Anda di halaman 1dari 77

TUGAS KELOMPOK EPIDEMIOLOGI KESEHATAN REPRODUKSI

“Review Jurnal/Artikel Tahapan Melakukan Studi Epidemiologi


dalam Lingkup Kespro”

Disusun Oleh:
KELOMPOK 2

Afifah Salsabila 2011211047


Fadilla Rahmi Arianti 2011211045
Putriani Tambunan 2011211008
Roseta Nasywa Yuliza 2011212078
Shylvi Yunitri Darman 2011213019

Dosen Pengampu:
Anggela Pradiva Putri, S.KM., M.KM

PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS ANDALAS
2023
JURNAL 1
HIV/AIDS epidemiology, pathogenesis, prevention, and treatment

1. Pemantauan & Pengumpulan Data


Diperkirakan 38,6 (33,4-46,0) juta orang hidup dengan HIV-1 di seluruh dunia,
sementara sekitar 25 juta telah meninggal. Pada tahun 2005 saja, ada 4,1 juta infeksi
HIV-1 baru dan 2,8 juta kematian AIDS. Penularan heteroseksual tetap menjadi cara
penularan yang dominan dan menyumbang sekitar 85% dari semua infeksi HIV-1.
Afrika Selatan tetap menjadi pusat pandemi dan terus memiliki tingkat infeksi HIV-1
baru yang tinggi.
2. Analisis Deskriptif Dan Spasial
Berdasarkan susunan genetik mereka, virus HIV-1 dibagi menjadi tiga
kelompok (misalnya, kelompok M [utama], N, dan O). Kelompok HIV-1 dan HIV-2 ini
mungkin hasil dari peristiwa penularan lintas spesies yang berbeda. Pandemi HIV-1
telah terdiversifikasi menjadi setidaknya sembilan subtipe dan banyak bentuk
rekombinan yang beredar, yang menjadikan struktur genetik dari dua atau lebih subtipe
(misalnya, A / E = CRF01; A/G=CRF02). Keragaman virus HIV-1 yang terus
berkembang menimbulkan tantangan besar bagi pengembangan intervensi pencegahan
atau terapeutik.
Gambar 1. HIV-1 adalah retrovirus yang mengkode tiga gen struktural (Gag, Pol, dan
Env)

3. Identifikasi Faktor Risiko

Melakukan studi atau analisis tambahan untuk mengidentifikasi faktor risiko


yang berhubungan dengan penularan virus HIV/AIDS. Studi tentang peristiwa awal
yang terjadi setelah HIV-1 menembus penghalang mukosa menunjukkan adanya
periode jendela di mana propagasi virus belum terbentuk dan pertahanan inang
berpotensi mengendalikan ekspansi virus. Co-reseptor penting untuk infeksi HIV-1
adalah dua reseptor kemokin — CCR5 dan CXCR4. Terlepas dari rute penularan,
sebagian besar infeksi baru dibentuk oleh varian virus yang mengandalkan penggunaan
CCR5. Virus CXCR4-tropik umumnya muncul pada tahap akhir infeksi dan telah
dikaitkan dengan peningkatan patogenisitas dan perkembangan penyakit.
4. Intervensi Dan Pencegahan
Memahami mekanisme yang mengarah pada perlindungan atau pengendalian
infeksi jangka panjang akan memandu pengembangan vaksin dengan memberikan
korelasi perlindungan. Resistensi alami terhadap infeksi HIV-1 jarang terjadi dan sangat
bervariasi antar individu. Dua kelompok — non-progresif jangka panjang dan individu
seronegatif persisten yang sangat terpapar — telah dipelajari secara luas untuk
mengidentifikasi faktor penentu pelindung bawaan dan diperoleh. Faktor resistensi
inang terdiri dari haplotipe human leucocyte antigen (HLA), autoantibodi, mutasi di
daerah promotor, dan daerah pengkodean co-reseptor CCR5 dan CCR2, serta up-
regulasi produksi kemokin.
Intervensi berbasis ARV jangka pendek efektif dalam pencegahan penularan
dari ibu ke anak. Namun, intervensi ini dapat menghasilkan varian virus yang resistan
terhadap obat pada ibu, bayi, atau keduanya. Sekitar setengah dari wanita yang
menerima satu dosis nevirapine untuk mencegah penularan dari ibu ke anak
mengandung virus yang resisten terhadap non-nucleoside reverse transcriptase inhibitor
(NNRTI). Virus resisten ini bereplikasi secara efisien dan dapat ditularkan oleh ASI,
dan populasi resisten minor yang hadir lama setelah intervensi mungkin dapat
menurunkan efektivitas rejimen pengobatan berbasis NNRTI berikutnya. Kombinasi
zidovudine jangka pendek, lamivudine, dan nevirapine mencegah penularan peripartum
sekaligus mengurangi risiko virus resisten nevirapine.
5. Pelacakan Kontak Dan Pengobatan
Diagnosis infeksi HIV-1 didasarkan pada deteksi antibodi spesifik, antigen, atau
keduanya, dan banyak kit komersial tersedia. Tes serologis umumnya digunakan untuk
skrining. Kemajuan besar adalah ketersediaan tes antibodi HIV-1 cepat. Tes ini mudah
dilakukan dan memberikan hasil hanya dalam 20 menit, memungkinkan pengumpulan
spesimen dan diagnosis yang tepat pada kunjungan yang sama. Tes cepat adalah alat
penting untuk pengawasan, skrining, dan diagnosis, dan dapat diandalkan dilakukan
pada plasma, serum, darah utuh, atau air liur oleh penyedia layanan kesehatan dengan
sedikit keahlian laboratorium.
6. Evaluasi Dan Pemantauan
Munculnya resistensi obat adalah alasan paling umum untuk kegagalan
pengobatan. Kepatuhan yang tidak memadai, efek samping obat, atau interaksi obat-
obat dapat menyebabkan konsentrasi obat suboptimal, yang mengakibatkan rebound
virus. Resistensi virus telah dijelaskan untuk setiap obat antiretroviral dan karena itu
menimbulkan masalah klinis dan kesehatan masyarakat yang serius.
HIV / AIDS adalah epidemi luar biasa yang menuntut respons luar biasa. Banyak
kemajuan telah dibuat dalam waktu singkat, meskipun banyak tantangan ilmiah dan
program. Dengan tidak adanya vaksin pelindung atau obat, pencegahan dan akses ke
perawatan antiretroviral adalah pilihan terbaik untuk memperlambat pandemi HIV-1.
Implementasi yang luas dari prinsip-prinsip ini membutuhkan peningkatan infrastruktur
di daerah-daerah yang terbatas sumber daya, yang telah dan akan terus menjadi yang
paling terpengaruh. Fakta bahwa HIV-1 sebagian besar ditularkan secara seksual dan
secara tidak proporsional mempengaruhi populasi yang sudah terpinggirkan secara
sosial atau ekonomi, atau keduanya, menimbulkan banyak tantangan etika, sosial,
ekonomi, dan politik.
Gambar 2. Pengamatan terpilih, perkembangan ilmiah, dan pilihan pengobatan yang
berkaitan dengan HIV-1 / AIDS
JURNAL 2
Analisis Penyebab Kematian Perinatal di Kabupaten Garut

1. Pemantauan & Pengumpulan Data


Secara global, sekitar 136 juta kelahiran terjadi setiap tahun, sekitar 3,7 juta
meninggal selama neonatal dan 3,3 juta yang lahir mati. Lebih dari 6,3 juta kematian
perinatal terjadi di seluruh dunia. Angka kematian perinatal lima kali lebih tinggi di
negara berkembang. Sekitar 98% kematian perinatal terjadi di negara-negara
berkembang dan 27% pada negara-negara maju. Angka Kematian perinatal tertinggi
terjadi di Afrika yaitu 62 kematian per 1000 kelahiran, terutama di Afrika Tengah
yaitu 75 per 1000 kelahiran dan Afrika Barat yaitu 76 per seribu kelahiran, sedangkan
di Asia, angka kematian didapatkan 50 per 1000 kelahiran, dengan 65 per 1.000
kelahiran di Asia Selatan dan Asia Tengah.
2. Analisis Deskriptif Dan Spasial
Kabupaten Garut berdasarkan karakteristik topografi terdiri dari daerah yang
beragam yang memungkinkan sulitnya pelaksanaan proses rujukan ke fasilitas
pelayanan kesehatan lanjut. Ditinjau dari segi budaya, angka pernikahn usia dini di
Kabupaten Garut masih tergolong tinggi. Ditinjau dari segi pendidikan sebagian besar
masyarakat pendidikannya adalah selevel kelas satu SMP. Ditinjau dari segi sosial
ekonomi Kabupaten Garut didapatkan sekitar 12,22% masyarakat dengan tingkat
ekonomi yang rendah (masyarakat miskin), hal ini lebih besar dari angka nasional
maupun angka Jawa Barat. Di Kabupaten Garut ditemukan bahwa persoalan serius
tentang kesehatan bayi baru lahir terganjal oleh pengetahuan, sikap dan praktek
masyarakat yang masih menganut keyakinan turun temurun.
Dari 10 kecamatan di kabupaten Garut, salah satu bukti perilaku yang sulit
diubah adalah 56% ibu lebih memilih pergi ke dukun bayi (paraji) untuk
memeriksakan kehamilannya, pertolongan persalinan, dan asuhan bayi baru lahir.
Persepsi sebagian dari mereka, paraji adalah tempat pertolongan untuk persalinan
lancar dan norma, sementara tenaga kesehatan untuk pertolongan persalinan yang
bermasalah atau komplikasi. Keadaan ini imbuhnya akan terus berlangsung selama
tingkat kepercayaan masyarakat terhadap hal yang merugikan kesehatan masih tinggi,
sehingga hal ini berkontribusi terhadap meningkatnya kasus kematian perinatal yang
dapat dicegah di Kabupaten Garut.
3. Identifikasi Faktor Risiko
Melakukan studi atau analisis tambahan untuk mengidentifikasi faktor risiko
yang berhubungan dengan faktor kemayian perinatal. Beberapa studi menyebutkan
sebagian besar faktor kematian perinatal yang dapat dicegah seperti faktor tenaga
kesehatan, faktor pasien, faktor transportasi/rujukan dan faktor administrasi. Faktor
pasien lebih dipengaruhi oleh kondisi maternal seperti karakteristik ibu diantaranya
umur, paritas, jarak kehamilan, penyakit penyerta serta faktor bayi seperti kelainan
bawaan yang dibawa sejak kehamilan. Faktor petugas lebih dipengaruhi oleh
kompetensi dari petugas kesehatan. Faktor ketersediaan fasilitas kesehatan lebih
dipengaruhi oleh ketersediaan darah, alat dan obat di fasilitas pelayanan kesehatan
rujukan.
4. Intervensi dan pencegahan
Penyakit penyerta pada ibu sering mengorbankan keselamatan bayi, artinya
untuk menyelamatkan nyawa ibu pada saat hamil dan bersalin terminasi kehamilan
harus dilakukan sedangkan bayi secara fisik belum siap untuk dilahirkan sehingga
risiko terjadinya permasalahan dan kematian perinatal sangat tinggi. Intervensi yang
berfokus pada pendidikan kesehatan pada masa antenatal, screening yang tepat, serta
pemantauan dan pengelolaan kondisi ibu selama periode antenatal harus diperkuat.
Kehadiran dokter pada setiap kelahiran baik pada kondisi normal maupun pada
kondisi kegawatdaruratan perinatal, hal ini penting untuk memastikan awal
kelangsungan hidup bayi dan menghindari faktor-faktor risiko potensial untuk
kematian.
5. Pelacakan kontak dan pengobatan
Keterlambatan penanganan kegawatdaruratan baik pada maternal maupun
perinatal dapat disebabkan oleh kesiapan sarana dan prasarana, kesiapan petugas baik
dari fasilitas kesehatan tingkat pertama maupun tingkat lanjutan. Kesiapan fasilitas
dan kompetensi penolong menjadi hal sangat utama dalam penyelamatan ibu dan
bayi. pertolongan persalinan harus dilakukan oleh tenaga kesehatan seperti dokter,
bidan dan perawat serta harus didukung oleh ketersediaan fasilitas yang lengkap dan
memadai sehingga hal ini sangat penting untuk menurunkan kematian ibu dan bayi.
6. Evaluasi dan pemantauan
Melakukan pemantauan dan evaluasi program intervensi secara berkala untuk
mengukur efektifitasnya dalam mengurangi kasus kematian maternal dan perinatal di
kabupaten garut.
JURNAL 3

Analisa Epidemiologi Kesehatan Reproduksi Berdasarkan Profil Kesehatan Kota DKI


Jakarta

1. Masalah Berdasarkan Data Profil Kesehatan Kota DKI Jakarta


Kondisi anemia dapat meningkatkan risiko kematian ibu pada saat melahirkan,
melahirkan bayi dengan berat badan lahir rendah, janin dan ibu mudah terkena infeksi,
keguguran, dan meningkatkan risiko bayi lahir prematur.
Untuk melindungi ibu hamil dari kekurangan gizi dan mencegah terjadinya anemia gizi
besi maka perlu mengonsumsi tablet tambah darah yang sesuai dengan kebutuhan
ibu hamil, dalam pemberian tablet tambah darah ini harus ada keterpaduan dan
Pembinaan melalui komunikasi, informasi, dan edukasi, pemberdayaan,masyarakat,
monitoring, evaluasi, bimbingan teknis, serta supervisi
Sebanyak 222,298 orang Ibu Hamil yang terdata di Puskesmas di seluruh wilayah
Kab/Kota Provinsi DKI Jakarta yang mendapatkanFe 1sebanyak 220.270 orang atau
sebesar 99,09%. Masalahnya adalah pada target pemberian Fe3 masih adanya Cakupan
yang terendah yaitu pada Ibu Hamil di Wilayah JakartaPusat yakni sebesar 88,95%
persen, dimana wilayah lain sudah mencapai prosentase diatas 90%.

2. Analisis Data Berdasarkan Time Place Person


A. Time (Waktu)
Akibat yang ditimbulkan karena defisiensi anemia gizi besi pada ibu hamil
memiliki waktu(Fluktuasi Jangka Pendek) yakni terjadinya kesakitanmaupun
kematian pada ibu dan bayi dapat terjadi pada saat kehamilan,persalinan dan nifas.
Akibat anemia dapat terjadi gangguan dan bentuk Abortus, Terjadi kematian intra
uteri, Persalinan prematur tinggi, Berat Badan Lahir Rendah (BBLR), Kelahiran
dengan anemia, Dapat terjadi cacat bawaan, Bayi mudah mendapat infeksi sampai
kematian perinatal.

B. Place (Tempat)
Secara geografisProvinsi DKI Jakartaberbatasan dengan Provinsi Banten di
sebelah barat, Provinsi Jawa Barat di sebelah timur dan selatan, serta Laut Jawa di
sebelah utara. Penduduk yangbermukim didaerah padat memiliki pola perilaku yang
belum sehat hal ini disebabkan beberapa faktor seperti lingkungan yang tidak sehatdan
kepadatan penduduk. Masalah kemiskinan merupakanpermasalahan yang kompleks
dan bersifat multidimensional, oleh karena itu upaya pengentasan kemiskinan harus
dilakukan secara komprehensif, mencakupberbagai aspek kehidupanmasyarakat dan
dilaksanakan secara terpadu.
C. Person (Orang)
Orang Dalam hal ini adalah Ibu hamil yangmendapatkan tablet tambahdarah,
ideal umur: Dalam kurun reproduksi sehat dikenal bahwa usia aman untukkehamilan
dan persalinan adalah 20 – 30 tahun.Kematian maternal pada wanita hamil dan
melahirkan pada usia dibawah 20 tahun ternyata 2-3 kali lebih tinggi daripada
kematian maternalyang terjadi pada usia 20-29 tahun. Kematian maternal meningkat
kembali sesudahusia 30-35 tahun.

(Wiknjosastro, 2006).

3. Tinjauan Epidemiologi (Dampak) dari Masalah Berdasarkan Aspek


Akademik, Klinik, Praktis, dan Administrasi
A. Aspek Akademik
Data cakupan Tablet Tambahdarah yang tersaji dalam Profil Kesehatan DKI
Jakarta tidakdi ikuti dengan data prevalensi anemia pada ibu hamil yang ada di DKI
Jakarta.
Meskipun ditemukan data tentang jumlah persentase penanganganan komplikasi
kebidanan dan komplikasi neonatal, namun tidak ada penjelasan/data tentang
diagnosa yang di alamai dalam komplikasi, sehingga tidakdapat dianalisis apakah
cakupan yang tercapai secara significant dapat menurunkan komplikasi yang terjadi
akibatanemia pada ibu hamil tersebut.
B. Aspek Klinik
Data Cakupan Tablet tambahdarah dalam profil KesehatanDKI Jakarta juga
tidak di ikuti data prevalensi anemia pada ibu hamil pada tahun sebelum maupun
setelah cakupan terlaksana sesuai target. Sehingga sulit untuk dianalisa apakah
cakupan yang sesuai target tersebut secara significant telah menurunkan prevalensi
anemia pada ibuhamil di DKI Jakarta atau tidak. Selain itu data yang disajikanhanya
berdasarkan data ibuhamil yang tercatat di PUSKESMAS saja, sedangkan difasilitas
layanan kesehatanlainnya tidak ada.
C. Aspek Praktis
Menurut Agragawal S bahwa penyebab utama anemia adalah gizi dan infeksi.
Di antara faktor gizi yangberkontribusi terhadap anemiaadalah kekurangan zat besi.
Hal ini karena konsumsi makanan yang monoton, namun kaya akan zat yang
menghambat penyerapan zat besi (phytates) sehingga zat besi tidak dapat
dimanfaatkan oleh tubuh, Kekurangan zatbesi juga dapat diperburuk oleh status gizi
yang buruk, terutama ketika dikaitkan dengan kekurangan asam folat, vitamin A atau
B12, berkaitan dengan penyakitinfeksi, malaria dan kecacingan merupakan
penyebab anemia, terutama di daerah endemik.
D. Aspek Administrasi
Data Cakupan Fe pada ibu hamil pada profil kesehatan DKI Jakarta secara
administrasi kurang terpenuhi karena tidak didapatkan data status kesehatan ibu hamil
yang telah diberi Fe, tidak terdapat data apakahpemberian Fe efektif dan efisien dalam
pencegahananemia pada ibu hamil.

4. Faktor Khusus yang Berpengaruh Pada Kejadian Anemia Pad aIbu


Hamil
A. Status Kesehatan (Gizi danPenyakit)
• Status gizi ibu hamil dipengaruhi oleh berbagai faktor karena pada
masa kehamilan banyak terjadi perubahan pada tubuhnya yaitu adanya
peningkatan metabolisme energi dan juga berbagai zat gizi yang
diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangan janin yang ada
dalam kandungannya. Selain jarak kehamilan, faktor biologis lainnya
yang dapat mempengaruhi KEK pada ibu hamil adalah usia dan
paritas.
B. Tingkat Pendidikan(Pengetahuan ibu hamil dan keluarga tentang anemia dalam
kehamilan dan manfaat tablet tambah darah bagi kesehatan)
• Pendidikan dapatmempengaruhi sesesorang, termasuk
juga perilaku seseorang akan pola hidup, terutama dalam memotivasi
untuk sikap berperan serta dalam pembangunan. Makintinggi tingkat
pendidikanseseorang, maka makin mudah menerima informasi.
C. Praktek Budaya
• Masalah kematian maupun kesakitan pada ibu dan anak sesungguhnya
tidak terlepas dari faktor-faktor sosial budaya danlingkungan dalam
masyarakat dimana mereka berada. Disadari atau tidak, faktor-faktor
kepercayaan dan pengetahuan budaya seperti konsepsi-konsepsi
mengenai berbagai pantangan, hubungan sebab-akibat antaramakanan
dan kondisi sehat-sakit.
D. Sarana dan Prasarana
Pemerintah DKI Jakarta Memantapkan pengelolaan prasarana dan
saranakesehatandengan meningkatkanpembangunan dan pemeliharaansarana
dan prasarana kesehatan melalui optimalisasi sumber- sumber pembiayaan
pemerintah,swasta dan masyarakat.

5. Analisis Faktor-Faktor Yang Berpengaruh dan atau Berhubungan dengan


Anemia Ibu Hamil dan Cakupan Pemberian
A. Man
• Tenaga Kesehatan, kurang KIE manfaat Fe dan cara mengkonsumsinya dalam
pemberian Fe belum mengevaluasi kualitaskonsumsi Fe.
• Ibu hamil dan Keluarga, kurangpengetahuan akan manfaat konsumsi Fe
bagi kesehatanibu dan kesehatan bayinya hal inijuga dipengaruhi kondisi
padatnya penduduk dan kesulitan ekonomi terutama di Jakarta Pusat.
• Pemerintah, belum mempuyai basic data ibu hamil yang berisi kondisi
kehamilan, termasuk data kadar HB dan pemberian Fe, dalam sistem informasi
kesehatanyang di integrasikan ke seluruh layanan kesehatan yang ada diDKI
Jakarta
B. Motivation
• Kurangnya ke pedulian peransebagai tenaga kesehatan dalam program
pencegahan anemia pada ibu hamil dan dampaknya melalui pemberian tablet
tambah darahbagi ibu hamil.
• Dukungan suami/keluarga kurangdalam mengkonsumsi tablet tambah darah
bagi ibu hamil dan konsumsi makanan bergizi lainnya.
C. Mental/Commitment
• Kurangnya komitmen terhadap program program pencegahananemia pada ibu
hamil dan dampaknya melalui pemberian tablet tambah darah bagi ibu hamil.
D. Method
• Data prevalensi anemia pada ibu hamil dan komplikasi obstetri akibat
anemia tidak lengkap.
• Penyuluhan mengenai konsumsi Fe dan zat gizi lain kurang
informatif.
• Kunjungan rumah oleh tenaga kesehatan kurang untukmengevaluasi
konsumsi tablet tambah darah maupun untuk memeberikan tablet
tambahdarah bagi ibu hamil yang tidak hadir ke layanan kesehatan.
• Kurang kerjasama dari sektorlain
E. Money
• Pendapatan Masyarakat kurang terutama untuk pemenuhan kebutuhan gizi
yang sesuai bagi kesehatanibu hamil.
• Dana untuk program pemberian tablet tambah darah yang telah
dialokasikan oleh pemerintah perlu dikaji ulang.
• Diperlukan dana untuk evaluasi efektifitas program terhadap kejadian
anemia pada ibu hamil.
F. Material
• Sarana Penyuluhan kurang.
• Transportasi kurang.
• Kader kurang.
G. Market
• Seluruh Ibu hamil baik yang melakukan ANC di puskesmasmaupun disarana
pelayanan kesehatan lainnya.
H. Machine/Equipment
• Keterbatasan tenaga kesehatankesehatan dalamevaluasi konsumsi tablet tambah
darah.
I. Media
• Belum ada sisitim informasi ibu hamil yang bisa diakses tenaga kesehatan
pemberilayanan anc di seluruh fasyankes di dki Jakarta.
• Kurang sosialisasi dan pemanfaatan mediaelektronik,cetak, poster.
J. Environtment
• Gerakan Sayang Ibu tidakterevaluasi keberlanjutannya.
• Lingkungan/pemukiman padat/kumuh.
• Lingkungan tidak sehat dengan perilaku hidup bersih yang masih kurang
6. Dilakukan Sehubungan denhan Masalah Anemia Ibu Hamil dan cakupan
Pemberian Tablet Tambah Darah Pada Ibu Hamil
A. Pembinaan gizi masyarakat melalui prioritas pada ibu hamil dari keluarga sangat
miskin maupun miskin, memanfaatkan makanan lokal sebagai PMT pemulihan,
penyuluhan serta melakukanpendidikan dan konseling gizi.
B. Pembinaan kesehatan keluarga
Promosi dan kampanye gizi seimbang dan perubahan perilaku menuju hidup bersih
dan sehat, promosi makanan berfortifikasi termasuk garam beryodium dan besi.
C. Pembinaan upaya kesehatan kerja dan olahraga bagi masyarakat.
D. Dukungan manajemen, JKN, memastikan kelompok sasaran mendapatkan
intervensi secara total coverage dan menyeluruh, dukungan data dan
informasi, memastikan lintas program melakukan intervensi totalitas dalam
kesamaan waktu dan unit analisisnya,melakukan pengendalian secara
manajerial dengan benar menyiapkan dash board atau data pantau untuk
pengambilan keputusan, mengintegrasikan dan menjadikan semua
komponenpelatihan sebagai reinforce factors atau faktor penguat.
E. Promosi kesehatan dan pemberdayaan masyarakat pemberian tablet tambah
darah untuk remaja putri, calon pengantin, ibu hamil (suplementasi besi
folat). Promosi dan kampanye tablet tambah darah serta aplikasi kelas ibu
hamil disemua fasyankes.
F. Penyehatan lingkungan, pemberian obat cacing dan kelambu di daerah
endemic malaria.
NIH Public Access
Author Manuscript
Lancet. Author manuscript; available in PMC 2010 August 2.
Published in final edited form as:
NIH-PA Author Manuscript

Lancet. 2006 August 5; 368(9534): 489–504. doi:10.1016/S0140-6736(06)69157-5.

HIV/AIDS epidemiology, pathogenesis, prevention, and


treatment

Viviana Simon, David D Ho, and Quarraisha Abdool Karim


Aaron Diamond AIDS Research Center, The Rockefeller University, New York, NY, USA (V
Simon MD, Prof D D Ho MD); Centre for the AIDS Programme of Research in South Africa
(CAPRISA), University of Kwazulu-Natal, Durban, South Africa (Q Abdool Karim PhD); and
Department of Epidemiology, Mailman School of Public Health, Columbia University, New York,
NY, USA (Q Abdool Karim)

Abstract
The HIV-1 pandemic is a complex mix of diverse epidemics within and between countries and
NIH-PA Author Manuscript

regions of the world, and is undoubtedly the defining public-health crisis of our time. Research has
deepened our understanding of how the virus replicates, manipulates, and hides in an infected
person. Although our understanding of pathogenesis and transmission dynamics has become more
nuanced and prevention options have expanded, a cure or protective vaccine remains elusive.
Antiretroviral treatment has transformed AIDS from an inevitably fatal condition to a chronic,
manageable disease in some settings. This transformation has yet to be realised in those parts of
the world that continue to bear a disproportionate burden of new HIV-1 infections and are most a
% ected by increasing morbidity and mortality. This Seminar provides an update on epidemiology,
pathogenesis, treatment, and prevention interventions pertinent to HIV-1.

HIV pandemic
An estimated 38·6 (33·4–46·0) million people live with HIV-1 worldwide, while about 25
million have died already.1 In 2005 alone, there were 4·1 million new HIV-1 infections and
2·8 million AIDS deaths.1 These estimates mask the dynamic nature of this evolving
epidemic in relation to temporal changes, geographic distribution, magnitude, viral diversity,
and mode of transmission. Today, there is no region of the world untouched by this
pandemic (figure 1).2
NIH-PA Author Manuscript

Heterosexual transmission remains the dominant mode of transmission and accounts for
about 85% of all HIV-1 infections. Southern Africa remains the epicentre of the pandemic
and continues to have high rates of new HIV-1 infections.3 Although overall HIV-1
prevalence remains low in the emerging epidemics in China and India, the absolute
numbers, which are fast approaching those seen in southern Africa, are of concern.1 Outside
of sub-Saharan Africa, a third of all HIV-1 infections are acquired through injecting drug
use, most (an estimated 8·8 million) of which are in eastern Europe and central and southeast
Asia.1 The rapid spread of HIV-1 in these regions through injecting drug use is of
importance, since it is a bridge for rapid establishment of more generalised epidemics.

Correspondence to: Department of Medicine, Division of Infectious Diseases, Mount Sinai School of Medicine, New York, NY
10029, USA viviana.simon@mssm.edu.
Conflict of interest statement
D D Ho sits on the scientific advisory boards for Monogram, Osel, Achillion, Valiant, Oyagen, Lavipharm, and XTL. Products or
work from these companies are not discussed in the review. He holds patents on vaccine candidates. The other authors declare no
conflict of interest.
Simon et al. Page 2

A defining feature of the pandemic in the current decade is the increasing burden of HIV-1
infections in women,4 which has additional implications for mother-to-child transmission.
Women now make up about 42% of those infected worldwide; over 70% of whom live in
NIH-PA Author Manuscript

sub-Saharan Africa.1 Overall, a quarter of all new HIV-1 infections are in adults aged
younger than 25 years.1 HIV-1 infection rates are three to six times higher in female
adolescents than in their male counterparts,1,5–7 and this difference is attributed to sexual
coupling patterns of young women with older men. Population prevalence of HIV-1
infection, concurrent sexual relationships, partner change, sexual practices, the presence of
other sexually transmitted diseases,8–11 and population mobility patterns12–14 for economic
and other reasons (eg, natural disasters and wars) further increase the probability of HIV-1
acquisition.3,15 Emerging data accord with strong links between risk of sexual HIV-1
acquisition and episodic recreational drug or alcohol use.16

Although sub-Saharan Africa continues to bear a disproportionate burden of HIV-1


infections, there is now an increasing number of countries reporting stabilisation or declines
in prevalence (eg, Zambia, Tanzania, Kenya, Ghana, Rwanda, Burkina Faso, and
Zimbabwe).1 There is some evidence to attribute these reductions to effective changes in
sexual behaviour, such as postponement of sexual debut, reduction in casual relationships,
and more consistent condom use in casual relationships.17,18 However, increasing morbidity
and mortality rates associated with a maturing HIV-1 epidemic need to be considered when
interpreting these data.19 For example, the death of a few high-risk individuals who are key
NIH-PA Author Manuscript

to transmission chains could exert a major effect on sexual networks and result in major
reductions in infection rates.20 Additionally, since most HIV-1 estimates are based on
surveys in antenatal populations, increasing morbidity and mortality could cause the
numbers of women in this group to decrease, and thus lead to underestimates of the true
prevalence in these countries.19

Although the relative contribution of cell-free virus compared with cell-associated virus in
HIV-1 transmission remains unclear, there is growing evidence that viral load is predictive
of transmission risk.21,22 The highest levels of viraemia are seen during acute infection and
advanced HIV-1 disease.22 Further, co-infections with other sexually transmitted diseases in
asymptomatic HIV-1 infected people can increase viral shedding to levels similar to those
seen during acute infection.23 Thus, sexually transmitted diseases could enhance HIV-1
transmission to rates similar to those seen during primary infection.24 This observation
could help to explain why the efficiency of HIV-1 transmission exceeds, in some settings,
the earlier mathematical projections.25 Thus, identification and treatment of recently
infected people is an important means to reduce transmission. However, most people are
unaware of their HIV-1 status during these crucial first months of infection. Several
screening strategies based on laboratory testing and clinical algorithms are being developed
NIH-PA Author Manuscript

and tested26 for efficient identification of early infection before antibody development.27
Additionally, a more aggressive management of sexually transmitted infections in settings
with generalised epidemics has the potential to affect current epidemic trajectories.24

Based on their genetic make-up, HIV-1 viruses are divided into three groups (eg, M [main],
N, and O group, figure 2). These HIV-1 groups and HIV-2 probably result from distinct
cross-species transmission events.28 Pandemic HIV-1 has diversified into at least nine
subtypes (figures 1 and 2) and many circulating recombinant forms,29,30 which encode
genetic structures from two or more subtypes (eg, A/E=CRF01; A/G=CRF02). The
continuously evolving HIV-1 viral diversity poses an immense challenge to the development
of any preventive or therapeutic intervention.29

In terms of viral diversity, subtype C viruses continue to dominate and account for 55–60%
of all HIV-1 infections worldwide (figure 1).30 Non-subtype B isolates might differ in their

Lancet. Author manuscript; available in PMC 2010 August 2.


Simon et al. Page 3

virological characteristics from the subtype B isolates (eg, viral load, chemokine co-receptor
usage, transcriptional activation in specific biological compartments).31–33 However, the
clinical consequences of subtype variations remain unclear.
NIH-PA Author Manuscript

Infection with two or more genetically distinct viruses could lead to new recombinant
viruses. Recombination takes place at a higher rate than initially predicted,30 and circulating
recombinant forms account for as much as 20% of infections in some regions (eg, southeast
Asia).31 These findings are in agreement with the occurrence of co-infections with multiple
distinct isolates in a close temporal context.34–36 Further, superinfections in which time
points of virus acquisition are months to years apart have been described, although at a
much lower frequency than co-infections.34,37–39 Collectively, these observations challenge
the assumption that HIV-1 acquisition happens only once with a singular viral strain and
that, thereafter, the infected individual is protected from subsequent infections.40 This lack
of immunisation has substantial implications for vaccine development. Emerging evidence
suggests that clinical progression to AIDS might be more rapid in individuals with dual
infections,35 and encouraging safer sex practices in viraemic HIV-1-infected people might
be appropriate to keep recurrent exposure to new viral strains to a minimum.

Pathogenesis of HIV-1
The worldwide spread of HIV-1 indicates that the virus effectively counteracts innate,
adapted, and intrinsic immunity.41,42 Despite its modest genome size (less than 10 kb) and
NIH-PA Author Manuscript

its few genes (figure 3), HIV-1 excels in taking advantage of cellular pathways while
neutralising and hiding from the different components of the immune system.43–45 Notably,
our understanding of pathogenesis is often derived from studies of subtype B viruses and
non-human primate studies.

The HIV-1 life cycle is complex (figure 3) and its duration and outcome is dependent on
target cell type and cell activation.46 In the early steps, HIV-1 gains access to cells without
causing immediate lethal damages but the entry process can stimulate intracellular signal
cascades, which in turn might facilitate viral replication.47,48 The two molecules on the
HIV-1 envelope, the external glycoprotein (gp120) and the transmembrane protein (gp41),
form the spikes on the virion’s surface.49 During the entry process, gp120 attaches to the
cell membrane by first binding to the CD4+ receptor. Subsequent interactions between virus
and chemokine co-receptors (eg, CCR5, CXCR4) trigger irreversible conformational
changes.49,50 The actual fusion event takes place within minutes by pore formation,50,51 and
releases the viral core into the cell cytoplasm. After the core disassembles, the viral genome
is reverse transcribed into DNA by the virus’ own reverse transcriptase enzyme.46 Related
yet distinct viral variants can be generated during this process since reverse transcriptase is
error prone and has no proofreading activity.46 At the midpoint of infection, the viral protein
NIH-PA Author Manuscript

integrase in conjunction with host DNA repair enzymes inserts the viral genome into gene-
rich, transcriptionally active domains of the host’s chromosomal DNA.52–54 An integrase
binding host factor, LEDGF/p75 (lens epithelium-derived growth factor), facilitates
integration,55,56 which marks the turning point by irreversibly transforming the cell into a
potential virus producer. In the late steps, production of viral particles needs host driven as
well as virus driven transcription.46 Viral proteins are transported to and assemble in
proximity to the cell membrane. Virus egress from the cell is not lytic and takes advantage
of the vesicular sorting pathway (ESCRT-I, II, III), which normally mediates the budding of
endosomes into multivesicular bodies.57,58 HIV-1 accesses this protein-sorting pathway by
binding TSG101 via its late domain, a short sequence motif in p6 of Gag.59,60 Cleavage of
the Gag-Pol poly-protein by the viral protease produces mature infectious virions.46,61

Lancet. Author manuscript; available in PMC 2010 August 2.


Simon et al. Page 4

Since cytoplasmic molecules of the producer cell and components from its cell surface lipid
bilayer are incorporated into the new viral particle, virions bear characteristics of the cells in
which they were produced.62 Incorporated host molecules can determine the virus’
NIH-PA Author Manuscript

phenotype in diverse ways (eg, shape the replicative features in the next cycle of infection or
mediate immune activation of bystander cells62).

Studies of the early events that happen after HIV-1 breaches the mucosal barrier suggest the
existence of a window period in which viral propagation is not yet established and host
defences could potentially control viral expansion.63 The important co-receptors for HIV-1
infection are two chemokine receptors—CCR5 and CXCR4. Independently of the
transmission route, most new infections are established by viral variants that rely on CCR5
usage.64 CXCR4-tropic viruses generally appear in late stages of infection and have been
associated with increased pathogenicity and disease progression.65

Compelling evidence from non-human primate models (eg, simian immunodeficiency virus
[SIV] infection of rhesus macaques) suggest that vaginal transmission results in infection of
a small number of CD4+ T lymphocytes, macrophages, and dendritic cells located in the
lamina propria.63 Potential pathways for virus transmission involve endocytosis,
transcytosis, and virus attachment to mannose C-type lectin receptors (eg, DC-SIGN)
located on dendritic cells and macrophages.66 The initial replication takes place in the
regional lymph organs (eg, draining lymph nodes) and is composed of few viral variants,
NIH-PA Author Manuscript

and leads to modest primary amplification. With migration of infected T lymphocytes or


virions into the bloodstream, secondary amplification in the gastrointestinal tract, spleen,
and bone marrow results in massive infection of susceptible cells. In close temporal relation
with the resulting peak of viraemia (eg, 106 to 107 copies per mL plasma), clinical
symptoms can be manifest during primary HIV-1 infection (figure 4). The level of viraemia
characteristic for the chronic phase of infection in an individual (viral set point) differs from
the peak viraemia by one or two orders of magnitude. This reduction is largely attributed to
HIV-1 specific CD8+ responses but target cell limitation could also play a part. The viral
population is most homogeneous early after transmission, but as viral quasi-species diversify
in distinct biological compartments, mutant viruses that are resistant to antibody
neutralisation, cytotoxic T cells, or antiretroviral drugs are generated and archived in long-
lived cells (ie, viral reservoirs).

A pronounced depletion of activated as well as memory CD4+ T cells located in the gut-
associated lymphoid tissues has been seen in individuals identified early after infection.67
The preferential depletion of the CD4+ cells in the mucosal lymphoid tissues remains
despite years of antiretroviral treatment, a striking observation that contrasts with the fact
that the number of CD4+ T lymphocytes in the peripheral blood can return to normal under
NIH-PA Author Manuscript

antiretroviral treatment.

A gradual destruction of the naive and memory CD4+ T-lymphocyte populations is the
hallmark of HIV-1 infection, with AIDS being the last disease stage (figure 4).68 Despite the
frequent absence of symptoms during early and chronic phase, HIV-1 replication is dynamic
throughout the disease. The half-life of a single virion is so short that half the entire plasma
virus population is replaced in less than 30 minutes,69 and the total number of virions
produced in a chronically infected person can reach more than 10¹P particles per day.69,70
The turnover rates of lymphocyte populations are upregulated many fold during HIV-1
infection, whereas cell proliferation decreases once viral replication is reduced by
antiretroviral treatment.71,72 Different depletion mechanisms have been proposed, with an
emerging consensus favouring generalised immune activation as cause for constant
depletion of the CD4+ cell reservoir.73

Lancet. Author manuscript; available in PMC 2010 August 2.


Simon et al. Page 5

Immune activation predicts disease progression74 and, thus, seems to be a central feature of
pathogenic HIV-1 infections. Recently, Nef proteins from SIV lineages that are non-
pathogenic in their natural hosts (eg, African green monkeys) have proved to down-regulate
NIH-PA Author Manuscript

CD3-T-cell receptors, resulting in reduced cell activation and apoptosis.75 HIV-1 Nef fails
to quench T-cell activation, possibly leading to the high degree of immune activation seen in
infected people.

Understanding the mechanisms that lead to protection or long-lasting control of infection


will guide vaccine development by providing correlates of protection. Natural resistance to
HIV-1 infection is rare and varies greatly between individuals. Two groups—long-term non-
progressors and highly exposed persistently seronegative individuals—have been studied
widely to identify innate and acquired protective determinants (table 1).76 Host resistance
factors consist of human leucocyte antigen (HLA) haplotypes, autoantibodies, mutations in
the promoter regions, and coding regions of the co-receptors CCR5 and CCR2, as well as
the up-regulation of chemokine production (table 1).76,77 Indeed, individuals encoding a
truncated CCR5 version (CCR5Δ32) have slower disease progression (heterozygote) or are
resistant to CCR5-using viruses (homozygote).78 The CCL3L1 gene encodes MIP1α, a
CCR5 co-receptor ligand and chemokine with antiviral activity. Recent findings show that
CCL3L1 gene copies vary individually and higher numbers of gene duplications result in
reduced susceptibility to infection,77,79 possibly by competitive saturation of CCR5 co-
receptor. Cytotoxic T-lymphocyte responses, helper T-cell functions, and humoral responses
NIH-PA Author Manuscript

are some of the acquired factors that modulate the risk of transmission in highly exposed
persistently seronegative individuals,76 and could also contribute to spontaneous control of
replication in long-term non-progressors. The putative protective role of cytotoxic T-
lymphocyte activity has been suggested in seronegative sex workers and in some long-term
non-progressors.76,80

Mammalian cells are not welcoming micro-environments, but rather deploy a defensive web
to curb endogenous and exogenous viruses. HIV-1’s ability to circumvent these defences is
as impressive as its efficiency to exploit the cellular machinery. APOBEC3G/3F and
TRIM5α are recently described intrinsic restriction factors that are constitutively expressed
in many cells.81,82 Both gene loci have been under strong selective pressure throughout
primate evolution,83 indicating an ancient need to neutralise foreign DNA and maintain
genome stability that precedes the current HIV-1 pandemic.

APOBEC3 enzymes (A3) belong to the superfamily of cytidine deaminases,84 a group of


intracellular proteins with DNA/RNA editing activity.84,85 Most representatives of the
APOBEC3 group have some mutagenic potential and restrict endogenous retroviruses and
mobile genetic elements. The deaminases A3G, A3F, and A3B have potent antiviral activity,
NIH-PA Author Manuscript

with the first two being expressed in cells that are susceptible to HIV-1 infection (T-
lymphocytes, macrophages). HIV-1 evades APOBEC3 mutagenesis by expressing Vif,
which leads to APOBEC3G/3F but not A3B degradation.42,86–90

We still need to establish how the mechanisms of DNA editing and antiviral activity are
interwoven, since some antiviral activity can be maintained despite defective DNA editing.
91 The early replication block in non-stimulated CD4+ T cells has been attributed to low
molecular mass complexes of APOBEC3G.92 Hypermutated genomes in HIV-1 infected
patients93 and mutations in Vif resulting in abrogated or differential APOBEC3
neutralisation capacity have been described.94,95 The degree to which APOBEC3G/3F
mRNA expression predicts clinical progression remains an area of intensive investigation.
96,97

Lancet. Author manuscript; available in PMC 2010 August 2.


Simon et al. Page 6

Several representatives of the heterogeneous family of tripartite motif proteins (TRIM)


inhibit retroviruses in a species-specific manner.81,98 TRIM5α from rhesus macaques and
African green monkeys inhibit HIV-1 replication, whereas the human homologue is inactive
NIH-PA Author Manuscript

against SIV and HIV-1, leading to the recorded susceptibility of human cells to both viruses.
81 Rhesus TRIM5α recognises the capsid domain of HIV-1 Gag and manipulates the kinetics
of HIV-1 core disassembly within minutes after cell entry.99,100 Thus, experimental
approaches to render HIV-1 resistant to rhesus TRIM5α could lead to immunodeficiency
viruses capable of replicating in rhesus macaques. Such a non-primate model would allow
testing of antiviral treatment and vaccine interventions with HIV-1 viruses instead of SIV or
SIV/HIV chimeric viruses.

Clinical management
Diagnosis
The diagnosis of HIV-1 infection is based on the detection of specific antibodies, antigens,
or both, and many commercial kits are available. Serological tests are generally used for
screening. A major advance has been the availability of rapid HIV-1 antibody tests. These
assays are easy to do and provide results in as little as 20 minutes,101 enabling specimen
collection and proper diagnosis at the same visit. Rapid tests are important tools for
surveillance, screening, and diagnosis, and can be reliably done on plasma, serum, whole
blood, or saliva by health-care providers with little laboratory expertise. The two limitations
NIH-PA Author Manuscript

of these serological tests are detection of infection during primary infection when antibodies
are absent, and in infants younger than 18 months who might bear maternal HIV-1
antibodies. In these instances direct virus detection is the only option (eg, quantification of
viral RNA [standard] or p24 antigen in heat denatured serum [less expensive]).

For staging purposes, measurement of CD4+ cells and viraemia is required. Plasma viral
load is widely used to monitor therapeutic success on antiretroviral treatment. Several
commercially available tests provide sensitive quantification of plasma HIV-1 RNA copies.
The newer versions of the Amplicor and Quantiplex (Roche, Indianapolis, IN, USA, and
Bayer Diagnostics, Walpole, MA, USA, respectively) assays have overcome initial
suboptimum performance for non-B subtypes.102 While the viral load determines the rate of
destruction of the immune system, the number of CD4+ cells reveals the degree of
immunodeficiency and is, therefore, used to assess the stage of infection. CD4+ cell counts
together with clinical manifestations (eg, occurrence of opportunistic infections) are key
criteria for HIV-1 disease classification. Flow cytometry analysis is the standard method for
CD4+ cells quantification.

Standard methods for quantifying viral load and CD4+ cell counts need advanced laboratory
NIH-PA Author Manuscript

infrastructures, and assays require a specimen to be tested within a short time of collection.
These requirements pose challenges for resource-constrained settings. The use of dried
blood spot specimen has resolved some of the difficulties associated with transportation of
samples needed for virological assessments.103 Measurement of reverse transcriptase
activity in plasma samples, simplification of gene amplification methods (eg, Taqman
technology), and paper-strip quantification (dipstick assays) might provide cost-effective
alternatives for the future.104–106 Similarly microcapilliary flow-based systems, CD4+
chips, or total white counts (panleucocyte gating) provide alternatives for establishment of
the level of immunodeficiency in resource-limited settings.107–110

Lancet. Author manuscript; available in PMC 2010 August 2.


Simon et al. Page 7

Drug treatment
Antiretroviral compounds
NIH-PA Author Manuscript

Antiretroviral treatment is the best option for longlasting viral suppression and,
subsequently, for reduction of morbidity and mortality. However, current drugs do not
eradicate HIV-1 infection and lifelong treatment might be needed.

20 of the 21 antiretroviral drugs currently approved by the US Food and Drug


Administration target the viral reverse transcriptase or protease (table 2). Eight nucleoside/
nucleotide analogues and three non-nucleoside reverse transcriptase inhibitors inhibit viral
replication after cell entry but before integration. Fixed-dose combination tablets simplify
treatment regimens by reducing the daily pill burden, and drugs with long half-lives allow
once or twice daily dosing. Eight protease inhibitors prevent the maturation of virions
resulting in production of non-infectious particles. The recently approved darunavir (June,
2006) is the first of its class that retains activity against viruses with reduced susceptibility to
protease inhibitors. Enfuvirtide targets a gp41 region of the viral envelope and stops the
fusion process before the cell is infected. This drug needs to be injected twice daily and its
use is reserved for treatment of heavily drug-experienced patients since it can help overcome
existing drug resistance.111,112 Development of new antiretrovirals focuses on molecules
that target entry, reverse transcription, integration, or maturation. Compounds that have been
designed to inhibit resistant viruses are urgently needed since many patients treated during
NIH-PA Author Manuscript

the past decades harbour viral strains with reduced susceptibilities to many if not all
available drugs (table 3).

The goal of antiretroviral treatment is to decrease the morbidity and mortality that is
generally associated with HIV-1 infection. A combination of three or more active drugs is
needed to achieve this aim in most patients. Effective treatment returns to near normal the
turnover rates of both CD4+ and CD8+ T-cell populations.72 Potent but well tolerated drugs
with long half-lives and simplified regimens improve the options for first-line and second-
line chemotherapeutic interventions.

Combination antiretroviral treatment


High rate of viral replication, low fidelity of reverse transcription, and the ability to
recombine are the viral characteristics that lead to the diversity of HIV-1 species (quasi-
species) in chronically infected individuals. This high genetic variability provided the
rationale for highly active antiretroviral treatments (HAART). By combination of several
potent antiretroviral agents, viral replication is suppressed to such low levels that emergence
of drug resistant HIV-1 variants was, if not prevented, at least delayed. By doing so, CD4+
T-lymphocyte numbers increase, leading to a degree of immune reconstitution that is
NIH-PA Author Manuscript

sufficient to reverse clinically apparent immunodeficiency. Widespread introduction of


HAART in industrialised countries resulted in a striking decrease in morbidity and
mortality, putting forward the hope that HIV-1 infection can be transformed into a treatable
chronic disease.113–115

A set of criteria composed of plasma viraemia concentration, absolute or relative CD4+ cell
counts, and clinical manifestations, is used to recommend initiation of HAART. The benefits
of treatment clearly outweigh the potential side-effects in patients with clinical signs of
immunodeficiency (eg, AIDS defining illnesses) or with CD4+ numbers less than 200 per
μL (recommendation of US Department of Health and Human Services, October, 2005).
However, the best time point to begin treatment remains controversial in asymptomatic
patients with modest depletion of CD4+ T cells (eg, more than 350 per μL) and modest
levels of viraemia (eg, less than 100 000 copies per mL).116 Studies with clinical endpoints
supporting the validity of early versus late interventions in asymptomatic patients are

Lancet. Author manuscript; available in PMC 2010 August 2.


Simon et al. Page 8

difficult to do and insufficient clinical data are currently available. Early depletion of gut
CD4+ T lymphocytes,117 increasing viral diversity, and the poor regenerative abilities of key
populations of the immune system provide arguments for beginning treatment as early as
NIH-PA Author Manuscript

possible. The wide application of this principle is restricted by long-term drug toxicities that
lead to reduction of quality of life, and by treatment costs. Toxicities (eg, renal, hepato,
mitochondrial), metabolic changes (eg, lipodystrophy, diabetes mellitus), and immune
reconstitution disease are some of the long-term problems that complicate decade-long
HAART.118–121

One strategy addressing life-long daily compliance to HAART has been structured treatment
interruptions. The rationale for this approach was based on the premise that the body’s own
immune system could keep the virus in check if exposed to a very modest level of viral
replication. If successful, this strategy could limit drug toxicity and reduce treatment costs.
122 Although preliminary findings for this strategy were mixed in terms of benefits,123–125
the recent early closure of the SMART trial was based on increased morbidity and mortality
in the treatment interruption arm.126 Thus, in the absence of clinical benefits, most
investigators strongly discourage treatment interruptions except as needed to address
treatment intolerance.

HAART in resource-constrained settings


The transformation of AIDS into a chronic disease in industrialised countries has yet to be
NIH-PA Author Manuscript

realised in resource-constrained settings. Access to HAART is an absolute humanitarian


necessity to avert mortality in people who are central to the future survival of their countries.
127 Despite restricted health infrastructures and diverse co-morbidities in these regions,
remarkable therapeutic success rates have been shown, with adherence rates at least
comparable with those reported in industrialised countries.128–131 WHO and UNAIDS
treatment guidelines focusing on resource-limited settings suggest use of standard first-line
regimen followed by a set of more expensive second-line options132 and proposes the use of
standardised decision-making steps (eg, when to start, to substitute for side-effects, to switch
for virological failure).132,133 In many countries, treatment options are limited not only by
the costs of HAART but also by restrictive licensing policies, and current estimates suggest
that 80% of people infected with HIV-1 with a clinical need for treatment do not yet have
access to antiretroviral drugs.1 Thus, efforts and strategies to further scale up treatment
access are crucial,134–137 since antiretroviral treatment is also an effective intervention for
prevention.138

Drug resistance
Emergence of drug resistance is the most common reason for treatment failure. Insufficient
NIH-PA Author Manuscript

compliance, drug side-effects, or drug-drug interactions can lead to suboptimum drug


concentrations, resulting in viral rebound. Viral resistance has been described to every
antiretroviral drug and therefore poses a serious clinical as well as public-health problem.139
HIV-1 subtypes differ in the sequence of mutations leading to drug resistance, and some
naturally occurring polymorphisms might actually modulate resistance.140,141 Drug-resistant
HIV-1 is transmissible and can be detected in up to 20% of newly infected individuals in
countries with broad access to antiretrovirals.34 The prevalence of drug resistance in the
untreated population remains low in regions with poor access to treatment.142

Short-term antiretroviral-based interventions are effective in prevention of mother-to-child


transmission. However, these interventions could result in drug resistant viral variants in the
mother, baby, or both.143 Around half the women who received one dose of nevirapine to
prevent mother-to-child transmission harbour viruses resistant to non-nucleoside reverse
transcriptase inhibitors (NNRTI).144,145 These resistant viruses replicate efficiently and can

Lancet. Author manuscript; available in PMC 2010 August 2.


Simon et al. Page 9

be transmitted by breast milk,146 and minor resistant populations present long after the
intervention can possibly decrease the effectiveness of subsequent NNRTI-based treatment
regimens.147 The combination of short-course zidovudine, lamivudine, and nevirapine
NIH-PA Author Manuscript

prevents peripartum transmission while reducing the risk of nevirapine resistant viruses.148

Viral reservoirs
Viral reservoirs consist of anatomical sanctuaries and a small pool of infected long-lived
memory T lymphocytes. HIV-1 latency in long-lived cell populations (eg, memory T
lymphocytes, macrophages) poses an obstacle to eradication because current antiviral
combination treatments fail to eliminate integrated proviruses from resting cells. Different
strategies, including immune-modulatory molecules (interleukin 2, anti-CD3 mAb,
interleukin 7), have been used to reactivate resting cells in the setting of HAART. Histone
deacetylase-1 inhibitors, like valproic acid, release an inherent transcriptional block and by
doing so facilitate viral long terminal repeat-driven expression.149 Augmenting standard
antiretroviral treatment with enfuviridine and valproic acid reduced the number of latently
infected CD4+ T cells (29–84%), but to establish the relative contribution of each drug with
respect to the final outcome is difficult.150

Prevention
Mother-to-child transmission
NIH-PA Author Manuscript

Prevention of mother-to-child transmission has seen advances in both industrialised and


resource-constrained settings.151–153 Intrapartum transmission has been reduced by
increasing access to interventions such as one dose of nevirapine to mother and newborn
baby.154 Concerns about drug-resistant viral strains have led to several trials with
combination treatments to reduce transmission during the intrapartum period.148,152,155 In
some settings, elective delivery by caesarean section can further reduce HIV-1 transmission
during the intrapartum period, but the benefits of the intervention could be countered by
post-partum sepsis and increasing maternal mortality.156

Because HIV-1 can be transmitted by breastfeeding, replacement feeding is recommended in


many settings. Poor access to clean running water precludes, however, the use of formula
feeding under these circumstances,157 and exclusive breastfeeding with abrupt weaning is
one option for reducing transmission.158 A potential novel intervention still being tested is
the daily use of antiretrovirals during breastfeeding. More attention is starting to focus on
the pregnant mother, especially initiation of antiretroviral therapy in mothers with low CD4+
counts during pregnancy and thereafter.159,160 Only limited data are available regarding the
health of uninfected children born to HIV-1-positive mothers.161 In a European cohort of
exposed-uninfected children, no serious clinical manifestations were apparent, at least in the
NIH-PA Author Manuscript

short term to medium term (median follow-up 2 years).162

Sexual transmission
Reduction of heterosexual transmission is crucial for control of the epidemic in many parts
of the world.1,163 Prevention is achieved through reduction in the number of discordant
sexual acts or reduction of the probability of HIV-1 transmission in discordant sexual acts.
The first can be achieved through abstinence and sex between concordantly seronegative
individuals. Abstinence and lifelong monogamous relationships might not be adequate
solutions for many people and therefore several interventions aimed at lowering the risk of
transmission per discordant sexual act are in the process of clinical testing. Male and female
condoms provide a proven and affordable prevention option.164,165 In combination, these
options are also more commonly referred to as the ABC (abstinence, be faithful, condom
use) approach.

Lancet. Author manuscript; available in PMC 2010 August 2.


Simon et al. Page 10

Other biomedical prevention interventions include male circumcision, antiretrovirals for


prevention (eg, pre-exposure or post-exposure), chemoprophylactic treatment of herpes
simplex virus-2 (HSV-2), microbicides, and vaccines. Results from one of three independent
NIH-PA Author Manuscript

phase III male circumcision trials underway in South Africa, Kenya, and Uganda has helped
to allay some of the ambivalence around the protective effect of male circumcision.8,166 The
findings from the South African trial show a 60% protective effect of male circumcision.167
The possible mechanism relates to the fact that the foreskin has apocrine glands that secrete
lysozymes but also Langerhans cells expressing CD4 and other receptors.168,169 These skin-
specific dendritic cells can uptake virus and are believed to play a part in transport of the
virus to susceptible T cells. Immunofluorescence studies of foreskin mucosa suggest that
these tissues might be more susceptible to HIV-1 infection than cervical mucosa.170
Findings from this proof-of-concept trial need to be compared with evidence from the two
trials still underway in Kenya and Uganda, and to acceptability data, behaviour change after
circumcision, surgical complication rates, and logistics of undertaking the procedures before
policy formulation and wide-scale access as a prevention strategy.171–173

Since high plasma viraemia increases the risk of transmission by as much as an order of
magnitude,21 does reducing viral load in the infected partner through, for example,
antiretroviral treatment reduce the risk of HIV-1 transmission in the uninfected sexual
partner? A trial to explore this question is currently being run jointly by the HIV Prevention
Trials Network (www.hptn.org) and the Adult Clinical Trials Group. Mathematical
NIH-PA Author Manuscript

projections estimate up to 80% HIV-1 reduction,174,175 but scarce observational data


currently exist.176 Post-exposure prophylaxis is recommended after occupational (eg, needle
stick)177 and non-occupational (eg, rape, sexual abuse)178 exposure, although data for
efficacy and optimum drug combinations are few.179 Some clinical trials assessing the
benefits of once daily pre-exposure chemoprophylaxis with antiretroviral compounds with
long biological half-life (eg, tenofovir) have been put on hold or stopped.175,180 Neither the
overall idea of pre-exposure prophylaxis nor the drug itself, which is well tolerated, was at
the root of the protests. Concerns were centred on clinical trials in resource-poor settings and
the perceived scarcity of adequate interventions protecting these vulnerable populations.

HSV-2 might increase both the risk of transmitting and acquiring HIV-1.181,182 Antivirals
(eg, aciclovir, valaciclovir) are effective in reducing viral shedding183–185 and HSV-2
transmission in discordant heterosexual couples.182 The future of HSV-2 prevention might
reside in the vaccine that is currently under development.186 Whether prophylactic use of
aciclovir in populations with high HSV-2 prevalence and incidence rates results in reduced
HIV-1 incidence rates remains unresolved but several trials addressing this issue are
underway, including HPTN039.
NIH-PA Author Manuscript

Gender disparities lie at the centre of women’s vulnerability. Prevention options need to be
provided that can be used by women independently of their male sexual partner’s knowledge
or consent.187 Notwithstanding that redressing these disparities is a long-term challenge,
several preventive interventions can be implemented in the interim on the basis of our
incomplete understanding at a biological level of HIV-1 risk for women. For example, there
seems to be a correlation between levels of sexual hormones (eg, progesterone) and
transmission risk.188 Observational studies also highlight the relation between abnormal
vaginal flora and increased risk of HIV-1 infection.189,190 The high prevalence of vaginal
infections such as bacterial vaginosis (30–50%), vulvovaginal candidosis (10–13%), and
trichomonas vaginalis (7–23%) in African women is associated with a substantial risk of
HIV-1 acquisition.189 In addition to increasing access to female condoms and treatment of
other sexually transmitted infections, trials are underway to assess the use of other barrier
methods such as cervical caps, invisible condoms, diaphragms, and diaphragms combined
with micro bicides.190 The control of vaginal infections is a potentially important method for

Lancet. Author manuscript; available in PMC 2010 August 2.


Simon et al. Page 11

decreasing HIV-1 acquisition that has yet to be tested. Periodic presumptive treatment for
vaginal infections is being explored as an HIV-1 prevention strategy.191
NIH-PA Author Manuscript

Microbicides—Microbicides are an additional important biomedical intervention


technology that is covert and under women’s control.192 These topical products potentially
could be used to prevent rectal and vaginal transmission of HIV-1, but proof of concept has
been elusive. Although the three phase III trial results of the first microbicidal product
(nonoxynol-9) done in the mid-1980s and 1990s did not show protective effects,193,194 they
have informed the medical knowledge in terms of product selection, clinical testing, and
safety assessments. The past 5 years have seen major advances in investment and product
development.66,195,197 Early clinical testing of multiple products including the launch of
advanced clinical trials for five different products is continuing (table 4). The development
of antiretroviral gels increased the specificity of these third generation microbicides in
relation to surfactants, vaginal enhancers, or entry inhibitors that have dominated the
product pipeline so far (figure 5). The first antiretroviral gel to undergo early testing is
tenofovir gel, and the findings in terms of safety profile, tolerance, low systemic absorption,
and slight adverse events are promising.192 As with vaccines, a major obstacle is the absence
of a surrogate marker of protection. Additional challenges are adherence to product use and
the high rates of pregnancy in trial participants.

Vaccines—A safe, protective, and inexpensive vaccine would be the most efficient and
NIH-PA Author Manuscript

possibly the only way to curb the HIV pandemic.198 Despite intensive research,
development of such a candidate vaccine remains elusive. Safety concerns prohibit the use
of live-attenuated virus as immunogen.199 Many different approaches with recombinant
technologies have been pursued over the past two decades. Initially, efforts were focused on
generating neutralising antibodies with recombinant monomeric envelope gp120
(AIDSVAX) as immunogen.200,201 This vaccine did not induce neutralising antibodies and,
not unexpectedly, the phase III trials failed to show protection.202,203 Antibody mediated
HIV-1 neutralisation is complicated by the high genetic diversity of the variable Env
regions, epitopes masked by a carbohydrate shield (glycosylation), and conformational or
energetic constraints.204 Since CD8 T-cell responses control to some extent viral replication
in vivo, recent vaccine development has focused on eliciting cellular immune responses.
Overcoming pre-existing immunity against replication incompetent immunogenic vectors
(eg, recombinant adenovirus type 5) is one of the challenges.205 Safety and immunogenicity
studies using replication defective vaccine vectors are continuing after preliminary studies in
non-human primates showed some protection.204 The immune system generally fails to
spontaneously clear HIV-1 and the true correlates of protection continue to be ill defined.
198,206 However, the general belief is that approaches aimed at eliciting both humoral and
cell mediated immunity are most promising to prevent or at least control retroviral infection.
NIH-PA Author Manuscript

198

Conclusions
An important gateway to both prevention and care is knowledge of HIV-1 status.207 Fear of
knowledge of status, including stigma and discrimination, has discouraged many from
seeking voluntary counselling and testing services.208 As access to antiretroviral
interventions (prevention of mother-to-child transmission, antiretroviral treatment)
increases, the opportunities for HIV-1 testing will grow and create opportunities for a
prevention-care continuum, with the voluntary counselling and testing services as a point of
entry. These changes will result in a shift in prevention efforts from a focus on individuals
not infected with HIV-1 to a more effective continuum of prevention that includes
uninfected, recently infected, infected, and asymptomatic people, as well as those with
advancing HIV disease and on antiretroviral therapy.

Lancet. Author manuscript; available in PMC 2010 August 2.


Simon et al. Page 12

HIV/AIDS is an exceptional epidemic that demands an exceptional response. Much progress


has been made in a short space of time, despite many scientific and programmatic challenges
(figure 6). In the absence of a protective vaccine or a cure, prevention and access to
NIH-PA Author Manuscript

antiretroviral treatments are the best options to slow down the HIV-1 pandemic. Broad
implementation of these principles needs improved infrastructures in resource-constrained
regions, which have been and will continue to be most affected. The fact that HIV-1 is
predominantly sexually transmitted and disproportionately affects populations that are
already socially or economically marginalised, or both, poses many ethical, social,
economic, and political challenges.

In view of the immediacy of the problem, and the fact that both research and programmes
are mainly funded by the public sector, there is a greater demand from civil society for co-
ownership of research and accountability for use of public funds. On the one hand, this co-
ownership defines a changing role and responsibility of science in society, and on the other
hand, shows a necessary synergy between activism and science. This partnership has been
invaluable for antiretroviral drug development, treatment access in resource-constrained
settings, and the scale-up of interventions to reduce mother-to-child transmission.

The increasing number of infected women and the disproportionate burden of infection in
resource-constrained settings creates a scientific imperative to ensure research is done for
people and in settings who stand to benefit most. The most affected countries face many
NIH-PA Author Manuscript

other economic, political, and development challenges, which have raised issues in
undertaking multicentre and multicountry research. Research addressing women-specific
topics (such as effect of sexual hormones on transmission and disease progression, viral
diversity, and antiretroviral potency) and women-specific prevention interventions including
microbicides is crucial. We are probably at one of the most hopeful and optimistic points in
our response to the pandemic. There is definitely more attention being directed to HIV-1,
more resources (panel), more civil society mobilisation, more governments speaking up,
more possibilities for treatment, and more evidence about what prevention and treatment
strategies will work than in previous years. The unrelenting growth of the pandemic tells us
that current strategies are not enough. Clearly, we need to do some things differently, while
also increasing the scale and magnitude of current strategies in keeping with the pandemic.

Panel
Online resources
Epidemiology
UNAIDS
NIH-PA Author Manuscript

http://www.unaids.org/en/HIV_data/default.asp
Treatment recommendations
Centers for Disease Control and Prevention
http://www.cdc.gov/hiv/topics/treatment/index.htm
HIV-1 drug resistance
Stanford University HIV Drug Resistance Database
http://hivdb.stanford.edu/index.html
International AIDS Society–USA
http://www.iasusa.org/resistance_mutations/index.html

Lancet. Author manuscript; available in PMC 2010 August 2.


Simon et al. Page 13

Microbicide
Alliance for Microbicide Development
NIH-PA Author Manuscript

http://www.microbicide.org
HIV Prevention Trials Network
http://www.hptn.org/index.htm
Vaccine
International AIDS Vaccine Initiative
http://www.iavi.org

Search strategy and selection criteria


A comprehensive literature review was undertaken by searching the PubMed database
online, for English language publications between January, 2000, and June, 2006. The
database search terms included keywords such as “HIV/AIDS”, “epidemiology”,
“prevention”, “pathogenesis”, “HSV-2”, “male circumcision”, “PMTCT”, “scaling up
treatment”, “resource constrained settings”, “antiretroviral pre-exposure prophylaxis”,
“HAART”, “restriction”, “host factor”, “HIV pathogenesis”, “resistance”, “latency”.
NIH-PA Author Manuscript

Various combinations of these words were entered. All duplicate articles were removed.
A subset of relevant articles was chosen and full-text manuscripts were summarised.

Acknowledgments
We thank P D Bieniasz, W Cates, L Chakrabarti, C Cheng-Mayer, J Coovadia, H Gayle, P A Fryd, R Gray, S
Abdool Karim, L Kuhn, K Mayer, P Mane, L C F Mulder, L Myer, and M Wawer for helpful discussions. M
Boettiger and C Baxter assisted with literature searches. This work was supported by NIH grant RO1AI064001
(VS), by grant 1 U19AI51794 (QAK) from CAPRISA that forms part of the Comprehensive International Program
of Research on AIDS (CIPRA) funded by the National Institute of Allergy and infectious Disease (NIAID),
National Institutes of Health (NIH) and the US Department of Health and Human Services (DHHS) and grant D43
TW00231 (QAK) from the Columbia University-Southern African Fogarty AIDS International Training and
Research Program.

References
1. UNAIDS. 2006 report on the global AIDS epidemic: a UNAIDS 10th anniversary special edition.
[(accessed July 20, 2006)]. http://www.unaids.org/en/HIV_data/2006GlobalReport/default.asp
2. Inciardi JA, Williams ML. Editor’s introduction: the global epidemiology of HIV and AIDS. AIDS
NIH-PA Author Manuscript

Care 2005;17 (suppl 1):S1–8. [PubMed: 16096113]


3. Hayes R, Weiss H. Epidemiology. Understanding HIV epidemic trends in Africa. Science
2006;311:620–21. [PubMed: 16456070]
4. Quinn TC, Overbaugh J. HIV/AIDS in women: an expanding epidemic. Science 2005;308:1582–83.
[PubMed: 15947174]
5. Abdool-Karim Q, Abdool-Karim SS. The evolving HIV epidemic in South Africa. Int J Epidemiol
2002;31:37–40. [PubMed: 11914290]
6. Pettifor AE, Rees HV, Kleinschmidt I, et al. Young people’s sexual health in South Africa: HIV
prevalence and sexual behaviors from a nationally representative household survey. AIDS
2005;19:1525–34. [PubMed: 16135907]
7. Shisana O, Davids A. Correcting gender inequalities is central to controlling HIV/AIDS. Bull World
Health Organ 2004;82:812. [PubMed: 15640913]
8. Siegfried N, Muller M, Volmink J, et al. Male circumcision for prevention of heterosexual
acquisition of HIV in men. Cochrane Database Syst Rev 2003;3:CD003362. [PubMed: 12917962]

Lancet. Author manuscript; available in PMC 2010 August 2.


Simon et al. Page 14

9. Aral SO, Padian NS, Holmes KK. Advances in multilevel approaches to understanding the
epidemiology and prevention of sexually transmitted infections and HIV: an overview. J Infect Dis
2005;191 (suppl 1):S1–6. [PubMed: 15627219]
NIH-PA Author Manuscript

10. Rottingen JA, Cameron DW, Garnett GP. A systematic review of the epidemiologic interactions
between classic sexually transmitted diseases and HIV: how much really is known? Sex Transm
Dis 2001;28:579–97. [PubMed: 11689757]
11. Korenromp EL, White RG, Orroth KK, et al. Determinants of the impact of sexually transmitted
infection treatment on prevention of HIV infection: a synthesis of evidence from the Mwanza,
Rakai, and Masaka intervention trials. J Infect Dis 2005;191 (suppl 1):S168–78. [PubMed:
15627227]
12. Bloom SS, Urassa M, Isingo R, Ng’weshemi J, Boerma JT. Community effects on the risk of HIV
infection in rural Tanzania. Sex Transm Infect 2002;78:261–66. [PubMed: 12181463]
13. Nunn AJ, Wagner HU, Kamali A, Kengeya-Kayondo JF, Mulder DW. Migration and HIV-1
seroprevalence in a rural Ugandan population. AIDS 1995;9:503–06. [PubMed: 7639976]
14. Lurie MN, Williams BG, Zuma K, et al. The impact of migration on HIV-1 transmission in South
Africa: a study of migrant and nonmigrant men and their partners. Sex Transm Dis 2003;30:149–
56. [PubMed: 12567174]
15. Abdool Karim Q, Abdool Karim SS, Singh B, Short R, Ngxongo S. Seroprevalence of HIV
infection in rural South Africa. AIDS 1992;6:1535–39. [PubMed: 1492937]
16. Buchbinder SP, Vittinghoff E, Heagerty PJ, et al. Sexual risk, nitrite inhalant use, and lack of
circumcision associated with HIV seroconversion in men who have sex with men in the United
States. J Acquir Immune Defic Syndr 2005;39:82–89. [PubMed: 15851918]
NIH-PA Author Manuscript

17. Halperin DT, Epstein H. Concurrent sexual partnerships help to explain Africa’s high HIV
prevalence: implications for prevention. Lancet 2004;364:4–6. [PubMed: 15234834]
18. Cates W Jr. Review of non-hormonal contraception (condoms, intrauterine devices, nonoxynol-9
and combos) on HIV acquisition. J Acquir Immune Defic Syndr 2005;38 (suppl 1):S8–10.
[PubMed: 15867633]
19. Gray RH, Wawer MJ, Serwadda D, et al. Population-based study of fertility in women with HIV-1
infection in Uganda. Lancet 1998;351:98–103. [PubMed: 9439494]
20. Gregson S, Garnett GP, Nyamukapa CA, et al. HIV decline associated with behavior change in
eastern Zimbabwe. Science 2006;311:664–66. [PubMed: 16456081]
21. Quinn TC, Wawer MJ, Sewankambo N, et al. Viral load and heterosexual transmission of human
immunodeficiency virus type 1. Rakai Project Study Group. N Engl J Med 2000;342:921–29.
[PubMed: 10738050]
22. Wawer MJ, Gray RH, Sewankambo NK, et al. Rates of HIV-1 transmission per coital act, by stage
of HIV-1 infection, in Rakai, Uganda. J Infect Dis 2005;191:1403–09. [PubMed: 15809897]
23. Galvin SR, Cohen MS. The role of sexually transmitted diseases in HIV transmission. Nat Rev
Microbiol 2004;2:33–42. [PubMed: 15035007]
24. Cohen MS, Pilcher CD. Amplified HIV transmission and new approaches to HIV prevention. J
NIH-PA Author Manuscript

Infect Dis 2005;191:1391–93. [PubMed: 15809893]


25. Aral SO, Peterman TA. Measuring outcomes of behavioural interventions for STD/HIV
prevention. Int J STD AIDS 1996;7(suppl 2):30–38. [PubMed: 8799792]
26. Price MA, Miller WC, Kaydos-Daniels SC, et al. Trichomoniasis in men and HIV infection: data
from 2 outpatient clinics at Lilongwe Central Hospital, Malawi. J Infect Dis 2004;190:1448–55.
[PubMed: 15378437]
27. Sharghi N, Bosch RJ, Mayer K, Essex M, Seage GR 3rd. The development and utility of a clinical
algorithm to predict early HIV-1 infection. J Acquir Immune Defic Syndr 2005;40:472–78.
[PubMed: 16280704]
28. Keele BF, Van Heuverswyn F, Li Y, et al. Chimpanzee reservoirs of pandemic and nonpandemic
HIV-1. Science. 2006 published online May 25, 2006.
29. Korber B, Gaschen B, Yusim K, Thakallapally R, Kesmir C, Detours V. Evolutionary and
immunological implications of contemporary HIV-1 variation. Br Med Bull 2001;58:19–42.
[PubMed: 11714622]

Lancet. Author manuscript; available in PMC 2010 August 2.


Simon et al. Page 15

30. Thomson MM, Najera R. Molecular epidemiology of HIV-1 variants in the global AIDS
pandemic: an update. AIDS Rev 2005;7:210–24. [PubMed: 16425961]
31. Blackard JT, Cohen DE, Mayer KH. Human immunodeficiency virus superinfection and
NIH-PA Author Manuscript

recombination: current state of knowledge and potential clinical consequences. Clin Infect Dis
2002;34:1108–14. [PubMed: 11915000]
32. Laeyendecker, O.; Li, X.; Arroyo, M., et al. The effect of HIV subtype on rapid disease
progression in Rakai, Uganda. 13th Conference on Retroviruses and Opportunitic Infections;
Denver, CO, USA. Feb 6–9, 2006;
33. Centlivre M, Sommer P, Michel M, et al. The HIV-1 clade C promoter is particularly well adapted
to replication in the gut in primary infection. AIDS 2006;20:657–66. [PubMed: 16514295]
34. Steain MC, Wang B, Dwyer DE, Saksena NK. HIV-1 co-infection, superinfection and
recombination. Sex Health 2004;1:239–50. [PubMed: 16335754]
35. Gottlieb GS, Nickle DC, Jensen MA, et al. Dual HIV-1 infection associated with rapid disease
progression. Lancet 2004;363:619–22. [PubMed: 14987889]
36. Yerly S, Jost S, Monnat M, et al. HIV-1 co/super-infection in intravenous drug users. AIDS
2004;18:1413–21. [PubMed: 15199317]
37. Chohan B, Lavreys L, Rainwater SM, Overbaugh J. Evidence for frequent reinfection with human
immunodeficiency virus type 1 of a different subtype. J Virol 2005;79:10701–08. [PubMed:
16051862]
38. van der Kuyl AC, Kozaczynska K, van den Burg R, et al. Triple HIV-1 infection. N Engl J Med
2005;352:2557–59. [PubMed: 15958817]
NIH-PA Author Manuscript

39. Smith DM, Richman DD, Little SJ. HIV superinfection. J Infect Dis 2005;192:438–44. [PubMed:
15995957]
40. McCutchan FE, Hoelscher M, Tovanabutra S, et al. In-depth analysis of a heterosexually acquired
human immunodeficiency virus type 1 superinfection: evolution, temporal fluctuation, and
intercompartment dynamics from the seronegative window period through 30 months
postinfection. J Virol 2005;79:11693–704. [PubMed: 16140747]
41. Mahalingam S, Meanger J, Foster PS, Lidbury BA. The viral manipulation of the host cellular and
immune environments to enhance propagation and survival: a focus on RNA viruses. J Leukoc
Biol 2002;72:429–39. [PubMed: 12223509]
42. Bieniasz PD. Intrinsic immunity: a front-line defense against viral attack. Nat Immunol
2004;5:1109–15. [PubMed: 15496950]
43. Coffin, JM. Retroviridae: the viruses and their replication. In: Knipe, DM.; Howley, PM.; Griffin,
DE., et al., editors. Fields virology. 3. Philadelphia, New York: Lippencott-Raven; 1996. p.
1767-847.
44. Barre-Sinoussi F. HIV as the cause of AIDS. Lancet 1996;348:31–35. [PubMed: 8691930]
45. Emerman M, Malim MH. HIV-1 regulatory/accessory genes: keys to unraveling viral and host cell
biology. Science 1998;280:1880–84. [PubMed: 9632380]
46. Coffin, JM.; Hughes, SH.; Varmus, HE., editors. Retroviruses. Plainview, NY USA: Cold Spring
NIH-PA Author Manuscript

Harbor Laboratory Press; 1997.


47. Balabanian K, Harriague J, Decrion C, et al. CXCR4-tropic HIV-1 envelope glycoprotein functions
as a viral chemokine in unstimulated primary CD4+ T lymphocytes. J Immunol 2004;173:7150–
60. [PubMed: 15585836]
48. Cicala C, Arthos J, Selig SM, et al. HIV envelope induces a cascade of cell signals in non-
proliferating target cells that favor virus replication. Proc Natl Acad Sci USA 2002;99:9380–85.
[PubMed: 12089333]
49. Ray N, Doms RW. HIV-1 coreceptors and their inhibitors. Curr Top Microbiol Immunol
2006;303:97–120. [PubMed: 16570858]
50. Eckert DM, Kim PS. Mechanisms of viral membrane fusion and its inhibition. Annu Rev Biochem
2001;70:777–810. [PubMed: 11395423]
51. Platt EJ, Durnin JP, Kabat D. Kinetic factors control efficiencies of cell entry, efficacies of entry
inhibitors, and mechanisms of adaptation of human immunodeficiency virus. J Virol
2005;79:4347–56. [PubMed: 15767435]

Lancet. Author manuscript; available in PMC 2010 August 2.


Simon et al. Page 16

52. Schroder A. HIV-1 integration in the human genome favors active genes and local hotspots. Cell
2002;110:521–29. [PubMed: 12202041]
53. Mitchell RS, Beitzel BF, Schroder AR, et al. Retroviral DNA integration: ASLV, HIV, and MLV
NIH-PA Author Manuscript

show distinct target site preferences. PLoS Biol 2004;2:E234. [PubMed: 15314653]
54. Scherdin U, Rhodes K, Breindl M. Transcriptionally active genome regions are preferred targets
for retrovirus integration. J Virol 1990;64:907. [PubMed: 2296087]
55. Ciuffi A, Llano M, Poeschla E, et al. A role for LEDGF/p75 in targeting HIV DNA integration.
Nat Med 2005;11:1287–89. [PubMed: 16311605]
56. Turlure F, Maertens G, Rahman S, Cherepanov P, Engelman A. A tripartite DNA-binding element,
comprised of the nuclear localization signal and two AT-hook motifs, mediates the association of
LEDGF/p75 with chromatin in vivo. Nucleic Acids Res 2006;34:1663–75.
57. Martin-Serrano J, Zang T, Bieniasz PD. Role of ESCRT-I in retroviral budding. J Virol
2003;77:4794–804. [PubMed: 12663786]
58. Bieniasz PD. Late budding domains and host proteins in enveloped virus release. Virology
2006;344:55–63. [PubMed: 16364736]
59. Martin-Serrano J, Zang T, Bieniasz PD. HIV-1 and Ebola virus encode small peptide motifs that
recruit Tsg101 to sites of particle assembly to facilitate egress. Nat Med 2001;7:1313–19.
[PubMed: 11726971]
60. Garrus JE, von Schwedler UK, Pornillos OW, et al. Tsg101 and the vacuolar protein sorting
pathway are essential for HIV-1 budding. Cell 2001;107:55–65. [PubMed: 11595185]
61. Zhu T, Mo H, Wang N, et al. Genotypic and phenotypic characterization of HIV-1 patients with
NIH-PA Author Manuscript

primary infection. Science 1993;261:1179–81. [PubMed: 8356453]


62. Cantin R, Methot S, Tremblay MJ. Plunder and stowaways: incorporation of cellular proteins by
enveloped viruses. J Virol 2005;79:6577–87. [PubMed: 15890896]
63. Haase AT. Perils at mucosal front lines for HIV and SIV and their hosts. Nat Rev Immunol
2005;5:783–92. [PubMed: 16200081]
64. Briggs JA, Grunewald K, Glass B, Forster F, Krausslich HG, Fuller SD. The mechanism of HIV-1
core assembly: insights from three-dimensional reconstructions of authentic virions. Structure
2006;14:15–20. [PubMed: 16407061]
65. Connor RI, Sheridan KE, Ceradini D, Choe S, Landau NR. Change in coreceptor use correlates
with disease progression in HIV-1-infected individuals. J Exp Med 1997;185:621–28. [PubMed:
9034141]
66. Shattock RJ, Moore JP. Inhibiting sexual transmission of HIV-1 infection. Nature Rev Microbiol
2003;1:25–34. [PubMed: 15040177]
67. Mehandru S, Poles MA, Tenner-Racz K, et al. Primary HIV-1 infection is associated with
preferential depletion of CD4+ T lymphocytes from effector sites in the gastrointestinal tract. J
Exp Med 2004;200:761–70. [PubMed: 15365095]
68. Douek DC, Picker LJ, Koup RA. T cell dynamics in HIV-1 infection. Annu Rev Immunol
2003;21:265–304. [PubMed: 12524385]
NIH-PA Author Manuscript

69. Ramratnam B, Bonhoeffer S, Binley J, et al. Rapid production and clearance of HIV-1 and
hepatitis C virus assessed by large volume plasma apheresis. Lancet 1999;354:1782–85. [PubMed:
10577640]
70. Simon V, Ho DD. HIV-1 dynamics in vivo: implications for therapy. Nat Rev Microbiol
2003;1:181–90. [PubMed: 15035022]
71. Kovacs JA, Lempicki RA, Sidorov IA, et al. Identification of dynamically distinct subpopulations
of T lymphocytes that are differentially affected by HIV. J Exp Med 2001;194:1731–41. [PubMed:
11748275]
72. Mohri H, Perelson AS, Tung K, et al. Increased turnover of T lymphocytes in HIV-1 infection and
its reduction by antiretroviral therapy. J Exp Med 2001;194:1277–87. [PubMed: 11696593]
73. De Boer RJ, Mohri H, Ho DD, Perelson AS. Turnover rates of B cells, T cells, and NK cells in
simian immunodeficiency virus-infected and uninfected rhesus macaques. J Immunol
2003;170:2479–87. [PubMed: 12594273]

Lancet. Author manuscript; available in PMC 2010 August 2.


Simon et al. Page 17

74. Giorgi JV, Hultin LE, McKeating JA, et al. Shorter survival in advanced human immunodeficiency
virus type 1 infection is more closely associated with T lymphocyte activation than with plasma
virus burden or virus chemokine coreceptor usage. J Infect Dis 1999;179:859–70. [PubMed:
NIH-PA Author Manuscript

10068581]
75. Schindler M, Muench J, Kutsch O, et al. Nef mediated suppression of T cell activation was lost in a
lentiviral lineage that gave rise to HIV-1. Cell 2006;125:1055–67. [PubMed: 16777597]
76. Kulkarni PS, Butera ST, Duerr AC. Resistance to HIV-1 infection: lessons learned from studies of
highly exposed persistently seronegative (HEPS) individuals. AIDS Rev 2003;5:87–103.
[PubMed: 12876898]
77. Telenti A, Bleiber G. Host genetics of HIV-1 suceptibility. Future Virology 2006;1:55–70.
78. Carrington M, Dean M, Martin MP, O’Brien S. Genetics of HIV-1infection: chemokine receptor
CCR5 polymorphism and its consequences. Hum Mol Genet 1999;8:1939–45. [PubMed:
10469847]
79. Gonzalez E, Kulkarni H, Bolivar H, et al. The influence of CCL3L1 gene-containing segmental
duplications on HIV-1/AIDS susceptibility. Science 2005;307:1434–40. [PubMed: 15637236]
80. Valdez H, Carlson NL, Post AB, et al. HIV long-term non-progressors maintain brisk CD8 T cell
responses to other viral antigens. AIDS 2002;16:1113–18. [PubMed: 12004269]
81. Stremlau M, Owens CM, Perron MJ, Kiessling M, Autissier P, Sodroski J. The cytoplasmic body
component TRIM5alpha restricts HIV-1 infection in Old World monkeys. Nature 2004;427:848–
53. [PubMed: 14985764]
82. Sheehy AM, Gaddis NC, Choi JD, Malim MH. Isolation of a human gene that inhibits HIV-1
NIH-PA Author Manuscript

infection and is suppressed by the viral Vif protein. Nature 2002;418:646–50. [PubMed:
12167863]
83. Sawyer SL, Emerman M, Malik HS. Ancient adaptive evolution of the primate antiviral DNA-
editing enzyme APOBEC3G. PLoS Biol 2004;2:E275. [PubMed: 15269786]
84. Jarmuz A, Chester A, Bayliss J, et al. An anthropoid-specific locus of orphan C to U RNA-editing
enzymes on chromosome 22. Genomics 2002;79:285–96. [PubMed: 11863358]
85. Petersen-Mahrt SK, Neuberger MS. In vitro deamination of cytosine to uracil in single-stranded
DNA by apolipoprotein B editing complex catalytic subunit 1 (APOBEC1). J Biol Chem
2003;278:19583–86. [PubMed: 12697753]
86. Mangeat B, Trono D. Lentiviral vectors and antiretroviral intrinsic immunity. Hum Gene Ther
2005;16:913–20. [PubMed: 16076249]
87. Cullen BR. Role and mechanism of action of the APOBEC3 family of antiretroviral resistance
factors. J Virol 2006;80:1067–76. [PubMed: 16414984]
88. Huthoff H, Malim MH. Cytidine deamination and resistance to retroviral infection: towards a
structural understanding of the APOBEC proteins. Virology 2005;334:147–53. [PubMed:
15780864]
89. Harris RS, Liddament MT. Retroviral restriction by APOBEC proteins. Nat Rev Immunol
2004;4:868–77. [PubMed: 15516966]
NIH-PA Author Manuscript

90. Schrofelbauer B, Yu Q, Landau NR. New insights into the role of Vif in HIV-1 replication. AIDS
Rev 2004;6:34–39. [PubMed: 15168739]
91. Navarro F, Bollman B, Chen H, et al. Complementary function of the two catalytic domains of
APOBEC3G. Virology 2005;333:374–86. [PubMed: 15721369]
92. Chiu YL, Soros VB, Kreisberg JF, Stopak K, Yonemoto W, Greene WC. Cellular APOBEC3G
restricts HIV-1 infection in resting CD4+ T cells. Nature 2005;435:108–14. [PubMed: 15829920]
93. Kieffer TL, Kulon P, Nettles RE, Han Y, Ray SC, Siliciano RF. G→A hypermutation in protease
and reverse transcriptase regions of human immunodeficiency virus type 1 residing in resting
CD4+ T cells in vivo. J Virol 2005;79:1973–80.
94. Tian C, Yu X, Zhang W, Wang T, Xu R, Yu XF. Differential requirement for conserved
tryptophans in human immunodeficiency virus type 1 Vif for the selective suppression of
APOBEC3G and APOBEC3F. J Virol 2006;80:3112–15. [PubMed: 16501124]
95. Simon V, Zennou V, Murray D, Huang Y, Ho DD, Bieniasz PD. Natural variation in Vif:
differential impact on APOBEC3G/3F and a potential role in HIV-1 diversification. PLoS Pathog
2005;1:e6. [PubMed: 16201018]

Lancet. Author manuscript; available in PMC 2010 August 2.


Simon et al. Page 18

96. Jin X, Brooks A, Chen H, Bennett R, Reichman R, Smith H. APOBEC3G/CEM15 (hA3G) mRNA
levels associate inversely with human immunodeficiency virus viremia. J Virol 2005;79:11513–
16. [PubMed: 16103203]
NIH-PA Author Manuscript

97. Cho SJ, Drechsler H, Burke RC, Arens MQ, Powderly W, Davidson NO. APOBEC3F and
APOBEC3G mRNA levels do not correlate with human immunodeficiency virus type 1 plasma
viremia or CD4+ T-cell count. J Virol 2006;80:2069–72. [PubMed: 16439564]
98. Nisole S, Stoye JP, Saib A. Trim family proteins: retroviral restriction and antiviral defence. Nat
Rev Microbiol 2005;3:799–808. [PubMed: 16175175]
99. Perez-Caballero D, Hatziioannou T, Zhang F, Cowan S, Bieniasz PD. Restriction of human
immunodeficiency virus type 1 by TRIM-CypA occurs with rapid kinetics and independently of
cytoplasmic bodies, ubiquitin, and proteasome activity. J Virol 2005;79:15567–72. [PubMed:
16306627]
100. Stremlau M, Perron M, Lee M, et al. Specific recognition and accelerated uncoating of retroviral
capsids by the TRIM5{alpha} restriction factor. Proc Natl Acad Sci USA 2006;103:5514–19.
[PubMed: 16540544]
101. Greenwald JL, Burstein GR, Pincus J, Branson B. A rapid review of rapid HIV antibody tests.
Curr Infect Dis Rep 2006;8:125–31. [PubMed: 16524549]
102. Berger A, Scherzed L, Sturmer M, Preiser W, Doerr HW, Rabenau HF. Comparative evaluation
of the Cobas Amplicor HIV-1 Monitor Ultrasensitive test, the new Cobas AmpliPrep/Cobas
Amplicor HIV-1 Monitor Ultrasensitive test and the Versant HIV RNA 3.0 assays for
quantitation of HIV-1 RNA in plasma samples. J Clin Virol 2005;33:43–51. [PubMed:
15797364]
NIH-PA Author Manuscript

103. Uttayamakul S, Likanonsakul S, Sunthornkachit R, et al. Usage of dried blood spots for molecular
diagnosis and monitoring HIV-1 infection. J Virol Methods 2005;128:128–34. [PubMed:
15913797]
104. Jennings C, Fiscus SA, Crowe SM, et al. Comparison of two human immunodeficiency virus
(HIV) RNA surrogate assays to the standard HIV RNA assay. J Clin Microbiol 2005;43:5950–
56. [PubMed: 16333081]
105. Lombart JP, Vray M, Kafando A, et al. Plasma virion reverse transcriptase activity and heat
dissociation-boosted p24 assay for HIV load in Burkina Faso, West Africa. AIDS 2005;19:1273–
77. [PubMed: 16052082]
106. Tuaillon E, Gueudin M, Lemee V, et al. Phenotypic susceptibility to nonnucleoside inhibitors of
virion-associated reverse transcriptase from different HIV types and groups. J Acquir Immune
Defic Syndr 2004;37:1543–49. [PubMed: 15577405]
107. Rodriguez WR, Christodoulides N, Floriano PN, et al. A microchip CD4 counting method for
HIV monitoring in resource-poor settings. PLoS Med 2005;2:e182. [PubMed: 16013921]
108. Spacek LA, Shihab HM, Lutwama F, et al. Evaluation of a low-cost method, the Guava EasyCD4
assay, to enumerate CD4-positive lymphocyte counts in HIV-infected patients in the United
States and Uganda. J Acquir Immune Defic Syndr 2006;41:607–10. [PubMed: 16652034]
109. Mofenson LM, Harris DR, Moye J, et al. Alternatives to HIV-1 RNA concentration and CD4
NIH-PA Author Manuscript

count to predict mortality in HIV-1-infected children in resource-poor settings. Lancet


2003;362:1625–27. [PubMed: 14630444]
110. Ceffa S, Erba F, Assane M, Coelho E, Calgaro M, Brando B. Panleucogating as an accurate and
affordable flow cytometric protocol to analyse lymphocyte subsets among HIV-positive patients
on HAART treatment in Mozambique. J Biol Regul Homeost Agents 2005;19:169–75. [PubMed:
16602633]
111. Lazzarin A, Clotet B, Cooper D, et al. Efficacy of enfuvirtide in patients infected with drug-
resistant HIV-1 in Europe and Australia. N Engl J Med 2003;348:2186–95. [PubMed: 12773645]
112. Lalezari JP, Henry K, O’Hearn M, et al. Enfuvirtide, an HIV-1 fusion inhibitor, for drug-resistant
HIV infection in North and South America. N Engl J Med 2003;348:2175–85. [PubMed:
12637625]
113. Mocroft A, Vella S, Benfield TL, et al. Changing patterns of mortality across Europe in patients
infected with HIV-1. EuroSIDA Study Group. Lancet 1998;352:1725–30. [PubMed: 9848347]

Lancet. Author manuscript; available in PMC 2010 August 2.


Simon et al. Page 19

114. Hogg RS, Heath KV, Yip B, et al. Improved survival among HIV-infected individuals following
initiation of antiretroviral therapy. JAMA 1998;279:450–54. [PubMed: 9466638]
115. Palella FJ Jr, Delaney KM, Moorman AC, et al. Declining morbidity and mortality among
NIH-PA Author Manuscript

patients with advanced human immunodeficiency virus infection. HIV Outpatient Study
Investigators. N Engl J Med 1998;338:853–60. [PubMed: 9516219]
116. Mocroft A, Lundgren JD. Starting highly active antiretroviral therapy: why, when and response to
HAART. J Antimicrob Chemother 2004;54:10–03. [PubMed: 15163656]
117. Mehandru S, Tenner-Racz K, Racz P, Markowitz M. The gastrointestinal tract is critical to the
pathogenesis of acute HIV-1 infection. J Allergy Clin Immunol 2005;116:419–22. [PubMed:
16083799]
118. Nolan D, Mallal S. Antiretroviral-therapy-associated lipoatrophy: current status and future
directions. Sex Health 2005;2:153–63. [PubMed: 16335543]
119. French MA, Price P, Stone SF. Immune restoration disease after antiretroviral therapy. AIDS
2004;18:1615–27. [PubMed: 15280772]
120. Wyatt CM, Klotman PE. Antiretroviral therapy and the kidney: balancing benefit and risk in
patients with HIV infection. Expert Opin Drug Saf 2006;5:275–87. [PubMed: 16503748]
121. Calza L, Manfredi R, Chiodo F. Dyslipidaemia associated with antiretroviral therapy in HIV-
infected patients. J Antimicrob Chemother 2004;53:10–14. [PubMed: 14645323]
122. Hirschel B. Planned interruptions of anti-HIV treatment. Lancet Infect Dis 2001;1:53–59.
[PubMed: 11871414]
123. Powers AE, Marden SF, McConnell R, et al. Effect of long-cycle structured intermittent versus
NIH-PA Author Manuscript

continuous HAART on quality of life in patients with chronic HIV infection. Aids 2006;20:837–
45. [PubMed: 16549967]
124. Dybul M, Nies-Kraske E, Daucher M, et al. Long-cycle structured intermittent versus continuous
highly active antiretroviral therapy for the treatment of chronic infection with human
immunodeficiency virus: effects on drug toxicity and on immunologic and virologic parameters.
J Infect Dis 2003;188:388–96. [PubMed: 12870120]
125. Abbas UL, Mellors JW. Interruption of antiretroviral therapy to augment immune control of
chronic HIV-1 infection: risk without reward. Proc Natl Acad Sci USA 2002;99:13377–78.
[PubMed: 12370421]
126. El-Sadr, W.; Neaton, J. Episodic CD4-guided use of ART is inferior to continuous therapy:
results of the SMART study. 13th Conference on Retroviruses and Opportunitic Infections;
Denver, CO, USA. Feb 6–9, 2006;
127. Kim JY, Gilks C. Scaling up treatment—why we can’t wait. N Engl J Med 2005;353:2392–94.
[PubMed: 16319389]
128. Orrell C. Antiretroviral adherence in a resource-poor setting. Curr HIV/AIDS Rep 2005;2:171–
76. [PubMed: 16343374]
129. Ferradini L, Jeannin A, Pinoges L, et al. Scaling up of highly active antiretroviral therapy in a
rural district of Malawi: an effectiveness assessment. Lancet 2006;367:1335–42. [PubMed:
NIH-PA Author Manuscript

16631912]
130. Coetzee D, Hildebrand K, Boulle A, et al. Outcomes after two years of providing antiretroviral
treatment in Khayelitsha, South Africa. AIDS 2004;18:887–95. [PubMed: 15060436]
131. Levy NC, Miksad RA, Fein OT. From treatment to prevention: the interplay between HIV/AIDS
treatment availability and HIV/AIDS prevention programming in Khayelitsha, South Africa. J
Urban Health 2005;82:498–509. [PubMed: 16049203]
132. WHO. Scaling up antiretroviral therapy in resource-limited settings: treatment guidelines for a
public health approach: 2003 revision. Geneva, Switzerland: WHO; 2004.
133. Badri M, Bekker LG, Orrell C, Pitt J, Cilliers F, Wood R. Initiating highly active antiretroviral
therapy in sub-Saharan Africa: an assessment of the revised World Health Organization scaling-
up guidelines. AIDS 2004;18:1159–68. [PubMed: 15166531]
134. Calmy A, Klement E, Teck R, Berman D, Pecoul B, Ferradini L. Simplifying and adapting
antiretroviral treatment in resource-poor settings: a necessary step to scaling-up. AIDS
2004;18:2353–60. [PubMed: 15622311]

Lancet. Author manuscript; available in PMC 2010 August 2.


Simon et al. Page 20

135. Kober K, Van Damme W. Scaling up access to antiretroviral treatment in southern Africa: who
will do the job? Lancet 2004;364:103–07. [PubMed: 15234864]
136. Libamba E, Makombe S, Harries AD, et al. Scaling up antiretroviral therapy in Africa: learning
NIH-PA Author Manuscript

from tuberculosis control programmes—the case of Malawi. Int J Tuberc Lung Dis 2005;9:1062–
71. [PubMed: 16229216]
137. Gupta R, Irwin A, Raviglione MC, Kim JY. Scaling-up treatment for HIV/AIDS: lessons learned
from multidrug-resistant tuberculosis. Lancet 2004;363:320–24. [PubMed: 14751708]
138. Bachmann MO. Effectiveness and cost effectiveness of early and late prevention of HIV/AIDS
progression with antiretrovirals or antibiotics in Southern African adults. AIDS Care
2006;18:109–20. [PubMed: 16338768]
139. Deeks SG. Treatment of antiretroviral-drug-resistant HIV-1 infection. Lancet 2003;362:2002–11.
[PubMed: 14683662]
140. Kantor R, Katzenstein DA, Efron B, et al. Impact of HIV-1 subtype and antiretroviral therapy on
protease and reverse transcriptase genotype: results of a global collaboration. PLoS Med
2005;2:e112. [PubMed: 15839752]
141. Parkin NT, Schapiro JM. Antiretroviral drug resistance in non-subtype B HIV-1, HIV-2 and SIV.
Antivir Ther 2004;9:3–12. [PubMed: 15040531]
142. Wensing AM, Boucher CA. Worldwide transmission of drug-resistant HIV. AIDS Rev
2003;5:140–55. [PubMed: 14598563]
143. Toni TD, Masquelier B, Lazaro E, et al. Characterization of nevirapine (NVP) resistance
mutations and HIV type 1 subtype in women from Abidjan (Cote d’Ivoire) after NVP single-dose
NIH-PA Author Manuscript

prophylaxis of HIV type 1 mother-to-child transmission. AIDS Res Hum Retroviruses


2005;21:1031–34. [PubMed: 16379606]
144. Eshleman SH, Jackson JB. Nevirapine resistance after single dose prophylaxis. AIDS Rev
2002;4:59–63. [PubMed: 12152519]
145. Flys TS, Chen S, Jones DC, et al. Quantitative analysis of HIV-1 variants with the K103N
resistance mutation after single-dose nevirapine in women with HIV-1 subtypes A, C, and D. J
Acquir Immune Defic Syndr. 2006 published online June 12, 2006. 10.1097/01.qai.
0000221686.67810.20
146. Lee EJ, Kantor R, Zijenah L, et al. Breast-milk shedding of drug-resistant HIV-1 subtype C in
women exposed to single-dose nevirapine. J Infect Dis 2005;192:1260–64. [PubMed: 16136470]
147. Palmer S, Boltz V, Martinson N, et al. Persistence of nevirapine-resistant HIV-1 in women after
single-dose nevirapine therapy for prevention of maternal-to-fetal HIV-1 transmission. Proc Natl
Acad Sci USA 2006;103:7094–99. [PubMed: 16641095]
148. Chaix ML, Ekouevi DK, Rouet F, et al. Low risk of nevirapine resistance mutations in the
prevention of mother-to-child transmission of HIV-1: Agence Nationale de Recherches sur le
SIDA Ditrame Plus, Abidjan, Cote d’Ivoire. J Infect Dis 2006;193:482–87. [PubMed: 16425126]
149. Ylisastigui L, Archin NM, Lehrman G, Bosch RJ, Margolis DM. Coaxing HIV-1 from resting
CD4 T cells: histone deacetylase inhibition allows latent viral expression. AIDS 2004;18:1101–
08. [PubMed: 15166525]
NIH-PA Author Manuscript

150. Lehrman G, Hogue IB, Palmer S, et al. Depletion of latent HIV-1 infection in vivo: a proof-of-
concept study. Lancet 2005;366:549–55. [PubMed: 16099290]
151. Luzuriaga K, Sullivan JL. Prevention of mother-to-child transmission of HIV infection. Clin
Infect Dis 2005;40:466–67. [PubMed: 15668872]
152. McIntyre J. Strategies to prevent mother-to-child transmission of HIV. Curr Opin Infect Dis
2006;19:33–38. [PubMed: 16374215]
153. Newell ML. Current issues in the prevention of mother-to-child transmission of HIV-1 infection.
Trans R Soc Trop Med Hyg 2006;100:1–5. [PubMed: 16214193]
154. Ekouevi DK, Tonwe-Gold B, Dabis F. Advances in the prevention of mother-to-child
transmission of HIV-1 infection in resource-limited settings. AIDS Read 2005;15:479–80.
[PubMed: 16170877]
155. Cressey TR, Jourdain G, Lallemant MJ, et al. Persistence of nevirapine exposure during the
postpartum period after intrapartum single-dose nevirapine in addition to zidovudine prophylaxis

Lancet. Author manuscript; available in PMC 2010 August 2.


Simon et al. Page 21

for the prevention of mother-to-child transmission of HIV-1. J Acquir Immune Defic Syndr
2005;38:283–88. [PubMed: 15735445]
156. Read JS, Newell MK. Efficacy and safety of cesarean delivery for prevention of mother-to-child
NIH-PA Author Manuscript

transmission of HIV-1. Cochrane Database Syst Rev 2005;4:CD005479. [PubMed: 16235405]


157. Magoni M, Bassani L, Okong P, et al. Mode of infant feeding and HIV infection in children in a
program for prevention of mother-to-child transmission in Uganda. AIDS 2005;19:433–37.
[PubMed: 15750397]
158. Rollins N, Meda N, Becquet R, et al. Preventing postnatal transmission of HIV-1 through breast-
feeding: modifying infant feeding practices. J Acquir Immune Defic Syndr 2004;35:188–95.
[PubMed: 14722453]
159. Duerr A, Hurst S, Kourtis AP, Rutenberg N, Jamieson DJ. Integrating family planning and
prevention of mother-to-child HIV transmission in resource-limited settings. Lancet
2005;366:261–63. [PubMed: 16023518]
160. Welty TK, Bulterys M, Welty ER, et al. Integrating prevention of mother-to-child HIV
transmission into routine antenatal care: the key to program expansion in Cameroon. J Acquir
Immune Defic Syndr 2005;40:486–93. [PubMed: 16280706]
161. Tuomala RE, Shapiro DE, Mofenson LM, et al. Antiretroviral therapy during pregnancy and the
risk of an adverse outcome. N Engl J Med 2002;346:1863–70. [PubMed: 12063370]
162. Exposure to antiretroviral therapy in utero or early life: the health of uninfected children born to
HIV-infected women. J Acquir Immune Defic Syndr 2003;32:380–87. [PubMed: 12640195]
163. Chan DJ. Factors affecting sexual transmission of HIV-1: current evidence and implications for
NIH-PA Author Manuscript

prevention. Curr HIV Res 2005;3:223–41. [PubMed: 16022655]


164. de Vincenzi I. A longitudinal study of human immunodeficiency virus transmission by
heterosexual partners. European Study Group on Heterosexual Transmission of HIV. N Engl J
Med 1994;331:341–46. [PubMed: 8028613]
165. Weller S, Davis K. Condom effectiveness in reducing heterosexual HIV transmission. Cochrane
Database Syst Rev 2002;1:CD003255. [PubMed: 11869658]
166. Siegfried N, Muller M, Deeks J, et al. HIV and male circumcision—a systematic review with
assessment of the quality of studies. Lancet Infect Dis 2005;5:165–73. [PubMed: 15766651]
167. Auvert B, Taljaard D, Lagarde E, Sobngwi-Tambekou J, Sitta R, Puren A. Randomized,
controlled intervention trial of male circumcision for reduction of HIV infection risk: the ANRS
1265 Trial. PLoS Med 2005;2:e298. [PubMed: 16231970]
168. Szabo R, Short RV. How does male circumcision protect against HIV infection? BMJ
2000;320:1592–94. [PubMed: 10845974]
169. Soto-Ramirez LE, Renjifo B, McLane MF, et al. HIV-1 Langerhans’ cell tropism associated with
heterosexual transmission of HIV. Science 1996;271:1291–93. [PubMed: 8638113]
170. Patterson BK, Landay A, Siegel JN, et al. Susceptibility to human immunodeficiency virus-1
infection of human foreskin and cervical tissue grown in explant culture. Am J Pathol
2002;161:867–73. [PubMed: 12213715]
NIH-PA Author Manuscript

171. Halperin DT, Fritz K, McFarland W, Woelk G. Acceptability of adult male circumcision for
sexually transmitted disease and HIV prevention in Zimbabwe. Sex Transm Dis 2005;32:238–39.
[PubMed: 15788922]
172. Garenne M. Male circumcision and HIV control in Africa. PLoS Med 2006;3:e78. [PubMed:
16435906]
173. Bailey RC. Editorial comment: male circumcision to reduce HIV acquisition—not quite yet.
AIDS Read 2005;15:136–37. [PubMed: 15786576]
174. Blower SM, Gershengorn HB, Grant RM. A tale of two futures: HIV and antiretroviral therapy in
San Francisco. Science 2000;287:650–54. [PubMed: 10649998]
175. Gray RH, Wawer MJ, Brookmeyer R, et al. Probability of HIV-1 transmission per coital act in
monogamous, heterosexual, HIV-1-discordant couples in Rakai, Uganda. Lancet 2001;357:1149–
53. [PubMed: 11323041]
176. Nicolosi A, Correa Leite ML, Musicco M, Arici C, Gavazzeni G, Lazzarin A. The efficiency of
male-to-female and female-to-male sexual transmission of the human immunodeficiency virus: a

Lancet. Author manuscript; available in PMC 2010 August 2.


Simon et al. Page 22

study of 730 stable couples. Italian Study Group on HIV Heterosexual Transmission.
Epidemiology 1994;5:570–75. [PubMed: 7841237]
177. Puro V, Cicalini S, De Carli G, et al. Post-exposure prophylaxis of HIV infection in healthcare
NIH-PA Author Manuscript

workers: recommendations for the European setting. Eur J Epidemiol 2004;19:577–84. [PubMed:
15330131]
178. Winston A, McAllister J, Amin J, Cooper DA, Carr A. The use of a triple nucleoside-nucleotide
regimen for nonoccupational HIV post-exposure prophylaxis. HIV Med 2005;6:191–97.
[PubMed: 15876286]
179. Bassett IV, Freedberg KA, Walensky RP. Two drugs or three? Balancing efficacy, toxicity, and
resistance in postexposure prophylaxis for occupational exposure to HIV. Clin Infect Dis
2004;39:395–401. [PubMed: 15307008]
180. Blower SM, Gershengorn HB, Grant RM. A tale of two futures: HIV and antiretroviral therapy in
San Francisco. Science 2000;287:650–54. [PubMed: 10649998]
181. Grosskurth H, Gray R, Hayes R, Mabey D, Wawer M. Control of sexually transmitted diseases
for HIV-1 prevention: understanding the implications of the Mwanza and Rakai trials. Lancet
2000;355:1981–87. [PubMed: 10859054]
182. Corey L, Wald A, Celum CL, Quinn TC. The effects of herpes simplex virus-2 on HIV-1
acquisition and transmission: a review of two overlapping epidemics. J Acquir Immune Defic
Syndr 2004;35:435–45. [PubMed: 15021308]
183. Nagot N, Foulongne V, Becquart P, et al. Longitudinal assessment of HIV-1 and HSV-2 shedding
in the genital tract of West African women. J Acquir Immune Defic Syndr 2005;39:632–34.
[PubMed: 16044019]
NIH-PA Author Manuscript

184. Gupta R, Wald A, Krantz E, et al. Valacyclovir and acyclovir for suppression of shedding of
herpes simplex virus in the genital tract. J Infect Dis 2004;190:1374–81. [PubMed: 15378428]
185. Corey L, Wald A, Patel R, et al. Once-daily valacyclovir to reduce the risk of transmission of
genital herpes. N Engl J Med 2004;350:11–20. [PubMed: 14702423]
186. Hosken NA. Development of a therapeutic vaccine for HSV-2. Vaccine 2005;23:2395–98.
[PubMed: 15755634]
187. Duffy L. Culture and context of HIV prevention in rural Zimbabwe: the influence of gender
inequality. J Transcult Nurs 2005;16:23–31. [PubMed: 15608096]
188. Gray RH, Li X, Kigozi G, et al. Increased risk of incident HIV during pregnancy in Rakai,
Uganda: a prospective study. Lancet 2005;366:1182–88. [PubMed: 16198767]
189. Schwebke JR. Abnormal vaginal flora as a biological risk factor for acquisition of HIV infection
and sexually transmitted diseases. J Infect Dis 2005;192:1315–17. [PubMed: 16170746]
190. van der Straten A, Kang MS, Posner SF, Kamba M, Chipato T, Padian NS. Predictors of
diaphragm use as a potential sexually transmitted disease/HIV prevention method in Zimbabwe.
Sex Transm Dis 2005;32:64–71. [PubMed: 15614123]
191. Myer L, Denny L, Telerant R, Souza M, Wright TC Jr, Kuhn L. Bacterial vaginosis and
susceptibility to HIV infection in South African women: a nested case-control study. J Infect Dis
NIH-PA Author Manuscript

2005;192:1372–80. [PubMed: 16170754]


192. Stein ZA. Vaginal microbicides and prevention of HIV infection. Lancet 1994;343:362–63.
[PubMed: 7905178]
193. Van Damme L, Ramjee G, Alary M, et al. Effectiveness of COL-1492, a nonoxynol-9 vaginal
gel, on HIV-1 transmission in female sex workers: a randomised controlled trial. Lancet
2002;360:971–77. [PubMed: 12383665]
194. Hillier SL, Moench T, Shattock R, Black R, Reichelderfer P, Veronese F. In vitro and in vivo: the
story of nonoxynol 9. J Acquir Immune Defic Syndr 2005;39:1–8. [PubMed: 15851907]
195. Weber J, Desai K, Darbyshire J. The development of vaginal microbicides for the prevention of
HIV transmission. PLoS Med 2005;2:e142. [PubMed: 15916473]
196. Dhawan D, Mayer KH. Microbicides to prevent HIV transmission: overcoming obstacles to
chemical barrier protection. J Infect Dis 2006;193:36–44. [PubMed: 16323129]
197. Malcolm RK, Woolfson AD, Toner CF, Morrow RJ, McCullagh SD. Long-term, controlled
release of the HIV microbicide TMC120 from silicone elastomer vaginal rings. J Antimicrob
Chemother 2005;56:954–56. [PubMed: 16155060]

Lancet. Author manuscript; available in PMC 2010 August 2.


Simon et al. Page 23

198. Ho DD, Huang Y. The HIV-1 vaccine race. Cell 2002;110:135–38. [PubMed: 12150921]
199. Sheppard HW. Inactivated- or killed-virus HIV/AIDS vaccines. Curr Drug Targets Infect Disord
2005;5:131–41. [PubMed: 15975019]
NIH-PA Author Manuscript

200. Wyatt R, Sodroski J. The HIV-1 envelope glycoproteins: fusogens, antigens, and immunogens.
Science 1998;280:1884–88. [PubMed: 9632381]
201. Pantophlet R, Burton DR. GP120: target for neutralizing HIV-1 antibodies. Annu Rev Immunol
2006;24:739–69. [PubMed: 16551265]
202. Cohen J. Public health. AIDS vaccine trial produces disappointment and confusion. Science
2003;299:1290–91. [PubMed: 12610260]
203. Francis DP, Heyward WL, Popovic V, et al. Candidate HIV/AIDS vaccines: lessons learned from
the world’s first phase III efficacy trials. AIDS 2003;17:147–56. [PubMed: 12545073]
204. Garber DA, Silvestri G, Feinberg MB. Prospects for an AIDS vaccine: three big questions, no
easy answers. Lancet Infect Dis 2004;4:397–413. [PubMed: 15219551]
205. Roberts DM, Nanda A, Havenga MJ, et al. Hexonchimaeric adenovirus serotype 5 vectors
circumvent pre-existing anti-vector immunity. Nature 2006;441:239–43. [PubMed: 16625206]
206. Jamieson BD, Ibarrondo FJ, Wong JT, et al. Transience of vaccine-induced HIV-1-specific CTL
and definition of vaccine “response”. Vaccine 2006;24:3426–31. [PubMed: 16545508]
207. Rennie S, Behets F. Desperatly seeking targets: the ethics of routine testing in low income
countries. Bull World Health Organ 2006;84:52–57. [PubMed: 16501715]
208. Manzi M, Zachariah R, Teck R, et al. High acceptability of voluntary counselling and HIV-testing
but unacceptable loss to follow up in a prevention of mother-to-child HIV transmission
NIH-PA Author Manuscript

programme in rural Malawi: scaling-up requires a different way of acting. Trop Med Int Health
2005;10:1242–50. [PubMed: 16359404]
NIH-PA Author Manuscript

Lancet. Author manuscript; available in PMC 2010 August 2.


Simon et al. Page 24
NIH-PA Author Manuscript
NIH-PA Author Manuscript

Figure 1. Worldwide distribution of HIV-1 infections, modes of transmission, and HIV-1


subtypes
HSex=heterosexual. MSM=Men who have sex with men. IDU=injection drug users. Based
on Joint UNAIDS and WHO AIDS epidemic update December, 2005.
NIH-PA Author Manuscript

Lancet. Author manuscript; available in PMC 2010 August 2.


Simon et al. Page 25
NIH-PA Author Manuscript
NIH-PA Author Manuscript
NIH-PA Author Manuscript

Figure 2. Phylogenetic relation of lentiviruses in man and non-human primates


The HIV-1 pandemic is largely due to viral isolates belonging to the HIV-1 M-group, with
HIV-1 subtype C being the most prevalent (red). Recombinant circulating forms cluster with
the M-group but have been omitted for clarity. HIV-1 M group and the contemporary SIV
strains identified in wild chimpanzees in Cameroon (SIVcpzLB7/EK528) are highlighted.
HIV-1 sequences cluster closely with SIV from chimpanzees (SIVcpz), whereas HIV-2
resembles SIV from macaques and sooty mangabeys (SIVmac/SIVsm).

Lancet. Author manuscript; available in PMC 2010 August 2.


Simon et al. Page 26
NIH-PA Author Manuscript
NIH-PA Author Manuscript

Figure 3. HIV-1 is a retrovirus that encodes three structural genes (Gag, Pol, and Env)
NIH-PA Author Manuscript

(A) Envelope glycoproteins gp120/41 form the spikes on the virion’s surface. During
maturation the gag protein is cleaved and Gag p24 forms the core. The viral genome, viral
reverse transcriptase (RT), integrase as well as a number of host proteins are encapsidated.
(B) Dir erent steps of the viral life cycle on a cellular level and the potential targets for
treatment interventions. (C) HIV-1 has evolved strategies to counteract the restriction factors
TRIM5α and APOBEC3G/3F. If left unchecked by HIV-1 Vif, APOBEC3G/3F is
encapsidated into the egressing virion, and on infection of a target cell leads to G-to-A
hypermutations in the viral genome. Rhesus TRIM5α inhibits HIV-1 replication early after
infection of the target cell before the step of reverse transcription.

Lancet. Author manuscript; available in PMC 2010 August 2.


Simon et al. Page 27
NIH-PA Author Manuscript
NIH-PA Author Manuscript

Figure 4. The course of HIV-1 infection defined by the level of viral replication
Plasma viraemia (top), and dynamic changes of the CD4+ T-lymphocyte compartments
(bottom). Primary infection characterised by high plasma viraemia (red line, top), low CD4
cells (green line, bottom), and absence of HIV-1 specific antibodies (orange line, bottom).
Viraemia drops as cytotoxic CD8+ T-lymphocytes (CTL) develop (blue line, bottom) and an
individual viral-load set point is reached during chronic infection. Viral set points dir er
greatly among individuals (eg, red dotted line, top) and predict disease progression. Viral
diversity increases through out the disease (closed circles, top). The risk of transmission is
highest in the first weeks when viraemia peaks (closed circles, top). GALT=gut-associated
lymphoid tissues.
NIH-PA Author Manuscript

Lancet. Author manuscript; available in PMC 2010 August 2.


Simon et al. Page 28
NIH-PA Author Manuscript

Figure 5. Timeline of microbicide development of different product generation with trial


initiation dates as reference
N9=nonoxonol-9. CS=cellulose sulphate.
NIH-PA Author Manuscript
NIH-PA Author Manuscript

Lancet. Author manuscript; available in PMC 2010 August 2.


Simon et al. Page 29
NIH-PA Author Manuscript
NIH-PA Author Manuscript

Figure 6. Selected observations, scientific developments, and treatment options pertinent to


HIV-1/AIDS
Estimates place the cross species transmission events leading to the worldwide spread of
HIV-1 to the early decades of the 20th century. Numbers circled by a hexagon identify the
specific year of an event. PEPFAR=President’s Emergency Plan for AIDS Relief.
NIH-PA Author Manuscript

Lancet. Author manuscript; available in PMC 2010 August 2.


Simon et al. Page 30

Table 1
Some of the host factors affecting susceptibility to HIV-1 infection
NIH-PA Author Manuscript

Innate Genetic Acquired Intrinsic

Autoantibodies HLA haplotype Cytotoxic T-cell activity APOBEC3G/3F


Chemokines CCR5 gene/promoter Helper T-cell function TRIM5α
Cytokines CCR2 gene/promoter Neutralising antibodies
CCL3L1 gene copy number

HLA=human leucocyte antigen. CCR5=chemokine receptor 5. CCR2=chemokine receptor 2. CCL3L1=CC chemokine ligand like-1, APOBEC3G/
3F=apolipoprotein B mRNA editing complex 3.
NIH-PA Author Manuscript
NIH-PA Author Manuscript

Lancet. Author manuscript; available in PMC 2010 August 2.


NIH-PA Author Manuscript NIH-PA Author Manuscript NIH-PA Author Manuscript

Table 2
Antiretroviral drugs currently approved by US Food and Drug Administration

Entry Reverse transcriptase Protease


Simon et al.

Nucleoside Nucleotide Non-nucleoside

Single compound tablets Enfuvirtide Abacavir Tenofovir Delaviridine (Fos)-Amprenavir


Didanosine Efavirenz Atazanavir
Emtricitabine Nevirapine Darunavir
Lamivudine Indinavir
Stavudine Nelfinavir
Zalcitabine Ritonavir
Zidovudine Saquinavir
Tripanavir
Fixed-dose combination tablets Abacavir/lamivudine (Epzicom) Lopinavir/ritonavir
Zidovudine/lamivudine (Combivir)
Tenofovir/emtricitabine (Truvada)
Abacavir/lamivudine/zidovudine (Trizavir)
Tenofovir/emtricitabine/efavirenz (Atripla)

Drugs belong to five drug classes and target three dir erent viral steps (entry, reverse transcription, or protease). Availability of these drugs in resource-limited countries is subject to country specific licensing
agreements.

Lancet. Author manuscript; available in PMC 2010 August 2.


Page 31
Simon et al. Page 32

Table 3
Antiretrovirals currently in phase II/III of clinical development
NIH-PA Author Manuscript

Drug Mechanism Activity against PI and RT resistant strains

Maraviroc MVC CCR5 inhibitor Yes, but not X4 variants

Vicriviroc SCH D Yes, but not X4 variants

Etravirine TMC-125 Non-nucleoside reverse transcriptase inhibitor Yes, also NNRTI-resistant strains

TMC-278 Yes, also NNRTI-resistant strains

n/a MK-0518 Integrase strand transfer inhibitor Yes

n/a GS-9137 Yes


NIH-PA Author Manuscript
NIH-PA Author Manuscript

Lancet. Author manuscript; available in PMC 2010 August 2.


Simon et al. Page 33

Table 4
Summary of microbicides currently undergoing advanced clinical testing
NIH-PA Author Manuscript

Phase Mode of action Effective against

Carraguard III Seaweed polymer, entry inhibitor HIV-1/HIV-2, human papilloma virus, herpes simplex virus

Cellulose sulphate III Entry inhibitor Broad range of sexually transmitted diseases; also active as
contraceptive

PRO2000 III Entry inhibitor HIV-1/HIV-2, human papillomavirus, chlamydia

Savvy (C31G) III Surfactant Broad range of sexually transmitted diseases; also active as
contraceptive

Tenofovir gel IIb Nucleotide reverse transcriptase HIV-1/HIV-2


inhibitor

Buffer gel+PRO2000 IIb/III Natural vaginal defence/entry inhibitor HIV-1/HIV-2, chlamydia, gonorrhoea, human papillomavirus,
bacterial vaginosis
Tenofovir gel+oral II Nucleotide reverse transcriptase HIV-1/HIV-2
inhibitor
NIH-PA Author Manuscript
NIH-PA Author Manuscript

Lancet. Author manuscript; available in PMC 2010 August 2.


IinP,DanyH,HermanS,HadiS,EddyF,GustomoP/ Jurnal Ilmu Keperawatan dan Kebidanan Vol.10 No.1 (2019) 264-272 | 264

ANALISIS PENYEBAB KEMATIAN PERINATAL DI KABUPATEN


GARUT (STUDI EPIDEMIOLOGI DALAM UPAYA MENURUNKAN
KEMATIAN PERINATAL DI PROVINSI JAWA BARAT)
Iin Prima Fitriah a*, Dany Hilmanto b, Herman Susanto c, Hadi Susiarno c, Eddy
Fadlyana b, Gustomo Panantro d
a
Mahasiswa Program Studi Magister Kebidanan Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran
Poltekkes Kemenekes Padang
b
Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran
c
Departemen Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran
d
Rumah Sakit Dr. Slamet Kabupaten Garut

Abstrak

Kematian perinatal berhubungan dengan peristiwa obstetri seperti lahir mati dan kematian neonatal
dini. Kasus kematian bayi di Kabupaten Garut menduduki peringkat kedua tertinggi kematian bayi di
Jawa Barat. Berbagai upaya dilakukan untuk menurunkan kasus kematian perinatal namun, belum
memperlihatkan hasil maksimal. Tujuan penelitian adalah menganalisis penyebab kematian perinatal
yang dapat dicegah. Rancangan penelitian ini adalah Sequential Explanatory Mixed Method. Tahap
pertama melakukan teknik kuantitatif dengan studi dokumentasi terhadap dokumen Otopsi Verbal
Perinatal (OVP) berjumlah 78 kasus. Uji statistik menggunakan fisher exact. Tahap kedua dengan teknik
kualitatif dengan indepth interview pada empat orang keluarga bayi yang meninggal, dua orang petugas
kesehatan dan dua orang penanggungjawab pencatatan dan pelaporan dan Focus Group Discussion
(FGD) pada satu orang kepala seksi kesehatan keluarga Dinas Kesehatan Kabupaten Garut dan empat
orang bidan koordinator puskesmas. Penelitian dilaksanakan bulan Oktober sampai November 2016.
Hasil penelitian menunjukkan terdapat hubungan jarak kelahiran, penyakit penyerta, ketersediaan fasilitas
dan rujukan dengan kematian perinatal yang dapat dicegah (p<0,05). Jarak kelahiran dan penyakit
penyerta masih berkontribusi terhadap kematian perinatal yang dapat dicegah terkait dengan keterbatasan
pengetahuan ibu dan juga deteksi dini baik tingkat keluarga maupun tenaga kesehatan, sedangkan
ketersediaan fasilitas kesehatan terkait dengan keterbatasan alat dan sumber daya manusia kesehatan.
Sebagian besar kematian perinatal dapat dicegah. Perlu kerjasama semua elemen masyarakat maupun
pemerintah dalam upaya menurunkan kematian perinatal yang dapat dicegah.

Kata Kunci: Kematian perinatal yang dapat dicegah, faktor penyebab.

Abstract

The perinatal mortality is associated with obstetric events such as stillbirth and early neonatal
mortality. The infant mortality case in Garut Regency was ranked the second level in West Java. The
various efforts have been made in decreasing perinatal mortality but still did not show a maximum result.
The purpose of the research was to analyze the causes of perinatal mortality which are preventable. This
research used Mixed Method with Sequential Explanatory Mixed Method which was conducted in
sequence. The first stage performed a quantitative technique with documentation research on the
Perinatal Verbal Autopsy as many as 78 cases of perinatal mortality in 2015 at Health Department of
Garut Regency. Statistic test was using fisher exact. The second phase with qualitative techniques with in-
depth interview on the four families of infants who died, two medics and two people responsible for
recording and reporting and Focus Group Discussion (FGD) on one Section chief of family health at
Health Department of Garut Regency, and four midwives coordinator of health centers. The research was
conducted in October and November 2016. The results showed a correlation between birth spacing,
maternal disease, the availability of facility and reference factors with perinatal mortality that can be
prevented (p<0.05). Birth spacing and comorbidities still contribute to preventable perinatal mortality
associated with limited knowledge of the mother and also the early detection of both the level of the
family and health workers, while the availability of health facilities related to limitations of equipment
and health human resources. Most perinatal mortality can be prevented. Need the cooperation of all
265 | IinP,DanyH,HermanS,HadiS,EddyF,GustomoP./ Jurnal Ilmu Keperawatan dan Kebidanan Vol.10 No.1 (2019) 264-272

elements of society and government in efforts to reduce preventable perinatal mortality.

Keywords: preventable of perinatal mortality, causing factors.

Kasus kematian perinatal sebesar 402 kasus,


PENDAHULUAN dengan 217 lahir mati dan 185 kematian pada
Kematian perinatal digunakan sebagai neonatal dini.6 Namun dimungkinkan angka
salah satu indikator dari kualitas kesehatan ini belum sesuai dengan yang terjadi
selama periode antenatal dan intranatal.1 dilapangan karena diasumsikan banyak data-
Kematian perinatal merupakan kematian bayi data kematian yang belum terlaporkan
yang lahir pada usia kehamilan 22 minggu dengan baik.
sampai dengan kurang 7 hari setelah Beberapa studi menyebutkan sebagian
kelahiran,2 hal ini dikaitkan dengan penyebab besar faktor kematian perinatal yang dapat
kematian bayi yang berhubungan dengan dicegah seperti faktor tenaga kesehatan,
peristiwa obstetri seperti lahir mati dan faktor pasien, faktor transportasi/rujukan dan
kematian bayi pada minggu pertama faktor administrasi. Faktor pasien lebih
kehidupannya.2 dipengaruhi oleh kondisi maternal seperti
Secara global, sekitar 136 juta kelahiran karakteristik ibu diantaranya umur, paritas,
terjadi setiap tahun, sekitar 3,7 juta jarak kehamilan, penyakit penyerta serta
meninggal selama neonatal dan 3,3 juta yang faktor bayi seperti kelainan bawaan yang
lahir mati. 2, 4 Lebih dari 6,3 juta kematian dibawa sejak kehamilan. Faktor petugas lebih
perinatal terjadi di seluruh dunia. Angka dipengaruhi oleh kompetensi dari petugas
kematian perinatal adalah lima kali lebih kesehatan. Faktor ketersediaan fasilitas
tinggi di negara berkembang. Sekitar 98% kesehatan lebih dipengaruhi oleh
kematian perinatal terjadi di negara-negara ketersediaan darah, alat dan obat di fasilitas
berkembang dan 27% pada negara-negara pelayanan kesehatan rujukan.7,8
maju. Angka Kematian perinatal tertinggi Kabupaten Garut berdasarkan
terjadi di Afrika yaitu 62 kematian per 1000 karakteristik topografi terdiri dari daerah
kelahiran, terutama di Afrika Tengah yaitu yang beragam. Daerah sebelah Utara, Timur
75 per 1000 kelahiran dan Afrika Barat yaitu dan Barat secara umum merupakan daerah
76 per seribu kelahiran, sedangkan di Asia, dataran tinggi dengan kondisi alam berbukit-
angka kematian didapatkan 50 per 1000 bukit dan pegunungan, sedangkan kondisi
kelahiran, dengan 65 per 1.000 kelahiran di daerah sebelah Selatan sebagian besar
Asia Selatan dan Asia Tengah.3 permukaan tanahnya memiliki kemiringan
Laporan Survei Demografi Kesehatan yang relatif cukup curam dan beberapa
Indonesia (SDKI) tahun 2012 menunjukkan tempat labil. Luas wilayah Kabupaten Garut
bahwa angka kematian perinatal adalah 3.065,19 km2, yang terdiri dari 42 kecamatan,
sebesar 26/1000 kelahiran.5 Berdasarkan 21 Kelurahan, dan 424 desa.9 Hal ini
jumlah kasus kematian bayi, Provinsi Jawa memungkinkan sulitnya pelaksanaan proses
Barat pada tahun 2012 menduduki peringkat rujukan ke fasilitas pelayanan kesehatan
ketiga di Indonesia yaitu 4.650 kasus. Angka lanjut.
kematian perinatal di provinsi Jawa Barat Kabupaten Garut ditinjau dar segi budaya,
berdasarkan laporan tersebut adalah 24/1000 masih tingginya pernikahan usia dini.
kelahiran. Berdasarkan studi pendahuluan Ditinjau dari segi pendidikan sebagian besar
yang dilakukan pada 27 kabupaten/kota se- masyarakat pendidikannya adalah selevel
Jawa Barat pada tahun 2014 terdapat 4650 kelas satu SMP. Ditinjau dari segi sosial
kematian bayi dan sebanyak 2.653 ekonomi Kabupaten Garut didapatkan sekitar
merupakan kasus kematian perinatal dengan 12,22% masyarakat dengan tingkat ekonomi
1.055 kasus lahir mati dan 1.508 kasus yang rendah (masyarakat miskin), hal ini
kematian neonatal dini. Kabupaten Garut lebih besar dari angka nasional maupun
pada tahun 2014 menduduki peringkat ke-2 angka Jawa Barat.10 Di Kabupaten Garut
tertinggi kasus kematian bayi yaitu 541 kasus.
IinP,DanyH,HermanS,HadiS,EddyF,GustomoP/ Jurnal Ilmu Keperawatan dan Kebidanan Vol.10 No.1 (2019) 264-272 | 266

ditemukan bahwa persoalan serius tentang dengan uji fisher exact. Penelitian ini
kesehatan bayi baru lahir terganjal oleh dilaksanakan di wilayah Kabupaten Garut
pengetahuan, sikap dan praktek masyarakat pada bulan Oktober sampai November 2016.
yang masih menganut keyakinan turun Berikut deskripsi hasil pengumpulan data
temurun. Dari 10 kecamatan di kabupaten yang meliputi analisis univariabel dan
Garut, salah satu bukti perilaku yang sulit bivariabel.
diubah adalah 56% ibu lebih memilih pergi
ke dukun bayi (paraji) untuk memeriksakan HASIL PENELITIAN
kehamilannya, pertolongan persalinan, dan Hasil Penelitian Kuantitatif
asuhan bayi baru lahir. Persepsi sebagian dari Tabel 1
mereka, paraji adalah tempat pertolongan Distribusi frekuensi penyebab kematian,, periode
untuk persalinan lancar dan norma, kematian, tempat kematian, penolong persalinan dan
sementara tenaga kesehatan untuk kasus rujukan pada kematian perinatal di Kabupaten
pertolongan persalinan yang bermasalah atau Garut Tahun 2015.
komplikasi. Keadaan ini imbuhnya akan Kematian Perinatal n %
terus berlangsung selama tingkat Penyebab Kematian
kepercayaan masyarakat terhadap hal yang Kematian Tidak Dapat 17 21,8
merugikan kesehatan masih tinggi, sehingga Dicegah
hal ini berkontribusi terhadap meningkatnya Kematian dapat Dicegah 61 78,2
kasus kematian perinatal yang dapat dicegah Periode Kematian
Lahir Mati 16 20,5
di Kabupaten Garut.11
Kematian Neonatal Dini 62 79,5
METODE PENELITIAN Tempat Kematian
Desain penelitian ini adalah Sequential Non Fasilitas Kesehatan 15 19,2
Explanatory Mixed Methods. Tahap awal Fasilitas Kesehatan 63 80,8
Penolong Persalinan
penelitian dilakukan secara kuantitatif
Paraji 17 21,8
dengan studi cross sectional yaitu studi Bidan 38 48,7
dokumentasi terhadap rekap kematian Dokter 23 29,5
perinatal serta dokumen Audit Maternal Kasus Rujukan
Perinatal (AMP) sebanyak 78 dokumen. Bukan Kasus Rujukan 27 34,6
Tahap selanjutnya melakukan penelitian Kasus Rujukan 51 65,4
kualitatif dengan metode Indepth Interview
yang terdiri dari keluarga perinatal yang Tabel 1 menunjukkan sebagian besar
meninggal sebanyak 4 orang, petugas kasus kematian perinatal yang terjadi
kesehatan 2 orang, penanggung jawab adalah dapat dicegah, sebagian besar
pencatatan dan pelaporan sebanyak 2 orang. kematian terjadi pada lahir, sebagian besar
dan Focus Group Discussion (FGD) yang kematian perinatal terjadi pada fasilitas
terdiri dari Kasie. Kesehatan Keluarga kesehatan, hampir sebagian besar kematian
Dinkes Kab Garut, bidan koordinator ditolong oleh bidan, dan sebagian besar
Puskesmas Pasundan, Guntur dan Siliwangi kematian merupakan kasus rujukan.
yang merupakan kecamatan tertinggi
kematian perinatalnya dan Bidan koordinator
puskesmas Karang Tengah sebagai
kecamatan terendah kematian perinatalnya.
Data yang digunakan pada penelitian
kuantitatif adalah data sekunder yaitu
dokumen rekap kematian perinatal dan
dokumen Audit Maternal Perinatal (AMP)
dan data penelitian kualitatif dengan
pedoman wawancara terhadap partisipant.
Analisis data kuantitatif dengan
menggunakan analisis univariabel dengan
distribusi frekuensi dan analisis bivariabel
267 | IinP,DanyH,HermanS,HadiS,EddyF,GustomoP./ Jurnal Ilmu Keperawatan dan Kebidanan Vol.10 No.1 (2019) 264-272

Tabel 2.
Kematian perinatal yang dapat dicegah berdasarkan faktor pasien, ketersediaan fasilitas dan rujukan
Karakteristik Kematian Perinatal Total Nilai p
(n=78) Dapat Dicegah Tidak Dapat
Dicegah
F % F % f %
Umur
Berisiko Tinggi 22 28,2 8 10,3 30 38,5 0,291
Berisiko Rendah 39 50 9 11,5 48 61,5
Paritas
Berisiko Tinggi 4 5,1 2 2,6 6 7,7 0,390
Berisiko Rendah 57 73,1 15 19,2 72 92,3
Jarak Kelahiran
Berisiko Tinggi 33 42,3 5 6,4 38 48,7 0.040
Berisiko Rendah 9 11,3 6 7,6 15 19,2
Missing data 25 32,1
Penyakit Penyerta
Ada 7 8,9 8 10,3 15 19,2 0,003
Tidak ada 54 69,3 9 11,5 63 80,8
Riwayat ANC
<4 Kali 23 29,5 4 5,1 27 34,6 0,215
>4 Kali 38 48,7 13 16,7 51 65,4
*Uji Fisher Exact bermakna jika nilai p<0,05
Tabel 2 menunjukkan bahwa faktor pasien Penyakit penyerta merupakan komplikasi
(jarak kelahiran dan penyakit penyerta), obstetri yang banyak memberikan kontribusi
faktor rujukan dan faktor ketersediaan alat terhadap kematian perinatal. Penyakit
berhubungan dengan kematin perinatal yang penyerta yang dialami oleh ibu selama hamil
dapat dicegah. Faktor pasien (umur, paritas diantaranya adalah Preeklampsia Berat
dan riwayat ANC) tidak berhubungan dengan (PEB), Mioma Uteri, ibu Kekurangan Energi
kematian perinatal yang dapat dicegah. Kalori (KEK) yang mengakibatkan anemia
Penelitian kualitatif menemukan bahwa pada kehamilan dan persalinan. Kekurangan
secara kuantitas pelayanan ANC telah energi kalori sangat berhubungan erat dengan
terpenuhi namun secara kualitas pelayanan kondisi sosial ekonomi masyarakat
ANC masih sangat rendah. Kabupaten Garut yang rendah.
“Kalau dari ... ya melihat kematian bayi
Hasil Penelitian Kualitatif
di sini kan banyaknya yang ditolong di
Hasil penelitian kualitatif dijelaskan
rumah sakit ya, jadi rujukan di rumah sakit.
sebagai berikut:
Mungkin dari penanganan di rumah sakitnya
Penyebab Kematian Perinatal atau gimana. Terus prematur. Itu kalau
Sebagian besar kasus kematian perinatal misalnya prematur itu mungkin dari
di Kabupaten Garut adalah dapat dicegah. banyaknya ini kan KEK, yang KEK ya. Jadi
Seperti penuturan partisipan sebagai berikut: mungkin kesatu, KEK itu sulit sekali karena
“Sebetulnya dicegah ya bisa wae, ya bersangkutan dengan sosial ekonomi.
mungkin seperti yang ibu yang KEK ya. Ya Kadang kita juga kan udah kasih penyuluhan
itu kan mungkin kalau kembali lagi ke gitu ya, terus dikasihkan ada makanan
ekonomi itu ya paling susah. Apa harus tambahan untuk Ibu hamil. Tapi kalau
gimana gitu. Kalau penyuluhan sih ya udah, misalnya dia tetap sosial ekonominya rendah
ya dilaksanakan PMT juga sama. Kalau tapi dan dia juga tidak bisa meningkatkan untuk
dia ekonominya yang minimal itu kan sulit ininya, pola makanan kebutuhannya, jadi
juga dia mungkin untuk kehidupan sehari- masih susah gitu. Karena banyaknya yang
harinya.(R2, FGD). prematur yang BBLR gitu” (R1, FGD)
IinP,DanyH,HermanS,HadiS,EddyF,GustomoP/ Jurnal Ilmu Keperawatan dan Kebidanan Vol.10 No.1 (2019) 264-272 | 268

“Itu dari ibu yang PEB, kebanyakan dari “Nah itu rasio petugas pasien ya, pasien
ibu yang PEB, satu dari kehamilan dengan perbulan itu 400 sampai 600, perawat peri
miom” (R3, FGD) itu ada 31 dengan saya ya, berarti 30 staf
Salah satu hal juga yang berkontribusi perawat peri. Kemudian untuk dinas yang
terhadap kematian perinatal di Kabupaten malam itu satu shift ada enam orang, tiga
Garut adalah kualitas Antenatal Care yang orang di level 1, tiga orang di level
masih sangat rendah, namun ditinjau dari 2.Misalnya SC kan ada okanya di depan,
kuantitas Antenatal Care sudah memenuhi. kemudian kalau lahir ada yang SC berarti
Kuantitas kunjungan ANC harus ditunjang dua orang berangkat ke sana, di sini satu
oleh ANC yang berkualitas. orang siap untuk partus, yang tiga orang
“Kalau puskesmas mah mungkin sudah memegang level 2. Kalau misalnya ada yang
melaksanakan. Puskesmas sudah lahir di Poned berarti satu orang berangkat
melaksanakan 10T.(R2, FGD) Seluruhnya, ke Poned, atau yang lahir di ICU misalnya
seluruh puskesmas. Kalau untuk posyandu satu orang lahir di ICU dengan jarak yang
Kayaknya nggak 10T deh. Bidan desa mah sangat jauh. Berarti yang megang level 2
kayaknya paling 7T ya, (R3, FGD), Mungkin pindah megang level 1 untuk persiapan
5T”. (R1, FGD) partus”.(R4, Indept)
“Masalahnya mungkin begini, kalau di Permasalahan lain juga diungkapkan
posyandu itu seperti mau melaksanakan 7T bahwa tidak dilakukannya rooming in
aja, pemeriksaan HB itu tidak terhadap bayi yang tidak bermasalah
memungkinkan. Ketika mereka dianjurkan sehingga jumlah bayi yang dirawat di ruang
untuk ke puskesmas masalahnya dengan perinatologi menjadi lebih banyak, sehingga
biaya, masalah biaya”. (R3,FGD) hal ini berpengaruh terhadap jumlah fasilitas
Jarak kelahiran yang terlalu dekat yang dan tenaga kesehatan yang tersedia tidak
menyebabkan kematian perinatal di dapat memenuhi kebutuhan tersebut.
Kabupaten Garut disebabkan oleh pasca “Untuk rooming in itu sebenarnya sudah
Abortus dan still birth. koordi-, dulu pernah ya kita rooming in,
“Jarak kelahiran yang rendah biasanya kemudian nggak jalan. Kemudian dari depan
mah ibu-ibu ntu setelah keguguran pada ga mau rooming in lagi sudah kita koordinasi.
mau ber KB dulu. Terus ya kalau bayinya Yang dipikirkan adalah menurut dokter
meninggal sebelum kehamilan ini mah pingin anaknya keselamatan bayi. Keselamatan bayi
cepat-cepat hamil lagi”(R3, FGD. itu tidak hanya hilang saja, tidak hanya
keselamatan dicuri atau diculik saja, tapi
Sarana dan Prasarana Kegawatdaruratan
juga keselamatan fisiknya dari berbagai
Perinatal
misalnya nosokomial atau hilangnya panas
Rumah sakit sebagai pusat rujukan masih dan sebagainya. Jadi untuk saat ini menurut
memiliki keterbatasan dalam ketersediaan para dokter spesialis anaknya ruangan kelas
alat dalam melakukan penanganan terhadap 3, kelas 2, itu belum layak untuk rooming in.
bayi- bayi yang bermasalah. Kadang pasiennya di sana banyak, kadang
“Keterbatasan alat mungkin kita iya ya, ibunya pakai satu tempat tidur dua pasien.
seperti ventilator kita terbatas dengan Jadi menurut dokter spesialis anak itu tidak
sarana listrik misalnya ya karena belum ada-, aman untuk bayi gitu.” (R4, indept).
listriknya masih paralel. Kemudian oksigen, Pelaksanaan ANC yang berkualitas harus
belum oksigen sentral. Jadi memang ada ditunjang oleh fasilitas kesehatan yang
beberapa keterbatasan untuk sarana memadai, namun pelaksanaan ANC yang
prasarana.” (R4, Indept) berkualitas terganjal oleh keterbatasan sarana
Berkaitan dengan jumlah tenaga kesehatan kesehatan seperti alat pemeriksaan
yang bekerja masih sangat terbatas, hemoglobin, protein urine, pemeriksaan HIV
keterbatasan tersebut terdiri dari jumlah dan lain sebagainya serta keterbatasan
perawat, bidan dan spesialis anak yang masih petugas kesehatan yang tersedia seperti analis
sangat terbatas. kesehatan dan petugas gizi. Seperti penuturan
partisipan sebagai berikut:
269 | IinP,DanyH,HermanS,HadiS,EddyF,GustomoP./ Jurnal Ilmu Keperawatan dan Kebidanan Vol.10 No.1 (2019) 264-272
“Alat lab tadi juga nggak bisa dibawa ke seperti kartu BPJS yang itu ya, pernah
posyandu. Kalau pun ada alat lab ya SDM kejadian di puskesmas ...juga. Dia memang
ntek aya, ya.” (R2, FGD) punya KIS, terus harusnya memang dia
“Untuk Karang Tengah kan petugas lab nggak mau, keukeuh nggak nggak mau
nggak ada, alat lab nggak ada.”(R4, FGD) dirujuk. Sampai ditunggu dia, ah mau ke
sana dulu, hayo diantar-antar pakai itu pakai
Keterlambatan Rujukan
ambulance, supaya dia itu mau benar ke
Sebagian besar kematian perinatal terjadi rumah sakit, sampai gitu tindakannya gitu
di rumah sakit. Rumah sakit merupakan dari puskesmas. Dia kan suka bilang gini, bu
fasilitas kesehatan rujukan sehingga ya dirujuk ya, pergi ke ini, ya ya, tahunya dia
memungkinkan banyak kematian perinatal nggak pergi ke rumah sakit gitu. Nah itu
yang terjadi. Bayi yang dirujuk ke rumah kebanyakan suka gitu. Tahu-tahu kita dengar
sakit umunya berasal dari rujukan dari paraji, oh tahunya ditolong sama siapa gitu, tapi ya
dimana hal ini sudah melalui proses rujukan kalau selamat alhamdulillah. Kalau ada
dari bidan atau puskesmas terlebih dahulu. masalah yang jadi ini masalah gitu. Sampai
Seperti penuturan responden sebagai berikut: ditunggu-tunggu sampai diantar dulu, ya
“Ada beberapa ibu yang lahir di paraji mau ke sana dulu, mau ngurusin ini, iya sok
dulu, dari paraji ke bidan dulu, letaknya diantar, diantar itu sama ambulance gitu.
jauh...”(R4, Indpt) Akhirnya ya mau ke rumah sakit karena terus
Keterlambatan dalam melakukan tindakan ditutur-tutur gitu, diikutin. Jadi sebenarnya
rujukan disebabkan oleh terlambatnya dalam masalah kalau masalah ekonomi mungkin
pengambilan keputusan, terlambat dibawa ke agak berat juga”. (R2, FGD)
fasilitas pelayanan kesehatan, dan Permasalahan pada saat proses rujukan
terlambatnya ditangani di fasilitas pelayanan adalah tidak dilakukan stabilisasi pra rujukan
kesehatan. sehingga kondisi bayi yang dirujuk ke rumah
“Nggak, karena mungkin persepsi dia itu sakit sudah buruk.
ya lahir mati tadi, kenapa nggak dirujuk, gitu “Datang biasanya kalau yang preterm itu
kan persepsi dia lahir mati.Nggak ada napas, hipotermi, kemudian belum dipasang infus
nggak ada apa, kenapa mesti dirujuk katanya. dan sebagainya...iya mungkin juga hal-hal
Sudah yakin bahwa itu dia lahir mati.”(R2, seperti itu juga perlu disampaikan stabilisasi
FGD) dan sebagainya itu harus disiapkan sebelum
“...Jadi keterlambatan mengambil berangkat untuk rujukan, biasanya seperti itu.
keputusan dari keluarga. Pas ke rumah sakit Kadang bayi datang diselimutin-diselimutin,
juga itu diantar sama pihak puskesmas.” (R3, tapi nggak pakai pampers basah kesini. Suhu
FGD) 35 atau 35 kurang itu sering”.(R5, Indpt)
“....Iya..nyampe di rumah sakit dokter lagi Banyaknya kasus rujukan yang
operasi cenah di rumah sakit lain...jadi bermasalah dengan jaminan kesehatan.
menunggu dulu”.(R6, Indpt). Banyaknya permasalahan tersebut berkaitan
Sebagian besar kematian perinatal adalah dengan jaminan kesehatan seperti tidak
kasus rujukan sehingga, sebagian besar tepatnya sasaran dalam pemberian kartu KIS,
kematian terjadi di rumah sakit, karena pengurusan kartu jaminan kesehatan yang
rumah sakit merupakan pusat rujukan baik membutuhkan masa aktif yang lama dan
dari masyarakat maupun fasiltas pelayanan administrasi pengurusan yang rumit, serta
kesehatan tingkat pertama. Beberapa biaya yang terlalu besar dalam pembayaran
responden menuturkan bahwa banyak ibu kartu peserta setiap bulannya.
bersalin dengan risiko menolak untuk “Nggak punya BPJS, Nggak punya.
dilakukan tindakan rujukan. Namun Bidannya langsung nelepon ke bu bikor, kata
dibeberapa puskesmas bidan desa dan kader bu bikor ya sekarang siapa yang itu aja
sudah melakukan rujukan ke puskesmas dululah”.(R3, FGD)
PONED. “Karena kan sekarang BPJS itu seluruh
“Kalau misalnya penanganan untuk keluarga ditanggung. Makanya jadi susah
pelayanan mah kayak tadi kata Ibu dibilang
IinP,DanyH,HermanS,HadiS,EddyF,GustomoP/ Jurnal Ilmu Keperawatan dan Kebidanan Vol.10 No.1 (2019) 264-272 | 270

kan kalau yang dengan penghasilan misalkan ditetapkan oleh WHO namun ketika
20 ribu sehari”.(R2, FGD). penelitian kualitatif didapatkan fenomena
bahwa secara kuantitas telah memenuhi
PEMBAHASAN namun secara kualitas belum memenuhi
Berdasarkan pengolahan data didapatkan standar yang telah ditetapkan, seperti tidak
bahwa terdapatnya hubungan faktor pasien dilakukannya pemeriksaan Hb dan Protein
(jarak kelahiran dan penyakit penyerta), urine, tidak ada pendidikan dan konseling
faktor ketersediaan fasilitas kesehatan dan tentang tanda bahaya selama kehamilan,
faktor rujukan dengan kematian perinatal tidak dilakukannya pemeriksaan
yang dapat dicegah dengan nilai p<0,05. laboratorium untuk deteksi HIV. Kasus still
Faktor pasien berdasarkan umur, paritas dan birth terjadi akibat ibu hamil tidak bisa
riwayat ANC tidak terdapat hubungan mengenali tanda bahaya kehamilan sehingga
dengan kematian perinatal yang dapat ketika terjadi kondisi berkurangnya gerakan
dicegah dengan nilai p>0,05. janin, ibu tersebut tidak dapat mengenali hal
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tersebut sebagai tanda bahaya akibatnya bayi
jarak kelahiran yang berisiko disebabkan sudah meninggal 2 hari bahkan sudah
oleh kegagalan kontrasepsi dan riwayat seminggu di dalam kandungan.
abortus. Hal senada juga diungkapkan oleh Intervensi yang berfokus pada pendidikan
beberapa penelitian yan menyebutkan bahwa kesehatan pada masa antenatal, screening
jarak yang kurang dari dua tahun akan yang tepat, serta pemantauan dan
mempengaruhi kondisi fisik dan rahim ibu pengelolaan kondisi ibu selama periode
yang masih membutuhkan istirahat yang antenatal harus diperkuat. Kehadiran dokter
mencukupi dan juga berkemungkinan ibu pada setiap kelahiran baik pada kondisi
masih menyusui. Adapun beberapa hal yang normal maupun pada kondisi
melatar belakangi ibu hamil kembali adalah kegawatdaruratan perinatal, hal ini penting
suami ingin segera memiliki keturunan lagi, untuk memastikan awal kelangsungan hidup
riwayat abortus dan kegagalan kontrasepsi.13 bayi dan menghindari faktor-faktor risiko
Sebagian besar penyakit penyerta terjadi potensial untuk kematian.14
disebabkan oleh status sosial ekonomi ibu Masih tingginya kepercayaan masyarakat
hami yang rendah, sehingga ibu tidak mampu untuk ditolong persalinannya oleh paraji
untuk memenuhi gizi yang baik pada saat merupakan permasalahan yang sangat sulit
hamil. Beberapa penyakit penyerta yang untuk diselesaikan di daerah ini. Masyarakat
terjadi sepeti Hipertensi (PEB). Anemia dan sangat menggantungkan kesehatannya seperti
Kekurangan Energi Kalori (KEK). pertolongan persalinan dengan ibu paraji dan
Penyakit penyerta pada ibu sering persalinan dilakukan di rumah pasien. Tugas
mengorbankan keselamatan bayi, artinya tenaga kesehatan di sana adalah hanya untuk
untuk menyelamatkan nyawa ibu pada saat memastikan ibu dan bayi baru lahir sudah
hamil dan bersalin terminasi kehamilan harus dengan kondisi aman. Sehingga mereka
dilakukan sedangkan bayi secara fisik belum cenderung memanggil petugas kesehatan
siap untuk dilahirkan sehingga risiko ketika persalinan sudah selesai atau juga
terjadinya permasalahan dan kematian pada saat persalinan telah bermasalah. Hal
perinatal sangat tinggi. Begitu juga dengan inilah yang menjadi permasalahan dalam
kondisi ibu yang sakit dan bermasalah seperti meningkatkan kematian perinatal. Hal ini
anemia, demam, infeksi TORCH akan menunjukkan bahwa persalinan yang
membuat kondisi bayi yang lahir menjadi ditolong oleh tenaga yang tidak terlatih akan
bermasalah dan berisiko tinggi terjadinya banyak menyebabkan komplikasi dan
kematian. kematian pada bayi. Fenomena lain juga
Tingginya kematian perinatal pada umur ditemukan bahwa persalinan yang ditolong
dan paritas tidak berisiko disebabkan oleh oleh paraji disebabkan karena ibu memiliki
usia reproduksi ibu sehingga bayi pun hubungan kekerabatan dengan paraji,
banyak yang lahir pada rentang usia ini. sehingga orang yang dipanggil terlebih
Ditinjau dari kuantitas ANC ibu hamil dahulu ketika proses persalinan adalah paraji.
telah memenuhi standar yang telah
271 | IinP,DanyH,HermanS,HadiS,EddyF,GustomoP./ Jurnal Ilmu Keperawatan dan Kebidanan Vol.10 No.1 (2019) 264-272
Penelitian yang dilakukan oleh Angrodi penting untuk menurunkan kematian ibu dan
menyebutkan bahwa masyarakat masih bayi.16
banyak yang beranggapan bahwa bila Keterlambatan rujukan yang terjadi,
persalinan ditolong oleh bidan biayanya disebabkan oleh berbagai faktor seperti
mahal sedangkan bila ditolong oleh dukun pengambilan keputusan yang lambat,
bisa membayar berapa saja. Hal yang terlambatnya bayi untuk dibawa ke fasilitas
terpenting adalah bahwa dukun dilihat kesehatan rujukan serta terlambatnya bayi
mempunyai ’jampe-jampe’ yang kuat untuk ditangani di pusat rujukan.
sehingga ibu yang akan bersalin lebih tenang Keterlambatan dalam pelaksanaan rujukan
bila ditolong oleh dukun. Penyebab lain juga disebabkan oleh pengambilan keputusan
mengapa bidan tidak dipilih dalam masih didominasi oleh suami dan keluarga,
membantu persalinan adalah bahwa selain sehingga tidak segera dapat mengambil
umurnya masih relatif muda, bidan keputusan apakah akan dilakukan tindakan
dipandang belum memiliki pengalaman rujukan atau tidak.
melahirkan dan kebanyakan belum dikenal Penelitian yang dilakukan di Burkina Faso
oleh masyarakat. Peranan dukun bayi dalam juga menyebutkan bahwa alasan terjadinya
proses kehamilan dan persalinan berkaitan keterlambatan dalam pelaksanaan rujukan
sangat erat dengan budaya setempat dan yang pertama adalah kemiskinan, yang
kebiasaan setempat. Dari konsep ’the three menghambat keluarga mencari perawatan
delays’, salah satu faktor kematian ibu dan kebidanan. Yang kedua adalah kurangnya
bayi adalah terlambatnya pengambilan pemberdayaan perempuan. proses
keputusan yang diambil oleh keluarga dan pengambilan keputusan untuk menggunakan
masyarakat termasuk dukunnya. Maka wajar fasilitas kesehatan untuk perawatan dengan
jika terjadi kematian ibu dan bayi karena tenaga kesehatan terutama dikelola oleh
akibat dari terlambatnya mengambil suami, orang tuanya (ibu atau ayah mertua)
keputusan dari keluarga, masyarakat dan atau saudara-saudaranya. Proses dalam
dukun, sehingga keluarga, masyarakat dan memutuskan untuk mencari perawatan
dukun ikut bertanggung jawab terhadap rujukan dipengaruhi oleh persepsi
kesehatan ibu dan bayinya.15 masyarakat tentang keseriusan kondisi,
Keterlambatan penanganan sulitnya akses dan biaya yang terlibat dalam
kegawatdaruratan baik pada maternal transportasi, biaya hidup di rumah sakit, dan
maupun perinatal dapat disebabkan oleh kualitas pelayanan kesehatan di tingkat
kesiapan sarana dan prasarana, kesiapan rujukan. peneltian ini juga menyebutkan
petugas baik dari fasilitas kesehatan tingkat bahwa pengambilan keputusan didominasi
pertama maupun tingkat lanjutan. Kesiapan oleh suami dan keluarga karena mereka
fasilitas dan kompetensi penolong menjadi beranggapan bahwa perempuan tidak
hal sangat utama dalam penyelamatan ibu memiliki kekuatan yang cukup untuk
dan bayi. Fenomena yang terjadi di berpartisipasi dalam pengambilan keputusan
Kabupaten Garut adalah tingginya kematian mengenai rumah tangga dan kesehatan.
perinatal yang terjadi di rumah sakit. Mereka merujuk pada suami atau ibu mertua.
Wawancara mendalam yang dilakukan Pentingnya ibu mertua yang dalam proses ini
terhadap partisipant adalah keterbatasan adalah bahwa dalam beberapa situasi,
ketersediaan alat dan besarnya rasio antara beberapa rumah tangga hidup sebagai salah
tenaga kesehatan dengan jumlah bayi yang satu keluarga dengan ibu mertua sebagai
ada. orang kunci untuk semua hal tentang wanita
Hasil penelitian di Tanzania juga (seperti memasak, kehamilan dan persalinan,
menyebutkan bahwa pertolongan persalinan kesehatan bayi baru lahir, anak-anak dan
harus dilakukan oleh tenaga kesehatan seperti wanita).17
dokter, bidan dan perawat serta harus
didukung oleh ketersediaan fasilitas yang KESIMPULAN
lengkap dan memadai sehingga hal ini sangat Terdapat hubungan faktor pasien (jarak
kelahiran dan penyakit penyerta), faktor
ketersediaan alat dan faktor rujukan dengan
IinP,DanyH,HermanS,HadiS,EddyF,GustomoP/ Jurnal Ilmu Keperawatan dan Kebidanan Vol.10 No.1 (2019) 264-272 | 272

kematian perinatal yang dapat dicegah di Merali HS, Lipsitz S, Hevelone N, Gawande
Kabupaten Garut. tidak terdapat hubungan AA, Lashoher A, Agrawal P, et al.
karakteristik ibu (umur, paritas dan riwayat Audit-identified avoidable factors in
ANC) dengan kematian perinatal yang dapat maternal and perinatal deaths in low
dicegah. Jarak kelahiran berhubungan dengan resource settings: a systematic review.
kematian perinatal disebabkan oleh BMC Pregnancy and Childbirth. 2014:1-
ketidaktahuan ibu tentang kontrasepsi pada 12.
pasca abortus dan kelahiran bayi mati. WHO. Newborns: reducing mortality.
Terlambatnya mengenali dan melakukan Geneva: 2016.
penanganan terhadap ibu hamil dengan
penyakit penyerta berkontribusi terhadap Pemerintah Kabupaten Garut. Rencana
kematian perinatal yang dapat dicegah, pembangunan jangka menengah daerah
sedangkan ketersediaan fasilitas kesehatan Kabupaten Garut tahun 2014 – 2019.
berhubungan dengan kematian perinatal yang Garut 2014.
dapat dicegah disebabkan oleh keterbatasan Agustina M. Fenomena pernikahan usia dini
alat dan sumber daya manusia kesehatan dalam konteks himpitan ekonomi:
yang ada. Tidak terdapat hubungan hambatan Universitas Pendidikan Indonesia; 2014.
proses rujukan dengan keterlambatan rujukan
perinatal. Telah memburuknya kondisi bayi DS Manandhar. Perinatal death audit.
yang dirujuk dan lambatnya pengambilan Kathmandu Univ Med. 2004;2(4):83-
keputusan dalam pelaksanaan rujukan 375.
menjadi faktor yang berperan dalam Mahmudah U, Cahyati WH, Wahyuningsih
terjadinya keterlambatan rujukan. Pencatatan AS. Faktor ibu dan bayi yang
dan pelaporan kematian perinatal belum berhubungan dengan kejadian kematian
berjalan dengan baik. Faktor sumber daya perinatal. Jurnal Kesehatan Masyarakat.
manusia berkontribusi terhadap pencatatan 2011;7(11):41-50.
dan pelaporan kematian perinatal yang belum
lengkap di Kabupaten Garut. Bound, Buttler, Spektor. Classification and
causes of perinatal mortality. J Health
DAFTAR PUSTAKA Medicine. 2013.
Mpembeni R, Jonathan, Mughamba.
WHO. Pregnant women must be able to
Perinatal mortality and associated factors
access the right care at the right time,
among deliveries in three municipal
says WHO. 2016.
hospitals of Dar Es Salaam, Tanzania. J
Pediatric Neonatal Care. 2014;1(4):1-7. Anggorodi R. Dukun bayi dalam persalinan
oleh masyarakat indonesia. Makara
WHO. Maternal, newborn, child and
Kesehatan. 2009;13(1):9-14.
adolescent health. Geneva: 2016.
Danforth EJ, Kruk ME, Rockers PC,
WHO. Neonatal and perinatal mortality:
Mbaruku G, Galea S. Household
Country, regional and global estimates.
decision-making about delivery in health
Geneva: 2006.
facilities: evidence from Tanzania.
JE Lawn, D Osrin, S Cousens. Four million Health Population Nutrition.
neonatal deaths: Counting and 2009;5:696-703.
attribution of cause of death. Pediatric
Some DT, Sombie I, Meda N. How decision
Perinatology Epidemiology 2008;22(5).
for seeking maternal care is made - a
BkkbN, BPS, Kemenkes RI. Survey qualitative study in two rural medical
Demografi Kesehatan Indonesia. districts of Burkina Faso. Reproductive
Jakarta2012. Health. 2013;10(8).
Dinas Kesehatan Jawa Barat. Profil
kesehatan Propinsi Jawa Barat tahun
2014. In: RI K, editor. Bandung: 2014.
Kendedes Midwifery Journal, Vol.3, No.1, April 2021

ANALISA EPIDEMIOLOGI KESEHATAN REPRODUKSI BERDASARKAN


PROFIL KESEHATAN KOTA DKI JAKARTA
(Cakupan Tablet Tambah Darah Pada Ibu Hamil)
Indah Mauludiyah

MASALAH BERDASARKAN DATA didapatkan sebanyak 222,298 orang


PROFIL KESEHATAN KOTA DKI Ibu Hamil yang terdata di Puskesmas
JAKARTA di seluruh wilayah Kab/Kota Provinsi
DKI Jakarta yang mendapatkanFe 1
Anemia merupakan masalah sebanyak 220.270 orang atau
gizi yang mempengaruhi jutaan orang sebesar 99,09%. Masalahnya adalah
di negara-negara berkembang dan pada target pemberian Fe3 masih
tetap menjadi tantangan besar bagi adanya Cakupan yang terendah yaitu
kesehatan manusia.1 Prevalensi pada Ibu Hamil di Wilayah Jakarta
anemia diperkirakan 9 persen di Pusat yakni sebesar 88,95% persen,
negara-negara maju, sedangkan di dimana wilayah lain sudah mencapai
negara berkembang prevalensinya 43 prosentase diatas 90%. Hal ini
persen. World Health Organization disebabkan banyak ibu rumahtangga
(WHO) menargetkan penurunan yang bekerja membantu
prevalensi anemia pada WUS perekonomian keluarga sehingga
sebesar 50 persen pada tahun 2025.2 tidak sempat untuk mengontrol
Kondisi anemia dapat meningkatkan kehamilannya di Puskesmas atau
risiko kematian ibu pada saat sarana kesehatan lainnya untuk
melahirkan, melahirkan bayi dengan mendapatkan tablet Fe untuk
berat badan lahir rendah, janin dan meningkatkan kesehatan ibu hamil5.
ibu mudah terkena infeksi, Selain itu faktor demografi, kepadatan
keguguran, dan meningkatkan risiko penduduk dan sosial ekonomi juga
bayi lahir prematur.3 mempengaruhi seseorang dalam
Untuk melindungi ibu hamil merawat kesehatannya.
dari kekurangan gizi dan mencegah
terjadinya anemia gizi besi maka ANALISA DATA BERDASARKAN
perlu mengonsumsi tablet tambah TIME PLACE PERSON
darah yang sesuai dengan
kebutuhan ibu hamil, dalam A. Time (Waktu)
pemberian tablet tambah darah ini Akibat yang ditimbulkan
harus ada keterpaduan dan karena defisiensi anemia gizi
Pembinaan melalui komunikasi, besi pada ibu hamil memiliki
informasi, dan edukasi, waktu(Fluktuasi Jangka
pemberdayaan masyarakat, Pendek) yakni terjadinya
monitoring, evaluasi, bimbingan kesakitanmaupun kematian
teknis, serta supervisi4. pada ibu dan bayi dapat terjadi
Data pemberian tablet tambah pada saat kehamilan,
darah yang disajikan dalam Profil persalinan dan nifas.Akibat
Kesehatan DKI Jakarta tahun 2017
20
Kendedes Midwifery Journal, Vol.3, No.1, April 2021

anemia saat kehamilan antara lain : meningkatkan risiko

melahirkan bayi dengan infeksi puerperium,


berat lahir rendah, keguguran, Pengeluaran ASI berkurang,
lahir sebelum waktunya, risiko Terjadi ekompensasi kordis
perdarahan sebelum dan/atau mendadak setelah persalinan,
pada saat persalinan yang Mudah terjadi infeksi
dapat menyebabkan kematian mammae.Bahaya Anemia
ibu dan bayinya. Pada bayi terhadap Janin sekalipun
dalam kandungan dapat tampaknya janin itu mampu
mengalami gangguan menyerap berbagai kebutuhan
pertumbuhan dan dari ibunya, tetapi dengan
perkembangan, tidak dapat anemia akan mengurangi
mencapai tinggi optimal dan kemampuan metabolisme
anak menjadi kurang cerdas. tubuh sehingga mengganggu
Bahaya anemia dalam pertumbuhan dan
kehamilanantara lain :Dapat perkembangan janin dalam
terjadi Abortus, Persalinan rahim. Akibat anemia dapat
premature, Hambatan tumbuh terjadi gangguan dan bentuk
kembang janin dalam rahim, :Abortus, Terjadi kematian intra
Mudah terjadi infeksi, uteri, Persalinan prematur
Ancaman dekompensasi kordis tinggi, Berat Badan Lahir
( Hb < 6 gr% ), Mengancam Rendah (BBLR), Kelahiran
jiwa dan kehidupan ibu, dengan anemia, Dapat terjadi
Hiperemesis gravidarum, cacat bawaan, Bayi mudah
Perdarahan antepartum, Mola mendapat infeksi sampai
hidatidosa Dan Ketuban pecah kematian perinatal.Intelengia
dini ( KPD). Bahaya Anemia rendah, oleh karena
Dalam Persalinanantara lain kekurangan oksigen dan nutrisi
:Gangguan kekuatan His, Kala yang menghambat
I dapat berlangsung lama dan pertumbuhan jani. Semua
terjadi partus terlantar, Kala II kondisi diatas merupakan
berlangsung lama sehingga kondisi yang bisa terjadi dalam
dapat melelahkan dan sering waktu jangka pendek.
memerlukan tindakan operasi
kebidanan, Kala III dapat diikuti B. Place (Tempat)
retensio plasenta post partum Secara geografis
karena atonia uteri, Kala IV Provinsi DKI Jakarta
dapat terjadi perdarahan post berbatasan dengan Provinsi
partum sekunder dan atonia Banten di sebelah barat,
uteri.Bahaya Anemia dalam Provinsi Jawa Barat di sebelah
Masa Nifas antara lain : timur dan selatan, serta Laut
Perdarahan post partum Jawa di sebelah utara.
karena atonia uteri dan Secara astronomis DKI
involusio uteri, Memudahkan Jakarta terletak antara 6 °12’
21
Kendedes Midwifery Journal, Vol.3, No.1, April 2021

Lintang Selatan dan 106 ° 48’ Tabel 2.1 Luas Wilayah, Jumlah
Bujur Timur. Luas Provinsi Kecamatan, RT Di DKI Jakarta
Daerah Khusus Ibukota
Jakarta adalah 661,52 Km2.

Kepadatan penduduk
tahun 2017 yang terbesar
Gambar 2.1 Peta DKI Jakarta adalah di wilayah Jakarta
(sumber Profil Kesehatan DKI Pusat sebesar 19,516 dan
Jakarta 2017)
lebih besar dari rata-rata
Provinsi DKI Jakarta sebesar
Provinsi Daerah Khusus
15,559 penduduk. Hal ini
Ibukota Jakarta secara
disebabkan sebagian besar
administratif sesuai dengan
kegiatan pemerintahan dan
Keputusan Gubernur nomor
perdagangan banyak
1986/2000 tanggal 27 Juli
terkonsentrasi diwilayah
2000, dibagi menjadi 5 wilayah
Jakarta Pusat sehingga
Kab/Kota Administratif yaitu
penduduk lebih memilih
Jakarta Pusat, Jakarta Utara,
berdomisili di wilayah tersebut.
Jakarta Barat, Jakarta Selatan,
Persebaran penduduk
Jakarta Timur dan 1
DKI Jakarta pada tahun 2017
Kabupaten Administratif
relatif tidak merata. Lebih dari
Kepulauan Seribu.
seperempat atau sekitar 28%
Luas wilayah, jumlah
penduduk tinggal di wilayah
kecamatan, kelurahan, Rukun
Jakarta Timur. Disusul dengan
Warga dan Rukun Tentangga
wilayah Jakarta Barat sebesar
di Provinsi DKI Jakarta dapat
24% (2,50 juta jiwa) dan
dilihat pada tabel dibawah ini :
wilayah Jakarta Selatan
sebesar 21% (2,18 juta jiwa).
Kepulauan Seribu memiliki
jumlah penduduk yang paling
sedikit sekitar 23 ribu jiwa atau
hanya sebesar 0.23% dari total
penduduk Provinsi DKI
Jakarta, hal ini disebabkan
akses menuju Kepulauan
Seribu yang masih mahal dan
sulit.
22
Kendedes Midwifery Journal, Vol.3, No.1, April 2021

Data dari BPS pelayanan kesehatan yang


menyatakan bahwa Jumlah terdepan.
penduduk penduduk miskin di Menurut Hendrick L.
DKI Jakarta pada bulan Maret Blumm derajat Kesehatan
2017 sebesar 389,69 ribu dipengaruhi oleh 4 faktor yaitu
orang (3,77%). Dibandingkan lingkungan, perilaku,
dengan September 2016 pelayanan Kesehatan dan
(385,84 ribu orang atau keturunan. Perilaku tergambar
3,75%), jumlah penduduk dalam kebiasaan sehari-hari
miskin meningkat sebesar 3,85 seperti pola makan, kebersihan
ribu atau meningkat 0,02 poin. perorangan, gaya hidup dan
Sedangkan dibandingkan perilaku terhadap upaya
dengan Maret 2016 dengan Kesehatan. Penduduk yang
jumlah penduduk miskin bermukim didaerah padat
sebesar 384,30 ribu orang memiliki pola perilaku yang
(3,75%), jumlah penduduk belum sehat hal ini disebabkan
miskin meningkat 5,39 ribu beberapa faktor seperti
atau meningkat 0,02 poin. lingkungan yang tidak sehat
Kondisi sosial ekonomi dan kepadatan penduduk.
rumahtangga juga terkait Berdasarkan data BPS
dengan kejadian anemia, Kualitas hidup penduduk di
beberapa penelitian Provinsi DKI Jakarta adalah
menunjukkan angka kejadian paling tinggi dibandingkan
anemia yang cenderung lebih provinsi lainnya, hal ini
tinggi pada rumahtangga menunjang derajat kesehatan
miskin. Demikian halnya dan umur harapan hidup
dengan pendidikan, penduduk DKI Jakarta.
pengetahuan dan Berdasarkan data BPS
jumlahkeluarga yang besar prosentase penduduk miskin di
mempengaruhi kejadian Provinsi DKI Jakarta adalah
anemia pada ibu hamil. yang terendah di antara
Anemia pada kehamilan provinsi di Indonesia, yaitu
merupakan masalah karena sebesar 3,61%. Masalah
mencerminkan nilai kemiskinan merupakan
kesejahteraan sosial ekonomi permasalahan yang kompleks
masyarakat dan berpengaruh dan bersifat multidimensional,
sangat besar terhadap kualitas oleh karena itu upaya
sumber daya manusia. Anemia pengentasan kemiskinan harus
pada ibu hamil disebut dilakukan secara
potencial danger for mother komprehensif, mencakup
and child (potensial berbagai aspek kehidupan
membahayakan bagi ibu dan masyarakat dan dilaksanakan
anak) karena itu anemia secara terpadu. Sektor
memerlukan perhatian serius kesehatan memiliki peran yang
dari pihak terkait dalam penting dalam meningkatkan
23
Kendedes Midwifery Journal, Vol.3, No.1, April 2021

derajat kesehatan pada Rumah Sakit dan sarana


masyarakat miskin di provinsi kefarmasian dan alat
DKI Jakarta. Tabel dibawah ini kesehatan.
terlihat bahwa jumlah rumah
tangga yang melaksanakan
Prilaku Hidup Bersih Tabel 2.3 Fasilitas Kesehatan Di
menunjukkan prosentase yang DKI Jakarta
cukup baik sebesar 69,3%
untuk Provinsi DKI Jakarta.

Tabel 2.2 Prosentase Perilaku


Hidup Bersih Di DKI Jakarta

Dalam rangka
meningkatkan derajat
kesehatan masyarakat selain
upaya promotif dan preventif,
Derajat kesehatan diperlukan juga upaya kuratif
masyarakat suatu wilayah dan rehabilitatif. Upaya
salah satunya dipengaruhi oleh kesehatan yang bersifat kuratif
keberadaan sarana kesehatan. dan rehabilitatif dapat
Berdasarkan Undang-undang diperoleh melalui rumah sakit
nomor 36 Tahun 2009 tentang yang berfungsi sebagai
Kesehatan menyatakan bahwa penyedia layanan rujukan.
fasilitas pelayanan kesehatan Fasilitas layanan
adalah suatu alat/atau tempat kesehatan yang demikian
yang digunakan untuk banyak di DKI jakarta,
menyelenggarakan upaya memungkinkan untuk ibu hamil
pelayanan kesehatan, baik melakukan Ante Natal Care di
promotif, preventif, kuratif, semua fasilitas pelayanan
maupun rehabilitatif yang kesehatan yang ada, sesuai
dilakukan oleh pemerintah, dengan kondisinya, tetapi
pemerintah dan/atau dalam profil kesehatan DKI
masayarakat. Fasilitas jakarta tidak didapatkan angka
kesehatan yang terdapat di ibu hamil yang memeriksakan
Provinsi DKI Jakarta terdiri dari diri selain di puskesmas.
fasilitas pelayanan kesehatan
yang meliputi Puskesmas dan
24
Kendedes Midwifery Journal, Vol.3, No.1, April 2021

C. Person (Orang) Tabel 2.4 Cakupan Fe Pada Ibu


Hamil Di Provinsi DKI Jakarta
Orang Dalam hal ini
adalah Ibu hamil yang
mendapatkan tablet tambah
darah, ideal umur : Dalam
kurun reproduksi sehat dikenal
bahwa usia aman untuk
kehamilan dan persalinan
adalah 20 – 30 tahun.
Kematian maternal pada
wanita hamil dan melahirkan
pada usia dibawah 20 tahun
ternyata 2-3 kali lebih tinggi Seorang perempuan
daripada kematian maternal dapat mempengaruhi emosi
yang terjadi pada usia 20-29 selama kehamilannya. Usia
tahun. Kematian maternal antara 20-30 tahun merupakan
meningkat kembali sesudah periode yang paling aman
usia 30-35 tahun. untuk melahirkan. Sebab pada
(Wiknjosastro, 2006). usia tersebut fungsi alat
Umur adalah usia ibu reproduksi dalam keadaan
yang secara garis besar optimal. Sedangkan pada umur
menjadi indikator dalam kurang dari 20 tahun kondisi
kedewasaan pada setiap masih dalam pertumbuhan,
pengalamannya. Umur sangat sehingga masukan makanan
berpengaruh pada kepatuhan banyak dipakai untuk ibu yang
ibu mengkonsumsi tablet Fe mengakibatkan gangguan
(zat besi), dimana semakin pertumbuhan janin. Di negara
muda umur yang ibu hamil berkembang sekitar 10-20%
maka dapat menyebabkan bayi dilahirkan dari ibu dengan
ketidaksiapan ibu dalam usia remaja (Prawirohardjo,
menerima sebuah kehamilan 1999).Meskipun umur sangat
yang berdampak pada penting kaitannya dengan
terjadinya gangguan selama konsumsi tablet tambah darah,
kehamilan misalnya akan namun demikanTidak
terjadi anemia (Nasoetion, didapatkan data umur ibu
1998). hamil yang mendapatkan
Adapun data Cakupan Tablet Tambah darah (FE)
Pemberian tablet tambah pada Profil Kesehatan DKI
darah yang tersaji dalam Profil Jakarta Tahun 2017. Data
kesehatan DKI Jakarta seperti yang disajikan dalam Profil
tabel dibawah ini : Kesehatan DKI Jakarta hanya
data cakupan FE saja, tanpa
ada data distribusi umur, Kelas
Sosial , Pekerjaan, Golongan
25
Kendedes Midwifery Journal, Vol.3, No.1, April 2021

Etnik, Status Perkawinan,


Besarnya Keluarga Maupun
Paritas. Seperti diketahui
dalam jurnal – jurnal penelitian
terkait dengan anemi dan
cakupan FE, faktor person
sangat berpengaruh dalam
konsumsi Fe pada ibu hamil.

TINJAUAN EPIDEMIOLOGI
(DAMPAK) DARI MASALAH
BERDASARKAN
ASPEKAKADEMIK, KLINIK,
PRAKTIS DAN ADMINISTRASI

1. Aspek Akademik Demikian pula halnya,


Data cakupan Tablet Tambah mengenai data sosial ekonomi,
darah yang tersaji dalam Profil pendidikan, pengetahuan,
Kesehatan DKI Jakarta tidak pekerjaan maupun paritas juga
di ikuti dengan data prevalensi tidak didapatkan dalam profil
anemia pada ibu hamil yang kesehatan DKI Jakarta Tahun
ada di DKI Jakarta. 2017.
Meskipun ditemukan data
tentang jumlah persentase
penanganganan komplikasi
kebidanan dan komplikasi
neonatal, namun tidak ada
penjelasan/data tentang
diagnosa yang di alamai dalam
komplikasi, sehingga tidak
dapat dianalisis apakah
cakupan yang tercapai secara
significant dapat menurunkan
komplikasi yang terjadi akibat
anemia pada ibu hamil Data penyebab AKI juga tidak
tersebut. dapat di jelaskan diagnosisnya,
sehingga tidak memungkinkan
untuk menganalisa hubungan
penyebab kematian ibu
dengan anemia atau
keberhasilan cakupan dengan
komplikasi anemia

26
Kendedes Midwifery Journal, Vol.3, No.1, April 2021

2. Aspek Klinik Dalam upaya mencegah


Data Cakupan Tablet tambah terjadinya anemia pada ibu
darah dalam profil Kesehatan hamil maka pemerintah
DKI Jakarta juga tidak di ikuti mewajibkan program
data prevalensi anemia pada pemberian Fe pada ibu hami,
ibu hamil pada tahun sebelum dan data cakupan Fe1 dan Fe
maupun setelah cakupan 3 telah sesuai target. Tetapi
terlaksana sesuai target. tidak ada data tentang apakah
Sehingga sulit untuk dianalisa Fe yang diberikan telah
apakah cakupan yang sesuai dikonsumsi dengan baik atau
target tersebut secara tidak, seperti halnya penelitian
significant telah menurunkan yang dilakukan di surabaya
prevalensi anemia pada ibu Oleh Nadia bahwa terjadinya
hamil di DKI Jakarta atau tidak. peningkatan cakupan Fe tidak
Selain itu data yang disajikan diikuti penurunan prevalensi
hanya berdasarkan data ibu anemia hal ini disebabkan
hamil yang tercatat di komunikasi yang tidak efektif
PUSKESMAS saja, sedangkan antara petugas yang
difasilitas layanan kesehatan memeberikan Fe dengan
lainnya tidak ada. pasien, dan pasien tidak tahu
apa gunanya Fe untuk
3. Aspek Praktis kesehatannya dan bayinya
Menurut Agragawal S bahwa serta ketidak patuhan pasien
penyebab utama anemia dalam mengkonsumsi fe.
adalah gizi dan infeksi. Di Upaya Pencegahan Anemia
antara faktor gizi yang Pada Ibu Hamil Juga Tertuang
berkontribusi terhadap anemia Dalam Peraturan Menteri
adalah kekurangan zat besi. Kesehatan Republik Indonesia
Hal ini karena konsumsi Nomor 88 Tahun 2014
makanan yang monoton, Tentang Standar Tablet
namun kaya akan zat yang Tambah Darah Bagi Wanita
menghambat penyerapan zat Usia Subur Dan Ibu Hamil.
besi (phytates) sehingga zat
besi tidak dapat dimanfaatkan 4. Aspek Administrasi
oleh tubuh, Kekurangan zat Data Cakupan Fe pada ibu
besi juga dapat diperburuk hamil pada profil kesehatan
oleh status gizi yang buruk, DKI Jakarta secara
terutama ketika dikaitkan administrasi kurang terpenuhi
dengan kekurangan asam karena tidak didapatkan data
folat, vitamin A atau B12, status kesehatan ibu hamil
berkaitan dengan penyakit yang telah diberi Fe, tidak
infeksi, malaria dan terdapat data apakah
kecacingan merupakan pemberian Fe efektif dan
penyebab anemia, terutama di efisien dalam pencegahan
daerah endemik. anemia pada ibu hamil, dan
27
Kendedes Midwifery Journal, Vol.3, No.1, April 2021

apakah Fe yang diberikan bayi dengan berat lahir rendah,


sesuai dengan kebutuhan keguguran, lahir sebelum
masyarakat dalam hal ini waktunya, risiko perdarahan
apakah ibu hamil yang sebelum dan/atau pada saat
mengalami anemia cukup persalinan yang dapat
diberikan Fe saja? Dalam menyebabkan kematian ibu dan
pemberian Fe apakah petugas bayinya. Pada bayi dalam
telah memeberikan KIE yang kandungan dapat mengalami
sesuai dengan kebutuhan ibu gangguan pertumbuhan dan
hamil? Meskipun data populasi perkembangan, tidak dapat
dan data pemenfaatan sarana mencapai tinggi optimal dan anak
pelayanan kesehatan di menjadi kurang cerdas.
sajikan dalam profil kesehatan Data yang tersaji dalam profil
DKI Jakarta tapi tidak secara kesehatan DKI Jakarta
spesifik pada populasi ibu menunjukkan bahwa, Kepadatan
hamil dan akses ibu hamil penduduk tahun 2017 yang
terhadap fasilitas layanan terbesar adalah di wilayah
kesehatan. Jakarta Pusat sebesar 19,516
dan lebih besar dari rata-rata
ANALISIS FAKTOR UMUM YANG Provinsi DKI Jakarta sebesar
BERPENGARUH PADA KEJADIAN 15,559 penduduk. Selain itu
ANEMIA PADA IBU HAMIL terjadi Persebaran penduduk
yang relatif tidak merata.Dan
1. Sosial Ekonomi dan Demografi Jumlah penduduk penduduk
faktor penyebab anemia gizi miskin di DKI Jakarta pada bulan
karena kurangnya asupan zat Maret 2017 sebesar 389,69 ribu
besi pada makanan yang orang (3,77%). Dibandingkan
dikonsumsi setiap hari yang dengan September 2016 (385,84
ditandai dengan kadar ribu orang atau 3,75%), jumlah
hemoglobin (Hb) di bawah penduduk miskin meningkat
normal. Wanita usia subur sebesar 3,85 ribu atau meningkat
cenderung menderita anemia 0,02 poin. Kondisi sosial ekonomi
dikarenakan wanita mengalami dan demografi tersebut juga
menstruasi setiap bulan, dan ini terkait dengan kejadian anemia,
akan diperberat jika asupan zat beberapa penelitian menunjukkan
besi dari makanan sehari-hari angka kejadian anemia yang
rendah hal ini dipengaruhi oleh cenderung lebih tinggi pada
faktor sosial ekonomi. Wanita rumahtangga miskin. Demikian
usia subur yang mengalami halnya dengan pendidikan,
anemia gizi besi akan mudah pengetahuan dan jumlahkeluarga
sakit karena daya tahan tubuh yang besar mempengaruhi
yang rendah sehingga kejadian anemia pada ibu hamil.
produktivitas kerja rendah. Pada Anemia pada kehamilan
ibu hamil anemia akan merupakan masalah karena
meningkatkan risiko melahirkan mencerminkan nilai
28
Kendedes Midwifery Journal, Vol.3, No.1, April 2021

kesejahteraan sosial ekonomi menunjukan sangat penting


masyarakat dan berpengaruh pendidikan dan pengetahuandari
sangat besar terhadap kualitas masyrakat untuk meningkatkan
sumber daya manusia. Anemia derajat kesehatan mereka.
pada ibu hamil disebut potencial Demikian juga pendidikan dan
danger for mother and child pengetahuan dari petugas
(potensial membahayakan bagi kesehatannya sendiri dalam
ibu dan anak) karena itu anemia memberikan Fe sangat penting,
memerlukan perhatian serius dari penelitian yang dilakukan oleh
pihak terkait dalam pelayanan Sjeny tahun 2013 diminahasa
kesehatan yang terdepan selatan didapatkan (57%) bidan
desa yang melakukan sosialisasi
2. Pendidikan tablet Fe (besi) mulai dari
Keberhasilan Pemberian tablet manfaat, cara minum yang baik,
FE pada ibu hamil sangat erat kunjungan rumah, penyuluhan
kaitannya dengan pendidikan dan dan memotivasi suami/ keluarga
pengetahuan ibu. Seperti halnya agar mendorong ibu untuk
dalam beberapa penelitian, mengkonsumsi 90 tablet Fe (besi)
konsumsi Fe saja tidak cukup jika selama kehamilan. Belum ada
tidak di ikuti pemenuhan nutrisi penelitian bagaimana dokter atau
lainnya, atau Fe tidak terabsorbsi nakesh yang lain dalam
dengan baik jika dikuti makanan pemberian Fe pada ibu hamil.
yang menghambat absorbsi Fe, Untuk itu penting bagi tenaga
hal ini sangat terkait dengan kesehatan yang berhadapan
pendidikan dan pengetahuan langsung dengan ibu hamil saat
ibu.faktor ini juga sangat memeberikan pelayanan dan
mempengaruhi apakah ibu pemberian tablet Fe untuk
memahami betul manfaat Fe bagi memberikan KIE tentang anemia
dirinya dan kehamilannya, karena dan akibatnya serta cara
tanpa pengetahuan yang benar mengkonsumsi Fe dengan benar
banyak ibu yang tidak minum dan perilaku lain yang berkaitan
tablet tambah darahnya. dengan pencegahan anemia
Penelitian yang dilakukan oleh pada ibu hamil. Serta memastikan
Nadia tahun 2017 didapatkan bahwa ibu hamil mengaplikasikan
hasil ibu hamil dengan semua petunjuk dengan benar.
pendidikan terakhir
SLTA/Sederajat serta profesi ibu 3. Tradisi dan Budaya
hamil sebagai ibu rumah tangga Data tentang tradisis dan
ialah yang paling banyak ditemui. budaya tidak didapatkan pada
Adapun ibu hamil yang menjawab profil kesehatan, beberapa
dengan benar mengenai definisi penelitian kaitan tradisi dan
anemia, manfaat konsumsi tablet budaya dengan kejadian anemia
besi, dan efek samping konsumsi pada ibu hamil antara lain : Baik
tablet masing - masing mencapai masalah kematian maupun
66,6%, 73,3%, dan 53,3%. Hal ini kesakitan pada ibu dan anak
29
Kendedes Midwifery Journal, Vol.3, No.1, April 2021

sesungguhnya tidak terlepas dari pengaruhnya pada kehamilan


faktor-faktor sosial budaya dan adalah masalah gizi.
lingkungan dalam masyarakat Permasalahan gizi pada ibu hamil
dimana mereka berada. Disadari di Indonesia tidak terlepas dari
atau tidak, faktor-faktor faktor budaya setempat. Hal ini
kepercayaan dan pengetahuan disebabkan karena adanya
budaya seperti konsepsi-konsepsi kepercayaan-kepercayaan dan
mengenai berbagai pantangan, pantangan-pantangan terhadap
hubungan sebab-akibat antara beberapa makanan. Kepercayaan
makanan dan kondisi sehat-sakit, bahwa ibu hamil dan post partum
kebiasaan dan ketidaktahuan, pantang mengkonsumsi makanan
seringkali membawa dampak baik tertentu menyebabkan kondisi ibu
positif maupun negatif terhadap post partum kehilangan zat gizi
kesehatan reproduksi ibu dan yang berkualitas. Sementara,
kesehatan anak. Hal ini terlihat kegiatan mereka sehari-hari tidak
bahwa setiap daerah mempunyai berkurang ditambah lagi dengan
pola makan tertentu, termasuk pantangan-pantangan terhadap
pola makan ibu hamil dan anak beberapa makanan yang
yang disertai dengan sebenamya sangat dibutuhkan
kepercayaan akan pantangan, oleh wanita hamil tentunya akan
tabu, dan anjuran terhadap berdampak negatif terhadap
beberapa makanan tertentu. kesehatan ibu dan janin.
Pada dasarnya masyarakat Kemiskinan masyarakat akan
mengkhawatirkan masa berdampak pada penurunan
kehamilan dan persalinan. Masa pengetahuan dan informasi,
kehamilan dan persalinan dengan kondisi ini keluarga,
dideskripsikan oleh Bronislaw khususnya ibu akan mengalami
Malinowski menjadi fokus resiko kekurangan gizi, menderita
perhatian yang sangat penting anemia dan akan melahirkan bayi
dalam kehidupan masyarakat. Ibu berat badan lahir rendah. Tidak
hamil dan yang akan bersalin heran kalau anemia dan kurang
dilindungi secara adat, religi, dan gizi pada wanita hamil cukup
moral dengan tujuan untuk tinggi terutama di daerah dengan
menjaga kesehatan ibu dan bayi. kepadatan dan kemiskinan yang
Mereka menganggap masa terjadi dibeberapa bagian di
tersebut adalah masa kritis provinsi DKI Jakarta.
karena bisa membahayakan janin Dapat dikatakan bahwa
dan/atau ibunya. Masa tersebut persoalan pantangan atau tabu
direspons oleh masyarakat dalam mengkonsumsi makanan
dengan strategi-strategi, seperti tertentu terdapat secara universal
dalam berbagai upacara di seluruh dunia. Pantangan atau
kehamilan, anjuran, dan larangan tabu adalah suatu larangan untuk
secara tradisional (Malinowski, mengkonsumsi jenis makanan
Bronislaw, 1927: 76). tertentu, karena terdapat
Permasalahan yang cukup besar ancaman bahaya terhadap
30
Kendedes Midwifery Journal, Vol.3, No.1, April 2021

barang siapa yang melanggarnya. persalinan dan pantang makan


Dalam ancaman bahaya ini daging karena akan
terdapat kesan magis, yaitu menyebabkan perdarahan yang
danya kekuatan superpower yang banyak. Sementara di salah satu
berbau mistik yang akan daerah di Jawa Barat, ibu yang
menghukum orang-orang yang kehamilannya memasuki 8-9
melanggar pantangan atau tabu bulan sengaja harus mengurangi
tersebut. Tampaknya berbagai makannya agar bayi yang
pantangan atau tabu pada dikandungnya kecil dan mudah
mulanya dimaksudkan untuk dilahirkan. Di masyarakat Betawi
melindungi kesehatan anak-anak berlaku pantangan makan ikan
dan ibunya, tetapi tujuan ini asin, ikan laut, udang dan kepiting
bahkan ada yang berakibat karena dapat menyebabkan ASI
sebaliknya, yaitu merugikan menjadi asin. Contoh lain di
kondisi gizi dan kesehatan. daerah Subang, ibu hamil
Secara universal adat atau pantang makan dengan
kepercayaan tentang makanan menggunakan piring yang besar
yang terkait dengan tabu ada di karena khawatir bayinya akan
seluruh negara, baik di negara besar sehingga akan mempersulit
yang teknologinya sudah maju persalinan. Selain itu, larangan
maupun di negara berkembang. untuk memakan buah-buahan
Di Meksiko seorang wanita hamil seperti pisang, nenas, ketimun
dan setelah melahirkan dilarang dan lain-lain bagi wanita hamil
makan makanan yang bersifat juga masih dianut oleh beberapa
“dingin”. Masyarakat Cina kalangan masyarakat terutama
Amerika menganut teori “Yin” dan masyarakat di daerah pedesaan
“Yang” sehingga wanita yang (Wibowo, Adik. 1993: 23). Budaya
baru melahirkan harus dilindungi pantang pada ibu hamil
dari angin dan dilarang makan sebenarnya justru merugikan
makanan dan minuman yang kesehatan ibu hamil dan janin
bersifat dingin, dan minum obat. yang dikandungnya. Misalnya ibu
Di beberapa negara berkembang hamil dilarang makan telur dan
umumnya ditemukan larangan daging, padahal telur dan daging
atau pantangan tertentu bagi justru sangat diperlukan untuk
wanita hamil Di Indonesia wanita pemenuhan kebutuhan gizi ibu
hamil dan setelah melahirkan hamil dan janin. Berbagai
dilarang makan telur, daging, pantangan tersebut akhirnya
udang, ikan laut dan lele, keong, menyebabkan ibu hamil
daun lembayung, buah pare, kekurangan gizi seperti anemia
nanas, gula merah, dan makanan dan kurang energi kronis (KEK).
yang digoreng dengan minyak Dampaknya, ibu mengalami
(Afiyah Sri Harnany, 2006: 45). Di pendarahan pada saat persalinan
Jawa Tengah, ada kepercayaan dan bayi yang dilahirkan memiliki
bahwa ibu hamil pantang makan berat badan rendah (BBLR) yaitu
telur karena akan mempersulit bayi lahir dengan berat kurang
31
Kendedes Midwifery Journal, Vol.3, No.1, April 2021

dari 2.5 kg. Tentunya hal ini bulan atau 2 kali pada trimester I
sangat mempengaruhi daya dan 1 kali pada trimester akhir. (
tahan dan kesehatan bayi. dr.H.M.A. Ashari, Sp.OG.(K),
2002 Hal 29 ). Kondisi biologis
4. Biologi tersebut yang menjadikan
Kondisi Biologi kejadian anemia pemberian tablet Fe pada ibu
pada ibu hamil adalahpenurunan hamil merupakan program wajib
jumlah sel darah merah atau dalam ante natal care.
penurunan konsentrasi Dengan Kepadatan Penduduk,
hemoglobin di dalam sirkulasi kemiskinan, dan perilaku hidup
darah. Definisi anemia yang bersih yang kurang baik di
diterima secara umum adalah provinsi DKI Jakarta, lebih
kadar Hb kurang dari 12,0 gram mendukung kondisi biologis ibu
per 100 mililiter (12 gram / hamil yang kurang sehat, untuk
desiliter) untuk wanita hamil. itu penting pengawasan yang
Anemia pada kehamilan lebih baik, tidak hanya pemberian
disebabkan kekurangan zat besi Fe tapi juga pemberdayaan
mencapai kurang lebih95 %. masyarakat untuk bisa menjaga
(Varney, Helen 2004 Hal 623). lingkungan dan pangan dengan
Seorang wanita hamil yang mengekplorasi potensi yang ada
memiliki Hb kurang dari 10 g/100 dimasyarakat.
ml barulah disebut menderita
anemia dalam kehamilan. FAKTOR KHUSUS YANG
(Wiknjosastro. 2007 hal.450). BERPENGARUH PADA KEJADIAN
Anemia adalah kondisi dimana ANEMIA PADA IBU HAMIL
sel darah merah menurun atau
menurunnya hemoglobin, 1. Status Kesehatan (Gizi dan
sehingga kapasitas daya angkut Penyakit)
oksigen untuk kebutuhan organ- Status gizi ibu hamil
organ vital pada ibu dan janin dipengaruhi oleh berbagai faktor
menjadi berkurang. Selama karena pada masa kehamilan
kehamilan, indikasi anemia banyak terjadi perubahan pada
adalah jika konsentrasi tubuhnya yaitu adanya
haemoglobin kurang dari 10,50 peningkatan metabolisme energi
sampai dengan 11,00 gr/dl dan juga berbagai zat gizi yang
(Varney H, 2006).Disebut anemia diperlukan untuk pertumbuhan
bila kadar Hb kurang dari 10 gr / dan perkembangan janin yang
dl, disebut anemia sedang jika Hb ada dalam kandungannya. Selain
7-8 gr / dl, disebut anemia berat, jarak kehamilan, faktor biologis
atau bila kurang dari 6 gr / lainnya yang dapat
dl,disebut anemia grafis. Wanita mempengaruhi KEK pada ibu
tidak hamil mempunyai nilai hamil adalah usia dan paritas.
normal 12 – 15 gr / dl dan Selain paritas, pemberian
hematokrit 35 – 54 %. Sebaiknya tablet Fe juga berhubungan
pemeriksaan dilakukan setiap 3 dengan kejadian anemia pada ibu
32
Kendedes Midwifery Journal, Vol.3, No.1, April 2021

hamil. Umumnya penyebab terjadi fe yang diberikan hanya


anemia pada ibu hamil adalah disimpan di rumah atau diberikan
kurangnya gizi, kurangnya zat pada ternaknya.
besi dalam makanan yang Selain penyediaan tablet besi
dikonsumsi, penyerapan yang (Fe) dan distribusinya, salah satu
kurang baik dan penyakit- faktor yang dianggap paling
penyakit kronik (seperti TBC, berpengaruh dalam keberhasilan
paru-paru, cacing usus, dan program suplementasi besi
malaria). Ibu hamil dikategorikan adalah kepatuhan ibu hamil
mengalami anemia jika kadar dalam mengkonsumsi tablet besi,
haemoglobin pada pemeriksaan sedangkan kepatuhan sendiri
laboratorium < 10 gr% dan pada dipengaruhi oleh pengetahuan
anamnesa didapatkan keluhan dan tingkat pendidikan, meskipun
cepat lelah, sering pusing, mata didapatkan hasil bahwa cakupan
berkunang-kunang dan muntah ibu hamil yang mendapat tablet
yang lebih hebat pada kehamilan besi baik, namun jika tidak
muda (Sulistyoningsih, 2011). dikonsumsi oleh ibu hamil maka
efek yang diharapkan tidak akan
2. Tingkat Pendidikan tercapai, hal ini sesuai dengan
(Pengetahuan ibu hamil dan hasil penelitian yang dilakukan
keluarga tentang anemia dalam Vongvichit tahun 2003, dimana
kehamilan dan manfaat tablet 65,5% ibu hamil memiliki
tambah darah bagi kesehatan) kepatuhan yang rendahdalam
Pendidikan dapat mengkonsumsi tablet Fe.
mempengaruhi sesesorang, Pengetahuan merupakan salah
termasuk juga perilaku seseorang satu faktor yang memepengaruhi
akan pola hidup, terutama dalam terbentuknya perilaku kesehatan,
memotivasi untuk sikap berperan apabila ibu hamil mengetahu dan
serta dalam pembangunan. Makin memahami akibat anemia dan
tinggi tingkat pendidikan cara mencegah anemia, maka
seseorang, maka makin mudah akan memepunyai perilaku
menerima informasi, sehingga kesehatan yang baik, sehingga
makin banyak pula pengetahuan diharapkan akan terhindar dari
yang dimiliki seseorang, berbagai akibat atau risiko
sebaliknya, pendidikan yang terjadinya anemia kehamilan.
kurang akan menghambat
perkembangan seseorang 3. Praktek Budaya
terhadap nilai – nilai baru yang Masalah kematian maupun
diperkenalkan, demikian pula kesakitan pada ibu dan anak
halnya dengan penerapan sesungguhnya tidak terlepas dari
pencegahan anemia pada ibu faktor-faktor sosial budaya dan
hamil, informasi konsumsi gizi lingkungan dalam masyarakat
yang baik dan konsumsi tablet Fe dimana mereka berada. Disadari
seringkali diabaikan oleh ibu atau tidak, faktor-faktor
hamil, beberapa kasus yang kepercayaan dan pengetahuan
33
Kendedes Midwifery Journal, Vol.3, No.1, April 2021

budaya seperti konsepsi-konsepsi janin. Berbagai pantangan


mengenai berbagai pantangan, tersebut akhirnya menyebabkan
hubungan sebab-akibat antara ibu hamil kekurangan gizi seperti
makanan dan kondisi sehat-sakit, anemia dan kurang energi kronis
kebiasaan dan ketidaktahuan, (KEK). Dampaknya, ibu
seringkali membawa dampak baik mengalami pendarahan pada
positif maupun negatif terhadap saat persalinan dan bayi yang
kesehatan reproduksi ibu dan dilahirkan memiliki berat badan
kesehatan anak. Hal ini terlihat rendah (BBLR) yaitu bayi lahir
bahwa setiap daerah mempunyai dengan berat kurang dari 2.5 kg.
pola makan tertentu, termasuk Tentunya hal ini sangat
pola makan ibu hamil dan anak mempengaruhi daya tahan dan
yang disertai dengan kesehatan si bayi.
kepercayaan akan pantangan,
tabu, dan anjuran terhadap 4. Sarana dan Prasarana
beberapa makanan tertentu. Pemerintah DKI Jakarta
Perawatan kehamilan Memantapkan pengelolaan
merupakan salah satu faktor prasarana dan sarana
penting untuk diperhatikan untuk kesehatandengan meningkatkan
mencegah terjadinya komplikasi pembangunan dan pemeliharaan
dan kematian ketika persalinan, sarana dan prasarana kesehatan
disamping itu juga untuk menjaga melalui optimalisasi sumber-
pertumbuhan dan kesehatan sumber pembiayaan pemerintah,
janin. Memahami perilaku swasta dan masyarakat.
perawatan kehamilan (antenatal Meningkatkan sistem pengelolaan
care) adalah penting untuk sarana kesehatan lingkungan.
mengetahui dampak kesehatan Meningkatkan pemenuhan
bayi dan si ibu sendiri. kebutuhan obat, vaksin dan
Kenyataannya berbagai kalangan reagensia untuk sarana
masyarakat di Indonesia, masih pelayanan kesehatan
banyak ibu-ibu yang menganggap Meningkatnya fasilitas
kehamilan sebagai hal yang kesehatan di Provinsi DKI Jakarta
biasa, alamiah dan kodrati. disebabkan banyak faktor salah
Mereka merasa tidak perlu satunya kepadatan penduduk
memeriksakan dirinya secara yang cukup tinggi, yaitu penduduk
rutin ke bidan ataupun dokter. tetap DKI Jakarta dan penduduk
Budaya pantang pada ibu urban serta pendatang yang
hamil sebenarnya justru bekerja, melakukan kegiatan
merugikan kesehatan ibu hamil pendidikan dan bisnis di ibukota
dan janin yang dikandungnya. negara Republik Indonesia ini.
Misalnya ibu hamil dilarang Selain hal tersebut kesadaran
makan telur dan daging, padahal masyarakat yang cukup tinggi
telur dan daging justru sangat akan kesehatan menyebabkan
diperlukan untuk pemenuhan angka kebutuhan terhadap
kebutuhan gizi ibu hamil dan pelayanan kesehatan juga
34
Kendedes Midwifery Journal, Vol.3, No.1, April 2021

meningkat, hal ini menuntut kesadaran penduduk untuk


pemerintah DKI Jakarta untuk berobat jalan jika mempunyai
menyediakan fasilitas dan sarana keluhan kesehatan semakin
kesehatan yang memadai dan meningkat. Pada Gambar berikut
berkualitas. disajikan persentase penduduk
Derajat kesehatan masyarakat yang berobat jalan menurut
suatu wilayah salah satunya tempat berobat di DKI Jakarta
dipengaruhi oleh keberadaan Tahun 2017. Dengan
sarana kesehatan. Fasilitas pemanfaatan Puskesmas untuk
kesehatan yang terdapat di tempat berobat jalan sudah tinggi
Provinsi DKI Jakarta terdiri dari yakni sebesar 30,27 persen.
fasilitas pelayanan kesehatan sarana kesehatan Puskesmas
yang meliputi Puskesmas dan ternyata yang paling banyak
Rumah Sakit dan sarana memanfaatkan yakni perempuan
kefarmasian dan alat kesehatan. dibandingkan laki-laki dengan
Jumlah puskesmas tingkat persentase sebesar 32,94 persen
kecamatan sebanyak 44 untuk perempuan, dan 27,41
puskesmas dan tingkat kelurahan persen untuk laki-laki.
sebanyak 296, dengan 4384
Posyandu. Dengan
keterjangkauan sarana keshatan
oleh masyrakat memungkinkan
seorang ibu mudah mengakses
pelayanan ante natal untuk
mendapatkan Tablet Fe dengan
tepat.

Sejak tahun 2014 jumlah


Rumah Sakit terus meningkat,
yaitu dari 159 unit menjadi 187
unit pada tahun 2017. Jumlah
Puskesmas Kecamatan berada
pada posisi tetap yaitu 1 (satu)
Puskesmas per Kecamatan,
Penduduk DKI Jakarta, namun jumlah Puskesmas
penduduk yang memiliki keluhan Kelurahan mengalami penurunan
kesehatan dan berobat jalan dari dikarenakan beberapa
tahun 2016 - 2017 selalu Puskesmas berubah status
mengalami peningkatan, di tahun menjadi Puskesmas Kecamatan
2016 sebesar 59,46 persen dan dan Rumah Sakit Umum Daerah
mengalami peningkatan di tahun Kelas D. Pembangunan Rumah
2017 sebesar 59,69 persen. Sakit Umum Daerah Kelas D di
Keadaan ini menunjukkan, beberapa wilayah DKI Jakarta

35
Kendedes Midwifery Journal, Vol.3, No.1, April 2021

dimaksudkan agar dapat pemberian Fe, dalam sistem


memberikan pelayanan informasi kesehatanyang di
kesehatan rujukan pasien dari integrasikan ke seluruh
Puskesmas yang lebih dekat dan layanan kesehatan yang ada di
cepat, sebelum pasien dirujuk ke DKI Jakarta.
Rumah Sakit Kelas C atau B.
Selain fasilitas Rumah sakit dan MOTIVATION
Puskesmas di DKI Jakarta 1. Kurangnya ke pedulian
ketersediaan fasilitas Balai peransebagai tenaga
Pengobatan umum dan klinik kesehatan dalam program
serta Farmasi atau apotik terus pencegahan anemia pada ibu
meningkat dari tahun 2014 hamil dan dampaknya melalui
sampai dengan 2017, pemberian tablet tambah darah
peningkatan fasilitas tersebut bagi ibu hamil
cukup bermakna dalam 2. Dukungan suami/keluarga
memberikan pelayanan kurangdalam mengkonsumsi
kesehatan kuratif. tablet tambah darah bagi ibu
hamil dan konsumsi makanan
bergizi lainnya.
ANALISA FAKTOR-FAKTOR YANG
BERPENGARUH DAN ATAU MENTAL/COMMITMENT
BERHUBUNGAN DENGAN ANEMIA 1. Kurangnya komitmen terhadap
IBU HAMIL DAN CAKUPAN program program pencegahan
PEMBERIAN TABLET TAMBAH anemia pada ibu hamil dan
DARAH dampaknya melalui pemberian
tablet tambah darah bagi ibu
MAN hamil
1. Tenaga Kesehatan, kurang
KIE manfaat Fe dan cara METHOD
mengkonsumsinya dalam 1. Data prevalensi anemia pada
pemberian Fe belum ibu hamil dan komplikasi
mengevaluasi kualitas obstetri akibat anemia tidak
konsumsi Fe. lengkap
2. Ibu hamil dan Keluarga, kurang 2. Penyuluhan mengenai
pengetahuan akan manfaat konsumsi Fe dan zat gizi lain
konsumsi Fe bagi kurang informatif.
kesehatanibu dan kesehatan 3. Kunjungan rumah oleh tenaga
bayinya hal inijuga dipengaruhi kesehatan kurang untuk
kondisi padatnya penduduk mengevaluasi konsumsi tablet
dan kesulitan ekonomi tambah darah maupun untuk
terutama di Jakarta Pusat. memeberikan tablet tambah
3. Pemerintah, belum mempuyai darah bagi ibu hamil yang tidak
basic data ibu hamil yang hadir ke layanan kesehatan.
berisi kondisi kehamilan, 4. Kurang kerjasama dari sektor
termasuk data kadar HB dan lain
36
Kendedes Midwifery Journal, Vol.3, No.1, April 2021

ENVIRONTMENT
MONEY 1. Gerakan Sayang Ibu tidak
1. Pendapatan Masyarakat terevaluasi keberlanjutannya
kurang terutama untuk 2. Lingkungan/pemukiman padat/
pemenuhan kebutuhan gizi kumuh.
yang sesuai bagi kesehatan 3. Lingkungan tidak sehat
ibu hamil. dengan perilaku hidup bersih
2. Dana untuk program yang masih kurang
pemberian tablet tambah darah
yang telah dialokasikan oleh HASIL PERBAIKAN YANG INGIN
pemerintah perlu dikaji ulang. DICAPAI SEHUBUNGAN DENGAN
3. Diperlukan dana untuk MASALAH ANEMIA IBU HAMIL
evaluasi efektifitas program DAN CAKUPAN PEMBERIAN
terhadap kejadian anemia TABLET TAMBAH DARAH PADA
pada ibu hamil. IBU HAMIL

MATERIAL 1. Uraian hasil yang ingin dicapai


1. Sarana Penyuluhan kurang a. Akselerasi Pemenuhan
2. Transportasi kurang Akses Pelayanan
3. Kader kurang Kesehatan Ibu hamil yang
Berkualitas tidak hanya
MARKET kuantitas pemberian Fe
1. Seluruh Ibu hamil baik yang b. Meningkatkan Dukungan
melakukan ANC di puskesmas Manajemen dan
maupun disarana pelayanan Pelaksanaan Tugas Teknis
kesehatan lainnya. Lainnya pada Program
Kesehatan Masyarakat
MACHINE/EQUIPMENT 1. Perbaikan sikap, pengetahuan
1. Keterbatasan tenaga dan perilaku:
kesehatankesehatan dalam a. Meningkatkan Promosi
evaluasi konsumsi tablet Kesehatan dan
tambah darah Pemberdayaan Masyarakat
b. Meningkatkan Upaya
MEDIA Kesehatan Kerja dan
1. Belum ada sisitim informasi ibu Olahraga
hamil yang bisa diakses 2. Perbaikan Lingkungan Yang
tenaga kesehatan pemberi Diperlukan :
layanan anc di seluruh a. Meningkatkan Penyehatan
fasyankes di dki Jakarta. Lingkungan
2. Kurang sosialisasi dan b. Mempercepat Perbaikan
pemanfaatan media Gizi Masyarakat
elektronik,cetak, poster 3. Peningkatan Yang diperlukan :
a. Penguatan Pelayanan
Kesehatan Primer dalam
Upaya Kesehatan
37
Kendedes Midwifery Journal, Vol.3, No.1, April 2021

Masyarakat melalui perilaku menuju hidup bersih


pemberdayaan masyarakat. dan sehat, Promosi Makanan
b. Penerapan Pendekatan Berfortifikasi termasuk garam
Keberlanjutan Pelayanan beryodium dan besi.
(Continuum of Care) 3. Pembinaan Upaya Kesehatan
c. Mendorong lintas sektor Kerja dan Olahraga bagi
mewujudkan Gerakan masyarakat.
Masyarakat Hidup Sehat. 4. Dukungan Manajemen, JKN,
d. Penguatan manajemen Memastikan kelompok sasaran
program mendapatkan intervensi secara
4. Berkurangnya Masalah total coverage dan
tersebut Berapa % menyeluruh, dukungan data
a. Persentase ibu hamil yang dan informasi, memastikan
mendapatkan Tablet lintas program melakukan
Tambah Darah (TTD) 90 intervensi totalitas dalam
tablet selama masa kesamaan waktu dan unit
kehamilan adalah 90% analisisnya,melakukan
b. Persentase ibu hamil KEK pengendalian secara
yang mendapat pemberian manajerial dengan benar,
makanan tambahan (PMT) menyiapkan dash board atau
adalah 95%. data pantau untuk
pengambilan keputusa,
UPAYA INTERVENSI YANG PERLU mengintegrasikan dan
DILAKUKAN SEHUBUNGAN menjadikan semua komponen
DENGAN MASALAH ANEMIA IBU pelatihan sebagai reinforce
HAMIL DAN CAKUPAN factors atau faktor penguat.
PEMBERIAN TABLET TAMBAH 5. Promosi Kesehatan dan
DARAH PADA IBU HAMIL Pemberdayaan Masyarakat
Pemberian Tablet Tambah
1. Pembinaan Gizi Masyarakat Darah untuk remaja putri,
melalui Prioritas pada ibu hamil calon pengantin, ibu hamil
KEK dari keluarga sangat (suplementasi besi folat).
miskin maupun miskin, Promosi dan kampanye Tablet
Memanfaatkan Makanan lokal Tambah Darah serta aplikasi
sebagai PMT pemulihan, Kelas Ibu Hamil disemua
penyuluhan serta melakukan fasyankesh
pendidikan dan Konseling Gizi 6. Penyehatan Lingkungan,
2. Pembinaan Kesehatan Pemberian Obat Cacing dan
Keluarga kelambu di daerah endemik
Promosi dan kampanye gizi malaria.
seimbang dan perubahan

38
Kendedes Midwifery Journal, Vol.3, No.1, April 2021

DAFTAR PUSTAKA 10. Sjenny O, Analisis


Implementasi Program
1. World Health Organization. Pemberian Tablet Fe (besi)
The world health report. oleh Bidan di Puskesmas
Reducing risks, promoting Wilayah Dinas Kesehatan
healthy life. Geneva: World Kabupaten Minahasa Selatan,
Health Organization, 2002. Jurnal Manajemen Kesehatan
2. World Health Organization. Indonesia, 2013
WHA Global Nutrition Targets 11. Nadia K, Studi Deskriptif
2025: Anaemia Policy Brief. Program Suplementasi Tablet
Geneva: World Health Besi Pada Ibu Hamil Di
Organization. 2014. Puskesmas Kalijudan Kota
3. Kementerian Kesehatan RI. Surabaya, (2017) 308-317 308
Profil Kesehatan Indonesia DOI:10.2473/amnt.v1i4.2017.3
Tahun 2014. Jakarta: 08-317.
Kementerian Kesehatan RI. 12. Sudikno, Sandjaja,
2015. PREVALENSI DAN FAKTOR
4. Peraturan Menteri Kesehatan RISIKO ANEMIA PADA
Republik Indonesia Nomor 88 WANITA USIA SUBUR DI
Tahun 2014 Tentang Standar RUMAH TANGGA MISKIN DI
Tablet Tambah Darah Bagi KABUPATEN TASIKMALAYA
Wanita Usia Subur Dan Ibu DAN CIAMIS, PROVINSI
Hamil. JAWA BARAT, JURNAL
5. Profil Kesehatan Dki Jakarta KESEHATAN REPRODUKSI,
Tahun 2017. SSN : 2087-703X e-ISSN :
6. Badan Pusat Statistik Provinsi 2354-8762 No Akreditasi:
Jakarta, Profil Kesehatan 563/Akred/P2MI-LIPI/09/2013,
Jakarta Tahun 2017. Volume 7, No. 2, Agustus 2016
7. Kementrian Kesehatan 13. Putri Dewi, FAKTOR –
Republik Indonesia, FAKTOR YANG
Pendekatan Program BERHUBUNGAN DENGAN
Kesehatan Masyarakat tahun KEJADIAN ANEMIA PADA
2018. Bekasi 2017. IBU HAMIL DI WILAYAH
8. Wahidah A, HUBUNGAN KERJA PUSKESMAS
KEPATUHAN IBU HAMIL TANJUNG PINANG TAHUN
MENGKONSUMSI TABLET 2018, JURNAL KEBIDANAN
FE DENGAN KEJADIAN Vol.7 No.15 April 2018
ANEMIA DI PUSKESMAS ISSN.2089-7669.
MANTRIJERON 14. Maulida N, Hubungan Tingkat
YOGYAKARTA, 2017 Pengetahuan tentang anemia
9. Kementrian Kesehatan pada ibu hamil dengan
Republik Indonesia, Data Dan kepatuhan dalam
Informasi Profil Kesehatan mengkonsumsi tablet besi Fe
Indonesia, Tahun 2017. di Puskesmas Keling II

39
Kendedes Midwifery Journal, Vol.3, No.1, April 2021

Kabupaten Jepara, Tahun


2013.
15. Nur Khasanah, Dampak
Presepsi Budaya Terhadap
Kesehatan Reproduksi Ibu Dan
anak.

40

Anda mungkin juga menyukai