Anda di halaman 1dari 24

1

BAB I

PENDAHULUAN

Anestesia berarti pembiusan, kata ini berasal dari bahasa Yunani an-


"tidak, tanpa" dan aesthētos, "persepsi, kemampuan untuk merasa". Istilah
anestesi digunakan pertama kali oleh Oliver Wendel Holmes Sir pada tahun
1846. Anestesi umum adalah tindakan meniadakan nyeri secara sentral
disertai dengan hilangnya kesadaran dan bersifat pulih kembali (reversible)
(Morgan, 2013).
Komponen anestesi yang ideal (trias anestesi) terdiri dari : hipnotik,
analgesia dan relaksasi otot. Praktek anestesi umum juga termasuk
mengendalikan pernapasan dengan pemantauan fungsi-fungsi vital tubuh
selama prosedur anestesi. Tahapannya mencakup premedikasi, induksi,
maintenance, dan pemulihan. Ada tiga kategori utama anestesi, yaitu anestesi
umum, anestesi regional dan anestesi lokal. Masing-masing memiliki bentuk
dan kegunaan. Seorang ahli anestesi akan menentukan jenis anestesi yang
menurutnya terbaik dengan mempertimbangkan keuntungan dan kerugian
dari masing-masing tindakan tersebut (Said, 2001)
Anestesi umum adalah tindakan meniadakan nyeri secara sentral
disertai dengan hilangnya kesadaran dan bersifat pulih kembali (reversible).
Praktek anestesi umum juga termasuk mengendalikan pernapasan
pemantauan fungsi-fungsi vital tubuh selama prosedur anestesi. Tahapannya
mencakup induksi, maintenance, dan pemulihan (Said, 2001).
Intubasi nasal sama halnya dengan intubasi oral kecuali bahwa pipa
trakeal dimasukkan melalui hidung dan nasofaring ke dalam orofaring
sebelum laringoskopi (Morgan, 2013). Intubasi nasotrakeal mungkin lebih
nyaman bagi pasien tetapi jarang digunakan karena risiko sinusitis
nosokomial. Lubang hidung pasien harus dipersiapkan dengan pemberian
anestesi lokal dan vasokonstriktor (O’Donnell, 2016).
2

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Anestesi

Anestesi (pembiusan; berasal dari bahasa Yunani an- "tidak, tanpa"


dan aesthētos, "persepsi, kemampuan untuk merasa"), secara umum berarti
suatu tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan
berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh. Kata
anestesia diperkenalkan oleh Oliver Wendell Holmes pada tahun 1846 yang
menggambarkan keadaan tidak sadar yang bersifat sementara, karena
pemberian obat dengan tujuan untuk menghilangkan nyeri tanpa
menghilangkan kesadaran pasien. Anestesi yang sempurna harus
memenuhi 3 syarat (Trias Anestesi) yaitu :

a. Hipnotik, hilang kesadaran


b. Analgetik, hilang perasaan sakit
c. Relaksan, relaksasi otot-otot (Morgan, 2013).

2.2 Anestesi Umum

Anestesi umum atau general anestesi merupakan suatu keadaan


dimana hilangnya kesadaran disertai dengan hilangnya perasaan sakit di
seluruh tubuh akibat pemberian obat-obatan anestesi dan bersifat
reversible. Anestesi umum dapat diberikan secara intravena, inhalasi dan
intramuskular (Morgan, 2013).
3

Indikasi Anestesi umum :

 Pada bayi dan anak-anak


 Pembedahan pada orang dewasa dimana anestesi umum lebih disukai
oleh ahli bedah walaupun dapat dilakukan dengan anestesi lokal
 Operasi besar
 Pasien dengan gangguan mental
 Pembedahan yang lama
 Pembedahan yang dengan lokal anestesi tidak begitu praktis dan
memuaskan
 Pasien dengan obat-obatan anestesi lokal pernah mengalami alergi.

Teknik anestesi umum ada 3, yaitu :

1. Anestesi umum intravena merupakan salah satu teknik anestesia umum


yang dilakukan dengan jalan menyuntikkan obat anestesia parenteral
langsung ke dalam pembuluh darah vena.
2. Anestesi umum inhalasi merupakan salah satu teknik anestesia umum
yang dilakukan dengan jalan memberikan kombinasi obat anestesia
inhalasi yang berupa gas dan atau cairan yang mudah menguap dengan
obat-obat pilihan yaitu N2O, Halotan, Enfluran, Isofluran, Sevofluran,
Desfluran dengan kategori menggunakan sungkup muka, Endotrakeal
Tube nafas spontan, Endotrakeal tube nafas terkontrol
3. Anestesi imbang merupakan teknik anestesia dengan mempergunakan
kombinasi obat-obatan baik obat anestesia intravena maupun obat
anestesia inhalasi atau kombinasi teknik anestesia umum dengan analgesia
regional untuk mencapai trias anestesia secara optimal dan berimbang
(Morgan, 2013).

Sebelum dilakukan tindakan anestesia, sebaiknya dilakukan


persiapan pre-anestesia. Kunjungan pre-anestesi dilakukan untuk
mempersiapkan pasien sebelum pasien menjalani suatu tindakan operasi.
Persiapan-persiapan yang perlu dilakukan adalah sebagai berikut:
4

a. Anamnesis
Riwayat tentang apakah pasien pernah mendapat anestesia sebelumnya
sangatlah penting untuk mengetahui apakah ada hal-hal yang perlu
mendapat perhatian khusus, misalnya alergi, mual-muntah, nyeri otot,
gatal-gatal atau sesak nafas (Said, 2001).
b. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan keadaan gigi, tindakan buka mulut, lidah yang relatif besar
sangat penting untuk mengetahui apakah akan menyulitkan tindakan
laringoskopi intubasi. Pemeriksaan rutin lain secara sistematik tentang
keadaan umum tentu tidak boleh dilewatkan seperti inspeksi, palpasi,
perkusi dan auskultasi semua sistem organ tubuh pasien (Said, 2001).
c. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium hendaknya atas indikasi yang tepat sesuai
dengan dugaan penyakit yang sedang dicurigai. Pemeriksaan laboratorium
rutin yang sebaiknya dilakukan adalah pemeriksaan darah lengkap (Hb,
leukosit, masa perdarahan dan masa pembekuan) dan urinalisis. Pada
pasien yang berusia di atas 50 tahun sebaiknya dilakukan pemeriksaan foto
toraks dan EKG (Said, 2001).
d. Klasifikasi status fisik
Klasifikasi yang lazim digunakan untuk menilai kebugaran fisik seseorang
ialah yang berasal dari The American Society of Anesthesiologists (ASA):
 ASA 1 : pasien sehat organik, fisiologik, psikiatrik, biokimia
 ASA 2 : pasien dengan penyakit sistemik ringan atau sedang
 ASA 3 : pasien dengan penyakit sistemik berat, sehingga aktivitas
rutin terbatas
 ASA 4 : pasien dengan penyakit sistemik berat tak dapat
melakukan aktivitas rutin dan penyakitnya merupakan ancaman
kehidupannya setiap saat
 ASA 5 : pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau tanpa
pembedahan kehidupannya tidak akan lebih dari 24 jam.
5

 Klasifikasi ASA juga dipakai pada pembedahan darurat dengan


mencantumkan tanda darurat ( E = EMERGENCY ), misalnya
ASA IE atau IIE (Said, 2001).

Penilaian Mallampati

Dalam anestesi, skor Mallampati, digunakan untuk memprediksi


kemudahan intubasi. Hal ini ditentukan dengan melihat anatomi rongga
mulut, khusus, itu didasarkan pada visibilitas dasar uvula, pilar
faucial.Klasifikasi tampakan faring pada saat mulut terbuka maksimal dan
lidah dijulurkan maksimal menurut Mallampati dibagi menjadi 4 grade
(Said, 2001) :

 Grade I : Pilar faring, uvula, dan palatum mole terlihat jelas


 Grade II : Uvula dan palatum mole terlihat sedangkan pilar
faring tidak terlihat
 Grade III : Hanya palatum mole yang terlihat
 Grade IV : Pilar faring, uvula, dan palatum mole tidak
terlihat
6

Gambar 2.1. Klasifikasi Mallampati (Morgan, 2013).

Stadium anestesi umum :

1. Stadium I (Stadium Analgesia/ Stadium Disorientasi)


 Dimulai dari induksi sampai hilangnya kesadaran
 Ditandai dengan hilangnya refleks bulu mata
2. Stadium II (Stadium Excitement/ Stadium Delirium)
 Dimulai dari hilangnya kesadaran sampai permulaan bernafas
teratur
 Ditandai dengan hilangnya refleks kelopak mata
 Pada stadium ini bisa terjadi batuk, nafas panjang, melawan/
berontak dan muntah
3. Stadium III (Stadium Surgical Anestesia)
Dimulai dari pernafasan yang teratur sampai henti nafas
(respiratory arrest). Stadium ini terdiri atas :
 Plane 1 : dari permulaan nafas teratur hingga berhentinya gerakan
bola mata
 Plane 2 : dari berhentinya gerakan bola mata hingga permulaan
dari paralise otot interkostal
 Plane 3 : dari permulaan hingga komplit paralise dari otot-otot
interkostal
 Plane 4 : dari paralise otot interkostal yang komplit hingga paralise
diafragma
4. Stadium IV (Stadium Overdosis)
 Dimulai dari permulaan paralise diafragma hingga henti jantung
(cardiac arrest)
 Stadium ini sangat berbahaya apabila terjadi. Ini terjadi karena
overdosis obat-obatan anestesi (Morgan, 2013).

2.3. Premedikasi
7

Premedikasi ialah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi


anestesi. Tujuan premedikasi (Said, 2001):

 Meredakan kecemasan dan ketakutan


 Memperlancar induksi anestesi
 Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus
 Mengurangi refleks yang tidak diharapkan
 Mengurangi isi cairan lambung
 Mengurangi rasa sakit
 Menghilangkan efek samping dari obat sebelum dan selama anestesi
 Menurunkan basal metabolisme tubuh

Obat-obat premedikasi yang sering digunakan :

1. Sulfas Atropin
 Dosis dewasa 0,025-0,5 mg, dosis anak < 3 tahun : 1/8 mg
 Merupakan golongan parasimpatolitik dengan cara kerja
berkompetisi dengan asetilkolin pada ujung-ujung saraf yang
mempersyarafi organ-organ post ganglion kolinergik
 Keuntungan : mengurangi sekresi ludah dan menekan refleks vagal
 Kerugian : menaikan temperatur, mengentalkan lendir dan
membesarkan pupil
2. Valium
 Dosis 0,2-0,6 mg/kgBB
 Memberikan efek sedativa, amnesia, tranquilizer, relaksasi otot,
hipnotik kuat, analgesi kurang
3. Pethidine
 Dosis i.v 0,2-0,5 mg/kgBB, dosis i.m 1-2 mg/kgBB
 Efek farmakologi yakni sebagai analgetik, bersifat sedativa,
mendepresi pusat pernafasan, menaikkan tekanan CSF,
menimbulkan vasodilatasi, pupil mengecil dan mulut kering
(Morgan, 2013).
8

2.4 Induksi Anestesi

Induksi anestesi ialah tindakan untuk membuat pasien dari sadar


menjadi tidak sadar, sehingga memungkinkan dimulainya anestesia dan
pembedahan. Sebelum memulai induksi anestesia, selayaknya disiapkan
peralatan dan obat-obatan yang diperlukan, sehingga seandainya terjadi
keadaan gawat dapat diatasi dengan lebih cepat dan lebih baik. Untuk
persiapan induksi anestesi sebaiknya kita ingat kata STATICS :

 S = Scope
Stetoskop, untuk mendengarkan suara paru dan jantung. Laringoskop dipilih
bilah atau daun (blade) yang sesuai dengan usia pasien. Lampu harus
cukup terang
 T = Tubes
Pipa trakea, pilih sesuai usia. Usia < 5 tahun tanpa balon (cuffed) dan > 5
tahun dengan balon (cuffed)
 A = Airway
Pipa mulut-faring (Guedel, orotracheal airway) atau pipa hidung-faring (naso-
tracheal airway). Pipa ini untuk menahan lidah saat pasien tidak sadar
untuk menjaga supaya lidah tidak menyumbat jalan nafas
 T = Tape
Plester untuk fiksasi pipa supaya tidak terdorong atau tercabut
 I = Introducer
Mandrin atau stilet dari kawat dibungkus plastik (kabel) yang mudah
dibengkokkan untuk pemandu supaya pipa trakea mudah dimasukkan
 C = Connector
Penyambung antara pipa dan peralatan anestesia
 S = Suction
Penyedot lendir, ludah dan lain-lainnya (Said, 2001).
9

2.5. Obat-Obat Anestesi Umum

Obat-obat yang sering digunakan dalam anestesi umum adalah:

 Gas Anestesi

Dalam dunia modern, anestetik inhalasi yang umum digunakan untuk


praktek klinik iala N2O, Halotan, Enfluran, Isofluran, Desfluran, dan Sevofluran.
Mekanisme kerja obat anestetik inhalasi sangat rumit, sehingga masih menjadi
misteri dalam farmakologi modern (Said, 2001).

Ambilan alveolus gas atau uap anestetik inhalasi ditentukan oleh sifat fisiknya:

1. Ambilan oleh paru


2. Difusi gas dari paru ke darah
3. Distribusi oleh darah ke otak dan organ lainnya.

Berikut adalah jenis gas anestetik inhalasi, diantaranya:

 N2O

N2O merupakan salah satu gas anestetim yag tak berwarna, bau manis, tak
iritasi, tak terbakar, dan pemberian anestesia dengan N2O harus disertai oksigen
minimal 25%. Gas ini bersifat anestetik lemah, tetapi analgesinya kuat. Pada akhir
anestesia setelah N2O dihentikan, maka N2O akan cepat keluar mengisi alveoli,
sehingga terjadi pengenceran oksigen dan terjadilah hipoksia difusi. Untuk
menghindari terjadinya hipoksia difusi, berikan oksigen 100% selama 5-10 menit
(Said, 2001).

 Halotan

Halotan merupakan gas yang baunya enak dan tak merangsang jalan napas,
maka sering digunakan sebagai induksi anestesi kombinasi dengan N2O. Halotan
merupakan anestetik kuat dengan efek analgesia lemah, dimana induksi dan
tahapan anestesia dilalui dengan mulus, bahkan pasien akan segera bangun setelah
anestetik dihentikan. Pada napas spontan rumatan anestesia sekitar 1-2 vol% dan
pada napas kendali sekitar 0,5-1 vol% yang tentunya disesuaikan dengan klinis
pasien (Said, 2001).

 Isofluran
10

Isofluran berbau tajam, kadar obat yang tinggi dalam udara inspirasi
menyebabkan pasien menahan napas dan batuk. Setelah premedikasi, induksi
dicapai dalam kurang dari 10 menit, di mana umumnya digunakan barbiturat
intravena untuk mempercepat induksi. Tanda untuk mengamati kedalaman
anestesia adalah penurunan tekanan darah, volume dan frekuensi napas, serta
peningkatan frekuensi denyut jantung. Menurunkan laju metabolisme pada otak
terhadap oksigen, tetapi meningkatkan aliran darah otak dan tekanan intrakranial
(Said, 2001)

 Desfluran

Merupakan cairan yang mudah terbakar tapi tidak mudah meledak, bersifat
absorben dan tidak korosif untuk logam. Karena sukar menguap, dibutuhkan
vaporiser khusus untuk desfluran. Desfluran lebih digunakan untuk prosedur
bedah singkat atau bedah rawat jalan. Desfluran bersifat iritatif sehingga
menimbulkan batuk, spasme laring, sesak napas, sehingga tidak digunakan untuk
induksi. Desfluran bersifat ¼ kali lebih poten dibanding agen anestetik inhalasi
lain, tapi 17 kali lebih poten dibanding N2O (Said, 2001).

 Sevofluran

Sama halnya dengan desfluran, sevofluran terhalogenisasi dengan fluorin.


Peningkatan kadar alveolar yang cepat membuatnya menajdi pilihan yang tepat
untuk induksi inhalasi yang cepat dan mulus untuk pasien anak maupun dewasa.
Induksi inhalasi 4-8% sevofluran dalam 50% kombinasi N2O dan oksigen dapat
dicapai dalam 1-3 menit. Baunya tidak menyengat dan tidak merangsang jalan
napas, sehingga digemari untuk induksi anestesia inhalasi disamping halotan.
Setelah pemberian dihentikan, sevofluran cepat dieliminasi dari tubuh (Said,
2001).

 Obat-obat Anestesia Intravena

Yang dimaksud dengan intravenous anestesia adalah anestesi yang diberikan


dengan cara suntikan zat (obat) anestesia melalui vena.

1. Hipnosis

 Golongan barbiturat (pentotal)


11

 Suatu larutan alkali dengan kerja hipnotiknya kuat sekali dan


induksinya cepat (30-40 detik) dengan suntikan intravena tetapi dalam
waktu singkat kerjanya habis, seperti zat anestesi inhalasi, barbiturat
ini menyebabkan kehilangan kesadaran dengan jalan memblok kontrol
brainstem (Said, 2001).
 Cara pemberiannya dimulai dengan test dose 25-75 mg, kemudian
sebagai induksi diteruskan dengan pemberian 150-300 mg selang
waktu pemberian 15-20 detik (untuk orang dewasa) (Said, 2001).
 Benzodiazepin
Keunggulan benzodiazepine dari barbiturate yaitu rendahnya tingkat
toleransi obat, potensi penyalahgunaan yang rendah, margin dosis
aman yang lebar, dan tidak menginduksi enzim mikrosom di
hati. Benzodiazepin telah banyak digunakan sebagai pengganti
barbiturat sebagai premedikasi dan menimbulkan sedasi pada pasien
dalam monitorng anestesi. Efek farmakologi benzodiazepine
merupakan akibat aksi gamma-aminobutyric acid (GABA) sebagai
neurotransmitter penghambat di otak. Benzodiazepine tidak
mengaktifkan reseptor GABA A melainkan meningkatkan kepekaan
reseptor GABA A terhadap neurotransmitter penghambat. Dosis :
Diazepam : induksi 0,2 – 0,6 mg/kg IV, Midazolam : induksi : 0,15 –
0,45 mg/kg IV (Said, 2001).
 Ketamin
Ketamin mempunyai sifat analgesik, anestestik dan kataleptik
dengan kerja singkat. Efek anestesinya ditimbulkan oleh penghambatan
efek membran dan neurotransmitter eksitasi asam glutamat pada reseptor
N-metil-D-aspartat. Sifat analgesiknya sangat kuat untuk sistem somatik,
tetapi lemah untuk sistem viseral. Ketamin tidak menyebabkan relaksasi
otot lurik, bahkan kadang-kadang tonusnya sedikit meninggi. Dosis
ketamin adalah 1-2 mg/kgBB IV atau 3-10 mg/kgBB IM (Said, 2001).
Anestesia dengan ketamin diawali dengan terjadinya disosiasi
mental pada 15 detik pertama, kadang sampai halusinasi. Keadaan ini
dikenal sebagai anestesia disosiatif. Disosiasi ini sering disertai keadaan
12

kataleptik berupa dilatasi pupil, salivasi, lakrimasi, gerakan-gerakan


tungkai spontan, peningkatan tonus otot. Kesadaran segera pulih setelah
10-15 menit, analgesia bertahan sampai 40 menit, sedangkan amnesia
berlangsung sampai 1-2 jam (Said, 2001).
2. Analgetik
 Morfin
Efek kerja dari morfin (dan juga opioid pada umumnya) relatife selektif,
yakni tidak begitu mempengaharui unsur sensoris lain, yaitu rasa raba, rasa
getar (vibrasi), penglihatan dan pendengaran ; bahakan persepsi nyeripun
tidak selalu hilang setelah pemberian morfin dosis terapi.
Efek analgesi morfin timbul berdasarkan 3 mekanisme ; (1) morfin
meninggikan ambang rangsang nyeri ; (2) morfin dapat mempengaharui
emosi, artinya morfin dapat mengubah reaksi yang timbul dikorteks
serebri pada waktu persepsi nyeri diterima oleh korteks serebri dari
thalamus ; (3) morfin memudahkan tidur dan pada waktu tidur ambang
rangsang nyeri meningkat.
Dosis anjuran untuk menghilangkan atau mengguranggi nyeri sedang
adalah 0,1-0,2 mg/ kg BB. Untuk nyeri hebat pada dewasa 1-2 mg
intravena dan dapat diulang sesuai yamg diperlukan (Said, 2001).
 Fentanil
Dosis fentanyl adalah 2-5 mcg/kgBB IV. Fentanyl merupakan opioid
sintetik dari kelompok fenilpiperidin dan bekerja sebagai agonis reseptor
μ. Fentanyl banyak digunakan untuk anestetik karena waktu untuk
mencapai puncak analgesia lebih singkat, efeknya cepat berakhir setelah
dosis kecil yang diberikan secara bolus, dan relatif kurang mempengaruhi
kardiovaskular (Said, 2001).
 Meridipin
Meperidin hanya digunakan untuk menimbulkan analgesia. Pada beberapa
keadaan klinis, meperidin diindikasikan atas dasar masa kerjanya yang
lebih pendek daripada morfin. Meperidin digunakan juga untuk
menimbulkan analgesia obstetrik dan sebagai obat preanestetik, untuk
13

menimbulkan analgesia obstetrik dibandingkan dengan morfin, meperidin


kurang karena menyebabkan depresi nafas pada janin.
Sediaan yang tersedia adalah tablet 50 dan 100 mg ; suntikan 10 mg/ml, 25
mg/ml, 50 mg/ml, 75 mg/ml, 100 mg/ml. ; larutan oral 50 mg/ml.
Sebagian besar pasien tertolong dengan dosis parenteral 100 mg. Dosis
untuk bayi dan anak ; 1-1,8 mg/kgBB (Said, 2001).
.

3. Pelumpuh Otot (Muscle Relaxant)

Obat pelumpuh otot adalah obat/ zat anestesi yang diberikan


kepada pasien secara intramuskular atau intravena yang bertujuan untuk
mencapai relaksasi dari otot-otot rangka dan memudahkan dilakukannya
operasi2.
a. Pelumpuh otot depolarisasi
Pelumpuh otot depolarisasi bekerja seperti asetilkolin, tetapi di
celah saraf otot tidak dirusak oleh kolinesterase, sehingga cukup
lama berada di celah sipnatik, sehingga terjadilah depolarisasi
ditandai oleh fasikulasi yang disusul relaksasi otot lurik. Yang
termasuk golongan ini adalah suksinilkolin, dengan dosis 1-2
mg/kgBB IV (Said, 2001).
b. Pelumpuh otot non-depolarisasi
Pelumpuh otot non-depolarisasi berikatan dengan reseptor
nikotinik-kolinergik, tetapi tak menyebabkan depolarisasi, hanya
menghalangi asetilkolin menempatinya, sehingga asetilkolin tak
dapat bekerja (Said, 2001).

Dosis (mg/kgBB) Durasi (menit)


LoLong Acting
1. D-tubokurarin 0,4-0,6 30-60
2. Pankuronium 0,08-0,12 30-60
3. Metakurin 0,2-0,4 40-60
4. Pipekuronium 0,05-0,12 40-60
5. Doksakurium 0,02-0,08 45-60
14

6. Alkurium 0,15-0,3 40-60


In Intermediate Acting
1. Gallamin 4-6 30-60
2. Atrakurium 0,5-0,6 20-45
3. Vekuronium 0,1-0,2 25-45
4. Rokuronium 0,6-1,2 30-60
5. Cistacuronium 0,15-0,2 30-45
ShShort Acting
1. Mivakurium 0,2-0,25 10-15
2. Ropacuronium 1,5-2 15-30

2.6 Intubasi Endotrakeal

Yang dimaksud dengan intubasi endotrakeal ialah memasukkan


pipa pernafasan yang terbuat dari portex ke dalam trakea guna membantu
pernafasan penderita atau waktu memberikan anestesi secara inhalasi.

Gambar 2.2 Gambaran glottis saat tindakan laringoskopi (Morgan, 2013).


15

Keberhasilan intubasi tergantung pada 3 hal penting yaitu :

 Anestesi yang adekuat dan relaksasi otot-otot kepala, leher dan laring yang
cukup
 Posisi kepala dan leher yang tepat
 Penggunaan apparatus yang tepat untuk prosedur tersebut (Morgan, 2013)

Alat-alat yang digunakan dalam intubasi endotrakeal :

a. Pipa endotrakea
Berfungsi mengantar gas anestesik langsung ke dalam trakea dan biasanya
dibuat dari bahan standar polivinil-klorida. Ukuran diameter lubang pipa
trakea dalam milimeter. Karena penampang trakea bayi, anak kecil dan
dewasa berbeda, penampang melintang trakea bayi dan anak kecil di
bawah usia 5 tahun hampir bulat sedangkan dewasa seperti huruf D, maka
untuk bayi dan anak kecil digunakan tanpa cuff dan untuk anak besar dan
dewasa dengan cuff supaya tidak bocor. Pipa endotrakea dapat
dimasukkan melalui mulut atau melalui hidung (Said, 2001).

Gambar 2.3 Pipa Trakeal Murphy (Morgan, 2013).

Cara memilih pipa endotrakea untuk bayi dan anak kecil :


Diameter dalam pipa trakea (mm) = 4 + ¼ umur (thn)
Panjang pipa orotrakeal (cm) = 12 + ½ umur (thn)
Panjang pipa nasotrakeal (cm) = 12 + ½ umur (thn)
16

b. Laringoskop
Fungsi laring ialah mencegah benda asing masuk paru. Laringoskop ialah
alat yang digunakan untuk melihat laring secara langsung supaya kita
dapat memasukkan pipa trakea dengan baik dan benar. Secara garis besar
dikenal dua macam laringoskop :
 Bilah lurus (straight blades/ Magill/ Miller)
 Bilah lengkung (curved blades/ Macintosh)

Gambar 2.4 Jenis-jenis Bilah Laringoskop (Morgan, 2013).

Komplikasi pada intubasi endotrakeal:

 Memar & oedem laring


 Strech injury
 Non specific granuloma larynx
 Stenosis trakea
 Trauma gigi geligi
 Laserasi bibir, gusi dan laring
 Aspirasi
 Spasme bronkus (Said, 2001)

2.7 Intubasi Nasotrakeal

Intubasi nasal sama halnya dengan intubasi oral kecuali bahwa TT


dimasukkan melalui hidung dan nasofaring ke dalam orofaring sebelum
17

laringoskopi. Lubang hidung dimana pasien bernapas paling mudah dipilih


terlebih dahulu dan disiapkan. Fenilefrin tetes hidung (0.5% atau 0.25%)
memvasokonstriksikan pembuluh darah dan mengerutkan selaput lendir. Jika
pasien dalam kondisi sadar, anestesi lokal berupa salep (untuk lubang hidung),
semprotan (untuk orofaring), dan blok saraf juga dapat digunakan (Morgan,
2013).

TT dilumasi dengan jeli yang larut dalam air dimasukkan di sepanjang


dasar hidung, di bawah turbin inferior, pada sudut tegak lurus ke wajah. Bevel
TT harus diarahkan ke lateral menjauhi turbinat. Untuk memastikan bahwa
selang melewati sepanjang rongga hidung, ujung proksimal TT harus ditarik
sefalad. Selang secara bertahap maju, sampai ujungnya dapat divisualisasikan
di orofaring. Laringoskopi, sebagaimana didiskusikan, menunjukkan pita suara.
Seringkali ujung distal TT dapat didorong ke dalam trakea tanpa kesulitan. Jika
kesulitan terjadi, ujung selang dapat diarahkan melalui pita suara dengan
forceps Magill, berhati-hati untuk tidak merusakkan manset. TT yang melewati
hidung, jalan nafas, ataupun kateter nasogastrik membawa risiko besar pada
pasien dengan trauma wajah yang parah karena risiko masuknya selang ke
intrakranial (Morgan, 2013).
Meskipun kurang digunakan saat ini, intubasi nasal pada pasien yang
bernafas spontan dapat digunakan. Dalam teknik ini, setelah menerapkan
anestesi topikal ke lubang hidung dan faring, selang pernapasan dilewatkan
melalui nasofaring. Menggunakan suara napas sebagai panduan, diarahkan ke
glottis. Ketika bunyi napas maksimal, ahli analisis memajukan selang selama
inspirasi dalam upaya untuk secara membabi buta memasukkan selang ke
dalam trakea (Morgan, 2013).
Intubasi nasotrakeal mungkin lebih nyaman bagi pasien tetapi jarang
digunakan karena risiko sinusitis nosokomial. Lubang hidung pasien harus
dipersiapkan dengan pemberian anestesi lokal dan vasokonstriktor. Untuk
melebarkan lubang hidung dan mengurangi risiko epistaksis, saluran hidung
(dilumasi dengan gel) yang lebih besar lebih dipilih. Selang endotrakeal dapat
dilunakkan dengan menempatkannya di air hangat sebelum digunakan. Selang
dimasukkan ke dalam lubang hidung yang tampaknya paling paten dan
18

didorong ke nasofaring. Jika terdapat tahanan pada saat itu, tarik selang 1-2
cm, posisikan ulang kepala dan leher, dan majukan selang untuk meningkatkan
keberhasilan dalam mengarahkan selang ke dalam orofaring. Pada saat itu,
mendengarkan suara nafas saat selang naik akan menunjukkan apakah selang
telah dimasukkan ke dalam hipofaring atau laring. Gerakan selang harus
bertepatan dengan inspirasi (O’Donnell, 2016).
Jika intubasi blind tidak dapat dilakukan, sedasi atau anestesi diberikan
dan dilakukan laringoskopi langsun. Seorang asisten bertugas memajukan
selang, sedangkan laringoskopi menggunakan forsep Magill untuk memegang
selang dan mengarahkannya ke laring. Harus berhati-hati agar tidak merusak
balon ETT (O’Donnell, 2016).

Gambar 2.5 Intubasi nasotrakeal menggunakan forsep Magill (O’Donnell, 2016).

Setelah melampaui rongga hidung, ada berbagai teknik yang tersedia


untuk memajukan ETT ke dalam trakea :

1. Metode mengambil ETT dan kateter di orofaring dengan bantuan forsep dan
membimbing mereka ke dalam trakea di bawah penglihatan langsung
dengan laringoskopi pertama kali dijelaskan oleh Magill (Said, 2001).

2. Berbagai alat bantu untuk intubasi hidung buta telah digunakan termasuk:
19

a. Mendengarkan bunyi napas langsung melalui ETT atau menggunakan


selang ekstensi dan lubang suara

b. Menggembungkan manset trakea (manset ETT digembungkan di


orofaring untuk membantu mengarahkan ujung selang ke trakea)

c. Memantau level akhir karbon dioksida

d. Teknik mengidentifikasi fossa piramida yang tepat. Dengan ujung ETT,


fossa pirriform kanan diidentifikasi sebagai tonjolan di kulit. Menarik ETT
sedikit ke belakang dan memutarnya berlawanan arah 90 ° dan kemudian
maju ke garis tengah memberikan akses ke trakea. Tergantung pada
kelengkungan ETT, penyesuaian kecil dalam derajat ekstensi sendi
atlantooccipital harus dilakukan. Kadang-kadang, selang berbatasan
dengan commissure anterior, dalam kondisi seperti itu fleksi kepala
membantu. Jika selang memasuki kerongkongan, menarik selang dan
memasukkannya kembali dengan kepala dalam keadaan hiperekstensi
mencapai intubasi (Said, 2001).

3. Intubasi nasotrakeal yang difasilitasi oleh stylet dalam teknik ini, stylet
melengkung digunakan untuk melenturkan ujung ETT secara anterior dan
dilepaskan segera setelah selang berada di rongga hidung. Ini membantu
penyisipan selang yang lebih lancar melalui rongga hidung, dan
kemungkinan perdarahan minimal (Said, 2001).

4. Dengan menggunakan tongkat cahaya teknik yang lebih umum digunakan


menggambarkan penggunaan tongkat cahaya saja. Setelah cukup
mempersiapkan pasien dengan anestesi topikal, pasien dikonseling dan
dipersiapkan secara psikologis. ETT berukuran tepat dimasukkan sampai
ada di rongga mulut (dihargai dengan hilangnya resistensi). Pencahayaan
teater diredupkan, dan tongkat cahaya dimasukkan ke dalam ETT hingga
fixer menyentuh bagian atas ETT. Selanjutnya, tongkat cahaya
dimanipulasi dan dipandu oleh cahaya cahaya yang terlihat melalui leher,
hingga terlihat di garis tengah. leher tepat di atas membran krikotiroid.
Tongkat cahaya kemudian diperbaiki dengan satu tangan dan ETT
20

meluncur ke trakea dengan tangan lainnya Iseki et al. menggambarkan


suatu teknik di mana sebuah string melekat pada ujung tongkat cahaya
(Trachlight; Laerdal Medical, Armonk, NY) dan tongkat yang
dimodifikasi ini dimasukkan ke dalam ETT ke dalam rongga hidung,
sehingga membantu manuver ujung ETT selama intubasi (Said, 2001).

5. Teknik menggunakan ETT Endotrol dan Light Wand. Ini adalah metode
berbeda yang menggunakan selang Trachlight dan Endotrol (Mallinckrodt,
Athlone, Irlandia). Stylet logam bagian dalam dihilangkan dari Trachlight,
dan tongkat cahaya ditempatkan di selang Endotrol sampai ujung tongkat
cahaya dan ujung ETT sejajar. Selang Endotrol memiliki kait kawat yang
dengannya lekuk selang dapat dikontrol (Said, 2001).

6. Sebuah terompet hidung yang dimodifikasi (MNT) untuk memfasilitasi


intubasi Fiber Optic MNT adalah perangkat yang secara fungsional mirip
dengan kedua laryngeal mask airway (LMA) dan saluran napas
oropharyngeal (COPA) yang terborgol. MNT membuat jalan nafas paten
dan dapat menggantikan ventilasi masker pada pasien yang tidak
diintubasi. Ini memungkinkan ventilasi tekanan positif. Itu ditempatkan
secara membabi buta. Bukti menunjukkan bahwa ketika digunakan sebagai
alat untuk memfasilitasi intubasi, MNT kemungkinan besar lebih efisien
dan lebih aman dibandingkan dengan LMA dan COPA. MNT dapat
dimasukkan pada pasien yang bernapas spontan, yang dapat terjaga atau
dibius. MNT memungkinkan intubasi Fiber Optic, baik oral maupun
hidung, sementara MNT ideal untuk mempertahankan jalan napas paten
selama ventilasi spontan dan sambil memberikan anestesi umum untuk
intubasi Fiber Optic. Ini sangat berguna pada pasien yang membutuhkan
intubasi terjaga, tetapi menolak (Said, 2001).

7. Intubasi Nasotrakeal dengan Bonfils retromolar fibrecope Bonfils


retromolar fibrecope, biasanya disebut sebagai "Bonfils," adalah salah satu
perangkat yang dikembangkan untuk mengelola jalan napas yang sulit. Ini
awalnya digunakan untuk manajemen pasien dengan jalan nafas sulit yang
diantisipasi sekitar tahun 1990-an dan sampai hari ini, terus menjadi alat
21

yang sangat berguna untuk pengelolaan jalan nafas sulit yang tidak
terduga.vDengan pasien di bawah anestesi umum dan di bawah tingkat
anestesi yang tepat, rileks seperti untuk setiap prosedur intubasi, selang
dimasukkan ke dalam rongga hidung yang dipilih dan disiapkan; ETT
dimajukan sampai mencapai orofaring. Kemudian, seorang asisten
diperlukan untuk melakukan traksi mandibula ke atas, dan fiberoskop
retromolar Bonfils dimasukkan dari commissure bibir kanan dan
"retromolar bonfiloscopy" dilakukan. Bonfils dimajukan sampai epiglotis
dan pita suara diidentifikasi. Kemudian, Bonfils sedikit ditarik, dan
pandangan oropharynx dicari dan selang trakea diidentifikasi. Orang yang
melakukan manuver Bonfil dan ETT melakukan manuver, dan orang yang
terampil dan terlatih mempertahankan traksi mandibula ke atas, yang
membantu meningkatkan visibilitas pita suara. Selang ditingkatkan ke
bidang pengamatan Bonfils dan segera selang diarahkan ke trakea di
bawah penglihatan langsung dengan Bonfils (Said, 2001).

8. Frekuensi intubasi yang sulit karena ketidakmampuan melewati ETT


melalui fibercope yang dimasukkan secara oral bervariasi antara
penelitian, mulai dari 0% hingga 90%.. Intubasi Fiberoptic bila dilakukan
secara nasal bisa sama sulitnya dengan intubasi Fiberoptic oral. Penyebab
utama kesulitan saat ETT sedang dikembangkan di atas bronkoskop
Fiberoptic dianggap karena deviasi dalam perjalanan ETT dari yang dari
fibercope. Ini karena adanya celah di antara keduanya. ETT biasanya
menyimpang ke arah epiglotis, tulang rawan arytenoids, fossa pyriform,
atau esofagus. Marfin et al. menunjukkan bahwa tempat pelampiasan ETT
selama intubasi nasal Fiber optic biasanya adalah struktur posterior laring
inlet dan menyarankan memutar selang berlawanan arah jarum jam
sebagai solusi (Said, 2001).

9. Manuver satu tangan untuk intubasi nasotrakeal terpandu Fiber optic


bronkoskop fleksibel (FNI) Manuver satu tangan diterapkan untuk
mempertahankan patensi jalan nafas selama proses pelaksanaan FNI pada
pasien yang dianestesi. Jari kelingking ditempatkan di bawah sudut
22

mandibula; jari manis ditempatkan di bawah tubuh mandibula, dan jari


tengah di bawah mentum. Dengan jari pada posisi ini, manipulasi derajat
pengangkatan dagu dapat disesuaikan sesuai dengan kualitas tampilan
bronkoskopi. Bronkoskop dipegang oleh ibu jari dan jari telunjuk dari
tangan yang sama (Said, 2001).

10. Intubasi hidung dalam posisi duduk Intubasi endotrakeal duduk terbukti
lebih berhasil jika dibandingkan dengan intubasi konvensional (Said,
2001).

11. Menggunakan bougie ganda untuk intubasi nasotrakeal. Ketika diantisipasi


bahwa intubasi nasotrakeal akan sulit, tetapi pada saat yang sama intubasi
orotrakeal konvensional dapat dilakukan melalui laringoskopi
konvensional, teknik ini digunakan. Selang trakea yang diborgol
ditempatkan ke dalam trakea. Posisi selang dikonfirmasi seperti biasa
melalui auskultasi dan kapnografi. Ini diikuti dengan memasukkan pipa
trakea ukuran besar yang diborgol secara nasal yang kemudian dipandu ke
dalam orofaring. Bougie Eschmann dilewatkan melalui selang hidung ini
ke lubang glotis yang dipandu dengan forceps Magill dengan laringoskopi
langsung. Manset selang orotrakea kemudian dikempiskan, dan bougie
Eschmann dimasukkan ke dalam trakea untuk berbaring di samping selang
orotrakeal. Bougie Eschmann kedua sekarang dilewatkan melalui selang
orotrakeal. Ini diikuti dengan melepas selang orotrakeal, sambil
membiarkan bougie oral in situ. Selang nasal trakea sekarang dapat
dimajukan ke dalam trakea di atas nasch bougie hidung yang ditempatkan
sebelumnya. Nasch Eschmann bougie sekarang dapat diangkat, dan posisi
tuba dapat dikonfirmasikan dengan auskultasi dan kapnografi (Said, 2001).

Pada pasien pediatrik jika rute hidung dipilih, dalam melakukan intubasi
nasotrakeal, tidak jarang menyebabkan pendarahan dari hidung. Akibatnya,
beberapa strategi telah dikembangkan untuk mengurangi risiko ini.
Menghangatkan ujung selang untuk melunakkannya belum terbukti efektif dalam
23

mengurangi pendarahan hidung. Dua strategi yang efektif adalah aplikasi


vasokonstriktor (mis: Oxymetazoline) pada lubang hidung dan / atau meneropong
ujung selang ke ujung flens dari kateter karet merah halus. Dengan demikian,
ujung kateter harus dilumasi dan dilewatkan disepanjang dasar lubang hidung
(sebaiknya kiri) diikuti oleh selang. (Lubang hidung kiri meluruskan ujung selang
[bevel di sebelah kiri] langsung dengan pembukaan glotis dan meluruskan bevel
selang di sisi turbin). Kateter kemudian maju ke orofaring dimana sehingga dapat
divisualisasikan dalam hipofaring dan menarik selang ke trakea dengan forsep
McGill. Selang tersebut kemudian diarahkan menggunakan forceps McGill ke
dalam trakea (Lerman, 2016).

Indikasi intubasi nasotrakeal:

 Prosedur intraoral di mana ETT dapat dengan mudah bergeser atau


menyulitkan area operasi
 Pasien tidak dapat membuka mulut (Howard, 2007)

Kontraindikasi intubasi nasotrakeal:

 Kelainan intranasal
 Fraktur wajah yang luas
 Fraktur dasar tengkorak / basis cranii
 Koagulopati sistemik (Howard, 2007)
24

DAFTAR PUSTAKA

Byhahn C, Meininger D, Zwissler B : Current Concepts of Airway Management


in The ICU and The Emergency Departement; Yearbok of Intensive Care
and Emergency Medecine, Vincent JL (ed), Springer, New York, 2006. P
377-399.
Freeman BS, Berger JS. Anesthesiology Core Review. Part One : Basic Exam.
McGraw Hill, United States. 2014;84:243.
Howard MB. Anesthesia Review 2nd ed. Lippincott Williams & Wilkins,
Philadelphia. 2007;180.
Lerman J, Cote CJ, Steward DJ. Manual of Pediatric Anesthesia 7th ed. Springer,
Switzerland. 2016; 298.
Levine AI, Govindaraj S, DeMaria S. Anesthesiology and Otolaryngology.
Springer, New York. 2013;244-246.
Morgan GE, Mikhail MS. Airway Management. Clinical Anesthesiology 5th  ed.
Lange Medical Books, New York, 2013.
O’Donnell JM, Nacul FE. Surgical Intensive Care Medicine 3rd ed : Airway
Management in the Intensive Care Unit. Springer, New York. 2016;26-9.
Paul AK. Step by Step : Practical Aspects of Emergency Anesthesia. Jaypee
Brothers Medical Publishers, Panama. 2010;45-46.
Said AL, Kartini AS, Dachlan MR. Petunjuk Praktis Anestesiologi. 2nd ed. Bagian
Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, Jakarta. 2001;107-122.
Vacanti CA, Sikka PK, Urman RD, et al. Essential Clinical Anesthesia.
Cambridge University Press, New York. 2011;109-110.

Anda mungkin juga menyukai