Anda di halaman 1dari 24

LAPORAN TUTORIAL BLOK KEDOKTERAN KOMUNITAS

SKENARIO 1

KELOMPOK A 1
MULTAZAM HANIF
HANUGROHO
RISNU ARDIAN W
AZMI FARAH FAIRUZYA
IVO ARYENA
PUTRI NUR KUMALASARI
ASTRID ASTARI AULIA
CHRISANTY AZZAHRA Y
IGA KUSTIN M
MARTINA DWI ARIANDINI
WIDORETNO PRABANDARI
ARTRINDA A K S P

(G0012141)
(G0012089)
(G0012189)
(G0012039)
(G0012099)
(G0012167)
(G0012033)
(G0012047)
(G0012093)
(G0012127)
(G0012229)
(G0012029)

Tutor :
Ari Natalia Probandari dr.,MPH, PhD
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
TAHUN 2015

BAB I
PENDAHULUAN
BAGAIMANA MENGATASI PENINGKATAN ANGKA KEJADIAN DEMAM DI PULAU
SERIBU?
Pada Bulan Agustus 2013, terdapat peningkatan angka kejadian demam tinggi di
Dinas Kesehatan Kepulauan Seribu. Dilaporkan adanya 427 kasus demam tinggi dalam
sebulan dengan Case Fatality Rate (CFR) sebesar 10%. Kasus demam tinggi ini meingkat
dibandingkan kasus sebelunya dimana rata rata hanya dilaporkan 100 kasus dan jarang
menyebabkan kematian. Dinas Kesehatan setempat menurunkan tim untuk melakukan
investigasi akan kondisi yang terjadi. Mereka mencuigai adanya Kejadian Luar Biasa (KLB)

penyakit malaria. Invetsigasi dilakukan dengan menerapkan langkah-langkah penyelidikan


KLB.
Malaria memang masih menjadi permasalahan kesehatan di dunia dan di Indonesia.
Di Indonesia prevalensi dan insidensi penyakit malaria di Indonesia masih tinggi, mencapai
417.819 kasus positif pada 20012. Andi mengatakan saat ini 70 peren kasus malaria terdapat
di wilayah Indonesia Timur, terutama diantaranya Papua, Papua Barat, Maluku, Maluku
Utara, Sulawesi, dan Nusa Tenggara. Wilayah endemik di Indonesia Timur, ujar Andi,
tersebar di 84 Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk berisiko 16 juta orang. Andi
menjelaskan faktor geografis yang sulit dijangkau dan penyebaran penduduk yang tidak
merata merupakan beberapa penyebab sulitnya pengendalian malaria di wilayah itu. Selain
itu faktor host, termasuk statusgizi dan adanya penyakit tertentu juga meningkatkan faktor
risiko infeksi malaria. Untu itu, pihaknya juga melakukan pemberdayaan masyarakat dengan
pembentukan Pos Malaraia Desa dan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) juga digerakan
melalui kecamatan hingga RT-RT setempat untuk menurunkan House Index maupun
Container Index pada jentik nyamuk.
Selain itu, juga dilakukan surveillance aktif dan surveillance migrasi. Saat ini
pemerintah menargetkan bebas malaria pada tahun 2030. Bebas malaria adalah kondisi
dimana Annual Parasit Incident(API) atau insiden parasit tahunan, di bawah satu per 1.000
peduduk dan tidak terdapat kasus malaria pada penduduk lokal selama 3 tahun berturut-turut.

BAB II
STUDI PUSTAKA DAN DISKUSI
Jump 1
Memahami skenario dan memahami pengertian beberapa istilah dalam skenario.
1. Case Fatality Rate (CFR): Proporsi kasus dari penyakit atau kondisi tertentu yang fatal
dalam kurun waktu tertentu
2. Kejadian Luar Biasa (KLB): timbulnya atau meningkatnya kejadian kesakitan dan atau
kematian yang bermakna secara epidemiologis pada suatu daerah dalam kurun waktu
tertentu.
3. Prevalensi : Seberapa sering suatu penyakit terjadi pada sekelompok orang
4. Insidensi : Frekuensi penyakit yang baru di masyarakat dalam kurun waktu tertentu
5. House Index (HI): Presentase rumah yang positif jentik dari seluruh rumah yang
diperiksa
6. Coutainer Index (CI): Presentase container (tempat penampungan air) yang positif jentik
dari seluruh container yang diperiksa.

7. Surveilans: kegiatan memantau, memonitoring, menganalisis data secara terus-menerus


pada suatu wilayah yang hasilnya akan berguna bagi pelaksana kesehatan di masyarakat
8. Surveillance aktif : Surveilans aktif menggunakan petugas khusus surveilans untuk
kunjungan berkala kelapangan, desa-desa, tempat praktik pribadi dokter dan tenaga
medis lainnya, puskesmas, klinik, dan rumah sakit, dengan tujuan mengidentifikasi kasus
baru penyakit atau kematian, disebut penemuan kasus (case finding), dan konfirmasi
laporan kasus indeks. Kelebihan surveilans aktif, lebih akurat daripada surveilans pasif,
sebab dilakukan oleh petugas

yang memang dipekerjakan untuk menjalankan

tanggungjawab itu. Selain itu, surveilans aktif dapat mengidentifikasi outbreak lokal.
Kelemahan surveilans aktif, lebih mahal dan lebih sulit untuk dilakukan daripada
surveilans pasif.
9. Surveillance Imigrasi : Kegiatan pengambilan sediaan darah orang orang yang
menunjukkan gejala malaria klinis yang baru datang dari daerah endemis dalam rangka
mencegah masuknya kasus impor.
10. Annual Parasit Incident (API): Angka kesakita per 1000 penduduk dalam 1 tahun.
11. Endemik : Masalah kesehatan yang biasanya disebabkan oleh penyakit dalam jangka
waktu yang lama di wilayah tertentu.
12. Pos Malaria Desa : Pelayanan pengobatan di bawah pertugas kesehatan atau puskesmas
pembantu biasanya terdapat di desa dengan angka kejadian malaria tinggi atau tempat
yang jauh dari pusat pelayanan kesehatan.
Jump 2
Menentukan/mendefinisikan permasalahan.
1. Apa yang dimaksud dengan Case Fatality Rate?
2. Apa kriteria dari KLB?
3. Bagaimana langkah langkah penyelidikan KLB?
4. Apa saja jenis penyakit yang bisa menyebabkan terjadinya KLB?
5. Bagaimana penanganan KLB?
6. Apa tujuan KLB dan siapa yang berwenang menetapkan KLB?
7. Apa saja faktor-faktor yang menyebabkan prevalensi dan insidensi meningkat?
8. Bagaimana mekanisme dan manfaat dibentuk Pos Malaria Desa dan Pemberantasan
Sarang Nyamuk (PSN) ?
9. Apakah ada metode pemberdayaan masyarakat yang lain?
10. Bagaiman tujuan dan mekanisme surveilans?
11. Apa saja jenis surveilans?
12. Bagaimana cara mencapai target bebas malaria?
Jump 3
Menganalisis

permasalahan

dan

membuat

permasalahan (tersebut dalam langkah 2).


1. Case Fatality Rate (CFR) Angka kefatalan kasus

pernyataan

sementara

mengenai

CFR adalah perbandingan antara jumlah kematian terhadap penyakit tertentu


yang terjadi dalam 1 tahun dengan jumlah penduduk yang menderita penyakit tersebut
pada tahun yang sama
Rumus:
CFR = (P/T)k
P = Jumlah kematian terhadap penyakit tertentu
T = jumlah penduduk yang menderita penyakit tersebut pada tahun yang sama.

Perhitungan ini dapat digu8nakan uutk mengetahui tingakat penyakit dengan tingkat
keamtia yang tinggi. Rasio ini dapat dispesifikkan menjadi menurut goklongan umur,
jenis kelamin, tingkat pendidikan dan lain-lain.
2. Kriteria KLB ?
7 (tujuh) Kriteria Kejadian Luar Biasa (KLB) Menurut Permenkes 1501 Tahun 2010
adalah :
a. Timbulnya suatu penyakit menular tertentu yang sebelumnya tidak ada
atau tidak dikenal pada suatu daerah.
b. Peningkatan kejadian kesakitan terus-menerus selama 3 (tiga) kurun
waktu dalam jam, hari atau minggu berturut-turut menurut jenis
penyakitnya.
c. Peningkatan kejadian kesakitan dua kali atau lebih dibandingkan
dengan periode sebelumnya dalam kurun waktu jam, hari, atau minggu
menurut jenis penyakitnya.
d. Jumlah penderita baru dalam periode waktu 1 (satu) bulan
menunjukkan kenaikan dua kali atau lebih dibandingkan dengan angka
rata-rata jumlah per bulan dalam tahun sebelumnya.
e. Rata-rata jumlah kejadian kesakitan per bulan selama 1 (satu) tahun
menunjukkan kenaikan dua kali atau lebih dibandingkan dengan ratarata jumlah kejadian kesakitan per bulan pada tahun sebelumnya.
f. Angka kematian kasus suatu penyakit (Case Fatality Rate) dalam 1
(satu) kurun waktu tertentu menunjukkan kenaikan 50% (lima puluh
persen) atau lebih dibandingkan dengan angka kematian kasus suatu
penyakit periode sebelumnya dalam kurun waktu yang sama.

g. Angka proporsi penyakit (Proportional Rate) penderita baru pada satu


periode menunjukkan kenaikan dua kali atau lebih dibanding satu
periode sebelumnya dalam kurun waktu yang sama
3. Langkah-langkah penetapan status KLB
a.

Langkah Langkah saat terjadi Kejadian Luar Biasa (KLB)


Langkah pencegahan kasus dan pengendalian Kejadian Luar Biasa (KLB) dapat
dimulai sedini mungkin setelah tersedia informasi yang memadai. Bila investigasi
atau penyelidikan Kejadian Luar Biasa (KLB) telah memberikan fakta yang jelas
mendukung hipotesis tentang penyebab terjadinya Kejadian Luar Biasa (KLB),
sumber agen infeksi, dan cara transmisi yang menyebabkan Kejadian Luar Biasa
(KLB), maka upaya pengendalian dapat segera dimulai tanpa perlu menunggu
pengujian hipotesis. Tetapi jika pada investigasi Kejadian Luar Biasa (KLB) belum
memberikan fakta yang jelas maka dilakukan langkah-langkah sebagai berikut :
1) Mengidentifikasi Kejadian Luar Biasa (KLB)
Kejadian Luar Biasa (KLB) merupakan peningkatan kejadian kasus penyakit
yang lebih banyak daripada keadaan normal di suatu area tertentu atau pada suatu
kelompok tertentu, selama suatu periode waktu tertentu. Informasi tentang
terjadinya Kejadian Luar Biasa (KLB) biasanya datang dari sumber-sumber
masyarakat, yaitu laporan pasien, keluarga pasien, kader kesehatan, atau warga
masyarakat. Tetapi informasi tentang terjadinya Kejadian Luar Biasa (KLB) bisa
juga berasal dari petugas kesehatan, laporan kematian, laporan hasil pemeriksaan
laboratorium, atau media lokal (surat kabar dan televisi). Pada dasarnya Kejadian
Luar Biasa (KLB) merupakan penyimpangan dari keadaan normal karena itu
Kejadian Luar Biasa (KLB) ditentukan dengan cara membandingkan jumlah
kasus sekarang dengan rata-rata jumlah kasus dan variasinya di masa lalu
(minggu, bulan, tahun). Kenaikan jumlah kasus belum tentu mengisyaratkan
terjadinya Kejadian Luar Biasa (KLB) (Chandra, Budiman. 2007).
Terjadinya Kejadian Luar Biasa (KLB) dan teridentifikasinya sumber dan
penyebab Kejadian Luar Biasa (KLB) perlu ditanggapi dengan tepat. Jika terjadi
kenaikan signifikan jumlah kasus sehingga disebut Kejadian Luar Biasa (KLB),
maka pihak dinas kesehatan yang berwewenang harus membuat keputusan
apakah akan melakukan investigasi Kejadian Luar Biasa (KLB). Beberapa
penyakit menimbulkan manifestasi klinis ringan dan akan berhenti dengan
sendirinya (self-limiting diseases), misalnya flu biasa. Implikasinya, tidak perlu

dilakukan investigasi Kejadian Luar Biasa (KLB) maupun tindakan spesifik


terhadap Kejadian Luar Biasa (KLB), kecuali kewaspadaan. Tetapi, Kejadian
Luar Biasa (KLB) lainnya akan terus berlangsung jika tidak ditanggapi dengan
2)

langkah pengendalian yang tepat (Chandra, Budiman. 2007).


Melakukan Investigasi Kejadian Luar Biasa (KLB)
Pada Investigasi Kejadian Luar Biasa (KLB) dilakukan dua investigasi, yaitu
investigasi kasus dan investigasi penyebab. Pada investigasi kasus, peneliti
melakukan verifikasi apakah kasus-kasus yang dilaporkan telah didiagnosis
dengan benar (valid). Peneliti Kejadian Luar Biasa (KLB) mendefinisikan kasus
dengan menggunakan seperangkat kriteria sebagai berikut:
a) Kriteria klinis (gejala, tanda, onset)
b) Kriteria epidemiologis karakteristik orang yang terkena, tempat dan waktu
terjadinya Kejadian Luar Biasa (KLB)
c) Kriteria laboratorium (hasil kultur dan waktu pemeriksaan)
d) Identitas diri (nama, alamat, nomer telepon jika ada)
e) Demografis (umur, seks, ras, pekerjaan)
f) Kemungkinan sumber, paparan, dan kausa
g) Gejala klinis (verifikasi berdasarkan definisi kasus, catat tanggal onset gejala
untuk membuat kurva epidemi, catat komplikasi dan kematian akibat
penyakit)
h) Pelapor (berguna untuk mencari informasi tambahan dan laporan balik hasil
investigasi). Pemeriksaan klinis ulang perlu dilakukan terhadap kasus yang
meragukan atau tidak didiagnosis dengan benar (misalnya, karena kesalahan
pemeriksaan laboratorium).

4. Pihak yang berhak menetapkan status KLB


Kepala wilayah/daerah setempat yang mengetahui adanya tersangka wabah (KLB
penyakit menular) di wilayahnya atau tersangka penderita penyakit menular yang dapat
menimbulkan wabah, wajib segera melakukan tindakan-tindakan penanggulangan
seperlunya, dengan bantuan unit kesehatan setempat, agar tidak berkembang menjadi
wabah (UU 4, 1984 dan Permenkes 560/Menkes/Per/VIII/1989). Yang berwenang untuk
menentukan KLB adalah Direktur Rumah Sakit, berdasarkan data surveilans data kasus
rumah sakit.
Organisasi dan Tata Laksana :
a. Dibentuk Tim KLB-DBD rumah sakit
Tim ini bertugas selama ada KLB, dikoordinasikan oleh Wakil Direktur Pelayanan
dan Penunjang Medik. Tim ini dibantu oleh beberapa penanggung jawab bagian anak
dan dewasa. Para penanggung jawab dapat menggerakkan para supervisor terkait,

hubungan antar bagian/UPF/laboratorium (terutama Patologi Klinik dan Bank


Darah). Anggota tim terdiri dari bidang perawatan, yang dikoordinasikan oleh kepala
b.

ruangan, logistic, gizi/dapur, rumah tangga, dan instalasi pemeliharaan sarana.


Kerja sama yang erat selama KLB diperlukan terutama dengan bank darah/PMI,

instalasi farmasi, Laboratorium Patologi Klinik, dan bagian logistic.


c. Semua penjelasan yang bersifat terbuka pada instalasi resmi maupun kepada media
akan diberikan oleh ketua. Keterangan dan foto yang diambil di ruangan harus
seizing ketua tim secara tertulis.
Selama terjadi KLB, dilakukan rapat koordinasi mingguan atau setiap saat yang
dianggap perlu oleh tim atau coordinator.

5. Perbedaan wabah dan KLB


Wabah adalah kejadian yang melebihi keadaan biasa pada satu/sekelompok
masyarakat tertentu, atau lebih sederhana peningkatan frekuensi penderita penyakit, pada
populasi tertentu, pada tempat dan musim atau tahun yang sama (Last, 1983)
Untuk penyakit-penyakit endemis (penyakit yang selalu ada pada keadaan biasa), maka
KLB didefinisikan sebagai : suatu peningkatan jumlah kasus yang melebihi keadaan
biasa, pada waktu dan daerah tertentu.
Pada penyakit yang lama tidak muncul atau baru pertama kali muncul di suatu daerah
(non-endemis), adanya satu kasus belum dapat dikatakan sebagai suatu KLB.
Untuk keadaan tersebut definisi KLB adalah : suatu episode penyakit dan timbulnya
penyakit pada dua atau lebih penderita yang berhubungan satu sama lain. Hubungan ini
mungkin pada faktor saat timbulnya gejala (onset of illness), faktor tempat (tempat
tinggal, tempat makan bersama, sumber makanan), faktor orang (umur, jenis kelamin,
pekerjaan dan lainnya).
Wabah atau KLB tersebut di atas terkandung arti adanya kesamaan pada ciri-ciri
orang yang terkena, tempat dan waktunya. Untuk itu dalam mendefinisikan KLB selalu

dikaitkan dengan waktu, tempat dan orang. Selain itu terlihat bahwa definisi KLB ini
sangat tergantung pada kejadian (insidensi) penyakit tersebut sebelumnya (Barker, 1979;
Kelsey, et al., 1986).
Di Indonesia definisi wabah dan KLB diaplikasikan dalam Undang-undang Wabah
sebagai berikut :
a. Wabah : adalah peningkatan kejadian kesakitan/kematian, yang meluas secara cepat
baik dalam jumlah kasus maupun luas daerah penyakit, dan dapat menimbulkan
malapetaka.
b. Kejadian Luar Biasa (KLB) : adalah timbulnya suatu kejadian kesakitan/kematian dan
atau meningkatnya suatu kejadian kesakitan/kematian yang bermakna secara
epidemiologis pada suatu kelompok penduduk dalam kurun waktu tertentu (Undangundang Wabah, 1984).
Jadi, terlihat adanya perbedaan definisi antara Wabah dan KLB. Wabah harus
mencakup jumlah kasus yang besar, daerah yang luas dan waktu yang lebih lama,
dengan dampak yang timbulkan lebih berat.
6. Tujuan penyelidikan KLB dan wabah
Tujuan

umum

Penyidikan

KLB

yaitu

mencegah

meluasnya

kejadian

(penanggulangan) dan mencegah terulangnya KLB dimasa yang akan datang


(pengendalian). Sedangkan tujuan khusus Penyidikan KLB yaitu diagnosis kasus yang
terjadi dan mengidentifikasi penyebab penyakit, memastikan bahwa keadaan tersebut
merupakan KLB, mengidentifikasi sumber dan cara penularan, mengidentifikasi keadaan
yang menyebabkan KLB, dan mengidentifikasi populasi yang rentan atau daerah yang
beresiko akan terjadi KLB. Adapun langkah-langkah penyelidikan KLB yaitu :
a. Persiapan penelitian lapangan.
b. Menetapkan apakah kejadian tersebut suatu KLB.
c. Memastikan diagnosis Etiologis.
d. Mengidentifikasi dan menghitung kasus atau paparan
e. Mendeskripsikan kasus berdasarkan orang, waktu, dan tempat.
f. Membuat cara penanggulangan sementara dengan segera (jika diperlukan).
g. Mengidentifikasi sumber dan cara penyebaran.
h. Mengidentifikasi keadaan penyebab KLB.
i. Merencanakan penelitian lain yang sistematis.
j. Menetapkan saran cara pencegahan atau penanggulangan.
k. Menetapkan sistem penemuan kasus baru atau kasus dengan komplikan.
l. Melaporkan hasil penyidikan kepada instansi kesehatan setempat dan kepala sistim
pelayanan kesehatan yang lebih tinggi.

Jump 4
Menginventarisasi permasalahan secara sistematis dan pernyataansementara mengenai
permasalahan pada Jump 3.

Angka
Kejadian

CFR

Faktor-faktor
penyebab
(Host,Agent,Lingkunga
n)

Prevalensi

KLB Malaria
Endemis
Penanganan KLB

Jump 5
Pos Malaria Desa
Merumuskan Tujuan Pembelajaran
1. Apa saja jenis penyakit yang bisa menyebabkan terjadinya KLB?
Bebas Malaria
2. Bagaimana penanganan KLB malaria?
3. Apa saja faktor-faktor yang menyebabkan prevalensi dan insidensi meningkat?
4. Bagaimana mekanisme dan manfaat dibentuk Pos Malaria Desa dan Pemberantasan
5.
6.
7.
8.

Sarang Nyamuk (PSN) ?


Apakah ada metode pemberdayaan masyarakat yang lain?
Bagaiman tujuan dan mekanisme surveilans?
Apa saja jenis surveilans?
Bagaimana cara mencapai target bebas malaria?

Jump 6
Mengumpulkan informasi baru dengan belajar mandiri
Jump 7
Melaporkan, membahas, dan menata kembali informasi baru yang diperoleh
1. Karakteristik Penyakit yang berpotensi KLB:
a.
b.
c.
d.

Penyakit yang terindikasi mengalami peningkatan kasus secara cepat.


Merupakan penyakit menular dan termasuk juga kejadian keracunan.
Mempunyai masa inkubasi yang cepat.
Terjadi di daerah dengan padat hunian.

2. Contoh penyakit yang memungkinkan terjadinya KLB atau wabah


a. Penyakit karantina atau penyakit wabah penting: Kholera, Pes, Yellow Fever.
b. Penyakit potensi wabah/KLB yang menjalar dalam waktu cepat atau mempunyai
mortalitas tinggi & penyakit yang masuk program eradikasi/eliminasi dan
memerlukan tindakan segera :
1)
2)
3)
4)
5)
6)
7)

DHF
Campak
Rabies
Tetanus neonatorum
Diare
Pertusis
Poliomyelitis.

c. Penyakit potensial wabah/KLB lainnya dan beberapa penyakit penting :


1) Malaria
2) Frambosia
3) Influenza
4) Anthrax
5) Hepatitis
6) Typhus abdominalis
7) Meningitis
8) Keracunan
9) Encephalitis
10) Tetanus.
d. Penyakit-penyakit menular yang tidak berpotensi wabah dan atau KLB, tetapi
masuk program :
1)
2)
3)
4)
5)
6)

Kecacingan
Kusta,
Tuberkulosa
Syphilis
Gonorrhoe
Filariasis, dll.

e. Contoh-contoh penyakit Berdasarkan kriteria KLB


1) Timbulnya suatu penyakit menular tertentu yang sebelumnya tidak ada atau
tidak dikenal pada suatu daerah, contoh: Flu burung,MERS
2) Peningkatan kejadian kesakitan terus-menerus selama 3 (tiga) kurun waktu
dalam jam, hari atau minggu berturut-turut menurut jenis penyakitnya,
contoh dalam hitungan jam : Diare,keracunan.dalam hitungan hari
:DBD.dalam hitungan minggu : flu burung

3) Peningkatan kejadian kesakitan dua kali atau lebih dibandingkan dengan


periode sebelumnya dalam kurun waktu jam, hari, atau minggu menurut
jenis penyakitnya,contoh : Malaria, DBD
3. Penanganan KLB Malaria
Bila dari hasil konfirmasi telah terjadi KLB malaria, maka kegiatan penanggulangan
dini perlu segera dilaksanakan untuk menekan peningkatan jumlah penderita dan
kematian. Kegiatan ini dilakukan untuk menekan peningkatan jumlah penderita dari
kematian. Kegiatan ini dilakukan unit pelayanan kesehatan (UPK) tingkat :
a. Puskesmas
Kegiatan penanggulangan dilakukan puskesmas bila tersedia obat, bahan, dan
peralatan yang dibutuhkan. Kegiatan yang harus dilakukan adalah :
1) Pengobatan
a) Pada penderita malaria tanpa komplikasi : P. Falciparum postif fiobati
dengan ACT 3 hari dan Primakuin 1 hari. Sedangkan P. vivax positif
diobati dengan Klorokuin 3 hari dan Primakuin 14 hari.
b) Pada penderita malaria berat, di Puskesmas bukan rawat inap harus
segera dirujuk di puskesmas rawat inap atau di rumah sakit. Dengan
menekankan pada perbaikan keadaanumum, pengobatan komplikasi,
serta pengobatan malaria yaitu dengan Artmeter injeksi atau Artesunat
injeksi atau Kina perinfus. Bila penderita sudah bisa makan-minum,
pengobatan segera diganti peroral dengan ACT dan Primakuin.
c) Pada masyarakat di lokasi KLB dilakukan Mass Blood Survey (MBS).
Bila ditemukan penderita positif malaria, segera diobati dengan
pengobatan standar sesuai jenis plasmodiumnya.
d) Pengobatan lanjutan : Mass fever Treatment (MFT) dilakukan setiap dua
minggu pada semua penderita demam yang ditemukan di lokasi KLB.
e) Bila ditemukan penderita kambuh atau belum sembuh, segera diberikan
2)
3)
4)
5)
6)

pengobatan lini berikutnya.


Melaksanakan penyelidikan epidemiologi (orang, tempat, dan waktu)
Menentukan batas wilayah penanggulangan.
Menentukan dan menyiapakan sarana yang dibutuhkan.
Membuat jadwal kegiatan.
Membuat laporan kejadian dan tindakan penanggulangan yang telah

dilaksanakan ke Dinas Kesehatan Kabupaten/Kodya, dalam tempo 24 jam.


b. Dinas Kesehatan Kabupaten/Kotakan
Berdasarkan laporan dari puskesmas, petuugas Kabupaten segera melakukan
kunjungan lapangan untuk mengkonfirmasi kejadian dengan membawa

kebutuhan dan memberikan bimbingan serta melakukan kegiatan bersama-sama


petugas puskesmas, sebagai berikut :
1) MBS atau MFT bila belum terlaksana oleh puskesmas.
2) Penyemprotan rumah dengan insektisida, dengan cakupan bangunan
disemprot > 90%, cakupan permukaan disemprot > 90%
3) Larvaciding bila telah diketahui tempat perindukan.
4) Penyuluhan kesehatan masyarakat.
5) Membuat laporan kejadian dan tindakan penanggulangan yang telah
dilaksanakan ke Dinas Kesehatan Provinsi, dengan form W1 Ka dalam
tempo 24 jam.
c. Dinas Kesehatan Provinsi
1) Menganalisa laporan yang diterima dari Dinas Kesehatan Kabupaten/Kodya.
2) Memproses laporan form W1 disertai rincian kegiatan dan biaya operasional
penanggulangan yang telah disusun oleh Kabupaten/Kodya.
3) Melakukan kunjungan lapangan untuk konfirmasi kejadian.
4) Mengajukan permintaan kebutuhan biaya operasional dan rincian kegiatan
ke Bagian Anggaran Provinsi, sebagaimana ketentuan yang berlaku di
Provinsi yang bersangkutan.
5) Mengirimkan biaya operasional yang sudah disetujui ke Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kodya.
6) Melaksanakan kegiatan pengawasan dan bimbingan teknis di dalam
penanggulangan KLB yang dilaksanakan oleh Kabupaten/Kodya dan
Puskesmas.
7) Melaporkan kejadian KLB pada Departemen Kesehatan cq. Direktorat
Jendral PP dan PL.
8) Khusus untuk daerah transmigrasi supaya dilaporkan juga ke Departemen
Transmigrasi.
d. Tingkat Pusat
1) Direktorat Jenderal PP dan PL cq. Direktorat PP-BB menganalisa kejadian
KLB dan melaporkan kejadian KLB pada Menteri Kesehatan.
2) Melaksanakan kegiatan supervisi dan bimbingan teknis.
1. Faktor faktor yang menyebabkan insidensi dan prevalensi meningkat
a.
Makin mudahnya sarana tranportasi dan peningkatan migrasi
b.
Peningkatan resistensi terhadap obat antimalaria dan insektisida
c.
Perhatian dan kewaspadaan masyarakat terhadap malaria menuun
d.
Petugas pelayanan kesehatan
e.
Faktor geografis
4. Faktor faktor yang menyebabkan insidensi dan prevalensi meningkat
a. Insidensi meningkat pada :
1) Makin mudahnya sarana tranportasi dan peningkatan migrasi
2) Peningkatan resistensi terhadap obat antimalaria dan insektisida
3) Perhatian dan kewaspadaan masyarakat terhadap malaria menuun

4) Petugas pelayanan kesehatan


5) Faktor geografis
b. Prevalensi meningkat seiring meningkatnya :
1) Point prevalensi meningkat pada :
2) Imigrasi penderita
3) Emigrasi orang sehat
4) Meningkatnya masa sakit
5) Meningkatnya jumlah penderita baru
5. Mekanisme dan manfaat dibentuk Pos Malaria Desa dan Pemberantasan Sarang Nyamuk
serta upaya pemberdayaan masyarakat lain
Posmaldes adalah suatu wadah pemberdayaan masyarakat dalam penangulangan
malaria yang dibentuk dari, oleh dan untuk masyarakat secara mandiri dan berkelanjutan.
Kegiatan operasional dilakukan oleh Kader Malaria Desa berupa penemuan dan
pengobatan penderita, penyuluhan ke masyarakat, pemberdayaan misalnya iuran, arisan
kelambu, kerja bakti, PSN, dll.
Menurut PP Menkes RI No 949/MENKES/SK/VII/2004, wabah adlah berjangkitnya
suatu penyakit menular dalam masyarakat yang jumlah penderitanya meningkat secara
nyata melebihi dari pada kejadian yang lazim pada waktu dan daerah tertentu serta dapat
menimbulkan malapetaka. Menteri kesehatan berkewenangan untuk menetapkan dan
mencabut daerah tertentu terkena wabah.
Menurut Depkes, masih tingginya prevalensi malaria di Indonesia dikarenakan
Indonesia beriklim tropis yang merupakan habitat yang nyaman bagi vektor malaria
(nyamuk Anopheles betina), belum ditemukannya vaksin yang tepat, perbedaan geografis
antar pulau menyebabkan tumbuhnya spesies nyamuk yang bervariasi sehinga
menghasilkan antigen malaria yang beragam.
Tujuan Posmaldes antara lain :
a. Meningkatkan jangkauan penemuan kasus malaria melalui peran aktif
masyarakat dan dirujuk ke fasilitas kesehatan terdekat
b. Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pencegahan malaria

Posmaldes diperlukan karena:


a. Sekitar 45% dari desa endemis malaria merupakan daerah terpencil (transportasi
dan komunikasi sulit, akses pelayanan kesehatan rendah, sosial ekonomi

masyarakat rendah, cakupan penemuan kasus malaria oleh Puskesmas rendah,


pengobatan tidak sempurna karena banyak obat malaria dijual bebas)
b. Posmaldes merupakan embrio berbagai bentuk UKBM lainnya
Tugas Kader malaria:
a. Menemukan kasus malaria klinis
b. Merujuk penderita
c. Melakukan penyuluhan dan upaya pencegahan bersama masyarakat
d. Membuat catatan hasil kegiatan
e. Kader mendapat pelatihan dan dilengkapi dengan posmaldes kit dan media
penyuluhan malaria.
Pokok-pokok kegiatan posmaldes
Penemuan dini dan pengobatan penderita.
a. Meningkatkan akses pelayanan yang berkualitas (konfirmasi dengan mikroskop
atau RDT).
b. Pemberdayaan dan penggerakan masyarakat
c. Meningkatkan KIE (Komunikasi, Informasi dan Edukasi)
d. Menggalang kemitraan
e. Meningkatkan sistem surveilans
f. Meningkatkan sistem monitoring dan evaluasi
g. Meningkatkan kualitas sumber daya manusia.

6. Surveilans
Surveilans bertujuan memberikan informasi tepat waktu tentang masalah kesehatan
populasi, sehingga penyakit dan faktor risiko dapat dideteksi dini dan dapat dilakukan
respons pelayanan kesehatan dengan lebih efektif. Tujuan khusus surveilans:
a. Memonitor kecenderungan (trends) penyakit;
b. Mendeteksi perubahan mendadak insidensi penyakit, untuk mendeteksi dini outbreak;
c. Memantau kesehatan populasi, menaksir besarnya beban penyakit (disease burden)
d.
e.

f.
g.

pada populasi;
Menentukan kebutuhan kesehatan prioritas, membantu perencanaan, implementasi,
Monitoring, dan evaluasi program kesehatan;
Mengevaluasi cakupan dan efektivitas program kesehatan;
Mengidentifikasi kebutuhan riset

Langkah-langkah kegiatan surveilans


a. Pengumpulan data
Pengumpulan data merupakan awal dari rangkaian kegiatan untuk memproses
data selanjutnya. Data yang dikumpulkan memuat informasi epidemiologis yang
dilaksanakan secara teratur dan terus menerus dan dikumpulkan tepat waktu.
Pengumpulan data dapat bersifat pasif yang bersumber dari rumah sakit, puskesmas
dan lain-lain, maupun aktif yang diperoleh dari kegiatan survey. Untuk
mengumpulkan data diperlukan sistem pencatatan dan pelaporan yang baik. Secara
umum pencatatan di puskesmas adalah hasil kegiatan kunjungan pasien dan kegiatan
luar gedung (Budioro, 2007).
Pengumpulan data dilakukan dengan mengadakan pencatatan insidensi
terhadap orang-orang yang dianggap penderita campak atau population at risk melalui
kunjungan rumah (active surveillance) atau pencatatan insidensi berdasarkan laporan
sarana pelayanan kesehatan yaitu dari laporan rutin poli umum setiap hari, laporan
bulanan puskesmas desa dan puskesmas pembantu, laporan petugas surveilans di
lapangan, laporan harian dari laboratorium dan laporan dari masyarakat serta petugas
kesehatan lain (pasive surveillance). Atau dengan kata lain, data dikumpulkan dari
unit kesehatan sendiri dan dari unit kesehatan yang paling rendah, misalnya laporan
dari pustu, posyandu, barkesra, poskesdes. Pengumpulan data dapat dilakukan dengan
teknik wawancara dan atau pemeriksaan (Arias, 2010).
Sumber data surveilans epidemiologi meliputi : (1).Data kesakitan yang dapat
diperoleh dari unit pelayanan kesehatan dan masyarakat. (2).Data kematian yang
dapat diperoleh dari unit pelayanan kesehatan serta laporan dari kantor pemerintah
dan masyarakat. (3).Data demografi yang dapat diperoleh dari unit statistik
kependudukan dan masyarakat. (4).Data geografi yang dapat diperoleh dari Unit
Meteorologi dan Geofisika. (5).Data laboratorium yang dapat diperoleh dari unit
pelayanan kesehatan dan masyarakat. (6).Data Kondisi lingkungan. (7).Laporan
wabah. (8).Laporan Penyelidikan wabah/KLB. (9).Laporan hasil penyelidikan kasus
perorangan. (10).Studi epidemiologi dan hasil penelitian lainnya. (11).Data hewan dan
vektor sumber penularan penyakit yang dapat diperoleh dari unit pelayanan kesehatan
dan masyarakat. (11).Laporan kondisi pangan. (12).Data dan informasi penting
lainnya (Budioro, 2007).
b. Pengolahan dan penyajian data

Data yang sudah terkumpul dari kegiatan diolah dan disajikan dalam bentuk tabel,
grafik (histogram, poligon frekuensi), chart (bar chart, peta/map area). Penggunaan
komputer sangat diperlukan untuk mempermudah dalam pengolahan data diantaranya
dengan menggunakan program (software) seperti epid info, SPSS, lotus, exceldan lainlain (Budioro, 2007).
c. Analisis data
Analisis merupakan langkah penting dalam surveilans epidemiologi karena akan
dipergunakan untuk perencanaan, monitoring dan evaluasi serta tindakan pencegahan
dan

penanggulangan

penyakit.

Kegiatan

ini

menghasilkan

ukuran-ukuran

epidemiologi seperti rate, proporsi, rasio dan lain-lain untuk mengetahui situasi,
estimasi dan prediksipenyakit (Noor, 2000).
Data yang sudah diolah selanjutnya dianalisis dengan membandingkan data
bulanan atau tahun-tahun sebelumnya, sehingga diketahui ada peningkatan atau
penurunan dan mencari hubungan penyebab penyakit campak dengan faktor resiko
yang berhubungan dengan kejadian campak (Arias, 2010).
d. Penyebarluasan informasi
Penyebarluasan informasi dapat dilakukan ke tingkat atas maupun ke bawah.
Dalam rangka kerja sama lintas sektoral instansi-instansi lain yang terkait dan
masyarakat juga menjadi sasaran kegiatan ini. Untuk diperlukan informasi yang
informatif agar mudah dipahami terutama bagi instansi diluar bidang kesehatan
(Budioro, 2007).
Data, informasi dan rekomendasi sebagai hasil kegiatan surveilans epidemiologi
penyakit campak disampaikan kepada pihak-pihak yang dapat melakukan tindakan
penanggulangan penyakit atau upaya peningkatan program kesehatan, pusat-pusat
penelitian dan pusat-pusat kajian serta pertukaran data dalam jejaring surveilans
epidemiologi agar diketahui terjadinya peningkatan atau penurunan kasus penyakit
(Arias, 2010).
Penyebarluasan informasi yang baik harus dapat memberikan informasi yang
mudah dimengerti dan dimanfaatkan dalam menentukan arah kebijakan kegiatan,
upaya pengendalian serta evaluasi program yang dilakukan. Cara penyebarluasan
informasi yang dilakukan yaitu membuat suatu laporan hasil kajian yang disampaikan
kepada atasan, membuat laporan kajian untuk seminar dan pertemuan, membuat
suatu tulisan di majalah rutin, memanfaatkan media internet yang setiap saat dapat di
akses dengan mudah (Depkes RI, 2003).

e. Umpan balik
Kegiatan umpan balik dilakukan secara rutin biasanya setiap bulan saat menerima
laporan setelah diolah dan dianalisa melakukan umpan balik kepada unit kesehatan
yang melakukan laporan dengan tujuan agar yang mengirim laporan mengetahui
bahwa laporannya telah diterima dan sekaligus mengoreksi dan memberi petunjuk
tentang laporan yang diterima. Kemudian mengadakan umpan balik laporan
berikutnya akan tepat waktu dan benar pengisiannya. Cara pemberian umpan balik
dapat melalui surat umpan balik, penjelasan pada saat pertemuan serta pada saat
melakukan pembinaan/suvervisi (Arias, 2010).
f. Investigasi penyakit berpotensi KLB
Setelah pengambilan keputusan perlunya mengambil tindakan maka terlebih
dahulu dilakukan investigasi/penyelidikan epidemiologi penyakit campak. Dengan
investigator membawa ceklis/format pengisian tentang masalah kesehatan yang terjadi
dalam hal ini adalah penyakit dan bahan untuk pengambilan sampel di laboratorium.
Setelah melakukan investigasi penyelidikan kemudian disimpulkan bahwa benarbenar telah terjadi KLB yang perlu mengambil tindakan atau sebaliknya (Arias,
2010).
g. Tindakan penanggulangan
Berdasarkan hasil investigasi/penyelidikan epidemiologi tersebut maka segera
dilakukan tindakan penanggulangan dalam bentuk yaitu: (1) Pengobatan segera pada
penderita yang sakit, (2) Melakukan rujukan penderita yang tergolong berat, (3)
Melakukan penyuluhan mengenai penyakit kepada masyarakat untuk meningkatkan
kesadaran agar tidak tertular penyakit atau menghindari penyakit tersebut, (4)
Melakukan gerakan kebersihan lingkungan untuk memutuskan rantai penularan
(Arias, 2010).
h. Evaluasi
Setiap program surveilans sebaiknya dinilai secara periodik untuk mengevaluasi
manfaatnya . sistem dapat berguna apabila secara memuaskan memenuhi paling tidak
salah satu dari pernyataan berikut : apakah kegiatan surveilans dapat mendeteksi
kecenderungan yang mengidentifikasi perubahan dalam kejadian kasus penyakit,
apakah program surveilans dapat mendeteksi epidemik kejadian penyakit di wilayah
tersebut, apakah kegiatan surveilans dapat memberikan informasi tentang besarnya
morbiditas dan mortalitas yang berhubungan dengan kejadian penyakit di wilayah
tersebut, apakah program surveilans dapat mengidentifikasi faktor-faktor resiko yang

berhubungan dengan kejadian penyakit dan apakah program surveilans tersebut dapat
menilai efek tindakan pengendalian (Arias, 2010)
Pendekatan surveilans dapat dibagi menjadi dua jenis: (1) Surveilans pasif; (2) Surveilans
aktif.
a. Surveilans pasif memantau penyakit secara pasif, dengan menggunakan data penyakit
yang harus dilaporkan (reportable diseases) yang tersedia di fasilitas pelayanan
kesehatan. Kelebihan surveilans pasif, relatif murah dan mudah untuk dilakukan.
Kekurangan surveilans pasif adalah kurang sensitif dalam mendeteksi kecenderungan
penyakit. Data yang dihasilkan cenderung under-reported, karena tidak semua kasus
datang ke fasilitas pelayanan kesehatan formal.Selain itu,tingkat pelaporan dan
kelengkapan laporan biasanya rendah, karena waktu petugas terbagi dengan tanggung
jawab utama memberikan pelayanan kesehatan di fasilitas kesehatan masing-masing.
b. Surveilans aktif menggunakan petugas khusus surveilans untuk kunjungan berkala
kelapangan, desa-desa, tempat praktik pribadi dokter dan tenaga medis lainnya,
puskesmas, klinik, dan rumah sakit, dengan tujuan mengidentifikasi kasus baru
penyakit atau kematian, disebut penemuan kasus (case finding), dan konfirmasi
laporan kasus indeks. Kelebihan surveilans aktif, lebih akurat daripada surveilans
pasif, sebab dilakukan oleh petugas yang memang dipekerjakan untuk menjalankan
tanggungjawab itu. Selain itu, surveilans aktif dapat mengidentifikasi outbreak lokal.
Kelemahan surveilans aktif, lebih mahal dan lebih sulit untuk dilakukan daripada
surveilans pasif.
7. Eliminasi malaria sebagai upaya mencapai target bebas malaria
Untuk mengatasi masalah malaria, dalam pertemuan WHA 60 tanggal 18 Mei 2007
telah dihasilkan komitmen global tentang eliminasi malaria bagi setiap negara. Petunjuk
pelaksanaan eliminasi malaria tersebut telah di rumuskan oleh WHO dalam Global
Malaria Programme.
Penyebaran malaria disebabkan oleh berbagai faktor antara lain:
a. Perubahan lingkungan yang tidak terkendali dapat menimbulkan tempat perindukan
nyamuk malaria.
b. Banyaknya nyamuk Anopheles sp yang telah dikonfirmasi sebagai vektor malaria (17
spesies), dari berbagai macam habitat.
c. Mobilitas penduduk yang relatif tinggi dari dan ke daerah endemik malaria.
d. Perilaku masyarakat yang memungkinkan terjadinya penularan.
e. Semakin meluasnya penyebaran parasit malaria yang telah resisten terhadap obat anti
malaria.

f. Terbatasnya akses pelayanan kesehatan untuk menjangkau seluruh desa yang


permasalah malaria, karena hambatan geografis, ekonomi, dan sumber daya
Tujuan dari program eliminasi malaria adalah demi terwujudnya masyarakat yang hidup
sehat, yang terbebas dari penularan malaria secara bertahap sampai tahun 2030.
Sasaran wilayah eliminasi dilaksanakan secara bertahap sebagai berikut :
a. Kepulauan Seribu (Provinsi DKI Jakarta), Pulau Bali dan Pulau Batam pada tahun
2010;
b. Pulau Jawa, Provinsi NAD dan Provinsi Kepulauan Riau pada tahun 2015;
c. Pulau Sumatera (kecuali Provinsi NAD dan Provinsi Kepulauan Riau) , Provinsi
NTB, Pulau Kalimantan dan Pulau Sulawesi pada tahun 2020; dan
d. Provinsi Papua, Provinsi Papua Barat, Provinsi NTT, Provinsi Maluku dan Provinsi
Maluku Utara pada tahun 2030.
Strategi
a. Melakukan penemuan dini dan pengobatan dengan tepat.
b. Memberdayakan dan menggerakan masyarakat untuk mendukung secara aktif upaya
eliminasi malaria.
c. Menjamin akses pelayanan berkualitas terhadap masyarakat yang berisiko.
d. Melakukan komunikasi, advokasi, motivasi dan sosialisasi kepada Pemerintah dan
Pemerintah Daerah untuk mendukung secara aktif eliminasi malaria.
e. Menggalang kemitraan dan sumber daya baik lokal, nasional maupun internasional,
secara terkoordinasi dengan seluruh sektor terkait termasuk sektor swasta, organisasi
profesi, dan organisasi kemasyarakatan melalui forum gebrak malaria atau forum
kemitraan lainnya.
f. Menyelenggarakan sistem surveilans, monitoring dan evaluasi serta informasi
kesehatan.
g. Melakukan upaya eliminasi malaria melalui forum kemitraan Gebrak Malaria atau
forum kemitraan lain yang sudah terbentuk.
h. Meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan mengembangkan teknologi dalam
upaya eliminasi malaria.
Dalam program malaria Global (Global Malaria Programme) terdapat 4 tahapan menuju
eliminasi malaria yaitu: Pemberantasan, Pra Eliminasi, Eliminasi dan Pemeliharaan
(pencegahan penularan kembali). Kegiatan dalam eliminasi malaria :
a. Tahap Pemberantasan
Tujuan utama pada Tahap Pemberantasan adalah mengurangi tingkat penularan
malaria disatu wilayah minimal kabupaten/kota, sehingga pada akhir tahap tersebut
tercapai SPR < 5 %. Sasaran intervensi kegiatan dalam Tahap Pemberantasan adalah

seluruh lokasi

endemis malaria (masih terjadi penularan) di wilayah yang akan

dieliminasi.
b. Tahap Pra Eliminasi
Tujuan utama pada tahap Pra Eliminasi adalah mengurangi jumlah fokus aktif dan
mengurangi penularan setempat di satu wilayah minimal kabupaten/kota, sehingga
pada akhir tahap tersebut tercapai API < 1 per 1000 penduduk berisiko. Sasaran
intervensi kegiatan dalam Tahap Pra Eliminasi adalah fokus aktif (lokasi yang masih
terjadi penularan setempat) di wilayah yang akan dieliminasi. Pokok-pokok kegiatan
yang dilakukan adalah :
c. Tahap Eliminasi
Tujuan utama pada tahap Eliminasi adalah menghilangkan fokus aktif dan
menghentikan penularan setempat di satu wilayah, minimal kabupaten/kota, sehingga
pada akhir tahap tersebut kasus penularan setempat (indigenous) nol (tidak ditemukan
lagi). Sasaran intervensi kegiatan dalam Tahap Eliminasi adalah sisa fokus aktif dan
individu kasus positif dengan penularan setempat (kasus indigenous).
d. Tahap Pemeliharaan (Pencegahan Penularan Kembali)
Tujuan utama pada Tahap Pemeliharaan adalah mencegah munculnya kembali kasus
dengan penularan setempat.Sasaran intervensi kegiatan dalam Tahap Pemeliharaan
adalah individu kasus positif, khususnya kasus impor.
Untuk dapat mencapai tujuan dari keempat tahap eliminasi malaria, maka perlu
dilakukan pokok-pokok kegiatan sebagai berikut :
1) Penemuan dan Tata Laksana Penderita
2) Pencegahan dan penanggulangan faktor risiko
3) Surveilans epidemiologi dan penanggulangan wabah
4) Peningkatan komunikasi, informasi dan edukasi (KIE)
5) Peningkatan sumber daya manusia

BAB III
PENUTUP
A.

Kesimpulan
1. Prevalensi Malaria di Indonesia masih tinggi dan Indonesia bagian timur
(Papua, Papua Barat, Maluku, Maluku Utara, Sulawesi dan Nusa Tenggara)
termasuk dalam daerah endemis Malaria.
2. Berbagai upaya telah dilakukan guna mencegah timbulnya peningkatan
kejadian Malaria mulai dari pembagian kelambu berinsektisida kepada
masyarakat, deteksi dini hingga pembentukan pemberdayaan masyarakat
berupa pembentukan posmaldes.
3. Guna mengendalikan dan menanggulangi Kejadian Luar Biasa (KLB)
diperlukan Surveilans dan Penyelidikan Epidemiologi.

B.

Saran
1. Diharapkan mahasiswa lebih aktif dalam kegiatan tutorial sehingga semua
tujuan pembelajaran dapat tercapai.

2. Diharapkan Program Pemberantasan Penyakit Malaria di daerah endemis


bekerja sama dengan lintas sektoral terkait mengingat kendala pengendalian
Malaria di daerah endemis berupa factor geografis yang sulit dijangkau dan
penyebaran penduduk yang tidak merata.
3. Diharapkan mahasiswa lebih memahami langkah-langkah seven jump agar
tutorial belajar lebih efektif dan efisien.

DAFTAR PUSTAKA

Azwar , Azrul (1988). Pengantar Epidemiologi. Jakarta : P.T. Binarupa Aksara..

Bhopal, R.S. Concepts of Epidemiology: An integrated introduction to the ideas,


theories, principles and methods of epidemiology. 2002: Oxford University Press.

Bonita R, Beaglehole R, Kjellsrom T (2006). Basic Epidemiology (2nd ed). Geneva: WHO.

Bustan, M.N (2006). Pengantar Epidemiologi, Edisi Revisi. Rineka Cipta: Jakarta.

Chahaya, Indra (2014) Epidemiologi Malaria di Indonesia. Medan: Universitas Sumatera


Utara.

DCP2 (2008). Public health surveillance. The best weapon to avert epidemics. Disease
Control Priority Project. www.dcp2.org/file/153/dcpp-surveillance.pdf

Depkes RI (2010). Rencana Operasional Promosi Kesehatan untuk Eliminasi Malaria.


Jakarta: Pusat Promosi Kesehatan RI.

Doolan, D L (2002). Malaria methods and protocols. New Jersey: Humana Press Inc.

Erme MA, Quade TC (2010). Epidemiologic surveillance. Enote. www.enotes.com/publichealth.../ epidemiologic-surveillance.Diakses 21 Agustus 2010.

Giesecke, J (2002). Modern Infection Disease Epidemiology. Oxford University Press Inc.:
USA.

Greenberg RS, Daniel SR, Flanders WD, Eley JW, Boring JR (2005). Medical Epidemiology.
New York : Lange Medical Books/McGraw-Hill.

JHU (=Johns Hopkins University) (2006). Disaster epidemiology. Baltimore, MD: The Johns
Hopkins and IFRC Public Health Guide for Emergencies.

Last, JM (2001). A dictionary of epidemiology. New York: Oxford University Press, Inc.

Marchand, R., Tousignant, and H. Chang, Cost-effectiveness of screening compared to casefinding approaches to tuberculosis in long-term care facilities for the elderly.
International Journal of Epidemiology, 1999. 28: p. 563-570.

Murti, B., Validitas dan Realibilitas Pengukuran. 2011, Universitas Negeri Solo:
Semarang.

_____ (2008). Surveilans. http://fk.uns.ac.id/static/materi/Surveilans__Prof_Bhisma_Murti.pdf. Diakses tanggal 1 September 2015

Perbup Kulon Progo (2013). Peraturan Bupati Kulon Progo No. 67 Tahun 2013 tentang
Eliminasi Malaria di Daerah.

Ryadi, S. and Wijayanti (2011). Dasar- Dasar Epidemiologi. Jakarta: Salemba Medika.

Sedyaningsih, Endang R dan Vivi Setiawaty (2009). Awal Pandemi Influenza A(H1N1),
Jurnal Penyakit Menular .http://www.litbang.depkes.go.id/. diunduh pada tanggal 3
September 2015.

Sloan PD, MacFarqubar JK, Sickbert-Bennett E, Mitchell CM, Akers R, Weber DJ, Howard
K (2006). Syndromic surveillance for emerging infections in office practice using
billing data. Ann Fam Med 2006;4:351-358.

Unit Pengkajian Teknologi Kesehatan, Skrining Kanker Leher Rahim dengan Metode
Inspeksi Visual dengan Asam Asetat (IVA). 2008, Departemen Kesehatan: Jakarta.

Webb, P., C. Bain, and S. Pirozzo, Essential Epidemiology, An Introduction for


Students and Health Professionals. 2005, New York: Cambridge University Press.

WHO (2001). An integrated approach to communicable disease surveillance. Weekly


epidemiological record, 75: 1-8. http://www.who.int/wer. Diakses tanggal 3 September
2015.

_____ (2002). Surveillance: slides. http://www.who.int. Diakses tanggal 4 September 2015.

Anda mungkin juga menyukai