mereka dalam melakukan prosedur meliputi berikut ini:

1. Pendidikan Sebagian perawat yang berdina di IGD telah menempuh pendidikan pada Diploma III keperawatan (AKPER) dan hanya beberapa yang lulus dari SPK.

27

Table 4.1 Pendidikan AKPER SPK Total

Pendidikan perawat di bagian IGD, RSDK Semarang, November 2008 Frekuensi 28 11 39 Persen 71.79 28. 21 100.00

2. Lama kerja di IGD Lama kerja responden di bagian IGD terdiri dari satu tahun hingga 32 tahun. Perawat yang telah bekerja di IGD selama satu tahun merupakan lulusan baru dari Diploma III keperawatan, dan perawat yang paling lama bekerja di IGD, yaitu selama 32 tahun adalah lulusan dari SPK dan tidak pernah bekerja di bangsal lain. Perawat yang bekerja di bagian ini sebagian besar selama 11-15 tahun sebanyak 33.34 % perawat, dan yang paling sedikit adalah lebih dari 30 tahun sebanyak 5.13 % perawat. Tabel 4.2 Lama kerja 1-5 tahun 6-10 tahun 11-15 tahun 16-20 tahun 21-25 tahun 26-30 tahun >30 tahun Total Lama kerja perawat di bagian IGD RSDK Semarang, November 2008 Frekuensi 8 4 13 7 0 5 2 39 33.34 17.95 0 12.82 5.13 100.00 Persen 20.51 10.25

3. Ketepatan melakukan prosedur Dalam ceklis yang digunakan terdapat 30 tahapan prosedur dalam pemasangan infuse (appendix B). Peneliti hanya melakukan observasi selama mereka melakukan prosedur pemasangan infuse pada pasien dewasa. Berikut adalah hasilnya. Tabel 4.3 Ketepatan perawat dalam melakukan prosedur pemasangan infuse oleh perawat di bagian IGD, RSDK, Semarang November 2008 Tahap yang dilakukan 20 tahapan 21 tahapan 22 tahapan 23 tahapan 24 tahapan 25 tahapan Total Frekuensi 6 5 4 13 6 5 39 Persen 15.38 12.82 10.26 33.34 15.38 12.82 100.00 Kategori Berbeda Berbeda Berbeda Berbeda Berbeda Berbeda

4. Waktu yang diperlukan untuk melakukan pemasangan infus Waktu yang diperlukan perawat atau responden untuk melakukan pemasangan infus di bagian IGD, RSDK, semarang meliputi persiapan alat hingga merapikan alat. Table 4.4 Waktu pemasangan infuse oleh perawat di bagian IGD, RSDK, Semarang, November 2008.

29

Waktu yang diperlukan 5 menit 6 menit 7 menit 8 menit Total

Frekuensi 6 22 9 2 39

Persen 15.38 56.41 23.09 5.12 100.00

5. Tahapan prosedur yang dilakukan oleh perawat Terdapat 30 tahap prosedur berdasarkan ceklis. Semua perawat tidak melakukan secara lengkap. Berikut beberapa tindakan kritis yang dilakukan oleh perawat. Table 4. 5 Tahapan prosedur yang dilakukan oleh perawat dalam pemasangan infus di bagian IGD, RSDK, Semarang, November 2008 Prosedure Frekwensi Memperkenalkan diri 0 Menjelaskan tujuan tindakan 2 Mencuci tangan sebelum prosedur 11 Mencuci tangan setelah prosedur 32 Memakai sarung tangan 24 Mengecek kemasan dan tanggal kadaluwarsa cairan 2 Membersikan area insersi dengan gerakan sirkulan dari tengah keluar dengan alkohol 70% 6 Komunikasi terapeutik 4 Persen 0 5.12 28.20 82.05 61.53 5.12 15.38 10.25

Dari data di atas, didapat bahwa semua perawat di IGD melakukan

praktek pemasangan infus yang berbeda dengan teori. Gap teori dan praktek dapat dipengaruhi oleh beban kerja perawat, ketersediaan alat pemasangan infus, tingkat pengetahuan perawat tentang pemasangan infuse, waktu yang diperlukan dan kebiasaan perawat dalam melakukan pemasangan infuse. Pengetahuan perawat tentang adanya SOP pemasangan infuse juga akan berpengaruh terhadap ketepatan melakukan prosedur.

B. Pembahasan. Pada bagian ini, peneliti akan membahas tentang data yang telah dikumpulkan. Pembahasan ini untuk mencapai tujuan penelitian, yaitu untuk mengetahui sejauh mana gap teori dan praktek pemasangan infuse oleh perawat di bagian IGD RSDK, Semarang. Peneliti berasumsi bahwa perawat di bagian IGD, RSDK akan melakukan pemasangan infuse yang berbeda dengan teori, karena berdasarkan yang dilihat peneliti selama ini yang pernah melakukan praktek di RSDK, tidak ada perawat yang melakukan pemasangan infuse yang sama dengan teori ataupun standart operasional prosedur yang ada di RSDK. Selain itu, tidak semua prosedur diterapkan dan digunakan di klinik sesuai dengan teori yang mereka dapat di kelas. Teori yang didapat di kelas tidak sesuai dengan prakteknya di klinik (Kajermo, 1998; Estabrooks, 2003; Wallin, 2003 on Ehrenberg, 2006). Menurut Wilkinson (1999) dan Ehrenberg (2006), gap teori dan praktek dipengaruhi olah beban kerja, ketersediaan alat, tingkat pengetahuan perawata, waktu yang diperlukan dalam melakukan prosedur dan

31

kebiasaan perawat di klinik. Pada penelitian ini, peneliti menggunakan skala nominal, yang dibagi dalam berbeda dengan teori (ada gap), jika tidak semua prosedr dilakukan dan sama dengan teori (tidak ada gap), jika semua prosedur dilakukan. Penelitian ini, peneliti menggunakan ceklis yang terdiri dari 30 tahap prosedur untuk melakukan observasi pada perawat ketika melakukan pemasangan infuse pada pasien dewasa. Sample dari penelitian ini adalah 39 perawat di bagian IGD, RSDK. Dari penelitian ini, peneliti mendapatkan hasil bahwa semuaperawata di bagian IGD melakukan pemasangan infuse yang berbeda dengan teori,karena semua responden hanya melakukan oemasangan infuse 21-25 tahap prosedur. Berikut ini adalah hasilnya hanya 20 tahap (15.38 % perawat), 21 tahap (12.82 % perawat), 22 tahap (10.26 % perawat), 23 tahap (33.34 % perawat), 24 tahap (15.38 % perawat), and 25 tahap (12.82 % perawat). Peneliti akan membahas tentang tahap mana saja yang dilakukan oleh responden. Jika dilihat dari lima aspek standart praktek meliputi etik, praktek professional, berpikir kritis, manajemen asuhan, dan keamanan dan komunikasi. Dari standart etik, tidak ada perawat yang memperkenalkan diri pada pasien, hal ini penting sebagai bentuk etika keperawatan. Perkenalan diri pada pasien penting, karena dengan saling menegenal antara perawat dengan pasien akan membuat perawat melakukan pemasangan infus dengan nyaman dan benar. Pada praktek profesioanal hanya 2 responden ( 5.12 %) yang menjelaskan tujuan prosedur kepada pasien. Menurut Sharif (2005),

penjelasan tujuan merupakan hal penting untuk mendapatkan informed consent atau persetujuan untuk melakukan prosedur kepada pasien dan sebagai wujud dari praktek keperawatan profesional. Hanya ada 4 responden (10.25%) yang melakukan komunikasi terapeutik, sedangkan perawat lain hanya diam dan berbicara ketika pasien bertanya. Komunikasi terapeutik merupakan salah stau cara untuk mengurangi kecemasan pasien. Berdasar Johnson (2000), perawat yang melakukan komunikasi terapeutik akan berdampak pada tingkat kecemasan pasien yang semakin menurun, daripada perawat yang tidak melakukan komunikasi therapeutic akan berdampak pada tingkat kecemasan pasien yang semakin meningkat. Penjelasan tujuan dan perkenalan diri pada pasien merupakan salah satu bentuk dari komunikasi terapeutik. Komunikasi terapeutik juga menunjukkan keramahan dari seorang perawat, hal ini tentunya akan meningkatkan citra baik dari rumah sakit. Pada praktek manajemen asuhan, semua perawat dapat melakukan penusukan area insersi sacara tepat. Dalam praktek keamanan dan komunikasi, ada 11 responden (28.20 %) yang melakukan cuci tangan sebelum prosedur dan hampir semua perawat melakukan cuci tangan setelah prosedur. Ada 24 responden (61.53 %) yang menggunakan sarung tangan, dan responden lainnya tidak menggunakan sarung tangan, mereka hanya melakukan pemasangan infuse tanpa adanya perlindungan baik pada pasien maupun pada perawat sendiri. Semua responden tidak menggunakan pengalas di bawah area insersi. Hal ini menunjukkan hampir semua perawat tidak melakukan

33

perlindungan baik untuk diri sendiri maupun pasien, seperti mencuci tangan sebelum prosedur dan memakai sarung tangan, tindakan ini akan mengurangi tingkat perlindungan diri perawat dan pasien. Mencuci tangan dan pemakaian sarung tangan merupakan tindakan perlindungan diri terhadap perawat dan pasien. Mencuci tangan merupakan tindakan yang efektif untuk mencegah penyebaran organisme dan pencegahan infeksi (Taylor, 1998). Cuci tangan dan pemakaian sarung tangan merupakan wujud proteksi diri perawat dan pasien. Tindakan ini dapat mencegah resiko terjadinya infeksi nosokomial. Setiap pasien yang datang di bagian IGD tidak diketahui sebelumnya mengidap suatu penyakit, hal inilah yang membuat perawat di bagian IGD harus lebih hati-hati dan melakukan pencegahan secara maksimal. Mereka dapa saja terseranf penyakit HIV/AIDS, hepatitis dan penyakit lainnya (Mc Nally, 1998). Dalam praktek berpikir kritis, hanya 2 responden (5. 12 %) melakukan pengecekan tentang kemasan cairan dan tanggal kadaluwarsa cairan. Perawat berpendapat bahwa pengecekan cairann tidak perlu dilakukan, karena cairan tersebut masih baru dari apotek, walaupun begiti kesalahan dalam pemberian cairan sering terjadi, seperti yang dikemukakan Taxis (2004), sebanyak 65 % dari 22 perawat di Jerman, tidak melakukan pengecekan cairan. Kesalahan dalam pemberian cairan akan berdampak pada kondisi pasien dan menimbulkan komplikasi, seperti infeksi dan extravasation. Dokumentasi juga dilakukan oleh semua perawat pada catatan medis pasien, hal ini sesuai dengan kebijakan RSDK, di mana semua tindakan yang dilakukan oleh tim

medis harus dicatat dan sebagai bukti pembayaran oleh pasien. Dokumentasi yang dilakukan oleh perawat hanya dilakukan pada catatan medis pasien, padahal dokumentasi juga harus dilakukan pada label infus set meliputi waktu pemasangan infus. Hal ini penting untuk mengetahui waktu penggantian infus. Infus harus diganti setelah 3 hari. Perawat di bangsal harus sadar dan peduli tentang perawatan infus, karena perawatan infus yang tidak maksimal dapat memperbesar resiko komplikasi infus, seperti plebitis. Perawat di bagian ini dapat melakukan manejemen asuhan dengan tepat, tetapi mereka tidak melakukan tindakan lain yang juga berpengaruh terhadap gap teori dan praktek. Perawat tidak melakukan praktek berdasarkan etika dan profesional, serta kenyamanan dan komunikasi, serta tidak memperhatikan praktek aseptik. Menurut Ehrenberg (2006) dan Wilkinson (1999), gap teori dan praktek pemasangan infus dipengaruhi oleh tingkat pengetahuan perawat tentang pemasangan infuse. Tingkat pengetahuan juga dipengaruhi oleh tingkat pendidikan perawat, makin tinggi tingkat pendidikan maka makin tinggi tingkat pengetahuan perawat tersebut (Notoatmojo, 2003). Pada penelitian ini, ada 71.79 % perawat perawat yang telah lulus dari Diploma III keperawatan dan 28.21 % perawat yang telah lulus dari SPK. Pada kasus ini, latar belakang pendidikan tidak memberikan efek besar pada ketepatan melakukan prosedur. Walaupun Diploma III lebih tinggi tingkat pendidikan daripada SPK, tetapi pada penelitian ini terdapat 22.72 % perawat yang telah lulus dari Diploma III yang melakukan 20 tahapan prosedur dari 30 tahapan prosedur. Tidak ada

35

responden yang melakukan 30 tahap prosedur secara tepat baik dari lulusan Diploma III ataupun SPK. Responden yang lulus dari Diploma III atau SPK, ini tidak terlalu berarti, karena semua responden melakukan prosedur yang berbeda dengan teori. Hasil penelitian ini juga berbeda dengan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Jordan (2002) terhadap 500 perawat di Inggris, menyatakan bahwa semakin tinggi pengetahuan seseorang maka semakin tepat dalam melakukan prosedur. Ketepatan prosedur juga dipengaruhi oleh lama waktu yang diperlukan untukmelakukan pemasangan infuse (Ehrenberg, 2006). Berdasarkan

penelitian ini, responden melakukan pemasangan infuse dari 5 sampai 8 menit. Responden mengguanakn waktu ini untuk menyiapkan alat hingga merapikan alat, walaupun waktu yang harusnya digunakan berdasarkan standart operasional prosedur yang ada di RSDK adalah 15 menit, tetapi responden hanya melakukannya dalam 5-8 menit. Tidak ada perawat yang melakukan praktek sesuai dengan teori. Walaupun mereka dapat melakukan pemasangan infuse selama 8 menit, ini tidak berarti mereka dapat melakukan pemasangan infuse lebih benar dan tepat daripada responden yang melakukannya selama 5 menit. Ada 2.56 % responden yang melakukan 20 tahap pemasangan prosedur selam 8 menit, dan ada 5.12 % responden yang melakukan 25 tahap pemasangan prosedur selam 5 menit. Data ini menunjukkan bahwa lama pemasangan infuse tidak mempengaruhi gap teori dan praktek pemasangan infuse. Sedangkan menurut Wilkinson (1999), semakin lama waktu yang diperlukan maka semakin tepat prosedur yang dilakukan, walaupun menurut

Altman (2004) hal ini sangat tidak efektif untuk pasien yang memerlukan penanganan segera seperti pasien di bagian IGD. Berdasarkan Ehrenberg (2006), factor lain yang mempengaruhi gap teori dan praktek pemasangan infuse adalah kebiasaan perawat di bagian ini. Perawat yang paling sedikit pengalaman kerjanya di bagian IGD adalah satu tahun dan yang paling lama adalah 32 tahun. Responden yang bekerja di bagian IGD selama satu tahun melakukan pemasangan infuse yang berbeda dengan teori, mereka hanya melakukan 20 tahapan prosedur. Dan responden yang bekerja selama lebih dari 30 tahun dapat melakukan 24 tahapan pemasangan infuse. Sebagian besar perawat telah bekerja di bagian ini selama 11- 15 tahun (33.34 %). Dari pengalaman kerja dan lama waktu bekerja di bagian ini, semua perawat melakukan pemasangan infus yang berbeda dengan teori. Hal ini berarti, kebiasaan yang ditunjukkan berdasarkan waktu kerja dan pengalaman bekerja di IGD tidak memiliki efek besar terhadap ketepatan prosedur. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian yang didapat oleh Ferguson and Jinks (2000), bahwa gap teori dan praktek telah terjadi pada dunia keperawatan selama lebih dari 50 tahun, dan dilakukan oleh hampir semua perawat. Hal ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Dougherty (2007), dari hasil penelitian terhadap perawat di Inggris, semakin lama perawat bekerja di suatu bangsal maka praktek yang dilakukan akan berbeda dengan perawat yang baru bekerja di bagian itu dan perawat yang baru bekerja atau baru lulus dari akademi akan memiliki tingkat ketepatan melakukan prosedur yang lebih baik, karena mereka lebih bnyak menyerap

37

informasi baru. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa semua perawat di IGD melakukan pemasangan infus yang berbeda dengan teori. Sebagian perawat menyatakan bahwa, tidak semua alat tersedia di bagian IGD, seperti pengalas. Perawat menyatakan hal ini mempengaruhi mereka dalam melakukan prosedur secara tepat. Hal ini sesuai dengan penelitian Wilkinson (1999), bahwa ketersediaan alat akan mempengaruhi perawat dalam melakukan prosedur secara tepat. Mereka tidak mungkin melakukan tindakan secara tepat, jika tidak ada peralatan untuk melakukan tindakan itu. Berdasarkan Jones (2003), perilaku perawat dalam melakukan

pemasangan infuse dapat mempengaruhi gap teori dan praktek yang mereka lakukan. Seseorang yang memiliki perilaku yang baik akan melakukan tindakan dengan benar daripada seseorang yang memilki perilaku yang buruk akan melakukan tindakan secara kurang tepat. Perilaku yang baik akan menimbulakan kebiasaan yang baik sehingga gap teori dan praktek dapat dikurangi. Semua perawat telah menerima materi tentang pemasangan infuse, tetapi mereka tetap melakukan pemasangan infuse dengan tidak benar. Pada kasus ini, kebiasaan perawat memiliki pengaruh yang besar terhadap gap ini, karena menurut Jones, kebiasaan perawat dapat dilihat dari perilakunya ketika melakukan tindakan keperawatan. Semua perawat melakukan pemasangan infuse berbeda dengan teori, hal ini berarti perawat di IGD memiliki perilaku yang buruk dan kebiasaan yang buruk, hal ini akan mengakibatkan semakin jauh gap teori dan praktek (Ehrenberg, 2006).

Di rumah sakit dan di bagian IGD RSDK ini terdapat SOP pemasangan infuse dan prosedur lainnya yang dibuat pada tahun 2007, tetapi tidak didistribusikan kepada semua perawat, dan hanya ada di dokumen tersendiri, bahkan tidak semua perawat tahu tentang SOP ini. Hal ini sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Wilkinson (1999), terhadap 1000 perawat di Inggris, Wilkinson menyatakan bahwa perawat tersebut melakukan praktek pemasangna infus berbeda dengan teori dan SOP karena tidak tahu akan adanya SOP di sumah sakit tersebut. Wilkinson menyatakan bahwa SOP yang disosialisasikan dengan baik kepada semua perawat akan berdampak pada ketepatan mereka dalam melakukan prosedur.

C. Kekurangan Penelitian Pada penelitian ini, peneliti menemukan beberapa kekurangan, yaitu: 1. Peneliti hanya menggunakan satu ruangan, sehingga hasil dari penelitian ini tidak bisa digunakan secara menyeluruh pada ruangan atau bangsal lain dengan sample dan karakteristik responden yang berbeda. 2. Peneliti menggunakan ceklis dari teori yang terbaru dan

membandingkannya dengan standart operasional prosedur pemasangan infus di RSDK. Banyak faktor di klinik yang memepengaruhi praktek perawat di klinik, mungkin perawat telah melakukan modifikasi dari tahapan prosedur yang tidak mengurangi arti dari ketepatan prosedur. 3. Skala yang digunakan untuk menentukan praktek perawata melakukan pemasangan infus ada gap (tidak semua tahapan prosedur dilakukan )dan

39

tidak ada gap (semua tahapan prosedur dilakukan) dengan menggunakan nominal, diamana tidak ada sumber yang pasti untuk menggunakan skala ini.

BAB V Kesimpulan dan Rekomendasi

A. Kesinpulan Hasil dari penelitian ini menunjukkan tidsak ada perawat yang melakukan pemasangan infuse sama dengan teori. Mereka hanya melakukan 20-25 tahap prosedur dari 30 tahap prosedur. Ada 15.38 % perawat yang melakukan 20 tahap prosedur, 12.82 % perawat yang melakukan 21 tahap prosedur, 10.26 % perawat yang melakukan 22 tahap prosedur, 33.34 % perawat yang melakukan 23 tahap prosedur, 15.38 % perawat yang melakukan 24 tahap prosedur dan 12.82 % perawat yang melakukan 25 tahap prosedur. Dari prosedur itu, terdapat 11 responden (28.20 %) yang melakukan cuci tangan sebelum prosedur dan hampir semua perawat melakukan cuci tangan setelah prosedur. Ada 24 responden (61.53 %) yang menggunakan sarung tangan. Semua responden tidak menggunakan pengalas di bawah area insersi.

Hanya ada 4 responden (10.25%) yang melakukan komunikasi terapeutik, sedangkan perawat lain hanya diam dan berbicara ketika pasien bertanya. Terdapat 2 responden (5. 12 %) melakukan pengecekan tentang kemasan cairan dan tanggal kadaluwarsa cairan.

B. Rekomendasi Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa perawat di bagian IGD, RSDK melakukan praktek pemasangan infuse yang berbeda dengan teori. Penelitian ini akan diajukan sebagai rekomendasi untuk meneliti lebih jauh pengetahuan dan kompetensi mereka tentang pemasangan infuse. Peneliti juga merekomendasikan untuk penelitian ini sebagai bahan acuan untuk diteliti lebih jauh mngenai faktor-faktor yang mempengaruhi gap teori dan praktek dengan metode deskriptive cross sectional. Peneliti akan merokendasikan kepada perawat untuk meningkatkan kwalitas kerja mereka, dengan mengikuti berbagai pelatihan tentang pemasangan infus dan meningkatkan kesadarn diri mengenai tindakan keperawatan serta mengaplikasikannya sesuai dengan teori. Adanya SOP pemasangan infus harus disosialisasikan kepada seluruh perawat, sehingga mereka mengetahui standart yang pasti tentang praktek yang mereka lakukan. Hal ini sangat berguna bagi perawat untuk memberikan pelayanan yang baik dan selalu praktek berdasarkan teori.

41

Anda mungkin juga menyukai