Anda di halaman 1dari 50

WRAP UP SKENARIO 2

Kejadian Penyakit dan Pelayanan Kesehatan Masyarakat


BLOK KEDOKTERAN KOMUNITAS

KELOMPOK A-9

Ketua : Kharisma Berlian Sjukri (1102013150)


Sekretaris : Adelia Putri Sabrina (1102013005)
Anggota : Aditya Pratama Saanin (1102012006)
Anggit Ekawati (1102013030)
Annisa Maharani (1102013036)
Bendit Setiawan (1102013056)
Cintya Ristimawarni (1102013064)
Dea Dwi Miranti (1102013071)
Devi Nurfadila Fani (1102012058)

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI


2015-2016
Skenario 2
Kejadian Penyakit dan Pelaynnan Kesehatan Masyarakat
Pada tahun 2011, ditetapkan KLB (Kejadian Luar Biasa) Demam Berdarah
Dengue di Kota Pekanbaru. Pernyataan resmi ini disampaikan Pejabat Wali Kota
Pekanbaru setelah mendenger laporan Kepala Dinas Kesehatan Kota Pekanbaru dalam
rapat koordinasi. Pada bulan Febuari tahun 2010 terdapat sebanyak 202 kasus dan bulan
Febuari tahun 2011 mencapai 450 kasus. Hal ini menunjukkan peningkatan sebesar
kurang lebih dua kali lipat dari periode tahun sebelumnya. IR (Incidence Rate) DBD
menurut WHO di Indonesia adalah sebesar <50 per 100.000 penduduk dengan CFR (Case
Fatality Rate) 0,2. Kematian yang terjadi pada kasus DBD disebabkan masih kurangnya
pengetahuan dan pemahaman masyarakat terhadap gejala DBD. Sering kali pasien datang
ke puskesmas dalam stadium lanjut, dimana terdapat perdarahan spontan dan syok. Pada
stadium demam terdapat kebiasaan masyarakat yang cenderung untuk mengobati diri
sendiri dengan cara membaluri badan dengan bawang merah yang dicampur minyak
goreng terlebih dahulu kemudian membeli obat penurun panas di warung atau atau toko
obat. Masyarakat tidak mengerti kalau pada saat mulai demam harus segera dibawa ke
Puskemas.
Karena adanya KLB tersebur, Puskesmas melakukan penyelidikan epidemiologi
(PE) ke lapangan untuk mengetahui penyebab terjadinya KLB. Berdasarkan hasil
penyelidikan epidemiologi tersebut, Puskesmas melakukan tindakan yang diperlukan
untuk menanggulangi KLB.
Banyaknya penderita DBD di Puskesmas membutuhkan obat-obatan dan cairan
infus bagi pasien yang jumlahnya sangat banyak, sementara persediaan di Puskesmas
juga terbatas. Untuk mengatasi hal tersebut Puskesmas melakukan rujukan kesehatan
masyarakat ke Dinas Kesehatan Kota Pekanbaru.
Program penanggulangan DBD yang berjalan seharusnya bukan hanyak
dikerjakan oleh puskesmas sendiri secara lintas program, tetapi juga dikerjakan secara
lintas sektroal demi untuk meningkatkan mutu pelayanan. Pada saat yang bersamaan,
terjadi ledakan kasus Campak di Puskesmas setempat. Ternyata cakupan imunisasi
Campak dalam 3 tahun terakhir selalu berada pada kisaran <50%.
Dalam pertemuan lintas sektoral, tokoh agama juga terlibat dalam ikut urun
rembuk penyelesaian masalah kesehatan di masyarakat. Tokoh agama menyampaikan,
bahwa dalam pandangan Islam menciptakan kemaslahatan insani yang hakiki adalah
merupakan salah satu tujuan syariat Islam dan hukum menjaga kesehatan dan berobat
adalah wajib.
Kata Sulit :
1. KLB : Status yang ditegapkan di Indonesia untuk mengklasifikasikan suatu wabah
penyakit
2. CFR : Persentasi angka kematian oleh sebab penyakit tertentu untuk menentukan
sebab keganasan kasus tertentu
3. Penyelidikan epidemiologi : Suatu survey yang dilakukan untuk emngetahui
kejadian suatu penyakit di masyarakat tertentu
4. IR : Frekuensi penyakit baru yang terjangkit pada masyarakat di suatu tempat/
wilayah / negara pada waktu tertentu
5. Lintas program : Program yang tidak bekerja sendiri dan bekerja sama dengan
program lain
6. Lintas sektoral : Penggabungan atau penghubung suatu program dalam instansi
yang berbeda

Pertanyaan :
1. Apa yang menjadi penyebab terbesar meningkatnya IR pada kasus DBD?
2. Apa faktor yang berpengaruh terhadap KLB?
3. Apa kriteria KLB dan perhitungannya?
4. Apa tindakan yang dilakukan puskesmas untuk menanggulangi KLB?
5. Apa perbedaan KLB dengan wabah?
6. Bagaimana cara melakukan Pemeriksaan Epidemiologis?
7. Apa saja peranan puskesmas?
8. Apa yang dimaksud dengan perilaku pencarian pengobatan?
9. Bagaimana pandangan islam mengenai hukum berobat dan bagaimana tujuan
syariat islam dalam KLB?
10. Apa peran dinas kesehatan?
11. Bagaimana sistem rujukan?
12. Mengapa masyarakat cenderung untuk berobat sendiri dan enggan untuk pergi ke
dokter?

Jawaban :
1. Daerah endemis, kurangnya pengetahuan masyarakat, kurangnya penyuluhan,
kurangnya kesadaran masyarakat terhadap kesehatan lingkungan
2.
a. Herd Immunity yang rendah
Yang mempengaruhi rendahnya faktor itu, sebagian masyarakat sudah tidak
kebal lagi, atau antara yang kebal dan tidak mengelompok tersendiri.
b. Patogenesiti
Kemampuan bibit penyakit untuk menimbulkan reaksi pada pejamu sehingga
timbul sakit.
c. Lingkungan Yang Buruk
Seluruh kondisi yang terdapat di sekitar organisme tetapi mempengaruhi
kehidupan ataupun perkembangan organisme tersebut.
3. Peningkatan kejadian/kematian > 2 kali dibandingkan dengan periode sebelumnya
Jumlah penderita baru dalam satu bulan menunjukkan kenaikan >2 kali bila
dibandingkan dengan angka rata-rata per bulan tahun sebelumnya
4. Menghilangkan sumber penularan, memutuskan rantai penularan, melakukan aksi
promotif dan preventif
5. Wabah merupakan peningkatan penyakit menular, sedangkan pada KLB, angka
kesakitan dan kematian lebih bermakna dan mencakup penyakit menular maupun
tidak menular
6. Laporan adanya penyakit  Survey  Pengumpulan data  Pengolahan Data 
Penyuluhan  Feedback
7. Promosi kesehatan, Pengobatan, Poned, dll
8. Usaha untuk mencari pengobatan dan hal-hal yang mempengaruhi perilaku
pencarian pengobatan adalah adanya perilaku konsep jodoh, konsep klinis-gaib,
pola perawatan (dokter, dokter kota, dokter spesialis, dukun), adanya perbedaan
prioritas
9. Wajib berobat dan berdakwah mengenai kebersihan sebagian dari iman,
berikhtiar, memelihara agamanya, jiwa dan raganya (tidak berobat ke dukun)
10. Melaksanakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan dan menjaga mutu
pelayanan kesehatan
11. Dilakukan dika fasilitas kesehatan tidak memadai, dokter tidak memenuhi
kompetensi dokter spesialis  surat rujuk ke RSUD
12. Kurangnya pengetahuan masyarakat, jarak yang jauh, biaya yang minim, aspek
kebudayaan terhadap kepercayaan pragmatis (perbedaan pandangan)
Hipotesis
Faktor perilaku masyarakat yang tidak sehat, lingkungan yang buruk, penanganan yang
terlambat, kurangnya edukasi dan kurang tanggapnya pihak tenaga medis, anjuran, sosial
ekonomi, keterbatasan akses ke pelayanan kesehatan menyebabkan peningkatan masalah
/ kasusnya meningkat 2x lipat, dalam kurun waktu 3x berturut turut terjadi penyakit
tersebut dan timbulnya penyakit menular yang tiba-tiba ada sehingga terjadi KLB.
Kemudian dilakukan penyelidikan epidemiologis yaitu survey, pengumpulan data,
pengolahan data, analisis data, pengumpulan hasil, penyuluhan, feedback dan evaluasi, isi
dari penyelidikan epidemiologi yaitu : Insidence Rate, Case Fatality Rate, dan data faktor
penyebab. Dilakukan secara lintas sektoral dinas kebersihan dan kesehatan, serta tokoh
masyarakat, untuk menghilangkan sumber penularan dengan cara memutuskan rantai
penularan, memperbaiki kondisi lingkungan, melakukan penyelidikan epidemiologi dan
edukasi dengan penyuluhan bagaimana cara penanganan DBD, terapi, dan 4M. Ketika
puskesmas tidak memadai dalam kasus KLB maka rujuk ke dinas kesehatan kemudian
rujuk ke rumah sakit daerah. Bagaimana tingkat kepuasan pasien dan dinilai juga standar
pelayanan apabila sudah mencapai maka dinyatakan bermutu. Berobat dan menjaga
kesehatan dalam islam adalah wajib.
Sasaran Belajar
LI 1. Memahami dan Menjelaskan KLB berdasarkan mortalitas dan mobiditas serta
kriteria KLB
LI 2. Memahami dan Menjelaskan Perilaku Kesehatan Individu dan Masyarakat
dalam Pola Pencarian Pengobatan
LI 3. Memahami dan Menjelaskan Aspek Sosial Budaya dalam menggunakan
Fasilitas Kesehatan
LI 4. Memahami dan Menjelaskan Sistem Rujukan Pelayanan Kesehatan
LI 5. Memahami dan Menjelaskan Cakupan Mutu Pelayanan Kesehatan dan
Imunisasi
LI 6. Memahami dan Menjelaskan Tujuan Syariat Islam dan Hukum berobat serta
menjaga kesehatan
LI.1 Memahami dan Menjelaskan Kejadian Luar Biasa
Menurut UU No. 4 Tahun 1984, kejadian Luar Biasa (KLB) adalah timbulnya
atau meningkatnya kejadian kesakitan/kematian yang bermakna secara epidemiologis
pada suatu daerah dalam kurun waktu tertentu dan menjurus kepada wabah. Wabah
adalah kejadian berjangkitnya penyakit menular dalam masyarakat yang jumlah
penderitanya meningkat secara nyata, melebihi dari keadaan yang lazim pada waktu dan
daerah tertentu serta dapat menimbulkan petaka.

Bentuk wabah menurut sifatnya


1. Common Source Epidemic
Keadaan wabah dengan bentuk common source epidemic (CSE) adalah suatu letusan
penyakit yang disebabkan oleh terpaparnya sejumlah orang dalam suatu kelompok secara
menyeluruh dan terjadinya dalam waktu yang relatif singkat ( sangat mendadak ). Jika
keterpaparan kelompok serta penularan penyakit berlangsung sangat cepat waktu yang
sangat singkat (point of epidemic atau poit source of epidemic), maka resultan dari semua
kasus atau kejadian berkembang hanya dalam satu masa tunas saja. Pada dasarnya dijumpai
bahwa pada CSE kurva epidemic mengikuti suatu distribusi normal, sehingga dengan
demikian bila proporsi kumulatif kasus digambarkan menurut lamanya kejadian sakit (onset)
akan berbentuk suatu garis lurus. Median dari masa tunas dapat ditentukan secara mudah
dengan membaca waktu dari setengah (50%) yang terjadi pada grafik. Dalam hal ini,
pengetahuan tentang median dari masa tunas dapat menolong kita dalam mengidentifikasi
agent penyebab, mengingat tiap jenis agent mempunyai masa tunas tertentu. Point source
epidemic dapat pula terjadi pada penyakit oleh faktor penyebab bukan infeksi yang
menimbulkan keterpaparan umum seperti adanya zat beracun polusi zat kimia yang beracun
di udara terbuka.

2. Propataged atau Progressive Epidemic


Bentuk epidemic ini terjadi karena adanya penularan dari orang ke orang baik secara
langsung maupun tidak langsung melalui udara, makanan maupun vektor. Kejadian epidemi
semacam ini relatif lebih lama waktunya sesuai dengan sifat penyakit serta lamanya masa
tunas. Juga sangat di pengaruhi oleh kepadatan penduduk serta penyebaran anggota
masyarakat yang rentan terhadap penyakit tersebut. Masa tunas penyakit tersebut di atas
adalah sekitar satu bulan sehingga tampak masa epidemi cukup lama dengan situasi
peningkatan jumlah penderita dari waktu ke waktu sampai pada saat di mana jumlah anggota
masyarakat yang rentan mencapai batas yang minimal. Pada saat sebagian besar anggota
masyarakat sudah terserang penyakit maka jumlah yang rentan mencapai batas kritis,
sehingga kurva epidemi mulai menurun sampai batas minimal.
Penyebaran masalah kesehatan menurut Waktu, dapat dibedakan menjadi 4 macam, yaitu :
1. Penyebaran Satu Saat
Beberapa keadaan khusus yang ditemukan pada penyebaran penyakit pada Satu Saat
dibedakan menjadi 2, yaitu :
a) . Point – Source Epidemic
Disebut juga Common Source Epidemic yaitu : Suatu keadaan wabah yang ditandai
oleh:
 Timbulnya gejala penyakit (onset penyakit) yang cepat,
 Masa inkubasi yang pendek
 Episode penyakit merupakan peristiwa tunggal
 Hilangnya penyakit dalam waktu yang cepat
Contoh : Peristiwa keracunan makanan.
Muncul hanya pada waktu tertentu saja

b) . Contagious Diseases Epidemic


Disebut juga Propagated Epidemic, adalah : Suatu keadaan wabah yg ditandai oleh :
 Masa inkubasi yang panjang,
 Tim bulnya gejala penyakit (onset penyakit) yang pelan,
 Episode penyakit me rupakan peristiwa m ajem uk,
 Waktu munculnya penyakit tidak jelas,
 Hilangnya penyakit dalam waktu yang lama.
Contoh : Wabah penyakit menular.

2. Penyebaran Satu Kurun Waktu


Yaitu Perhitungan penyebaran masalah kesehatan yg dilakukan pd satu kurun waktu
tertentu atau disebut Clustering Menurut Waktu. Digunakan untuk mencari Penyebab
Penyakit.
3. Penyebaran Siklis
Disebut penyebaran secara siklis bila Frekuensi suatu masalah kesehatan naik atau
turun menurut suatu siklus tertentu, misalnya menurut kalender tertentu (minggu,
bulan, tahun); menurut keadaan cuaca tertentu (musim hujan, musim panas); menurut
peristiwa tertentu (musim panen, paceklik).
4. Penyebaran Sekular
Disebut penyebaran secara sekular apabila perubahan yang terjadi berlangsung dalam
waktu yang cukup lama, Misalnya lebih dari 10 tahun.

Perbedaan definisi antara Wabah dan KLB :


Wabah harus mencakup:
1. Jumlah kasus yang besar.
2. Daerah yang luas
3. Waktu yang lebih lama.
4. Dampak yang timbulkan lebih berat.

Tujuan Umum KLB :


 Mencegah meluasnya (penanggulangan)
 Mencegah terulangnya KLB di masa yang akan datang (pengendalian)
Tujuan khusus :
1. Diagnosis kasus yang terjadi dan mengidentifikasi penyebab penyakit
2. Memastikan bahwa keadaan tersebut merupakan KLB
3. Mengidentifikasikan sumber dan cara penularan
4. Mengidentifikasi keadaan yang menyebabkan KLB
5. Mengidentifikasikan populasi yang rentan atau daerah yang beresiko akan terjadi
KLB

Faktor Yang Mempengaruhi Timbulnya KLB


d. Herd Immunity yang rendah
Yang mempengaruhi rendahnya faktor itu, sebagian masyarakat sudah tidak kebal
lagi, atau antara yang kebal dan tidak mengelompok tersendiri.
e. Patogenesiti
Kemampuan bibit penyakit untuk menimbulkan reaksi pada pejamu sehingga timbul
sakit.
f. Lingkungan Yang Buruk
Seluruh kondisi yang terdapat di sekitar organisme tetapi mempengaruhi kehidupan
ataupun perkembangan organisme tersebut.

Jenis penyakit yang menimbulkan KLB :


1. Penyakit menular : Diare, Campak, Malaria, DHF
2. Penyakit tidak menular : Keracunan, Gizi buruk
3. Kejadian bencana alam yang disertai dengan wabah penyakit

Kriteria KLB
KLB meliputi hal yang sangat luas seperti sampaikan pada bagian sebelumnya,
maka untuk mempermudah penetapan diagnosis KLB, pemerintah Indonesia melalui
Keputusan Dirjen PPM&PLP No. 451-I/PD.03.04/1999 tentang Pedoman Penyelidikan
Epidemiologi dan Penanggulangan KLB telah menetapkan criteria kerja KLB yaitu :
1. Timbulnya suatu penyakit/menular yang sebelumnya tidak ada atau tidak dikenal
2. Peningkatan kejadian penyakit/kematian terus menerus selama 3 kurun waktu
berturut-turut menurut jenis penyakitnya.
3. Peningkatan kejadian/kematian > 2 kali dibandingkan dengan periode sebelumnya
4. Jumlah penderita baru dalam satu bulan menunjukkan kenaikan >2 kali bila
dibandingkan dengan angka rata-rata per bulan tahun sebelumnya
5. Angka rata-rata perbulan selama satu tahun menunjukkan kenaikkan > 2 kali
dibandingkan angka rata-rata per bulan tahun sebelumnya.
6. CFR suatu penyakit dalam satu kurun waktu tertentu menunjukkan kenaikkan 50
% atau lebih dibanding CFR periode sebelumnya.
7. Proporsional Rate penderita baru dari suatu periode tertentu menunjukkan
kenaikkan > 2 kali dibandingkan periode yang sama dan kurun waktu/tahun
sebelumnya.
8. Beberapa penyakit khusus : Kholera, “DHF/DSS”, (a)Setiap peningkatan kasus
dari periode sebelumnya (pada daerah endemis). (b)Terdapat satu atau lebih
penderita baru dimana pada periode 4 minggu sebelumnya daerah tersebut
dinyatakan bebas dari penyakit yang bersangkutan.
9. Beberapa penyakit yang dialami 1 atau lebih penderita :
Keracunan Makanan dan Pestisida
KLB tersembunyi, sering terjadi pada penyakit yang belum dikenal atau penyakit
yang tidak mendapat perhatian karena dampaknya belum diketahui. Sebagai contoh
adalah suatu KLB penyakit Fog di London. Kejadian penyakit tersebut telah dimulai pada
tahun 1952, tetapi tidak mendapat perhatian karena dampak penyakit tersebut belum
diketahui. Perhatian terhadap penyakit ini baru dimulai setelah adanya informasi
peningkatan jumlah kematian di suatu masyarakat. Hasil penyelidikan KLB
mengungkapkan bahwa peningkatan tersebut karena penyakit Fog (Mausner and Kramer,
1985).
KLB palsu (pesudo-epidemic), terjadi oleh karena :
a. Perubahan cara mendiagnosis penyakit
b. Perubahan perhatian terhadap penyakit tersebut
c. Perubahan organisasi pelayanan kesehatan
d. Perhatian yang berlebihan.

Klasifikasi KLB
a. Menurut Penyebab:
a. Entero toxin : misal yang dihasilkan oleh Staphylococus aureus, Vibrio, Kholera,
Eschorichia, Shigella.
b. Exotoxin (bakteri), misal yang dihasilkan oleh Clostridium botulinum,
Clostridium perfringens.
c. Endotoxin : Infeksi, Virus, Bacteri, Protozoa, Cacing, Toksin Biologis, Racun
jamur, Alfatoxin, Plankton, Racun ikan, Racun tumbuh-tumbuhan, Toksin Kimia.
d. Zat kimia organik: logam berat (seperti air raksa, timah), cyanide, nitrit, pestisida.
Gas-gas beracun: CO, CO2, HCN.
b. Menurut Sumber KLB
a. Manusia misal: jalan napas, tenggorokan, tangan, tinja, air seni, muntahan,
seperti : Salmonella, Shigella, Staphylococus, Streptoccocus, Protozoa, Virus
Hepatitis.
b. Kegiatan manusia, misal : Toxin biologis dan kimia (pembuangan tempe
bongkrek, penyemprotan, pencemaran lingkungan, penangkapan ikan dengan
racun).
c. Binatang seperti : binatang piaraan, ikan, binatang mengerat, contoh :
Leptospira, Salmonella, Vibrio, Cacing dan parasit lainnya, keracunan
ikan/plankton
d. Serangga (lalat, kecoa, dan sebagainya) misal : Salmonella, Staphylokok,
Streptokok.
e. Udara, misal : Staphyloccoccus, Streptococcus, Virus, pencemaran udara.
f. Permukaan benda-benda/alat-alat misal : Salmonella.
g. Air, misalnya : Vibrio Cholerae, Salmonella.
h. Makanan/minuman, misal : keracunan singkong, jamur, makanan dalam
kaleng.
c. Menurut Penyakit wabah : Beberapa penyakit dari sumber di atas yang sering
menjadi wabah: Kholera, Pes, Demam kuning, Demam bolak-balik, Tifus bercak
wabah, DBD, Campak, Polio, DPT, Rabies, Malaria, Influensa, Hepatitis, Tipus
perut, Meningitis, Encephalitis, SARS, Anthrax.

Metodologi Penyelidikan KLB


Tingkat atau pola dalam penyelidikan KLB ini sangat sulit ditentukan, sehingga
metoda yang dipakai pada penyelidikan KLB sangat bervariasi. Menurut Kelsey et al.,
1986; Goodman et al., 1990 dan Pranowo, 1991, variasi tersebut meliputi :
a. Rancangan penelitian, dapat merupakan suatu penelitian prospektif atau retrospektif
tergantung dari waktu dilaksanakannya penyelidikan. Dapat merupakan suatu
penelitian deskriptif, analitik atau keduanya.
b. Materi (manusia, mikroorganisme, bahan kimia, masalah administratif),
c. Sasaran pemantauan, berbagai kelompok menurut sifat dan tempatnya (Rumah sakit,
klinik, laboratorium dan lapangan).
d. Setiap penyelidikan KLB selalu mempunyai tujuan utama yang sama yaitu mencegah
meluasnya (penanggulangan) dan terulangnya KLB di masa yang akan datang
(pengendalian), dengan tujuan khusus :
a. Diagnose kasus-kasus yang terjadi dan mengidentifikasi penyebab penyakit
b. Memastikan keadaan tersebut merupakan KLB
c. Mengidentifikasikan sumber dan cara penularan
d. Mengidentifikasi keadaan yang menyebabkan KLB
e. Mengidentifikasikan populasi yang rentan atau daerah yang berisiko akan terjadi
KLB

Pemastian Diagnosis Penyakit Dan Penetapan KLB


Pemastian Diagnosis Penyakit
Cara diagnosis penyakit pada KLB dapat dilakukan dengan mencocokan gejala/tanda
penyakit yang terjadi pada individu, kemudian disusun distribusi frekuensi gejala
klinisnya. Cara menghitung distribusi frekuensi dari tanda-tanda dan gejala-gejala yang
ada pada kasus adalah sebagai berikut :
a. Buat daftar gejala yang ada pada kasus
b. Hitung persen kasus yang mempunyai gejala tersebut
c. Susun ke bawah menurut urutan frekuensinya

Penetapan KLB
Penetapan KLB dilakukan dengan membandingkan insidensi penyakit yang
tengah berjalan dengan insidensi penyakit dalam keadaan biasa (endemik), pada populasi
yang dianggap berisiko, pada tempat dan waktu tertentu. Dalam membandingkan
insidensi penyakit berdasarkan waktu harus diingat bahwa beberapa penyakit dalam
keadaan biasa (endemis) dapat bervariasi menurut waktu (pola temporal penyakit).
Penggambaran pola temporal penyakit yang penting untuk penetapan KLB adalah, pola
musiman penyakit (periode 12 bulan) dan kecenderungan jangka panjang (periode
tahunan – pola maksimum dan minimum penyakit). Dengan demikian untuk melihat
kenaikan frekuensi penyakit harus dibandingkan dengan frekuensi penyakit pada tahun
yang sama bulan berbeda atau bulan yang sama tahun berbeda (CDC, 1979).
KLB tersembunyi, sering terjadi pada penyakit yang belum dikenal atau penyakit yang
tidak mendapat perhatian karena dampaknya belum diketahui.
KLB palsu (pesudo-epidemic), terjadi oleh karena :
a. Perubahan cara mendiagnosis penyakit
b. Perubahan perhatian terhadap penyakit tersebut, atau
c. Perubahan organisasi pelayanan kesehatan,
d. Perhatian yang berlebihan.
Untuk mentetapkan KLB dapat dipakai beberapa definisi KLB yang telah disusun oleh
Depkes. Pada penyakit yang endemis, maka cara menentukan KLB bisa menyusun
dengan grafik Pola Maksimum-minimum 5 tahunan atau 3 tahunan.

Penanggulangan KLB
Penanggulangan KLB dikenal dengan nama Sistem Kewaspadaan Dini (SKD-
KLB), yang dapat diartikan sebagai suatu upaya pencegahan dan penanggulangan KLB
secara dini dengan melakukan kegiatan untuk mengantisipasi KLB. Kegiatan yang
dilakukan berupa pengamatan yang sistematis dan terus-menerus yang mendukung sikap
tanggap/waspada yang cepat dan tepat terhadap adanya suatu perubahan status kesehatan
masyarakat. Kegiatan yang dilakukan adalah pengumpulan data kasus baru dari penyakit-
penyakit yang berpotensi terjadi KLB secara mingguan sebagai upaya SKD-KLB. Data-
data yang telah terkumpul dilakukan pengolahan dan analisis data untuk penyusunan
rumusan kegiatan perbaikan oleh tim epidemiologi (Dinkes Kota Surabaya, 2002).
Berdasarkan Undang-undang No. 4 tahun 1984 tentang wabah penyakit menular
serta Peraturan Menteri Kesehatan No. 560 tahun 1989, maka penyakit DBD harus
dilaporkan segera dalam waktu kurang dari 24 jam. Undang-undang No. 4 tahun 1984
juga menyebutkan bahwa wabah adalah kejadian berjangkitnya suatu penyakit menular
dalam masyarakat, yang jumlah penderitanya meningkat secara nyata melebihi dari
keadaan yang lazim pada waktu dan daerah tertentu serta dapat menimbulkan
malapetaka. Dalam rangka mengantisipasi wabah secara dini, dikembangkan istilah
kejadian luar biasa (KLB) sebagai pemantauan lebih dini terhadap kejadian wabah.
Tetapi kelemahan dari sistem ini adalah penentuan penyakit didasarkan atas hasil
pemeriksaan klinik laboratorium sehingga seringkali KLB terlambat diantisipasi
(Sidemen A., 2003).
Badan Litbangkes berkerja sama dengan Namru 2 telah mengembangkan suatu
sistem surveilans dengan menggunakan teknologi informasi (computerize) yang disebut
dengan Early Warning Outbreak Recognition System (EWORS). EWORS adalah suatu
sistem jaringan informasi yang menggunakan internet yang bertujuan untuk
menyampaikan berita adanya kejadian luar biasa pada suatu daerah di
seluruh Indonesia ke pusat EWORS secara cepat (Badan Litbangkes, Depkes RI). Melalui
sistem ini peningkatan dan penyebaran kasus dapat diketahui dengan cepat, sehingga
tindakan penanggulangan penyakit dapat dilakukan sedini mungkin. Dalam masalah
DBD kali ini EWORS telah berperan dalam hal menginformasikan data kasus DBD dari
segi jumlah, gejala/karakteristik penyakit, tempat/lokasi, dan waktu kejadian dari seluruh
rumah sakit DATI II di Indonesia (Sidemen A., 2003)
Upaya penanggulangan KLB
 Penyelidikan epidemilogis.
 Pemeriksaan, pengobatan, perawatan, dan isolasi penderita termasuk tindakan
karantina.
 Pencegahan dan pengendalian.
 Pemusnahan penyebab penyakit.
 Penanganan jenazah akibat wabah.
 Penyuluhan kepada masyarakat.
 Upaya penanggulangan lainnya.
Indikator keberhasilan penanggulangan KLB
 Menurunnya frekuensi KLB.
 Menurunnya jumlah kasus pada setiap KLB.
 Menurunnya jumlah kematian pada setiap KLB.
 Memendeknya periode KLB.
 Menyempitnya penyebarluasan wilayah KLB.
Tim penanggulangan KLB
d. Terdiri dari multi disiplin atau multi lintas sektor, bekerjasama dalam
penanggulangan KLB.
e. Salah satu anggota tim kesehatan adalah perawat (sebagai anggota masyarakat
maupun sebagai petugas disarana kesehatan).
f. Perawat dapat terlibat langsung di Puskesmas atau Rumah sakit.

Prosedur Penanggulangan KLB


1. Masa pra KLB
Informasi kemungkinan akan terjadinya KLB / wabah adalah dengan melaksanakan
Sistem Kewaspadaan Dini secara cermat, selain itu melakukakukan langkah-langkh
lainnya :
1. Meningkatkan kewaspadaan dini di puskesmas baik SKD, tenaga dan logistik.
2. Membentuk dan melatih TIM Gerak Cepat puskesmas.
3. Mengintensifkan penyuluhan kesehatan pada masyarakat
4. Memperbaiki kerja laboratorium
5. Meningkatkan kerjasama dengan instansi lain

Tim Gerak Cepat (TGC)


Sekelompok tenaga kesehatan yang bertugas menyelesaikan pengamatan dan
penanggulangan wabah di lapangan sesuai dengan data penderita puskesmas atau data
penyelidikan epideomologis. Tugas /kegiatan :
a. Pengamatan : Pencarian penderita lain yang tidak datang berobat.
Pengambilan usap dubur terhadap orang yang dicurigai terutama anggota keluarga
Pengambilan contoh air sumur, sungai, air pabrik dll yang diduga tercemari dan
sebagai sumber penularan
b. Pelacakan kasus untuk mencari asal usul penularan dan mengantisipasi
penyebarannya
Pencegahan dehidrasi dengan pemberian oralit bagi setiap penderita yang
ditemukan di lapangan.
c. Penyuluhahn baik perorang maupun keluarga
d. Membuat laporan tentang kejadian wabah dan cara penanggulangan secara
lengkap.

2. Pembentukan Pusat Rehidrasi


Untuk menampung penderita diare yang memerlukan perawatan dan pengobatan.
Tugas pusat rehidrasi :
a. Merawat dan memberikan pengobatan penderita diare yang berkunjung.
b. Melakukan pencatatan nama , umur, alamat lengkap, masa inkubasi, gejala
diagnosa dsb.
c. Memberikan data penderita ke Petugas TGC
d. Mengatur logistik
e. Mengambil usap dubur penderita sebelum diterapi.
f. Penyuluhan bagi penderita dan keluarga
g. Menjaga pusat rehidrasi tidak menjadi sumber penularan (lisolisasi).
h. Membuat laporan harian, mingguan penderita diare yang dirawat.(yang diinfus,
tdk diinfus, rawat jalan, obat yang digunakan dsb.

Pencegahan terjadinya wabah/KLB


1. Pencegahan tingkat pertama
 Menurunkan faktor penyebab terjadinya wabah serendah mungkin dengan cara
desinfeksi, pasteurisasi, sterilisasi yang bertujuan untuk menghilangkan
mikroorganisme penyebab penyakit dan menghilangkan sumner penularan.
 Mengatasi/modifikasi lingkungan melalui perbaikan lingkungan fisik seperti
peningkatan air bersih, sanitasi lingkungan, peningkatan lingkungan biologis
seperti pemberntasan serangga dan binatang pengerat serta peningkatan
lingkungan sosial seperti kepadatan rumah tangga.
 Meningkatkan daya tahan pejamu meliputi perbaikan status gizi,kualitas hidup
penduduk, pemberian imunisasi serta peningkatan status psikologis.
2. Pencegahan tingkat kedua
Sasaran pencegahan ini terutama ditunjukkan pada mereka yang menderita atau
dianggap menderita (suspek) atau yang terancam akan menderita (masa tunas)
dengan cara diagnosis dini dan pengobatan yang tepat agar dicegah meluasnya
penyakit atau untuk mencegah timbulnya wabah serta untuk segera mencegah
proses penyakit lebih lanjut serta mencegah terjadinya komplikasi.
3. Pencegahan tingkat ketiga
Bertujuan untuk mencegah jangan sampai penderita mengalami cacat atau
kelainan permanen, mencegah bertambah parahnya suatu penyakit atau mencegah
kematian akibat penyakit tersebut dengan dilakukannya rehabilitasi.
4. Strategi pencegahan penyakit
Dilakukan usaha peningkatan derajad kesehatan individu dan masyarakat,
perlindungan terhadap ancaman dan gangguan kesehatan, pemeliharaan
kesehatan, penanganan dan pengurangan gangguan serta masalah kesehatan serta
rehabilitasi lingkungan.

Penyelidikan Epidemiologi

Penyelidikan Epidemiologi adalah rangkaian kegiatan untuk mengetahui suatu


kejadian baik sedang berlangsung maupun yang telah terjadi, sifatnya penelitian, melalui
pengumpulan data primer dan sekunder, pengolahan dan analisa data, membuat
kesimpulan dan rekomendasi dalam bentuk laporan.

Manfaat Epidemiologi antara lain:


1. Membantu pekerjaan Administrasi Kesehatan
2. Dapat menerangkan penyebab masalah kesehatan
3. Dapat menerangkan perkembangan alamiah penyakit
4. Dapat menerangkan keadaan suatu masalah kesehatan
5. Epidemi (singkat dan tinggi)
6. Pandemi (peningkatan yang sangat tinggi dan telah amat luas)
7. Endemi (frekuansi tetap dalam waktu yang lama)
8. Sporadik (berubah-ubah menurut perubahan waktu)

Tujuan Penyelidikan Epidemiologi (PE)


Mendapatkan besaran masalah yang sesunguhnya, Mendapatkan gambaran klinis
dari suatu penyakit, Mendapatkan gambaran kasus menurut variabel Epidemiology,
Mendapatkan informasi tentang faktor risiko (lingkungan, vektor, perilaku, dll) dan
etiologi, Dari ke empat tujuan di tersebut dapat dianalisis sehingga dapat memberikan
suatu penanggulangan atau pencegahan dari penyak
Langkah Kegiatan Penyelidikan Epidemiologi (PE)
1. Tahap survey pendahuluan :
a. Memastikan adanya KLB
b. Menegakan diagnosa
c. Buat hypotesa sementara ( penyebab, cara penularan, faktor yg mempengaruhi)

2. Tahap Pengumpulan Data :


a. Identifikasi kasus kedalam variabel epid (orang, tempat, waktu)
b. Uji hipotesis
c. Menentukan kelompok yg rentan

3. Tahap pengolahan data :


i. Lakukan pengolahan menurut variable epid, menurut ukuran epid, menurut nilai
statstik.
j. Lakukan analisa data menurut variable epid, ukuran epid,dan nilai statistik.
Bandingkan dg nilai yang sudah ada
k. Buat intepretasi hasil analisa
l. Buat laporan hasil penanggulangan

4. Tentukan tindakan penanggulangan dan pencegahan :


a. Tindakan penanggulangan :
1. Pengobatan penderita
2. Isolasi kasus
b. Tindakan pencegahan :
1. Surveilans yg ketat
2. Perbaikan mutu lingkungan
3. Perbaikan status kesehatan masyarakat

Indikasi Penyelidikan Epidemiologi (PE)


 Pencegahan & Penanggulangan
 Laporan masyarakat, politik, serta kepentingan legal aspek
 On the Job Traning
 Penelitian
 Masalah Program Pemberantasan

Indikasi Penyelidikan Epidemiologi (PE)


 Pencegahan & Penanggulangan
 Laporan masyarakat, politik, serta kepentingan legal aspek
 On the Job Traning
 Penelitian
 Masalah Program Pemberantasan
Ukuran – Ukuran Dalam Epidemiologi
Proporsiadalah perbandingan yang pembilangnya merupakan bagian dari penyebut.
Proporsi digunakan untuk melihat komposisi suatu variabel dalam populasi

Ratio adalah perbandingan dua bilangan yang tidak saling tergantung. Ratio digunakan
untuk menyatakan besarnya kejadian

Contoh: Jumlah Mahasiswa Stikes = 100, ratio pria : wanita = 2 : 3. Berapa jumlah
masing2 mahasiswa?

Rate adalah perbandingan suatu kejadian dengan jumlah penduduk yang mempunyai
risiko kejadian tersebut. Rate digunakan untuk menyatakan dinamika dan kecepatan
kejadian tertentu dalam masyarakat

Contoh:
a. Campak → berisiko pada balita
b. Diare → berisiko pada semua penduduk
c. Ca servik → berisiko pada wanita
PENGUKURAN ANGKA KESAKITAN/ MORBIDITAS
INCIDENCE RATE
Incidence rate adalah frekuensi penyakit baru yang berjangkit dalam masyarakat di suatu
tempat / wilayah / negara pada waktu tertentu

PREVALENCE RATE
Prevalence rate adalah frekuensi penyakit lama dan baru yang berjangkit dalam
masyarakat di suatu tempat/ wilayah/ negara pada waktu tertentu. PR yang ditentukan
pada waktu tertentu (misal pada Juli 2000) disebut Point Prevalence Rate. PR yang
ditentukan pada periode tertentu (misal 1 Januari 2000 s/d 31 Desember 2000) disebut
Periode Prevalence Rate.

ATTACK RATE
Attack Rate adalah jumlah kasus baru penyakit dalam waktu wabah yang berjangkit
dalam masyarakat di suatu tempat/ wilayah/ negara pada waktu tertentu

PENGUKURAN MORTALITY RATE


CRUDE DEATH RATE
CDR adalah angka kematian kasar atau jumlah seluruh kematian selama satu tahun dibagi
jumlah penduduk pada pertengahan tahun

SPECIFIC DEATH RATE


SDR adalah jumlah seluruh kematian akibat penyakit tertentu selama satu tahun dibagi
jumlah penduduk pada pertengahan tahun
CASE FATALITY RATE
CFR adalah persentase angka kematian oleh sebab penyakit tertentu, untuk menentukan
kegawatan/ keganasan penyakit tersebut

MATERNAL MORTALITY RATE


MMR = AKI = Angka kematian Ibu adalah jumlah kematian ibu oleh sebab kehamilan/
melahirkan/ nifas (sampai 42 hari post partum) per 100.000 kelahiran hidup

INFANT MORTALITY RATE


IMR = AKB = angka kematian bayi adalah jumlah kematian bayi (umur <1tahun) per
1000 kelahiran hidup

NEONATAL MORTALITY RATE


NMR = AKN = Angka Kematian Neonatal adalah jumlah kematian bayi sampai umur < 4
minggu atau 28 hari per 1000 kelahiran hidup

PERINATAL MORTALITY RATE


PMR = AKP = angka Kematian Perinatal adalah jumlah kematian janin umur 28 minggu
s/d 7 hari seudah lahir per 1000 kelahiran hidup
LI.2 Memahami dan Menjelaskan Perilaku Pencarian Pengobatan
Perilaku Pencarian Pengobatan merupakan perilaku sehubungan dengan pencarian
pengobatan (health seeking behavior), yaitu perilaku untuk melakukan atau mencari
pengobatan, misalnya usaha-usaha mengobati sendiri penyakitnya, atau mencari
pengobatan ke fasilitas-fasilitas kesehatan modern (puskesmas, mantra, dokter praktek,
dan sebagainya), maupun ke fasilitas kesehatan tradisional (dukun, sinshe, dan
sebagainya).

Dilihat dari bentuk respon terhadap stimulus ini, maka perilaku dapat dibedakan menjadi
dua (Notoatmodjo, 2003) :
 Perilaku tertutup (convert behavior). Perilaku tertutup adalah respon seseorang
terhadap stimulus dalam bentuk terselubung atau tertutup (convert). Respon atau
reaksi terhadap stimulus ini masih terbatas pada perhatian, persepsi, pengetahuan,
kesadaran, dan sikap yang terjadi pada orang yang menerima stimulus tersebut,
dan belum dapat diamati secara jelas oleh orang lain.
 Perilaku terbuka (overt behavior).Respon seseorang terhadap stimulus dalam
bentuk tindakan nyata atau terbuka. Respon terhadap stimulus tersebut sudah jelas
dalam bentuk tindakan atau praktek, yang dengan mudah dapat diamati atau
dilihat oleh orang lain.

Perilaku Kesehatan Individu


Perilaku kesehatan individu pada dasarnya adalah suatu respons seseorang
(organisme) terhadap stimulus yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem
pelayanan kesehatan, makanan serta lingkungan. Batasan ini mempunyai 2 unsur pokok,
yakni respons dan stimulus atau perangsangan. Respons atau reaksi manusia, baik bersifat
pasif (pengetahuan, persepsi, dan sikap) maupun bersifat aktif (tindakan yang nyata atau
practice). Sedangkan stimulus atau rangsangan terdiri 4 unsur pokok, yakni : sakit &
penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan, dan lingkungan. Dari batasan ini
perilaku kesehatan dapat diklasifikasikan menjadi 4 kelompok :
1) Perilaku Pemeliharaan Kesehatan (health maintenance) adalah perilaku atau
usaha-usaha seseorang untuk memelihara atau menjaga kesehatan agar tidak sakit
dan usaha untuk penyembuhan bilamana sakit. Oleh sebeb itu perilaku
pemeliharaan kesehatan ini terdiri dari 3 aspek :
a. Perilaku pencegahan penyakit dan penyembuhan penyakit bila sakit, serta
pemulihan kesehatan bilamana telah sembuh dari penyakit.
b. perilaku peningkatan kesehatan, apabila seseorang dalam keadaan sakit.
c. perilaku gizi (makanan & minuman).
2) Perilaku Pencarian atau Penggunaan Sistem atau Fasilitas Pelayanan Kesehatan
atau sering disebut Perilaku Pencarian Pengobatan (health seeking behavior)
adalah menyangkut upaya atau tindakan seseorang pada saat menderita dan atau
kecelakaan. Tindakan atau perilaku ini dimulai dari mengobati sendiri (self
treatment) sampai mencari pengobatan ke luar negeri.
3) Perilaku terhadap makanan (nutrition behavior), yakni respons seseorang terhadap
makanan sebagai kebutuhan vital bagi kehidupan, meliputi pengetahuan, persepsi,
sikap dan praktek kita terhadap makanan serta unsur-unsur yang terkandung di
dalamnya/zat gizi, pengelolaan makanan, dll.
4) Perilaku Kesehatan Lingkungan adalah bagaimana seseorang merespon
lingkungan, baik lingkungan fisik maupun sosial budaya dan bagaimana sehingga
lingkungan tersebut tidak mempengaruhi kesehatannya. Seorang ahli lain (Becker,
1979) membuat klasifikasi tentang perilaku kesehatan ini.
a. Perilaku hidup sehat adalah perilaku-perilaku yang berkaitan dengan upaya
atau kegiatan seseorang untuk mempertahankan dan meningkatkan
kesehatannya. Perilaku ini mencakup antara lain :
a) Menu seimbang
b) Olahraga teratur
c) Tidak merokok
d) Tidak minum-minuman keras dan narkoba
e) Istirahat yang cukup
f) Pengendalian stres
g) Perilaku atau gaya hidup lain yang positif bagi kesehatan
b. Perilaku sakit mencakup respon seseorang terhadap sakit dan penyakit.
Persepsinya terhadap sakit, pengetahuan tentang penyebab dan gejala
penyakit, pengobatan penyakit dan sebagainya, dsb.
c. Perilaku peran sakit (the sick role behavior) mencakup :
a) Tindakan untuk memperoleh kesembuhan.
b) Mengenal/mengetahu fasilitas atau sasaran pelayanan
penyembuhan penyakit yang layak.
c) Mengetahu hak (misalnya : hak memperoleh perawatan dan
pelayanan kesehatan).

Menurut teori Anderson dalam Muzaham (1995), ada tiga faktor yang mempengaruhi
penggunaan pelayanan kesehatan yaitu :
 Mudahnya menggunakan fasilitas pelayanan kesehatan (karakteristik predisposisi)
 Adanya faktor-faktor yang menjamin terhadap pelayanan kesehatan yang ada
(karakteristik pendukung)
 Adanya kebutuhan pelayanan kesehatan (karakteristik kebutuhan)

Kosa & Robertson mengatakan bahwa perilaku kesehatan individu cenderung


dipengaruhi oleh kepercayaan orang yang bersangkutan terhadap kondisi kesehatan yang
diinginkan dan kurang berdasarkan pada pengetahuan biologi. Memang kenyataannya
demikian, tiap indivisu mempunyai cara yang berbeda dalam mengambil tindakan
penyembuhan atau pencegahan yang berbeda meskipun gangguan kesehatannya sama.
Pada umumnya tindakan yang diambil berdasarkan penilaian individu atau mungkin
dibantu oleh orang lain terhadap gangguan tersebut. Penilaian semacam ini menunjukkan
bahwa gangguan yang dirasakan individu menstimulasi dimulainya suatu proses sosial
psikologis. Proses semacam ini menggambarkan berbagai tindakan yang dilakukan si
penderita mengenai gangguan yang dialami dan merupakan bagian integral interaksi
sosial pada umumnya. Proses ini mengikuti suatu keteraturan tertentu yang dapat
diklasifikasikan dalam 4 bagian, yakni :
1) Adanya suatu penilaian dari orang yang bersangkutan terhadap suatu gangguan
atau ancaman kesehatan. Dalam hal ini persepsi individu yang bersangkutan atau
orang lain (anggota keluarga) terhadap gangguan tersebut akan berperan.
Selanjutnya gangguan dikomunikasikan kepada orang lain (anggota keluarga) dan
mereka yang diberi informasi tersebut menilai dengan kriteria subjektif.
2) Timbulnya kecemasan karena adanya persepsi terhadap gangguan tersebut.
Disadari bahwa setiap gangguan kesehatan akan menimbulkan kecemasan baik
bagi yang bersangkutan maupun bagi anggota keluarga lainnya. Bahkan gangguan
tersebut dikaitkan dengan ancaman adanya kematian. Dari ancaman-ancaman ini
akan menimbulkan bermacam-macam bentuk perilaku.
3) Penerapan pengetahuan orang yang bersangkutan mengenai hal-hal yang
berhubungan dengan masalah kesehatan, khususnya mengenai gangguan yang
dialaminya. Oleh karena gangguan kesehatan terjadi secara teratur di dalam suatu
kelompok tertentu maka setiap irang di dalam kelompok tersebut dapat
menghimpun pengetahuan tentang berbagai macam gangguan kesehatan yang
mungkin terjadi. Dari sini sekaligus orang menghimpun berbagai cara mengatasi
gangguan kesehatan itu baik secara tradisional maupun modern. Berbagai cara
penerapan pengetahuan baik dalam menghimpun berbagai macam gangguan
maupun cara-cara mengatasinya tersebut merupakan pencerminan dari berbagai
bentuk perilaku.
4) Dilakukannya tindakan manipulatif untuk meniadakan atau menghilangkan
kecemasan atau gangguan tersebut. Di dalam hal ini baik orang awam maupun
tenaga kesehatan melakukan manipulasi tertentu dalam arti melakukan sesuatu
untuk mengatasi gangguan kesehatan. Dari sini lahirlah pranata-pranata kesehatan
baik tradisional maupun modern.

Asumsi Determinan Perilaku


Menurut Spranger membagi kepribadian manusia menjadi 6 macam nilai
kebudayaan. Kepribadian seseorang ditentukan oleh salah satu nilai budaya yang
dominan pada diri orang tersebut. Secara rinci perilaku manusia sebenarnya merupakan
refleksi dari berbagai gejala kejiwaan seperti pengetahuan, keinginan, kehendak, minat,
motivasi, persepsi, sikap dan sebagainya.
Namun demikian realitasnya sulit dibedakan atau dideteksi gejala kejiwaan
tersebut dipengaruhi oleh faktor lain diantaranya adalah pengalaman, keyakinan,
sarana/fasilitas, sosial budaya dan sebagainya. Proses terbentuknya perilaku dapat
diilustrasikan pada gambar berikut :
Beberapa teori lain yang telah dicoba untuk mengungkap faktor penentu yang dapat
mempengaruhi perilaku khususnya perilaku yang berhubungan dengan kesehatan, antara
lain
1. Teori Lawrence Green (1980)
Green mencoba menganalisis perilaku manusia berangkat dari tingkat kesehatan. Bahwa
kesehatan seseorang dipengaruhi oleh 2 faktor pokok, yaitu faktor perilaku (behavior
causes) dan faktor diluar perilaku (non behavior causes).
Faktor perilaku ditentukan atau dibentuk oleh :
 Faktor predisposisi (predisposing factor), yang terwujud dalam pengetahuan, sikap,
kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai dan sebagainya.
 Faktor pendukung (enabling factor), yang terwujud dalam lingkungan fisik,
tersedia atau tidak tersedianya fasilitas-fasilitas atau sarana-sarana kesehatan,
misalnya puskesmas, obat-obatan, alat-alat steril dan sebagainya.
 Faktor pendorong (reinforcing factor) yang terwujud dalam sikap dan perilaku
petugas kesehatan atau petugas lain, yang merupakan kelompok referensi dari
perilaku masyarakat.
2. Teori Snehandu B. Kar (1983)
Kar mencoba menganalisis perilaku kesehatan bertitik tolak bahwa perilaku
merupakan fungsi dari :
 Niat seseorang untuk bertindak sehubungan dengan kesehatan atau perawatan
kesehatannya (behavior itention).
 Dukungan sosial dari masyarakat sekitarnya (social support).
 Adanya atau tidak adanya informasi tentang kesehatan atau fasilitas kesehatan
(accesebility of information).
 Otonomi pribadi orang yang bersangkutan dalam hal mengambil tindakan atau
keputusan (personal autonomy).
 Situasi yang memungkinkan untuk bertindak (action situation).
3. Teori WHO (1984)
WHO menganalisis bahwa yang menyebabkan seseorang berperilaku tertentu adalah :
 Pemikiran dan perasaan (thougts and feeling), yaitu dalam bentuk pengetahuan,
persepsi, sikap, kepercayaan dan penilaian seseorang terhadap objek (objek
kesehatan).
1. Pengetahuan diperoleh dari pengalaman sendiri atau pengalaman orang lain.
2. Kepercayaan sering atau diperoleh dari orang tua, kakek, atau nenek.
Seseorang menerima kepercayaan berdasarkan keyakinan dan tanpa adanya
pembuktian terlebih dahulu.
3. Sikap menggambarkan suka atau tidak suka seseorang terhadap objek. Sikap
sering diperoleh dari pengalaman sendiri atau orang lain yang paling dekat.
Sikap membuat seseorang mendekati atau menjauhi orang lain atau objek
lain. Sikap positif terhadap tindakan-tindakan kesehatan tidak selalu terwujud
didalam suatu tindakan tergantung pada situasi saat itu, sikap akan diikuti
oleh tindakan mengacu kepada pengalaman orang lain, sikap diikuti atau
tidak diikuti oleh suatu tindakan berdasar pada banyak atau sedikitnya
pengalaman seseorang.
 Tokoh penting sebagai Panutan. Apabila seseorang itu penting untuknya, maka
apa yang ia katakan atau perbuat cenderung untuk dicontoh.
 Sumber-sumber daya (resources), mencakup fasilitas, uang, waktu, tenaga dan
sebagainya.
 Perilaku normal, kebiasaan, nilai-nilai dan penggunaan sumber-sumber didalam
suatu masyarakat akan menghasilkan suatu pola hidup (way of life) yang pada
umumnya disebut kebudayaan. Kebudayaan ini terbentuk dalam waktu yang lama
dan selalu berubah, baik lambat ataupun cepat sesuai dengan peradapan umat
manusia (Notoatmodjo, 2003)

Respon seseorang apabila sakit adalah sebagai berikut :


1. Pertama, tidak bertindak atau tidak melakukan kegiatan apa-apa. Alasannya antara
lain bahwa kondisi yang demikian tidak akan mengganggu kegiatan atau kerja
mereka sehari-hari. Mungkin mereka beranggapan bahwa tanpa bertindak apapun
gejala yang dideritanya akan lenyap dengan sendirinya. Tidak jarang pula
masyarakat memprioritaskan tugas-tugas lain yang dianggap lebih penting daripada
mengobati sakitnya. Hal ini merupakan suatu bukti bahwa kesehatan belum
merupakan prioritas di dalam hidup dan kehidupannya.Alasan lain yang sering kita
dengar adalah fasilitas kesehatan yang diperlukan sangat jauh letaknya, para
petugas kesehatan tidak simpatik, tidak responsif, dan sebagainya. Dan akhirnya
alasan takut dokter, takut pergi ke rumah sakit, takut biaya, dan sebagainya.
2. Kedua, tindakan mengobati sendiri, dengan alasan yang sama seperti telah
diuraikan. Alasan tambahan dari tindakan ini adalah karena orang atau masyarakat
tersebut sudah percaya kepada diri sendiri, dan sudah merasa bahwa berdasarkan
pengalaman yang lalu usaha pengobatan sendiri sudah dapat mendatangkan
kesembuhan. Hal ini mengakibatkan pencarian pengobatan keluar tidak diperlukan.
3. Ketiga, mencari pengobatan ke fasilitas-fasilitas pengobatan tradisional. Untuk
masyarakat pedesaan khususnya, pengobatan tradisional ini masih menduduki
tempat teratas dibanding dengan pengobatan-pengobatan yang lain.Dukun yang
melakukan pengobatan tradisional merupakan bagian dari masyarakat, berada di
tengah-tengah masyarakat, dekat dengan masyarakat, dan pengobatan yang
dihasilkan adalah kebudayaan masyarakat, lebih diterima oleh masyarakat daripada
dokter, bidan, farmasis, dan sebagainya yang masih asing bagi mereka, seperti juga
pengobatan yang dilakukan dan obat-obatnya pun merupakan kebudayaan mereka.
4. Keempat, mencari pengobatan dengan membeli obat-obat ke warung-warung obat
dan sejenisnya, termasuk ke tukang-tukang jamu. Obat-obat yang mereka dapatkan
pada umumnya adalah obat-obat yang tidak memakai resep sehingga sukar untuk
dikontrol. Namun demikian, sampai sejauh ini pemakaian obat-obat bebas oleh
masyarakat belum mengakibatkan masalah yang serius. Khususnya mengenai jamu
sebagai sesuatu untuk pengobatan makin tampak peranannya dalam kesehatan
masyarakat. Untuk itu perlu diadakan penelitian yang lebih mendalam.
5. Kelima, mencari pengobatan ke fasilitas-fasilitas pengobatan modern yang
diadakan oleh pemerintah atau lembaga-lembaga kesehatan swasta, yang
dikategorikan ke dalam balai pengobatan, puskesmas, dan rumah sakit.
6. Keenam, mencari pengobatan ke fasilitas pengobatan modern yang diselenggarakan
oleh dokter praktik.
Dari uraian di atas tampak jelas bahwa persepsi masyarakat terhadap sehat-sakit adalah
berbeda dengan konsep kita tentang sehat-sakit itu. Demikian juga persepsi sehat-sakit
antara kelompok-kelompok masyarakat pun akan berbeda-beda pula.

Persepsi masyarakat terhadap sehat-sakit erat hubungannya dengan perilaku


pencarian pengobatan. Kedua pokok pikiran tersebut akan mempengaruhi atas dipakai
atau tidak dipakainya fasilitas kesehatan yang disediakan. Apabila persepsi sehat-sakit
masyarakat belum sama dengan konsep sehat-sakit kita, maka jelas masyarakat belum
tentu atau tidak mau menggunakan fasilitas yang diberikan. Bila persepsi sehat-sakit
masyarakat sudah sama dengan pengertian kita, maka kemungkinan besar fasilitas yang
diberikan akan mereka pergunakan.

Perilaku pencarian pelayanan kesehatan dipengaruhi oleh tiga faktor besar yaitu faktor
predisposing, faktor enabling, dan faktor need.
1. Faktor predisposing adalah predisposisi seseorang untuk menggunakan pelayanan
yaitu faktor demografi,faktor struktur sosial, dan faktor keyakinan terhadap
kesehatan
2. Faktor Enabling merupakan kemampuan seseorang untuk mencari pelayanan berupa
sumberdaya keluarga atau sumber daya masyarakat.
3. Faktor need adalah kebutuhan seseorang akan pelayanan

LI.3 Memahami dan Menjelaskan Aspek Sosial Budaya dalam menggunakan Fasilitas
Kesehatan
Menurut W. J. S. Poerwadarminta, dalam kamus bahasa Indonesia miliknya,
sosial dimaknai sebagai segala sesuatu yang berhubungan dengan masyarakat atau
kemasyarakatan; suka memperhatikan kepentingan umum. Sedangkan budaya berasal
dari kata Sans atau Bodhya yang bermakna pikiran dan akal budi, budaya diartikan
sebagai segala hal yang dibuat oleh manusia berdasarkan pikiran dan akal budinya yang
mengandung cinta, rasa, dan karsa. Jadi, dapat disimpulkan dari segi istilah, sosial budaya
merupakan segala hal yang diciptakan oleh manusia dengan pikiran dan budinya dalam
kehidupan bermasyarakat.

Faktor Sosial dalam Penggunaan Pelayanan Kesehatan


a. Cenderung lebih tinggi pada kelompok orang muda dan orang tua
b. Cenderung lebih tinggi pada orang yang berpenghasilan tinggi dan berpendidikan
tinggi
a. Cenderung lebih tinggi pada kelompok Yahudi dibandingkan dengan penganut agama
lain.
b. Persepsi sangat erat hubungannya dengan penggunaan pelayanan kesehatan.

Faktor Budaya dalam Penggunaan Pelayanan Kesehatan


Faktor kebudayaan yang mempengaruhi penggunaan pelayanan kesehatan diantaranya
adalah:
a. Rendah penggunaan pelayanan kesehatan pada suku bangsa terpencil.
b. Ikatan keluarga yang kuat lebih banyak menggunakan fasilitas pelayanan kesehatan.
c. Meminta nasehat dari keluarga dan teman-teman.
d. Pengetahuan tentang sakit dan penyakit. Dengan asumsi jika pengetahuan tentang
sakit meningkat maka penggunaan pelayanan kesehatan juga meningkat.
e. Sikap dan kepercayaan masyarakat terhadap provider sebagai pemberi pelayanan
kesehatan.

Prinsip pendidikan kesehatan masyarakat


 Pendidikan kesehatan bukan hanya pelajaran di kelas tetapi merupakan kumpulan
pengalaman dimana saja dan kapan saja sepanjang dapat mempengaruhi
pengetahuan sikap dan kebiasaan sasaran pendidikan
 Pendidikan kesehatan tidak dapat secara mudah diberikan oleh seseorang kepada
orang lain karena pada akhirnya sasaran pendidikan itu sendiri yang dapat
mengubah kebiasaan dan tingkah lakunya sendiri.
 Bahwa yang harus dilakukan oleh pendidik adalah menciptakan sasaran agar
individu keluarga, kelompok dan masyarakat dapat mengubah sikap dan tingkah
lakunya sendiri.
 Penddikan kesehatan dikatakan berhasil bila sasaran pendidikan (
individu),keluarga, kelompok, dan masyarakat) sudah mengubah sikap dan
tingkah lakunya sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan.

Pengaruh sosial budaya terhadap kesehatan masyarakat


Tantangan berat yang masih dirasakan dalam pembangunan kesehatan di Indonesia
adalahsebagai berikut.
1. Jumlah penduduk yang besar dengan pertumbuhan yang cukup tinggi serta
penyebaran penduduk yang tidak merata di seluruh wilayah.
2. Tingkat pengetahuan masyarakat yang belum memadai terutama pada golongan
wanita.
3. Kebiasaan negatif yang berlaku di masyarakat, adat istiadat, dan perilaku yang
kurang menunjang dalam bidang kesehatan.

Kurangnya peran serta masyarakat dalam pembangunan bidang kesehatan.Aspek sosial


budaya yang berhubungan dengan kesehatanAspek soaial budaya yang berhubungan
dengan kesehatan anatara lain adalah faktorkemiskinan, masalah kependudukan, masalah
lingkungan hidup, pelacuran dan homoseksual.

Ruang Lingkup Pendidikan kesehatan masyarakat


 Dimensi sasaran
Pendidikan kesehatan individu dengan sasaran individu
Pendidikan kesehatan kelompok dengan sasaran kelompok masyarakat tertentu
Pendidikan kesehatan masyarakat dengan sasaran masyarakat luas
 Dimensi tempat pelaksanaan
Pendidikan kesehatan dirumah sakit dengan sasaran pasien dan keluarga
Pendidikan kesehatan di sekolah dengan sasaran pelajar
Pendidikan kesehatan di masyarakat atau tempat kerja dengan sasaran masyarakat atau
pekerja
 Dimensi tingkat pelayanan kesehhatan
Pendidikan kesehatan promosi kesehatan ( health promotion) missal ; Peningkatan gizi,
perbaikan sanitasi lingkungan , gaya hidup dan sebagainya
Pendidikan kesehatan untuk perlindungan khusus ( specific Protection) missal :
imunisasi
Pendidikan kesehatan untuk diagnosis dini dan pengobatan tepat (early diagnostic and
promt treatment ) missal : dengan pengobatan layak dan sempurna dapat menghindari
dari resiko kecacatan
Pendidikan kesehatan untuk rehabilitasi missal : dengan memulihkan kondisi cacat
melalui latihan latihan tertentu

LI.4 Memahami dan Menjelaskan Sistem Rujukan Pelayanan Kesehatan


Di negara Indonesia sistem rujukan telah dirumuskan dalam SK. Menteri
Kesehatan RI No.32 tahun 1972, yaitu suatu sistem penyelenggaraan pelayanan
kesehatan yang melaksanakan pelimpahan tanggung jawab timbal balik terhadap satu
kasus penyakit atau masalah kesehatan secara vertikal dalam arti dari unit yang
berkemampuan kurang kepada unit yang lebih mampu atau secara horizontal dalam arti
antara unit-unit yang setingkat kemampuannya. Macam rujukan yang berlaku di negara
Indonesia telah ditentukan atas dua macam dalam Sistem Kesehatan Nasional, yaitu:
1. Rujukan kesehatan
Rujukan kesehatan pada dasarnya berlaku untuk pelayanan kesehatan masyarakat
(public health services). Rujukan ini dikaitkan dengan upaya pencegahan penyakit
dan peningkatan derajat kesehatan. Macamnya ada tiga, yaitu: rujukan teknologi,
rujukan sarana, dan rujukan operasional.
2. Rujukan medis
Pada dasarnya berlaku untuk pelayanan kedokteran (medical services). Rujukan ini
terutama dikaitkan dengan upaya penyembuhan penyakit. Macamnya ada tiga, yaitu:
rujukan penderita, rujukan pengetahuan, rujukan bahan-bahan pemeriksaan.

Tujuan Depkes
Meningkatkan derajat kesehatan masyarakat serta meningkatkan mutu pelayanan
kesehatan masyarakat melalui peningkatan dan mekanisme rujukan berjenjang antar
puskesmas dengan RS Dati II, RS Dati I dan RS tingkat pusat dan labkes dalam suatu
system rujukan, sehingga dapat mendukung upaya mengurangi kematian ibu hamil dan
melahirkan dan angka kematian bayi.

Tugas Sistem Rujukan


Memeratakan pelayanan kesehatan melalui system jaringan pelayanan kesehatan mulai
dari Dati II sampai pusat karena keterbatasan sumber daya daerah yang seyogyanya
bertanggung jawab atas penyelenggaraan pelayanan kesehatan bagi masyarakat di
wilayahnya

Syarat Rujukan
• Adanya unit yang mempunyai tanggung jawab baik yang merujuk maupun yang
menerima rujukan .
• Adanya pencatatan tertentu :
- Surat rujukan
- Kartu Sehat bagi klien yang tidak mampu
- Pencatatan yang tepat dan benar
- Kartu monitoring rujukan ibu bersalin dan bayi (KMRIBB)
• Adanya pengertian timbal balik antar yang merujuk dan yang menerima rujukan
• Adanya pengertian tugas tentang system rujuikan
• Sifat rujukan horizontal dan vertical (kearah yang lebih mampu dan lengkap).

Jenis Rujukan
o Rujukan medis
- Rujukan pasien
- Rujukan pengetahuan
- Rujukan laboratorium atau bahan pemeriksaan
o Rujukan kesehatan
- Rujukan ilmu pengetahuan, teknologi dan keterampilan, misalnya : pengiriman
dokter ahli terutama ahli bedah, kebidanan dan kandungan, penyakit dalam dan
dokter anak dari RSU Provinsi ke RSU Kabupaten.
- Pengiriman asisten ahli senior ke RS Kabupaten yang belum ada dokter ahli
dalam jangka waktu tertentu.
- Pengiriman tenaga kesehatan dari puskesmas RSU Kabupaten ke RS Provinsi.
- Alih pengetahuan dan keterampilan di bidang klinik, manajemen dan
pengoperasian peralatan.
o Rujukan manajemen
- Pengiriman informasi
- Obat, biaya, tenaga, peralatan
- Permintaan bantuan : survei epidemiologi, mengatasi wabah (KLB)

Manfaat sistem rujukan, ditinjau dari unsur pembentuk pelayanan kesehatan:


1. Dari sudut pemerintah sebagai penentu kebijakan (policy maker)
a. Membantu penghematan dana, karena tidak perlu menyediakan berbagai macam
peralatan kedokteran pada setiap sarana kesehatan.
b. Memperjelas sistem pelayanan kesehatan, karena terdapat hubungan kerja antara
berbagai sarana kesehatan yang tersedia.
c. Memudahkan pekerjaan administrasi, terutama pada aspek perencanaan.
2. Dari sudut masyarakat sebagai pengguna jasa pelayanan (health consumer)
a. Meringankan biaya pengobatan, karena dapat dihindari pemeriksaan yang sama
secara berulang-ulang.
b. Mempermudah masyarakat dalam mendapatkan pelayanan, karena telah diketahui
dengan jelas fungsi dan wewenang setiap sarana pelayanan kesehatan.
3. Dari sudut kalangan kesehatan sebagai penyelenggara pelayanan keseahatan (health
provider)
a. Memperjelas jenjang karier tenaga kesehatan dengan berbagai akibat positif lainnya
seperti semangat kerja, ketekunan, dan dedikasi.
b. Membantu peningkatan pengetahuan dan ketrampilan, yaitu: kerja sama yang
terjalin.
c. Memudahkan atau meringankan beban tugas, karena setiap sarana kesehatan
mempunyai tugas dan kewajiban tertentu.
LI.5 Memahami dan Menjelaskan Mutu Pelayanan Kesehatan dan Imunisasi
Pengertian Mutu
 Mutu adalah tingkat kesempurnaan dari penampilan sesuatu yang sedang diamati
(Winston Dictionary, 1956)
 Mutu adalah sifat yang dimiliki oleh suatu program (Donabedian, 1980)
 Mutu adalah totalitas dari wujud serta ciri dari suatu barang jasa, yang didalamnya
terkandung sekaligus pengertian rasa aman atau pemenuhan kebutuhan para
pengguna (Din ISO 8402, 1986)
 Mutu adalah kepatuhan terhadap standar yang telah ditetapkan (Crosby, 1984)

Sistem terdiri dari :


 Input
Subsistem yang akan memberikan segala masukan untuk berfungsinya sebuah
sistem, seperti sistem pelayanan kesehatan : Potensi masyarakat, Tenaga
kesehatan, Sarana kesehatan
 Proses
Kegiatan yg berfungsi untuk mengubah sebuah masukan menjadi sebuah hasil yg
diharapkan dari sistem tersebut, yaitu berbagai kegiatan dalam pelayanan
kesehatan.
 Output
Hasil yang diperoleh dari sebuah proses, Output pelayanan kesehatan : pelayanan
yang berkualitas, efektif dan efisien serta terjangkau oleh seluruh lapisan
masyarakat sehingga pasien sembuh & sehat optimal.
 Dampak
Akibat yang dihasilkan sebuah hasil dari sistem, relative lama waktunya. Dampak
sistem Pelayanan kesehatan adalah masyarakat sehat, angka kesakitan & kematian
menurun.
 Umpan balik (feedback)
Suatu hasil yang sekaligus menjadikan masukan dan ini terjadi dari sebuah sistem
yang saling berhubungan dan saling mempengaruhi, berupa kualitas tenaga
kesehatan
 Lingkungan
Semua keadaan di luar sistem tetapi dapat mempengaruhi pelayanan kesehatan.
Tingkat Pelayanan Kesehatan
Menurut Leavel & Clark dalam memberikan pelayanan kesehatan harus memandang
pada tingkat pelayanan kesehatan yg akan diberikan, yaitu :
 Health promotion (promosi kesehatan)
Merupakan tingkat pertama dalam memberikan pelayanan melalui peningkatan
kesehatan, Contoh : kebersihan perorangan, perbaikan sanitasi lingkungan.
 Specifik protection (perlindungan khusus)
Masyarakat terlindung dari bahaya/ penyakit2 tertentu. Cth : Imunisasi,
perlindungan keselamatan kerja
 Early diagnosis and prompt treatment (diagnosis dini & pengobatan segera)
Sudah mulai timbulnya gejala penyakit, Cth : survey penyaringan kasus.
 Disability limitation (pembatasan cacat)
Dilakukan untuk mencegah agar pasien atau masyarakat tidak mengalami dampak
kecacatan akibat penyakit yang ditimbulkan.
 Rehabilitation (rehabilitasi)
Dilaksanakan setelah pasien didiagnosa sembuh. Sering pada tahap ini dijumpai
pada fase pemulihan terhadap kecacatan seperti latihan- latihan yang diberikan
pada pasien.

Lembaga pelayanan kesehatan


 Rawat jalan
 Institusi
 Hospice
 Community Based Agency
Lingkup sistem pelayanan kesehatan
 Tertiary health service : tenaga ahli/subspesialis (RS tipe A atau B)
 Secondary health care : RS yg tersedia tenaga spesialis
 Primary health care : Puskesmas, balai kesehatan
Rumah sakit dapat dibagi dalam beberapa jenis menurut kategorinya :
 Menurut pemilik : pemerintah, swasta
 Menurut filosofi yang dianut : profit hospital dan non profit hospital
 Menurut jenis pelayanan yang diselenggarakan : General Hospital dan Specialty
Hospital
 Menurut lokasi (pemerintah) : pusat, provinsi dan kabupaten

Menurut kemampuan yang dimiliki rumah sakit di Indonesia dapat digolongkan


dalam beberapa kategori :
 Rumah sakit tipe A : Specialis dan sub specialis lebih luas, Top referral hospital
 Rumah sakit tipe B : Specialis dan sub specialis terbatas, pelayanan rujukan dari
kabupaten
 Rumah sakit tipe C : Spesialis terbatas, Pelayanan rujukan dari Puskesmas
 Rumah sakit tipe D : Pelayanan rujukan dari Puskesmas
 Rumah sakit tipe E : (rumah sakit khusus) : RS Jiwa, RS Jantung, RS Paru, kanker,
Kusta.
 Puskesmas dibina oleh Dinas Kesehatan kabupaten/kota terkait kegiatan upaya
kesehatan masyarakat (UKM)
 Puskesmas dibina oleh rumah sakit kabupaten/kota terkait upaya kesehatan perorangan
(UKP)
 Sedang dalam proses untuk penggabungan UKM dan UKP
 UKM
Pemerintah dan peran serta aktif masyarkat dan swasta.
Mencakup: promkes, pemeliharaan kes, P2M, keswa, pengendalian penyakit tdk
menular, sanitasi dasar, gizi masyarakat.
 UKP
dapat diselenggarakan oleh masyarakat, swasta dan Pemerintah .
Mencakup: promkes, pencegahan, pengobatan rwt jalan, pengobt rwt inap,
rehabilitasi
Puskesmas :
 Posyandu balita dan lansia
 Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD)
 Polindes (poliklinik desa)
Puskesmas kebanyakan hanya dijadikan tempat transit permohonan rujukan.
Trend Issu pelayanan kesehatan
 Adanya fragmentasi pelayanan
 penerapan otonomi
 penetapan Puskesmas sebagai ujung tombak
 Alokasi anggaran promotive dan prepentive
 Serta kurangnya sumber daya manusia
Faktor yang mempengaruhi pelayanan kesehatan
1. Ilmu pengetahuan & teknologi baru
2. Pergeseran nilai masyarakat
3. Aspek legal dan etik
4. Ekonomi
5. Politik
Masalah sistem pelayanan kesehatan
 Upaya Kesehatan
 Pembiayaan Kesehatan
 Sumber Daya Manusia Kesehatan
 Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Makanan
 Manajemen dan Informasi Kesehatan
 Pemberdayaan Masyarakat

Undang- undang sistem pelayanan kesehatan


 Landasan Adil, yaitu Pancasila
 Landasan Konstitusional, yaitu UUD 1945, khususnya: Pasal 28 A, setiap orang
berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.
Pasal 28 A ayat (1), setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat
tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak
memperoleh pelayanan.

Skema Fungsi kesehatan


Menurut skema di atas fungsi sistem kesehatan yaitu: (1) stewardship; (2) Pendanaan; (3)
Pengembangan Sumber Daya, termasuk SDM; dan (4) pemberi pelayanan berusaha agar
terjadi perluasan cakupan pelayanan kesehatan, peningkatan mutu pelayanan, dan
efisiensi yang pada akhirnya meningkatkan status kesehatan.

Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Mutu Pelayanan Kesehatan


Faktor-faktor tersebut antara lain :
a. Pergeseran masyarakat dan konsumen
Hal ini sebagai akibat dari peningkatan pengetahuan dan kesadaran konsumen
terhadap peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit dan upaya pengobatan. sebagai
masyarakat yang memiliki pengetahuan tentang masalah kesehatan yang meningkat,
maka mereka mempunyai kesadaran yang lebih besar yang berdampak pada gaya
hidup terhadap kesehatan. akibatnya kebutuhan masyarakat akan pelayanan kesehatan
meningkat.
b. Ilmu pengetahuan dan teknologi baru.
Pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di sisi lain dapat meningkatkan
pelayanan kesehatan karena adanya peralatan kedokteran yang lebih canggih dan
memadai walau di sisi yang lain juga berdampak pada beberapa hal seperti
meningkatnya biaya pelayanan kesehatan, melambungnya biaya kesehatan dan
dibutuhkannya tenaga profesional akibat pengetahuan dan peralatan yang lebih
modern.
c. Issu legal dan etik.
Sebagai masyarakat yaang sadar terhadap haknya untuk mendapatkan pelayanan
kesehatan dan pengobatan , issu etik dan hukum semakin meningkat ketika mereka
menerima pelayanan kesehatan. Pemberian pelayanan kesehatan yang kurang
memadai dan kurang manusiawi maka persoalan hukum kerap akan membayanginya.
d. Ekonomi
Pelayanan kesehatan yang sesuai dengan harapan barangkali hanya dapat dirasakan
oleh orang-orang tertentu yang mempunyai kemampuan untuk memperoleh fasilitas
pelayanan kesehatan yang dibutuhkan, namun bagi klien dengan status ekonomi
rendah tidak akan mampu mendapatkan pelayanan kesehatan yang paripurna karena
tidak dapat menjangkau biaya pelayanan kesehatan.
e. Politik
Kebijakan pemerintah dalam sistem pelayanan kesehatan akan berpengaruh pada
kebijakan tentang bagaimana pelayanan kesehatan yang diberikan dan siapa yang
menanggung biaya pelayanan kesehatan

Dimensi Mutu Pelayanan


a. Dimensi Kompetensi Teknis; berhubungan dengan bagaimana pemberi layanan
kesehatan mengikuti standar layanan kesehatan yang telah disepakati, yang
meliputi ketepatan, kepatuhan, kebenaran dan konsistensi.
b. Dimensi Keterjangkauan; artinya layanan kesehataan yang diberikan harus dapat
dicapai oleh masyarakat, baik dari segi geografis, sosial, ekonomi, organisasi, dan
bahasa.
c. Dimensi Efetivitas; layanan kesehatan yang diberikan harus mampu mengobati
atau megurangi keluhan masyarakat/pasien dan mampu mencegah meluasnya
penyakit yang diderita olehnya.
d. Dimensi Efisiensi; dengan adanya layanan kesehatan yang efisiens maka
masyarakat atau pasien tidak perlu menunggu terlalu lama yang dapat
mengakibatkan masyarakat/pasien tersebut membayar terlalu mahal.
e. Dimensi Kesinambungan; masyarakat/pasien dilayanai secara terus menerus
sesuai dengan kebutuhannya, termasuk rujukan yang tidak perlu mengulangi
prosedur.
f. Dimensi Keamanan; layanan kesehatan harus aman dari resiko cidera, infeksi,
efek samping, atau bahaya lainnya, sehingga prosedur yang akan menjamin
pemberi dan penerima pelayan disusun.
g. Dimensi Kenyamanan; layanan kesehatan yang diberikan akan terasa nyaman
bagi masyarakat/pasien jika dapat mempengaruhi kepuasan dan menimbulkan
kepercayaan untuk datang kembali.
h. Dimensi Informasi; layanan kesehatan ini sangat perlu diberikan oleh petugas
puskesmas dan rumah sakit kepada masyarakat, yang mana dapat mempengaruhi
perubahan perilaku.
i. Dimensi Ketepatan Waktu; layanan kesehatan harus dilakukan dalam waktu dan
cara yang tepat, oleh pemberi layanan yang tepat, menggunakan peralatan dan
obat yang tepat, serta biaya yang tepat (efisien).
j. Dimensi Hubungan Antarmanusia; hubungan antarmanusia yang baik akan
menimbulkan kepercayaan dan kredibilitas dengan cara saling menghargai,
menjaga rahasia, saling menghormati, responsif, memberi perhatian, dan lain-lain.
Syarat pokok pelayanan kesehatan
Suatu pelayanan kesehatan dikatakan baik apabila:
1. Tersedia (available) dan berkesinambungan (continuous)
Artinya semua jenis pelayanan kesehatan yang dibutuhkan masyarakat tidak sulit
ditemukan, serta keberadaannya dalam masyarakat adalah pada setiap saat yang
dibutuhkan.
2. Dapat diterima (acceptable) dan bersifat wajar (appropriate)
Artinya pelayanan kesehatan tersebut tidak bertentangan dengan keyakinan dan
kepercayaan masyarakat. Pelayanan kesehatan yang bertentangan dengan adat
istiadat, kebudayaan, keyakinan dan kepercayaan mesyarakat, serta bersifat tidak
wajar, bukanlah suatu pelayanan kesehatan yang baik.
3. Mudah dicapai (accessible)
Ketercapaian yang dimaksud disini terutama dari sudut lokasi. Dengan demikian,
untuk dapat mewujudkan pelayanan kesehatan yang baik, maka pengaturan distribusi
sarana kesehatan menjadi sangat penting. Pelayanan kesehatan yang terlalu
terkonsentrasi di daerah perkotaan saja, dan sementara itu tidak ditemukan didaerah
pedesaan, bukanlah pelayanan kesehatan yang baik.
4. Mudah dijangkau (affordable)
Keterjangkauan yang dimaksud adalah terutama dari sudut biaya. Untuk dapat
mewujudkan keadaan yang seperti itu harus dapat diupayakan biaya pelayanan
kesehatan tersebut sesuai dengan kemampuan ekonomi masyarakat. Pelayanan
kesehatan yang mahal hanya mungkin dinikmati oleh sebagian kecil masyarakat saja
bukanlah kesehatan yang baik.
5. Bermutu (quality)
Mutu yang dimaksud disini adalah yang menunjuk pada tingkat kesempurnaan
pelayanan kesehatan yang diselenggarakan, yang disatu pihak tata cara
penyelenggaraannya sesuai dengan kode etik serta standart yang telah ditetapkan.

Prinsip pelayanan prima di bidang kesehatan


1. Mengutamakan pelanggan
Prosedur pelayanan disusun demi kemudahan dan kenyamanan pelanggan, bukan
untuk memeperlancar pekerjaan kita sendiri. Jika pelayanan kita memiliki pelanggan
eksternal dan internal, maka harus ada prosedur yang berbeda, dan terpisah untuk
keduanya. Jika pelayanan kita juga memiliki pelanggan tak langsung maka harus
dipersiapkan jenis-jenis layanan yang sesuai untuk keduanya dan utamakan pelanggan
tak langsung.
2. System yang efektif
Proses pelayanan perlu dilihat sebagai sebuah system yang nyata (hard system), yaitu
tatanan yang memadukan hasil-hasil kerja dari berbagai unit dalam organisasi.
Perpaduan tersebut harus terlihat sebagai sebuah proses pelayanan yang berlangsung
dengan tertib dan lancar dimata para pelanggan.
3. Melayani dengan hati nurani (soft system)
Dalam transaksi tatap muka dengan pelanggan, yang diutamakan keaslian sikap dan
perilaku sesuai dengan hati nurani, perilaku yang dibuat-buat sangat mudah dikenali
pelanggan dan memperburuk citra pribadi pelayan. Keaslian perilaku hanya dapat
muncul pada pribadi yang sudah matang.
4. Perbaikan yang berkelanjutan
Pelanggan pada dasarnya juga belajar mengenali kebutuhan dirinya dari proses
pelayanan. Semakin baik mutu pelayanan akan menghasilkan pelanggan yang
semakin sulit untuk dipuaskan, karena tuntutannya juga semakin tinggi, kebutuhannya
juga semakin meluas dan beragam, maka sebagai pemberi jasa harus mengadakan
perbaikan terus menerus.
5. Memberdayakan pelanggan
Menawarkan jenis-jenis layanan yang dapat digunakan sebagai sumberdaya atau
perangkat tambahan oleh pelanggan untuk menyelesaikan persoalan hidupnya sehari-
hari.

TARGET INDIKATOR PELAYANAN MINIMAL PUSKESMAS


Pelayanan Kesehatan Dasar :
1. Cakupan kunjungan Ibu hamil K4 95 % pada Tahun 2015;
2. Cakupan komplikasi kebidanan yang ditangani 80 % pada Tahun 2015;
3. Cakupan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan yang memiliki kompetensi
kebidanan 90% pada Tahun 2015;
4. Cakupan pelayanan nifas 90% pada Tahun 2015;
5. Cakupan neonatus dengan komplikasi yang ditangani 80% pada Tahun 2010;
6. Cakupan kunjungan bayi 90%, pada Tahun 2010;
7. Cakupan Desa/Kelurahan Universal Child Immunization (UCI) 100% pada Tahun
2010;
8. Cakupan pelayanan anak balita 90% pada Tahun 2010;
9. Cakupan pemberian makanan pendamping ASI pada anak usia 6 - 24 bulan keluarga
miskin 100 % pada Tahun 2010;
10. Cakupan balita gizi buruk mendapat perawatan 100% pada Tahun 2010;
11. Cakupan Penjaringan kesehatan siswa SD dan setingkat 100 % pada Tahun 2010;
12. Cakupan peserta KB aktif 70% pada Tahun 2010;
13. Cakupan penemuan dan penanganan penderita penyakit 100% pada Tahun 2010;
14. Cakupan pelayanan kesehatan dasar masyarakat miskin 100% pada Tahun 2015.

Pelayanan Kesehatan Rujukan


1. Cakupan pelayanan kesehatan rujukan pasien masyarakat miskin 100% pada Tahun
2015;
2. Cakupan pelayanan gawat darurat level 1 yang harus diberikan sarana kesehatan
(RS) di Kabupaten/Kota 100 % pada Tahun 2015.

Penyelidikan Epidemiologi dan Penanggulangan Kejadian Luar Biasa /KLB


1. Cakupan Desa/ Kelurahan mengalami KLB yang dilakukan penyelidikan
epidemiologi < 24 jam 100% pada Tahun 2015.
Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat
1. Cakupan Desa Siaga Aktif 80% pada Tahun 2015.

PELAYANAN IMUNISASI
Imunisasi adalah suatu cara untuk menimbulkan/meningkatkan, kekebalan seseorang
secara aktif terhadap suatu penyakit, sehingga bila kelak ia terpapar dengan penyakit
tersebut tidak akan sakit atau sakit ringan. (Depkes RI, 2005).

Tujuan imunisasi adalah diharapkan anak menjadi lebih kebal terhadap penyakit
sehingga dapat menurunkan angka mortalitas serta dapat mengurangi kecacatan.(A.Aziz,
2008)

Jenis Imunisasi Dasar, dan Pemberian


Di Indonesia terdapat jenis imunisasi yang diwajibkan leh emerintah/ imunisasi dasar dan
ada juga yang hanya anjuran. Imunisasi wajib di Indonesia sebagaimana telah diwajibkan
oleh WHO ditambah dengan hepatitis B, sedangkan imunisasi yang hanya dianjurkan
oleh pemerintah dapat digunakan untuk mecegah suatu kejadian luar biasa atau penyakit
endemik atau untuk kepentingan tertentu misal imunisasi meningitis pada jamaah haji.

Jenis-Jenis Imunisasi :
a. Imunisasi pasif (passive immunization)
Imunisasi pasif ini adalah “Immunoglobulin” jenis imunisasi ini dapat mencegah
penyakitcampak (measles pada anak-anak).

b. Imunisasi aktif (active immunization)Imunisasi yang diberikan pada anak adalah :


 BCG, untuk mencegah penyakit TBC
 DPT, untuk mencegah penyakit-penyakit diptheri, pertusis dan tetanus
 Polio, untuk mencegah penyakit poliomilitis
 Campak, untuk mencegah penyakit campak (measles)
 Hepatitis B, untuk mencegah penyakit hepatitis B (Notoatmodjo. 1997)

Cakupan imunisasi dalam program imunisasi nasional merupakan parameter kesehatan


nasional. Besar cakupan imunisasi harus mencapai lebih dari 80%, artinya di setiap desa,
anak-anak berusia di bawah 12 bulan, 80% harus sudah mendapatkan imunisasi dasar
lengkap. Tetapi saat ini, cakupan imunisasi belum memuaskan. Salah satu dampak
cakupan imunisasi yang tidak sesuai target adalah terjadinya kejadian luar biasa (KLB).
Penyakit dapat dicegah bila cakupan imunisasi sebesar 80% dari target. Penularan
berbanding searah dengan cakupan imunisasi. Apbila anak yang tidak diimunisasi
semakin banyak maka penularan akan semakin meningkat. Sedangkan cakupan imunisasi
yang tinggi akan mengurangi penularan (majalah farmacia, 2012).

Rendahnya cakupan imunisasi dapat diakibatkan oleh beberapa faktor. Faktor


tersebut adalah aspek geografis dimana di daerah pelosok akses pelayanan kesehatan
masih minim termasuk imunisasi. Selain itu, masyarakat sering menganggap bahwa anak
yang menderita batuk pilek tidak boleh diimunisasi. Faktor lain adalah kurangnya
kesadaran masyarakat atas imunisasi akibat minimnya pendidikan. Sehingga tenaga
kesehata seperti dokter, bidan atau perawat memiliki kewajiban mengingatkan pasien
tentang jadwal imunisasi. Faktor lain adalah munculnya kelompok anti vaksin. Selain itu,
kesalahan pemahaman masyarakat mengenai ASI juga turut mempengaruhi kesediaan
untuk melakukan imunisasi. ASI memang meningkatkan daya tahan, namun perlindungan
ASI juga akan berkurang seiring munculnya paparan pada anak (majalah farmacia, 2012).
Dalam program Intensifikasi Imunisasi Rutin, upaya pemberian imunisasi harus lebih
intensif dibandingkan tahun lalu. Imunisasi dasar diketahui sangat efektif dalam
memberikan perlindungan terhadap suatu penyakit pada masa depan kehidupan.
Imunisasi dasar berfungsi membentuk sel memori yang akan dibawa seumur hidup. Jika
imunisasi dasar diberikan lengkap dan sel memori terbentuk semakin dini, maka semakin
bagus perlindungan yang diberikan (Hadinegoro, 2012).
Namun pada vaksin tertentu (vaksin mati atau vaksin komponen, misalnya
hepatitis B atau DTP), imunisasi dasar saja tidak cukup memberikan perlindungan dalam
jangka panjang sehingga harus dilakukan booster atau penguat. Kekebalan yang
diberikan imunisasi dasar tidak berlangsung seumur hidup dan ditandai dengan titer
antibodi yang semakin lama semakin menurun. Pemberian booster dimaksudkan
membangkitkan kembali sel memori untuk membentuk antibodi agar titer antibodi selalu
di atas ambang pencegahan (protective level) (Hadinegoro, 2012).
Vaksin DTP misalnya yang diberikan usia 2, 4, 6 bulan perlu diberikan booster
pada usia 18-24 bulan dan 5 tahun. Di usia lima tahun kekebalan kembali turun sehingga
perlu booster kedua bahkan ketiga dalam jangka waktu setiap 5-10 tahun. Komponen T
(tetanus) pada vaksin DTP juga harus bisa memberikan perlindungan seumur hidup
terhadap tetanus neonatorum (penting untuk melindungi bayi yang dilahirkan dari infeksi
tetanus apabila pemotongan tali pusat tidak steril). Vaksin TT diberikan pada anak usia
sekolah dan ibu hamil (Hadinegoro, 2012).
Sampai kapan booster diberikan, tergantung data epidemiologi dan pola penyakit dari
kelompok usia yang rentan terkena penyakit. Misalnya penyakit difteri, pertusis, dan
tetanus yang bisa dicegah dengan vaksin DTP bisa mengancam anak-anak maupun
dewasa sehingga semua usia rentan terhadap penularan penyakit-penyakit ini
(Hadinegoro, 2012).

Keberhasilan pemberian imunisasi pada anak dipengerhui oleh beberapa faktor,


diantaranya yaitu :
 Tingginya kadar antibodi pada saat dilakukan imunisasi
 Potensi antigen yang disuntikkan
 Waktu pemberian imunisasi
 Status nutrisi  terutama protein karena protein diperlukan untuk sintesis
antibodi

Imunisasi dasar untuk bayi


Vaksinasi Jadwal Booster/Ulangan
pemberian-usia
BCG Waktu lahir -- Tuberkulosis
Hepatitis Waktulahir-dosis 1 tahun-- pada Hepatitis B
B I bayi yang lahir
1bulan-dosis 2 dari ibu dengan
6bulan-dosis 3 hep B.
DPT dan 3 bulan-dosis1 18bulan-booster1 Dipteria,
Polio 4 bulan-dosis2 6tahun-booster 2 pertusis,
5 bulan-dosis3 12tahun-booster3 tetanus,dan
polio
campak 9 bulan -- Campak

Imunisasi yang dianjurkan


Vaksinasi Jadwal pemberian- Booster/Ulangan Manfaat
usia
MMR 1-2 tahun 12 tahu Measles, meningitis,
rubella
Hib 3bulan-dosis 1 18 bulan Hemophilus
4bulan-dosis 2 influenza tipe B
5bulan-dosis 3
Hepatitis A 12-18bulan -- Hepatitis A
Cacar air 12-18bulan -- Cacar air

Yang harus diperhatikan, tanyakan dahulu dengan dokter anda sebelum imunisasi jika
bayi anda sedang sakit yang disertai panas; menderita kejang-kejang sebelumnya ; atau
menderita penyakit system saraf.

Jadwal imunisasi
Jadwal pemberian imunisasi :
Keterangan:
Rekomendasi imunisasi berlaku mulai 1 Januari 2014.
1. Vaksin Hepatitis B. Paling baik diberikan dalam waktu 12 jam setelah lahir dan
didahului pemberian injeksi vitamin K1. Bayi lahir dari ibu HBsAg positif,
diberikan vaksin hepatitis B dan imunoglobulin hepatitis B (HBIg) pada
ekstremitas yang berbeda. Vaksinasi hepatitis B selanjutnya dapat menggunakan
vaksin hepatitis B monovalen atau vaksin kombinasi.
2. Vaksin Polio. Pada saat bayi dipulangkan harus diberikan vaksin polio oral
(OPV-0). Selanjutnya, untuk polio-1, polio-2, polio-3 dan polio booster dapat
diberikan vaksin OPV atau IPV, namun sebaiknya paling sedikit mendapat satu
dosis vaksin IPV.
3. Vaksin BCG. Pemberian vaksin BCG dianjurkan sebelum 3 bulan, optimal umur
2 bulan. Apabila diberikan sesudah umur 3 bulan, perlu dilakukan uji tuberkulin.
4. Vaksin DTP. Vaksin DTP pertamadiberikan paling cepat pada umur 6 minggu.
Dapat diberikan vaksin DTwP atau DTaP atau kombinasi dengan vaksin lain.
Untuk anak umur lebih dari 7 tahun DTP yang diberikan harus vaksin Td, di-
booster setiap 10 tahun.
5. Vaksin Campak. Campak diberikan pada umur 9 bulan, 2 tahun dan pada SD
kelas 1 (program BIAS).
6. Vaksin Pneumokokus (PCV). Apabila diberikan pada umur 7-12 bulan, PCV
diberikan 2 kali dengan interval 2 bulan; pada umur lebih dari 1 tahun diberikan 1
kali. Keduanya perlu dosis ulangan 1 kali pada umur lebih dari 12 bulan atau
minimal 2 bulan setelah dosis terakhir. Pada anak umur di atas 2 tahun PCV
diberikan cukup satu kali.
7. Vaksin Rotavirus. Vaksin rotavirus monovalen diberikan 2 kali, vaksin rotavirus
pentavalen diberikan 3 kali. Vaksin rotavirus monovalen dosis I diberikan umur
6-14 minggu, dosis ke-2 diberikan dengan interval minimal 4 minggu. Sebaiknya
vaksin rotavirus monovalen selesai diberikan sebelum umur 16 minggu dan tidak
melampaui umur 24 minggu. Vaksin rotavirus pentavalen: dosis ke-1 diberikan
umur 6-14 minggu, interval dosis ke-2, dan ke-3 4-10 minggu, dosis ke-3
diberikan pada umur kurang dari 32 minggu (interval minimal 4 minggu).
8. Vaksin Varisela. Vaksin varisela dapat diberikan setelah umur 12 bulan, namun
terbaik pada umur sebelum masuk sekolah dasar. Bila diberikan pada umur lebih
dari 12 tahun, perlu 2 dosis dengan interval minimal 4 minggu.
9. Vaksin Influenza. Vaksin influenza diberikan pada umur minimal 6 bulan,
diulang setiap tahun. Untuk imunisasi pertama kali (primary immunization) pada
anak umur kurang dari 9 tahun diberi dua kali dengan interval minimal 4 minggu.
Untuk anak 6 – <36 bulan, dosis 0,25 mL.
10. Vaksin Human papiloma virus (HPV). Vaksin HPV dapat diberikan mulai umur
10 tahun. Vaksin HPV bivalen diberikan tiga kali dengan interval 0, 1, 6 bulan;
vaksin HPV tetravalen dengan interval 0, 2, 6 bulan.

Pemberian vaksin bisa melalui injeksi, misalnya vaksin BCG, DPT, DT, TT, Campak dan
Hepatitis B. Sedangkan yang diberikan secara oral yaitu vaksin polio
 BCG : 1 X (bayi 0-11 bulan)
 DPT : 3 X ( bayi 2-11 bulan) selang 4 minggu
 Polio : 3 X ( bayi 2-11 bulan) selang 4 minggu
 Campak : 1X ( anak 9-11 bulan)
 TT IH : - 1 x ( BOOSTER) bila ibu hamil pernah menerima TT 2 X pada
o Waktu calon pengantin atau pada kehamilan
sebelumnya)
 2 X (selang 4 minggu) bila ibu hamil belum pernah divaksinasi TT
o Selama kehamilan. Bila pada waktu kontak
berikutnya (saat pemberian TT2 tetap) diberikan
dengan maksud untuk memberikan perlindungan
pada kehamilan berikutnya
 DT : 2x ( selang 4 minggu) anak kelas 1 sampai wanita
 TT : 2x ( 4 minggu ) anak kelas 6 SD sampai wanita
 TT calon pengantin wanita : 2 X ( selang 4 minggu) sebelum akad nikah

Persiapan alat: Spuit lengkap, alat sterilisator, kapas air hangat.


Persiapan Vaksin: Vaksin yg sesuai dengan sasaran dimasukkan dalam termos es
(vaksin carier ).
Persiapan sasaran : Pemberitahuan kepada orang tua bayi ( sasaran ) tempat
penyuntikan dan efek sampingnya.
Pemberian Imunisasi : Pengambilan vaksin sesuai dengan dosisnya. Desinfeksi pada
tempat yang akan disuntik. Pemberian Imunisasi sesuai dengan jenis vaksin sbb :
 BCG : Intra cutan, dosis 0,05 cc.
 Polio : Tetes mulut, dosis 2 tetes.
 DPT, HB, Campak : Subcutan, dosis 0,5 cc.
Pemberian obat antipiretik untuk imunisasi DPT, dijelaskan cara dan dosis
pemberian. Memberikan Informasi kepada orang tua bayi mengenai jadwal imunisasi
berikutnya. Pencatatan / pelaporan : Imunisasi yang diberikan dicatat dalam buku catatan
imunisasi dan Buku KIA / KMS.

Langkah-langkah kegiatan :
1. Petugas Imunisasi menerima kunjungan bayi sasaran Imunisasi yang telah
membawa Buku KIA / KMS di Ruang Imunisasi setelah mendaftar di loket
pendaftaran.
2. Petugas memriksa status Imunisasi dalam buku KIA / KMS dan menentukan jenis
imunisasi yang akan diberikan.
3. Petugas menanyakan keadaan bayi kepada orang tuanya ( keadaan bayi yang
memungkinkan untuk diberikan imunisasi atau bila tidak akan dirujuk ke Ruang
Pengobatan ).
4. Petugas menyiapkan alat ( menyeteril alat suntik dan kapas air hangat ).
5. Petugas menyiapkan vaksin ( vaksin dimasukkan ke dalam termos es ).
6. Petugas menyiapkan sasaran ( memberitahukan kepada orang bayi tentang tempat
penyuntikan.
7. Petugas memberikan Imunisasi ( memasukkan vaksin ke dalam alat suntik,
desinfeksi tempat suntikan dengan kapas air hangat, memberikan suntikan vaksin
/ meneteskan vaksin sesuai dengan jadwal imunisasi yang akan diberikan.
8. Petugas melakukan KIE tentang efek samping pasca imunisasi kepada orang tua
bayi sasaran imunisasi.
9. Petugas memberikan obat antipiretik untuk imunisasi DPT, dijelaskan cara dan
dosis pemberian.
10. Petugas memberitahukan kepada orang tua bayi mengenai jadwal imunisasi
berikutnya.Petugas mencatat hasil imunisasi dalam Buku KIA / KMS dan Buku
Catatan Imunisasi serta rekapitulasi setiap akhir bulannya

Tabel 2. Kontra indikasi jenis vaksin (Wong, 2004)


Tabel 3. Kejadian yang mungkin terjadi pascaimunisasi (Wong, 2004)

Perkembangan Imunisasi di Indonesia


Kegiatan imunisasi di Indonesia di mulai di Pulau Jawa dengan vaksin cacar pada
tahun 1956. Pada tahun 1972, Indonesia telah berhasil membasmi penyakit cacar. Pada
tahun 1974, Indonesia resmi dinyatakan bebas cacar oleh WHO, yang selanjutnya
dikembangkan vaksinasi lainnya. Pada tahun 1972 juga dilakukan studi pencegahan
terhadap Tetanus Neonatorum dengan memberikan suntikan Tetanus Toxoid (TT) pada
wanita dewasa di Jawa Tengah dan Jawa Timur, sehingga pada tahun 1975 vaksinasi TT
sudah dapat dilaksanakan di seluruh Indonesia. (Depkes RI,2005).

Program Imunisasi TT di Indonesia


Vaksin jerap TT ( Tetanus Toxoid ) adalah vaksin yang mengandung toxoid
tetanus yang telah dimurnikan dan terabsorbsi ke dalam 3 mg/ml aluminium fosfat.
Thimerosal 0,1 mg/ml digunakan sebagai pengawet. Satu dosis 0,5 ml vaksin
mengandung potensi sedikitnya 40 IU. Dipergunakan untuk mencegah tetanus pada bayi
yang baru lahir dengan mengimunisasi Wanita Usia Subur (WUS) atau ibu hamil, juga
untuk pencegahan tetanus pada ibu bayi. (Depkes RI, 2005)

Sifat Vaksin
Vaksin TT termasuk vaksin yang sensitif terhadap beku (Freeze Sensitive=FS)
yaitu golongan vaksin yang akan rusak bila terpapar/terkena dengansuhu dingin atau suhu
pembekuan. (Depkes RI, 2005).

Jadwal Imunisasi TT ibu hamil


1. Bila ibu hamil sewaktu caten (calon pengantin) sudah mendapat TT sebanyak 2 kali,
maka kehamilan pertama cukup mendapat TT 1 kali, dicatat sebagai TT ulang dan
pada kehamilan berikutnya cukup mendapat TT 1 kali saja yang dicatat sebagai TT
ulang juga.
2. Bila ibu hamil sewaktu caten (calon pengantin) atau hamil sebelumnya baru
mendapat TT 1 kali, maka perlu diberi TT 2 kali selama kehamilan ini dan kehamilan
berikutnya cukup diberikan TT 1 kali sebagai TT ulang
3. Bila ibu hamil sudah pernah mendapat TT 2 kali pada kehamilan sebelumnya, cukup
mendapat TT 1 kali dan dicatat sebagai TT ulang.

Cara pemberian dan dosis


1. Sebelum digunakan, vaksin harus dikocok terlebih dahulu agar suspensi menjadi
homogen.
2. Untuk mencegah tetanus/tetanus neonatal terdiri dari 2 dosis primer yang disuntikkan
secara intramuskular atau subkutan dalam, dengan dosis pemberian 0,5 ml dengan
interval 4 minggu. Dilanjutkan dengan dosis ketiga setelah 6 bulan berikutnya. Untuk
mempertahankan kekebalan terhadap tetanus pada wanita usia subur, maka dianjurkan
diberikan 5 dosis. Dosis ke empat dan ke lima diberikan dengan interval minimal 1
tahun setelah pemberian dosis ke tiga dan ke empat. Imunisasi TT dapat diberikan
secara aman selama masa kehamilan bahkan pada periode trimester pertama.
3. Di unit pelayanan statis, vaksin TT yang telah dibuka hanya boleh digunakan selama 4
minggu dengan ketentuan :
• Vaksin belum kadaluarsa
• Vaksin disimpan dalam suhu +2º - +8ºC
• Tidak pernah terendam air.
• Sterilitasnya terjaga
• VVM (Vaccine Vial Monitor) masih dalam kondisi A atau B.
4. Di posyandu, vaksin yang sudah terbuka tidak boleh digunakan lagi untuk hari
berikutnya

Efek Samping
Efek samping jarang terjadi dan bersifat ringan, gejalanya seperti lemas dan kemerahan
pada lokasi suntikan yang bersifat sementara dan kadang-kadang gejala demam. (Depkes
RI, 2005).

Kontraindikasi Vaksin TT
Ibu hamil atau WUS yang mempunyai gejala-gejala berat (pingsan) karena dosis pertama
TT. (Depkes RI, 2005).

Kerusakan Vaksin
Keterpaparan suhu yang tidak tepat pada vaksin TT menyebabkan umur vaksin menjadi
berkurang dan vaksin akan rusak bila terpapar /terkena sinar matahari langsung. (Depkes
RI, 2005).

Perencanaan Program Vaksinansi


Pada program imunisasi menentukan jumlah sasaran merupakan suatu unsur yang paling
penting. Menghitung jumlah sasaran ibu hamil didasarkan 10 % lebih besar dari jumlah
bayi. Perhitungan ini dipakai untuk tingkat pusat, propinsi, kabupaten/kota, kecamatan
dan desa.
Sasaran Imunisasi Ibu Hamil = 1,1 x Jumlah bayi

Menentukan Target Cakupan


Menentukan target cakupan adalah menetapkan berapa besar cakupan imunisasi
yang akan dicapai pada tahun yang direncanakan untuk mengetahui kebutuhan vaksin
yang sebenarnya. Penetapan target cakupan berdasarkan tingkat pencapaian di masing-
masing wilayah kerja maksimal 100 %.
Target Cakupan Imunisasi Ibu Hamil yang akan dicapai :
TT 1 Ibu hamil = 90% TT2 + (Plus TT3+TT4+TT5)=80%

Menghitung Indeks Pemakaian Vaksin (IP)


Menghitung indeks pemakaian vaksin berdasarkan jumlah cakupan imunisasi
yang dicapai secara absolut dan berapa banyak vaksin yang digunakan.Dari pencatatan
stok vaksin setiap bulan diperoleh jumlah ampul/vial vaksin yang digunakan. Untuk
mengetahui berapa rata-rata jumlah dosis diberikan untuk setiap ampul/vial, yang disebut
Indeks Pemakaian Vaksin (IP) dapat dihitung :
Jumlah suntikan (cakupan) yang dicapai tahun lalu
IP Vaksin = ----------------------------------------------------------------------------
-
Jumlah vaksin yang terpakai tahun lalu

Menghitung Kebutuhan Vaksin


1. Setelah menghitung jumlah sasaran imunisasi, menentukan target cakupan dan
menghitung besarnya indeks pemakaian vaksin, maka data-data tersebut digunakan
unuk menghitung kebutuhan vaksin.
2. Puskesmas mengirimkan rencana kebutuhan vaksin ke kabupaten/kota.(Depkes RI,
2005).
Sebelum menghitung jumlah vaksin yang kita perlukan, terlebih dahulu dihitung
jumlah kontak tiap jenis Rumusnya :

Jumlah Kontak = Jumlah sasaran x Target cakupan

Untuk menghindari penumpukan vaksin, jumlah kebutuhan vaksin satu tahun harus
dikurangi sisa vaksin tahun lalu. Rumus Kebutuhan Vaksin ;
Jumlah kontak
Kebutuhan Vaksin =--------------------- =....ampul/vial
IP
LI.6 Memahami dan Menjelaskan Tujuan Syariat Islam dan Hukum berobat serta
menjaga kesehatan

Tujuan Syariat Islam :


Memelihara kemaslahatan agama (Hifzh al-din)
 Agama Islam harus dibela dari ancaman orang-orang yang tidak bertanggung-
jawab yang hendak merusak aqidah, ibadah dan akhlak umat. Ajaran Islam
memberikan kebebasan untuk memilih agama, seperti ayat Al-Quran: “Tidak ada
paksaan untuk (memasuki) agama (Islam)…” (QS Al-Baqarah [2]: 256).
Memelihara jiwa (Hifzh al-nafsi)
 Agama Islam sangat menghargai jiwa seseorang. Oleh sebab itu, diberlakukanlah
hukum qishash yang merupakan suatu bentuk hukum pembalasan. Seseorang
yang telah membunuh orang lain akan dibunuh, seseorang yang telah mencederai
orang lain, akan dicederai, seseorang yang yang telah menyakiti orang lain, akan
disakiti secara setimpal. Dengan demikian seseorang akan takut melakukan
kejahatan. Ayat Al-Quran menegaskan:
 “Hai orang-orang yang beriman! Telah diwajibkan kepadamu qishash
(pembalasan) pada orang-orang yang dibunuh…” (QS Al-Baqarah [2]: 178).
Memelihara keturunan dan kehormatan (Hifzh al-nashli)
 Islam secara jelas mengatur pernikahan, dan mengharamkan zina. Didalam
Syariat Islam telah jelas ditentukan siapa saja yang boleh dinikahi, dan siapa saja
yang tidak boleh dinikahi. Al-Quran telah mengatur hal-hal ini:
 “Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman.
Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik,
walaupun dia menarik hatimu.” (QS Al-Baqarah [2]: 221).
Memelihara harta benda (Hifzh al-mal)
 Dengan adanya Syariat Islam, maka para pemilik harta benda akan merasa lebih
aman, karena Islam mengenal hukuman Had, yaitu potong tangan dan/atau kaki.
Seperti yang tertulis di dalam Al-Quran:
 “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan
keduanya (sebagaimana) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai
siksaan dari Allah. Dan Allah Maha perkasa lagi Maha Bijaksana” (QS Al-
Maidah [5]: 38).

KLB Dalam Pandangan Islam


Dan apa saja musibah yang menimpa kamu, maka adalah disebabkan oleh
perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-
kesalahanmu). (Q.s. As-Syura: 30)
Dalam sudut pandang wahyu Allah terakhir, musibah dan bencana ada kaitannya
dengan dosa atau maksiat yang dilakukan oleh manusia-manusia pendurhaka.Bencana
alam berupa letusan gunung api, banjir bandang, wabah penyakit, kekeringan, kelaparan,
kebakaran, dan lain sebagainya, dalam pandangan alam Islam (Islamic worldview),
tidaklah sekedar fenomena alam. Al-Qur’an menyatakan dengan lugas bahwa segala
kerusakan dan musibah yang menimpa umat manusia itu disebabkan oleh “perbuatan
tangan mereka sendiri”. Tentu saja kata ‘tangan’ sebatas simbol perbuatan dosa/maksiat,
karena suatu perbuatan maksiat melibatkan panca indera, dan juga dikendalikan dan
diprogram sedemikian rupa oleh otak, kehendak dan hawa nafsu manusia. Maksiat,
sebagaimana taat, ada yang bersifat menentang tasyri’ Allah seperti melanggar perkara
yang haram, dan ada yang bersifat menentang takwin Allah (sunnatullah) seperti
melanggar dan merusak alam lingkungan. Bahkan sebelum dunia mengenal karantina,
Nabi Muhammad Saw. telah menetapkan dalam salah satu sabdanya,

Apabila kalian mendengar adanya wabah di suatu daerah,janganlah mengunjungi


daerah itu, tetapi apabila kalian berada di daerah itu, janganlah meninggalkannya.
Islam menetapkan tujuan pokok kehadirannya untuk memelihara agama, jiwa, akal,
jasmani, harta, dan keturunan.Setidaknya tiga dari yang disebut berkaitan
dengankesehatan. Tidak heran jika ditemukan bahwa Islam amat kayadengan tuntunan
kesehatan.
Paling tidak ada dua istilah literatur keagamaan yang digunakan untuk menunjuk tentang
pentingnya kesehatan dalampandangan Islam.
1. Kesehatan, yang terambil dari kata sehat;
2. Afiat.

Keduanya dalam bahasa Indonesia, sering menjadi kata majemuk sehat afiat.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesra, kata "afiat" dipersamakan dengan "sehat". Afiat
diartikan sehat dan kuat,sedangkan sehat (sendiri) antara lain diartikan sebagai keadaan
baik segenap badan serta bagian-bagiannya (bebas dari sakit).Kalau sehat diartikan
sebagai keadaan baik bagi segenap anggota badan, maka agaknya dapat dikatakan bahwa
mata yang sehat adalah mata yang dapat melihat maupun membaca tanpa menggunakan
kacamata. Tetapi, mata yang afiat adalah yang dapat melihat dan membaca objek-objek
yang bermanfaat serta mengalihkan pandangan dari objek-objek yang terlarang, karena
itulah fungsi yang diharapkan dari penciptaan mata. Dalam konteks kesehatan fisik,
misalnya ditemukan sabda Nabi Muhammad Saw.:

Sesungguhnya badanmu mempunyai hak atas dirimu.


Demikian Nabi Saw. menegur beberapa sahabatnya yang bermaksud melampaui batas
beribadah, sehingga kebutuhan jasmaniahnya terabaikan dan kesehatannya terganggu.

Pembicaraan literatur keagamaan tentang kesehatan fisik, dimulai dengan


meletakkan prinsip: Pencegahan lebih baik daripada pengobatan. Karena itu dalam
konteks kesehatan ditemukan sekian banyak petunjuk Kitab Suci dan Sunah Nabi Saw.
yang pada dasarnya mengarah pada upaya pencegahan.
Salah satu sifat manusia yang secara tegas dicintai Allah adalah orang yang menjaga
kebersihan. Kebersihan digandengkan dengan taubat dalam surat Al-Baqarah (2): 222:

Sesungguhnya Allah senang kepada orang yang bertobat,dan senang kepada orang yang
membersihkan diri.
Tobat menghasilkan kesehatan mental, sedangkan kebersihan lahiriah menghasilkan
kesehatan fisik.Wahyu kedua (atau ketiga) yang diterima Nabi Muhammad Saw. adalah:
“ Dan bersihkan pakaianmu dan tinggalkan segala macam kekotoran (QS Al-Muddatstsir
[74]: 4-5)”.

ISLAM MEMERINTAHKAN UMATNYA UNTUK BEROBAT


Berobat pada dasarnya dianjurkan dalam agama islam sebab berobat termasuk upaya
memelihara jiwa dan raga, dan ini termasuk salah satu tujuan syari’at islam ditegakkan,
terdapat banyak hadits dalam hal ini, diantaranya;

Dari Abu Darda berkata, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:


‘’Sesungguhnya Alloh menurunkan penyakit beserta obatnya, dan Dia jadikan setiap
penyakit ada obatnya, maka berobatlah kalian, tetapi jangan berobat dengan yang
haram.’’ (HR.Abu Dawud 3874, dan disahihkan oleh al-Albani dalam Shahih wa Dha’if
al-Jami’ 2643)

Dari Usamah bin Syarik berkata, ada seorang arab baduwi berkata kepada Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam:

‘’Wahai Rosululloh, apakah kita berobat?,Nabi bersabda,’’berobatlah, karena


sesungguhnya Alloh tidak menurunkan penyakit, kecuali pasti menurunkan obatnya,
kecuali satu penyakit (yang tidak ada obatnya),’’ mereka bertanya,’’apa itu’’ ? Nabi
bersabda,’’penyakit tua.’’ (HR.Tirmidzi 2038, dan disahihkan oleh al-Albani dalam
Sunan Ibnu Majah 3436)

1. Menjadi wajib dalam beberapa kondisi:


a. Jika penyakit tersebut diduga kuat mengakibatkan kematian, maka
menyelamatkan jiwa adalah wajib.
b. Jika penyakit itu menjadikan penderitanya meninggalkan perkara wajib padahal
dia mampu berobat, dan diduga kuat penyakitnya bisa sembuh, berobat semacam
ini adalah untuk perkara wajib, sehingga dihukumi wajib.
c. Jika penyakit itu menular kepada yang lain, mengobati penyakit menular adalah
wajib untuk mewujudkan kemaslahatan bersama.
d. Jika penyakit diduga kuat mengakibatkan kelumpuhan total, atau memperburuk
penderitanya, dan tidak akan sembuh jika dibiarkan, lalu mudhorot yang timbul
lebih banyak daripada maslahatnya seperti berakibat tidak bisa mencari nafkah
untuk diri dan keluarga, atau membebani orang lain dalam perawatan dan
biayanya, maka dia wajib berobat untuk kemaslahatan diri dan orang lain.
2. Berobat menjadi sunnah/ mustahab
Jika tidak berobat berakibat lemahnya badan tetapi tidak sampai membahayakan diri dan
orang lain, tidak membebani orang lain, tidak mematikan, dan tidak menular , maka
berobat menjadi sunnah baginya.
3. Berobat menjadi mubah/ boleh
Jika sakitnya tergolong ringan, tidak melemahkan badan dan tidak berakibat seperti
kondisi hukum wajib dan sunnah untuk berobat, maka boleh baginya berobat atau tidak
berobat
4. Berobat menjadi makruh dalam beberapa kondisi
a. Jika penyakitnya termasuk yang sulit disembuhkan, sedangkan obat yang
digunakan diduga kuat tidak bermanfaat, maka lebih baik tidak berobat karena hal
itu diduga kuat akan berbuat sis- sia dan membuang harta.
b. Jika seorang bersabar dengan penyakit yang diderita, mengharap balasan surga
dari ujian ini, maka lebih utama tidak berobat, dan para ulama membawa hadits
Ibnu Abbas dalam kisah seorang wanita yang bersabar atas penyakitnya kepada
masalah ini.
c. Jika seorang fajir/rusak, dan selalu dholim menjadi sadar dengan penyakit yang
diderita, tetapi jika sembuh ia akan kembali menjadi rusak, maka saat itu lebih
baik tidak berobat.
d. Seorang yang telah jatuh kepada perbuatan maksiyat, lalu ditimpa suatu penyakit,
dan dengan penyakit itu dia berharap kepada Alloh mengampuni dosanya dengan
sebab kesabarannya.
e. Dan semua kondisi ini disyaratlkan jika penyakitnya tidak mengantarkan kepada
kebinasaan, jika mengantarkan kepada kebinasaan dan dia mampu berobat, maka
berobat menjadi wajib.
5. Berobat menjadi haram
Jika berobat dengan sesuatu yang haram atau cara yang haram maka hukumnya haram,
seperti berobat dengan khomer/minuman keras, atau sesuatu yang haram lainnya.
DAFTAR PUSTAKA

Anonim. Pedoman Penanggulangan KLB-DBD bagi keperawatan di RS dan Puskesmas


Ahmad, Jurnal. 2013. Konsep Kesehatan dalam Islam.
Hadinegoro, Sri Rezeki. 2011. Panduan Imunisasi Anak, ed.1. Ikatan Dokter Anak
Indonesia
Lukman Hakim, dkk., 2013, Faktor Sosial Budaya Dan Orientasi Masyarakat
DalamBerobat (Socio-Cultural Factors And Societal Orientation In TheTreatment),
Universitas Jember (UNEJ), Jember.

Notoatmodjo, Soekidjo. 2011. Kesehatan Masyarakat. Jakarta : Rineka Cipta


Rajab, Wahyudin. 2008. Buku Ajar Epidemiologi Untuk Mahasiswa Kebidanan. Jakarta :
EGC
Sandra Imelda H, 2013, Faktor sosial budaya yang mempengaruhi perilaku kesehatan
masyarakat menuju paradigma sehat, Padang.

Tamher dan Noorsiani. 2008. Flu Burung : Aspek Klinis dan Epidemiologis . Jakarta :
Salemba Medika
Trihono. 2010. Arrimes : Manajemen Puskesmas berbasis paradigma sehat. Jakarta :
Sagung Seto
Yetti Wira Citerawati SY, 2012, Aspek Sosiobudaya Berhubungan Dengan Perilaku
Kesehatan,Universitas Brawijaya, Malang.

Memilih Berobat atau Sabar dan Tawakal. http://rumaysho.com/umum/memilih-berobat-


atau-sabar-dan-tawakkal-5136.html 17 May 2016 16:42

What Are Epidemics, Pandemics and Outbreaks? http://www.webmd.com/cold-and-


flu/what-are-epidemics-pandemics-outbreaks 17 May 2016 16:48

Anda mungkin juga menyukai