Anda di halaman 1dari 35

LAPORAN KASUS

“Tindakan General Anestesi terhadap Sinusitis”

Disusun Sebagai salah satu persyaratan mengikuti kepaniteraan klinik senior

SMF Ilmu Anestesi di RSU Haji Medan

Disusun Oleh :

NABILLA ANSYARAH 19360261


NING LAILATUL FAJRIYATI 19360263
PIPID SYACHRUL PADIL 19360264

Pembimbing :
dr. M. WINARDI S. LESMANA, Sp.An.

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR SMF ILMU ANASTESI


RSU HAJI MEDAN PROVINSI SUMATERA UTARA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MALAHAYATI
2020
KATA PENGANTAR

Dengan mengucap puji dan syukur kepada Allah SWT, atas rahmat yang
dilimpahkannya sehingga penulis dapat menyelesaikan paper dan laporan kasus ini
dengan judul “Tindakan General Anestesi terhadap Sinusitis”. Penyusunan tugas
ini di maksudkan untuk mengembangkan wawasan serta melengkapi tugas yang di
berikan pembimbing.
Penulis menyampaikan ucapan terimakasih kepada Dr. M. Winardi S.
Lesmana, Sp.An selaku pembimbing dalam kepaniteraan klinik senior smf ilmu
anestesi serta dalam penyelesaian makalah ini. Dalam penulisan makalah ini, penulis
menyadari bahwa masih banyak kekurangan dan kelemahan, baik dari segi
penulisan maupun materi. Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari
pembaca yang sifatnya membangun guna penyempurnaan di masa yang akan
datang.

Medan, Desember 2020

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................................ii

DAFTAR ISI..............................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN .........................................................................................1

1.1 Latar Belakang..............................................................................................1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA...............................................................................3

2.2 Definisi Sinusitis........................................................................................5


2.3 Klasifikasi Sinusitis ……..........................................................................6
2.4 Etiologi Sinusitis.......................................................................................8
2.5 Manifestasi Klinik....................................................................................10
2.6 Patofisiologi Sinusitis..............................................................................12
2.7 Pemeriksaan Penunjang............................................................................13

2.8 Komplikasi..............................................................................................15
2.9 Penatalaksanaan.......................................................................................16
2.10 Pencegahan..............................................................................................20
2.11 Anestesi General......................................................................................21
BAB III LAPORAN KASUS..................................................................................26

3.1 PRE-OPERATIF……………………………………………………………39

3.2 DURANTE OPERASI...................................................................................41

3.3 POST OPERASI............................................................................................44

3.4 TERAPI POST OPERASI.............................................................................45

DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................50

LAMPIRAN.............................................................................................................51

iii
iv
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Anestesiologi adalah cabang ilmu kedokteran yang mendasari
berbagai tindakan meliputi pemberian anestesi, penjagaan keselamatan
penderita yang mengalami pembedahan, pemberian bantuan hidup dasar,
pengobatan intensif pasien gawat, terapi inhalasi dan penanggulangan nyeri
menahun. Pada prinsipnya dalam penatalaksanaan anestesi pada suatu
operasi terdapat beberapa tahap yang harus dilaksanakan yaitu pra anestesi
yang terdiri dari persiapan mental dan fisik pasien, perencanaan anestesi,
menentukan prognosis dan persiapan pada pada hari operasi. Sedangkan
tahap penatalaksanaan anestesi terdiri dari premedikasi, masa anestesi dan
pemeliharaan, tahap pemulihan serta perawatan pasca anestesi.
Sinusitis dianggap salah satu gangguan kesehatan tersering di dunia dan
juga merupakan penyakit yang paling sering ditemukan di praktek dokter sehari-
hari. Berdasarkan data DEPKES RI tahun 2003, disebutkan bahwa penyakit
hidung dan sinus berada dalam urutan ke-25 dari 50 pola penyakit peringkat
utama atau sekitar 102.817 penderita rawat jalan di rumah sakit.
Sinusitis yang merupakan salah satu penyakit THT, adalah
peradangan pada membran mukosa yang menyerang sinus paranasal dan
kavitas nasal. Sinusitis paranasal adalah rongga-rongga yang terdapat pada
tulang-tulang di wajah. Sinusitis ini terdiri dari sinus frontal (di dahi), sinus
etmoid (pangkal hidung), sinus maksila (pipi kanan dan kiri), sinus sfenoid
(di belakang sinus etmoid).

1
BAB II

TINJAUAN TEORI

2.1 Sinusitis

2.1.1 Definisi

Menurut Kamus Kedokteran Dorland (2002), sinusitis adalah


peradangan sinus, biasanya sinus paranasales; mungkin purulen atau
nonpurulen, akut atau kronik.
Tipe-tipe peradangan ini dinamakan sesuai dengan sinus yang
terkena. Ethmoid sinusitis adalah peradangan sinus ethmoidalis, disebut juga
ethmoiditis. Frontal sinusitis adalah peradangan sinus frontalis. Maxillary
sinusitis adalah peradangan sinus maxillaris, disebut juga antritis. Sphenoid
sinusitis adalah peradangan sinus sphenoidalis, disebut juga sphenoiditis.
(Kamus Kedokteran Dorland, 2002).

2.1.2 Etiologi

Adapun penyebab sinusitis umumnya adalah karena adanya infeksi


yang diinisiasi oleh mikroorganisme, yaitu:
1. Sinusitis virus akut
Mayoritas utama oleh sinusitis episodik adalah disebabkan oleh
infeksi virus. Kebanyakan virus Infeksi Saluran Pernafasan Atas adalah
disebabkan rhinovirus. Akan tetapi korona virus, influenza A dan B,
parainfluenza, adenovirus, dan enterovirus adalah agen kausatif. Virus
rhinovirus, influenza, dan paravirus adalah virus primer patogenik, pada 3-
15% pasien dengan sinusitis akut. Sekitar 0,5%-2%, pasien dengan sinusitis
viral bisa berlanjut menjadi sinusitis bakterial akut (Ah See K, 2008).
2. Sinusitis bakterial akut
Sangat sering terkait dengan Infeksi Saluran Pernafasan Atas oleh
virus, dan juga alergi, trauma, neoplasma, granulomatosa dan penyakit

2
inflamasi, faktor lingkungan, infeksi gigi, variasi anatomi. Hal ini
diakibatkan karena perannya yang bisa merusak mukosilia normal dan akan
mempredisposisi infeksi bakterial.
Antara lain adalah Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae, dan
Moraxella catarrhalis. (Itzhak Brook, 2012)
3. Invasif sinusitis fungal akut
Sangat jarang sinusitis disebabkan oleh fungi. Sinusitis fungi (cth,
sinusitis fungal allergi) akan terlihat serupa dengan kelainan saluran napas
bagian bawah dan bronchopulmonarry asppergillos allergy.
Bipolaris dan spesies Curvullaria adalah fungi yang paling sering terdapat
pada sinusitis fungal alergi.

Data yang paling meyakinkan menyebutkan, pada dewasa disebabkan


oleh Haemophyllus Influnzae dan Streptococcus Pneumoniae sebagai
patogen yang paling sering ditemukan. Hal ini terhitung dengan 65% strains
bakteri yang signifikan ditemukan. Bakteri lainnya yang terlibat antara lain
Neisseria sp., Streptococcus pyogenes (grup A), dan streptococcus alpha-
haemolytic. Untuk infeksi campuran akan didapati dengan pertumbuhannya
yang berat, akan tetapi kultur yang paling aktif tumbuh adalah organisme
yang tunggal. Ditemukan 11 virus dari 70 spesimen positif; antara lain 6
rhinovirus, 3 virus influenza A dan 2 virus parainfluenza. (Ellen, R. Wald,
1985).

2.1.3 Epidemiologi
Sinusitis mempengaruhi sekitar 35 juta orang per tahun di Amerika
dan jumlah yang mengunjugi rumah sakit mendekati 16 juta orang. Menurut
National Ambulatory Medical Care Survey (NAMCS), kurang lebih
dilaporkan 14 % penderita dewasa mengalami sinusitis yang bersifat
episodik per tahunnya dan seperlimanya sebagian besar didiagnosis dengan
pemberian antibiotik. Pada tahun 1996, orang Amerika menghabiskan sekitar
$3.39 miliyar untuk pengobatan sinusitis. Sekitar 40 % sinusitis akut
merupakan kasus yang bisa sembuh dengan sendirinya tanpa diperlukan

3
pengobatan. Penyakit ini terjadi pada semua ras, semua jenis kelamin baik
laki-laki maupun perempuan dan pada semua kelompok umur. (Lucas JW;
Schiller JS; Benson V,2001)
Wanita memiliki angka episodik yang lebih tinggi dibandingkan pria,
disebutkan karena wanita lebih sering dekat dengan anak-anak. Dimana
persentase kejadiannya, wanita 20,3% sedangkan pria 11,5%. (Itzhak Brook,
2012)
Diestimasikan bahwa 0,5% infeksi saluran pernafasan atas memiliki
komplikasi sinusitis akut. Keabsensian dari defenisinya yang tepat,
bagaimanapun estimasinya mungkin tidak akurat. Ini seperti menjatuhkan
angka antara 0,5% dan 5,0%. Untuk orang dewasa rata-rata 2 hingga 3 kali
mengalami pilek per tahun dan anak-anak 6 sampai 8 kali. (Ellen,
R.Wald,1985)

2.1.4 Manifestasi Klinis


Dari anamnesis biasanya didahului oleh infeksi saluran pernafasan
atas (terutama pada anak kecil), berupa pilek dan batuk yang lama, lebih dari
7 hari. Gejala subjektif terdiri dari gejala sistemik, yaitu demam dan rasa
lesu, serta gejala lokal yaitu hidung tersumbat, ingus kental yang kadang
berbau dan mengalir ke nasofaring (post nasal drip), halitosis, sakit kepala
yang lebih berat pada pagi hari, nyeri di daerah sinus yang terkena, serta
kadang nyeri alih ke tempat lain. Pada sinusitis maksila, nyeri terasa dibawah
kelopak mata dan kadang menyebar ke alveolus, hingga terasa di gigi. Nyeri
alih terasa di dahi dan depan telinga. Pada sinusitis etmoid, nyeri di pangkal
hidung dan kantus medius, kadang-kadang nyeri di bola mata atau
belakangnya, terutama bila mata digerakkan. Nyeri alih di pelipis. Pada
sinusitis frontal, nyeri terlokalisasi di dahi atau di seluruh kepala. Pada
sinusitis sfenoid, rasa nyeri di verteks, oksipital, retro orbital, dan di sfenoid.
Sinusitis dapat dicurigai bila ditemukan 2 kriteria mayor + 1 minor
atau 1 mayor + 2 minor (W, Fokkers; V, Lund; J, Mullol: 2007).

4
Tabel 2.1 Karakteristik Mayor dan Minor Sinusitis
Kriteria Mayor Kriteria Minor
Nyeri wajah/nyeri wajah saat ditekan Sakit kepala
Kongesti/rasa penuh di wajah Demam dan lemas
Sumbatan hidung Halitosis
Sekret nasal purulen/aliran post nasal Sakit gigi
berubah warna
Hiposmia/Anosmia Batuk
Demam (Akut) Nyeri, rasa tertekan, penuh pada telinga

Gejala objektif, tampak pembengkakan di daerah muka. Pada


sinusitis maksila terlihat di pipi dan kelopak mata bawah, pada sinusitis
frontal terlihat di dahi dan kelopak mata atas, pada sinusitis etmoid jarang
bengkak, kecuali bila ada komplikasi.
Pada rinoskopi anterior tampak mukosa konka hiperemis dan edema.
Pada sinusitis maksila, frontal, dan etmoid anterior tampak mukopus di
meatus medius. Pada sinusitis etmoid posterior dan pada sfenoid, tampak
nanah keluar dari meatus superior. Pada rinoskopi posterior tampak mukpus
di nasofaring (post nasal drip).
Pada anak dengan demam tinggi (>39oC), ingus purulen, dan
sebelumnya menderita infeksi saluran nafas atas, patut dicurigai adanya
sinusitis akut, terutama jika tampak edema periorbital yang ringan. Khusus
pada anak-anak, gejala batuk jauh lebih hebat pada siang hari tetapi terasa
sangat mengganggu pada malam hari, kadang disertai serangan mengi.
Keluhan sinusitis akut pada anak kurang spesifik dibandingkan dewasa.
Anak sering tidak mengeluh sakit kepala dan nyeri muka. Biasaya yang
terlibat hanya sinus maksila dan etmoid. (Kapita Selekta Kedokteran, 2001).

2.1.5 Patofisiologi

5
Patofisiologi sinusitis terkait pada 3 faktor:
1. Obstruksi jalur drainase sinus
Hal ini akan mencegah drainase mukus normal. Ostium bisa tertutup
oleh pembengkakan mukosa, ataupun penyebab lokal (cthtrauma, rhinitis).
Penyakit sisitemik yang mengakibatkan berkurangnya mukosilia,
termasuklah cystic fibrosis, alergi respiratori, dan diskinesia silia primer
(Sindrom Kartagener), bisa menjadi faktor predisposisi akut sinusitis pada
kasus yang jarang. Pasien dengan immunodefisiensi juga akan meningkatkan
resiko munculnya sinusitis akut.
Obstruksi mekanis disebabkan oleh polip nasal, benda asing, deviated
septa, atau tumor bisa menyebabkan penyumbatan ostium. (Itzhak brook,
2012)
Ostium sinus paranasalis adalah kunci dari patologi pada area sinus.
Faktor yang mempredisposisikan obstruksi ostium bisa disebabkan oleh
pembengkakan mukosa dan bisa dikarenakan obstruksi mekanik. Ketika
sudah muncul obstruksi komplit dari ostium, akan ada peningkatan transien
dalam tekanan intrasinus diikuti oleh pembentukan tekanan negative
intrasinus. Pertukaran gas dalam kavitas sinus juga akan terganggu jika
ostium obstruksi. Dalam hal ini, maka aparatus mukosiliar cukup kuat
berkaitan dengan perubahan pasokan dalam oksigen (Ellen, R. Wald, 1985)
2. Rusaknya fungsi silia
Berdasarkan fisiologi sinus, drainase sinus bukan bergantung pada
gravitasi melainkan pada mekanisme transport silia. Fungi silia yang buruk
bisa disebabkan berkurangnya sel epitel silia, aliran udara yang tinggi, virus,
bakteri atau siliatoxin dari lingkungan, mediator inflamasi, berdempetannya
2 permukaan mukosa, luka, dan sindrom Kartagener.
Kerja silia dipengaruhi oleh faktor genetik,seperti sindrom
Kartagener. Sindrom Kartagener terkait dengan silia immobile, menyebabkan
retensi dari sekresi sehingga menjadi faktor predisposisi infeksi sinus. Fungsi
sinus juga akan menurun dengan adanya pH yang rendah, anoxia, rokok,
racun kimia, dehidrasi, dan obat-obatan (antikolinergik dan antihistamin).

6
Terpapar dengan toxin bakteri juga bisa menyebabkan menurunnya
fungsi silia. Abses dental ataupun prosedur yang menghubungkan antara
kavitas oral dan sinus bisa menyebabkan sinusitis dengan mekanisme ini.
Sebagai tambahan, kerja silia bisa dipengaruhi apabila habis kontak dengan
virus.
Udara dingin juga menghentikan epithelium silia, mengakibatkan
pada kerusakan gerakan silia, serta retensi sekresi pada kavitas sinus. Pada
kebalikannya, menginhalasai udara yang kering menyebabkan
penggumpalan mukus sinus, dan menyebabkan sekresi berkurang. (Itzhak
brook, 2012)
Kelainan dari apparatus mukosiliari dalam hubungannya berkurang
patensi dari ostia sinus adalah patofisiologi utama bahkan pada sinusitis akut.
Faktor yang bisa mengganggu transport mukosiliari normal termasuk udara
dingin dan panas; perubahan mukus; obat-obatan dan kimiawi; infeksi virus;
kelainan kongenital seperti immotil cilia syndrome. Silia dengan pola
mikrotubular abnormal merupakan yang paling sering selama periode akut,
dengan kedua tambahan di sentral mikrotubular dan mikrotubular
supernumeri terkait dengan struktur perifer. Motilitas normal dari silia dan
adhesivitas dari lapisan mukosa biasanya melindungi peitelium respirasi dari
invasi bakteri. (Ellen, R. Wald,1985)
3. Berubahanya kualitas dan kuantitas mukus
Sekresi sinonasal memiliki peran yang penting pada rhinosinusitis.
Mukus menyelimuti garis sinus paranasal tersebut, mengandung
mukoglikoprotein, immunoglobulin, dan sel inflammatori. Ini terdiri dari 2
lapisan, yaitu lapisan serosa dimana silia recover dari active beat mereka,
kemudian lapisan viskos dimana sebagai transportasi silia.
Jika komposisi mukus berubah, sehingga mukus memproduksi viskos lebih
banyak (cth, cycstic fibrosis), transport ke ostium akan lebih pelan, dan
lapisan gel menjadi lebih tebal. (Itzhak brook, 2012)
Silia bisa dikalahkan hanya jika di medium fluida. Perubahan pada
mukus, seperti cystic fibrose atau asthma, bisa mengganggu aktivitas silia.

7
Adanya material purulen pada infeksi sinus akut bisa mengganggu gerakan
silia dan efeknya akan diperparah dengan penutupan ostium. (Ellen, R. Wald,
1985).

2.1.6 Pemeriksaan Penunjang


1. Transiluminasi
Akan memberikan informasi objektif atas kondisi sinus maksila dan frontal.
Jika sinus normal, tiga hal harus diperhatikan: (1) refleks pupil merah, (2)
bayangan sinar bulan sabit yang sesuai dengan posisi kelopak mata bawah,
(3) sensasi sinar dalam mata jika kelopak mata tertutup.
2. Cairan Radioopak
Dengan menyuntikkannya ke dalam sinus, terlebih pada sinus maksila dan
sfenoid. Dengan adanya cairan itu rongga sinus tampak jelas tergambar,
shingga penebalan mukosa dan adanya polip dapat diketahui, dan
ketidaksamaan ukuran dan bentuk dapat tergambar dengan tepat. Mukosa
yang sakit tampak sebagai daerah yang tidak terisi, diantara massa minyak
dan tepi tulang. (Ballenger, 1997)

2.1.7 Diagnosa dan Terapi


2.1.1.1 Metode pertukaran (Displacement)
Hal ini agar obat dapat masuk ke sel-sel etmoid, sinus maksila dan sfenoid.
Tekniknya adalah kepala pasien diturunkan ke posterior, sehingga dagu dan
kanalis auditorius eksterna berada dalam satu garis vertikal. Kemudian
cavum nasi pada satu sisi diisi dengan 2 sampai 3 ml cairan radioopak yang
dipertukarkan. Dengan memiringkan kepala ke sisi homolateral akan
meningkatkan kemungkinan cairan menutupi ostium sinus. Saat pasien
menaikkan palatum molenya, tekanan negatif 180 mmHg diberikan secara
hilang timbul di nares pada sisi yang diisi, dan pada sisi lainnnya ditutup
dengan jari. Roentgen diambil pada 24 dan 72 jam untuk memastikan waktu
pengosongan. Pada keadaan normal, sinus harus kosong dalam 96 jam.
2. Irigasi diagnostik

8
Pada banyak kasus, diagnosis pasti akan adanya pus tidak dapat diketahui
tanpa irigasi diagnostik. Hal ini dilakukan dengan cara sama seperti untuk
terapi, melalui ostium alami atau melalui pungsi. Bahan untuk kultur atau
usapan dapat diambil dari cairan pada saat pencucian. (Ballenger, 1997)

2.1.8 Penatalaksaan

Diberikan terapi medikamentosa berupa antibiotik sampai semua


gejala hilang. Jenis amoksisilin, ampisilin, eritromisin, sefaklor monohidrat,
asetil sefuroksim, trimetoprim sulfometoksazol, amoksisilin-asam
klavulanat, dan klaritromisin telah terbukti secara klinis. Jika dalam 48-72
jam tidak ada perbaikan klinis, diganti dengan antibiotik untuk kuman yang
menghasilkan beta laktamase, yaitu amoksisilin dan ampisilin dikombinasi
dengan asam klavulanat.
Diberikan pula dekongestan untuk memperlancar drainase sinus. Bila
perlu diberikan analgesik untuk menghilangkan nyeri; mukolitik untuk
mengencerkan, meningkatkan kerja silia, dan merangsang pemecahan fibrin.
Pemberian steroid intranasal, kadang diperlukan untuk mengurangi edema di
daerah kompleks osteomeatal, terutama bila dicetuskan oleh alergi. Apabila
terdapat komplikasi ke orbita atau intrakranial, atau nyeri yang hebat akibat
tertahannya sekret oleh sumbatan, sehingga perlu dirujuk untuk dilakukan
tindakan bedah. (Kapita Selekta Kedokteran, 2001)

3.1.8
3.1 Anestesi
3.1.1 Definisi Anestesi
Anestesia adalah suatu keadaan narcosis, analgesia, relaksasi dan
hilangnya reflek (Smeltzer, S C, 2002). Anestesi adalah menghilangnya rasa
nyeri, dan menurut jenis kegunaannya dibagi menjadi anestesi umum yang
disertai hilangnya kesadaran, sedangakan anestesi regional dan anestesi local
menghilangya rasa nyeri disatu bagian tubuh saja tanpa menghilangnya
kesadaran (Sjamsuhidajat & De Jong, 2012).

9
Anestesi merupakan tindakan menghilangkan rasa sakit ketika
melakukan pembedahan dan berbagai prosedur lain yang menimbulkan rasa
sakit pada tubuh (Morgan, 2011)
3.1.2 Tujuan Anestesi
Menurut Brunton, dkk tahun 2011 perkembangan senyawa – senyawa
anestesi disebabkan oleh tiga tujuan umum :
1.Meminimalkan potensi efek membahayakan dari senyawa dan
teknik anestesi
2.Mempertahankan homeostatis fisiologis selam dilakukan prosedur
pembedahan yang mungkin melibatkan kehilangan darah, iskemia jaringan,
reperfusi jaringan yang mengalami iskemia, pergantian cairan, pemaparan
terhadap lingkungan dingin, dan gangguan koagulasi.
Memperbaiki hasil pascaperasi dengan memilih teknik yang
menghambat tau mengatasi komponen – komponen respons stress
pembedahan, yang dapat menyebabkan konsekuensi lanjutan jangka pendek
ataupun panjang.

3.1.3 Macam-macam Anetesi


Menurut Potter & Perry tahun 2006, pasien yang mengalami
pembedahan akan menerima anestesi dengan salah satu dari tiga cara sebagai
berikut:
1. Anestesi Umum
Klien yang mendapat anestesi umum akan kehilangan seluruh sensasi
dan kesadarannya. Relaksasi otot mempermudah manipulasi anggota tubuh.
Pembedahan yang menggunakan anestesi umum melibatkan prosedur mayor,
yang membutuhkan manipulasi jaringan yang luas.
2. Anestesi Regional
Induksi anestesi regional menyebabkan hilangnya sensasi pada daerah
tubuh tertentu. Anestesi regional terdiri dari spinal anestesi, epidural
anestesi, kaudal anestesi. Metode induksi mempengaruhi bagian alur
sensorik yang diberi anestesi. Ahli anestesi memberi regional secara infiltrasi
dan lokal. Pada bedah mayor, seperti perbaikan hernia, histerektomi vagina,

10
atau perbaikan pembuluh darah kaki, anestesi regional atau spinal anestesi
hanya dilakukan dengan induksi infiltrasi. Blok anestesi pada saraf
vasomotorik simpatis dan serat saraf nyeri dan motoric menimbulkan
vasodilatasi yang luas sehingga klien dapat mengalami penurunan tekanan
darah yang tiba – tiba.
3. Anestesi Lokal
Anestesi lokal menyebabkan hilangnya sensasi pada tempat yang
diinginkan. Obat anestesi menghambat konduksi saraf sampai obat terdifusi
ke dalam sirkulasi. Anestesi lokal umumnya digunakan dalam prosedur
minor pada tempat bedah sehari.
3.1.4 Teknik General Anestesi
General anestesi menurut Mangku dan Senapathi (2010), dapat
dilakukan dengan 3 teknik, yaitu:
a) General Anestesi Intravena
Teknik general anestesi yang dilakukan dengan jalan menyuntikkan
obat anestesi parenteral langsung ke dalam pembuluh darah vena.
b) General Anestesi Inhalasi
Teknik general anestesi yang dilakukan dengan jalan memberikan
kombinasi obat anestesi inhalasi yang berupa gas dan atau cairan yang
mudah menguap melalui alat atau mesin anestesi langsung ke udara inspirasi.
c) Anestesi Imbang
Merupakan teknik anestesi dengan mempergunakan kombinasi obat-
obatan baik obat anestesi intravena maupun obat anestesi inhalasi atau
kombinasi teknik general anestesi dengan analgesia regional untuk mencapai
trias anestesi secara optimal dan berimbang, yaitu:
(1) Efek hipnosis, diperoleh dengan mempergunakan obat hipnotikum atau
obat anestesi umum yang lain.
(2) Efek analgesia, diperoleh dengan mempergunakan obat analgetik opiat
atau obat general anestesi atau dengan cara analgesia regional.
(3) Efek relaksasi, diperoleh dengan mempergunakan obat pelumpuh otot
atau general anestesi, atau dengan cara analgesia regional.

11
2) Obat-obat General Anestesi
Pada tindakan general anestesi terdapat beberapa teknik yang
dapat dilakukan adalah general anestesi dengan teknik intravena
anestesi dan general anestesi dengan inhalasi, berikut obat-obat yang
dapat digunakan pada kedua teknik tersebut.
Tabel 3.1 Obat-obat General Anestesi
Obat-obat Anestesi Intravena Obat-obat Anestesi Inhalasi

Atropine Sulfat Nitrous oxide


Pethidin Halotan
Atrakarium enfluren
Katamine HCL Isofluran
Midazolame Sevofluran
Fentanyl
Rokuronium bromide
Prostigmin

3.1.5 Penilaian dan Persiapan Pra Anestesi


Pasien yang akan menjalani anestesi dan pembedahan (elektif/darurat)
harus dipersiapkan dengan baik. Kunjungan pra anestesi pada bedah elektif
dilakukan 1-2 hari sebelumnya, dan pada bedah darurat sesingkat mungkin.
Kunjungan pra anestesi pada pasien yang akan menjalani operasi dan
pembedahan baik elektif dan darurat mutlak harus dilakukan untuk
keberhasilan tindakan tersebut. Adapun tujuan kunjungan pra anestesi
adalah:
1. Mempersiapkan mental dan fisik secara optimal.
2. Merencanakan dan memilih teknik serta obat-obat anestesi yang
sesuai dengan fisik dan kehendak pasien.
3. Menentukan status fisik dengan klasifikasi ASA (American Society
Anesthesiology):

12
ASA I : Pasien normal sehat, kelainan bedah terlokalisir,
tanpa kelainan faal, biokimiawi, dan psikiatris. Angka
mortalitas 2%.
ASA II : Pasien dengan gangguan sistemik ringan sampai
dengan sedang sebagai akibat kelainan bedah atau
proses patofisiologis. Angka mortalitas 16%.
ASA III : Pasien dengan gangguan sistemik berat sehingga
aktivitas harian terbatas. Angka mortalitas 38%.
ASA IV : Pasien dengan gangguan sistemik berat yang
mengancam jiwa, tidak selalu sembuh dengan operasi.
Misal : insufisiensi fungsi organ, angina menetap.
Angka mortalitas 68%.
ASA V : Pasien dengan kemungkinan hidup kecil. Tindakan
operasi hampir tak ada harapan. Tidak diharapkan
hidup dalam 24 jam tanpa operasi / dengan operasi.
Angka mortalitas 98%.
ASA VI : Pasien mati otak yang organ tubuhnya akan diambil
(didonorkan).
Untuk operasi cito, ASA ditambah huruf E (Emergency) terdiri dari
kegawatan otak, jantung, paru, ibu dan anak.
Adapun penilaian yang dilakukan sebelum operasi diantaranya adalah
sebagai berikut :
1. Anamnesis
a. Identifikasi pasien yang terdiri dari nama, umur, alamat, dll.
b. Keluhan saat ini dan tindakan operasi yang akan dihadapi.
c. Riwayat penyakit yang sedang/pernah diderita yang dapat
menjadi penyulit anestesi seperti alergi, diabetes melitus, penyakit paru
kronis (asma bronkhial, pneumonia, bronkhitis), penyakit jantung, hipertensi,
dan penyakit ginjal.
d. Riwayat obat-obatan yang meliputi alergi obat, intoleransi
obat, dan obat yang sedang digunakan dan dapat menimbulkan interaksi

13
dengan obat anestetik seperti kortikosteroid, obat antihipertensi, antidiabetik,
antibiotik, golongan aminoglikosid, dan lain lain.
e. Riwayat anestesi dan operasi sebelumnya yang terdiri dari
tanggal, jenis pembedahan dan anestesi, komplikasi dan perawatan intensif
pasca bedah.
f. Riwayat kebiasaan sehari-hari yang dapat mempengaruhi
tindakan anestesi seperti merokok, minum alkohol, obat penenang, narkotik.
g. Riwayat keluarga yang menderita kelainan seperti
hipertensi maligna.
h. Riwayat berdasarkan sistem organ yang meliputi keadaan
umum, pernafasan, kardiovaskular, ginjal, gastrointestinal, hematologi,
neurologi, endokrin, psikiatrik, ortopedi dan dermatologi.
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan meliputi daerah kulit tempat penyuntikan
untuk menyingkirkan adanya kontraindikasi seperti infeksi. Perhatikan juga
adanya gangguan anatomis seperti scoliosis atau kifosis, atau pasien terlalu
gemuk sehingga tonjolan processus spinosus tidak teraba.
3. Pemeriksaan laboratorium dan penunjang lain
a. Lab rutin :
1) Pemeriksaan lab. Darah
2) Urine : protein, sedimen, reduksi
3) Foto rongten ( thoraks )
4) EKG
b. Pemeriksaan khusus, dilakukan bila ada indikasi :
1) EKG pada anak
2) Spirometri pada tumor paru
3) Tes fungsi hati pada ikterus
4) Fungsi ginjal pada hipertensi

Pengobatan
 Posisi berbaring terlentang minimal 24 jam

14
 Boleh menggunakan bantal dan coba miring ka-ki
 Hidrasi adekuat.
 Hindari mengejan.
 Bila cara diatas tidak berhasil pertimbangkan pemberian epidural
blood patch yakni penyuntikan darah pasien sendiri 5-10ml ke dalam ruang
epidural. Cara ini umumnya memberikan hasil yang nyata/segera (dalam
waktu beberapa jam) pada lebih dari 90% kasus.

15
BAB III
LAPORAN KASUS

PRE-OPERATIF

1. Identitas Pasien

 Nama : Lidya Rosinta Silitonga

 Jenis Kelamin : Perempuan

 Tempat Tanggal Lahir: Tj. Morowa, 15-02-1985

 Usia : 35 tahun

 Agama : Islam

 Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

 Tanggal Masuk RS : 11-12-2020

2. Anamnesa
 Keluhan Utama : Sakit pada daerah hidung
 Telaah:
Pasien datang ke RSU Haji Medan dengan keluhan pusing dan sakit daerah
hidung kanan sejak 3 bulan terakhir. Pasien juga mengeluh keluar darah dari
hidung kanan dalam kurun waktu 2x sehari selama kurang lebih 2 minggu ini
sebanyak kira 2 sampai 3 tisu. Pasien menambahkan nyeri di bagian ulu hati,
nyeri dirasa seperti ditusuk.
 Riwayat Penyakit Dahulu :
- Tidak ada
 Riwayat Penyakit Keluarga :
- Tidak ada yang memiliki keluhan yang sama dengan pasien
 Riwayat Alergi :
- Alergi makanan disangkal oleh pasien
- Alergi obat (-)

16
 Riwayat Pengobatan :
- Tidak ada
 Riwayat Psikososial :
- Merokok (-)
- Alkohol (-)
- Obat-obatan (-)

3. Pemeriksaan Penunjang
Hasil Laboratorium
Darah Rutin
 Hb : 13.3 g/dl (13,2 – 17,3 g/dl)
 HT : 41,6 % (40 - 52 %)
 Eritrosit : 4,75 x 106/µL (4,4 - 5.9 x 106/µL)
 Leukosit : 9660 / µL (4000 - 11.000 / µL)
 Trombosit : 326.000/µL (150.000 - 440.000 / µL)

Hitung Jenis
 Eosinofil : 6,8% (1-3 %)
 Basofil : 0,3% (0-1 %)
 N. Seg : 55% (53-75 %)
 Limfosit : 30,9% (20-45 %)
 Monosit : 7,0% (4-8 %)

Metabolik
 KGDS : -

Fungsi Hati
 Bilirubin total :-
 Bilirubin direk :-
 SGOT : 23 U/L >40

17
 SGPT : 30 U/L >40

Fungsi Ginjal
 Ureum :-
 Kreatinin :-

HIV
 HIV R1 : Non Reactive

Pemeriksaan COVID
 IgG Covid -19 : Non Reactive
 IgM Covid -19 : Non Reactive

DURANTE OPERASI
1. Status Anastesi
 PS-ASA : I (Gangguan Sistemik Ringan)
 Hari/tanggal : 12 Desember 2020
 Ahli Anastesiologi : dr. Riki, Sp.An
 Ahli Bedah : dr. Amran, Sp. THT
 Diagnosa Pra Bedah : Sinusitis
 Diagnosa Pasca Bedah : Sinusitis
 Keadaan Pra Bedah
KU : Tampak sakit sedang
BB : 78 Kg
TTV : TD : 118/64mmHg, N : 85x/menit, RR : 18x/menit,
T: 37 0C
 B1 (Breath)
Airway : Clear
RR : 18 x/menit
SP : Vesikuler
ST :-

18
 B2 (Blood)
Akral : Hangat
CRT : < 2 detik
TD : 1180/64 mmHg
HR : 85x/menit
Hb : 13,3g/dl (13,2 – 17,3g/dl)
Ht : 41,6 % (40 – 52 %)
Leukosit : 9660 / µL (4000 - 11.000 / µL)
Trombosit : 326.000/µL (150.000 - 440.000 / µL)
EKG : normal (Sinus rhytme)
 B3 (Brain)
Sensorium : Compos Mentis / E4V5M6
Pupil : Isokor, ka=ki 3mm/3mm
RC : (+)/(+)
 B4 (Bladder)
Kateter :-
Urine Output : 100 cc
Warna : putih kekuningan
Ureum : 20 mg/dl (10 - 50 g/dl)
Kreatinin : 0,5 mg/dl (0.6-1.1 mg/dl)
 B5 (Bowel)
Abdomen
Inspeksi : Simetris
Palpasi : soepel
Perkusi : Tympani
Auskultasi : Peristaltik (+)
Mual/Muntah : (-)/(-)
 B6 (Bone)
Oedem : (-)
Fraktur : (-)

19
Motorik : Normal
 Jenis Pembedahan : FESS (Functional endoscopic sinus surgery)
 Jenis Anastesi : General
 Lama Operasi : 60 menit (09.45 - 10.45 WIB)
 Lama Anastesi : (09.35 WIB)
 Anastesi Dengan : Isoflurane + N2O + O2
 Teknik Anastesi : premedikasi = SA 0,25ml+dexamethasone 0,5ml ;
Induksi = midazolame 2mg + fentanyl 100mg ; Maintanance =
N2O+O2+Isoflurane
 Teknik Khusus :-
 Pernafasan : Cr = Ventikuler
 Posisi : Supine
 Infus : IVFD RL terpasang ditangan kiri
 Penyulit Anestesi :-
 Akhir Pembedahan : TD : 96/53 mmHg. N : 74 x/menit, RR : 20
x/menit
 Terapi Khusus Pasca Bedah : -
 Penyulit Pasca Bedah :-
 Hipersensitivitas :-
 Premedikasi :-
 Medikasi
- Propofol :10 cc
- Kabiroc : 10 mg
 Jumlah Cairan
PO : RL 500 cc
DO :-
Produksi Urin : spontan (-)
Volume urin : (-)
 Perdarahan
Suction : 30 cc

20
POST OPERASI
Perawatan Post Operasi
 Setelah operasi selesai pasien di observasi di Recovery Room dan lakukan
monitoring airway dan tanda-tanda vital selama 2 jam
 Istirahat sampai pengaruh obat anestesi hilang
 IVFD RL 52 gtt/menit
Pasien boleh pindah ke ruangan bila Alderette score > 8
 Setelah operasi selesai, pasien dibawa ke ruang pemulihan setelah dipastikan
pasien pulih dari anestesi dan keadaan umum, kesadaran serta vital sign
stabil, pasien dipindahkan ke bangsal dengan anjuran untuk bedrest 24 jam,
makan dan minum sedikit demi sedikit apabila pasien sudah sadar penuh dan
peristaltik normal.

TERAPI POST OPERASI


 Minum sedikit-sedikit bila tidak ada mual dan muntah
 IVFD RL 52 gtt/menit
 Inj. Ketorolac IV 30 mg/8Jam bila kesakitan
 Obat-obat lain : Inj. Ondancetron 4 mg/12 jam IV
 Monitor TTV / 15 menit selama 2 jam
 Bed rest 24 jam

FOLLOW UP

11 Desember 2020 S: nyeri hidung(+), keluar darah R/


dari hidung (+)
Diet biasa
O: KU : Sakit sedang
IVFD RL : D 5% 1:1 20
TD: 117/64 mmHG tpm

N: 82 x/menit Inj. Ceftriaxone 2 gr drips


dalam 100 cc Nacl 0,9% /
RR: 20 x/menit

21
S: 360C hari (hari 1)

Abdomen:

Dalam batas Normal Planning:

Ekstremitas: edema -/- Laparotomi tanggal 25


Nov 2020
Hasil lab:
Puasa 6 jam Pre OP
 Hb: 13,3 g/dl
 HT: 41,6 %
 Eritrosit : 4,75 x 106/µL
 Leukosit: 9660 / µL
 Trombosit:326.000/µL
 Eosinofil : 6,8%
 Basofil : 0,3%
 N. Seg : 55%
 Limfosit: 30,9%
 Monosit: 7,0%
Thorax PA:

 Sinus Costophrenicus dan


Diafragma normal
 Jantung : Normal
 Paru : Corakan
Bronkovaskuler baik
Kesan : Kardiomegali

A:

P:
Memantau KU pasien
Monitoring TTV
Pemeriksaan Nutrisi
Kolaborasi dengan dokter THT

22
12 Desember 2020 S: Nyeri luka operasi R/

O: KU : Sakit sedang IVFD RL : D 5% 1:1 40


tpm
TD: 109/73 mmHG
Inj. Ceftriaxone 2 gr/ 8
N: 82 x/menit
jam
RR: 20 x/menit
Inj. Ketorolak 30 mg/ 8
S: 360C jam

Platus (+) Paracetamol 3x 1 per oral

Abdomen: Planning:

Peristaltik (+) Inj Pectidin 75 mg IM


jika sakit
Hepar/lien tidak teraba

Ekstremitas: edema -/-

A:

- Post FESS
P:
Memantau KU pasien
Monitoring TTV
Pemeriksaan Nutrisi
Kolaborasi dengan dokter
Kandungan

13 Desember 2020 S: Nyeri pada luka OP R/

O: KU : Sakit sedang/ Diet biasa


composmentis
IVFD RL : D 5% 1:1 28
TD: 130/89 mmHG tpm

23
N: 82 x/menit Inj. Ceftriaxone 2 gr/ 8
jam
RR: 20 x/menit
Inj. Ketorolak 30 mg/ 8
S: 36,80C
jam
Skala Nyeri : 2
Paracetamol 3x 1 per oral
Abdomen:
Planning:
Peristaltik (+) kesan normal
Inj Pectidin 75 mg IM
Hepar/lien tidak teraba jika sakit

Ekstremitas: edema -/-

A:

- Post FESS
P:
Memantau KU pasien
Monitoring TTV
Pemantauan Nutrisi dan cairan
Pemberian terapi sesuai dengan
dokter kandungan

24
DAFTAR PUSTAKA

Mansjoer Arief, 2007. Kapita Selekta Kedokteran. Medikal Aesculapius,FKAUI :


Jakarta

Prawirohardjo, sarwono. 2002. Edisi Ke-3. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka

Pearce, Evelyn C. 2000. Anatomi dan Fisiolog untuk Paramedis Edisi Barui.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

Latief, S. et al. 2001. Petunjuk Praktis Anestesiologi Edisi Kedua. Balai Penerbit FK
UI. Jakarta
Pramono, A. 2015. Buku kuliah : Anestesi. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta

25
LAMPIRAN

PEMERIKSAAN PENUNJANG
EKG

26
X-RAY

27
HASIL LABORATORIUM

28
LAPORAN BEDAH

MRI

29
LAPORAN ANESTESI

30

Anda mungkin juga menyukai