Anda di halaman 1dari 13

STASE

TELING

18 MEI – 24 MEI 2020

JUDUL

IMUNISASI PADA BAYI DENGAN IBU POSITIF HIV

TAUFIK KAPRAWI

15014101339
BAB I

PENDAHULUAN

Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah RNA retrovirus yang menyebabkan


Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS), di mana terjadi kegagalan sistem imun progresif.
Penyebab terbanyak adalah HIV-1.1 Virus ini ditransmisikan melalui hubungan seksual, darah,
produk yang terkontaminasi darah, dan transmisi dari ibu ke bayi baik intrapartum, perinatal,
atau ASI. Pada intrapartum, fetus dapat terinfeksi secara hematogen karena sirkulasi
uteroplasenta melalui membran amnion, terutama apabila membran mengalami inflamasi atau
infeksi. Pada periode perinatal, infeksi vertikal lebih banyak terjadi. Semakin lama dan besar
jumlah kontak neonatus dengan darah ibu dan sekresi servikovaginal, risiko transmisi vertikal
juga bertambah besar. Prematuritas dan berat badan lahir rendah pada neonatus juga
meningkatkan risiko infeksi dalam persalinan karena menipisnya barier pertahanan dari kulit dan
sistem imun. Pasca persalinan, transmisi vertikal dapat terjadi karena bayi mendapat ASI dari ibu
yang menderita HIV.1

Pada tahun 2009, 1,4 juta wanita hamil di negara berpendapatan mene-ngah dan rendah
terdiagnosis HIV.2 Lebih dari 90% infeksi HIV pada bayi dan anak ditransmisikan oleh ibu
selama kehamilan, kelahiran, atau ASI. Tanpa intervensi apapun, 15-45% bayi yang lahir dari
ibu dengan HIV menjadi terinfeksi (5-10% selama kehamilan, 10-20% selama kelahiran, dan 5-
20% lewat ASI). Sekitar 50% bayi yang terinfeksi HIV dari ibunya meninggal sebelum usia 2
tahun. Transmisi infeksi HIV dari ibu ke bayi dapat diturunkan jika obat antiretroviral diberikan
pada ibu selama kehamilan dan kelahiran dan bayi setelah kelahiran.2

Di Indonesia, hingga akhir tahun 2009, jumlah masyarakat dengan HIV dilaporkan
sekitar 24,000 kasus. Penularan HIV dari ibu ke bayi dapat dicegah dengan program Prevention
of Mother to Child HIV Transmission (PMTCT). Di negara maju, risiko seorang bayi tertular
HIV dari ibunya sekitar <2%, hal ini karena tersedianya layanan optimal untuk pencegahan
penularan HIV dari ibu ke bayi. Tetapi di negara berkembang atau negara miskin dengan akses
intervensi minimal, risiko penularan meningkat menjadi antara 25%–45%. Masyarakat sering
beranggapan bahwa bayi yang dilahirkan oleh ibu HIV positif pasti akan terinfeksi virus HIV.
Pada kenyataannya, 60%–75% anak tersebut tidak terinfeksi walaupun tidak ada intervensi
apapun. Penyebaran MTCT HIV dapat terjadi 5% pada saat dalam kandungan, 15% pada saat
persalinan, dan 10% melalui pemberian ASI.4,5 Strategi preventif selama kehamilan terbukti
mengurangi risiko MTCT pada HIV sebesar 1%-2%, yang meliputi ARV profilaksis selama
kehamilan dan melahirkan hingga bayi berusia 6 minggu setelah lahir. Selain itu dilakukan
pemantauan monitor efek samping obat, pertumbuhan berat badan, serta diberikan imunisasi
pada bayi.3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Penularan HIV Pada Anak

Sebenarnya ibu dengan HIV positif kurang begitu subur. Namun karena kelompok umur
yang terinfeksi HIV sebagian besar adalah usia subur maka kehamilan pada wanita HIV positif
merupakan masalah nyata. Transmisi HIV dari ibu dengan HIV positif ke bayi disebut transmisi
vertical. Transmisi vertical memegang peranan >90% pada penularan HIV pada anak, dapat
terjadi melalui plasenta pada waktu hamil (intrauterine 5-10%), waktu bersalin (intrapartum 10-
20%) dan postpartum melalui air susu ibu/ASI (5-20%). Tidak semua ibu pengidap HIV akan
menularkannya kepada bayi yang dikandungnya. HIV tidak melalui barier plasenta. Transmisi
vertical terjadi sekitar 15-40%, sebelum penggunaan obat antiretrovirus. Perbedaan ini terjadi
karena perbedaan insidens pemberian ASI. Diperkirakan risiko transmisi melalui ASI adalah
15%. Apabila ibu terinfeksi pada saat hamil tua atau pada saat menyusui maka risiko tersebut
meningkat sampai 25 %.4

Menurut pedoman pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak yang dikelurkan oleh
Kemenkes RI pada tahun 2011, strategi pencegahan penularan HIV secara vertikal harus
dilakukan secara komprehensif demi mereduksi risiko transmisi hingga seminimal mungkin.
Strategi tersebut mencakup layanan antenatal care (ANC) terpadu seperti penawaran tes HIV
sebagai upaya untuk mengetahui status HIV pada ibu hamil, Penegakkan status HIV pada ibu
hamil sedini mungkin sangat penting untuk mencegah penularan HIV kepada bayi, karena ibu
dapat segera memperoleh pengobatan ARV, dukungan psikologis, dan informasi tentang
HIV/AIDS pemberian ARV bagi ibu, persalinan yang aman, tatalaksana pemberian makanan
pada bayi, pemberian ARV profilaksis pada anak, dan pemeriksaan diagnosik HIV pada anak.5
B. Prevention of Mother to Child HIV Transmission ( PMTCT )

Pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak (PPIA) melalui intervensi demi
meminimalkan faktor risiko diketahui dapat mereduksi risiko transmisi hingga dibawah 2% dari
total 25-45% risiko penularan jika tanpa intervensi. Intervensi tersebut berupa tindakan preventif
melalui pemberian antiretroviral (ARV) pada ibu selama periode perinatal, persalinan secara
seksio sesarea, serta menghindari pemberian ASI oleh ibu yang positif terinfeksi HIV. Ketiga
intervensi tersebut telah terangkum dalam program PPIA yang dicanangkan oleh pemerintah
sejak tahun 2005. Dalam pedoman nasional terapi ARV yang dikeluarkan oleh Kemenkes RI
tahun 2007 mengacu pada rekomendasi WHO, pemberian terapi ARV disarankan bagi ibu hamil
jika berada dalam salah satu dari ketiga situasi berikut, yaitu stadium klinis 1 atau 2 dengan CD4
kurang dari 200 sel/mm3, atau stadium klinis 3 dengan CD4 kurang dari 350 sel/mm3, atau
stadium klinis 4 tanpa mempertimbangkan jumlah CD4.5

Selain terapi ARV dan profilaksis, pemilihan susu formula dibandingkan ASI terbukti
dapat menurunkan transmisi HIV dari ibu ke anak dari 15-25% sampai kurang dari 2%.
Persalinan dengan elektif seksio sesaria ternyata juga dapat menurunkan transmisi perinatal.
Persalinan ini dinilai dapat meminimalkan terpaparnya janin terhadap darah maternal, akibat
pecahnya selaput plasenta dan sekresi maternal, saat janin melewati jalan lahir. Indikasi
persalinan dengan elktif seksio sesaria adalah wanita tanpa pengobatan antiviral, wanita yang
mengkonsumsi highly active anti-retroviral therapy (HAART) dengan viral load >50kopi/mL,
wanita yang hanya mengkonsumsi monoterapi zidovudine (AZT), wanita dengan HIV positif dan
koinfeksi virus hepatitis, termasuk HBV dan HCV.6
C. Tatalaksana Bayi Baru Lahir Dengan Ibu Positif HIV

Dalam perawatan bayi baru lahir dari ibu dengan HIV harus menggunakan prinsip
standard precautions untuk melindungi petugas kesehatan dari risiko penularan. Bayi dengan
usia gestasi >32 bulan dan dalam kondisi stabil, harus segera dimandikan dengan menggunakan
chlorhexidine 1% (hindari pajanan ke mata bayi). Setelah bayi dimandikan lalu dapat diberikan
injeksi vitamin K IM (berat badan <1500 gram diberikan 0,5 mg vitamin K atau berat badan
>1500 gram diberikan 1 mg vitamin K).1
Setelah lahir, tatalaksana yang dapat diberikan yaitu :

1. ARV Profilaksis

Anti-retroviral therapy (ARV) profilaksis diberikan pada bayi baru lahir dengan ibu
positif HIV. Setelah melahirkan, ibu sebaiknya menghindari kontak langsung dengan bayi. Dosis
terapi antibiotik profilaksis, ARV dan imunosuportif harus diperiksa kembali. Indikasi
penggunaan infus ZDV adalah kombinasi single dose nevirapine (NVP) 200 mg dengan
lamivudine (3TC) 150 mg tiap 12 jam, dan dilanjutkan ZDV/3TC kurang lebih selama 7 hari
pospartum untuk mencegah resistensi NVP.1 Penggunaan monoterapi dilaporkan rentan terhadap
resistensi virus dan dapat membatasi pilihan terapi masa mendatang ketika dibutuhkan.
Penelitian yang dilakukan di Brazil untuk mengevaluasi keamanan dan efikasi pemberian
kombinasi AZT dan 3TC pada ibu maupun anak dalam pencegahan penularan HIV dari ibu ke
anak menunjukkan bahwa penggunaan kombinasi zidovudine (AZT) dan 3TC oleh ibu pada saat
kehamilan hingga setelah melahirkan terbukti aman dan secara statistik memberikan efikasi yang
signifikan dalam hal peningkatan hitung CD4 dan penurunan viral load ibu.5

Dua belas jam setelah lahir, maksimal dalam 72 jam setelah lahir, bayi mendapatkan
ARV profilaksis yang terdiri dari Zidovudine 2 mg/ kgBB/ kali setiap 6 jam selama 6 minggu
untuk bayi cukup bulan. Bayi dengan gestasi kurang dari 34 minggu mendapat 1,5 mg/ kg BB/
dosis, diberikan 2 kali per hari selama 2 minggu pertama, diikuti dosis yang sama 3 kali perhari
selama 2 minggu berikutnya, dan dosis 2 mg/kg BB/hari diberikan 4 kali per hari selama 2
minggu terakhir. Nevirapine dosis tunggal 2 mg/ kg BB diberikan saat usia bayi 48-72 jam. Pada
bayi dilakukan pemantauan efek samping obat, pertumbuhan berat badan dan perkembangan,
serta diberikan imunisasi sesuai dengan jadwal yang berlaku. Untuk menentukan bayi tidak
mengidap HIV, diperlukan minimal dua kali pemeriksaan dengan hasil negatif. Pada usia 4
minggu, dilakukan pemeriksaan PCR RNA HIV jika hasil negatif ARV dihentikan.3

2. Pencegahan Infeksi Oportunistik

Transmisi vertikal pada 50-70% terjadi sewaktu kehamilan tua atau pada saat persalinan
sehingga pada waktu lahir bayi tidak menunjukkan kelainan. Jadi bila saat lahir tidak ditemukan
kelainan fisik belum berarti bayi tidak tertular. Pemantauan perlu dilakukan secara berkala,
setiap bulan untuk 6 bulan pertama, 2 bulan sekali pada 6 bulan kedua , selanjutnya setiap 6
bulan. Kelainan yang dapat ditemukan antara lain berupa gagal tumbuh, anoreksia, demam yang
berulang atau berkepanjangan, pembesaran kelenjar , hati dan limpa serta ensefalopati progresif.
Gejala juga dapat berupa infeksi pada organ tubuh lainnya berupa infeksi saluran nafas yang
berulang, diare yang berkepanjangan, piodermi yang berulang maupun infeksi oportunistik
antara lain infeksi dengan jamur seperti kandidiasis, infeksi dengan protozoa seperti
Pneumocystis carinii, toxoplasma yang dapat memberi gejala pada otak. Bayi juga mudah
menderita infeksi dengan miko-bakterium tuberkulosa.4
Mulai usia 4 minggu diberikan profilaksis kotrimoksazol untuk mencegah infeksi
oportunistik Pneumocystis Carinii Jiroveci (PCP), diberikan sampai dinyatakan HIV negatif
pada pemeriksaan PCR RNA HIV kedua, yaitu pada usia 4-6 bulan. Pastikan anak mendapat
kotrimoksazol (profilaksis kotrimoksazol: trimetoprim 5mg/kg/hari dan sulfametoksasol 25
mg/kg/hari). Jika hasil negatif kotrimoksasol profilaksis dihentikan. Pada usia 18 bulan
dilakukan pemeriksaan antibody terhadap HIV (ELISA) untuk konfirmasi.3

3. Pemilihan Nutrisi

Telah diketahui bahwa ASI mengandung virus HIV dan transmisi melalui ASI adalah
sebanyak 15 %. Kemungkinan transmisi vertikal intrapartum dapat diturunkan sampai 2-4%
dengan menggunakan cara pencegahan seperti pemberian antiretrovirus, persalinan secara seksio
sesaria, maka sebaiknya bayi tidak mendapat ASI. Namun perlu dipertimbangkan bahwa
pemberian pengganti ASI jangan berdampak lebih buruk. Perlu dipertimbangkan juga biaya
pengadaan makanan pengganti ini. Bila bayi tidak mendapat ASI maka susu formula yang
dibutuhkan adalah: untuk 6 bulan pertama bayi membutuhkan sekitar 92 liter atau 20 kg susu.
Pada usia antara 6 –12 bulan apabila makanan bayi masih 1/2 diperoleh dari susu dan pada usia
12-24 bulan masih 1/3 diperoleh dari susu maka antara 6-24 bulan susu formula yang dibutuhkan
adalah 255 liter atau 43 kg. Jadi dari 0 sampai 24 bulan dibutuhkan sekitar 63 kg susu formula25.
Biaya tersebut cukup besar. Belum lagi biaya untuk air bersih dan bahan bakar dan biaya untuk
perawatan kesehatan oleh karena bayi yang tidak mendapat ASI lebih sering sakit.4
Apabila ibu diketahui mengidap HIV/AIDS terdapat beberapa alternatif yang dapat
diberikan dan setiap keputusan ibu setelah mendapat penjelasan perlu didukung. Bila ibu
memilih tidak memberikan ASI maka ibu diajarkan memberikan makanan alternatif yang baik
dengan cara yang benar, misalnya pemberian dengan cangkir jauh lebih baik dibandingkan
dengan pemberian melalui botol. Bila ibu memilih memberikan ASI walaupun sudah dijelaskan
kemungkinan yang terjadi, maka dianjurkan untuk memberikan ASI secara eksklusif selama 3-4
bulan kemudian menghentikan ASI dan bayi diberikan makanan alternatif. Perlu diusahakan agar
puting jangan sampai luka karena virus HIV dapat menular melalui luka. Jangan pula diberikan
ASI bersama susu formula karena susu formula akan menyebabkan luka di dinding usus yang
menyebabkan virus dalam ASI lebih mudah masuk.4

D. Imunisasi Pada Bayi Baru Lahir Dengan Ibu Positif HIV

Beberapa peneliti menyatakan bahwa bayi yang tertular HIV melalui transmisi vertikal
masih mempunyai kemampuan untuk memberi respons imun terhadap vaksinasi sampai umur 1-
2 tahun. Oleh karena itu di negara-negara berkembang tetap dianjurkan untuk memberikan
vaksinasi rutin pada bayi yang terinfeksi HIV melalui transmisi vertikal. Namun dianjurakan
untuk tidak memberikan imunisasi dengan vaksin hidup misalnya BCG, polio, campak. Untuk
imunisasi polio OPV (oral polio vaccine) dapat digantikan dengan IPV (inactivated polio
vaccine) yang bukan merupakan vaksin hidup. Imunisasi Campak juga masih dianjurkan oleh
karena akibat yang ditimbulkan oleh infeksi alamiah pada pasien ini lebih besar daripada efek
samping yang ditimbulkan oleh vaksin campak.4
HIV dengan koinfeksi dapat meningkatkan resiko transmisi HBV dan HCV para
perinatal. Selain ibu, bayi juga harus menerima imunoglobulin hepatitis B dan memulai
vaksinnya pada 12 jam pertama kelahiran. Imunisasi MMR dan varicella zoster juga
diindikasikan, jika jumlah limfosit CD4 diatas 200 dan 400. 6 Pada bayi penting untuk menilai
status imunisasi dan berikan imunisasi yang sesuai. Namun yang harus diperhatikan, vaksin
inactivated dapat diberikan kepada bayi yang lahir dari ibu positif HIV dengan memperhatikan
jadwal imunisasi nasional. Khusus untuk vaksin BCG, hanya diberikan bila telah terbukti bayi
tidah terinfeksi HIV dari ibu. Untuk keamanan, lebih baik tidak diberikan dahulu sampai bayi
terkonfirmasi bebas HIV.
Karena infeksi HIV mengakibatkan penurunan sistem kekebalan secara progresif, ada
kekhawatiran bahwa beberapa vaksin dapat mengakibatkan efek samping yang parah pada orang
yang terinfeksi HIV. Karena tidak ada produk imunobiologis yang sepenuhnya aman,
rekomendasi umum untuk vaksinasi bayi, anak-anak dan orang dewasa didasarkan pada:
• karakteristik produk imunobiologis
• pengetahuan ilmiah tentang prinsip-prinsip imunisasi aktif dan pasif
• epidemiologi infeksi
• risiko dan manfaat mencapai perlindungan optimal terhadap penyakit menular.
Sampai penelitian lebih lanjut dapat dengan jelas menentukan risiko dan manfaat,
pemberian vaksin tertentu untuk orang yang hidup dengan HIV (ODHA) harus dibatasi atau
diberikan dengan hati-hati setelah teliti penilaian risiko oleh para ahli dalam pengobatan klinis
dan pencegahan.
Istilah vaksinasi dan imunisasi sering digunakan secara bergantian. Vaksinasi
menunjukkan tindakan fisik pemberian produk imunobiologis (vaksin atau toksoid) kepada
seseorang dan mengacu pada imunisasi aktif. "Imunisasi" adalah istilah yang lebih inklusif yang
menunjukkan proses membujuk atau memberikan kekebalan secara artifisial, dan itu bisa aktif
atau pasif. Prinsip-prinsip umum untuk vaksinasi ODHA adalah sebagai berikut.7
• Vaksin yang terbunuh atau tidak aktif tidak mewakili bahaya bagi orang yang
mengalami gangguan kekebalan dan umumnya harus diberikan sesuai anjuran untuk orang lain.
• Vaksin virus hidup atau bakteri hidup seperti BCG, virus polio oral, tipus (Ty21a),
varisela dan vaksin demam kuning dapat menimbulkan risiko bagi orang yang terinfeksi HIV,
yang tidak boleh diberikan tanpa pertimbangan risiko dan manfaat yang cermat, mengingat tahap
HIV mereka masing-masing penyakit dan tingkat penekanan kekebalan tubuh.
1. BCG7
 Di mana insiden TB rendah, BCG tidak boleh diberikan kepada anak-anak yang
terinfeksi HIV, terlepas dari tahap klinis atau status defisiensi imun mereka. Di semua
bidang lain, vaksinasi BCG harus dibatasi untuk anak HIV-positif yang tidak
menunjukkan gejala. Anak-anak dengan gejala HIV infeksi tidak boleh menerima vaksin
BCG.
 BCG tidak direkomendasikan untuk remaja dan orang dewasa, termasuk mereka yang
terinfeksi HIV, karena memiliki sedikit atau tidak ada efek dalam mengurangi jumlah
kasus TB paru pada orang dewasa.
 Terapi pencegahan TB harus sangat dianjurkan bagi ODHA yang diduga terinfeksi
Mycobacterium tuberculosis dan berisiko mengembangkan TB.

2. MMR7

Anak-anak tanpa gejala yang terinfeksi HIV atau anak-anak dengan tanda-tanda
imunosupresi ringan harus secara rutin menerima MMR dan vaksin mengandung campak lainnya
(MCV), sama seperti anak-anak yang tidak terinfeksi. Penting untuk diingat bahwa
imunogenisitas vaksin campak berkurang jika vaksin ini diberikan dalam jangka waktu kurang
dari enam bulan setelah imunoglobulin normal manusia (HNIg) administrasi.

MMR dan MCV lainnya tidak boleh diberikan kepada ODHA, baik anak-anak atau orang
dewasa, yang menunjukkan bukti imunosupresi parah. Imunosupresi berat didefinisikan sebagai
CD4<200 sel pada orang dewasa dan anak-anak ≥5 tahun, untuk penekanan kekebalan yang
parah pada anak-anak lebih muda dari 5 tahun. MMR dan MCV lain harus dipertimbangkan
untuk pasien yang terinfeksi HIV yang tidak menunjukkan gejala atau imunosupresi ringan,
sesuai jadwal nasional rutin. Untuk bayi dengan risiko tinggi terpajan virus campak, satu dosis
tambahan antigen tunggal Dianjurkan untuk menggunakan vaksin campak pada usia 6-11 bulan,
diikuti dengan dosis pertama MMR rutin atau vaksin lain yang mengandung campak (MCV)
pada usia 12 bulan atau lebih (dengan interval minimal 1 bulan antara dosis). Pasien simtomatik
yang terinfeksi HIV yang terpapar campak harus menerima HNIg status vaksinasi mereka
sebelumnya. Kontak dekat yang rentan dan sehat dari orang yang immunocompromised
(termasuk ODHA) harus juga akan divaksinasi.

3. Oral Polio Vaccine (OPV)7

Walaupun anak yang terinfeksi HIV tanpa gejala dapat divaksinasi dengan OPV, data
menunjukkan hal itu pemberian OPV pada anak-anak dengan defisiensi imun kongenital dapat
mengakibatkan keterlibatan neurologis yang parah dan progresif (penyakit paralitik). Oleh
karena itu, vaksin virus polio yang tidak aktif (IPV) direkomendasikan untuk anak-anak yang
bergejala dan tidak bergejala. Selain itu, orang yang diimunisasi dengan OPV dapat
menumpahkan virus vaksin ke lingkungan mereka hingga saat ini satu bulan, akibatnya, orang
HIV-positif harus memiliki kontak terbatas dengan orang yang divaksinasi dengan OPV. Jika
OPV secara tidak sengaja diberikan kepada anggota rumah tangga atau kontak dekat lainnya dari
orang yang terinfeksi HIV, terlepas dari status imunisasi sebelumnya, kontak dekat antara
mereka harus dihindari selama satu bulan pasca vaksinasi. OPV tidak boleh diberikan kepada
ODHA, baik anak-anak atau orang dewasa, terlepas dari status kekurangan kekebalan mereka,
atau kepada anggota rumah tangga mereka atau kontak dekat lainnya.

4. Difteri, Tetanus, dan Pertusis (DTP)7

Untuk anak-anak yang terinfeksi HIV, terlepas dari status kekebalannya, vaksin DTP (dan
DT) adalah ditunjukkan pada jadwal dan dosis yang sama seperti untuk anak-anak yang tidak
terinfeksi HIV, termasuk penggunaannya dari bentuk pertusis aselular (DTaP) untuk booster atau
seri primer. Vaksin TT dan Td dapat diberikan kepada orang dewasa yang terinfeksi HIV
terlepas dari kekebalannya status, menggunakan jadwal dan dosis yang sama seperti untuk orang
dewasa yang tidak terinfeksi HIV. Perhatian khusus harus diberikan pada vaksinasi IDU dengan
TT atau Td untuk mencegah tetanus di mana tidak ada program pertukaran jarum suntik.

5. Hepatitis B7

Pasien yang terinfeksi HIV yang tidak memiliki penanda infeksi HBV atau penanda negatif
HBsAg harus divaksinasi.

 Vaksinasi hepatitis B harus dimulai dengan dosis konvensional (20 ug pada Bulan 0, 1, 2
dan 12 atau Bulan 0, 1 dan 6) untuk pasien dengan jumlah CD4> 500
 Dosis vaksin hepatitis B untuk anak adalah 10 ug.
 Pada pasien dengan jumlah CD4 200-500 sel / mm3 jadwal intensif direkomendasikan
(20 ug
 pada Bulan 0, 1, 2 dan 12)
 Pasien yang tidak merespons siklus pertama harus menerima dosis booster atau vaksinasi
baru siklus dengan 40 ug.
 Pasien dengan jumlah CD4 <200 harus yang tidak memakai ART pertama menerima
ART. Vaksinasi harus ditunda sampai pemulihan kekebalan yang signifikan secara klinis
telah tercapai, terutama setelah jumlah CD4 meningkat> 200.

6. Haemophilus influenzae type b (HiB)7

Secara umum, anak-anak yang lebih tua dari 2 tahun tidak memerlukan vaksinasi HiB,
karena kerentanan terhadap penyakit tergantung pada usia. Pada beberapa orang, organisme ini
menyebabkan infeksi invasif. Mode yang tepat menyerang aliran darah tidak diketahui, tetapi
sebelumnya infeksi virus atau mikoplasma di bagian atas saluran pernapasan dapat menjadi
faktor penyebab. Bakteri menyebar melalui aliran darah ke jauh situs dalam tubuh, meninges
pada khususnya. Anak-anak dan orang dewasa yang terinfeksi HIV berada pada risiko yang
meningkatuntuk penyakit HiB invasif karena imunosupresi dan karenanya harus divaksinasi.

Risiko masing-masing pasien untuk penyakit dan manfaat dari vaksinasi harus
dipertimbangkan sebelumnya memutuskan apakah akan divaksinasi. Di beberapa pengaturan,
insiden penyakit HiB mungkin lebih tinggi di antara Orang dewasa yang terinfeksi HIV
dibandingkan orang dewasa yang tidak terinfeksi HIV. Orang terinfeksi HIV yang sebelumnya
tidak divaksinasi yang berusia lebih dari 2 tahun yang berisiko invasive HiB harus diberikan
setidaknya satu dosis vaksin. Anak yang immunocompromised harus divaksinasi dengan dosis
dan jadwal yang sama seperti anak imunokompeten.
DAFTAR PUSTAKA

1. Darmadi, Ruslie RH. Diagnosis dan tatalaksana infeksi HIV pada neonates. Majalah
Kedokteran Andalas. Vol 36. 2012.
2. UNICEF. Prevent mother-tochild transmission of HIV. 2010. Diunduh dari
http://www.childinfo.org/hiv_aids_mother_to_child.html.
3. Widjajanti M. Evaluasi program Prevention of Mother to Child HIV Transmission
(PMTCT) di RSAB Harapan Kita Jakarta. Sari Pediatri Vol 14. 2012:167-72
4. Suradi R. Tatalaksana bayi dari ibu pengidap HIV/AIDS. Sari Pediatri Vol.4 No.4.
2003:180-5
5. Saputri LO, Niruri R, Kumara KD. Pelaksanaan intervensi pencegahan penularan HIV
dari ibu ke anak di RSUP Sanglah Denpasar tahun 2007-2011. Jurnal Farmasi Udayana.
2013:136-43
6. Valerian CM, Kemara KP, Megadhana IW. Tatalaksana infeksi HIV dalam kehamilan.
Jurnal Kedokteran Udayana. 2010
7. Europe WHO. Immunization of People Living with HIV and People at Risk of HIV
Infection. Clinical Protocol for the WHO European Region. WHO. 2014

Anda mungkin juga menyukai