Disusun Oleh :
Pembimbing :
dr. M. WINARDI S. LESMANA, Sp.An.
Dengan mengucap puji dan syukur kepada Allah SWT, atas rahmat yang
dilimpahkannya sehingga penulis dapat menyelesaikan paper dan laporan kasus ini
dengan judul “Tindakan General Anestesi terhadap Sinusitis”. Penyusunan tugas
ini di maksudkan untuk mengembangkan wawasan serta melengkapi tugas yang di
berikan pembimbing.
Penulis menyampaikan ucapan terimakasih kepada Dr. M. Winardi S.
Lesmana, Sp.An selaku pembimbing dalam kepaniteraan klinik senior smf ilmu
anestesi serta dalam penyelesaian makalah ini. Dalam penulisan makalah ini, penulis
menyadari bahwa masih banyak kekurangan dan kelemahan, baik dari segi
penulisan maupun materi. Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari
pembaca yang sifatnya membangun guna penyempurnaan di masa yang akan
datang.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.................................................................................................ii
DAFTAR ISI..............................................................................................................iii
2.8 Komplikasi..............................................................................................15
2.9 Penatalaksanaan.......................................................................................16
2.10 Pencegahan..............................................................................................20
2.11 Anestesi General......................................................................................21
BAB III LAPORAN KASUS..................................................................................26
3.1 PRE-OPERATIF……………………………………………………………39
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................50
LAMPIRAN.............................................................................................................51
iii
iv
BAB I
PENDAHULUAN
1
BAB II
TINJAUAN TEORI
2.1 Sinusitis
2.1.1 Definisi
2.1.2 Etiologi
2
inflamasi, faktor lingkungan, infeksi gigi, variasi anatomi. Hal ini
diakibatkan karena perannya yang bisa merusak mukosilia normal dan akan
mempredisposisi infeksi bakterial.
Antara lain adalah Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae, dan
Moraxella catarrhalis. (Itzhak Brook, 2012)
3. Invasif sinusitis fungal akut
Sangat jarang sinusitis disebabkan oleh fungi. Sinusitis fungi (cth,
sinusitis fungal allergi) akan terlihat serupa dengan kelainan saluran napas
bagian bawah dan bronchopulmonarry asppergillos allergy.
Bipolaris dan spesies Curvullaria adalah fungi yang paling sering terdapat
pada sinusitis fungal alergi.
2.1.3 Epidemiologi
Sinusitis mempengaruhi sekitar 35 juta orang per tahun di Amerika
dan jumlah yang mengunjugi rumah sakit mendekati 16 juta orang. Menurut
National Ambulatory Medical Care Survey (NAMCS), kurang lebih
dilaporkan 14 % penderita dewasa mengalami sinusitis yang bersifat
episodik per tahunnya dan seperlimanya sebagian besar didiagnosis dengan
pemberian antibiotik. Pada tahun 1996, orang Amerika menghabiskan sekitar
$3.39 miliyar untuk pengobatan sinusitis. Sekitar 40 % sinusitis akut
merupakan kasus yang bisa sembuh dengan sendirinya tanpa diperlukan
3
pengobatan. Penyakit ini terjadi pada semua ras, semua jenis kelamin baik
laki-laki maupun perempuan dan pada semua kelompok umur. (Lucas JW;
Schiller JS; Benson V,2001)
Wanita memiliki angka episodik yang lebih tinggi dibandingkan pria,
disebutkan karena wanita lebih sering dekat dengan anak-anak. Dimana
persentase kejadiannya, wanita 20,3% sedangkan pria 11,5%. (Itzhak Brook,
2012)
Diestimasikan bahwa 0,5% infeksi saluran pernafasan atas memiliki
komplikasi sinusitis akut. Keabsensian dari defenisinya yang tepat,
bagaimanapun estimasinya mungkin tidak akurat. Ini seperti menjatuhkan
angka antara 0,5% dan 5,0%. Untuk orang dewasa rata-rata 2 hingga 3 kali
mengalami pilek per tahun dan anak-anak 6 sampai 8 kali. (Ellen,
R.Wald,1985)
4
Tabel 2.1 Karakteristik Mayor dan Minor Sinusitis
Kriteria Mayor Kriteria Minor
Nyeri wajah/nyeri wajah saat ditekan Sakit kepala
Kongesti/rasa penuh di wajah Demam dan lemas
Sumbatan hidung Halitosis
Sekret nasal purulen/aliran post nasal Sakit gigi
berubah warna
Hiposmia/Anosmia Batuk
Demam (Akut) Nyeri, rasa tertekan, penuh pada telinga
2.1.5 Patofisiologi
5
Patofisiologi sinusitis terkait pada 3 faktor:
1. Obstruksi jalur drainase sinus
Hal ini akan mencegah drainase mukus normal. Ostium bisa tertutup
oleh pembengkakan mukosa, ataupun penyebab lokal (cthtrauma, rhinitis).
Penyakit sisitemik yang mengakibatkan berkurangnya mukosilia,
termasuklah cystic fibrosis, alergi respiratori, dan diskinesia silia primer
(Sindrom Kartagener), bisa menjadi faktor predisposisi akut sinusitis pada
kasus yang jarang. Pasien dengan immunodefisiensi juga akan meningkatkan
resiko munculnya sinusitis akut.
Obstruksi mekanis disebabkan oleh polip nasal, benda asing, deviated
septa, atau tumor bisa menyebabkan penyumbatan ostium. (Itzhak brook,
2012)
Ostium sinus paranasalis adalah kunci dari patologi pada area sinus.
Faktor yang mempredisposisikan obstruksi ostium bisa disebabkan oleh
pembengkakan mukosa dan bisa dikarenakan obstruksi mekanik. Ketika
sudah muncul obstruksi komplit dari ostium, akan ada peningkatan transien
dalam tekanan intrasinus diikuti oleh pembentukan tekanan negative
intrasinus. Pertukaran gas dalam kavitas sinus juga akan terganggu jika
ostium obstruksi. Dalam hal ini, maka aparatus mukosiliar cukup kuat
berkaitan dengan perubahan pasokan dalam oksigen (Ellen, R. Wald, 1985)
2. Rusaknya fungsi silia
Berdasarkan fisiologi sinus, drainase sinus bukan bergantung pada
gravitasi melainkan pada mekanisme transport silia. Fungi silia yang buruk
bisa disebabkan berkurangnya sel epitel silia, aliran udara yang tinggi, virus,
bakteri atau siliatoxin dari lingkungan, mediator inflamasi, berdempetannya
2 permukaan mukosa, luka, dan sindrom Kartagener.
Kerja silia dipengaruhi oleh faktor genetik,seperti sindrom
Kartagener. Sindrom Kartagener terkait dengan silia immobile, menyebabkan
retensi dari sekresi sehingga menjadi faktor predisposisi infeksi sinus. Fungsi
sinus juga akan menurun dengan adanya pH yang rendah, anoxia, rokok,
racun kimia, dehidrasi, dan obat-obatan (antikolinergik dan antihistamin).
6
Terpapar dengan toxin bakteri juga bisa menyebabkan menurunnya
fungsi silia. Abses dental ataupun prosedur yang menghubungkan antara
kavitas oral dan sinus bisa menyebabkan sinusitis dengan mekanisme ini.
Sebagai tambahan, kerja silia bisa dipengaruhi apabila habis kontak dengan
virus.
Udara dingin juga menghentikan epithelium silia, mengakibatkan
pada kerusakan gerakan silia, serta retensi sekresi pada kavitas sinus. Pada
kebalikannya, menginhalasai udara yang kering menyebabkan
penggumpalan mukus sinus, dan menyebabkan sekresi berkurang. (Itzhak
brook, 2012)
Kelainan dari apparatus mukosiliari dalam hubungannya berkurang
patensi dari ostia sinus adalah patofisiologi utama bahkan pada sinusitis akut.
Faktor yang bisa mengganggu transport mukosiliari normal termasuk udara
dingin dan panas; perubahan mukus; obat-obatan dan kimiawi; infeksi virus;
kelainan kongenital seperti immotil cilia syndrome. Silia dengan pola
mikrotubular abnormal merupakan yang paling sering selama periode akut,
dengan kedua tambahan di sentral mikrotubular dan mikrotubular
supernumeri terkait dengan struktur perifer. Motilitas normal dari silia dan
adhesivitas dari lapisan mukosa biasanya melindungi peitelium respirasi dari
invasi bakteri. (Ellen, R. Wald,1985)
3. Berubahanya kualitas dan kuantitas mukus
Sekresi sinonasal memiliki peran yang penting pada rhinosinusitis.
Mukus menyelimuti garis sinus paranasal tersebut, mengandung
mukoglikoprotein, immunoglobulin, dan sel inflammatori. Ini terdiri dari 2
lapisan, yaitu lapisan serosa dimana silia recover dari active beat mereka,
kemudian lapisan viskos dimana sebagai transportasi silia.
Jika komposisi mukus berubah, sehingga mukus memproduksi viskos lebih
banyak (cth, cycstic fibrosis), transport ke ostium akan lebih pelan, dan
lapisan gel menjadi lebih tebal. (Itzhak brook, 2012)
Silia bisa dikalahkan hanya jika di medium fluida. Perubahan pada
mukus, seperti cystic fibrose atau asthma, bisa mengganggu aktivitas silia.
7
Adanya material purulen pada infeksi sinus akut bisa mengganggu gerakan
silia dan efeknya akan diperparah dengan penutupan ostium. (Ellen, R. Wald,
1985).
8
Pada banyak kasus, diagnosis pasti akan adanya pus tidak dapat diketahui
tanpa irigasi diagnostik. Hal ini dilakukan dengan cara sama seperti untuk
terapi, melalui ostium alami atau melalui pungsi. Bahan untuk kultur atau
usapan dapat diambil dari cairan pada saat pencucian. (Ballenger, 1997)
2.1.8 Penatalaksaan
3.1.8
3.1 Anestesi
3.1.1 Definisi Anestesi
Anestesia adalah suatu keadaan narcosis, analgesia, relaksasi dan
hilangnya reflek (Smeltzer, S C, 2002). Anestesi adalah menghilangnya rasa
nyeri, dan menurut jenis kegunaannya dibagi menjadi anestesi umum yang
disertai hilangnya kesadaran, sedangakan anestesi regional dan anestesi local
menghilangya rasa nyeri disatu bagian tubuh saja tanpa menghilangnya
kesadaran (Sjamsuhidajat & De Jong, 2012).
9
Anestesi merupakan tindakan menghilangkan rasa sakit ketika
melakukan pembedahan dan berbagai prosedur lain yang menimbulkan rasa
sakit pada tubuh (Morgan, 2011)
3.1.2 Tujuan Anestesi
Menurut Brunton, dkk tahun 2011 perkembangan senyawa – senyawa
anestesi disebabkan oleh tiga tujuan umum :
1.Meminimalkan potensi efek membahayakan dari senyawa dan
teknik anestesi
2.Mempertahankan homeostatis fisiologis selam dilakukan prosedur
pembedahan yang mungkin melibatkan kehilangan darah, iskemia jaringan,
reperfusi jaringan yang mengalami iskemia, pergantian cairan, pemaparan
terhadap lingkungan dingin, dan gangguan koagulasi.
Memperbaiki hasil pascaperasi dengan memilih teknik yang
menghambat tau mengatasi komponen – komponen respons stress
pembedahan, yang dapat menyebabkan konsekuensi lanjutan jangka pendek
ataupun panjang.
10
atau perbaikan pembuluh darah kaki, anestesi regional atau spinal anestesi
hanya dilakukan dengan induksi infiltrasi. Blok anestesi pada saraf
vasomotorik simpatis dan serat saraf nyeri dan motoric menimbulkan
vasodilatasi yang luas sehingga klien dapat mengalami penurunan tekanan
darah yang tiba – tiba.
3. Anestesi Lokal
Anestesi lokal menyebabkan hilangnya sensasi pada tempat yang
diinginkan. Obat anestesi menghambat konduksi saraf sampai obat terdifusi
ke dalam sirkulasi. Anestesi lokal umumnya digunakan dalam prosedur
minor pada tempat bedah sehari.
3.1.4 Teknik General Anestesi
General anestesi menurut Mangku dan Senapathi (2010), dapat
dilakukan dengan 3 teknik, yaitu:
a) General Anestesi Intravena
Teknik general anestesi yang dilakukan dengan jalan menyuntikkan
obat anestesi parenteral langsung ke dalam pembuluh darah vena.
b) General Anestesi Inhalasi
Teknik general anestesi yang dilakukan dengan jalan memberikan
kombinasi obat anestesi inhalasi yang berupa gas dan atau cairan yang
mudah menguap melalui alat atau mesin anestesi langsung ke udara inspirasi.
c) Anestesi Imbang
Merupakan teknik anestesi dengan mempergunakan kombinasi obat-
obatan baik obat anestesi intravena maupun obat anestesi inhalasi atau
kombinasi teknik general anestesi dengan analgesia regional untuk mencapai
trias anestesi secara optimal dan berimbang, yaitu:
(1) Efek hipnosis, diperoleh dengan mempergunakan obat hipnotikum atau
obat anestesi umum yang lain.
(2) Efek analgesia, diperoleh dengan mempergunakan obat analgetik opiat
atau obat general anestesi atau dengan cara analgesia regional.
(3) Efek relaksasi, diperoleh dengan mempergunakan obat pelumpuh otot
atau general anestesi, atau dengan cara analgesia regional.
11
2) Obat-obat General Anestesi
Pada tindakan general anestesi terdapat beberapa teknik yang
dapat dilakukan adalah general anestesi dengan teknik intravena
anestesi dan general anestesi dengan inhalasi, berikut obat-obat yang
dapat digunakan pada kedua teknik tersebut.
Tabel 3.1 Obat-obat General Anestesi
Obat-obat Anestesi Intravena Obat-obat Anestesi Inhalasi
12
ASA I : Pasien normal sehat, kelainan bedah terlokalisir,
tanpa kelainan faal, biokimiawi, dan psikiatris. Angka
mortalitas 2%.
ASA II : Pasien dengan gangguan sistemik ringan sampai
dengan sedang sebagai akibat kelainan bedah atau
proses patofisiologis. Angka mortalitas 16%.
ASA III : Pasien dengan gangguan sistemik berat sehingga
aktivitas harian terbatas. Angka mortalitas 38%.
ASA IV : Pasien dengan gangguan sistemik berat yang
mengancam jiwa, tidak selalu sembuh dengan operasi.
Misal : insufisiensi fungsi organ, angina menetap.
Angka mortalitas 68%.
ASA V : Pasien dengan kemungkinan hidup kecil. Tindakan
operasi hampir tak ada harapan. Tidak diharapkan
hidup dalam 24 jam tanpa operasi / dengan operasi.
Angka mortalitas 98%.
ASA VI : Pasien mati otak yang organ tubuhnya akan diambil
(didonorkan).
Untuk operasi cito, ASA ditambah huruf E (Emergency) terdiri dari
kegawatan otak, jantung, paru, ibu dan anak.
Adapun penilaian yang dilakukan sebelum operasi diantaranya adalah
sebagai berikut :
1. Anamnesis
a. Identifikasi pasien yang terdiri dari nama, umur, alamat, dll.
b. Keluhan saat ini dan tindakan operasi yang akan dihadapi.
c. Riwayat penyakit yang sedang/pernah diderita yang dapat
menjadi penyulit anestesi seperti alergi, diabetes melitus, penyakit paru
kronis (asma bronkhial, pneumonia, bronkhitis), penyakit jantung, hipertensi,
dan penyakit ginjal.
d. Riwayat obat-obatan yang meliputi alergi obat, intoleransi
obat, dan obat yang sedang digunakan dan dapat menimbulkan interaksi
13
dengan obat anestetik seperti kortikosteroid, obat antihipertensi, antidiabetik,
antibiotik, golongan aminoglikosid, dan lain lain.
e. Riwayat anestesi dan operasi sebelumnya yang terdiri dari
tanggal, jenis pembedahan dan anestesi, komplikasi dan perawatan intensif
pasca bedah.
f. Riwayat kebiasaan sehari-hari yang dapat mempengaruhi
tindakan anestesi seperti merokok, minum alkohol, obat penenang, narkotik.
g. Riwayat keluarga yang menderita kelainan seperti
hipertensi maligna.
h. Riwayat berdasarkan sistem organ yang meliputi keadaan
umum, pernafasan, kardiovaskular, ginjal, gastrointestinal, hematologi,
neurologi, endokrin, psikiatrik, ortopedi dan dermatologi.
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan meliputi daerah kulit tempat penyuntikan
untuk menyingkirkan adanya kontraindikasi seperti infeksi. Perhatikan juga
adanya gangguan anatomis seperti scoliosis atau kifosis, atau pasien terlalu
gemuk sehingga tonjolan processus spinosus tidak teraba.
3. Pemeriksaan laboratorium dan penunjang lain
a. Lab rutin :
1) Pemeriksaan lab. Darah
2) Urine : protein, sedimen, reduksi
3) Foto rongten ( thoraks )
4) EKG
b. Pemeriksaan khusus, dilakukan bila ada indikasi :
1) EKG pada anak
2) Spirometri pada tumor paru
3) Tes fungsi hati pada ikterus
4) Fungsi ginjal pada hipertensi
Pengobatan
Posisi berbaring terlentang minimal 24 jam
14
Boleh menggunakan bantal dan coba miring ka-ki
Hidrasi adekuat.
Hindari mengejan.
Bila cara diatas tidak berhasil pertimbangkan pemberian epidural
blood patch yakni penyuntikan darah pasien sendiri 5-10ml ke dalam ruang
epidural. Cara ini umumnya memberikan hasil yang nyata/segera (dalam
waktu beberapa jam) pada lebih dari 90% kasus.
15
BAB III
LAPORAN KASUS
PRE-OPERATIF
1. Identitas Pasien
Usia : 35 tahun
Agama : Islam
2. Anamnesa
Keluhan Utama : Sakit pada daerah hidung
Telaah:
Pasien datang ke RSU Haji Medan dengan keluhan pusing dan sakit daerah
hidung kanan sejak 3 bulan terakhir. Pasien juga mengeluh keluar darah dari
hidung kanan dalam kurun waktu 2x sehari selama kurang lebih 2 minggu ini
sebanyak kira 2 sampai 3 tisu. Pasien menambahkan nyeri di bagian ulu hati,
nyeri dirasa seperti ditusuk.
Riwayat Penyakit Dahulu :
- Tidak ada
Riwayat Penyakit Keluarga :
- Tidak ada yang memiliki keluhan yang sama dengan pasien
Riwayat Alergi :
- Alergi makanan disangkal oleh pasien
- Alergi obat (-)
16
Riwayat Pengobatan :
- Tidak ada
Riwayat Psikososial :
- Merokok (-)
- Alkohol (-)
- Obat-obatan (-)
3. Pemeriksaan Penunjang
Hasil Laboratorium
Darah Rutin
Hb : 13.3 g/dl (13,2 – 17,3 g/dl)
HT : 41,6 % (40 - 52 %)
Eritrosit : 4,75 x 106/µL (4,4 - 5.9 x 106/µL)
Leukosit : 9660 / µL (4000 - 11.000 / µL)
Trombosit : 326.000/µL (150.000 - 440.000 / µL)
Hitung Jenis
Eosinofil : 6,8% (1-3 %)
Basofil : 0,3% (0-1 %)
N. Seg : 55% (53-75 %)
Limfosit : 30,9% (20-45 %)
Monosit : 7,0% (4-8 %)
Metabolik
KGDS : -
Fungsi Hati
Bilirubin total :-
Bilirubin direk :-
SGOT : 23 U/L >40
17
SGPT : 30 U/L >40
Fungsi Ginjal
Ureum :-
Kreatinin :-
HIV
HIV R1 : Non Reactive
Pemeriksaan COVID
IgG Covid -19 : Non Reactive
IgM Covid -19 : Non Reactive
DURANTE OPERASI
1. Status Anastesi
PS-ASA : I (Gangguan Sistemik Ringan)
Hari/tanggal : 12 Desember 2020
Ahli Anastesiologi : dr. Riki, Sp.An
Ahli Bedah : dr. Amran, Sp. THT
Diagnosa Pra Bedah : Sinusitis
Diagnosa Pasca Bedah : Sinusitis
Keadaan Pra Bedah
KU : Tampak sakit sedang
BB : 78 Kg
TTV : TD : 118/64mmHg, N : 85x/menit, RR : 18x/menit,
T: 37 0C
B1 (Breath)
Airway : Clear
RR : 18 x/menit
SP : Vesikuler
ST :-
18
B2 (Blood)
Akral : Hangat
CRT : < 2 detik
TD : 1180/64 mmHg
HR : 85x/menit
Hb : 13,3g/dl (13,2 – 17,3g/dl)
Ht : 41,6 % (40 – 52 %)
Leukosit : 9660 / µL (4000 - 11.000 / µL)
Trombosit : 326.000/µL (150.000 - 440.000 / µL)
EKG : normal (Sinus rhytme)
B3 (Brain)
Sensorium : Compos Mentis / E4V5M6
Pupil : Isokor, ka=ki 3mm/3mm
RC : (+)/(+)
B4 (Bladder)
Kateter :-
Urine Output : 100 cc
Warna : putih kekuningan
Ureum : 20 mg/dl (10 - 50 g/dl)
Kreatinin : 0,5 mg/dl (0.6-1.1 mg/dl)
B5 (Bowel)
Abdomen
Inspeksi : Simetris
Palpasi : soepel
Perkusi : Tympani
Auskultasi : Peristaltik (+)
Mual/Muntah : (-)/(-)
B6 (Bone)
Oedem : (-)
Fraktur : (-)
19
Motorik : Normal
Jenis Pembedahan : FESS (Functional endoscopic sinus surgery)
Jenis Anastesi : General
Lama Operasi : 60 menit (09.45 - 10.45 WIB)
Lama Anastesi : (09.35 WIB)
Anastesi Dengan : Isoflurane + N2O + O2
Teknik Anastesi : premedikasi = SA 0,25ml+dexamethasone 0,5ml ;
Induksi = midazolame 2mg + fentanyl 100mg ; Maintanance =
N2O+O2+Isoflurane
Teknik Khusus :-
Pernafasan : Cr = Ventikuler
Posisi : Supine
Infus : IVFD RL terpasang ditangan kiri
Penyulit Anestesi :-
Akhir Pembedahan : TD : 96/53 mmHg. N : 74 x/menit, RR : 20
x/menit
Terapi Khusus Pasca Bedah : -
Penyulit Pasca Bedah :-
Hipersensitivitas :-
Premedikasi :-
Medikasi
- Propofol :10 cc
- Kabiroc : 10 mg
Jumlah Cairan
PO : RL 500 cc
DO :-
Produksi Urin : spontan (-)
Volume urin : (-)
Perdarahan
Suction : 30 cc
20
POST OPERASI
Perawatan Post Operasi
Setelah operasi selesai pasien di observasi di Recovery Room dan lakukan
monitoring airway dan tanda-tanda vital selama 2 jam
Istirahat sampai pengaruh obat anestesi hilang
IVFD RL 52 gtt/menit
Pasien boleh pindah ke ruangan bila Alderette score > 8
Setelah operasi selesai, pasien dibawa ke ruang pemulihan setelah dipastikan
pasien pulih dari anestesi dan keadaan umum, kesadaran serta vital sign
stabil, pasien dipindahkan ke bangsal dengan anjuran untuk bedrest 24 jam,
makan dan minum sedikit demi sedikit apabila pasien sudah sadar penuh dan
peristaltik normal.
FOLLOW UP
21
S: 360C hari (hari 1)
Abdomen:
A:
P:
Memantau KU pasien
Monitoring TTV
Pemeriksaan Nutrisi
Kolaborasi dengan dokter THT
22
12 Desember 2020 S: Nyeri luka operasi R/
Abdomen: Planning:
A:
- Post FESS
P:
Memantau KU pasien
Monitoring TTV
Pemeriksaan Nutrisi
Kolaborasi dengan dokter
Kandungan
23
N: 82 x/menit Inj. Ceftriaxone 2 gr/ 8
jam
RR: 20 x/menit
Inj. Ketorolak 30 mg/ 8
S: 36,80C
jam
Skala Nyeri : 2
Paracetamol 3x 1 per oral
Abdomen:
Planning:
Peristaltik (+) kesan normal
Inj Pectidin 75 mg IM
Hepar/lien tidak teraba jika sakit
A:
- Post FESS
P:
Memantau KU pasien
Monitoring TTV
Pemantauan Nutrisi dan cairan
Pemberian terapi sesuai dengan
dokter kandungan
24
DAFTAR PUSTAKA
Pearce, Evelyn C. 2000. Anatomi dan Fisiolog untuk Paramedis Edisi Barui.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Latief, S. et al. 2001. Petunjuk Praktis Anestesiologi Edisi Kedua. Balai Penerbit FK
UI. Jakarta
Pramono, A. 2015. Buku kuliah : Anestesi. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta
25
LAMPIRAN
PEMERIKSAAN PENUNJANG
EKG
26
X-RAY
27
HASIL LABORATORIUM
28
LAPORAN BEDAH
MRI
29
LAPORAN ANESTESI
30