Anda di halaman 1dari 5

BAYI DENGAN IBU HIV

Seorang neonatus yang mendapatkan eksposur HIV, seperti pada kondisi dilahirkan oleh ibu yang
mengidap infeksi HIV memiliki resiko untuk tertular virus tersebut. HIV dapat ditransmisikan
melalui darah dan cairan tubuh. Penularan HIV dari ibu ke anak dapat terjadi pada masa gestasi ,
persalinan maupun menyusui. Kejadian transmisi paling sering terjadi pada masa perinatal yang
mana terjadi pada 50-65% kasus. Penularan HIV dari ibu ke janin dapat terjadi pada trimester
pertama maupun kedua, yang dibuktikan dengan analisis virologi pada janin yang mengalami
abortus. Sekitar 20-30% transmisi HIV terjadi pada masa gestasi tersebut. Selebihnya, transmisi
dapat terjadi pada masa menyusui pada 12-20% kasus. 1
Resiko transmisi akan meningkat apabila viral load ibu pada saat melahirkan tinggi serta apabila
tidak dilakukan profilaksis antepartum dan atau postpartum. Selain itu, metode persalinan
pervaginam memiliki resiko transmisi HIV yang lebih tinggi dibandingkan dengan
persalinan sectio caesario.1
Kondisi lain yang meningkatkan resiko terjadinya transmisi HIV dari ibu ke anak antara lain adalah
wanita hamil yang mendapatkan antiretroviral antepartum dan intrapartum tetapi memiliki supresi
virus yang suboptimal saat persalinan, terutama apabila persalinan dilakukan pervaginam. Resiko
akan semakin tinggi apabila wanita hamil tersebut hanya mendapatkan antiretroviral intrapartum
saja atau bahkan tidak mendapatkan sama sekali. Selain itu, resiko penularan juga tinggi pada ibu
yang diketahui memiliki infeksi vius yang resisten terhadap ARV. 2
Resiko seorang bayi mendapatkan infeksi HIV dari ibu yang sudah terinfeksi akan kecil apabila
wanita tersebut mendapatkan regimen standar profilaksis ARV selama kehamilan dan persalinan
serta memiliki viral load yang tidak terdeteksi pada saat persalinan. Juga, pada bayi yang
mengalami persalinan dengan metode sectio cesario pada ibu hamil dengan viral load yang
rendah. 2
Diagnosis Infeksi HIV pada Neonatus yang Tereksposur HIV

Infeksi HIV dapat secara definitif didiagnosis pada usia 1 bulan menggunakan pemeriksaan
virologis pada sebagian besar neonatus yang tidak mendapatkan ASI.3Bayi sebaiknya menjalani tes
untuk infeksi HIV pada usia 4-6 minggu, 3 bulan dan 6 bulan sejak ibu diketahui terinfeksi HIV.
Pada bayi kurang dari 18 bulan, diagnosis HIV dilakukan dengan tes polymerase chain reaction
(PCR) DNA atau RNA HIV. 2
Antibodi serum maternal ditransmisikan melalui plasenta selama kehamilan. Antibodi tersebut
ditemukan pada bayi hingga usia 6-12 bulan. Pada masa tersebut, bayi sudah mengembangkan
antibodinya sendiri. Neonatus yang terlahir dari ibu yang mengidap HIV dapat menunjukan hasil
false positif pada pemeriksaan antibodi HIV.Pemeriksaan antibodi HIV dapat dilakukan pada bayi
yang sudah berusia 18 bulan atau lebih. Apabila selama masa pemberian profilaksis kemudian
dikonfirmasi terdapat infeksi HIV pada bayi tersebut, terapi profilaksis tersebut dihentikan. Tes
untuk mengetahui resistensi dilakukan dan regimen terapi kombinasi yang sesuai mulai diinisiasi. 2
PCR DNA HIV merupakan teknik pemeriksaan yang sensitif untuk mendeteksi DNA virus spesifik
pada sel mononuklear darah perifer. Spesifitasnya mencapai 99,8% pada saat kelahiran dan menjadi
100% pada umur 1,3,6 bulan. Sensitifitasnya pada saat kelahiran adalah sebesar 55%, tetapi dapat
naik hingga 90% pada usia 2-4 minggu dan 100% pada usia 3 hingga 6 bulan.3
Sementara itu, pemerikaan RNA HIV kuantitatif digunakan untuk mendeteksi RNA virus dalam
plasma. Spesifitasnya mencapai 100% pada saat kelahiran, usia 1, 3 dan 6 bulan. Jika kadar RNA
HIV <5000 kopi/ml, hasilnya belum dapat dipastikan. Oleh karena itu, sebaiknya diulang sebelum
menginterpretasikannya sebagai infeksi HIV pada neonatus. Sementara itu, sensitifitasnya
meningkat 25-58% selama minggu pertama pasca-persalinan, 89% pada usia 1 bulan dan
meningkat hingga 90-100% pada saat usia 2-3 bulan. 3
Kultur HIV tidak rutin digunakan untuk keperluan diagnosis, meskipun sensitifasnya serupa
dengan PCR DNA HIV. Kultur membutuhkan waktu yang lebih lama, yaitu sekitar 2-4 minggu
untuk hasil definitif. Selain itu, biaya pemeriksaannya lebih mahal. 3
Uji virologi untuk bayi yang terekspos HIV sebaiknya dilakukan pada usia 14-21 hari, usia satu
bulan dan usia 4-6 bulan. Tes diagnostik juga perlu dipertimbangkan pada saat kelahiran bayi
dengan resiko infeksi HIV yang tinggi dan 2-4 minggu pasca penghentian profilaksis untuk bayi
yang menerima regimen ARV kombinasi untuk neonatus. 3
Konfirmasi infeksi HIV didasarkan pada dua hasil virologi positif pada sampel darah yang berbeda,
usia berapa pun. Tes antibodi positif terhadap HIV dengan konfirmasi menggunakan western blot
(atau immunofluoresense –IFA assays) pada saat usia sudah lebih dari 18 bulan dapat
mengkonfirmasi terjadinya infeksi HIV, kecuali pada occasional late serokonverter.3
Jika neonatus tidak mendapatkan ASI, kemudian didapatkan tes virologi negatif sebanyak dua atau
lebih pemeriksaan (pertama pada usia ≥ 14 hari dan pada usia ≥ 4 minggu atau satu hasil negatif
pada pemeriksaan antibodi HIV pada usia ≥ 6 bulan, infeksi HIV secara presumptif dapat
disingkirkan.

Profilaksis untuk pneumocystis jiroveci pneumonia (PCP) direkomendasikan untuk neonatus


dengan status infeksi HIV yang masih indeterminate, mulai dari minggu ke 4-6 sampai ditentukan
tidak terinfeksi HIV baik secara presumptif maupun definitif.

Eksklusi definitif infeksi HIV pada neonatus yang tidak mendapatkan ASI berdasarkan pada dua
atau lebih hasil tes virologi negatif, satu pada usia ≥1 bulan dan satu pada usia ≥4 bulan. Dapat pula
ditentukan dengan 2 hasil negatif pada tes antibodi HIV pada spesimen yang terpisah pada usia ≥6
bulan. Untuk menegakan eksklusi presumtif atau definitif, bayi tidak boleh memiliki hasil
laboratorium lain yang mengarah pada HIV (seperti tes virologis positif, atau sel limfosit T
CD4 yang rendah) serta tidak menunjukan gejala klinis infeksi HIV. Selain itu, neonatus juga harus
tidak boleh sedang mengkonsumsi ASI dari ibu yang positif HIV.

Tes Virologis

Pada saat lahir, tes virologi dapat dipertimbangkan pada neonatus yang memiliki resiko tinggi
terjadi transmisi HIV perinatal. Resiko tinggi tersebut terutama terdapat pada kondisi ibu tidak
mendapatkan ARV prenatal, didiagnosis mengalami infeksi akut HV selama kehamilan, atau
memiliki viral load ≥1000 kopi/mL sebelum persalinan. Sekitar 30-40% neonatus yang terinfeksi
HIV dapat teridentifikasi dalam 48 jam pertama. Diagnosis yang tepat penting untuk menentukan
menghentikan profilaksis ARV dan memulai terapi ARV standar sejak awal.3
Neonatus yang memiliki hasil virologi positif dalam 48 jam pertama kelahiran dapat disimpulkan
mengalami infeksi intrauterine (early) sedangkan yang memiliki tes virologi negatif pada minggu
pertama kehidupan tetapi kemudian positif kemungkinan infeksi terjadi intrapartum atau
setelahnya (late). Beberapa penelitian menyebutkan bahwa neonatus dengan early infection dapat
mengalami progres penyakit yang lebih cepat daripada yang late infection sehingga perlu terapi
yang lebih agresif.

Sensitifitas tes virologi meningkat pada minggu kedua kelahiran. Dengan identifikasi awal adanya
infeksi, profilaksis ARV dapat segera dihentikan untuk kemudian dilakukan inisiasi terapi ARV.
Apabila dalam satu bulan pertama didapatkan hasil tes virologi negatif, pada usia 1 hingga dua
bulan, bayi sebaiknya dites kembali. Penggunaan zidovidune sebagai profilaksis tunggal pada
antepartum, intrapartum dan neonatal tidak menunda deteksi kultur HIV pada neonatus. Namun,
pada profilaksis kombinasi, hasilnya dapat berbeda.

Jika selama pemberian profilaksis kombinasi didapatkan hasil negatif, perlu dipertimbangkan
untuk dilakukan pemeriksaan virologi pada 2 hingga 4 minggu pasca penghentian profilaksis. Pada
kondisi tersebut, pemeriksaan pada usia 1 hingga 2 bulan dapat ditunda hingga masa profilaksis
selesai.

Supaya dapat dilakukan eksklusif definitif, bayi terekspos HIV yang sudah menunjukan hasil
negatif pada pemeriksaan virologi di usia 14-21 hari dan pada usia 1-2 bulan, tidak ada tanda klinis
infeksi HIV dan tidak mendapatkan ASI perlu untuk dites kembali pada usia 4 hingga 6 bulan.

Setelah dikonfirmasi tidak mengalami infeksi HIV melalui tes virologis, tetapi belum pernah
dikonfirmasi dengan hasil negatif pada dua pemeriksaan antibodi, seorang bayi perlu untuk
menjalani tes serologi antara bulan ke-12 hingga 18. Hal tersebut bertujuan untuk memastikan
bahwa antibodi HIV maternal yang ditranfer di dalam uterus sudah menghilang. Rata-rata
serokonversi terjadi dalam 13,9 bulan. Namun, ada pula sebagian yang mengalami serokonversi
lebih lambat, sekitar 18 bulan.

Terapi dengan Antiretroviral

Segera setelah lahir, neonatus yang terekspos HIV harus mendapatkan terapi antiretroviral,
termasuk bayi yang lahir dari ibu yang sudah mendapatkan regimen ARV standar, viral load yang
rendah serta persalinan dengan sectio cesario. Regimen yang digunakan adalah zidovudin, selama
6 minggu pertama. Penggunaan ARV oleh ibu juga perlu dilanjutkan baik untuk kesehatannya
sendiri maupun pencegahan penularan.2,4
Dosis yang diberikan tergantung pada usia gestasi dari neonatus tersebut. Apabila usia gestasi ≥35
minggu, dosis zidovudin adalah 4 mg/kgBB/dosis yang diberikan peroral, dua kali sehari. ARV
tersebut diberikan sesegera mungkin, dalam 6-12 jam setelah persalinan. Jika tidak dapat
mentoleransi pemberian secara oral, dapat diberikan secara iv dengan dosis 3 mg/kgBB/dosis
dalam 6-12 jam pascapersalinan, kemudian diberikan setiap 12 jam.2
Pada bayi yang terlahir pada usia gestasi antara 30-34 minggu, dosis yang diberikan adalah 2
mg/kgBB/dosis peroral atau 1,5 mg/kgBB/dosis iv. Pada saat usia 15 hari, dosis dapat ditingkatkan
hingga 3 mg/kgBB/dosis PO atau 2,3 mg/kgBB/dosis IV. Sementara itu, pada neonatus dengan usia
gestasi kurang dari 30 minggu, dosis awal sama, yaitu 2 mg/kgBB/disis PO atau 1,5 mg/kgBB/dosis
IV, yang ditingkatkan hingga 3 mg/kgBB/dosis PO atau 2,3 mg/kgBB/dosis IV setiap 12 jam
sesudah usia 4 minggu.2
Apabila profilaksis dengan antiretroviral antepartum tidak diberikan pada si ibu saat hamil atau
hanya dilakukan profilaksis pada saat persalinan saja, dilakukan pemberian tambahan ARV yang
juga diinisiasi segera setelah persalinan. Sebagai tambahan zidovudin, diberikan nevirapine (NVP)
sebanyak 3 dosis. Dosis pertama dibeikan dalam 48 jam pasca persalinan. Dosis kedua diberikan
setelah 48 jam dosisi pertama. Dosis ketiga diberikan setelah 96 jam dosis kedua diberikan. Bayi
dengan berat lahir antara 1,5-2 kg, mendapatkan total 8 mg untuk masing-masing dosis sedangkan
mereka dengan berat lahir >2kg mendaptkan total 12 mg untuk masing-masing dosis. 5
Sementara itu, untuk bayi dari ibu dengan virus yang resisten, saat ini belum ada regimen
profilaksis optimal yang diketahui. Saat ini, dalam metode yang direkomendasikan, zidovudine
tetap diberikan. Pada beberapa studi didapatkan bahwa virus dapat mengalami penurunan kapasitas
replikatif (penurunan kekuatan virus) dan kemampuan untuk transmisi. Meskipun begitu, kejadian
transmisi virus yang resisten obat ARV tetap masih ada.

Secara garis besar, untuk anak di bawah usia 1 tahun, semua individu dengan HIV ditatalaksana
dengan ARV. Begitu juga dengan balita, yang mana jika memungkinkan tetap diterapi dengan
ARV. Hanya saja, prioritas pemberian ARV adalah pada balita kurang dari 2 tahun atau hitung
CD4 ≤750 sel/mm3 (atau <25%) atau dengan WHO stage 3 atau 4. Sementara itu, untuk anak usia
> 5 tahun, ARV diberikan apabila anak menunjukan gejala klinis sesuai WHO stage 3 atau 4 atau
CD 4 ≤500 sel/mm3(prioritas apabila CD4 ≤350 sel/mm3).5
Regimen ARV yang diberikan untuk anak usia <3 tahun adalah ABC (atau AZT) + 3TC+LPV/r
dengan alternatif kombinasi antara ABC+ 3TC + NVP atau AZT + 3TC + NVP. [ABC= abacavir;
AZT: zidovudine; 3TC: lamivudine; LPV/r: lopinavir; NVP: nevirapine].5
Berikut ini adalah dosis ARV yang direkomendasikan untuk anak-anak menurut Pediatric
Antiretroviral Working Group pada guideline terapi ARV dari WHO tahun 2013. 5

Tabel 1 Dosis Regimen ARV yang Sudah Disederhanakan untuk Anak

Keamanan Antiretroviral untuk Profilaksis pada Neonatus

Ternyata, pada neonatus, toksisitas yang berkaitan dengan pemberian zidovudine sebagai
profilaksis sangat minimal. Salah satu toksisitas yang dapat terjadi antara lain adalah toksisitas
hematologis sementara, yang paling utama adalah anemia. Kejadian anemia tersebut secara umum
akan membaik pada usia 12 minggu. Sementara itu, pada pemberian multidrug,belum ada data yang
cukup untuk dapat menyimpulkan toksisitas terhadap neonatus.2
Pemberian Nutrisi pada Bayi dengan Ibu yang Diketahui Mengalami Infeksi HIV pada Masa
Postpartum

HIV dapat mengalami transmisi melalui ASI. Resiko penularan tergantung pada faktor ibu dan
bayi, termasuk viral load dan hitung CD4 ibu. Wanita dengan viral load yang terdeteksi memiliki
kecenderungan untuk mentransmisikan HIV dibandingkan yang tidak terdeteksi. Infeksi HIV juga
dapat terjadi pada bayi yang mendapatkan ASI dari wanita yang mengalami infeksi HIV pada masa
menyusui meski pada saat hamil dan melahirkan wanita tersebut masih belum terinfeksi. Bukti lain
yang menunjukan transmisi HIV melalui ASI adalah terdapat kemungkinan terjadinya infeksi pada
bayi yang menyusui dari ibu susu-an atau donor ASI yang terinfeksi HIV meskipun ibu kandungnya
tidak terinfeksi HIV.6
Pemberian ASI harus segera dihentikan hingga infeksi dikonfirmasi atau disingkirkan pada
wanita yang sedang menyusui pada saat didiagnosis atau dicurigai mengalami infeksi HIV.
Selain menghentikan pemberian ASI, saat ini strategi optimal untuk manajemen bayi yang
ibunya terdiagnosis HIV saat masa menyusui masih belum ada. Namun, saat ini metode yang
sering digunakan antara lain adalah pemberian profilaksis untuk bayi selama 4-6 minggu
pasca penghentian pemberian ASI. 4
Bayi yang mendapatkan makanan selain ASI selama 6 bulan pertama kehidupan mengalami
peningkatan resiko morbiditas dan mortalitas dari air yang tidak bersih, penyiapan dan
penyimpanan susu formula yang tidak adekuat, serta sanitasi yang buruk terutama pada tingkat
ekonomi menengah ke bawah. 4
Sayangnya, kondisi sosial, ekonomi dan kultural membuat pemberian makanan pengganti ASI
tidak selalu bisa diterapkan di seluruh dunia. Oleh karena itu, pada tahun 2006, WHO
merekomendasikan seorang wanita untuk memilih antara memberikan ASI eksklusif selama 6
bulan atau memberikan pengganti ASI selama 6 bulan apabila acceptable, feasible, affordable,
sustainable dan safe. 4
Selain itu, perlu diperhatikan pula beberapa hal terkait tidak dapat diberikannya ASI pada seorang
bayi baru lahir. Yang paling utama adalah kandungan nutrisi. Nutrisi pada ASI sudah cukup untuk
memenuhi kebutuhan bayi, ditambah dengan kandungan zat imunologis. Oleh karena itu, makanan
pengganti ASI juga harus dipilih dan disediakan sehingga jenis dan jumlahnya dapat menjadi
sumber nutrisi yang cukup untuk bayi.

Penyiapan dan penyimpanan susu harus diperhatikan supaya tidak terjadi infeksi bakteri. Harga
susu formula yang mahal juga seringkali memberi masalah akan kemampulaksanaan pemberian
susu secara kontinyu. Biaya tambahan juga harus dikeluarkan untuk menjaga kebersihan (alat-alat
kebersihan). Efek kontrasepsi pada masa pemberian ASI eksklusif menjad tidak ada sehingga
perencanaan untuk mendapatkan anak kembali perlu diinisiasi sedini mungkin. Wanita yang tidak
menyusui dapat kembali hamil sejak 6 minggu pascapersalinan jika tidak mengunakan kontrasepsi.
Selain itu, pencegahan dan penanganan masalah payudara juga harus diperhatikan. Tidak
diberikannya ASI dapat menyebabkan payudara mengalami mastitis. 6
Daftar Pustaka

1. Bennet NJ. HIV Disease. 2013. Diunduh dari http://emedicine.medscape.com/ article/211316-


overview. Diakses 18 januari 2018.
2. Recommendations for Use of Antiretroviral Drugs in Pregnant HIV Infected Women for Maternal
Health and Interventions to Reduce Perinatal HIV Transmission in the United States: Post Partum
Care. 2013. Diunduh dari http://aidsinfo. nih.gov/guidelines/html/3/perinatal-
guidelines/187/infant-antiretroviral-prophylaxis. Diakses 18 januari 2018.
3. Guidelines for the Use of Antiretroviral Agents in Pediatric HIV Infection: Diagnosis of HIV
Infection in Infants and Children. Diunduh
dari http://aidsinfo.nih.gov /guidelines/html/2/pediatric-arv-guidelines/55/diagnosis-of-hiv-
infection-in-infants-and-children. Diakses 18 januari 2018
4. Sint TT, Lovich R, Hammond W, Kim M, Melillo S, Lu L, dkk. Challenges in Infant and Young Child
Nutrition in The Context of HIV. AIDS. 2013, 27(Suppl2):S169–S177.
5. WHO. Consolidated Guidelines on the Use of Antiretroviral Drugs for Treating and Preventing HIV
Infection. London: World Health Organization; 2013. p. 100-8, 234-5.
6. HIV and Infant Feeding: Infant and Young Child Feeding in The Context of HIV. China: World
Health Organization; 2003. P.5-7.

Anda mungkin juga menyukai