Anda di halaman 1dari 68

WRAP UP SKENARIO 2

Kejadian Penyakit dan Pelayanan Kesehatan Masyarakat


BLOK KEDOKTERAN KOMUNITAS

KELOMPOK B-15

Ketua : Ramzy Kuswijayanto (1102014219)


Sekretaris : Siti Aisyah (1102014250)
Anggota :Putri Rahayu Mulyo (1102014216)
Raditya Prasidya (1102014217)
Rivan Trisatrio (1102014230)
Sarah Fathinyah Putri (1102014238)
Shabrina Ardelia Ananta (1102014244)
Sella Pratiwi (1102014240)
Siti Khodijah S (1102014252)
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI
2015-2016
Skenario 2
Kejadian Penyakit dan Pelaynnan Kesehatan Masyarakat
Pada tahun 2011, ditetapkan KLB (Kejadian Luar Biasa) Demam Berdarah Dengue di
Kota Pekanbaru. Pernyataan resmi ini disampaikan Pejabat Wali Kota Pekanbaru setelah
mendenger laporan Kepala Dinas Kesehatan Kota Pekanbaru dalam rapat koordinasi. Pada bulan
Febuari tahun 2010 terdapat sebanyak 202 kasus dan bulan Febuari tahun 2011 mencapai 450
kasus. Hal ini menunjukkan peningkatan sebesar kurang lebih dua kali lipat dari periode tahun
sebelumnya. IR (Incidence Rate) DBD menurut WHO di Indonesia adalah sebesar <50 per
100.000 penduduk dengan CFR (Case Fatality Rate) 0,2. Kematian yang terjadi pada kasus DBD
disebabkan masih kurangnya pengetahuan dan pemahaman masyarakat terhadap gejala DBD.
Sering kali pasien datang ke puskesmas dalam stadium lanjut, dimana terdapat perdarahan
spontan dan syok. Pada stadium demam terdapat kebiasaan masyarakat yang cenderung untuk
mengobati diri sendiri dengan cara membaluri badan dengan bawang merah yang dicampur
minyak goreng terlebih dahulu kemudian membeli obat penurun panas di warung atau atau toko
obat. Masyarakat tidak mengerti kalau pada saat mulai demam harus segera dibawa ke
Puskemas.
Karena adanya KLB tersebur, Puskesmas melakukan penyelidikan epidemiologi (PE) ke
lapangan untuk mengetahui penyebab terjadinya KLB. Berdasarkan hasil penyelidikan
epidemiologi tersebut, Puskesmas melakukan tindakan yang diperlukan untuk menanggulangi
KLB.
Banyaknya penderita DBD di Puskesmas membutuhkan obat-obatan dan cairan infus
bagi pasien yang jumlahnya sangat banyak, sementara persediaan di Puskesmas juga terbatas.
Untuk mengatasi hal tersebut Puskesmas melakukan rujukan kesehatan masyarakat ke Dinas
Kesehatan Kota Pekanbaru.
Program penanggulangan DBD yang berjalan seharusnya bukan hanyak dikerjakan oleh
puskesmas sendiri secara lintas program, tetapi juga dikerjakan secara lintas sektroal demi untuk
meningkatkan mutu pelayanan. Pada saat yang bersamaan, terjadi ledakan kasus Campak di
Puskesmas setempat. Ternyata cakupan imunisasi Campak dalam 3 tahun terakhir selalu berada
pada kisaran <50%.
Dalam pertemuan lintas sektoral, tokoh agama juga terlibat dalam ikut urun rembuk
penyelesaian masalah kesehatan di masyarakat. Tokoh agama menyampaikan, bahwa dalam
pandangan Islam menciptakan kemaslahatan insani yang hakiki adalah merupakan salah satu
tujuan syariat Islam dan hukum menjaga kesehatan dan berobat adalah wajib.
Kata Sulit :
1. KLB : Status yang ditegapkan di Indonesia untuk mengklasifikasikan suatu wabah
penyakit
2. CFR : Persentasi angka kematian oleh sebab penyakit tertentu untuk menentukan sebab
keganasan kasus tertentu
3. Penyelidikan epidemiologi : Suatu survey yang dilakukan untuk emngetahui kejadian
suatu penyakit di masyarakat tertentu
4. IR : Frekuensi penyakit baru yang terjangkit pada masyarakat di suatu tempat/ wilayah /
negara pada waktu tertentu
5. Lintas program : Program yang tidak bekerja sendiri dan bekerja sama dengan program
lain
6. Lintas sektoral : Penggabungan atau penghubung suatu program dalam instansi yang
berbeda

Pertanyaan :

1. apa saja isi dari penyelidikan Epidemiologi?

2. mengapa bisa terjadi KLB?

3. bagaimana cara mencegah peningkatn KLB?

4. bagaimana cara melakukan penyelidikan Epidemiologi?

5. apa saja kriteria suatu kejadian hingga disebut KLB?

6. Apa perbedaan KLB dengan Wabah?

7. apa yang dimaksud dengan cakupan imunisasi?

8. bagaimana cara menjaga kesehatan,pandangan berobat dan konsep KLB dalam pandangan
islam?

9.apa tindakan puskesmas dalam menanggulangi KLB?

10.apa syarat untuk melakukan rujukan ke Dinkes?

11. apa yang dimaksud dengan perilaku mencari pengobatan?


Jawaban:

1. Tahap survey pengumpulan data pengolahan data tindakan pencegahan


penanggulangan
2. Karena kurangnya pengetahuan masyarakat dalam mencegah penyebaran penyakit dan
kurangnya kepedulian masyarakat terhadap kesehatan
3. Lakukan survey mencari etiologi dan fakto resiko penyuluhan ke masyarakat
pencegahan
4. Tahap survey pengumpulan data pengolahan data tindakan pencegahan
penanggulangan
5. a. peningkatan suatu kasus secara cepat

b. Termasuk penyakit menular

c. masa inkubasi cepat

d. terjadi pada daerah padat penduduk

6. KLB : kesakitan dan kematian yang meningkat bermakna secara Epidemiologi

Wabah : peningkatan kejadian penyakit menular

7. kebutuhan untuk imunisasi dri pemeritah untuk suatu puskesmas

8. wajib berobat dan berdakwah mengenai kebersihan sebagian dari


iman,berikhtiar,memelihara agamanya, jiwa dan raganya

9. Lakukan survey mencari etiologi dan fakto resiko penyuluhan ke masyarakat


pencegahan

10. butuh tindakan lanjut yang tidak bisa dilakukan puskesmas

11. Usaha untuk mencari pengobatan dan hal-hal yang mempengaruhi perilaku pencarian
pengobatan adalah adanya perilaku konsep jodoh, konsep klinis-gaib, pola perawatan (dokter,
dokter kota, dokter spesialis, dukun), adanya perbedaan prioritas
Hipotesis :

Kriteria KLB adalah peningkatan kasus secara cepat, penyakit yang menular, masa inkubasi yang
singkat, terjadi di daerah padat penduduk. KLB terjadi karena kurangnya pengetahuan
masyarakat dalam mencegah penyebaran penyakit dan budaya perilaku mencari pengobatan,
dalam hal ini puskesmas melakukan penyelidikan Epidemiologi, yaitu : survey pengumpuulan
data, pengolahan data dan tindakan pencegahan dan penanggulangan. Uapabila puskesmas tidak
memadai dalam kasus KLB maka akan dirujuk ke Dinkes dan Rumah Sakit daerah. Dalam hal
ini pandangan islam tentang beerobat adalah wajib.

Sasaran Belajar
LI 1. Memahami dan Menjelaskan KLB berdasarkan mortalitas dan mobiditas serta kriteria
KLB
LI 2. Memahami dan Menjelaskan Perilaku Kesehatan Individu dan Masyarakat dalam Pola
Pencarian Pengobatan
LI 3. Memahami dan Menjelaskan Aspek Sosial Budaya dalam menggunakan Fasilitas
Kesehatan
LI 4. Memahami dan Menjelaskan Sistem Rujukan Pelayanan Kesehatan
LI 5. Memahami dan Menjelaskan Cakupan Mutu Pelayanan Kesehatan dan Imunisasi
LI 6. Memahami dan Menjelaskan Tujuan Syariat Islam dan Hukum berobat serta menjaga
kesehatan
L.I. Memahami dan Menjelaskan KLB berdasarkan mortalitas dan mobiditas serta kriteria
KLB
1. Memahami dan Menjelaskan KLB dan Wabah di Masyarakat Berdasarkan Morbiditas
dan Mortalitas
Menurut UU No. 4 Tahun 1984, kejadian Luar Biasa (KLB) adalah timbulnya atau
meningkatnya kejadian kesakitan/kematian yang bermakna secara epidemiologis pada suatu
daerah dalam kurun waktu tertentu dan menjurus kepada wabah. Wabah adalah kejadian
berjangkitnya penyakit menular dalam masyarakat yang jumlah penderitanya meningkat secara
nyata, melebihi dari keadaan yang lazim pada waktu dan daerah tertentu serta dapat
menimbulkan petaka.

Bentuk wabah menurut sifatnya


1. Common Source Epidemic
Keadaan wabah dengan bentuk common source epidemic (CSE) adalah suatu letusan
penyakit yang disebabkan oleh terpaparnya sejumlah orang dalam suatu kelompok secara
menyeluruh dan terjadinya dalam waktu yang relatif singkat ( sangat mendadak ). Jika keterpaparan
kelompok serta penularan penyakit berlangsung sangat cepat waktu yang sangat singkat (point of
epidemic atau poit source of epidemic), maka resultan dari semua kasus atau kejadian berkembang
hanya dalam satu masa tunas saja. Pada dasarnya dijumpai bahwa pada CSE kurva epidemic
mengikuti suatu distribusi normal, sehingga dengan demikian bila proporsi kumulatif kasus
digambarkan menurut lamanya kejadian sakit (onset) akan berbentuk suatu garis lurus. Median dari
masa tunas dapat ditentukan secara mudah dengan membaca waktu dari setengah (50%) yang terjadi
pada grafik. Dalam hal ini, pengetahuan tentang median dari masa tunas dapat menolong kita dalam
mengidentifikasi agent penyebab, mengingat tiap jenis agent mempunyai masa tunas tertentu. Point
source epidemic dapat pula terjadi pada penyakit oleh faktor penyebab bukan infeksi yang
menimbulkan keterpaparan umum seperti adanya zat beracun polusi zat kimia yang beracun di udara
terbuka.
2. Propataged atau Progressive Epidemic
Bentuk epidemic ini terjadi karena adanya penularan dari orang ke orang baik secara
langsung maupun tidak langsung melalui udara, makanan maupun vektor. Kejadian epidemi
semacam ini relatif lebih lama waktunya sesuai dengan sifat penyakit serta lamanya masa tunas.
Juga sangat di pengaruhi oleh kepadatan penduduk serta penyebaran anggota masyarakat yang
rentan terhadap penyakit tersebut. Masa tunas penyakit tersebut di atas adalah sekitar satu bulan
sehingga tampak masa epidemi cukup lama dengan situasi peningkatan jumlah penderita dari waktu
ke waktu sampai pada saat di mana jumlah anggota masyarakat yang rentan mencapai batas yang
minimal. Pada saat sebagian besar anggota masyarakat sudah terserang penyakit maka jumlah yang
rentan mencapai batas kritis, sehingga kurva epidemi mulai menurun sampai batas minimal.
Penyebaran masalah kesehatan menurut Waktu, dapat dibedakan menjadi 4 macam, yaitu :
1. Penyebaran Satu Saat
Beberapa keadaan khusus yang ditemukan pada penyebaran penyakit pada Satu Saat
dibedakan menjadi 2, yaitu :
a) . Point Source Epidemic
Disebut juga Common Source Epidemic yaitu : Suatu keadaan wabah yang ditandai oleh:
Timbulnya gejala penyakit (onset penyakit) yang cepat,
Masa inkubasi yang pendek
Episode penyakit merupakan peristiwa tunggal
Hilangnya penyakit dalam waktu yang cepat
Contoh : Peristiwa keracunan makanan.
Muncul hanya pada waktu tertentu saja

b) . Contagious Diseases Epidemic


Disebut juga Propagated Epidemic, adalah : Suatu keadaan wabah yg ditandai oleh :
Masa inkubasi yang panjang,
Tim bulnya gejala penyakit (onset penyakit) yang pelan,
Episode penyakit me rupakan peristiwa m ajem uk,
Waktu munculnya penyakit tidak jelas,
Hilangnya penyakit dalam waktu yang lama.
Contoh : Wabah penyakit menular.

2. Penyebaran Satu Kurun Waktu


Yaitu Perhitungan penyebaran masalah kesehatan yg dilakukan pd satu kurun waktu tertentu
atau disebut Clustering Menurut Waktu. Digunakan untuk mencari Penyebab Penyakit.
3. Penyebaran Siklis
Disebut penyebaran secara siklis bila Frekuensi suatu masalah kesehatan naik atau turun
menurut suatu siklus tertentu, misalnya menurut kalender tertentu (minggu, bulan, tahun);
menurut keadaan cuaca tertentu (musim hujan, musim panas); menurut peristiwa tertentu
(musim panen, paceklik).
4. Penyebaran Sekular
Disebut penyebaran secara sekular apabila perubahan yang terjadi berlangsung dalam waktu
yang cukup lama, Misalnya lebih dari 10 tahun.

Perbedaan definisi antara Wabah dan KLB :


Wabah harus mencakup:
1. Jumlah kasus yang besar.
2. Daerah yang luas
3. Waktu yang lebih lama.
4. Dampak yang timbulkan lebih berat.

Tujuan Umum KLB :


Mencegah meluasnya (penanggulangan)
Mencegah terulangnya KLB di masa yang akan datang (pengendalian)
Tujuan khusus :
1. Diagnosis kasus yang terjadi dan mengidentifikasi penyebab penyakit
2. Memastikan bahwa keadaan tersebut merupakan KLB
3. Mengidentifikasikan sumber dan cara penularan
4. Mengidentifikasi keadaan yang menyebabkan KLB
5. Mengidentifikasikan populasi yang rentan atau daerah yang beresiko akan terjadi KLB
Faktor Yang Mempengaruhi Timbulnya KLB
a. Herd Immunity yang rendah
Yang mempengaruhi rendahnya faktor itu, sebagian masyarakat sudah tidak kebal lagi, atau
antara yang kebal dan tidak mengelompok tersendiri.
b. Patogenesiti
Kemampuan bibit penyakit untuk menimbulkan reaksi pada pejamu sehingga timbul sakit.
c. Lingkungan Yang Buruk
Seluruh kondisi yang terdapat di sekitar organisme tetapi mempengaruhi kehidupan ataupun
perkembangan organisme tersebut.

Jenis penyakit yang menimbulkan KLB :


1. Penyakit menular : Diare, Campak, Malaria, DHF
2. Penyakit tidak menular : Keracunan, Gizi buruk
3. Kejadian bencana alam yang disertai dengan wabah penyakit

Kriteria KLB
KLB meliputi hal yang sangat luas seperti sampaikan pada bagian sebelumnya, maka
untuk mempermudah penetapan diagnosis KLB, pemerintah Indonesia melalui Keputusan Dirjen
PPM&PLP No. 451-I/PD.03.04/1999 tentang Pedoman Penyelidikan Epidemiologi dan
Penanggulangan KLB telah menetapkan criteria kerja KLB yaitu :
1. Timbulnya suatu penyakit/menular yang sebelumnya tidak ada atau tidak dikenal
2. Peningkatan kejadian penyakit/kematian terus menerus selama 3 kurun waktu berturut-
turut menurut jenis penyakitnya.
3. Peningkatan kejadian/kematian > 2 kali dibandingkan dengan periode sebelumnya
4. Jumlah penderita baru dalam satu bulan menunjukkan kenaikan >2 kali bila dibandingkan
dengan angka rata-rata per bulan tahun sebelumnya
5. Angka rata-rata perbulan selama satu tahun menunjukkan kenaikkan > 2 kali
dibandingkan angka rata-rata per bulan tahun sebelumnya.
6. CFR suatu penyakit dalam satu kurun waktu tertentu menunjukkan kenaikkan 50 % atau
lebih dibanding CFR periode sebelumnya.
7. Proporsional Rate penderita baru dari suatu periode tertentu menunjukkan kenaikkan > 2
kali dibandingkan periode yang sama dan kurun waktu/tahun sebelumnya.
8. Beberapa penyakit khusus : Kholera, DHF/DSS, (a)Setiap peningkatan kasus dari
periode sebelumnya (pada daerah endemis). (b)Terdapat satu atau lebih penderita baru
dimana pada periode 4 minggu sebelumnya daerah tersebut dinyatakan bebas dari
penyakit yang bersangkutan.
9. Beberapa penyakit yang dialami 1 atau lebih penderita :
Keracunan Makanan dan Pestisida

KLB tersembunyi, sering terjadi pada penyakit yang belum dikenal atau penyakit yang
tidak mendapat perhatian karena dampaknya belum diketahui. Sebagai contoh adalah suatu KLB
penyakit Fog di London. Kejadian penyakit tersebut telah dimulai pada tahun 1952, tetapi tidak
mendapat perhatian karena dampak penyakit tersebut belum diketahui. Perhatian terhadap
penyakit ini baru dimulai setelah adanya informasi peningkatan jumlah kematian di suatu
masyarakat. Hasil penyelidikan KLB mengungkapkan bahwa peningkatan tersebut karena
penyakit Fog (Mausner and Kramer, 1985).
KLB palsu (pesudo-epidemic), terjadi oleh karena :
a. Perubahan cara mendiagnosis penyakit
b. Perubahan perhatian terhadap penyakit tersebut
c. Perubahan organisasi pelayanan kesehatan
d. Perhatian yang berlebihan.

Klasifikasi KLB
a. Menurut Penyebab:
a. Entero toxin : misal yang dihasilkan oleh Staphylococus aureus, Vibrio, Kholera,
Eschorichia, Shigella.
b. Exotoxin (bakteri), misal yang dihasilkan oleh Clostridium botulinum, Clostridium
perfringens.
c. Endotoxin : Infeksi, Virus, Bacteri, Protozoa, Cacing, Toksin Biologis, Racun jamur,
Alfatoxin, Plankton, Racun ikan, Racun tumbuh-tumbuhan, Toksin Kimia.
d. Zat kimia organik: logam berat (seperti air raksa, timah), cyanide, nitrit, pestisida.
Gas-gas beracun: CO, CO2, HCN.
b. Menurut Sumber KLB
a. Manusia misal: jalan napas, tenggorokan, tangan, tinja, air seni, muntahan, seperti :
Salmonella, Shigella, Staphylococus, Streptoccocus, Protozoa, Virus Hepatitis.
b. Kegiatan manusia, misal : Toxin biologis dan kimia (pembuangan tempe bongkrek,
penyemprotan, pencemaran lingkungan, penangkapan ikan dengan racun).
c. Binatang seperti : binatang piaraan, ikan, binatang mengerat, contoh : Leptospira,
Salmonella, Vibrio, Cacing dan parasit lainnya, keracunan ikan/plankton
d. Serangga (lalat, kecoa, dan sebagainya) misal : Salmonella, Staphylokok, Streptokok.
e. Udara, misal : Staphyloccoccus, Streptococcus, Virus, pencemaran udara.
f. Permukaan benda-benda/alat-alat misal : Salmonella.
g. Air, misalnya : Vibrio Cholerae, Salmonella.
h. Makanan/minuman, misal : keracunan singkong, jamur, makanan dalam kaleng.
c. Menurut Penyakit wabah : Beberapa penyakit dari sumber di atas yang sering menjadi
wabah: Kholera, Pes, Demam kuning, Demam bolak-balik, Tifus bercak wabah, DBD,
Campak, Polio, DPT, Rabies, Malaria, Influensa, Hepatitis, Tipus perut, Meningitis,
Encephalitis, SARS, Anthrax.

Metodologi Penyelidikan KLB


Tingkat atau pola dalam penyelidikan KLB ini sangat sulit ditentukan, sehingga metoda yang
dipakai pada penyelidikan KLB sangat bervariasi. Menurut Kelsey et al., 1986; Goodman et al.,
1990 dan Pranowo, 1991, variasi tersebut meliputi :
a. Rancangan penelitian, dapat merupakan suatu penelitian prospektif atau retrospektif
tergantung dari waktu dilaksanakannya penyelidikan. Dapat merupakan suatu penelitian
deskriptif, analitik atau keduanya.
b. Materi (manusia, mikroorganisme, bahan kimia, masalah administratif),
c. Sasaran pemantauan, berbagai kelompok menurut sifat dan tempatnya (Rumah sakit, klinik,
laboratorium dan lapangan).
d. Setiap penyelidikan KLB selalu mempunyai tujuan utama yang sama yaitu mencegah
meluasnya (penanggulangan) dan terulangnya KLB di masa yang akan datang
(pengendalian), dengan tujuan khusus :
a. Diagnose kasus-kasus yang terjadi dan mengidentifikasi penyebab penyakit
b. Memastikan keadaan tersebut merupakan KLB
c. Mengidentifikasikan sumber dan cara penularan
d. Mengidentifikasi keadaan yang menyebabkan KLB
e. Mengidentifikasikan populasi yang rentan atau daerah yang berisiko akan terjadi KLB

Pemastian Diagnosis Penyakit Dan Penetapan KLB


Pemastian Diagnosis Penyakit
Cara diagnosis penyakit pada KLB dapat dilakukan dengan mencocokan gejala/tanda penyakit
yang terjadi pada individu, kemudian disusun distribusi frekuensi gejala klinisnya. Cara
menghitung distribusi frekuensi dari tanda-tanda dan gejala-gejala yang ada pada kasus adalah
sebagai berikut :
a. Buat daftar gejala yang ada pada kasus
b. Hitung persen kasus yang mempunyai gejala tersebut
c. Susun ke bawah menurut urutan frekuensinya

Penetapan KLB
Penetapan KLB dilakukan dengan membandingkan insidensi penyakit yang tengah
berjalan dengan insidensi penyakit dalam keadaan biasa (endemik), pada populasi yang dianggap
berisiko, pada tempat dan waktu tertentu. Dalam membandingkan insidensi penyakit berdasarkan
waktu harus diingat bahwa beberapa penyakit dalam keadaan biasa (endemis) dapat bervariasi
menurut waktu (pola temporal penyakit). Penggambaran pola temporal penyakit yang penting
untuk penetapan KLB adalah, pola musiman penyakit (periode 12 bulan) dan kecenderungan
jangka panjang (periode tahunan pola maksimum dan minimum penyakit). Dengan demikian
untuk melihat kenaikan frekuensi penyakit harus dibandingkan dengan frekuensi penyakit pada
tahun yang sama bulan berbeda atau bulan yang sama tahun berbeda (CDC, 1979).
KLB tersembunyi, sering terjadi pada penyakit yang belum dikenal atau penyakit yang tidak
mendapat perhatian karena dampaknya belum diketahui.
KLB palsu (pesudo-epidemic), terjadi oleh karena :
a. Perubahan cara mendiagnosis penyakit
b. Perubahan perhatian terhadap penyakit tersebut, atau
c. Perubahan organisasi pelayanan kesehatan,
d. Perhatian yang berlebihan.
Untuk mentetapkan KLB dapat dipakai beberapa definisi KLB yang telah disusun oleh Depkes.
Pada penyakit yang endemis, maka cara menentukan KLB bisa menyusun dengan grafik Pola
Maksimum-minimum 5 tahunan atau 3 tahunan.

Penanggulangan KLB
Penanggulangan KLB dikenal dengan nama Sistem Kewaspadaan Dini (SKD-KLB),
yang dapat diartikan sebagai suatu upaya pencegahan dan penanggulangan KLB secara dini
dengan melakukan kegiatan untuk mengantisipasi KLB. Kegiatan yang dilakukan berupa
pengamatan yang sistematis dan terus-menerus yang mendukung sikap tanggap/waspada yang
cepat dan tepat terhadap adanya suatu perubahan status kesehatan masyarakat. Kegiatan yang
dilakukan adalah pengumpulan data kasus baru dari penyakit-penyakit yang berpotensi terjadi
KLB secara mingguan sebagai upaya SKD-KLB. Data-data yang telah terkumpul dilakukan
pengolahan dan analisis data untuk penyusunan rumusan kegiatan perbaikan oleh tim
epidemiologi (Dinkes Kota Surabaya, 2002).
Berdasarkan Undang-undang No. 4 tahun 1984 tentang wabah penyakit menular serta
Peraturan Menteri Kesehatan No. 560 tahun 1989, maka penyakit DBD harus dilaporkan segera
dalam waktu kurang dari 24 jam. Undang-undang No. 4 tahun 1984 juga menyebutkan bahwa
wabah adalah kejadian berjangkitnya suatu penyakit menular dalam masyarakat, yang jumlah
penderitanya meningkat secara nyata melebihi dari keadaan yang lazim pada waktu dan daerah
tertentu serta dapat menimbulkan malapetaka. Dalam rangka mengantisipasi wabah secara dini,
dikembangkan istilah kejadian luar biasa (KLB) sebagai pemantauan lebih dini terhadap kejadian
wabah. Tetapi kelemahan dari sistem ini adalah penentuan penyakit didasarkan atas hasil
pemeriksaan klinik laboratorium sehingga seringkali KLB terlambat diantisipasi (Sidemen A.,
2003).
Badan Litbangkes berkerja sama dengan Namru 2 telah mengembangkan suatu sistem
surveilans dengan menggunakan teknologi informasi (computerize) yang disebut dengan
Early Warning Outbreak Recognition System (EWORS). EWORS adalah suatu sistem jaringan
informasi yang menggunakan internet yang bertujuan untuk menyampaikan berita adanya
kejadian luar biasa pada suatu daerah di seluruh Indonesia ke pusat EWORS secara cepat (Badan
Litbangkes, Depkes RI). Melalui sistem ini peningkatan dan penyebaran kasus dapat diketahui
dengan cepat, sehingga tindakan penanggulangan penyakit dapat dilakukan sedini mungkin.
Dalam masalah DBD kali ini EWORS telah berperan dalam hal menginformasikan data kasus
DBD dari segi jumlah, gejala/karakteristik penyakit, tempat/lokasi, dan waktu kejadian dari
seluruh rumah sakit DATI II di Indonesia (Sidemen A., 2003)

Upaya penanggulangan KLB


Penyelidikan epidemilogis.
Pemeriksaan, pengobatan, perawatan, dan isolasi penderita termasuk tindakan karantina.
Pencegahan dan pengendalian.
Pemusnahan penyebab penyakit.
Penanganan jenazah akibat wabah.
Penyuluhan kepada masyarakat.
Upaya penanggulangan lainnya.
Indikator keberhasilan penanggulangan KLB
Menurunnya frekuensi KLB.
Menurunnya jumlah kasus pada setiap KLB.
Menurunnya jumlah kematian pada setiap KLB.
Memendeknya periode KLB.
Menyempitnya penyebarluasan wilayah KLB.
Tim penanggulangan KLB
d. Terdiri dari multi disiplin atau multi lintas sektor, bekerjasama dalam penanggulangan
KLB.
e. Salah satu anggota tim kesehatan adalah perawat (sebagai anggota masyarakat maupun
sebagai petugas disarana kesehatan).
f. Perawat dapat terlibat langsung di Puskesmas atau Rumah sakit.

Prosedur Penanggulangan KLB


1. Masa pra KLB
Informasi kemungkinan akan terjadinya KLB / wabah adalah dengan melaksanakan Sistem
Kewaspadaan Dini secara cermat, selain itu melakukakukan langkah-langkh lainnya :
1. Meningkatkan kewaspadaan dini di puskesmas baik SKD, tenaga dan logistik.
2. Membentuk dan melatih TIM Gerak Cepat puskesmas.
3. Mengintensifkan penyuluhan kesehatan pada masyarakat
4. Memperbaiki kerja laboratorium
5. Meningkatkan kerjasama dengan instansi lain

Tim Gerak Cepat (TGC)


Sekelompok tenaga kesehatan yang bertugas menyelesaikan pengamatan dan penanggulangan
wabah di lapangan sesuai dengan data penderita puskesmas atau data penyelidikan
epideomologis. Tugas /kegiatan :
a. Pengamatan : Pencarian penderita lain yang tidak datang berobat.
Pengambilan usap dubur terhadap orang yang dicurigai terutama anggota keluarga
Pengambilan contoh air sumur, sungai, air pabrik dll yang diduga tercemari dan sebagai
sumber penularan
b. Pelacakan kasus untuk mencari asal usul penularan dan mengantisipasi penyebarannya
Pencegahan dehidrasi dengan pemberian oralit bagi setiap penderita yang ditemukan di
lapangan.
c. Penyuluhahn baik perorang maupun keluarga
d. Membuat laporan tentang kejadian wabah dan cara penanggulangan secara lengkap.

2. Pembentukan Pusat Rehidrasi


Untuk menampung penderita diare yang memerlukan perawatan dan pengobatan.
Tugas pusat rehidrasi :
a. Merawat dan memberikan pengobatan penderita diare yang berkunjung.
b. Melakukan pencatatan nama , umur, alamat lengkap, masa inkubasi, gejala diagnosa dsb.
c. Memberikan data penderita ke Petugas TGC
d. Mengatur logistik
e. Mengambil usap dubur penderita sebelum diterapi.
f. Penyuluhan bagi penderita dan keluarga
g. Menjaga pusat rehidrasi tidak menjadi sumber penularan (lisolisasi).
h. Membuat laporan harian, mingguan penderita diare yang dirawat.(yang diinfus, tdk
diinfus, rawat jalan, obat yang digunakan dsb.

Pencegahan terjadinya wabah/KLB


1. Pencegahan tingkat pertama
Menurunkan faktor penyebab terjadinya wabah serendah mungkin dengan cara
desinfeksi, pasteurisasi, sterilisasi yang bertujuan untuk menghilangkan
mikroorganisme penyebab penyakit dan menghilangkan sumner penularan.
Mengatasi/modifikasi lingkungan melalui perbaikan lingkungan fisik seperti
peningkatan air bersih, sanitasi lingkungan, peningkatan lingkungan biologis seperti
pemberntasan serangga dan binatang pengerat serta peningkatan lingkungan sosial
seperti kepadatan rumah tangga.
Meningkatkan daya tahan pejamu meliputi perbaikan status gizi,kualitas hidup
penduduk, pemberian imunisasi serta peningkatan status psikologis.
2. Pencegahan tingkat kedua
Sasaran pencegahan ini terutama ditunjukkan pada mereka yang menderita atau dianggap
menderita (suspek) atau yang terancam akan menderita (masa tunas) dengan cara
diagnosis dini dan pengobatan yang tepat agar dicegah meluasnya penyakit atau untuk
mencegah timbulnya wabah serta untuk segera mencegah proses penyakit lebih lanjut
serta mencegah terjadinya komplikasi.
3. Pencegahan tingkat ketiga
Bertujuan untuk mencegah jangan sampai penderita mengalami cacat atau kelainan
permanen, mencegah bertambah parahnya suatu penyakit atau mencegah kematian akibat
penyakit tersebut dengan dilakukannya rehabilitasi.
4. Strategi pencegahan penyakit
Dilakukan usaha peningkatan derajad kesehatan individu dan masyarakat, perlindungan
terhadap ancaman dan gangguan kesehatan, pemeliharaan kesehatan, penanganan dan
pengurangan gangguan serta masalah kesehatan serta rehabilitasi lingkungan.

Penyelidikan Epidemiologi
Penyelidikan Epidemiologi adalah rangkaian kegiatan untuk mengetahui suatu kejadian
baik sedang berlangsung maupun yang telah terjadi, sifatnya penelitian, melalui pengumpulan
data primer dan sekunder, pengolahan dan analisa data, membuat kesimpulan dan rekomendasi
dalam bentuk laporan.

Manfaat Epidemiologi antara lain:


1. Membantu pekerjaan Administrasi Kesehatan
2. Dapat menerangkan penyebab masalah kesehatan
3. Dapat menerangkan perkembangan alamiah penyakit
4. Dapat menerangkan keadaan suatu masalah kesehatan
5. Epidemi (singkat dan tinggi)
6. Pandemi (peningkatan yang sangat tinggi dan telah amat luas)
7. Endemi (frekuansi tetap dalam waktu yang lama)
8. Sporadik (berubah-ubah menurut perubahan waktu)

Tujuan Penyelidikan Epidemiologi (PE)


Mendapatkan besaran masalah yang sesunguhnya, Mendapatkan gambaran klinis dari
suatu penyakit, Mendapatkan gambaran kasus menurut variabel Epidemiology, Mendapatkan
informasi tentang faktor risiko (lingkungan, vektor, perilaku, dll) dan etiologi, Dari ke empat
tujuan di tersebut dapat dianalisis sehingga dapat memberikan suatu penanggulangan atau
pencegahan dari penyak

Langkah Kegiatan Penyelidikan Epidemiologi (PE)


1. Tahap survey pendahuluan :
a. Memastikan adanya KLB
b. Menegakan diagnosa
c. Buat hypotesa sementara ( penyebab, cara penularan, faktor yg mempengaruhi)

2. Tahap Pengumpulan Data :


a. Identifikasi kasus kedalam variabel epid (orang, tempat, waktu)
b. Uji hipotesis
c. Menentukan kelompok yg rentan

3. Tahap pengolahan data :


i. Lakukan pengolahan menurut variable epid, menurut ukuran epid, menurut nilai statstik.
j. Lakukan analisa data menurut variable epid, ukuran epid,dan nilai statistik. Bandingkan
dg nilai yang sudah ada
k. Buat intepretasi hasil analisa
l. Buat laporan hasil penanggulangan

4. Tentukan tindakan penanggulangan dan pencegahan :


a. Tindakan penanggulangan :
1. Pengobatan penderita
2. Isolasi kasus
b. Tindakan pencegahan :
1. Surveilans yg ketat
2. Perbaikan mutu lingkungan
3. Perbaikan status kesehatan masyarakat

Indikasi Penyelidikan Epidemiologi (PE)


Pencegahan & Penanggulangan
Laporan masyarakat, politik, serta kepentingan legal aspek
On the Job Traning
Penelitian
Masalah Program Pemberantasan

Indikasi Penyelidikan Epidemiologi (PE)


Pencegahan & Penanggulangan
Laporan masyarakat, politik, serta kepentingan legal aspek
On the Job Traning
Penelitian
Masalah Program Pemberantasan

Ukuran Ukuran Dalam Epidemiologi


Proporsiadalah perbandingan yang pembilangnya merupakan bagian dari penyebut. Proporsi
digunakan untuk melihat komposisi suatu variabel dalam populasi

Ratio adalah perbandingan dua bilangan yang tidak saling tergantung. Ratio digunakan untuk
menyatakan besarnya kejadian
Contoh: Jumlah Mahasiswa Stikes = 100, ratio pria : wanita = 2 : 3. Berapa jumlah masing2
mahasiswa?

Rate adalah perbandingan suatu kejadian dengan jumlah penduduk yang mempunyai risiko
kejadian tersebut. Rate digunakan untuk menyatakan dinamika dan kecepatan kejadian tertentu
dalam masyarakat

Contoh:
a. Campak berisiko pada balita
b. Diare berisiko pada semua penduduk
c. Ca servik berisiko pada wanita

PENGUKURAN ANGKA KESAKITAN/ MORBIDITAS


INCIDENCE RATE
Incidence rate adalah frekuensi penyakit baru yang berjangkit dalam masyarakat di suatu tempat
/ wilayah / negara pada waktu tertentu
PREVALENCE RATE
Prevalence rate adalah frekuensi penyakit lama dan baru yang berjangkit dalam masyarakat di
suatu tempat/ wilayah/ negara pada waktu tertentu. PR yang ditentukan pada waktu tertentu
(misal pada Juli 2000) disebut Point Prevalence Rate. PR yang ditentukan pada periode tertentu
(misal 1 Januari 2000 s/d 31 Desember 2000) disebut Periode Prevalence Rate.

ATTACK RATE
Attack Rate adalah jumlah kasus baru penyakit dalam waktu wabah yang berjangkit dalam
masyarakat di suatu tempat/ wilayah/ negara pada waktu tertentu

PENGUKURAN MORTALITY RATE


CRUDE DEATH RATE
CDR adalah angka kematian kasar atau jumlah seluruh kematian selama satu tahun dibagi
jumlah penduduk pada pertengahan tahun
SPECIFIC DEATH RATE
SDR adalah jumlah seluruh kematian akibat penyakit tertentu selama satu tahun dibagi jumlah
penduduk pada pertengahan tahun

CASE FATALITY RATE


CFR adalah persentase angka kematian oleh sebab penyakit tertentu, untuk menentukan
kegawatan/ keganasan penyakit tersebut

MATERNAL MORTALITY RATE


MMR = AKI = Angka kematian Ibu adalah jumlah kematian ibu oleh sebab kehamilan/
melahirkan/ nifas (sampai 42 hari post partum) per 100.000 kelahiran hidup

INFANT MORTALITY RATE


IMR = AKB = angka kematian bayi adalah jumlah kematian bayi (umur <1tahun) per 1000
kelahiran hidup

NEONATAL MORTALITY RATE


NMR = AKN = Angka Kematian Neonatal adalah jumlah kematian bayi sampai umur < 4
minggu atau 28 hari per 1000 kelahiran hidup

PERINATAL MORTALITY RATE


PMR = AKP = angka Kematian Perinatal adalah jumlah kematian janin umur 28 minggu s/d 7
hari seudah lahir per 1000 kelahiran hidup

2. Memahami dan Menjelaskan Perilaku Kesehatan Individu dan Masyarakat


Perilaku Pencarian Pengobatan merupakan perilaku sehubungan dengan pencarian
pengobatan (health seeking behavior), yaitu perilaku untuk melakukan atau mencari pengobatan,
misalnya usaha-usaha mengobati sendiri penyakitnya, atau mencari pengobatan ke fasilitas-
fasilitas kesehatan modern (puskesmas, mantra, dokter praktek, dan sebagainya), maupun ke
fasilitas kesehatan tradisional (dukun, sinshe, dan sebagainya).

Dilihat dari bentuk respon terhadap stimulus ini, maka perilaku dapat dibedakan menjadi dua
(Notoatmodjo, 2003) :
Perilaku tertutup (convert behavior). Perilaku tertutup adalah respon seseorang terhadap
stimulus dalam bentuk terselubung atau tertutup (convert). Respon atau reaksi terhadap
stimulus ini masih terbatas pada perhatian, persepsi, pengetahuan, kesadaran, dan sikap
yang terjadi pada orang yang menerima stimulus tersebut, dan belum dapat diamati
secara jelas oleh orang lain.
Perilaku terbuka (overt behavior).Respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk
tindakan nyata atau terbuka. Respon terhadap stimulus tersebut sudah jelas dalam bentuk
tindakan atau praktek, yang dengan mudah dapat diamati atau dilihat oleh orang lain.
Perilaku Kesehatan Individu
Perilaku kesehatan individu pada dasarnya adalah suatu respons seseorang (organisme)
terhadap stimulus yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan,
makanan serta lingkungan. Batasan ini mempunyai 2 unsur pokok, yakni respons dan stimulus
atau perangsangan. Respons atau reaksi manusia, baik bersifat pasif (pengetahuan, persepsi, dan
sikap) maupun bersifat aktif (tindakan yang nyata atau practice). Sedangkan stimulus atau
rangsangan terdiri 4 unsur pokok, yakni : sakit & penyakit, sistem pelayanan kesehatan,
makanan, dan lingkungan. Dari batasan ini perilaku kesehatan dapat diklasifikasikan menjadi 4
kelompok :
1) Perilaku Pemeliharaan Kesehatan (health maintenance) adalah perilaku atau usaha-usaha
seseorang untuk memelihara atau menjaga kesehatan agar tidak sakit dan usaha untuk
penyembuhan bilamana sakit. Oleh sebeb itu perilaku pemeliharaan kesehatan ini terdiri
dari 3 aspek :
a. Perilaku pencegahan penyakit dan penyembuhan penyakit bila sakit, serta
pemulihan kesehatan bilamana telah sembuh dari penyakit.
b. perilaku peningkatan kesehatan, apabila seseorang dalam keadaan sakit.
c. perilaku gizi (makanan & minuman).
2) Perilaku Pencarian atau Penggunaan Sistem atau Fasilitas Pelayanan Kesehatan atau
sering disebut Perilaku Pencarian Pengobatan (health seeking behavior) adalah
menyangkut upaya atau tindakan seseorang pada saat menderita dan atau kecelakaan.
Tindakan atau perilaku ini dimulai dari mengobati sendiri (self treatment) sampai mencari
pengobatan ke luar negeri.
3) Perilaku terhadap makanan (nutrition behavior), yakni respons seseorang terhadap
makanan sebagai kebutuhan vital bagi kehidupan, meliputi pengetahuan, persepsi, sikap
dan praktek kita terhadap makanan serta unsur-unsur yang terkandung di dalamnya/zat
gizi, pengelolaan makanan, dll.
4) Perilaku Kesehatan Lingkungan adalah bagaimana seseorang merespon lingkungan, baik
lingkungan fisik maupun sosial budaya dan bagaimana sehingga lingkungan tersebut
tidak mempengaruhi kesehatannya. Seorang ahli lain (Becker, 1979) membuat klasifikasi
tentang perilaku kesehatan ini.
a. Perilaku hidup sehat adalah perilaku-perilaku yang berkaitan dengan upaya atau
kegiatan seseorang untuk mempertahankan dan meningkatkan kesehatannya.
Perilaku ini mencakup antara lain :
a) Menu seimbang
b) Olahraga teratur
c) Tidak merokok
d) Tidak minum-minuman keras dan narkoba
e) Istirahat yang cukup
f) Pengendalian stres
g) Perilaku atau gaya hidup lain yang positif bagi kesehatan
b. Perilaku sakit mencakup respon seseorang terhadap sakit dan penyakit.
Persepsinya terhadap sakit, pengetahuan tentang penyebab dan gejala penyakit,
pengobatan penyakit dan sebagainya, dsb.
c. Perilaku peran sakit (the sick role behavior) mencakup :
a) Tindakan untuk memperoleh kesembuhan.
b) Mengenal/mengetahu fasilitas atau sasaran pelayanan penyembuhan
penyakit yang layak.
c) Mengetahu hak (misalnya : hak memperoleh perawatan dan pelayanan
kesehatan).

Menurut teori Anderson dalam Muzaham (1995), ada tiga faktor yang mempengaruhi
penggunaan pelayanan kesehatan yaitu :
Mudahnya menggunakan fasilitas pelayanan kesehatan (karakteristik predisposisi)
Adanya faktor-faktor yang menjamin terhadap pelayanan kesehatan yang ada
(karakteristik pendukung)
Adanya kebutuhan pelayanan kesehatan (karakteristik kebutuhan)

Kosa & Robertson mengatakan bahwa perilaku kesehatan individu cenderung


dipengaruhi oleh kepercayaan orang yang bersangkutan terhadap kondisi kesehatan yang
diinginkan dan kurang berdasarkan pada pengetahuan biologi. Memang kenyataannya demikian,
tiap indivisu mempunyai cara yang berbeda dalam mengambil tindakan penyembuhan atau
pencegahan yang berbeda meskipun gangguan kesehatannya sama. Pada umumnya tindakan
yang diambil berdasarkan penilaian individu atau mungkin dibantu oleh orang lain terhadap
gangguan tersebut. Penilaian semacam ini menunjukkan bahwa gangguan yang dirasakan
individu menstimulasi dimulainya suatu proses sosial psikologis. Proses semacam ini
menggambarkan berbagai tindakan yang dilakukan si penderita mengenai gangguan yang
dialami dan merupakan bagian integral interaksi sosial pada umumnya. Proses ini mengikuti
suatu keteraturan tertentu yang dapat diklasifikasikan dalam 4 bagian, yakni :
1) Adanya suatu penilaian dari orang yang bersangkutan terhadap suatu gangguan atau
ancaman kesehatan. Dalam hal ini persepsi individu yang bersangkutan atau orang lain
(anggota keluarga) terhadap gangguan tersebut akan berperan. Selanjutnya gangguan
dikomunikasikan kepada orang lain (anggota keluarga) dan mereka yang diberi informasi
tersebut menilai dengan kriteria subjektif.
2) Timbulnya kecemasan karena adanya persepsi terhadap gangguan tersebut. Disadari
bahwa setiap gangguan kesehatan akan menimbulkan kecemasan baik bagi yang
bersangkutan maupun bagi anggota keluarga lainnya. Bahkan gangguan tersebut
dikaitkan dengan ancaman adanya kematian. Dari ancaman-ancaman ini akan
menimbulkan bermacam-macam bentuk perilaku.
3) Penerapan pengetahuan orang yang bersangkutan mengenai hal-hal yang berhubungan
dengan masalah kesehatan, khususnya mengenai gangguan yang dialaminya. Oleh karena
gangguan kesehatan terjadi secara teratur di dalam suatu kelompok tertentu maka setiap
irang di dalam kelompok tersebut dapat menghimpun pengetahuan tentang berbagai
macam gangguan kesehatan yang mungkin terjadi. Dari sini sekaligus orang menghimpun
berbagai cara mengatasi gangguan kesehatan itu baik secara tradisional maupun modern.
Berbagai cara penerapan pengetahuan baik dalam menghimpun berbagai macam
gangguan maupun cara-cara mengatasinya tersebut merupakan pencerminan dari berbagai
bentuk perilaku.
4) Dilakukannya tindakan manipulatif untuk meniadakan atau menghilangkan kecemasan
atau gangguan tersebut. Di dalam hal ini baik orang awam maupun tenaga kesehatan
melakukan manipulasi tertentu dalam arti melakukan sesuatu untuk mengatasi gangguan
kesehatan. Dari sini lahirlah pranata-pranata kesehatan baik tradisional maupun modern.
Asumsi Determinan Perilaku
Menurut Spranger membagi kepribadian manusia menjadi 6 macam nilai kebudayaan.
Kepribadian seseorang ditentukan oleh salah satu nilai budaya yang dominan pada diri orang
tersebut. Secara rinci perilaku manusia sebenarnya merupakan refleksi dari berbagai gejala
kejiwaan seperti pengetahuan, keinginan, kehendak, minat, motivasi, persepsi, sikap dan
sebagainya.
Namun demikian realitasnya sulit dibedakan atau dideteksi gejala kejiwaan tersebut
dipengaruhi oleh faktor lain diantaranya adalah pengalaman, keyakinan, sarana/fasilitas, sosial
budaya dan sebagainya. Proses terbentuknya perilaku dapat diilustrasikan pada gambar berikut :

Beberapa teori lain yang telah dicoba untuk mengungkap faktor penentu yang dapat
mempengaruhi perilaku khususnya perilaku yang berhubungan dengan kesehatan, antara lain
1. Teori Lawrence Green (1980)
Green mencoba menganalisis perilaku manusia berangkat dari tingkat kesehatan. Bahwa
kesehatan seseorang dipengaruhi oleh 2 faktor pokok, yaitu faktor perilaku (behavior causes) dan
faktor diluar perilaku (non behavior causes).
Faktor perilaku ditentukan atau dibentuk oleh :
Faktor predisposisi (predisposing factor), yang terwujud dalam pengetahuan, sikap,
kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai dan sebagainya.
Faktor pendukung (enabling factor), yang terwujud dalam lingkungan fisik, tersedia atau
tidak tersedianya fasilitas-fasilitas atau sarana-sarana kesehatan, misalnya puskesmas,
obat-obatan, alat-alat steril dan sebagainya.
Faktor pendorong (reinforcing factor) yang terwujud dalam sikap dan perilaku petugas
kesehatan atau petugas lain, yang merupakan kelompok referensi dari perilaku masyarakat.
2. Teori Snehandu B. Kar (1983)
Kar mencoba menganalisis perilaku kesehatan bertitik tolak bahwa perilaku merupakan fungsi
dari :
Niat seseorang untuk bertindak sehubungan dengan kesehatan atau perawatan
kesehatannya (behavior itention).
Dukungan sosial dari masyarakat sekitarnya (social support).
Adanya atau tidak adanya informasi tentang kesehatan atau fasilitas kesehatan (accesebility
of information).
Otonomi pribadi orang yang bersangkutan dalam hal mengambil tindakan atau keputusan
(personal autonomy).
Situasi yang memungkinkan untuk bertindak (action situation).
3. Teori WHO (1984)
WHO menganalisis bahwa yang menyebabkan seseorang berperilaku tertentu adalah :
Pemikiran dan perasaan (thougts and feeling), yaitu dalam bentuk pengetahuan, persepsi,
sikap, kepercayaan dan penilaian seseorang terhadap objek (objek kesehatan).
1. Pengetahuan diperoleh dari pengalaman sendiri atau pengalaman orang lain.
2. Kepercayaan sering atau diperoleh dari orang tua, kakek, atau nenek. Seseorang
menerima kepercayaan berdasarkan keyakinan dan tanpa adanya pembuktian terlebih
dahulu.
3. Sikap menggambarkan suka atau tidak suka seseorang terhadap objek. Sikap sering
diperoleh dari pengalaman sendiri atau orang lain yang paling dekat. Sikap membuat
seseorang mendekati atau menjauhi orang lain atau objek lain. Sikap positif terhadap
tindakan-tindakan kesehatan tidak selalu terwujud didalam suatu tindakan tergantung
pada situasi saat itu, sikap akan diikuti oleh tindakan mengacu kepada pengalaman
orang lain, sikap diikuti atau tidak diikuti oleh suatu tindakan berdasar pada banyak
atau sedikitnya pengalaman seseorang.
Tokoh penting sebagai Panutan. Apabila seseorang itu penting untuknya, maka apa yang
ia katakan atau perbuat cenderung untuk dicontoh.
Sumber-sumber daya (resources), mencakup fasilitas, uang, waktu, tenaga dan
sebagainya.
Perilaku normal, kebiasaan, nilai-nilai dan penggunaan sumber-sumber didalam suatu
masyarakat akan menghasilkan suatu pola hidup (way of life) yang pada umumnya
disebut kebudayaan. Kebudayaan ini terbentuk dalam waktu yang lama dan selalu
berubah, baik lambat ataupun cepat sesuai dengan peradapan umat manusia
(Notoatmodjo, 2003)

Respon seseorang apabila sakit adalah sebagai berikut :


1. Pertama, tidak bertindak atau tidak melakukan kegiatan apa-apa. Alasannya antara lain
bahwa kondisi yang demikian tidak akan mengganggu kegiatan atau kerja mereka sehari-
hari. Mungkin mereka beranggapan bahwa tanpa bertindak apapun gejala yang dideritanya
akan lenyap dengan sendirinya. Tidak jarang pula masyarakat memprioritaskan tugas-tugas
lain yang dianggap lebih penting daripada mengobati sakitnya. Hal ini merupakan suatu
bukti bahwa kesehatan belum merupakan prioritas di dalam hidup dan
kehidupannya.Alasan lain yang sering kita dengar adalah fasilitas kesehatan yang
diperlukan sangat jauh letaknya, para petugas kesehatan tidak simpatik, tidak responsif,
dan sebagainya. Dan akhirnya alasan takut dokter, takut pergi ke rumah sakit, takut biaya,
dan sebagainya.
2. Kedua, tindakan mengobati sendiri, dengan alasan yang sama seperti telah diuraikan.
Alasan tambahan dari tindakan ini adalah karena orang atau masyarakat tersebut sudah
percaya kepada diri sendiri, dan sudah merasa bahwa berdasarkan pengalaman yang lalu
usaha pengobatan sendiri sudah dapat mendatangkan kesembuhan. Hal ini mengakibatkan
pencarian pengobatan keluar tidak diperlukan.
3. Ketiga, mencari pengobatan ke fasilitas-fasilitas pengobatan tradisional. Untuk masyarakat
pedesaan khususnya, pengobatan tradisional ini masih menduduki tempat teratas dibanding
dengan pengobatan-pengobatan yang lain.Dukun yang melakukan pengobatan tradisional
merupakan bagian dari masyarakat, berada di tengah-tengah masyarakat, dekat dengan
masyarakat, dan pengobatan yang dihasilkan adalah kebudayaan masyarakat, lebih
diterima oleh masyarakat daripada dokter, bidan, farmasis, dan sebagainya yang masih
asing bagi mereka, seperti juga pengobatan yang dilakukan dan obat-obatnya pun
merupakan kebudayaan mereka.
4. Keempat, mencari pengobatan dengan membeli obat-obat ke warung-warung obat dan
sejenisnya, termasuk ke tukang-tukang jamu. Obat-obat yang mereka dapatkan pada
umumnya adalah obat-obat yang tidak memakai resep sehingga sukar untuk dikontrol.
Namun demikian, sampai sejauh ini pemakaian obat-obat bebas oleh masyarakat belum
mengakibatkan masalah yang serius. Khususnya mengenai jamu sebagai sesuatu untuk
pengobatan makin tampak peranannya dalam kesehatan masyarakat. Untuk itu perlu
diadakan penelitian yang lebih mendalam.
5. Kelima, mencari pengobatan ke fasilitas-fasilitas pengobatan modern yang diadakan oleh
pemerintah atau lembaga-lembaga kesehatan swasta, yang dikategorikan ke dalam balai
pengobatan, puskesmas, dan rumah sakit.
6. Keenam, mencari pengobatan ke fasilitas pengobatan modern yang diselenggarakan oleh
dokter praktik.
Dari uraian di atas tampak jelas bahwa persepsi masyarakat terhadap sehat-sakit adalah berbeda
dengan konsep kita tentang sehat-sakit itu. Demikian juga persepsi sehat-sakit antara kelompok-
kelompok masyarakat pun akan berbeda-beda pula.

Persepsi masyarakat terhadap sehat-sakit erat hubungannya dengan perilaku pencarian


pengobatan. Kedua pokok pikiran tersebut akan mempengaruhi atas dipakai atau tidak
dipakainya fasilitas kesehatan yang disediakan. Apabila persepsi sehat-sakit masyarakat belum
sama dengan konsep sehat-sakit kita, maka jelas masyarakat belum tentu atau tidak mau
menggunakan fasilitas yang diberikan. Bila persepsi sehat-sakit masyarakat sudah sama dengan
pengertian kita, maka kemungkinan besar fasilitas yang diberikan akan mereka pergunakan.

Perilaku pencarian pelayanan kesehatan dipengaruhi oleh tiga faktor besar yaitu faktor
predisposing, faktor enabling, dan faktor need.
1. Faktor predisposing adalah predisposisi seseorang untuk menggunakan pelayanan yaitu
faktor demografi,faktor struktur sosial, dan faktor keyakinan terhadap kesehatan
2. Faktor Enabling merupakan kemampuan seseorang untuk mencari pelayanan berupa
sumberdaya keluarga atau sumber daya masyarakat.
3. Faktor need adalah kebutuhan seseorang akan pelayanan

3. Memahami dan Menjelaskan Cakupan dan Mutu Pelayanan Kesehatan serta Imunisasi
Mutu adalah tingkat kesempurnaan dari penampilan sesuatu yang sedang diamati
(Winston Dictionary, 1956)
Mutu adalah sifat yang dimiliki oleh suatu program (Donabedian, 1980)
Mutu adalah totalitas dari wujud serta ciri dari suatu barang jasa, yang didalamnya
terkandung sekaligus pengertian rasa aman atau pemenuhan kebutuhan para pengguna
(Din ISO 8402, 1986)
Mutu adalah kepatuhan terhadap standar yang telah ditetapkan (Crosby, 1984)

Sistem terdiri dari :


Input
Subsistem yang akan memberikan segala masukan untuk berfungsinya sebuah sistem,
seperti sistem pelayanan kesehatan : Potensi masyarakat, Tenaga kesehatan, Sarana
kesehatan
Proses
Kegiatan yg berfungsi untuk mengubah sebuah masukan menjadi sebuah hasil yg
diharapkan dari sistem tersebut, yaitu berbagai kegiatan dalam pelayanan kesehatan.
Output
Hasil yang diperoleh dari sebuah proses, Output pelayanan kesehatan : pelayanan yang
berkualitas, efektif dan efisien serta terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat sehingga
pasien sembuh & sehat optimal.
Dampak
Akibat yang dihasilkan sebuah hasil dari sistem, relative lama waktunya. Dampak sistem
Pelayanan kesehatan adalah masyarakat sehat, angka kesakitan & kematian menurun.
Umpan balik (feedback)
Suatu hasil yang sekaligus menjadikan masukan dan ini terjadi dari sebuah sistem yang
saling berhubungan dan saling mempengaruhi, berupa kualitas tenaga kesehatan
Lingkungan
Semua keadaan di luar sistem tetapi dapat mempengaruhi pelayanan kesehatan.

Tingkat Pelayanan Kesehatan


Menurut Leavel & Clark dalam memberikan pelayanan kesehatan harus memandang pada
tingkat pelayanan kesehatan yg akan diberikan, yaitu :
Health promotion (promosi kesehatan)
Merupakan tingkat pertama dalam memberikan pelayanan melalui peningkatan
kesehatan, Contoh : kebersihan perorangan, perbaikan sanitasi lingkungan.
Specifik protection (perlindungan khusus)
Masyarakat terlindung dari bahaya/ penyakit2 tertentu. Cth : Imunisasi, perlindungan
keselamatan kerja
Early diagnosis and prompt treatment (diagnosis dini & pengobatan segera)
Sudah mulai timbulnya gejala penyakit, Cth : survey penyaringan kasus.
Disability limitation (pembatasan cacat)
Dilakukan untuk mencegah agar pasien atau masyarakat tidak mengalami dampak
kecacatan akibat penyakit yang ditimbulkan.
Rehabilitation (rehabilitasi)
Dilaksanakan setelah pasien didiagnosa sembuh. Sering pada tahap ini dijumpai pada fase
pemulihan terhadap kecacatan seperti latihan- latihan yang diberikan pada pasien.

Lembaga pelayanan kesehatan


Rawat jalan
Institusi
Hospice
Community Based Agency
Lingkup sistem pelayanan kesehatan
Tertiary health service : tenaga ahli/subspesialis (RS tipe A atau B)
Secondary health care : RS yg tersedia tenaga spesialis
Primary health care : Puskesmas, balai kesehatan
Rumah sakit dapat dibagi dalam beberapa jenis menurut kategorinya :
Menurut pemilik : pemerintah, swasta
Menurut filosofi yang dianut : profit hospital dan non profit hospital
Menurut jenis pelayanan yang diselenggarakan : General Hospital dan Specialty Hospital
Menurut lokasi (pemerintah) : pusat, provinsi dan kabupaten

Menurut kemampuan yang dimiliki rumah sakit di Indonesia dapat digolongkan dalam
beberapa kategori :
Rumah sakit tipe A : Specialis dan sub specialis lebih luas, Top referral hospital
Rumah sakit tipe B : Specialis dan sub specialis terbatas, pelayanan rujukan dari kabupaten
Rumah sakit tipe C : Spesialis terbatas, Pelayanan rujukan dari Puskesmas
Rumah sakit tipe D : Pelayanan rujukan dari Puskesmas
Rumah sakit tipe E : (rumah sakit khusus) : RS Jiwa, RS Jantung, RS Paru, kanker, Kusta.
Puskesmas dibina oleh Dinas Kesehatan kabupaten/kota terkait kegiatan upaya kesehatan
masyarakat (UKM)
Puskesmas dibina oleh rumah sakit kabupaten/kota terkait upaya kesehatan perorangan (UKP)
Sedang dalam proses untuk penggabungan UKM dan UKP
UKM
Pemerintah dan peran serta aktif masyarkat dan swasta.
Mencakup: promkes, pemeliharaan kes, P2M, keswa, pengendalian penyakit tdk menular,
sanitasi dasar, gizi masyarakat.
UKP
dapat diselenggarakan oleh masyarakat, swasta dan Pemerintah .
Mencakup: promkes, pencegahan, pengobatan rwt jalan, pengobt rwt inap, rehabilitasi
Puskesmas :
Posyandu balita dan lansia
Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD)
Polindes (poliklinik desa)
Puskesmas kebanyakan hanya dijadikan tempat transit permohonan rujukan.
Trend Issu pelayanan kesehatan
Adanya fragmentasi pelayanan
penerapan otonomi
penetapan Puskesmas sebagai ujung tombak
Alokasi anggaran promotive dan prepentive
Serta kurangnya sumber daya manusia
Faktor yang mempengaruhi pelayanan kesehatan
1. Ilmu pengetahuan & teknologi baru
2. Pergeseran nilai masyarakat
3. Aspek legal dan etik
4. Ekonomi
5. Politik
Masalah sistem pelayanan kesehatan
Upaya Kesehatan
Pembiayaan Kesehatan
Sumber Daya Manusia Kesehatan
Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Makanan
Manajemen dan Informasi Kesehatan
Pemberdayaan Masyarakat

Undang- undang sistem pelayanan kesehatan


Landasan Adil, yaitu Pancasila
Landasan Konstitusional, yaitu UUD 1945, khususnya: Pasal 28 A, setiap orang berhak
untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.
Pasal 28 A ayat (1), setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal,
dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan.
Skema Fungsi kesehatan
Menurut skema di atas fungsi sistem kesehatan yaitu: (1) stewardship; (2) Pendanaan; (3)
Pengembangan Sumber Daya, termasuk SDM; dan (4) pemberi pelayanan berusaha agar terjadi
perluasan cakupan pelayanan kesehatan, peningkatan mutu pelayanan, dan efisiensi yang pada
akhirnya meningkatkan status kesehatan.

Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Mutu Pelayanan Kesehatan


Faktor-faktor tersebut antara lain :
a. Pergeseran masyarakat dan konsumen
Hal ini sebagai akibat dari peningkatan pengetahuan dan kesadaran konsumen terhadap
peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit dan upaya pengobatan. sebagai masyarakat
yang memiliki pengetahuan tentang masalah kesehatan yang meningkat, maka mereka
mempunyai kesadaran yang lebih besar yang berdampak pada gaya hidup terhadap
kesehatan. akibatnya kebutuhan masyarakat akan pelayanan kesehatan meningkat.
b. Ilmu pengetahuan dan teknologi baru.
Pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di sisi lain dapat meningkatkan pelayanan
kesehatan karena adanya peralatan kedokteran yang lebih canggih dan memadai walau di sisi
yang lain juga berdampak pada beberapa hal seperti meningkatnya biaya pelayanan
kesehatan, melambungnya biaya kesehatan dan dibutuhkannya tenaga profesional akibat
pengetahuan dan peralatan yang lebih modern.
c. Issu legal dan etik.
Sebagai masyarakat yaang sadar terhadap haknya untuk mendapatkan pelayanan kesehatan
dan pengobatan , issu etik dan hukum semakin meningkat ketika mereka menerima
pelayanan kesehatan. Pemberian pelayanan kesehatan yang kurang memadai dan kurang
manusiawi maka persoalan hukum kerap akan membayanginya.
d. Ekonomi
Pelayanan kesehatan yang sesuai dengan harapan barangkali hanya dapat dirasakan oleh
orang-orang tertentu yang mempunyai kemampuan untuk memperoleh fasilitas pelayanan
kesehatan yang dibutuhkan, namun bagi klien dengan status ekonomi rendah tidak akan
mampu mendapatkan pelayanan kesehatan yang paripurna karena tidak dapat menjangkau
biaya pelayanan kesehatan.
e. Politik
Kebijakan pemerintah dalam sistem pelayanan kesehatan akan berpengaruh pada kebijakan
tentang bagaimana pelayanan kesehatan yang diberikan dan siapa yang menanggung biaya
pelayanan kesehatan

Dimensi Mutu Pelayanan


a. Dimensi Kompetensi Teknis; berhubungan dengan bagaimana pemberi layanan kesehatan
mengikuti standar layanan kesehatan yang telah disepakati, yang meliputi ketepatan,
kepatuhan, kebenaran dan konsistensi.
b. Dimensi Keterjangkauan; artinya layanan kesehataan yang diberikan harus dapat dicapai
oleh masyarakat, baik dari segi geografis, sosial, ekonomi, organisasi, dan bahasa.
c. Dimensi Efetivitas; layanan kesehatan yang diberikan harus mampu mengobati atau
megurangi keluhan masyarakat/pasien dan mampu mencegah meluasnya penyakit yang
diderita olehnya.
d. Dimensi Efisiensi; dengan adanya layanan kesehatan yang efisiens maka masyarakat atau
pasien tidak perlu menunggu terlalu lama yang dapat mengakibatkan masyarakat/pasien
tersebut membayar terlalu mahal.
e. Dimensi Kesinambungan; masyarakat/pasien dilayanai secara terus menerus sesuai
dengan kebutuhannya, termasuk rujukan yang tidak perlu mengulangi prosedur.
f. Dimensi Keamanan; layanan kesehatan harus aman dari resiko cidera, infeksi, efek
samping, atau bahaya lainnya, sehingga prosedur yang akan menjamin pemberi dan
penerima pelayan disusun.
g. Dimensi Kenyamanan; layanan kesehatan yang diberikan akan terasa nyaman bagi
masyarakat/pasien jika dapat mempengaruhi kepuasan dan menimbulkan kepercayaan
untuk datang kembali.
h. Dimensi Informasi; layanan kesehatan ini sangat perlu diberikan oleh petugas puskesmas
dan rumah sakit kepada masyarakat, yang mana dapat mempengaruhi perubahan perilaku.
i. Dimensi Ketepatan Waktu; layanan kesehatan harus dilakukan dalam waktu dan cara
yang tepat, oleh pemberi layanan yang tepat, menggunakan peralatan dan obat yang tepat,
serta biaya yang tepat (efisien).
j. Dimensi Hubungan Antarmanusia; hubungan antarmanusia yang baik akan menimbulkan
kepercayaan dan kredibilitas dengan cara saling menghargai, menjaga rahasia, saling
menghormati, responsif, memberi perhatian, dan lain-lain.

Syarat pokok pelayanan kesehatan


Suatu pelayanan kesehatan dikatakan baik apabila:
1. Tersedia (available) dan berkesinambungan (continuous)
Artinya semua jenis pelayanan kesehatan yang dibutuhkan masyarakat tidak sulit ditemukan,
serta keberadaannya dalam masyarakat adalah pada setiap saat yang dibutuhkan.
2. Dapat diterima (acceptable) dan bersifat wajar (appropriate)
Artinya pelayanan kesehatan tersebut tidak bertentangan dengan keyakinan dan kepercayaan
masyarakat. Pelayanan kesehatan yang bertentangan dengan adat istiadat, kebudayaan,
keyakinan dan kepercayaan mesyarakat, serta bersifat tidak wajar, bukanlah suatu pelayanan
kesehatan yang baik.
3. Mudah dicapai (accessible)
Ketercapaian yang dimaksud disini terutama dari sudut lokasi. Dengan demikian, untuk dapat
mewujudkan pelayanan kesehatan yang baik, maka pengaturan distribusi sarana kesehatan
menjadi sangat penting. Pelayanan kesehatan yang terlalu terkonsentrasi di daerah perkotaan
saja, dan sementara itu tidak ditemukan didaerah pedesaan, bukanlah pelayanan kesehatan
yang baik.
4. Mudah dijangkau (affordable)
Keterjangkauan yang dimaksud adalah terutama dari sudut biaya. Untuk dapat mewujudkan
keadaan yang seperti itu harus dapat diupayakan biaya pelayanan kesehatan tersebut sesuai
dengan kemampuan ekonomi masyarakat. Pelayanan kesehatan yang mahal hanya mungkin
dinikmati oleh sebagian kecil masyarakat saja bukanlah kesehatan yang baik.
5. Bermutu (quality)
Mutu yang dimaksud disini adalah yang menunjuk pada tingkat kesempurnaan pelayanan
kesehatan yang diselenggarakan, yang disatu pihak tata cara penyelenggaraannya sesuai
dengan kode etik serta standart yang telah ditetapkan.

Prinsip pelayanan prima di bidang kesehatan


1. Mengutamakan pelanggan
Prosedur pelayanan disusun demi kemudahan dan kenyamanan pelanggan, bukan untuk
memeperlancar pekerjaan kita sendiri. Jika pelayanan kita memiliki pelanggan eksternal dan
internal, maka harus ada prosedur yang berbeda, dan terpisah untuk keduanya. Jika
pelayanan kita juga memiliki pelanggan tak langsung maka harus dipersiapkan jenis-jenis
layanan yang sesuai untuk keduanya dan utamakan pelanggan tak langsung.
2. System yang efektif
Proses pelayanan perlu dilihat sebagai sebuah system yang nyata (hard system), yaitu tatanan
yang memadukan hasil-hasil kerja dari berbagai unit dalam organisasi. Perpaduan tersebut
harus terlihat sebagai sebuah proses pelayanan yang berlangsung dengan tertib dan lancar
dimata para pelanggan.
3. Melayani dengan hati nurani (soft system)
Dalam transaksi tatap muka dengan pelanggan, yang diutamakan keaslian sikap dan perilaku
sesuai dengan hati nurani, perilaku yang dibuat-buat sangat mudah dikenali pelanggan dan
memperburuk citra pribadi pelayan. Keaslian perilaku hanya dapat muncul pada pribadi yang
sudah matang.
4. Perbaikan yang berkelanjutan
Pelanggan pada dasarnya juga belajar mengenali kebutuhan dirinya dari proses pelayanan.
Semakin baik mutu pelayanan akan menghasilkan pelanggan yang semakin sulit untuk
dipuaskan, karena tuntutannya juga semakin tinggi, kebutuhannya juga semakin meluas dan
beragam, maka sebagai pemberi jasa harus mengadakan perbaikan terus menerus.
5. Memberdayakan pelanggan
Menawarkan jenis-jenis layanan yang dapat digunakan sebagai sumberdaya atau perangkat
tambahan oleh pelanggan untuk menyelesaikan persoalan hidupnya sehari-hari.

TARGET INDIKATOR PELAYANAN MINIMAL PUSKESMAS


Pelayanan Kesehatan Dasar :
1. Cakupan kunjungan Ibu hamil K4 95 % pada Tahun 2015;
2. Cakupan komplikasi kebidanan yang ditangani 80 % pada Tahun 2015;
3. Cakupan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan yang memiliki kompetensi kebidanan
90% pada Tahun 2015;
4. Cakupan pelayanan nifas 90% pada Tahun 2015;
5. Cakupan neonatus dengan komplikasi yang ditangani 80% pada Tahun 2010;
6. Cakupan kunjungan bayi 90%, pada Tahun 2010;
7. Cakupan Desa/Kelurahan Universal Child Immunization (UCI) 100% pada Tahun 2010;
8. Cakupan pelayanan anak balita 90% pada Tahun 2010;
9. Cakupan pemberian makanan pendamping ASI pada anak usia 6 - 24 bulan keluarga miskin
100 % pada Tahun 2010;
10. Cakupan balita gizi buruk mendapat perawatan 100% pada Tahun 2010;
11. Cakupan Penjaringan kesehatan siswa SD dan setingkat 100 % pada Tahun 2010;
12. Cakupan peserta KB aktif 70% pada Tahun 2010;
13. Cakupan penemuan dan penanganan penderita penyakit 100% pada Tahun 2010;
14. Cakupan pelayanan kesehatan dasar masyarakat miskin 100% pada Tahun 2015.

Pelayanan Kesehatan Rujukan


1. Cakupan pelayanan kesehatan rujukan pasien masyarakat miskin 100% pada Tahun 2015;
2. Cakupan pelayanan gawat darurat level 1 yang harus diberikan sarana kesehatan (RS) di
Kabupaten/Kota 100 % pada Tahun 2015.

Penyelidikan Epidemiologi dan Penanggulangan Kejadian Luar Biasa /KLB


1. Cakupan Desa/ Kelurahan mengalami KLB yang dilakukan penyelidikan epidemiologi <
24 jam 100% pada Tahun 2015.
Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat
1. Cakupan Desa Siaga Aktif 80% pada Tahun 2015.

PELAYANAN IMUNISASI
Imunisasi adalah suatu cara untuk menimbulkan/meningkatkan, kekebalan seseorang secara aktif
terhadap suatu penyakit, sehingga bila kelak ia terpapar dengan penyakit tersebut tidak akan sakit
atau sakit ringan. (Depkes RI, 2005).

Tujuan imunisasi adalah diharapkan anak menjadi lebih kebal terhadap penyakit sehingga dapat
menurunkan angka mortalitas serta dapat mengurangi kecacatan.(A.Aziz, 2008)

Jenis Imunisasi Dasar, dan Pemberian


Di Indonesia terdapat jenis imunisasi yang diwajibkan leh emerintah/ imunisasi dasar dan ada
juga yang hanya anjuran. Imunisasi wajib di Indonesia sebagaimana telah diwajibkan oleh WHO
ditambah dengan hepatitis B, sedangkan imunisasi yang hanya dianjurkan oleh pemerintah dapat
digunakan untuk mecegah suatu kejadian luar biasa atau penyakit endemik atau untuk
kepentingan tertentu misal imunisasi meningitis pada jamaah haji.

Jenis-Jenis Imunisasi :
a. Imunisasi pasif (passive immunization)
Imunisasi pasif ini adalah Immunoglobulin jenis imunisasi ini dapat mencegah
penyakitcampak (measles pada anak-anak).

b. Imunisasi aktif (active immunization)Imunisasi yang diberikan pada anak adalah :


BCG, untuk mencegah penyakit TBC
DPT, untuk mencegah penyakit-penyakit diptheri, pertusis dan tetanus
Polio, untuk mencegah penyakit poliomilitis
Campak, untuk mencegah penyakit campak (measles)
Hepatitis B, untuk mencegah penyakit hepatitis B (Notoatmodjo. 1997)
Cakupan imunisasi dalam program imunisasi nasional merupakan parameter kesehatan nasional.
Besar cakupan imunisasi harus mencapai lebih dari 80%, artinya di setiap desa, anak-anak
berusia di bawah 12 bulan, 80% harus sudah mendapatkan imunisasi dasar lengkap. Tetapi saat
ini, cakupan imunisasi belum memuaskan. Salah satu dampak cakupan imunisasi yang tidak
sesuai target adalah terjadinya kejadian luar biasa (KLB). Penyakit dapat dicegah bila cakupan
imunisasi sebesar 80% dari target. Penularan berbanding searah dengan cakupan imunisasi.
Apbila anak yang tidak diimunisasi semakin banyak maka penularan akan semakin meningkat.
Sedangkan cakupan imunisasi yang tinggi akan mengurangi penularan (majalah farmacia, 2012).

Rendahnya cakupan imunisasi dapat diakibatkan oleh beberapa faktor. Faktor tersebut
adalah aspek geografis dimana di daerah pelosok akses pelayanan kesehatan masih minim
termasuk imunisasi. Selain itu, masyarakat sering menganggap bahwa anak yang menderita
batuk pilek tidak boleh diimunisasi. Faktor lain adalah kurangnya kesadaran masyarakat atas
imunisasi akibat minimnya pendidikan. Sehingga tenaga kesehata seperti dokter, bidan atau
perawat memiliki kewajiban mengingatkan pasien tentang jadwal imunisasi. Faktor lain adalah
munculnya kelompok anti vaksin. Selain itu, kesalahan pemahaman masyarakat mengenai ASI
juga turut mempengaruhi kesediaan untuk melakukan imunisasi. ASI memang meningkatkan
daya tahan, namun perlindungan ASI juga akan berkurang seiring munculnya paparan pada anak
(majalah farmacia, 2012).
Dalam program Intensifikasi Imunisasi Rutin, upaya pemberian imunisasi harus lebih intensif
dibandingkan tahun lalu. Imunisasi dasar diketahui sangat efektif dalam memberikan
perlindungan terhadap suatu penyakit pada masa depan kehidupan. Imunisasi dasar berfungsi
membentuk sel memori yang akan dibawa seumur hidup. Jika imunisasi dasar diberikan lengkap
dan sel memori terbentuk semakin dini, maka semakin bagus perlindungan yang diberikan
(Hadinegoro, 2012).
Namun pada vaksin tertentu (vaksin mati atau vaksin komponen, misalnya hepatitis B
atau DTP), imunisasi dasar saja tidak cukup memberikan perlindungan dalam jangka panjang
sehingga harus dilakukan booster atau penguat. Kekebalan yang diberikan imunisasi dasar tidak
berlangsung seumur hidup dan ditandai dengan titer antibodi yang semakin lama semakin
menurun. Pemberian booster dimaksudkan membangkitkan kembali sel memori untuk
membentuk antibodi agar titer antibodi selalu di atas ambang pencegahan (protective level)
(Hadinegoro, 2012).
Vaksin DTP misalnya yang diberikan usia 2, 4, 6 bulan perlu diberikan booster pada usia
18-24 bulan dan 5 tahun. Di usia lima tahun kekebalan kembali turun sehingga perlu booster
kedua bahkan ketiga dalam jangka waktu setiap 5-10 tahun. Komponen T (tetanus) pada vaksin
DTP juga harus bisa memberikan perlindungan seumur hidup terhadap tetanus neonatorum
(penting untuk melindungi bayi yang dilahirkan dari infeksi tetanus apabila pemotongan tali
pusat tidak steril). Vaksin TT diberikan pada anak usia sekolah dan ibu hamil (Hadinegoro,
2012).
Sampai kapan booster diberikan, tergantung data epidemiologi dan pola penyakit dari kelompok
usia yang rentan terkena penyakit. Misalnya penyakit difteri, pertusis, dan tetanus yang bisa
dicegah dengan vaksin DTP bisa mengancam anak-anak maupun dewasa sehingga semua usia
rentan terhadap penularan penyakit-penyakit ini (Hadinegoro, 2012).

Keberhasilan pemberian imunisasi pada anak dipengerhui oleh beberapa faktor, diantaranya
yaitu :
Tingginya kadar antibodi pada saat dilakukan imunisasi
Potensi antigen yang disuntikkan
Waktu pemberian imunisasi
Status nutrisi terutama protein karena protein diperlukan untuk sintesis antibodi

Imunisasi dasar untuk bayi


Vaksinasi Jadwal Booster/Ulangan
pemberian-usia
BCG Waktu lahir -- Tuberkulosis
Hepatitis Waktulahir-dosis 1 tahun-- pada Hepatitis B
B I bayi yang lahir
1bulan-dosis 2 dari ibu dengan
6bulan-dosis 3 hep B.
DPT dan 3 bulan-dosis1 18bulan-booster1 Dipteria,
Polio 4 bulan-dosis2 6tahun-booster 2 pertusis,
5 bulan-dosis3 12tahun-booster3 tetanus,dan
polio
campak 9 bulan -- Campak

Imunisasi yang dianjurkan


Vaksinasi Jadwal pemberian- Booster/Ulangan Manfaat
usia
MMR 1-2 tahun 12 tahu Measles, meningitis,
rubella
Hib 3bulan-dosis 1 18 bulan Hemophilus
4bulan-dosis 2 influenza tipe B
5bulan-dosis 3
Hepatitis A 12-18bulan -- Hepatitis A
Cacar air 12-18bulan -- Cacar air

Yang harus diperhatikan, tanyakan dahulu dengan dokter anda sebelum imunisasi jika bayi anda
sedang sakit yang disertai panas; menderita kejang-kejang sebelumnya ; atau menderita penyakit
system saraf.

Jadwal imunisasi
Jadwal pemberian imunisasi :
Keterangan:
Rekomendasi imunisasi berlaku mulai 1 Januari 2014.
1. Vaksin Hepatitis B. Paling baik diberikan dalam waktu 12 jam setelah lahir dan
didahului pemberian injeksi vitamin K1. Bayi lahir dari ibu HBsAg positif, diberikan
vaksin hepatitis B dan imunoglobulin hepatitis B (HBIg) pada ekstremitas yang berbeda.
Vaksinasi hepatitis B selanjutnya dapat menggunakan vaksin hepatitis B monovalen atau
vaksin kombinasi.
2. Vaksin Polio. Pada saat bayi dipulangkan harus diberikan vaksin polio oral (OPV-0).
Selanjutnya, untuk polio-1, polio-2, polio-3 dan polio booster dapat diberikan vaksin
OPV atau IPV, namun sebaiknya paling sedikit mendapat satu dosis vaksin IPV.
3. Vaksin BCG. Pemberian vaksin BCG dianjurkan sebelum 3 bulan, optimal umur 2
bulan. Apabila diberikan sesudah umur 3 bulan, perlu dilakukan uji tuberkulin.
4. Vaksin DTP. Vaksin DTP pertamadiberikan paling cepat pada umur 6 minggu. Dapat
diberikan vaksin DTwP atau DTaP atau kombinasi dengan vaksin lain. Untuk anak umur
lebih dari 7 tahun DTP yang diberikan harus vaksin Td, di-booster setiap 10 tahun.
5. Vaksin Campak. Campak diberikan pada umur 9 bulan, 2 tahun dan pada SD kelas 1
(program BIAS).
6. Vaksin Pneumokokus (PCV). Apabila diberikan pada umur 7-12 bulan, PCV diberikan
2 kali dengan interval 2 bulan; pada umur lebih dari 1 tahun diberikan 1 kali. Keduanya
perlu dosis ulangan 1 kali pada umur lebih dari 12 bulan atau minimal 2 bulan setelah
dosis terakhir. Pada anak umur di atas 2 tahun PCV diberikan cukup satu kali.
7. Vaksin Rotavirus. Vaksin rotavirus monovalen diberikan 2 kali, vaksin rotavirus
pentavalen diberikan 3 kali. Vaksin rotavirus monovalen dosis I diberikan umur 6-14
minggu, dosis ke-2 diberikan dengan interval minimal 4 minggu. Sebaiknya vaksin
rotavirus monovalen selesai diberikan sebelum umur 16 minggu dan tidak melampaui
umur 24 minggu. Vaksin rotavirus pentavalen: dosis ke-1 diberikan umur 6-14 minggu,
interval dosis ke-2, dan ke-3 4-10 minggu, dosis ke-3 diberikan pada umur kurang dari 32
minggu (interval minimal 4 minggu).
8. Vaksin Varisela. Vaksin varisela dapat diberikan setelah umur 12 bulan, namun terbaik
pada umur sebelum masuk sekolah dasar. Bila diberikan pada umur lebih dari 12 tahun,
perlu 2 dosis dengan interval minimal 4 minggu.
9. Vaksin Influenza. Vaksin influenza diberikan pada umur minimal 6 bulan, diulang
setiap tahun. Untuk imunisasi pertama kali (primary immunization) pada anak umur
kurang dari 9 tahun diberi dua kali dengan interval minimal 4 minggu. Untuk anak 6
<36 bulan, dosis 0,25 mL.
10. Vaksin Human papiloma virus (HPV). Vaksin HPV dapat diberikan mulai umur 10
tahun. Vaksin HPV bivalen diberikan tiga kali dengan interval 0, 1, 6 bulan; vaksin HPV
tetravalen dengan interval 0, 2, 6 bulan.

Pemberian vaksin bisa melalui injeksi, misalnya vaksin BCG, DPT, DT, TT, Campak dan
Hepatitis B. Sedangkan yang diberikan secara oral yaitu vaksin polio
BCG : 1 X (bayi 0-11 bulan)
DPT : 3 X ( bayi 2-11 bulan) selang 4 minggu
Polio : 3 X ( bayi 2-11 bulan) selang 4 minggu
Campak : 1X ( anak 9-11 bulan)
TT IH : - 1 x ( BOOSTER) bila ibu hamil pernah menerima TT 2 X pada
o Waktu calon pengantin atau pada kehamilan sebelumnya)
2 X (selang 4 minggu) bila ibu hamil belum pernah divaksinasi TT
o Selama kehamilan. Bila pada waktu kontak berikutnya (saat
pemberian TT2 tetap) diberikan dengan maksud untuk
memberikan perlindungan pada kehamilan berikutnya
DT : 2x ( selang 4 minggu) anak kelas 1 sampai wanita
TT : 2x ( 4 minggu ) anak kelas 6 SD sampai wanita
TT calon pengantin wanita : 2 X ( selang 4 minggu) sebelum akad nikah

Persiapan alat: Spuit lengkap, alat sterilisator, kapas air hangat.


Persiapan Vaksin: Vaksin yg sesuai dengan sasaran dimasukkan dalam termos es (vaksin carier
).
Persiapan sasaran : Pemberitahuan kepada orang tua bayi ( sasaran ) tempat penyuntikan dan
efek sampingnya.
Pemberian Imunisasi : Pengambilan vaksin sesuai dengan dosisnya. Desinfeksi pada tempat
yang akan disuntik. Pemberian Imunisasi sesuai dengan jenis vaksin sbb :
BCG : Intra cutan, dosis 0,05 cc.
Polio : Tetes mulut, dosis 2 tetes.
DPT, HB, Campak : Subcutan, dosis 0,5 cc.

Pemberian obat antipiretik untuk imunisasi DPT, dijelaskan cara dan dosis pemberian.
Memberikan Informasi kepada orang tua bayi mengenai jadwal imunisasi berikutnya. Pencatatan
/ pelaporan : Imunisasi yang diberikan dicatat dalam buku catatan imunisasi dan Buku KIA /
KMS.

Langkah-langkah kegiatan :
1. Petugas Imunisasi menerima kunjungan bayi sasaran Imunisasi yang telah membawa
Buku KIA / KMS di Ruang Imunisasi setelah mendaftar di loket pendaftaran.
2. Petugas memriksa status Imunisasi dalam buku KIA / KMS dan menentukan jenis
imunisasi yang akan diberikan.
3. Petugas menanyakan keadaan bayi kepada orang tuanya ( keadaan bayi yang
memungkinkan untuk diberikan imunisasi atau bila tidak akan dirujuk ke Ruang
Pengobatan ).
4. Petugas menyiapkan alat ( menyeteril alat suntik dan kapas air hangat ).
5. Petugas menyiapkan vaksin ( vaksin dimasukkan ke dalam termos es ).
6. Petugas menyiapkan sasaran ( memberitahukan kepada orang bayi tentang tempat
penyuntikan.
7. Petugas memberikan Imunisasi ( memasukkan vaksin ke dalam alat suntik, desinfeksi
tempat suntikan dengan kapas air hangat, memberikan suntikan vaksin / meneteskan
vaksin sesuai dengan jadwal imunisasi yang akan diberikan.
8. Petugas melakukan KIE tentang efek samping pasca imunisasi kepada orang tua bayi
sasaran imunisasi.
9. Petugas memberikan obat antipiretik untuk imunisasi DPT, dijelaskan cara dan dosis
pemberian.
10. Petugas memberitahukan kepada orang tua bayi mengenai jadwal imunisasi
berikutnya.Petugas mencatat hasil imunisasi dalam Buku KIA / KMS dan Buku Catatan
Imunisasi serta rekapitulasi setiap akhir bulannya

Tabel 2. Kontra indikasi jenis vaksin (Wong, 2004)


Perkembangan Imunisasi di Indonesia
Kegiatan imunisasi di Indonesia di mulai di Pulau Jawa dengan vaksin cacar pada tahun
1956. Pada tahun 1972, Indonesia telah berhasil membasmi penyakit cacar. Pada tahun 1974,
Indonesia resmi dinyatakan bebas cacar oleh WHO, yang selanjutnya dikembangkan vaksinasi
lainnya. Pada tahun 1972 juga dilakukan studi pencegahan terhadap Tetanus Neonatorum dengan
memberikan suntikan Tetanus Toxoid (TT) pada wanita dewasa di Jawa Tengah dan Jawa
Timur, sehingga pada tahun 1975 vaksinasi TT sudah dapat dilaksanakan di seluruh Indonesia.
(Depkes RI,2005).

Program Imunisasi TT di Indonesia


Vaksin jerap TT ( Tetanus Toxoid ) adalah vaksin yang mengandung toxoid tetanus yang
telah dimurnikan dan terabsorbsi ke dalam 3 mg/ml aluminium fosfat. Thimerosal 0,1 mg/ml
digunakan sebagai pengawet. Satu dosis 0,5 ml vaksin mengandung potensi sedikitnya 40 IU.
Dipergunakan untuk mencegah tetanus pada bayi yang baru lahir dengan mengimunisasi Wanita
Usia Subur (WUS) atau ibu hamil, juga untuk pencegahan tetanus pada ibu bayi. (Depkes RI,
2005)

Sifat Vaksin
Vaksin TT termasuk vaksin yang sensitif terhadap beku (Freeze Sensitive=FS) yaitu
golongan vaksin yang akan rusak bila terpapar/terkena dengansuhu dingin atau suhu pembekuan.
(Depkes RI, 2005).

Jadwal Imunisasi TT ibu hamil


1. Bila ibu hamil sewaktu caten (calon pengantin) sudah mendapat TT sebanyak 2 kali, maka
kehamilan pertama cukup mendapat TT 1 kali, dicatat sebagai TT ulang dan pada kehamilan
berikutnya cukup mendapat TT 1 kali saja yang dicatat sebagai TT ulang juga.
2. Bila ibu hamil sewaktu caten (calon pengantin) atau hamil sebelumnya baru mendapat TT 1
kali, maka perlu diberi TT 2 kali selama kehamilan ini dan kehamilan berikutnya cukup
diberikan TT 1 kali sebagai TT ulang
3. Bila ibu hamil sudah pernah mendapat TT 2 kali pada kehamilan sebelumnya, cukup
mendapat TT 1 kali dan dicatat sebagai TT ulang.
Cara pemberian dan dosis
1. Sebelum digunakan, vaksin harus dikocok terlebih dahulu agar suspensi menjadi homogen.
2. Untuk mencegah tetanus/tetanus neonatal terdiri dari 2 dosis primer yang disuntikkan secara
intramuskular atau subkutan dalam, dengan dosis pemberian 0,5 ml dengan interval 4 minggu.
Dilanjutkan dengan dosis ketiga setelah 6 bulan berikutnya. Untuk mempertahankan
kekebalan terhadap tetanus pada wanita usia subur, maka dianjurkan diberikan 5 dosis. Dosis
ke empat dan ke lima diberikan dengan interval minimal 1 tahun setelah pemberian dosis ke
tiga dan ke empat. Imunisasi TT dapat diberikan secara aman selama masa kehamilan bahkan
pada periode trimester pertama.
3. Di unit pelayanan statis, vaksin TT yang telah dibuka hanya boleh digunakan selama 4
minggu dengan ketentuan :
Vaksin belum kadaluarsa
Vaksin disimpan dalam suhu +2 - +8C
Tidak pernah terendam air.
Sterilitasnya terjaga
VVM (Vaccine Vial Monitor) masih dalam kondisi A atau B.
4. Di posyandu, vaksin yang sudah terbuka tidak boleh digunakan lagi untuk hari berikutnya

Efek Samping
Efek samping jarang terjadi dan bersifat ringan, gejalanya seperti lemas dan kemerahan pada
lokasi suntikan yang bersifat sementara dan kadang-kadang gejala demam. (Depkes RI, 2005).

Kontraindikasi Vaksin TT
Ibu hamil atau WUS yang mempunyai gejala-gejala berat (pingsan) karena dosis pertama TT.
(Depkes RI, 2005).

Kerusakan Vaksin
Keterpaparan suhu yang tidak tepat pada vaksin TT menyebabkan umur vaksin menjadi
berkurang dan vaksin akan rusak bila terpapar /terkena sinar matahari langsung. (Depkes RI,
2005).
Perencanaan Program Vaksinansi
Pada program imunisasi menentukan jumlah sasaran merupakan suatu unsur yang paling penting.
Menghitung jumlah sasaran ibu hamil didasarkan 10 % lebih besar dari jumlah bayi. Perhitungan
ini dipakai untuk tingkat pusat, propinsi, kabupaten/kota, kecamatan dan desa.
Sasaran Imunisasi Ibu Hamil = 1,1 x Jumlah bayi

Menentukan Target Cakupan


Menentukan target cakupan adalah menetapkan berapa besar cakupan imunisasi yang
akan dicapai pada tahun yang direncanakan untuk mengetahui kebutuhan vaksin yang
sebenarnya. Penetapan target cakupan berdasarkan tingkat pencapaian di masing-masing wilayah
kerja maksimal 100 %.
Target Cakupan Imunisasi Ibu Hamil yang akan dicapai :
TT 1 Ibu hamil = 90% TT2 + (Plus TT3+TT4+TT5)=80%

Menghitung Indeks Pemakaian Vaksin (IP)


Menghitung indeks pemakaian vaksin berdasarkan jumlah cakupan imunisasi yang
dicapai secara absolut dan berapa banyak vaksin yang digunakan.Dari pencatatan stok vaksin
setiap bulan diperoleh jumlah ampul/vial vaksin yang digunakan. Untuk mengetahui berapa rata-
rata jumlah dosis diberikan untuk setiap ampul/vial, yang disebut Indeks Pemakaian Vaksin (IP)
dapat dihitung :
Jumlah suntikan (cakupan) yang dicapai tahun lalu
IP Vaksin = -----------------------------------------------------------------------------
Jumlah vaksin yang terpakai tahun lalu

Menghitung Kebutuhan Vaksin


1. Setelah menghitung jumlah sasaran imunisasi, menentukan target cakupan dan menghitung
besarnya indeks pemakaian vaksin, maka data-data tersebut digunakan unuk menghitung
kebutuhan vaksin.
2. Puskesmas mengirimkan rencana kebutuhan vaksin ke kabupaten/kota.(Depkes RI, 2005).
Sebelum menghitung jumlah vaksin yang kita perlukan, terlebih dahulu dihitung jumlah
kontak tiap jenis Rumusnya :

Jumlah Kontak = Jumlah sasaran x Target cakupan

Untuk menghindari penumpukan vaksin, jumlah kebutuhan vaksin satu tahun harus dikurangi
sisa vaksin tahun lalu. Rumus Kebutuhan Vaksin ;
Jumlah kontak
Kebutuhan Vaksin =--------------------- =....ampul/vial
IP

4. Memahami dan Menjelaskan Aspek Sosial dan Budaya Masyarakat dalam Mengakses
Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan di Puskesmas
Menurut W. J. S. Poerwadarminta, dalam kamus bahasa Indonesia miliknya, sosial
dimaknai sebagai segala sesuatu yang berhubungan dengan masyarakat atau kemasyarakatan;
suka memperhatikan kepentingan umum. Sedangkan budaya berasal dari kata Sans atau Bodhya
yang bermakna pikiran dan akal budi, budaya diartikan sebagai segala hal yang dibuat oleh
manusia berdasarkan pikiran dan akal budinya yang mengandung cinta, rasa, dan karsa. Jadi,
dapat disimpulkan dari segi istilah, sosial budaya merupakan segala hal yang diciptakan oleh
manusia dengan pikiran dan budinya dalam kehidupan bermasyarakat.

Faktor Sosial dalam Penggunaan Pelayanan Kesehatan


a. Cenderung lebih tinggi pada kelompok orang muda dan orang tua
b. Cenderung lebih tinggi pada orang yang berpenghasilan tinggi dan berpendidikan tinggi
a. Cenderung lebih tinggi pada kelompok Yahudi dibandingkan dengan penganut agama lain.
b. Persepsi sangat erat hubungannya dengan penggunaan pelayanan kesehatan.

Faktor Budaya dalam Penggunaan Pelayanan Kesehatan


Faktor kebudayaan yang mempengaruhi penggunaan pelayanan kesehatan diantaranya adalah:
a. Rendah penggunaan pelayanan kesehatan pada suku bangsa terpencil.
b. Ikatan keluarga yang kuat lebih banyak menggunakan fasilitas pelayanan kesehatan.
c. Meminta nasehat dari keluarga dan teman-teman.
d. Pengetahuan tentang sakit dan penyakit. Dengan asumsi jika pengetahuan tentang sakit
meningkat maka penggunaan pelayanan kesehatan juga meningkat.
e. Sikap dan kepercayaan masyarakat terhadap provider sebagai pemberi pelayanan kesehatan.

Prinsip pendidikan kesehatan masyarakat


Pendidikan kesehatan bukan hanya pelajaran di kelas tetapi merupakan kumpulan
pengalaman dimana saja dan kapan saja sepanjang dapat mempengaruhi pengetahuan
sikap dan kebiasaan sasaran pendidikan
Pendidikan kesehatan tidak dapat secara mudah diberikan oleh seseorang kepada orang
lain karena pada akhirnya sasaran pendidikan itu sendiri yang dapat mengubah kebiasaan
dan tingkah lakunya sendiri.
Bahwa yang harus dilakukan oleh pendidik adalah menciptakan sasaran agar individu
keluarga, kelompok dan masyarakat dapat mengubah sikap dan tingkah lakunya sendiri.
Penddikan kesehatan dikatakan berhasil bila sasaran pendidikan ( individu),keluarga,
kelompok, dan masyarakat) sudah mengubah sikap dan tingkah lakunya sesuai dengan
tujuan yang telah ditetapkan.

Pengaruh sosial budaya terhadap kesehatan masyarakat


Tantangan berat yang masih dirasakan dalam pembangunan kesehatan di Indonesia
adalahsebagai berikut.
1. Jumlah penduduk yang besar dengan pertumbuhan yang cukup tinggi serta penyebaran
penduduk yang tidak merata di seluruh wilayah.
2. Tingkat pengetahuan masyarakat yang belum memadai terutama pada golongan wanita.
3. Kebiasaan negatif yang berlaku di masyarakat, adat istiadat, dan perilaku yang kurang
menunjang dalam bidang kesehatan.

Kurangnya peran serta masyarakat dalam pembangunan bidang kesehatan.Aspek sosial budaya
yang berhubungan dengan kesehatanAspek soaial budaya yang berhubungan dengan kesehatan
anatara lain adalah faktorkemiskinan, masalah kependudukan, masalah lingkungan hidup,
pelacuran dan homoseksual.
Ruang Lingkup Pendidikan kesehatan masyarakat
Dimensi sasaran
Pendidikan kesehatan individu dengan sasaran individu
Pendidikan kesehatan kelompok dengan sasaran kelompok masyarakat tertentu
Pendidikan kesehatan masyarakat dengan sasaran masyarakat luas
Dimensi tempat pelaksanaan
Pendidikan kesehatan dirumah sakit dengan sasaran pasien dan keluarga
Pendidikan kesehatan di sekolah dengan sasaran pelajar
Pendidikan kesehatan di masyarakat atau tempat kerja dengan sasaran masyarakat atau pekerja
Dimensi tingkat pelayanan kesehhatan
Pendidikan kesehatan promosi kesehatan ( health promotion) missal ; Peningkatan gizi,
perbaikan sanitasi lingkungan , gaya hidup dan sebagainya
Pendidikan kesehatan untuk perlindungan khusus ( specific Protection) missal : imunisasi
Pendidikan kesehatan untuk diagnosis dini dan pengobatan tepat (early diagnostic and promt
treatment ) missal : dengan pengobatan layak dan sempurna dapat menghindari dari resiko
kecacatan
Pendidikan kesehatan untuk rehabilitasi missal : dengan memulihkan kondisi cacat melalui
latihan latihan tertentu

5. Memahami dan Menjelaskan Sistem Rujukan


Di negara Indonesia sistem rujukan telah dirumuskan dalam SK. Menteri Kesehatan RI
No.32 tahun 1972, yaitu suatu sistem penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang melaksanakan
pelimpahan tanggung jawab timbal balik terhadap satu kasus penyakit atau masalah kesehatan
secara vertikal dalam arti dari unit yang berkemampuan kurang kepada unit yang lebih mampu
atau secara horizontal dalam arti antara unit-unit yang setingkat kemampuannya. Macam rujukan
yang berlaku di negara Indonesia telah ditentukan atas dua macam dalam Sistem Kesehatan
Nasional, yaitu:
1. Rujukan kesehatan
Rujukan kesehatan pada dasarnya berlaku untuk pelayanan kesehatan masyarakat (public
health services). Rujukan ini dikaitkan dengan upaya pencegahan penyakit dan peningkatan
derajat kesehatan. Macamnya ada tiga, yaitu: rujukan teknologi, rujukan sarana, dan rujukan
operasional.
2. Rujukan medis
Pada dasarnya berlaku untuk pelayanan kedokteran (medical services). Rujukan ini terutama
dikaitkan dengan upaya penyembuhan penyakit. Macamnya ada tiga, yaitu: rujukan
penderita, rujukan pengetahuan, rujukan bahan-bahan pemeriksaan.

Tujuan Depkes
Meningkatkan derajat kesehatan masyarakat serta meningkatkan mutu pelayanan
kesehatan masyarakat melalui peningkatan dan mekanisme rujukan berjenjang antar puskesmas
dengan RS Dati II, RS Dati I dan RS tingkat pusat dan labkes dalam suatu system rujukan,
sehingga dapat mendukung upaya mengurangi kematian ibu hamil dan melahirkan dan angka
kematian bayi.

Tugas Sistem Rujukan


Memeratakan pelayanan kesehatan melalui system jaringan pelayanan kesehatan mulai dari Dati
II sampai pusat karena keterbatasan sumber daya daerah yang seyogyanya bertanggung jawab
atas penyelenggaraan pelayanan kesehatan bagi masyarakat di wilayahnya

Syarat Rujukan
Adanya unit yang mempunyai tanggung jawab baik yang merujuk maupun yang menerima
rujukan .
Adanya pencatatan tertentu :
- Surat rujukan
- Kartu Sehat bagi klien yang tidak mampu
- Pencatatan yang tepat dan benar
- Kartu monitoring rujukan ibu bersalin dan bayi (KMRIBB)
Adanya pengertian timbal balik antar yang merujuk dan yang menerima rujukan
Adanya pengertian tugas tentang system rujuikan
Sifat rujukan horizontal dan vertical (kearah yang lebih mampu dan lengkap).

Jenis Rujukan
o Rujukan medis
- Rujukan pasien
- Rujukan pengetahuan
- Rujukan laboratorium atau bahan pemeriksaan
o Rujukan kesehatan
- Rujukan ilmu pengetahuan, teknologi dan keterampilan, misalnya : pengiriman dokter
ahli terutama ahli bedah, kebidanan dan kandungan, penyakit dalam dan dokter anak dari
RSU Provinsi ke RSU Kabupaten.
- Pengiriman asisten ahli senior ke RS Kabupaten yang belum ada dokter ahli dalam jangka
waktu tertentu.
- Pengiriman tenaga kesehatan dari puskesmas RSU Kabupaten ke RS Provinsi.
- Alih pengetahuan dan keterampilan di bidang klinik, manajemen dan pengoperasian
peralatan.
o Rujukan manajemen
- Pengiriman informasi
- Obat, biaya, tenaga, peralatan
- Permintaan bantuan : survei epidemiologi, mengatasi wabah (KLB)

Manfaat sistem rujukan, ditinjau dari unsur pembentuk pelayanan kesehatan:


1. Dari sudut pemerintah sebagai penentu kebijakan (policy maker)
a. Membantu penghematan dana, karena tidak perlu menyediakan berbagai macam peralatan
kedokteran pada setiap sarana kesehatan.
b. Memperjelas sistem pelayanan kesehatan, karena terdapat hubungan kerja antara berbagai
sarana kesehatan yang tersedia.
c. Memudahkan pekerjaan administrasi, terutama pada aspek perencanaan.
2. Dari sudut masyarakat sebagai pengguna jasa pelayanan (health consumer)
a. Meringankan biaya pengobatan, karena dapat dihindari pemeriksaan yang sama secara
berulang-ulang.
b. Mempermudah masyarakat dalam mendapatkan pelayanan, karena telah diketahui dengan
jelas fungsi dan wewenang setiap sarana pelayanan kesehatan.
3. Dari sudut kalangan kesehatan sebagai penyelenggara pelayanan keseahatan (health
provider)
a. Memperjelas jenjang karier tenaga kesehatan dengan berbagai akibat positif lainnya seperti
semangat kerja, ketekunan, dan dedikasi.
b. Membantu peningkatan pengetahuan dan ketrampilan, yaitu: kerja sama yang terjalin.
c. Memudahkan atau meringankan beban tugas, karena setiap sarana kesehatan mempunyai
tugas dan kewajiban tertentu.
LI 6. Memahami dan Menjelaskan Konsep KLB, Hukum Menjaga Kesehatan dan Berobat
Dalam Kesehatan

Thaun disadari sebagai wabah yang menggelisahkan masyarakat Rasulullah saw ketika
itu. Jika suatu wabah berjangkit dalam suatu wilayah, maka kebijakan Nabi adalah melakukan
isolasi, yaitu orang luar tidak boleh masuk ke wilayah epidemi dan sebaliknya orang yang berada
di wilayah itu tidak boleh keluar ke daerah lain. Demikian sabda Nabi Muhammad saw.:
( )

Artinya;

Jika kamu mendengar tentang thaun di suatu tempat, maka janganlah kamu memasukinya
(tempat itu). Apa bila kamu (terlanjur) berada di tempat yang terkena wabah itu, maka janganlah
kamu keluar darinya (tempat itu) (H.R. at-Turmuzi dari Said).
Pernah di suatu saat daerah luar Madinah terjangkit wabah thaun (pes, sampar, atau
penyakit sejenisnya) dan al-masih (sejenis kuman yang mengelupaskan kulit mungkin seperti
wabah gudik, bengkoyok, atau secara umum penyakit kulit). Rasulullah melarang siapa pun yang
terkena kedua jenis penyakit itu (thaun dan al-masih) masuk ke kota Madinah. Demikian sabda
Nabi: . . . la yadkhulu al-Madinata al-masihu wala ath-thaun ( . . . Tidak boleh masuk ke
Madinah bagi yang terjangkit oleh al-masih dan thaun H.R.al-Bukhari dari Abu Hurairah)

Thaun Sebagai Kotoran (ar-Rijsu) Sekaligus Rahmat


Dalam hadis yang panjang, Rasulullah mengatakan: . ath-thaun rijsun .. (. . .thaun itu
adalah kotoran . . . H.R. al-Bukhari dari Usamah bin Zaid) dan berfungsi sebagai siksa atau
penyakit (azab). Beliau bersabda:
- -
( )

Artinya:

. . . Bahwa ada suatu azab yang Allah mengutusnya (untuk) menimpa kepada seseorang yang Ia
kehendakinya. Allah menjadikannya sebagai rahmat bagi orang-orang mukmin. Tidaklah bagi
seseorang yang tertimpa thaun kemudian ia berdiam diri di wilayahnya itu dengan sabar dan ia
menyadari bahwa thaun itu tidak akan menimpa kecuali telah ditetapkan Allah, kecuali ia
memperoleh pahala bagaikan orang mati syahid (H.R. al-Bukhari dari Aisyah).
Dalam hadis tersebut dijelaskan bahawa (l) penduduk yang wilayahnya terkena wabah
dan tidak boleh keluar dari wilayah itu supaya mereka bersabar. Penyakit itu tidak akan menular
kepada orang kecuali atas kehendak Allah. Pahala orang yang sabar (tidak keluar dari
wilayahnya) memperoleh pahala sepadan orang mati syahid, (2) Perwujudan rahmat dalam kasus
ini adalah bersabar. Orang sabar berada dalam lindungan Allah (inna-llaha maa ash-shabirin)

Pemerintahan Umar dan Wabah Thaun


Pada waktu pemerintahan Umar bin Khatab terjadi wabah di Syam (sekarang Suriah).
Pada saat itu sedang terjadi peperangan antara pasukan Islam melawan pasukan Byzantium di
Suriah. Kasus ini (wabah) didiskusikan berulang-ulang dengan para pemimpin negara maupun
para ulama. Kesimpulan akhir dari diskusi itu adalah: (1) Para prajurit yang belum berangkat ke
Syam supaya diurungkan tidak jadi berangkat ke medan perang, (2) Bagi yang sudah berada di
medang perang (di Syam) tidak boleh mundur atau kembali ke Madinah, (3) Dasar kesimpulan
ini adalah menghindari takdir (tertular wabah) dan mencari takldir (keselamatan dengan
menjauh dari wabah H.R. al-Bukhari,VII [t.th.]:20-21).

Kesimpulan

Dari berbagai kasus wabah yang menimpa pada zaman Islam generasi pertama ini dapat
disimpulkan bahwa: (l) thaun cukup menggelisahkan masyarakat generasi pertama Islam, (2)
mereka berusaha supaya wabah tidak menjalar ke daerah lain secara luas. Kata kunci untuk
usaha ini adalah lari dari takdir lama kemudian mencari takdir baru.

7.Hukum Menjaga Kesehatan dan Berobat

Anjuran Menjaga Kesehatan

Sudah menjadi semacam kesepakatan, bahwa menjaga agar tetap sehat dan tidak terkena
penyakit adalah lebih baik daripada mengobati, untuk itu sejak dini diupayakan agar orang tetap
sehat. Menjaga kesehatan sewaktu sehat adalah lebih baik daripada meminum obat saat sakit.
Dalam kaidah ushuliyyat dinyatakan:

Dari Ibn Abbas, ia berkata, aku pernah datang menghadap Rasulullah SAW, saya bertanya: Ya
Rasulullah ajarkan kepadaku sesuatu doa yang akan akan baca dalam doaku, Nabi menjawab:
Mintalah kepada Allah ampunan dan kesehatan, kemudian aku menghadap lagipada kesempatan
yang lain saya bertanya: Ya Rasulullah ajarkan kepadaku sesuatu doa yang akan akan baca
dalam doaku. Nabi menjawab: Wahai Abbas, wahai paman Rasulullah saw mintalah kesehatan
kepada Allah, di dunia dan akhirat. (HR Ahmad, al-Tumudzi, dan al-Bazzar)

Berbagai upaya yang mesti dilakukan agar orang tetap sehat menurut para pakar kesehatan,
antara lain, dengan mengonsumsi gizi yang yang cukup, olahraga cukup, jiwa tenang, serta
menjauhkan diri dari berbagai pengaruh yang dapat menjadikannya terjangkit penyakit. Hal-hal
tersebut semuanya ada dalam ajaran Islam, bersumber dari hadits-hadits shahih maupun ayat al-
Quran.

Nilai Sehat dalam Ajaran Islam

Dengan merujuk konsep sehat yang dewasa ini dipaharm. berdasarkan rumusan WHO yaitu:
Health is a state of complete physical, mental and social-being, not merely the absence q; disease
on infirmity (Sehat adalah suatu keadaan j^sm rohaniah, dan sosia] yang baik, tidak hanyatidak
bt.*)-esiyal cacat). Dadang Ha\v?ri melaporkan, bahwa s^aK ^hunsehingga rnonjadi -eliat

Menurut penelitian Ali Munis, dokter spesialis internal Fakultas Kedokteran Universitas Ain
Syams Cairo, menunjukan bahwa ilmu kedokteran modern menemukan kecocokan terhadap
yang disyariatkan Nabi dalam praktek pcngobatan yang berhubungan dengan spesialisasinya.

Sebagaiman disepakati oleh para ulama bahwa di balik pengsyariatan segala sesuatu termasuk
ibadah dalam Islam terdapat hikrnah dan manfaat phisik (badaniah) dan psikis (kejiwaan). Pada
saat orang-orang Islam menunaikan kewajiban-kewajiban keagamannya, berbagai penyakit lahir
dan batin terjaga.

Kesehatan Jasmani

Ajaran Islam sangat menekankan kesehatan jasmani. Agar tetap sehat, hal yang perlu
diperhatikan dan dijaga, menurut sementara ulama, disebutkan, ada sepuluh hal, yaitu: dalam hal
makan, minum, gerak, diam, tidur, terjaga, hubungan seksual, keinginan-keinginan nafsu,
keadaan kejiwaan, dan mengatur anggota badan.

Pertama; Mengatur Pola Makan dan Minum

Dalam ilmu kesehatan atau gizi disebutkan, makanan adalah unsur terpenting untuk menjaga
kesehatan. Kalangan ahli kedokteran Islam menyebutkan, makan yang halalan dan thayyiban.
Al-Quran berpesan agar manusia memperhatikan yang dimakannya, seperti ditegaskan dalam
ayat: maka hendaklah manusia itu memperhatikan makanannya.(QS. Abasa 80 : 24 )

Dalam 27 kali pembicaraan tentang perintah makan, al-Quran selalu menekankan dua sifat, yang
halal dan thayyib, di antaranya dalam (Q., s. al-Baqarat (2)1168; al-Maidat (s):88; al-Anfal
(8):&9; al-Nahl (16) : 1 14),
Kedua; Keseimbangan Beraktivitas dan Istirahat

Perhatian Islam terhadap masalah kesehatan dimulai sejak bayi, di mana Islam menekankan bagi
ibu agar menyusui anaknya, di samping merupakan fitrah juga mengandung nilai kesehatan.
Banyak ayat dalam al-Quran menganjurkan hal tersebut.

Al-Quran melarang melakukan sesuatu yang dapat merusak badan. Para pakar di bidang medis
memberikan contoh seperti merokok. Alasannya, termasuk dalam larangan membinasakan diri
dan mubadzir dan akibatyang ditimbulkan, bau, mengganggu orang lain dan lingkungan.

Islam juga memberikan hak badan, sesuai dengan fungsi dan daya tahannya, sesuai anjuran Nabi:
Bahwa badanmu mempunyai hak

Islam menekankan keteraturan mengatur ritme hidup dengan cara tidur cukup, istirahat cukup, di
samping hak-haknya kepada Tuhan melalui ibadah. Islam memberi tuntunan agar mengatur
waktu untuk istirahat bagi jasmani. Keteraturan tidur dan berjaga diatur secara proporsional,
masing-masing anggota tubuh memiliki hak yang mesti dipenuhi.

Di sisi lain, Islam melarang membebani badan melebihi batas kemampuannya, seperti
melakukan begadang sepanjang malam, melaparkan perut berkepanjangan sekalipun maksudnya
untuk beribadah, seperti tampak pada tekad sekelompok Sahabat Nabi yang ingin terus menerus
shalat malam dengan tidak tidur, sebagian hendak berpuasa terus menerus sepanjang tahun, dan
yang lain tidak mau menggauli istrinya, sebagaimana disebutkan dalam hadits:

Nabi pernah berkata kepadaku: Hai hamba Allah, bukankah aku memberitakan bahwa kamu
puasa di szam? hari dan qiyamul laildimalam hari, maka aku katakan, benarya Rasulullah, Nabi
menjawab: Jangan lalukan itu, berpuasa dan berbukalah, bangun malam dan tidurlah, sebab, pada
badanmu ada hak dan pada lambungmujuga ada hak (HR Bukhari dan Muslim).

Ketiga; Olahraga sebagai Upaya Menjaga Kesehatan

Aktivitas terpenting untuk menjaga kesehatan dalam ilmu kesehatan adalah melalui kegiatan
berolahraga. Kata olahraga atau sport (bahasa Inggris) berasal dari bahasa Latin Disportorea atau
deportore, dalam bahasa Itali disebut deporte yang berarti penyenangan, pemeliharaan atau
menghibur untuk bergembira. Olahraga atau sport dirumuskan sebagai kesibukan manusia untuk
menggembirakan diri sambil memelihara jasmaniah.

Tujuan utama olahraga adalah untuk mempertinggi kesehatan yang positif, daya tahan, tenaga
otot, keseimbangan emosional, efisiensi dari fungsi-rungsi alat tubuh, dan daya ekspresif serta
daya kreatif. Dengan melakukan olahraga secara bertahap, teratur, dan cukup akan meningkatkan
dan memperbaiki kesegaran jasmani, menguatkan dan menyehatkan tubuh. Dengan kesegaran
jasmani seseorang akan mampu beraktivitas dengan baik.
Dalam pandangan ulama fikih, olahraga (Bahasa Arab: al-Riyadhat) termasuk bidang ijtihadiyat.
Secara umum hokum melakukannya adalah mubah, bahkan bisa bernilai ibadah, jika diniati
ibadah atau agar mampu melakukannya melakukan ibadah dengan sempurna dan
pelaksanaannyatidakbertentangan dengan norma Islami.

Sumber ajaran Islam tidak mengatur secara rinci masalah yang berhubungan dengan berolahraga,
karena termasuk masalah duniawi atau ijtihadiyat, maka bentuk, teknik, dan peraturannya
diserahkan sepenuhnya kepada manusia atau ahlinya. Islam hanya memberikan prinsip dan
landasan umum yang harus dipatuhi dalam kegiatan berolahraga.

Nash al-Quran yang dijadikan sebagai pedoman perlunya berolahraga, dalam konteks perintah
jihad agar mempersiapkan kekuatan untuk menghadapi kemungkinan serangan musuh, yaitu
ayat:

Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari
kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan
musuh Allah, musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang
Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu najkahkanpadajalan Allah niscaya akan dibalas
dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan). (QS.Al-Anfal :6o):

Nabi menafsirkan kata kekuatan (al-Quwwah) yang dimaksud dalam ayat ini adalah memanah.
Nabi pernah menyampaikannya dari atas mimbar disebutkan 3 kali, sebagaimana dinyatakan
dalam satu hadits:

Nabi berkata: Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sang
gupi Ingatlah kekuatan itu adalah memanah, Ingatlah kekuatan itu adalah memanah, Ingatlah
kekuatan itu adalah memanah, (HR Muslim, al-Turmudzi, Abu Dawud, Ibn Majah, Ahmad, dan
al-Darimi)

Keempat; Anjuran Menjaga Kebersihan

Ajaran Islam sangat memperhatikan masalah kebersihan yang merupakan salah satu aspek
penting dalam ilmu kedokteran. Dalam terminologi Islam, masalah yang berhubungan dengan
kebersihan disebut dengan al-Thaharat. Dari sisi pandang kebersihan dan kesehatan, al-thaharat
merupakan salah satu bentuk upaya preventif, berguna untuk menghindari penyebaran berbagai
jenis kuman dan bakteri.

Imam al-Suyuthi, Abd al-Hamid al-Qudhat, dan ulama yang lain menyatakan, dalam Islam
menjaga kesucian dan kebersihan termasuk bagian ibadah sebagai bentuk qurbat, bagian dari
taabbudi, merupakan kewajiban, sebagai kunci ibadah, Nabi bersabda: Dari Ali ra., dari Nabi
saw, beliau berkata: Kunci shalat adalah bersuci (HR Ibnu Majah, al-Turmudzi, Ahmad, dan
al-Darimi)

Berbagai ritual Islam mengharuskan seseorang melakukan thaharat dari najis, mutanajjis, dan
hadats. Demikian pentingnya kedudukan menjaga kesucian dalam Islam, sehingga dalam buku-
buku fikih dan sebagian besar buku hadits selalu dimulai dengan mengupas masalah thaharat,
dan dapat dinyatakan bahwa fikih pertama yang dipelajari umat Islam adalah masalah kesucian.

Abd al-Munim Qandil dalam bukunya al-Tadaivi bi al-Quran seperti halnya kebanyakan ulama
membagi thaharat menjadi dua, yaitu lahiriah dan rohani. Kesucian lahiriah meliputi kebersihan
badan, pakaian, tempat tinggal, jalan dan segala sesuatu yang dipergunakan manusia dalam
urusan kehidupan. Sedangkan kesucian rohani meliputi kebersihan hati, jiwa, akidah, akhlak, dan
pikiran.

HUKUM BEROBAT

Para ulama berselisih pendapat mengenai hukum berobat. Menurut jumhur atau mayoritas ulama,
berobat tidaklah wajib. Sebagian ulama berpendapat wajibnya jika khawatir tidak berobat, malah
diri seseorang binasa.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, Berobat tidaklah wajib menurut mayoritas
ulama. Yang mewajibkannya hanyalah segelintir ulama saja sebagaimana yang berpendapat
demikian adalah sebagian ulama Syafii dan Hambali. Para ulama pun berselisih pendapat
manakah yang lebih utama, berobat ataukah sabar. Karena hadits shahih yang menerangkan hal
ini dari Ibnu Abbas, tentang budak wanita yang sabar terkena penyakit ayan. (Majmu Al
Fatawa, 24: 268)

Ibnu Taimiyah melanjutkan, Sekelompok sahabat Nabi dan tabiin tidak mengambil pilihan
untuk berobat. Ada sahabat seperti Ubay bin Kaab dan Abu Dzar tidak mau berobat, lantas
sahabat lainnya tidak mengingkarinya. (Idem)

Mengenai Hadits Orang yang Masuk Surga Tanpa Hisab

Ibnu Rajab Al Hambali rahimahullah menjelaskan, Para ulama berselisih pendapat manakah
yang lebih utama, apakah berobat atau meninggalkan berobat lantas lebih memilih untuk
bertawakkal pada Allah? Ada dua pendapat dalam masalah ini. Yang nampak dari pendapat
Imam Ahmad adalah lebih afdhol untuk bertawakkal bagi yang kuat. Karena Nabi shallallahu
alaihi wa sallam pernah membicarakan ada 70.000 orang dari umatku akan masuk surga tanpa
hisab. Kemudian beliau bersabda,






Mereka itu adalah orang yang tidak beranggapan sial (tathoyyur), tidak meminta diruqyah,
tidak meminta dikay (disembuhkan luka dengan besi panas) dan kepada Allah, mereka
bertawakkal.

Sedangkan ulama yang lebih memilih pendapat berobat itu lebih utama beralasan dengan
keadaan Nabi shallallahu alaihi wa sallam untuk berobat. Yang Nabi shallallahu alaihi wa
sallam lakukan tentu suatu hal yang afdhol (utama). Sedangkan mengenai hadits ruqyah yang
dikatakan makruh adalah bagi yang dikhawatirkan terjerumus dalam kesyirikan (karena
tergantung hatinya pada ruqyah, bukan pada Allah Yang Maha Menyembuhkan, -pen). Dipahami
demikian karena meminta ruqyah tadi dikaitkan dengan meminta dikay dan beranggapan sial,
yang semuanya dihukumi terlarang. (Jaamiul Ulum wal Hikam, 2: 500-501).

Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah berkata, Tidak termasuk tercela jika
seseorang memilih berobat ke dokter. Karena Nabi shallallahu alaihi wa sallam tidak
mengatakan (mengenai 70.000 orang yang masuk surga tanpa siksa, -pen), Mereka tidaklah
berobat. Namun yang beliau katakan adalah, Mereka tidak meminta dikay dan tidak meminta
diruqyah. Masalahnya jika pasien terlalu menggantungkan hatinya pada dokter. Yang jadi
problema adalah bila harapan dan rasa khawatirnya hanyalah pada dokter. Inilah yang
mengurangi tawakkalnya. Oleh karenanya, patut diingatkan bahwa setiap orang yang pergi
berobat ke dokter, hendaklah ia yakini bahwa berobat hanyalah sebab sedangkan yang
mendatangkan kesembuhan adalah Allah. Atas kuasa Allah, kesembuhan itu datang. Inilah yang
harus jadi prinsip seorang muslim sehingga tidak kurang tawakkalnya pada Allah. (Fatwa Nur
alad Darb, 3: 213)

Mengenai Hadits Wanita yang Terkena Penyakit Ayan

Mengenai hadits yang telah disinggung di atas yaitu tentang wanita yang terkena penyakit ayan,


.





.








. .

Dari Atho bin Abi Robaah, ia berkata bahwa Ibnu Abbas berkata padanya, Maukah
kutunjukkan wanita yang termasuk penduduk surga? Atho menjawab, Iya mau. Ibnu Abbas
berkata, Wanita yang berkulit hitam ini, ia pernah mendatangi Nabi shallallahu alaihi wa
sallam, lantas ia pun berkata, Aku menderita penyakit ayan dan auratku sering terbuka
karenanya. Berdoalah pada Allah untukku. Nabi shallallahu alaihi wa sallam pun bersabda,
Jika mau sabar, bagimu surga. Jika engkau mau, aku akan berdoa pada Allah supaya
menyembuhkanmu. Wanita itu pun berkata, Aku memilih bersabar. Lalu ia berkata pula,
Auratku biasa tersingkap (kala aku terkena ayan). Berdoalah pada Allah supaya auratku tidak
terbuka. Nabi shallallahu alaihi wa sallam pun berdoa pada Allah untuk wanita tersebut.
(HR. Bukhari no. 5652 dan Muslim no. 2576). Baca penjelasan hadits ini di
Rumaysho.Com: Jika Bersabar, Bagimu Surga.
Hadits di atas hanyalah menunjukkan bahwa boleh meninggalkan berobat dalam kondisi seperti
yang wanita itu alami yaitu saat ia masih kuat menahan penyakitnya. (Lihat Fatwa Syaikh Sholeh
Al Munajjid no. 81973)

Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menjelaskan, Hadits tersebut menjelaskan keutamaan orang
yang bersabar ketika tertimpa penyakit ayan. Juga terkandung pelajaran bahwa orang yang
bersabar terhadap cobaan dunia, maka itu memudahkannya mendapatkan surga. Orang yang
menahan rasa sakit yang berat lebih utama daripada orang yang
mengambil rukhsoh (keringanan), dengan catatan ini bagi yang mampu menahan. Hadits ini juga
menunjukkan boleh memilih tidak berobat. Juga hadits ini menunjukkan bahwa berobat dari
setiap penyakit dengan doa dan menyandarkan diri pada Allah lebih manfaat daripada
mengonsumsi berbagai macam obat. Pengaruh doa dan tawakkal pada badan lebih besar
daripada pengaruh berbagai macam obat pada badan. Namun doa tersebut bisa manfaat jika: (1)
pasien yang diobati punya niat yang benar, (2) orang yang memberi obat, hatinya bertakwa dan
benar-benar bertawakkal pada Allah. Wallahu alam. (Fathul Bari, 10: 115).

Hukum Berobat

Majma Al Fiqh Al Islami berpendapat wajibnya berobat bagi orang yang jika meninggalkan
berobat bisa jadi membinasakan diri, anggota badan atau dirinya jadi lemah, juga bagi orang
yang penyakitnya bisa berpindah bahayanya pada orang lain. (Dinukil dari Fatwa Syaikh Sholeh
Al Munajjid no. 81973)

Rincian paling baik tentang masalah hukum berobat disampaikan oleh Syaikh Sholih Al
Munajjid,

1- Berobat jadi wajib jika tidak berobat dapat membinasakan diri orang yang sakit.

2- Berobat disunnahkan jika tidak berobat dapat melemahkan badan, namun keadaannya tidak
seperti yang pertama.

3- Berobat dihukumi mubah (boleh) jika tidak menimpa pada dirinya dua keadaan pertama.

4- Berobat dihukumi makruh jika malah dengan berobat mendapatkan penyakit yang lebih parah.
(Lihat Fatawa Syaikh Sholih Al Munajjid no. 2148)

1. Menjadi wajib dalam beberapa kondisi:


a. Jika penyakit tersebut diduga kuat mengakibatkan kematian, maka menyelamatkan jiwa
adalah wajib.
b. Jika penyakit itu menjadikan penderitanya meninggalkan perkara wajib padahal dia
mampu berobat, dan diduga kuat penyakitnya bisa sembuh, berobat semacam ini adalah
untuk perkara wajib, sehingga dihukumi wajib.
c. Jika penyakit itu menular kepada yang lain, mengobati penyakit menular adalah wajib
untuk mewujudkan kemaslahatan bersama.
d. Jika penyakit diduga kuat mengakibatkan kelumpuhan total, atau memperburuk
penderitanya, dan tidak akan sembuh jika dibiarkan, lalu mudhorot yang timbul lebih
banyak daripada maslahatnya seperti berakibat tidak bisa mencari nafkah untuk diri dan
keluarga, atau membebani orang lain dalam perawatan dan biayanya, maka dia wajib
berobat untuk kemaslahatan diri dan orang lain.

2. Berobat menjadi sunnah/ mustahab

Jika tidak berobat berakibat lemahnya badan tetapi tidak sampai membahayakan diri dan orang
lain, tidak membebani orang lain, tidak mematikan, dan tidak menular , maka berobat menjadi
sunnah baginya.

3. Berobat menjadi mubah/ boleh

Jika sakitnya tergolong ringan, tidak melemahkan badan dan tidak berakibat seperti kondisi
hukum wajib dan sunnah untuk berobat, maka boleh baginya berobat atau tidak berobat

4. Berobat menjadi makruh dalam beberapa kondisi

a. Jika penyakitnya termasuk yang sulit disembuhkan, sedangkan obat yang digunakan
diduga kuat tidak bermanfaat, maka lebih baik tidak berobat karena hal itu diduga kuat
akan berbuat sis- sia dan membuang harta.
b. Jika seorang bersabar dengan penyakit yang diderita, mengharap balasan surga dari ujian
ini, maka lebih utama tidak berobat, dan para ulama membawa hadits Ibnu Abbas dalam
kisah seorang wanita yang bersabar atas penyakitnya kepada masalah ini.
c. Jika seorang fajir/rusak, dan selalu dholim menjadi sadar dengan penyakit yang diderita,
tetapi jika sembuh ia akan kembali menjadi rusak, maka saat itu lebih baik tidak berobat.
d. Seorang yang telah jatuh kepada perbuatan maksiyat, lalu ditimpa suatu penyakit, dan
dengan penyakit itu dia berharap kepada Alloh mengampuni dosanya dengan sebab
kesabarannya.

Dan semua kondisi ini disyaratkan jika penyakitnya tidak mengantarkan kepada kebinasaan, jika
mengantarkan kepada kebinasaan dan dia mampu berobat, maka berobat menjadi wajib.

5. Berobat menjadi haram


Jika berobat dengan sesuatu yang haram atau cara yang haram maka hukumnya haram, seperti
berobat dengan khomer/minuman keras, atau sesuatu yang haram lainnya.

KLB menurut Islam

Dan apa saja musibah yang menimpa kamu, maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu
sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu). (Q.s. As-Syura: 30)

Dalam sudut pandang wahyu Allah terakhir, musibah dan bencana ada kaitannya dengan dosa
atau maksiat yang dilakukan oleh manusia-manusia pendurhaka.Bencana alam berupa letusan
gunung api, banjir bandang, wabah penyakit, kekeringan, kelaparan, kebakaran, dan lain
sebagainya, dalam pandangan alam Islam (Islamic worldview), tidaklah sekedar fenomena alam.
Al-Quran menyatakan dengan lugas bahwa segala kerusakan dan musibah yang menimpa umat
manusia itu disebabkan oleh perbuatan tangan mereka sendiri. Tentu saja kata tangan sebatas
simbol perbuatan dosa/maksiat, karena suatu perbuatan maksiat melibatkan panca indera, dan
juga dikendalikan dan diprogram sedemikian rupa oleh otak, kehendak dan hawa nafsu manusia.
Maksiat, sebagaimana taat, ada yang bersifat menentang tasyri Allah seperti melanggar perkara
yang haram, dan ada yang bersifat menentang takwin Allah (sunnatullah) seperti melanggar dan
merusak alam lingkungan

Bahkan sebelum dunia mengenal karantina, Nabi Muhammad Saw. telah menetapkan dalam
salah satu sabdanya, Apabila kalian mendengar adanya wabah di suatu daerah,janganlah
mengunjungi daerah itu, tetapi apabila kalian berada di daerah itu, janganlah meninggalkannya.

Daftar Pustaka

CDC, 1979; Barker, 1979; Greg, 1985; Mausner and Kramer, 1985; Kelsey et al., 1986;
Goodman et al., 1990
Lukman Hakim, dkk., 2013, Faktor Sosial Budaya Dan Orientasi Masyarakat
DalamBerobat (Socio-Cultural Factors And Societal Orientation In TheTreatment), Universitas
Jember (UNEJ), Jember.

Sandra Imelda H, 2013, Faktor sosial budaya yang mempengaruhi perilaku kesehatan
masyarakat menuju paradigma sehat, Padang.

Yetti Wira Citerawati SY, 2012, Aspek Sosiobudaya Berhubungan Dengan Perilaku
Kesehatan,Universitas Brawijaya, Malang.
Memilih Berobat atau Sabar dan Tawakal. http://rumaysho.com/umum/memilih-berobat-atau-
sabar-dan-tawakkal-5136.html 17 May 2015 16:42

What Are Epidemics, Pandemics and Outbreaks? http://www.webmd.com/cold-and-flu/what-


are-epidemics-pandemics-outbreaks 17 May 2015 16:48

Anda mungkin juga menyukai