Anda di halaman 1dari 6

INFEKSI HUMAN IMMUNODEFICIENCY VIRUS (HIV) DALAM KEHAMILAN

Infeksi selama kehamilan dapat menyebabkan transmisi vertikal dari ibu ke anak baik masa
kehamilan maupun saat persalinan.

Beberapa strategi telah dikembangkan untuk menurunkan transmisi vertikal berupa edukasi
kesehatan reproduksi, pencegahan infeksi dengan penggunaan kondom, skrining HIV
universal, tatalaksana menggunakan ARV, PrEP (Pre-Exposure Prophylaxis), serta deteksi
dini dan tatalaksana infeksi HIV pada ibu hamil.

Pemilihan jenis persalinan pada wanita hamil dengan HIV sangat bergantung pada viral load
pada saat usia kehamilan sudah aterm. Tata laksana ARV pada ibu hamil tetap dilakukan
dilakukan demi menekan risiko transmisi. Pemberian ASI pada dikontraindikasikan,
profilaksis ARV diberikan kepada bayi.

Human Immunodeficiency Virus adalah retrovirus yang menginfeksi sistem imunitas seluler,
mengakibatkan kehancuran ataupun gangguan fungsi sistem tersebut. Jika kerusakan
fungsi imunitas seluler berlanjut, akan menimbulkan infeksi ataupun gejala sindrom AIDS.

Diperkirakan pula bahwa 1,8 juta orang baru terinfeksi HIV setiap tahunnya dan 1,4 juta
wanita dengan infeksi HIV hamil setiap tahun.2,3 Pada tahun yang sama 5,1 juta (14%)
orang terinfeksi HIV berada di Asia Pasifik; Asia memiliki prevalensi HIV terbesar kedua
setelah Afrika.3 Meskipun prevalensi HIV di Asia terus berkurang, infeksi HIV merupakan
salah satu penyulit pada kehamilan yang paling sering terjadi di beberapa negara.HIV
bahkan masih menjadi penyebab utama kematian wanita usia reproduktif, salah satu
penyebabnya karena akses pelayanan kesehatan pada kasus transmisi vertikal masih
belum memadai; hanya 20% wanita hamil yang mendapat akses pelayanan Anti-RetroViral
(ARV). Pada tahun 2015 diperkirakan terdapat 613.435 Orang yang Hidup dengan HIV
(ODHIV) di Indonesia.Prevalensi HIV dalam lima tahun terakhir tidak banyak berubah,
didominasi oleh kelompok usia produktif. Angka prevalensi HIV nasional untuk kelompok
usia 15 tahun ke atas diestimasi sebesar 0,33% pada tahun 2015.

Virus ini menyerang komponen sistem imunitas seluler manusia, yaitu sel limfosit T - CD4,
makrofag, dan sel Langerhans. Infeksi HIV dapat menular melalui hubungan seksual, darah,
dan transmisi vertikal dari ibu ke anak; faktor risiko penularan HIV adalah pengguna napza
suntik (penasun), kelompok homoseksual, dan orang yang berganti-ganti pasangan seksual.
Determinan utama transmisi penyakit ini adalah viral load RNA HIV plasma.

Di negara berkembang ataupun negara miskin tanpa akses terhadap fasilitas tersebut, risiko
meningkat hingga 45%. Pencegahan MTCT dapat dicapai apabila: (1) terdeteksi dini, (2)
terkendali (ibu melakukan perilaku hidup sehat, ibu mendapat ARV profilaksis teratur, ANC
teratur, dan petugas kesehatan menerapkan pencegahan infeksi sesuai kewaspadaan
standar), (3) pemilihan rute persalinan yang aman (seksio sesarea), (4) pemberian PASI
(susu formula) yang memenuhi syarat, (5) pemantauan ketat tumbuh-kembang bayi dan
balita dari ibu HIV positif, dan (6) dukungan tulus dan perhatian berkesinambungan kepada
ibu, bayi, dan keluarganya. Banyak faktor yang berperan dalam transmisi virus dari ibu ke
anak.

Ibu dengan keadaan klinis dan indikator imunologis lanjut dan viral load meningkat memiliki
risiko transmisi vertikal lebih tinggi.

Cooper (2002) menemukan bahwa infeksi neonatus pada pasien dengan RNA virus <400
kopi/mL adalah sebesar 1% dan meningkat hingga 23% jika jumlah RNA virus > 30.000
kopi/mL. Mandelbrot (2015) menemukan bahwa dari 2.615 bayi yang lahir dari ibu yang
mengonsumsi ARV sebelum kelahiran, tidak ditemukan adanya transmisi vertikal pada ibu
dengan viral load <50 kopi/mL. Kourtis, et al, (2001) menyatakan bahwa risiko transmisi
vertikal 20% sebelum usia gestasi 36 minggu, 50 persen pada beberapa hari sebelum
partus, 30% intrapartum, dan 30% hingga 40% melalui pemberian ASI. Laju transmisi
vertikal ini juga dikatakan meningkat apabila terdapat komorbiditas dengan IMS lain.
Pencegahan penularan, selain saat melahirkan (akibat sentuhan langsung bayi dengan
darah dan cairan vagina ibu), viral load penting untuk ditekan selama masa kehamilan.

Penularan dapat terjadi dalam kandungan apabila plasenta rusak, sehingga placental blood
barrier tidak dapat lagi melindungi bayi dari infeksi HIV. Faktor bayi seperti prematuritas dan
buruk nya nutrisi fetus juga nampaknya dapat mempengaruhu transmisi vertikal.

Masa inkubasi rata-rata 3 – 6 minggu. Infeksi HIV akut sangat mirip dengan sindrom infeksi
virus lain, biasa nya bertahan kurang dari 10 hari. Gejalanya: demam, lemas, kemerahan di
kulit, pusing, limfadenopati,faringitis, mialgia, mual, dan diare. Setelah gejala mereda, tingkat
viremia biasanya akan menurun. Pemeriksaan Penunjang Sejak tahun 2006, CDC telah
menganjurkan pemeriksaan HIV pada semua ibu hamil, diulang pada trimester 3 pada
wanita berisiko tinggi dan tinggal di daerah berprevalensi tinggi.12 Ibu hamil risiko tinggi
adalah pengguna narkoba injeksi, prostitusi, dengan pasangan seksual yang diduga atau
diketahui terinfeksi HIV, berganti-ganti pasangan seksual, adanya kemorbiditas dengan IMS.

Skrining HIV pada kunjungan prenatal pertama meningkatkan kemungkinanan


teridentifikasinya infeksi HIV baru. Sesuai SE Menkes No. 001/GK/2013, pemeriksaan HIV
dianjurkan pada semua bumil di daerah epidemi, terkonsentrasi sejak kunjungan pertama
ANC dan menjelang persalinan. Pemeriksaan HIV jg harus diikuti dengan skrining IMS dan
Hepatitis pada semua ibu hamil. Pada ibu hamil dengan HIV pemeriksaan ANC tetap
dilakukan meliputi anamnesa lengkap, serta 10 T.
Beberapa strategi pencegahan telah dikembangkan untuk menekan insidens transmisi,
seperti penggunaan kondom, skrining kedua pasangan, dan tatalaksana IMS.Selain itu PrEP
oral menggunakan ARV merupakan salah satu strategi yang dianjurkan WHO. Regimen
PrEP yang dianjurkan; TDF ( Tenofovir disoproxil fumarate ) + 3 TC (lamivudine) + FTC
( emitricitabine). Disamping toleransi nya baik, efek sampingnya minimal. PrEP jg diketahui
tidak meningkatkan risiko cacat pada bayi.

Setiap wanita hamil dengan HIV harus diberi konseling mengenai pilihan pemberian
makanan bagi bayi, persalinan aman, KB Pasca salin, pemberian profilaksis ARV, Asupan
gizi, hubungan sek selama kehamilan (penggunaan kondom ). Pemberian ARV utk
menurunkan angka transmisi vertikal paling efektif dimulai sejak awal kehamilan, bila
sebelum trimester ke 3 akan menurunkan risiko transmisi hingga kurang dari 5 dari 1000
kelahiran, bila saat persalinan atau beberapa jam setelah melahirkan dapat menurunkan
hingga 50 %. Perlu ditekankan kepatuhan konsumen ARV untuk menekan angka virus dan
meminimalkan transmisi perinatal.

Jenis persalinan yang disarankan pada wanita hamil dengan infeksi HIV di pengaruhi
adanya kontraindikasi obstetrik dan viral lood pada usia gestasi 36 mg. Bila viral lood < 50
kopi/ml tanpa kontraindikasi obstetrik, disarankan persalinan pervaginam, dan bila viral load
50 – 399 kopi/ml pada usia gestasi 36 mg SC dapat dipertimbangkan sesuai perkiraan viral
load, lama terapi, faktor obstetrik dan pertimbangan pasien. Saat SC disarankan usia
gestasi 38 – 39 mg.

Bayi yang lahir dr ibu yang terinfeksi HIV harus mendapat ARV profilaksis sejak umur 12 jam
selama 6 mg kemudian dilanjut dengan profilaksis kotrimoksazol hingga diagnosis HIV dapat
disingkirkan atau usia 12 bulan. Pemeriksaan PCR HIV pada bayi dilakukan pada saat lahir,
usia 1 bln, 3-4 bln, dan 18 bln.

Pemberian ASI ibu dengan HIV pada dasarnya dikontraindikasikan. Namun bila susu
formula tidak dapat diberikan karena alasan ekonomi, ASI diberikan secara eksklusif tanpa
campuran susu formula. Pemberian ASI eksklusif saja pada 6 bln pertama berhubungan
dengan penurunan transmisi 3 – 4 kali dibandingkan dengan anak yang mendapat ASI dan
susu formula atau makanan lain.
IMUNOLOGI HIV (HUMAN IMMUNODEFICIENCY VIRUS) DALAM KEHAMILAN

Epidemiologi; Karakteristik HIV di setiap daerah ditentukan oleh tingkah laku, kehidupan
sosial dan budaya yang berbeda.

Transmisi HIV dapat melalui 3 jalur;

1. Hubungan seksual ( heteroseksual atau homoseksual yang tidak aman)


2. Melalui produk darah
3. Transmisi vertikal ibu ke anak

Data WHO th 2011 sekitar 34 juta di seluruh dunia hidup dengan HIV/AIDS dengan angka
kematian 1,7 juta manusia. Di wilayah Asia Tenggara kasus HIV/AIDS pada anak di bawah
usia 15 th mencapai 140.000 kasus. Sedangkan di Indonesia kasus HIV/AIDS mencapai
angka 380.000 pasien dengan kasus wanita di atas umur 15 th mencapai 110.000 kasus.
Tinggi nya angka kejadian HIV/AIDS pada wanita di atas usia 15 th ditakutkan tingginya
angka HIV/AIDS pada ibu hamil.

Virus HIV termasuk golongan RNA yang berbentuk sferis dengan inti kerucut, dikelilingi oleh
selubung lipid yang berasal dari membran sel hospes diameter 1000 angstrom.

Terdapat dua tipe yang berbeda dari virus AIDS manusia, yaitu HIV -1 dan HIV-2. Kedua
tipe dibedakan berdasarkan susunan genom dan hubungan filogenetik dengan lentivirus
primata lainnya. Perbedaan struktur genom ini walaupun sedikit menentukan patogenitas
dan perjalanan penyakit diantara kedua tipe HIV tersebut.

SIKLUS HUMAN IMMUNODEFICIENCY VIRUS Human Immunodeficiency Virus merupakan


retrovirus obligat intraselular dengan replikasi sepenuhnya di dalam sel host.

Dua reseptor kemokin utama yang digunakan oleh HIV adalah CCR5 dan CXCR4.5 Ikatan
dengan kemoreseptor ini menginduksi perubahan konformasi pada sub unit glikoprotein 41
(gp41) yang mendorong masuknya sekuens peptida gp41 ke dalam membran target yang
memfasilitasi fusi virus....

Material genetik virus adalah RNA single stand-sense positif (ssRNA), virus harus
mentranskripsi RNA ini dalam DNA secara optimal pada replikasi sel manusia (transkripsi
normal terjadi dari DNA ke RNA, HIV bekerja mundur sehingga diberi nama retrovirus)

Hasil sintesa lengkap molekul double-strand DNA (dsDNA) dipindahkan ke dalam inti dan
berintegrasi ke dalam kromoson sel tuan rumah oleh enzim integrase
Integrasi ini menimbulkan beberapa masalah, pertama HIV dapat menyebabkan infeksi
kronik dan persisten, umumnya dalam sel sistem imun yang berumur panjang seperti
Tlimfosit memori.

Gabungan DNA virus dan DNA sel inang akan mengalami replikasi, transkripsi dan translasi.

DNA polimerase mencatat dan mengintegrasi provirus DNA ke mRNA, dan mentranslasikan
pada mRNA sehingga terjadi pembentukan protein virus.

Pertama, transkripsi dan translasi dilakukan dalam tingkat rendah menghasilkan berbagai
protein virus seperti Tat, Nef dan Rev.

Protein Tat sangat berperan untuk ekspresi gen HIV, mengikat pada bagian DNA spesifik
yang memulai dan menstabilkan perpanjangan transkripsi.

Perakitan partikel virion baru dimulai dengan penyatuan protein HIV dalam sel inang.

Th dapat teraktivasi melalui dua sinyal, yaitu: pertama terikatnya reseptor Ag -TCR (T Cell
Receptor) dengan kompleks Antigen-molekul MHC Clas II yang dipresentasikan oleh
makrofag sebagai antigen presenting cells (APCs) yang teraktivasi oleh antigen.

Jadi dengan demikian akan terjadi amplifikasi respon yang diawali oleh kontak APCs
dengan sel Th semula.

Aktivasi sel limfosit B memerlukan paling sedikit tiga sinyal, yaitu pertama oleh imunogen
yang terikat pada reseptor antigen, dan dua sinyal lainnya adalah limfokin BCDF (B cell
differentiaton factor ) dan BCGF (B cell growth factor) yang di produksi oleh sel TH yang
teraktivasi.

Pengaruh HIV terhadap sistem imun, akan mengalami kerusakan sistem imun seluler. Jadi
akibat HIV akan terjadi gangguan jumlah maupun fungsi TH yang menyebabkan hampir
keseluruhan respon imunitas tubuh tidak berlangsung normal.

Untuk mengatasi organisme intra seluler yang paling diperlukan adalah respon imunitas
seluler yang disebut CMI.

Imunitas Humoral adalah Imunitas dengan pembentukan antibodi oleh sel plasma yang
berasal dari limfosit B, sebagai akibat sitokin yang dilepaskan oleh limfosit CD4 yang
teraktivasi. Dengan adanya antibody diharapkan akan meningkatkan daya fagositosis dan
daya bunuh sel makrofag dan neutrofil melalui opsonisasi.

HIV baik sebagai virus bebas ataupun yang berada dalam sel yang terinfeksi akan menuju
kelenjar limpe regional dan merangsang respon imun seluler maupun humoral, sehingga
akan menyebabkab makin banyak sel limfosit yang terinfeksi. Ini yang disebut fase infeksi
akut.

Setelah fase akut, akan terjadi penurunan jumlah HIV bebas dalam plasma maupun dalam
sel. Disamping jumlah nya menurun maka fungsi limfosit juga terganggu. Hal ini terjadi
akibat hilangnya kemampuan respon imun seluler untuk melawan turnover HIV dalam
kelenjar limfe, ditandai oleh meningkatnya HIV ke dalam sirkulasi.

Kehamilan menjadi tantangan besar bagi pengaturan sistem imun. Selama kehamilan terjadi
penurunan immunoglobulin, penurunan jumlah komplemen,dan penurunan imunitas seluler.
Respon imun fetal maternal pada kehamilan dipengaruhi oleh timus. Ukuran dan struktur
nya mengecil selama hamil, sehingga bisa memicu terjadinya abortus, stillbirth, BBLR, dan
persalinan premature, malah dapat menembus placenta menyebarkan infeksi HIV,
sehingga meningkatkan risiko transmisi vertikal.

Anda mungkin juga menyukai