Anda di halaman 1dari 9

MANAJEMEN ANESTESI PERIOPERATIF UNTUK PASIEN

DENGAN HIV YANG MENJALANI OPERASI SECTIO CAESAREA

PATOGENESIS DAN GEJALA KLINIS


HIV adalah virus RNA berantai tunggal (single-stranded) subfamili
Lentivirus dari keluarga Retrovirus. Dua subtipe telah diidentifikasi yaitu HIV-1
dan HIV-2. HIV-1 ditemukan di seluruh dunia dan HIV-2 endemik di Afrika
Barat. Seperti keluarga retrovirus lainnya, HIV berisi enzim reverse transcriptase
yang memungkinkan virus RNA akan ditranskripsi menjadi DNA, yang kemudian
dimasukkan ke dalam genom sel inang dan dapat mereplikasi secara bebas.
Penghambatan peoses replikasi virus adalah target dari agen terapi antiretroviral
(ARV). HIV utamanya menginfeksi limfosit T-helper (CD4 T-helper) dan
mengarah kepada kerusakan yang progresif secara kuantitatif dan kualitatif,
membuat tuan rumah lebih rentan terhadap infeksi oportunistik dan keganasan.
Beberapa jenis penularan infeksi adalah melalui hubungan seksual (60-70%),
penularan dari ibu ke anak (20-30%), kontaminasi darah, produk darah dan donor
organ (3-5%), serta jarum yang terkontaminasi (2-3%). Hal ini mengarah pada
identifikasi beberapa kelompok beresiko tinggi termasuk : hetero dan
homoseksual, penyakit menular seksual lainnya, pengguna narkoba suntik,
penderita hemophilia, dan pasien dari daerah endemis. Infeksi HIV
diklasifikasikan berdasarkan gejala klinis serta tingkat keparahan dari depresi
sistem imun tubuh yang tercermin dari agregasi CD4 + jumlah T-cell. Diagnosa
infeksi HIV ditegakkan ketika pasien masuk kedalam stadium 3 atau 4 dan atau
imunodefisiensi berat. Kondisi penyakit dengan gejala klinis dan imunodefisiensi
berat dikenal sebagai AIDS (Autoimmune Deficiency Syndrome).

PENULARAN DARI IBU KE ANAK


Sekitar 90% anak yang terinfeksi HIV, memperoleh infeksi dari ibu
mereka selama kehamilan dan persalinan. HIV dapat ditularkan dari ibu ke anak
selama antepartum, intrapartum, dan periode postpartum melalui ASI.
Dalam kebanyakan kasus penularan HIV dari ibu ke bayi diyakini terjadi
ketika mendekati proses kelahiran atau pada saat melahirkan. Tanpa pengobatan
profilaksis antiretroviral, tingkat transmisi berkisar 16-25%. Pada bulan Februari
1994, Paediatric AIDS Clinical Trial Group (PACTG) melaporkan bahwa
profilaksis AZT dapat mengurangi transmisi perinatal HIV hampir 70%. Pada
akhir 1990-an, penggunaan gabungan dari 3 atau lebih obat antiretroviral yang
ditemukan sangat sukses dalam menekan replikasi virus. Sejak tahun 1994,
terdapat kemajuan dalam pemahaman patogenesis infeksi HIV, pengobatan, dan
pemantauan penyakit HIV. Penularan HIV pada tingkat perinatal dapat dikurangi
mencapai 1-2% dengan terapi antiretroviral yang efektif.
Ada banyak faktor yang mempengaruhi transmisi HIV perinatal: faktor
ibu, faktor kandungan, dan faktor bayi. Mekanisme pasti penularan HIV dari ibu
ke bayi masih belum diketahui. Transmisi dapat terjadi selama kehidupan
intrauterine, persalinan, ataupun menyusui. Faktor resiko terbesar dalam transmisi
secara vertikal yaitu pada ibu yang menderita penyakit tersebut pada tingkat lebih
lanjut. Sayangnya sekitar 30% dari wanita hamil tidak melakukan pemeriksaan
untuk HIV selama kehamilan, dan 15-20% tisak menerima atau hanya
mendapatkan perawatan yang minim selama kehamilan, sehingga memiliki
potensi transmisi yang cukup besar saat bayi baru lahir.
Penularan HIV dari ibu ke bayi dapat disimpulkan saat kehamilan terjadi
melalui plasenta, air ketuban, saat melahirkan hingga proses melahirkan, dan
sesudah melahirkan. Penularan ke bayi dapat mencapai 30-35% jika tidak
dilakukan pencegahan, salah satu pencegahan adalah dengan section caesarea
dengan menghindari perlukaan saat melahirkan dan tidak kalah penting dengan
konsumsi obat antiretroviral.

KELAINAN FUNGSI MULTISISTEM ORGAN DAN IMUNODEPRESI


Periode perioperatif sangat penting untuk mengevaluasi fungsi organ
pasien HIV, baik berupa konsekuensi dari infeksi HIV akibat infeksi oportunistik
atau neoplasma, serta yang terkait dengan penyebab lainnya seperti efek samping
dari terapi ARV.
Sistem Kardiovaskular
Sistem kardiovaskular dapat terlibat dalam sejumlah proses penularan
infeksi HIV. Hal ini mungkin secara langsung berhubungan dengan infeksi HIV
atau efeksamping dari agen terapi ARV, kemoterapi atau agen antiinfeksi.
Komplikasi sistem kardiovaskular yang penting adalah kardiomiopati dilatasi,
efusi pericardial, endocarditis dan lesi katup, penyakit jantung koroner, vaskulitis,
dan hipertensi pulmoner.

Sistem Pernafasan
Jalan nafas atas dan jalan nafas bawah dapat terlibat dalam proses infeksi
HIV. Komplikasi ini dapat disebabkan oleh infeksi HIV primer, terkait keganasan,
infeksi oportunistik, atau efek samping obat. Komplikasi pernafasan dapat berupa:
obstruksi jalan nafas (sarcoma Kaposi atau infeksi), bronkitis, sinusitis,
pneumonia, pneumonitis, infeksi atipik (umumnya tuberkulosis, lainnya
mikobakteri dan infeksi jamur).

Sistem Pencernaan
Komplikasi pada saluran pencernaan terkait infeksi HIV maupun proses
pengobatan meliputi : kesulitan atau nyeri saat menelan, peningkatan waktu
pengosongan lambung, mudah terjadi perdarahan yang timbul saat instrumentasi
saluran nafas/ insersi tabung nasogastric, diare dehidrasi, penurunan fungsi
hepatobilier, pankreatitis.

Sistem Ginjal
Penyakit ginjal akut maupun kronis dapat dikaitkan dengan infeksi HIV
dan penyebab gangguan ginjal adalah multifactorial, seperti nefrotoksisitas akibat
penggunaan obat, hipertensi dan diabetes, nefropati terkait HIV. Komplikasi yang
potensial ini mengharuskan untuk menghindari obat-obat yang bersifat
nefrotoksik, penyesuaian dosis obat yang dieksresikan melalui ginjal, kebutuhan
hidrasi yang memadai untuk mencegah kerusakan lebih lanjut dari fungsi ginjal.
Sistem Neurologis
Infeksi HIV dapat mempengaruhi sistem saraf yang diakibatkan oleh
proses infeksi itu sendiri, inflamasi, demielinasi atau proses degeneratif.
Merupakan proses sekunder terhadap infeksi oportunistik, neoplasma, atau
imunodefisiensi. Hal ini dapat melibatkan semua struktur termasuk jaringan
meningens, jaringan otak, korda spinalis, saraf perifer atau otot. Gangguan dapat
berupa penurunan neurokognitif, ensefalopati, neuropati otonom, kejang.
Pemeriksaan neurologis pra-bedah secara menyeluruh dengan
dokumentasi yang tepat sangat penting terutama jika mempertimbangkan untuk
melakukan regional anestesi.

Sistem Hematologi
Hal-hal yang seringkali muncul akibat infeksi HIV : anemia, neutropenia,
trombositipenia, limfadenopati generalisata persisten, keganasan hematologi,
gangguan koagulasi.

Sistem Endokrin
Efek samping yang umum dari ARV meliputi lipodistrofi (obesitas
trunkal), buffalo hump, peripheral wasting, sindrom metabolic (meningkatnya
plasma trigliserida, kolesterol, glukosa), gangguan dari sumbu hipotalamus-
hipofisis-adrenal seperti Cushing Syndrome dan penyakit Addison, hiponatremia
akibat SIADH atau kegagalan adrenal, hipo- atau hipertiroidisme, dan laktat
asidosis.

TERAPI ANTIRETROVIRAL (ARV)


Penggunaan kombinasi ARV atau highly active antiretroviral therapy
(HAART) telah mengalami kemajuan besar dalam pengobatan infeksi HIV. Obat
ini diklasifikasikan menjadi empat kelas sesuai dengan mekanisme penghambatan
replikasi virus: inhibitor enzim reverse transcriptase, inhibitor enzim protease,
inhibitor integrase, dan inhibitor entry. Kepatuhan terhadap penggunaan ARV
sangat penting, kepatuhan dibawah 95% dikaitkan dengan peningkatan viral load
dan resistensi obat.
Beberapa contoh ARV : Abacavir (ABC), Didanosine (ddI), Emtricitabine
(FTC), Lamivudine (3TC), Stavudine (d4T), Zidovudine (AZT, ZDV),
Delavirdine (DLV), Efavirenz (EFV), Etravirine (ETR).
Efek samping dari terapi ARV harus diperhatikan selama penilaian
prabedah. Efek samping dapat dibagi menjadi empat kelompok:
1. Disfungsi mitokondria : laktat asidosis, toksisitas hati, pankreatitis, neuropati
perifer
2. Kelainan metabolik : maldistribusi lemak dan perubahan pada habitus tubuh,
dislipidemia, hiperglikemia dan resistensi insulin, gangguan tulang (osteopaenia,
osteoporosis, osteonecrosis)
3. Penekanan sumsum tulang : anemia, neutropenia, trombositopenia
4. Reaksi alergi : ruam kulit dan respon hipersensitivitas

Interaksi Obat Anestesi dan ARV


Obat anestesi dapat berinteraksi dengan ARV, menyebabkan perubahan
farmakodinamik untuk mempengaruhi keberhasilan dan toksisitas ARV, dan efek
farmakokinetik dari ARV dapat mempengaruhi absorbs, distribusi, metabolisme,
dan eliminasi obat anestesi. Interaksi farmakodinamikdapat dikelola dengan
menghindari agen anestesi seperti seperti halitan atau metoksifluran yang
menyebabkan gangguan fungsi hati atau disfungsi ginjal. Propofol dan obat ARV
golongan analog nukleitida (NRTI) seperti Abacavir (ABC), Didanosine (ddI),
Emtricitabine (FTC), Lamivudine (3TC), Stavudine (d4T), Zidovudine (AZT,
ZDV) berpotensi meningkatkan toksisitas mitokondria dan laktat asidosis,
sebaiknya dihindari penggunaan propofol kontinyu pada pasien yang menerima
ARV pada golongan tersebut.
Interaksi farmakokinetik akan menjadi lebih rumit dan utamanya karena
induksi ataupun inhibisi pada enzim hati, khususnya enzim CYP450 3A4.
Interaksi obat-obat anestesi dengan ARV yang paling sering adalah pada golongan
Protease Inhibitor (PI) dan golongan analog nonnukleitida (NNRTI).
Induksi atau inhibisi dari enzim yang mempengaruhi obat anestesi
- Opioid
Efek dari fentanyl dapat meningkat akibat pemberian ritonavir karena
interaksi pada inhibisi maupun induksi dari enzim hati. Inhibisi dari enzim
tersebut mampu mengurangi keluaran dari fentanyl dan induksi dari enzim
mampu meningkatkan metanolisme metabolit aktif seperti normepiridine.
- Benzodiazepin
Saquinavir dapat menghambat metabolisme midazolam.
- Calsium channel blocker dapat meningkatkan efek hipotensi karena efek inhibisi
dari enzim.
- Anestesi lokal seperti lignocaine dapat meningkatkan level plasma karena
penghambatan pada tingkat enzim.
- Efek neuromuskular bloker menjadi berkepanjangan meskipun hanya satu kali
pemberian dosis vecuronium.

Perioperatif Pengelolaan ARV


Meningkatnya masalah resistensi obat dalam pengobatan HIV,
direkomendasikan terapi ARV akan berlanjut sepanjang periode perioperative.
Terapi ini tentu saja sesuai dengan operasi dan fungsi pencernaan pasien.
Beberapa ARV tersedia dalam bentuk cair memungkinkan pemberian melalui
NGT atau gastrostomi. Sediaan parenteral terbatas pada obat AZT dan enfuvirtide
saja.

MANAJEMEN ANESTESI
Dianjurkan pendekatan multisystem dan multidisiplin.
Penilaian preoperatif status infeksi HIV :
- Riwayat penyakit termasuk faktor resiko
- Pemeriksaan fisik
- Pemeriksaan laboratorium
- Menilai fungsi organ
- Riwayat penggunaan obat dan efek samping
Pemeriksaan harus mencakup :
- Darah rutin
- Profil koagulasi
- Pemeriksaan gula darah, elektrolit, fungsi ginjal dan hati
- Viral load dan hitung CD4
- Foto toraks untuk menyaring infeksi oportunistik dan tuberkulosis
- Elektrokardiografi dan ekokardiografi jika memungkinkan untuk evaluasi
kardiomiopati.

Persiapan Kamar Operasi dan Personil


Persiapan kontrol infeksi termasuk kewaspadaan universal dengan sarung
tangan, celemek, visors, dan lain-lain.
Perangkat pengumpulan objek tajam dengan penanganan benda tajam
yang sesuai.
Seluruh staf yang bekerja harus menyadari protocol bila terpapar saat
bekerja :
- Bilas dan cuci daerah yang terkena dengan sabun dan air
- Tes laboratorium penerima : HIV, hepatitis akut
- Tentukan sumber penularan
Ketersediaan profilaksis paska pajanan harus dimulai segera karena resiko
kecelakaan yang mungkin terjadi, idealnya dalam waktu 1 jam setelah pajanan.
- Hepatitis B immunoglobulin dan/atau vaksin Hepatitis B
- Identifikasi awal penyakit hepatitis C kronis
- Protokol HIV PPP dengan 3 atau lebih ARV, jika dikenal positif donor HIV atau
pasien beresiko tinggi, atau pasien dengan penggunaan 2 atau lebih ARV. ARV
diberikan selama 4 minggu atau sampai sumber penyebaran didapatkan negatif
untuk HIV.
- Menindaklanjuti dengan konseling dan tes HIV paska pajanan (tes dilakukan
pada awal, 6 minggu, 12 minggu, dan 6 bulan).

Pertimbangan Perioperatif untuk Pasien dengan HIV


- Minimalkan interupsi pada terapi ARV untuk mengurangi resistensi obat
- Pertimbangkan interaksi obat dengan ARV
- Teknik aseptik yang ketat terutama yang rentan terhadap infeksi bakteri
- Rencana anestesi harus disesuaikan dengan keadaan pasien dan jenis operasi

Anestesi Umum
Adanya kelainan fungsi saraf (neuropati sentral maupun perifer) menjadi
pertimbangan penting. Anestesi umum dapat menyebabkan depresi sementara
pada fungsi sistem imunitas. Harus diperhatikan prediksi kesulitan intubasi akibat
hipertrofi limfatik faringeal dan infeksi atau tumor di rongga mulut, serta resiko
migrasi kuman patogen di rongga mulut ke paru-paru. Resiko terjadinya interaksi
obat ARV dengan agen anestesi yang dapat menyebabkan pemanjangan dari efek
obat.

Regional Anestesi
Setelah melahirkan, ibu dan anak harus berobat, bayi sebaiknya diberi
pengobatan antivirus selama 6 minggu lalu diberikan susu formula. Nyeri umum
terjadi pada penyakit HIV tingkat lanjut dan bisa sangat sulit untuk diobati.
Etiologi nyeri bersifat multifactorial, termasuk infeksi oportunistik seperti herpes
simpleks, atralgia terkait HIV, neuropati perifer, dan nyeri terkait obat. Hal ini
berdampak pada pengobatan nyeri paska bedah yang tentunya memerlukan
pendekatan multimodal.

Transfusi Darah
Ada bukti bahwa transfuse darah alogenik pada pasien HIV yang terinfeksi
dapat menyebabkan transfusion related immunomodulation (TRIM) dan dapat
menyebabkan peningkatan viral load HIV. Transfusi darah hanya akan
ditransfusikan pada keadaan untuk menjaga keselamatan pasien.

Pencegahan terhadap Infeksi HIV (Universal Precaution)


Petugas kesehatan harus melakukan pengendalian infeksi yang universal
sebagai tindakan pencegahan terhadap semua pasien dengan melindungi diri
terhadap penyebaran infeksi melalui darah. Daerah yang tinggi prevalensi HIV
banyak pasien asimtomatik dan dapat diklasifikasikan sebagai ASA 1-2. Resiko
untuk tertular HIV selama bekerja sebagai dokter anestesi dapat setinggi 4,5% di
daerah tinggi prevalensi. Hal ini dapat terjadi melalui cedera jarum suntuk resiko
transmisi 0,3%. Resiko penularan melalui rute mukokutan, percikan dari
permukaan mukosa atau kulit yang rusak oleh cairan tubuh adalah 0,03%. Semua
petugas kesehatan harus diimunisasi Hepatitis B.
Beberapa tindakan pencegahan yang harus diambil untuk mengurangi
resiko transmisi HIV pada petugas kesehatan :
- Buang benda tajam dengan aman
- Jangan menggunakan kembali jarum
- Pakailah sarung tangan
- Gunakan peralatan sekali pakai
- Peralatan dapat digunakan kembali secara bersih dan benar
Jika seorang pekerja kesehatan menderita cedera tusukan jarum atau
terkena sesuatu yang berpotensi terinfeksi darah atau cairan tubuh, langkah-
langkah berikut harus diambil :
- Jarum atau luka terkontaminasi: mendorong pendarahan dari kulit dan
membersihkan bagian itu dengan air sabun yang banyak atau desinfektan.
- Kulit utuh : dicuci dengan sabun dan air
- Kontaminasi mata : dilakukan bilas dengan lembut pada mata terbuka dengan
salin atau air
- Kontaminasi mulut : dilakukan dengan meludahkan cairan apapun, bilas mulut
dengan air dan ludahkan kembali.

Anda mungkin juga menyukai