KELOMPOK B-15
Pertanyaan :
8. bagaimana cara menjaga kesehatan,pandangan berobat dan konsep KLB dalam pandangan
islam?
11. Usaha untuk mencari pengobatan dan hal-hal yang mempengaruhi perilaku pencarian
pengobatan adalah adanya perilaku konsep jodoh, konsep klinis-gaib, pola perawatan (dokter,
dokter kota, dokter spesialis, dukun), adanya perbedaan prioritas
Hipotesis :
Kriteria KLB adalah peningkatan kasus secara cepat, penyakit yang menular, masa inkubasi yang
singkat, terjadi di daerah padat penduduk. KLB terjadi karena kurangnya pengetahuan
masyarakat dalam mencegah penyebaran penyakit dan budaya perilaku mencari pengobatan,
dalam hal ini puskesmas melakukan penyelidikan Epidemiologi, yaitu : survey pengumpuulan
data, pengolahan data dan tindakan pencegahan dan penanggulangan. Uapabila puskesmas tidak
memadai dalam kasus KLB maka akan dirujuk ke Dinkes dan Rumah Sakit daerah. Dalam hal
ini pandangan islam tentang beerobat adalah wajib.
Sasaran Belajar
LI 1. Memahami dan Menjelaskan KLB berdasarkan mortalitas dan mobiditas serta kriteria
KLB
LI 2. Memahami dan Menjelaskan Perilaku Kesehatan Individu dan Masyarakat dalam Pola
Pencarian Pengobatan
LI 3. Memahami dan Menjelaskan Aspek Sosial Budaya dalam menggunakan Fasilitas
Kesehatan
LI 4. Memahami dan Menjelaskan Sistem Rujukan Pelayanan Kesehatan
LI 5. Memahami dan Menjelaskan Cakupan Mutu Pelayanan Kesehatan dan Imunisasi
LI 6. Memahami dan Menjelaskan Tujuan Syariat Islam dan Hukum berobat serta menjaga
kesehatan
L.I. Memahami dan Menjelaskan KLB berdasarkan mortalitas dan mobiditas serta kriteria
KLB
1. Memahami dan Menjelaskan KLB dan Wabah di Masyarakat Berdasarkan Morbiditas
dan Mortalitas
Menurut UU No. 4 Tahun 1984, kejadian Luar Biasa (KLB) adalah timbulnya atau
meningkatnya kejadian kesakitan/kematian yang bermakna secara epidemiologis pada suatu
daerah dalam kurun waktu tertentu dan menjurus kepada wabah. Wabah adalah kejadian
berjangkitnya penyakit menular dalam masyarakat yang jumlah penderitanya meningkat secara
nyata, melebihi dari keadaan yang lazim pada waktu dan daerah tertentu serta dapat
menimbulkan petaka.
Kriteria KLB
KLB meliputi hal yang sangat luas seperti sampaikan pada bagian sebelumnya, maka
untuk mempermudah penetapan diagnosis KLB, pemerintah Indonesia melalui Keputusan Dirjen
PPM&PLP No. 451-I/PD.03.04/1999 tentang Pedoman Penyelidikan Epidemiologi dan
Penanggulangan KLB telah menetapkan criteria kerja KLB yaitu :
1. Timbulnya suatu penyakit/menular yang sebelumnya tidak ada atau tidak dikenal
2. Peningkatan kejadian penyakit/kematian terus menerus selama 3 kurun waktu berturut-
turut menurut jenis penyakitnya.
3. Peningkatan kejadian/kematian > 2 kali dibandingkan dengan periode sebelumnya
4. Jumlah penderita baru dalam satu bulan menunjukkan kenaikan >2 kali bila dibandingkan
dengan angka rata-rata per bulan tahun sebelumnya
5. Angka rata-rata perbulan selama satu tahun menunjukkan kenaikkan > 2 kali
dibandingkan angka rata-rata per bulan tahun sebelumnya.
6. CFR suatu penyakit dalam satu kurun waktu tertentu menunjukkan kenaikkan 50 % atau
lebih dibanding CFR periode sebelumnya.
7. Proporsional Rate penderita baru dari suatu periode tertentu menunjukkan kenaikkan > 2
kali dibandingkan periode yang sama dan kurun waktu/tahun sebelumnya.
8. Beberapa penyakit khusus : Kholera, DHF/DSS, (a)Setiap peningkatan kasus dari
periode sebelumnya (pada daerah endemis). (b)Terdapat satu atau lebih penderita baru
dimana pada periode 4 minggu sebelumnya daerah tersebut dinyatakan bebas dari
penyakit yang bersangkutan.
9. Beberapa penyakit yang dialami 1 atau lebih penderita :
Keracunan Makanan dan Pestisida
KLB tersembunyi, sering terjadi pada penyakit yang belum dikenal atau penyakit yang
tidak mendapat perhatian karena dampaknya belum diketahui. Sebagai contoh adalah suatu KLB
penyakit Fog di London. Kejadian penyakit tersebut telah dimulai pada tahun 1952, tetapi tidak
mendapat perhatian karena dampak penyakit tersebut belum diketahui. Perhatian terhadap
penyakit ini baru dimulai setelah adanya informasi peningkatan jumlah kematian di suatu
masyarakat. Hasil penyelidikan KLB mengungkapkan bahwa peningkatan tersebut karena
penyakit Fog (Mausner and Kramer, 1985).
KLB palsu (pesudo-epidemic), terjadi oleh karena :
a. Perubahan cara mendiagnosis penyakit
b. Perubahan perhatian terhadap penyakit tersebut
c. Perubahan organisasi pelayanan kesehatan
d. Perhatian yang berlebihan.
Klasifikasi KLB
a. Menurut Penyebab:
a. Entero toxin : misal yang dihasilkan oleh Staphylococus aureus, Vibrio, Kholera,
Eschorichia, Shigella.
b. Exotoxin (bakteri), misal yang dihasilkan oleh Clostridium botulinum, Clostridium
perfringens.
c. Endotoxin : Infeksi, Virus, Bacteri, Protozoa, Cacing, Toksin Biologis, Racun jamur,
Alfatoxin, Plankton, Racun ikan, Racun tumbuh-tumbuhan, Toksin Kimia.
d. Zat kimia organik: logam berat (seperti air raksa, timah), cyanide, nitrit, pestisida.
Gas-gas beracun: CO, CO2, HCN.
b. Menurut Sumber KLB
a. Manusia misal: jalan napas, tenggorokan, tangan, tinja, air seni, muntahan, seperti :
Salmonella, Shigella, Staphylococus, Streptoccocus, Protozoa, Virus Hepatitis.
b. Kegiatan manusia, misal : Toxin biologis dan kimia (pembuangan tempe bongkrek,
penyemprotan, pencemaran lingkungan, penangkapan ikan dengan racun).
c. Binatang seperti : binatang piaraan, ikan, binatang mengerat, contoh : Leptospira,
Salmonella, Vibrio, Cacing dan parasit lainnya, keracunan ikan/plankton
d. Serangga (lalat, kecoa, dan sebagainya) misal : Salmonella, Staphylokok, Streptokok.
e. Udara, misal : Staphyloccoccus, Streptococcus, Virus, pencemaran udara.
f. Permukaan benda-benda/alat-alat misal : Salmonella.
g. Air, misalnya : Vibrio Cholerae, Salmonella.
h. Makanan/minuman, misal : keracunan singkong, jamur, makanan dalam kaleng.
c. Menurut Penyakit wabah : Beberapa penyakit dari sumber di atas yang sering menjadi
wabah: Kholera, Pes, Demam kuning, Demam bolak-balik, Tifus bercak wabah, DBD,
Campak, Polio, DPT, Rabies, Malaria, Influensa, Hepatitis, Tipus perut, Meningitis,
Encephalitis, SARS, Anthrax.
Penetapan KLB
Penetapan KLB dilakukan dengan membandingkan insidensi penyakit yang tengah
berjalan dengan insidensi penyakit dalam keadaan biasa (endemik), pada populasi yang dianggap
berisiko, pada tempat dan waktu tertentu. Dalam membandingkan insidensi penyakit berdasarkan
waktu harus diingat bahwa beberapa penyakit dalam keadaan biasa (endemis) dapat bervariasi
menurut waktu (pola temporal penyakit). Penggambaran pola temporal penyakit yang penting
untuk penetapan KLB adalah, pola musiman penyakit (periode 12 bulan) dan kecenderungan
jangka panjang (periode tahunan pola maksimum dan minimum penyakit). Dengan demikian
untuk melihat kenaikan frekuensi penyakit harus dibandingkan dengan frekuensi penyakit pada
tahun yang sama bulan berbeda atau bulan yang sama tahun berbeda (CDC, 1979).
KLB tersembunyi, sering terjadi pada penyakit yang belum dikenal atau penyakit yang tidak
mendapat perhatian karena dampaknya belum diketahui.
KLB palsu (pesudo-epidemic), terjadi oleh karena :
a. Perubahan cara mendiagnosis penyakit
b. Perubahan perhatian terhadap penyakit tersebut, atau
c. Perubahan organisasi pelayanan kesehatan,
d. Perhatian yang berlebihan.
Untuk mentetapkan KLB dapat dipakai beberapa definisi KLB yang telah disusun oleh Depkes.
Pada penyakit yang endemis, maka cara menentukan KLB bisa menyusun dengan grafik Pola
Maksimum-minimum 5 tahunan atau 3 tahunan.
Penanggulangan KLB
Penanggulangan KLB dikenal dengan nama Sistem Kewaspadaan Dini (SKD-KLB),
yang dapat diartikan sebagai suatu upaya pencegahan dan penanggulangan KLB secara dini
dengan melakukan kegiatan untuk mengantisipasi KLB. Kegiatan yang dilakukan berupa
pengamatan yang sistematis dan terus-menerus yang mendukung sikap tanggap/waspada yang
cepat dan tepat terhadap adanya suatu perubahan status kesehatan masyarakat. Kegiatan yang
dilakukan adalah pengumpulan data kasus baru dari penyakit-penyakit yang berpotensi terjadi
KLB secara mingguan sebagai upaya SKD-KLB. Data-data yang telah terkumpul dilakukan
pengolahan dan analisis data untuk penyusunan rumusan kegiatan perbaikan oleh tim
epidemiologi (Dinkes Kota Surabaya, 2002).
Berdasarkan Undang-undang No. 4 tahun 1984 tentang wabah penyakit menular serta
Peraturan Menteri Kesehatan No. 560 tahun 1989, maka penyakit DBD harus dilaporkan segera
dalam waktu kurang dari 24 jam. Undang-undang No. 4 tahun 1984 juga menyebutkan bahwa
wabah adalah kejadian berjangkitnya suatu penyakit menular dalam masyarakat, yang jumlah
penderitanya meningkat secara nyata melebihi dari keadaan yang lazim pada waktu dan daerah
tertentu serta dapat menimbulkan malapetaka. Dalam rangka mengantisipasi wabah secara dini,
dikembangkan istilah kejadian luar biasa (KLB) sebagai pemantauan lebih dini terhadap kejadian
wabah. Tetapi kelemahan dari sistem ini adalah penentuan penyakit didasarkan atas hasil
pemeriksaan klinik laboratorium sehingga seringkali KLB terlambat diantisipasi (Sidemen A.,
2003).
Badan Litbangkes berkerja sama dengan Namru 2 telah mengembangkan suatu sistem
surveilans dengan menggunakan teknologi informasi (computerize) yang disebut dengan
Early Warning Outbreak Recognition System (EWORS). EWORS adalah suatu sistem jaringan
informasi yang menggunakan internet yang bertujuan untuk menyampaikan berita adanya
kejadian luar biasa pada suatu daerah di seluruh Indonesia ke pusat EWORS secara cepat (Badan
Litbangkes, Depkes RI). Melalui sistem ini peningkatan dan penyebaran kasus dapat diketahui
dengan cepat, sehingga tindakan penanggulangan penyakit dapat dilakukan sedini mungkin.
Dalam masalah DBD kali ini EWORS telah berperan dalam hal menginformasikan data kasus
DBD dari segi jumlah, gejala/karakteristik penyakit, tempat/lokasi, dan waktu kejadian dari
seluruh rumah sakit DATI II di Indonesia (Sidemen A., 2003)
Penyelidikan Epidemiologi
Penyelidikan Epidemiologi adalah rangkaian kegiatan untuk mengetahui suatu kejadian
baik sedang berlangsung maupun yang telah terjadi, sifatnya penelitian, melalui pengumpulan
data primer dan sekunder, pengolahan dan analisa data, membuat kesimpulan dan rekomendasi
dalam bentuk laporan.
Ratio adalah perbandingan dua bilangan yang tidak saling tergantung. Ratio digunakan untuk
menyatakan besarnya kejadian
Contoh: Jumlah Mahasiswa Stikes = 100, ratio pria : wanita = 2 : 3. Berapa jumlah masing2
mahasiswa?
Rate adalah perbandingan suatu kejadian dengan jumlah penduduk yang mempunyai risiko
kejadian tersebut. Rate digunakan untuk menyatakan dinamika dan kecepatan kejadian tertentu
dalam masyarakat
Contoh:
a. Campak berisiko pada balita
b. Diare berisiko pada semua penduduk
c. Ca servik berisiko pada wanita
ATTACK RATE
Attack Rate adalah jumlah kasus baru penyakit dalam waktu wabah yang berjangkit dalam
masyarakat di suatu tempat/ wilayah/ negara pada waktu tertentu
Dilihat dari bentuk respon terhadap stimulus ini, maka perilaku dapat dibedakan menjadi dua
(Notoatmodjo, 2003) :
Perilaku tertutup (convert behavior). Perilaku tertutup adalah respon seseorang terhadap
stimulus dalam bentuk terselubung atau tertutup (convert). Respon atau reaksi terhadap
stimulus ini masih terbatas pada perhatian, persepsi, pengetahuan, kesadaran, dan sikap
yang terjadi pada orang yang menerima stimulus tersebut, dan belum dapat diamati
secara jelas oleh orang lain.
Perilaku terbuka (overt behavior).Respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk
tindakan nyata atau terbuka. Respon terhadap stimulus tersebut sudah jelas dalam bentuk
tindakan atau praktek, yang dengan mudah dapat diamati atau dilihat oleh orang lain.
Perilaku Kesehatan Individu
Perilaku kesehatan individu pada dasarnya adalah suatu respons seseorang (organisme)
terhadap stimulus yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan,
makanan serta lingkungan. Batasan ini mempunyai 2 unsur pokok, yakni respons dan stimulus
atau perangsangan. Respons atau reaksi manusia, baik bersifat pasif (pengetahuan, persepsi, dan
sikap) maupun bersifat aktif (tindakan yang nyata atau practice). Sedangkan stimulus atau
rangsangan terdiri 4 unsur pokok, yakni : sakit & penyakit, sistem pelayanan kesehatan,
makanan, dan lingkungan. Dari batasan ini perilaku kesehatan dapat diklasifikasikan menjadi 4
kelompok :
1) Perilaku Pemeliharaan Kesehatan (health maintenance) adalah perilaku atau usaha-usaha
seseorang untuk memelihara atau menjaga kesehatan agar tidak sakit dan usaha untuk
penyembuhan bilamana sakit. Oleh sebeb itu perilaku pemeliharaan kesehatan ini terdiri
dari 3 aspek :
a. Perilaku pencegahan penyakit dan penyembuhan penyakit bila sakit, serta
pemulihan kesehatan bilamana telah sembuh dari penyakit.
b. perilaku peningkatan kesehatan, apabila seseorang dalam keadaan sakit.
c. perilaku gizi (makanan & minuman).
2) Perilaku Pencarian atau Penggunaan Sistem atau Fasilitas Pelayanan Kesehatan atau
sering disebut Perilaku Pencarian Pengobatan (health seeking behavior) adalah
menyangkut upaya atau tindakan seseorang pada saat menderita dan atau kecelakaan.
Tindakan atau perilaku ini dimulai dari mengobati sendiri (self treatment) sampai mencari
pengobatan ke luar negeri.
3) Perilaku terhadap makanan (nutrition behavior), yakni respons seseorang terhadap
makanan sebagai kebutuhan vital bagi kehidupan, meliputi pengetahuan, persepsi, sikap
dan praktek kita terhadap makanan serta unsur-unsur yang terkandung di dalamnya/zat
gizi, pengelolaan makanan, dll.
4) Perilaku Kesehatan Lingkungan adalah bagaimana seseorang merespon lingkungan, baik
lingkungan fisik maupun sosial budaya dan bagaimana sehingga lingkungan tersebut
tidak mempengaruhi kesehatannya. Seorang ahli lain (Becker, 1979) membuat klasifikasi
tentang perilaku kesehatan ini.
a. Perilaku hidup sehat adalah perilaku-perilaku yang berkaitan dengan upaya atau
kegiatan seseorang untuk mempertahankan dan meningkatkan kesehatannya.
Perilaku ini mencakup antara lain :
a) Menu seimbang
b) Olahraga teratur
c) Tidak merokok
d) Tidak minum-minuman keras dan narkoba
e) Istirahat yang cukup
f) Pengendalian stres
g) Perilaku atau gaya hidup lain yang positif bagi kesehatan
b. Perilaku sakit mencakup respon seseorang terhadap sakit dan penyakit.
Persepsinya terhadap sakit, pengetahuan tentang penyebab dan gejala penyakit,
pengobatan penyakit dan sebagainya, dsb.
c. Perilaku peran sakit (the sick role behavior) mencakup :
a) Tindakan untuk memperoleh kesembuhan.
b) Mengenal/mengetahu fasilitas atau sasaran pelayanan penyembuhan
penyakit yang layak.
c) Mengetahu hak (misalnya : hak memperoleh perawatan dan pelayanan
kesehatan).
Menurut teori Anderson dalam Muzaham (1995), ada tiga faktor yang mempengaruhi
penggunaan pelayanan kesehatan yaitu :
Mudahnya menggunakan fasilitas pelayanan kesehatan (karakteristik predisposisi)
Adanya faktor-faktor yang menjamin terhadap pelayanan kesehatan yang ada
(karakteristik pendukung)
Adanya kebutuhan pelayanan kesehatan (karakteristik kebutuhan)
Beberapa teori lain yang telah dicoba untuk mengungkap faktor penentu yang dapat
mempengaruhi perilaku khususnya perilaku yang berhubungan dengan kesehatan, antara lain
1. Teori Lawrence Green (1980)
Green mencoba menganalisis perilaku manusia berangkat dari tingkat kesehatan. Bahwa
kesehatan seseorang dipengaruhi oleh 2 faktor pokok, yaitu faktor perilaku (behavior causes) dan
faktor diluar perilaku (non behavior causes).
Faktor perilaku ditentukan atau dibentuk oleh :
Faktor predisposisi (predisposing factor), yang terwujud dalam pengetahuan, sikap,
kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai dan sebagainya.
Faktor pendukung (enabling factor), yang terwujud dalam lingkungan fisik, tersedia atau
tidak tersedianya fasilitas-fasilitas atau sarana-sarana kesehatan, misalnya puskesmas,
obat-obatan, alat-alat steril dan sebagainya.
Faktor pendorong (reinforcing factor) yang terwujud dalam sikap dan perilaku petugas
kesehatan atau petugas lain, yang merupakan kelompok referensi dari perilaku masyarakat.
2. Teori Snehandu B. Kar (1983)
Kar mencoba menganalisis perilaku kesehatan bertitik tolak bahwa perilaku merupakan fungsi
dari :
Niat seseorang untuk bertindak sehubungan dengan kesehatan atau perawatan
kesehatannya (behavior itention).
Dukungan sosial dari masyarakat sekitarnya (social support).
Adanya atau tidak adanya informasi tentang kesehatan atau fasilitas kesehatan (accesebility
of information).
Otonomi pribadi orang yang bersangkutan dalam hal mengambil tindakan atau keputusan
(personal autonomy).
Situasi yang memungkinkan untuk bertindak (action situation).
3. Teori WHO (1984)
WHO menganalisis bahwa yang menyebabkan seseorang berperilaku tertentu adalah :
Pemikiran dan perasaan (thougts and feeling), yaitu dalam bentuk pengetahuan, persepsi,
sikap, kepercayaan dan penilaian seseorang terhadap objek (objek kesehatan).
1. Pengetahuan diperoleh dari pengalaman sendiri atau pengalaman orang lain.
2. Kepercayaan sering atau diperoleh dari orang tua, kakek, atau nenek. Seseorang
menerima kepercayaan berdasarkan keyakinan dan tanpa adanya pembuktian terlebih
dahulu.
3. Sikap menggambarkan suka atau tidak suka seseorang terhadap objek. Sikap sering
diperoleh dari pengalaman sendiri atau orang lain yang paling dekat. Sikap membuat
seseorang mendekati atau menjauhi orang lain atau objek lain. Sikap positif terhadap
tindakan-tindakan kesehatan tidak selalu terwujud didalam suatu tindakan tergantung
pada situasi saat itu, sikap akan diikuti oleh tindakan mengacu kepada pengalaman
orang lain, sikap diikuti atau tidak diikuti oleh suatu tindakan berdasar pada banyak
atau sedikitnya pengalaman seseorang.
Tokoh penting sebagai Panutan. Apabila seseorang itu penting untuknya, maka apa yang
ia katakan atau perbuat cenderung untuk dicontoh.
Sumber-sumber daya (resources), mencakup fasilitas, uang, waktu, tenaga dan
sebagainya.
Perilaku normal, kebiasaan, nilai-nilai dan penggunaan sumber-sumber didalam suatu
masyarakat akan menghasilkan suatu pola hidup (way of life) yang pada umumnya
disebut kebudayaan. Kebudayaan ini terbentuk dalam waktu yang lama dan selalu
berubah, baik lambat ataupun cepat sesuai dengan peradapan umat manusia
(Notoatmodjo, 2003)
Perilaku pencarian pelayanan kesehatan dipengaruhi oleh tiga faktor besar yaitu faktor
predisposing, faktor enabling, dan faktor need.
1. Faktor predisposing adalah predisposisi seseorang untuk menggunakan pelayanan yaitu
faktor demografi,faktor struktur sosial, dan faktor keyakinan terhadap kesehatan
2. Faktor Enabling merupakan kemampuan seseorang untuk mencari pelayanan berupa
sumberdaya keluarga atau sumber daya masyarakat.
3. Faktor need adalah kebutuhan seseorang akan pelayanan
3. Memahami dan Menjelaskan Cakupan dan Mutu Pelayanan Kesehatan serta Imunisasi
Mutu adalah tingkat kesempurnaan dari penampilan sesuatu yang sedang diamati
(Winston Dictionary, 1956)
Mutu adalah sifat yang dimiliki oleh suatu program (Donabedian, 1980)
Mutu adalah totalitas dari wujud serta ciri dari suatu barang jasa, yang didalamnya
terkandung sekaligus pengertian rasa aman atau pemenuhan kebutuhan para pengguna
(Din ISO 8402, 1986)
Mutu adalah kepatuhan terhadap standar yang telah ditetapkan (Crosby, 1984)
Menurut kemampuan yang dimiliki rumah sakit di Indonesia dapat digolongkan dalam
beberapa kategori :
Rumah sakit tipe A : Specialis dan sub specialis lebih luas, Top referral hospital
Rumah sakit tipe B : Specialis dan sub specialis terbatas, pelayanan rujukan dari kabupaten
Rumah sakit tipe C : Spesialis terbatas, Pelayanan rujukan dari Puskesmas
Rumah sakit tipe D : Pelayanan rujukan dari Puskesmas
Rumah sakit tipe E : (rumah sakit khusus) : RS Jiwa, RS Jantung, RS Paru, kanker, Kusta.
Puskesmas dibina oleh Dinas Kesehatan kabupaten/kota terkait kegiatan upaya kesehatan
masyarakat (UKM)
Puskesmas dibina oleh rumah sakit kabupaten/kota terkait upaya kesehatan perorangan (UKP)
Sedang dalam proses untuk penggabungan UKM dan UKP
UKM
Pemerintah dan peran serta aktif masyarkat dan swasta.
Mencakup: promkes, pemeliharaan kes, P2M, keswa, pengendalian penyakit tdk menular,
sanitasi dasar, gizi masyarakat.
UKP
dapat diselenggarakan oleh masyarakat, swasta dan Pemerintah .
Mencakup: promkes, pencegahan, pengobatan rwt jalan, pengobt rwt inap, rehabilitasi
Puskesmas :
Posyandu balita dan lansia
Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD)
Polindes (poliklinik desa)
Puskesmas kebanyakan hanya dijadikan tempat transit permohonan rujukan.
Trend Issu pelayanan kesehatan
Adanya fragmentasi pelayanan
penerapan otonomi
penetapan Puskesmas sebagai ujung tombak
Alokasi anggaran promotive dan prepentive
Serta kurangnya sumber daya manusia
Faktor yang mempengaruhi pelayanan kesehatan
1. Ilmu pengetahuan & teknologi baru
2. Pergeseran nilai masyarakat
3. Aspek legal dan etik
4. Ekonomi
5. Politik
Masalah sistem pelayanan kesehatan
Upaya Kesehatan
Pembiayaan Kesehatan
Sumber Daya Manusia Kesehatan
Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Makanan
Manajemen dan Informasi Kesehatan
Pemberdayaan Masyarakat
PELAYANAN IMUNISASI
Imunisasi adalah suatu cara untuk menimbulkan/meningkatkan, kekebalan seseorang secara aktif
terhadap suatu penyakit, sehingga bila kelak ia terpapar dengan penyakit tersebut tidak akan sakit
atau sakit ringan. (Depkes RI, 2005).
Tujuan imunisasi adalah diharapkan anak menjadi lebih kebal terhadap penyakit sehingga dapat
menurunkan angka mortalitas serta dapat mengurangi kecacatan.(A.Aziz, 2008)
Jenis-Jenis Imunisasi :
a. Imunisasi pasif (passive immunization)
Imunisasi pasif ini adalah Immunoglobulin jenis imunisasi ini dapat mencegah
penyakitcampak (measles pada anak-anak).
Rendahnya cakupan imunisasi dapat diakibatkan oleh beberapa faktor. Faktor tersebut
adalah aspek geografis dimana di daerah pelosok akses pelayanan kesehatan masih minim
termasuk imunisasi. Selain itu, masyarakat sering menganggap bahwa anak yang menderita
batuk pilek tidak boleh diimunisasi. Faktor lain adalah kurangnya kesadaran masyarakat atas
imunisasi akibat minimnya pendidikan. Sehingga tenaga kesehata seperti dokter, bidan atau
perawat memiliki kewajiban mengingatkan pasien tentang jadwal imunisasi. Faktor lain adalah
munculnya kelompok anti vaksin. Selain itu, kesalahan pemahaman masyarakat mengenai ASI
juga turut mempengaruhi kesediaan untuk melakukan imunisasi. ASI memang meningkatkan
daya tahan, namun perlindungan ASI juga akan berkurang seiring munculnya paparan pada anak
(majalah farmacia, 2012).
Dalam program Intensifikasi Imunisasi Rutin, upaya pemberian imunisasi harus lebih intensif
dibandingkan tahun lalu. Imunisasi dasar diketahui sangat efektif dalam memberikan
perlindungan terhadap suatu penyakit pada masa depan kehidupan. Imunisasi dasar berfungsi
membentuk sel memori yang akan dibawa seumur hidup. Jika imunisasi dasar diberikan lengkap
dan sel memori terbentuk semakin dini, maka semakin bagus perlindungan yang diberikan
(Hadinegoro, 2012).
Namun pada vaksin tertentu (vaksin mati atau vaksin komponen, misalnya hepatitis B
atau DTP), imunisasi dasar saja tidak cukup memberikan perlindungan dalam jangka panjang
sehingga harus dilakukan booster atau penguat. Kekebalan yang diberikan imunisasi dasar tidak
berlangsung seumur hidup dan ditandai dengan titer antibodi yang semakin lama semakin
menurun. Pemberian booster dimaksudkan membangkitkan kembali sel memori untuk
membentuk antibodi agar titer antibodi selalu di atas ambang pencegahan (protective level)
(Hadinegoro, 2012).
Vaksin DTP misalnya yang diberikan usia 2, 4, 6 bulan perlu diberikan booster pada usia
18-24 bulan dan 5 tahun. Di usia lima tahun kekebalan kembali turun sehingga perlu booster
kedua bahkan ketiga dalam jangka waktu setiap 5-10 tahun. Komponen T (tetanus) pada vaksin
DTP juga harus bisa memberikan perlindungan seumur hidup terhadap tetanus neonatorum
(penting untuk melindungi bayi yang dilahirkan dari infeksi tetanus apabila pemotongan tali
pusat tidak steril). Vaksin TT diberikan pada anak usia sekolah dan ibu hamil (Hadinegoro,
2012).
Sampai kapan booster diberikan, tergantung data epidemiologi dan pola penyakit dari kelompok
usia yang rentan terkena penyakit. Misalnya penyakit difteri, pertusis, dan tetanus yang bisa
dicegah dengan vaksin DTP bisa mengancam anak-anak maupun dewasa sehingga semua usia
rentan terhadap penularan penyakit-penyakit ini (Hadinegoro, 2012).
Keberhasilan pemberian imunisasi pada anak dipengerhui oleh beberapa faktor, diantaranya
yaitu :
Tingginya kadar antibodi pada saat dilakukan imunisasi
Potensi antigen yang disuntikkan
Waktu pemberian imunisasi
Status nutrisi terutama protein karena protein diperlukan untuk sintesis antibodi
Yang harus diperhatikan, tanyakan dahulu dengan dokter anda sebelum imunisasi jika bayi anda
sedang sakit yang disertai panas; menderita kejang-kejang sebelumnya ; atau menderita penyakit
system saraf.
Jadwal imunisasi
Jadwal pemberian imunisasi :
Keterangan:
Rekomendasi imunisasi berlaku mulai 1 Januari 2014.
1. Vaksin Hepatitis B. Paling baik diberikan dalam waktu 12 jam setelah lahir dan
didahului pemberian injeksi vitamin K1. Bayi lahir dari ibu HBsAg positif, diberikan
vaksin hepatitis B dan imunoglobulin hepatitis B (HBIg) pada ekstremitas yang berbeda.
Vaksinasi hepatitis B selanjutnya dapat menggunakan vaksin hepatitis B monovalen atau
vaksin kombinasi.
2. Vaksin Polio. Pada saat bayi dipulangkan harus diberikan vaksin polio oral (OPV-0).
Selanjutnya, untuk polio-1, polio-2, polio-3 dan polio booster dapat diberikan vaksin
OPV atau IPV, namun sebaiknya paling sedikit mendapat satu dosis vaksin IPV.
3. Vaksin BCG. Pemberian vaksin BCG dianjurkan sebelum 3 bulan, optimal umur 2
bulan. Apabila diberikan sesudah umur 3 bulan, perlu dilakukan uji tuberkulin.
4. Vaksin DTP. Vaksin DTP pertamadiberikan paling cepat pada umur 6 minggu. Dapat
diberikan vaksin DTwP atau DTaP atau kombinasi dengan vaksin lain. Untuk anak umur
lebih dari 7 tahun DTP yang diberikan harus vaksin Td, di-booster setiap 10 tahun.
5. Vaksin Campak. Campak diberikan pada umur 9 bulan, 2 tahun dan pada SD kelas 1
(program BIAS).
6. Vaksin Pneumokokus (PCV). Apabila diberikan pada umur 7-12 bulan, PCV diberikan
2 kali dengan interval 2 bulan; pada umur lebih dari 1 tahun diberikan 1 kali. Keduanya
perlu dosis ulangan 1 kali pada umur lebih dari 12 bulan atau minimal 2 bulan setelah
dosis terakhir. Pada anak umur di atas 2 tahun PCV diberikan cukup satu kali.
7. Vaksin Rotavirus. Vaksin rotavirus monovalen diberikan 2 kali, vaksin rotavirus
pentavalen diberikan 3 kali. Vaksin rotavirus monovalen dosis I diberikan umur 6-14
minggu, dosis ke-2 diberikan dengan interval minimal 4 minggu. Sebaiknya vaksin
rotavirus monovalen selesai diberikan sebelum umur 16 minggu dan tidak melampaui
umur 24 minggu. Vaksin rotavirus pentavalen: dosis ke-1 diberikan umur 6-14 minggu,
interval dosis ke-2, dan ke-3 4-10 minggu, dosis ke-3 diberikan pada umur kurang dari 32
minggu (interval minimal 4 minggu).
8. Vaksin Varisela. Vaksin varisela dapat diberikan setelah umur 12 bulan, namun terbaik
pada umur sebelum masuk sekolah dasar. Bila diberikan pada umur lebih dari 12 tahun,
perlu 2 dosis dengan interval minimal 4 minggu.
9. Vaksin Influenza. Vaksin influenza diberikan pada umur minimal 6 bulan, diulang
setiap tahun. Untuk imunisasi pertama kali (primary immunization) pada anak umur
kurang dari 9 tahun diberi dua kali dengan interval minimal 4 minggu. Untuk anak 6
<36 bulan, dosis 0,25 mL.
10. Vaksin Human papiloma virus (HPV). Vaksin HPV dapat diberikan mulai umur 10
tahun. Vaksin HPV bivalen diberikan tiga kali dengan interval 0, 1, 6 bulan; vaksin HPV
tetravalen dengan interval 0, 2, 6 bulan.
Pemberian vaksin bisa melalui injeksi, misalnya vaksin BCG, DPT, DT, TT, Campak dan
Hepatitis B. Sedangkan yang diberikan secara oral yaitu vaksin polio
BCG : 1 X (bayi 0-11 bulan)
DPT : 3 X ( bayi 2-11 bulan) selang 4 minggu
Polio : 3 X ( bayi 2-11 bulan) selang 4 minggu
Campak : 1X ( anak 9-11 bulan)
TT IH : - 1 x ( BOOSTER) bila ibu hamil pernah menerima TT 2 X pada
o Waktu calon pengantin atau pada kehamilan sebelumnya)
2 X (selang 4 minggu) bila ibu hamil belum pernah divaksinasi TT
o Selama kehamilan. Bila pada waktu kontak berikutnya (saat
pemberian TT2 tetap) diberikan dengan maksud untuk
memberikan perlindungan pada kehamilan berikutnya
DT : 2x ( selang 4 minggu) anak kelas 1 sampai wanita
TT : 2x ( 4 minggu ) anak kelas 6 SD sampai wanita
TT calon pengantin wanita : 2 X ( selang 4 minggu) sebelum akad nikah
Pemberian obat antipiretik untuk imunisasi DPT, dijelaskan cara dan dosis pemberian.
Memberikan Informasi kepada orang tua bayi mengenai jadwal imunisasi berikutnya. Pencatatan
/ pelaporan : Imunisasi yang diberikan dicatat dalam buku catatan imunisasi dan Buku KIA /
KMS.
Langkah-langkah kegiatan :
1. Petugas Imunisasi menerima kunjungan bayi sasaran Imunisasi yang telah membawa
Buku KIA / KMS di Ruang Imunisasi setelah mendaftar di loket pendaftaran.
2. Petugas memriksa status Imunisasi dalam buku KIA / KMS dan menentukan jenis
imunisasi yang akan diberikan.
3. Petugas menanyakan keadaan bayi kepada orang tuanya ( keadaan bayi yang
memungkinkan untuk diberikan imunisasi atau bila tidak akan dirujuk ke Ruang
Pengobatan ).
4. Petugas menyiapkan alat ( menyeteril alat suntik dan kapas air hangat ).
5. Petugas menyiapkan vaksin ( vaksin dimasukkan ke dalam termos es ).
6. Petugas menyiapkan sasaran ( memberitahukan kepada orang bayi tentang tempat
penyuntikan.
7. Petugas memberikan Imunisasi ( memasukkan vaksin ke dalam alat suntik, desinfeksi
tempat suntikan dengan kapas air hangat, memberikan suntikan vaksin / meneteskan
vaksin sesuai dengan jadwal imunisasi yang akan diberikan.
8. Petugas melakukan KIE tentang efek samping pasca imunisasi kepada orang tua bayi
sasaran imunisasi.
9. Petugas memberikan obat antipiretik untuk imunisasi DPT, dijelaskan cara dan dosis
pemberian.
10. Petugas memberitahukan kepada orang tua bayi mengenai jadwal imunisasi
berikutnya.Petugas mencatat hasil imunisasi dalam Buku KIA / KMS dan Buku Catatan
Imunisasi serta rekapitulasi setiap akhir bulannya
Sifat Vaksin
Vaksin TT termasuk vaksin yang sensitif terhadap beku (Freeze Sensitive=FS) yaitu
golongan vaksin yang akan rusak bila terpapar/terkena dengansuhu dingin atau suhu pembekuan.
(Depkes RI, 2005).
Efek Samping
Efek samping jarang terjadi dan bersifat ringan, gejalanya seperti lemas dan kemerahan pada
lokasi suntikan yang bersifat sementara dan kadang-kadang gejala demam. (Depkes RI, 2005).
Kontraindikasi Vaksin TT
Ibu hamil atau WUS yang mempunyai gejala-gejala berat (pingsan) karena dosis pertama TT.
(Depkes RI, 2005).
Kerusakan Vaksin
Keterpaparan suhu yang tidak tepat pada vaksin TT menyebabkan umur vaksin menjadi
berkurang dan vaksin akan rusak bila terpapar /terkena sinar matahari langsung. (Depkes RI,
2005).
Perencanaan Program Vaksinansi
Pada program imunisasi menentukan jumlah sasaran merupakan suatu unsur yang paling penting.
Menghitung jumlah sasaran ibu hamil didasarkan 10 % lebih besar dari jumlah bayi. Perhitungan
ini dipakai untuk tingkat pusat, propinsi, kabupaten/kota, kecamatan dan desa.
Sasaran Imunisasi Ibu Hamil = 1,1 x Jumlah bayi
Untuk menghindari penumpukan vaksin, jumlah kebutuhan vaksin satu tahun harus dikurangi
sisa vaksin tahun lalu. Rumus Kebutuhan Vaksin ;
Jumlah kontak
Kebutuhan Vaksin =--------------------- =....ampul/vial
IP
4. Memahami dan Menjelaskan Aspek Sosial dan Budaya Masyarakat dalam Mengakses
Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan di Puskesmas
Menurut W. J. S. Poerwadarminta, dalam kamus bahasa Indonesia miliknya, sosial
dimaknai sebagai segala sesuatu yang berhubungan dengan masyarakat atau kemasyarakatan;
suka memperhatikan kepentingan umum. Sedangkan budaya berasal dari kata Sans atau Bodhya
yang bermakna pikiran dan akal budi, budaya diartikan sebagai segala hal yang dibuat oleh
manusia berdasarkan pikiran dan akal budinya yang mengandung cinta, rasa, dan karsa. Jadi,
dapat disimpulkan dari segi istilah, sosial budaya merupakan segala hal yang diciptakan oleh
manusia dengan pikiran dan budinya dalam kehidupan bermasyarakat.
Kurangnya peran serta masyarakat dalam pembangunan bidang kesehatan.Aspek sosial budaya
yang berhubungan dengan kesehatanAspek soaial budaya yang berhubungan dengan kesehatan
anatara lain adalah faktorkemiskinan, masalah kependudukan, masalah lingkungan hidup,
pelacuran dan homoseksual.
Ruang Lingkup Pendidikan kesehatan masyarakat
Dimensi sasaran
Pendidikan kesehatan individu dengan sasaran individu
Pendidikan kesehatan kelompok dengan sasaran kelompok masyarakat tertentu
Pendidikan kesehatan masyarakat dengan sasaran masyarakat luas
Dimensi tempat pelaksanaan
Pendidikan kesehatan dirumah sakit dengan sasaran pasien dan keluarga
Pendidikan kesehatan di sekolah dengan sasaran pelajar
Pendidikan kesehatan di masyarakat atau tempat kerja dengan sasaran masyarakat atau pekerja
Dimensi tingkat pelayanan kesehhatan
Pendidikan kesehatan promosi kesehatan ( health promotion) missal ; Peningkatan gizi,
perbaikan sanitasi lingkungan , gaya hidup dan sebagainya
Pendidikan kesehatan untuk perlindungan khusus ( specific Protection) missal : imunisasi
Pendidikan kesehatan untuk diagnosis dini dan pengobatan tepat (early diagnostic and promt
treatment ) missal : dengan pengobatan layak dan sempurna dapat menghindari dari resiko
kecacatan
Pendidikan kesehatan untuk rehabilitasi missal : dengan memulihkan kondisi cacat melalui
latihan latihan tertentu
Tujuan Depkes
Meningkatkan derajat kesehatan masyarakat serta meningkatkan mutu pelayanan
kesehatan masyarakat melalui peningkatan dan mekanisme rujukan berjenjang antar puskesmas
dengan RS Dati II, RS Dati I dan RS tingkat pusat dan labkes dalam suatu system rujukan,
sehingga dapat mendukung upaya mengurangi kematian ibu hamil dan melahirkan dan angka
kematian bayi.
Syarat Rujukan
Adanya unit yang mempunyai tanggung jawab baik yang merujuk maupun yang menerima
rujukan .
Adanya pencatatan tertentu :
- Surat rujukan
- Kartu Sehat bagi klien yang tidak mampu
- Pencatatan yang tepat dan benar
- Kartu monitoring rujukan ibu bersalin dan bayi (KMRIBB)
Adanya pengertian timbal balik antar yang merujuk dan yang menerima rujukan
Adanya pengertian tugas tentang system rujuikan
Sifat rujukan horizontal dan vertical (kearah yang lebih mampu dan lengkap).
Jenis Rujukan
o Rujukan medis
- Rujukan pasien
- Rujukan pengetahuan
- Rujukan laboratorium atau bahan pemeriksaan
o Rujukan kesehatan
- Rujukan ilmu pengetahuan, teknologi dan keterampilan, misalnya : pengiriman dokter
ahli terutama ahli bedah, kebidanan dan kandungan, penyakit dalam dan dokter anak dari
RSU Provinsi ke RSU Kabupaten.
- Pengiriman asisten ahli senior ke RS Kabupaten yang belum ada dokter ahli dalam jangka
waktu tertentu.
- Pengiriman tenaga kesehatan dari puskesmas RSU Kabupaten ke RS Provinsi.
- Alih pengetahuan dan keterampilan di bidang klinik, manajemen dan pengoperasian
peralatan.
o Rujukan manajemen
- Pengiriman informasi
- Obat, biaya, tenaga, peralatan
- Permintaan bantuan : survei epidemiologi, mengatasi wabah (KLB)
Thaun disadari sebagai wabah yang menggelisahkan masyarakat Rasulullah saw ketika
itu. Jika suatu wabah berjangkit dalam suatu wilayah, maka kebijakan Nabi adalah melakukan
isolasi, yaitu orang luar tidak boleh masuk ke wilayah epidemi dan sebaliknya orang yang berada
di wilayah itu tidak boleh keluar ke daerah lain. Demikian sabda Nabi Muhammad saw.:
( )
Artinya;
Jika kamu mendengar tentang thaun di suatu tempat, maka janganlah kamu memasukinya
(tempat itu). Apa bila kamu (terlanjur) berada di tempat yang terkena wabah itu, maka janganlah
kamu keluar darinya (tempat itu) (H.R. at-Turmuzi dari Said).
Pernah di suatu saat daerah luar Madinah terjangkit wabah thaun (pes, sampar, atau
penyakit sejenisnya) dan al-masih (sejenis kuman yang mengelupaskan kulit mungkin seperti
wabah gudik, bengkoyok, atau secara umum penyakit kulit). Rasulullah melarang siapa pun yang
terkena kedua jenis penyakit itu (thaun dan al-masih) masuk ke kota Madinah. Demikian sabda
Nabi: . . . la yadkhulu al-Madinata al-masihu wala ath-thaun ( . . . Tidak boleh masuk ke
Madinah bagi yang terjangkit oleh al-masih dan thaun H.R.al-Bukhari dari Abu Hurairah)
Artinya:
. . . Bahwa ada suatu azab yang Allah mengutusnya (untuk) menimpa kepada seseorang yang Ia
kehendakinya. Allah menjadikannya sebagai rahmat bagi orang-orang mukmin. Tidaklah bagi
seseorang yang tertimpa thaun kemudian ia berdiam diri di wilayahnya itu dengan sabar dan ia
menyadari bahwa thaun itu tidak akan menimpa kecuali telah ditetapkan Allah, kecuali ia
memperoleh pahala bagaikan orang mati syahid (H.R. al-Bukhari dari Aisyah).
Dalam hadis tersebut dijelaskan bahawa (l) penduduk yang wilayahnya terkena wabah
dan tidak boleh keluar dari wilayah itu supaya mereka bersabar. Penyakit itu tidak akan menular
kepada orang kecuali atas kehendak Allah. Pahala orang yang sabar (tidak keluar dari
wilayahnya) memperoleh pahala sepadan orang mati syahid, (2) Perwujudan rahmat dalam kasus
ini adalah bersabar. Orang sabar berada dalam lindungan Allah (inna-llaha maa ash-shabirin)
Kesimpulan
Dari berbagai kasus wabah yang menimpa pada zaman Islam generasi pertama ini dapat
disimpulkan bahwa: (l) thaun cukup menggelisahkan masyarakat generasi pertama Islam, (2)
mereka berusaha supaya wabah tidak menjalar ke daerah lain secara luas. Kata kunci untuk
usaha ini adalah lari dari takdir lama kemudian mencari takdir baru.
Sudah menjadi semacam kesepakatan, bahwa menjaga agar tetap sehat dan tidak terkena
penyakit adalah lebih baik daripada mengobati, untuk itu sejak dini diupayakan agar orang tetap
sehat. Menjaga kesehatan sewaktu sehat adalah lebih baik daripada meminum obat saat sakit.
Dalam kaidah ushuliyyat dinyatakan:
Dari Ibn Abbas, ia berkata, aku pernah datang menghadap Rasulullah SAW, saya bertanya: Ya
Rasulullah ajarkan kepadaku sesuatu doa yang akan akan baca dalam doaku, Nabi menjawab:
Mintalah kepada Allah ampunan dan kesehatan, kemudian aku menghadap lagipada kesempatan
yang lain saya bertanya: Ya Rasulullah ajarkan kepadaku sesuatu doa yang akan akan baca
dalam doaku. Nabi menjawab: Wahai Abbas, wahai paman Rasulullah saw mintalah kesehatan
kepada Allah, di dunia dan akhirat. (HR Ahmad, al-Tumudzi, dan al-Bazzar)
Berbagai upaya yang mesti dilakukan agar orang tetap sehat menurut para pakar kesehatan,
antara lain, dengan mengonsumsi gizi yang yang cukup, olahraga cukup, jiwa tenang, serta
menjauhkan diri dari berbagai pengaruh yang dapat menjadikannya terjangkit penyakit. Hal-hal
tersebut semuanya ada dalam ajaran Islam, bersumber dari hadits-hadits shahih maupun ayat al-
Quran.
Dengan merujuk konsep sehat yang dewasa ini dipaharm. berdasarkan rumusan WHO yaitu:
Health is a state of complete physical, mental and social-being, not merely the absence q; disease
on infirmity (Sehat adalah suatu keadaan j^sm rohaniah, dan sosia] yang baik, tidak hanyatidak
bt.*)-esiyal cacat). Dadang Ha\v?ri melaporkan, bahwa s^aK ^hunsehingga rnonjadi -eliat
Menurut penelitian Ali Munis, dokter spesialis internal Fakultas Kedokteran Universitas Ain
Syams Cairo, menunjukan bahwa ilmu kedokteran modern menemukan kecocokan terhadap
yang disyariatkan Nabi dalam praktek pcngobatan yang berhubungan dengan spesialisasinya.
Sebagaiman disepakati oleh para ulama bahwa di balik pengsyariatan segala sesuatu termasuk
ibadah dalam Islam terdapat hikrnah dan manfaat phisik (badaniah) dan psikis (kejiwaan). Pada
saat orang-orang Islam menunaikan kewajiban-kewajiban keagamannya, berbagai penyakit lahir
dan batin terjaga.
Kesehatan Jasmani
Ajaran Islam sangat menekankan kesehatan jasmani. Agar tetap sehat, hal yang perlu
diperhatikan dan dijaga, menurut sementara ulama, disebutkan, ada sepuluh hal, yaitu: dalam hal
makan, minum, gerak, diam, tidur, terjaga, hubungan seksual, keinginan-keinginan nafsu,
keadaan kejiwaan, dan mengatur anggota badan.
Dalam ilmu kesehatan atau gizi disebutkan, makanan adalah unsur terpenting untuk menjaga
kesehatan. Kalangan ahli kedokteran Islam menyebutkan, makan yang halalan dan thayyiban.
Al-Quran berpesan agar manusia memperhatikan yang dimakannya, seperti ditegaskan dalam
ayat: maka hendaklah manusia itu memperhatikan makanannya.(QS. Abasa 80 : 24 )
Dalam 27 kali pembicaraan tentang perintah makan, al-Quran selalu menekankan dua sifat, yang
halal dan thayyib, di antaranya dalam (Q., s. al-Baqarat (2)1168; al-Maidat (s):88; al-Anfal
(8):&9; al-Nahl (16) : 1 14),
Kedua; Keseimbangan Beraktivitas dan Istirahat
Perhatian Islam terhadap masalah kesehatan dimulai sejak bayi, di mana Islam menekankan bagi
ibu agar menyusui anaknya, di samping merupakan fitrah juga mengandung nilai kesehatan.
Banyak ayat dalam al-Quran menganjurkan hal tersebut.
Al-Quran melarang melakukan sesuatu yang dapat merusak badan. Para pakar di bidang medis
memberikan contoh seperti merokok. Alasannya, termasuk dalam larangan membinasakan diri
dan mubadzir dan akibatyang ditimbulkan, bau, mengganggu orang lain dan lingkungan.
Islam juga memberikan hak badan, sesuai dengan fungsi dan daya tahannya, sesuai anjuran Nabi:
Bahwa badanmu mempunyai hak
Islam menekankan keteraturan mengatur ritme hidup dengan cara tidur cukup, istirahat cukup, di
samping hak-haknya kepada Tuhan melalui ibadah. Islam memberi tuntunan agar mengatur
waktu untuk istirahat bagi jasmani. Keteraturan tidur dan berjaga diatur secara proporsional,
masing-masing anggota tubuh memiliki hak yang mesti dipenuhi.
Di sisi lain, Islam melarang membebani badan melebihi batas kemampuannya, seperti
melakukan begadang sepanjang malam, melaparkan perut berkepanjangan sekalipun maksudnya
untuk beribadah, seperti tampak pada tekad sekelompok Sahabat Nabi yang ingin terus menerus
shalat malam dengan tidak tidur, sebagian hendak berpuasa terus menerus sepanjang tahun, dan
yang lain tidak mau menggauli istrinya, sebagaimana disebutkan dalam hadits:
Nabi pernah berkata kepadaku: Hai hamba Allah, bukankah aku memberitakan bahwa kamu
puasa di szam? hari dan qiyamul laildimalam hari, maka aku katakan, benarya Rasulullah, Nabi
menjawab: Jangan lalukan itu, berpuasa dan berbukalah, bangun malam dan tidurlah, sebab, pada
badanmu ada hak dan pada lambungmujuga ada hak (HR Bukhari dan Muslim).
Aktivitas terpenting untuk menjaga kesehatan dalam ilmu kesehatan adalah melalui kegiatan
berolahraga. Kata olahraga atau sport (bahasa Inggris) berasal dari bahasa Latin Disportorea atau
deportore, dalam bahasa Itali disebut deporte yang berarti penyenangan, pemeliharaan atau
menghibur untuk bergembira. Olahraga atau sport dirumuskan sebagai kesibukan manusia untuk
menggembirakan diri sambil memelihara jasmaniah.
Tujuan utama olahraga adalah untuk mempertinggi kesehatan yang positif, daya tahan, tenaga
otot, keseimbangan emosional, efisiensi dari fungsi-rungsi alat tubuh, dan daya ekspresif serta
daya kreatif. Dengan melakukan olahraga secara bertahap, teratur, dan cukup akan meningkatkan
dan memperbaiki kesegaran jasmani, menguatkan dan menyehatkan tubuh. Dengan kesegaran
jasmani seseorang akan mampu beraktivitas dengan baik.
Dalam pandangan ulama fikih, olahraga (Bahasa Arab: al-Riyadhat) termasuk bidang ijtihadiyat.
Secara umum hokum melakukannya adalah mubah, bahkan bisa bernilai ibadah, jika diniati
ibadah atau agar mampu melakukannya melakukan ibadah dengan sempurna dan
pelaksanaannyatidakbertentangan dengan norma Islami.
Sumber ajaran Islam tidak mengatur secara rinci masalah yang berhubungan dengan berolahraga,
karena termasuk masalah duniawi atau ijtihadiyat, maka bentuk, teknik, dan peraturannya
diserahkan sepenuhnya kepada manusia atau ahlinya. Islam hanya memberikan prinsip dan
landasan umum yang harus dipatuhi dalam kegiatan berolahraga.
Nash al-Quran yang dijadikan sebagai pedoman perlunya berolahraga, dalam konteks perintah
jihad agar mempersiapkan kekuatan untuk menghadapi kemungkinan serangan musuh, yaitu
ayat:
Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari
kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan
musuh Allah, musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang
Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu najkahkanpadajalan Allah niscaya akan dibalas
dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan). (QS.Al-Anfal :6o):
Nabi menafsirkan kata kekuatan (al-Quwwah) yang dimaksud dalam ayat ini adalah memanah.
Nabi pernah menyampaikannya dari atas mimbar disebutkan 3 kali, sebagaimana dinyatakan
dalam satu hadits:
Nabi berkata: Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sang
gupi Ingatlah kekuatan itu adalah memanah, Ingatlah kekuatan itu adalah memanah, Ingatlah
kekuatan itu adalah memanah, (HR Muslim, al-Turmudzi, Abu Dawud, Ibn Majah, Ahmad, dan
al-Darimi)
Ajaran Islam sangat memperhatikan masalah kebersihan yang merupakan salah satu aspek
penting dalam ilmu kedokteran. Dalam terminologi Islam, masalah yang berhubungan dengan
kebersihan disebut dengan al-Thaharat. Dari sisi pandang kebersihan dan kesehatan, al-thaharat
merupakan salah satu bentuk upaya preventif, berguna untuk menghindari penyebaran berbagai
jenis kuman dan bakteri.
Imam al-Suyuthi, Abd al-Hamid al-Qudhat, dan ulama yang lain menyatakan, dalam Islam
menjaga kesucian dan kebersihan termasuk bagian ibadah sebagai bentuk qurbat, bagian dari
taabbudi, merupakan kewajiban, sebagai kunci ibadah, Nabi bersabda: Dari Ali ra., dari Nabi
saw, beliau berkata: Kunci shalat adalah bersuci (HR Ibnu Majah, al-Turmudzi, Ahmad, dan
al-Darimi)
Berbagai ritual Islam mengharuskan seseorang melakukan thaharat dari najis, mutanajjis, dan
hadats. Demikian pentingnya kedudukan menjaga kesucian dalam Islam, sehingga dalam buku-
buku fikih dan sebagian besar buku hadits selalu dimulai dengan mengupas masalah thaharat,
dan dapat dinyatakan bahwa fikih pertama yang dipelajari umat Islam adalah masalah kesucian.
Abd al-Munim Qandil dalam bukunya al-Tadaivi bi al-Quran seperti halnya kebanyakan ulama
membagi thaharat menjadi dua, yaitu lahiriah dan rohani. Kesucian lahiriah meliputi kebersihan
badan, pakaian, tempat tinggal, jalan dan segala sesuatu yang dipergunakan manusia dalam
urusan kehidupan. Sedangkan kesucian rohani meliputi kebersihan hati, jiwa, akidah, akhlak, dan
pikiran.
HUKUM BEROBAT
Para ulama berselisih pendapat mengenai hukum berobat. Menurut jumhur atau mayoritas ulama,
berobat tidaklah wajib. Sebagian ulama berpendapat wajibnya jika khawatir tidak berobat, malah
diri seseorang binasa.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, Berobat tidaklah wajib menurut mayoritas
ulama. Yang mewajibkannya hanyalah segelintir ulama saja sebagaimana yang berpendapat
demikian adalah sebagian ulama Syafii dan Hambali. Para ulama pun berselisih pendapat
manakah yang lebih utama, berobat ataukah sabar. Karena hadits shahih yang menerangkan hal
ini dari Ibnu Abbas, tentang budak wanita yang sabar terkena penyakit ayan. (Majmu Al
Fatawa, 24: 268)
Ibnu Taimiyah melanjutkan, Sekelompok sahabat Nabi dan tabiin tidak mengambil pilihan
untuk berobat. Ada sahabat seperti Ubay bin Kaab dan Abu Dzar tidak mau berobat, lantas
sahabat lainnya tidak mengingkarinya. (Idem)
Ibnu Rajab Al Hambali rahimahullah menjelaskan, Para ulama berselisih pendapat manakah
yang lebih utama, apakah berobat atau meninggalkan berobat lantas lebih memilih untuk
bertawakkal pada Allah? Ada dua pendapat dalam masalah ini. Yang nampak dari pendapat
Imam Ahmad adalah lebih afdhol untuk bertawakkal bagi yang kuat. Karena Nabi shallallahu
alaihi wa sallam pernah membicarakan ada 70.000 orang dari umatku akan masuk surga tanpa
hisab. Kemudian beliau bersabda,
Mereka itu adalah orang yang tidak beranggapan sial (tathoyyur), tidak meminta diruqyah,
tidak meminta dikay (disembuhkan luka dengan besi panas) dan kepada Allah, mereka
bertawakkal.
Sedangkan ulama yang lebih memilih pendapat berobat itu lebih utama beralasan dengan
keadaan Nabi shallallahu alaihi wa sallam untuk berobat. Yang Nabi shallallahu alaihi wa
sallam lakukan tentu suatu hal yang afdhol (utama). Sedangkan mengenai hadits ruqyah yang
dikatakan makruh adalah bagi yang dikhawatirkan terjerumus dalam kesyirikan (karena
tergantung hatinya pada ruqyah, bukan pada Allah Yang Maha Menyembuhkan, -pen). Dipahami
demikian karena meminta ruqyah tadi dikaitkan dengan meminta dikay dan beranggapan sial,
yang semuanya dihukumi terlarang. (Jaamiul Ulum wal Hikam, 2: 500-501).
Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah berkata, Tidak termasuk tercela jika
seseorang memilih berobat ke dokter. Karena Nabi shallallahu alaihi wa sallam tidak
mengatakan (mengenai 70.000 orang yang masuk surga tanpa siksa, -pen), Mereka tidaklah
berobat. Namun yang beliau katakan adalah, Mereka tidak meminta dikay dan tidak meminta
diruqyah. Masalahnya jika pasien terlalu menggantungkan hatinya pada dokter. Yang jadi
problema adalah bila harapan dan rasa khawatirnya hanyalah pada dokter. Inilah yang
mengurangi tawakkalnya. Oleh karenanya, patut diingatkan bahwa setiap orang yang pergi
berobat ke dokter, hendaklah ia yakini bahwa berobat hanyalah sebab sedangkan yang
mendatangkan kesembuhan adalah Allah. Atas kuasa Allah, kesembuhan itu datang. Inilah yang
harus jadi prinsip seorang muslim sehingga tidak kurang tawakkalnya pada Allah. (Fatwa Nur
alad Darb, 3: 213)
Mengenai hadits yang telah disinggung di atas yaitu tentang wanita yang terkena penyakit ayan,
.
.
. .
Dari Atho bin Abi Robaah, ia berkata bahwa Ibnu Abbas berkata padanya, Maukah
kutunjukkan wanita yang termasuk penduduk surga? Atho menjawab, Iya mau. Ibnu Abbas
berkata, Wanita yang berkulit hitam ini, ia pernah mendatangi Nabi shallallahu alaihi wa
sallam, lantas ia pun berkata, Aku menderita penyakit ayan dan auratku sering terbuka
karenanya. Berdoalah pada Allah untukku. Nabi shallallahu alaihi wa sallam pun bersabda,
Jika mau sabar, bagimu surga. Jika engkau mau, aku akan berdoa pada Allah supaya
menyembuhkanmu. Wanita itu pun berkata, Aku memilih bersabar. Lalu ia berkata pula,
Auratku biasa tersingkap (kala aku terkena ayan). Berdoalah pada Allah supaya auratku tidak
terbuka. Nabi shallallahu alaihi wa sallam pun berdoa pada Allah untuk wanita tersebut.
(HR. Bukhari no. 5652 dan Muslim no. 2576). Baca penjelasan hadits ini di
Rumaysho.Com: Jika Bersabar, Bagimu Surga.
Hadits di atas hanyalah menunjukkan bahwa boleh meninggalkan berobat dalam kondisi seperti
yang wanita itu alami yaitu saat ia masih kuat menahan penyakitnya. (Lihat Fatwa Syaikh Sholeh
Al Munajjid no. 81973)
Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menjelaskan, Hadits tersebut menjelaskan keutamaan orang
yang bersabar ketika tertimpa penyakit ayan. Juga terkandung pelajaran bahwa orang yang
bersabar terhadap cobaan dunia, maka itu memudahkannya mendapatkan surga. Orang yang
menahan rasa sakit yang berat lebih utama daripada orang yang
mengambil rukhsoh (keringanan), dengan catatan ini bagi yang mampu menahan. Hadits ini juga
menunjukkan boleh memilih tidak berobat. Juga hadits ini menunjukkan bahwa berobat dari
setiap penyakit dengan doa dan menyandarkan diri pada Allah lebih manfaat daripada
mengonsumsi berbagai macam obat. Pengaruh doa dan tawakkal pada badan lebih besar
daripada pengaruh berbagai macam obat pada badan. Namun doa tersebut bisa manfaat jika: (1)
pasien yang diobati punya niat yang benar, (2) orang yang memberi obat, hatinya bertakwa dan
benar-benar bertawakkal pada Allah. Wallahu alam. (Fathul Bari, 10: 115).
Hukum Berobat
Majma Al Fiqh Al Islami berpendapat wajibnya berobat bagi orang yang jika meninggalkan
berobat bisa jadi membinasakan diri, anggota badan atau dirinya jadi lemah, juga bagi orang
yang penyakitnya bisa berpindah bahayanya pada orang lain. (Dinukil dari Fatwa Syaikh Sholeh
Al Munajjid no. 81973)
Rincian paling baik tentang masalah hukum berobat disampaikan oleh Syaikh Sholih Al
Munajjid,
1- Berobat jadi wajib jika tidak berobat dapat membinasakan diri orang yang sakit.
2- Berobat disunnahkan jika tidak berobat dapat melemahkan badan, namun keadaannya tidak
seperti yang pertama.
3- Berobat dihukumi mubah (boleh) jika tidak menimpa pada dirinya dua keadaan pertama.
4- Berobat dihukumi makruh jika malah dengan berobat mendapatkan penyakit yang lebih parah.
(Lihat Fatawa Syaikh Sholih Al Munajjid no. 2148)
Jika tidak berobat berakibat lemahnya badan tetapi tidak sampai membahayakan diri dan orang
lain, tidak membebani orang lain, tidak mematikan, dan tidak menular , maka berobat menjadi
sunnah baginya.
Jika sakitnya tergolong ringan, tidak melemahkan badan dan tidak berakibat seperti kondisi
hukum wajib dan sunnah untuk berobat, maka boleh baginya berobat atau tidak berobat
a. Jika penyakitnya termasuk yang sulit disembuhkan, sedangkan obat yang digunakan
diduga kuat tidak bermanfaat, maka lebih baik tidak berobat karena hal itu diduga kuat
akan berbuat sis- sia dan membuang harta.
b. Jika seorang bersabar dengan penyakit yang diderita, mengharap balasan surga dari ujian
ini, maka lebih utama tidak berobat, dan para ulama membawa hadits Ibnu Abbas dalam
kisah seorang wanita yang bersabar atas penyakitnya kepada masalah ini.
c. Jika seorang fajir/rusak, dan selalu dholim menjadi sadar dengan penyakit yang diderita,
tetapi jika sembuh ia akan kembali menjadi rusak, maka saat itu lebih baik tidak berobat.
d. Seorang yang telah jatuh kepada perbuatan maksiyat, lalu ditimpa suatu penyakit, dan
dengan penyakit itu dia berharap kepada Alloh mengampuni dosanya dengan sebab
kesabarannya.
Dan semua kondisi ini disyaratkan jika penyakitnya tidak mengantarkan kepada kebinasaan, jika
mengantarkan kepada kebinasaan dan dia mampu berobat, maka berobat menjadi wajib.
Dan apa saja musibah yang menimpa kamu, maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu
sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu). (Q.s. As-Syura: 30)
Dalam sudut pandang wahyu Allah terakhir, musibah dan bencana ada kaitannya dengan dosa
atau maksiat yang dilakukan oleh manusia-manusia pendurhaka.Bencana alam berupa letusan
gunung api, banjir bandang, wabah penyakit, kekeringan, kelaparan, kebakaran, dan lain
sebagainya, dalam pandangan alam Islam (Islamic worldview), tidaklah sekedar fenomena alam.
Al-Quran menyatakan dengan lugas bahwa segala kerusakan dan musibah yang menimpa umat
manusia itu disebabkan oleh perbuatan tangan mereka sendiri. Tentu saja kata tangan sebatas
simbol perbuatan dosa/maksiat, karena suatu perbuatan maksiat melibatkan panca indera, dan
juga dikendalikan dan diprogram sedemikian rupa oleh otak, kehendak dan hawa nafsu manusia.
Maksiat, sebagaimana taat, ada yang bersifat menentang tasyri Allah seperti melanggar perkara
yang haram, dan ada yang bersifat menentang takwin Allah (sunnatullah) seperti melanggar dan
merusak alam lingkungan
Bahkan sebelum dunia mengenal karantina, Nabi Muhammad Saw. telah menetapkan dalam
salah satu sabdanya, Apabila kalian mendengar adanya wabah di suatu daerah,janganlah
mengunjungi daerah itu, tetapi apabila kalian berada di daerah itu, janganlah meninggalkannya.
Daftar Pustaka
CDC, 1979; Barker, 1979; Greg, 1985; Mausner and Kramer, 1985; Kelsey et al., 1986;
Goodman et al., 1990
Lukman Hakim, dkk., 2013, Faktor Sosial Budaya Dan Orientasi Masyarakat
DalamBerobat (Socio-Cultural Factors And Societal Orientation In TheTreatment), Universitas
Jember (UNEJ), Jember.
Sandra Imelda H, 2013, Faktor sosial budaya yang mempengaruhi perilaku kesehatan
masyarakat menuju paradigma sehat, Padang.
Yetti Wira Citerawati SY, 2012, Aspek Sosiobudaya Berhubungan Dengan Perilaku
Kesehatan,Universitas Brawijaya, Malang.
Memilih Berobat atau Sabar dan Tawakal. http://rumaysho.com/umum/memilih-berobat-atau-
sabar-dan-tawakkal-5136.html 17 May 2015 16:42