Anda di halaman 1dari 31

Nama: Aisyah Amatullah Al muwaffaaqah

NIM: 1076231004

Ujian Tengah Semester

Kesehatan Global
Program Studi Magister Kesehatan Masyarakat
Fakultas Kesehatan Universitas MH. Thamrin 2023/2024
Dosen MK Dr. Ajeng Tias Endarti, SKM., M.CommHealth

Petunjuk:
1. UTS bersifat open book, take home dan diperkenankan untuk diskusi
2. Dilarang melakukan plagiat
3. Jawaban disarankan merujuk pada referensi. Tuliskan referensi yang dipakai di akhir
jawaban
4. Jawaban soal paling lambat dikumpulkan pada tanggal 27 Januari 2024 dan dikirim via
email bimbinganajeng@gmail.com dengan subject UTS Kesehatan Global TA
2023/2024_Nama
5. UTS terdiri dari 3 soal yang masing2 memiliki bobot yang berbeda

Soal dari Dr. Ajeng Tias Endarti


1. Jelaskan satu kebijakan kesehatan terkini. Bagaimana pendapat Anda tentang kebijakan tersebut
dan bagaimana pengaruhnya terhadap kesehatan Masyarakat Indonesia? (bobot 30 poin)
2. Jelaskan bagaimana implementasi dari International Health Regulations? (bobot 20 poin)
3. Jelaskan determinan utama kesehatan global saat ini? Gunakan hasil meta analisis untuk
mendukung jawaban Anda (bobot 50 poin)

1
Jawaban:

1. Satu kebijakan kesehatan terkini, pendapat saya tentang kebijakan tersebut dan
bagaimana pengaruhnya terhadap kesehatan masyarakat Indonesia.

Kebijakan kesehatan terkini yang ada di Indonesia, yang saya angkat adalah pada kasus TBC.
Berikut sumber referensi yang akan saya angkat:

Berdasarkan peraturan presiden republik indonesia nomor 67 tahun 2021 tentang penanggulangan
tuberkulosis, bab III, pelaksanaan strategi nasional eliminasi tuberkulosis. Bagian Ketiga,
Intensifikasi Upaya Kesehatan Dalam Rangka Penanggulangan Tuberkulosis. Paragraf 4,
Penemuan dan Pengobatan. Yaitu pada Pasal 13, dalam rangka memastikan keberhasilan
pengobatan pasien TBC sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (6) dilakukan:

a) Optimalisasi upaya penanganan kasus TBC sesuai standar untuk meningkatkan


kualitas pelayanan;
b) Upaya penyediaan layanan TBC yang ramah dan berpihak pada kebutuhan pasien;
c) Sistem pelacakan aktif untuk pasien TBC yang mangkir dan berhenti berobat
sebelum waktunya;
d) Peningkatan jejaring pelacakan dengan melibatkan kader kesehatan dan tokoh
masyarakat;
e) Pelaporan hasil pengobatan kasus TBC oleh Fasilitas Pelayanan Kesehatan
menggunakan format atau sistem yang standar

Saat ini yang telah kita ketahui bahwa, Indonesia memiliki angka TBC yang sangat tinggi,
Indonesia memiliki peringkat kedua terbanyak setelah India. Dengan kebijakan yang akan
direncanakan dan dianggarkan tersebut harapannya dapat menyelesaikan permasalahan TBC yang
permasalahannya sudah seperti fenomena gunung es. Saya akan coba menganalisis poin a sampai
d.

Optimalisasi upaya penanganan kasus TBC sesuai standar untuk meningkatkan


kualitas pelayanan. Penanggulangan ini bisa membantu penemuan kasus TBC, karena banyak
orang dengan gejala TBC tidak memeriksakan diri ke fasilitas kesehatan dikarenakan akses
pelayanan kesehatan yang terbatas. Tidak semua pelayanan kesehatan memiliki fasilitas TCM, alat
radiologi dan persediaan untuk pemeriksaan sputum, selain itu juga tidak semua tenaga kesehatan

2
memiliki kemampuan/keahlian untuk melakukan pemeriksaan tersebut. Tentunya untuk
meningkatkan kualitas pelayanan harapannya pemerintah mampu memberikan alokasi dana yang
lebih memadai lagi untuk kualitas pelayanan. Jika alat bantu pemeriksaan penunjang dan adanya
tenaga kesehatan yang ahli tersedia pada banyak rumah sakit, harapannya penemuan kasus TBC
bisa membantu masalah penyebaran TBC yang tidak terdeteksi, menekan penularan TBC serta
menurunkan angka kematian. Misalnya menyediakan tenaga kesehatan yang terlatih dengan cara
merencanakan dan menganggarkan kegiatan pelatihan, tidak tertinggal juga untuk yang di daerah
terpencil, dikepulauan, dan tingkat kabupaten/kota. Jadi, selain membantu menekan penularan
TBC, juga meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan di Indonesia, seperti penjelasan Hendrik L
blum bahwa ada 20% faktor kesehatan dipengaruhi oleh pelayanan kesehatan.

Upaya penyediaan layanan TBC yang ramah dan berpihak pada kebutuhan pasien.
Dalam hal ini misalnya, ada stigma yang pasien terima yaitu dari dirinya sendiri dan orang sekitar.
Orang sekitar misalnya dari petugas pelayanan kesehatan. Misalnya masyarakat yang berusaha
meyembunyikan sakitnya karena takut mata pencariannya akan terancam, depresi, ketakutan,
pernikahan, atau yang merasa malu mengidap TBC, disini peran pelayanan yang ramah dalam hal
mengedukasi dan mengajak masyarakat untuk mengikuti alur pengobatan sangat dibutuhkan
seperti memberikan pelayanan konseling. Pendapat saya sangat setuju dengan kebijakan
pemerintah saat ini. Oleh karena itu juga dalam kurikulum kedokteran, kami menerima mata kuliah
empati. Yang Dimana, empati ini adalah faktor sosial. Faktor sosial diperlukan dalam determinan
kesehatan, sebab kita adalah manusia yang hidup secara sosial. Sedangkan faktor sosial masuk
dalam lingkungan yang akan mempengaruhi triad eidemiologi.

Menurut Eni Hidayati dari Jurnal Keperawatan Soedirman, dari hasil penelitian yang ia
lakukan menunjukkan hamper seluruh responden memiliki stigma rendah. Sedangkan berdasarkan
hasil studi pendahuluan didapatkan masyarakat pada awalnya tidak mau bergaul dengan pasien
TBC karena takut tertular penyakitnya.

Peran ramah ini juga menurut saya sangat berguna dalam mencegah kasus drop out pada
pasien TBC, bisa saja sikap yang kurang menyenangkan dari tenaga kesehatan membuat ia
berhenti melanjutkan pengobatan, apalagi pengobatan TBC membutuhkan waktu yang panjang
sekitar 6 bulan. Jika dalam waktu 4 bulan pasien merasa sudah lebih baik, kemudian mereka
mempertimbangkan pelayanan yang tidak ramah bisa saja mereka memutuskan untuk berhenti

3
pengobatan ditengah jalan. Hal ini tentu akan menimbulkan TBC resistensi obat yang lebih sulit
diobati dan lebih mahal.

Dukungan terhadap pasien TBC sangat penting untuk mengurangi stigma rendah
masyarakat terhadap penderita TBC dan dampaknya, sehingga bisa menjadi standar untuk
menentukan sejauh mana keberhasilan program pemerintah dalam membantu pasien TBC dalam
memahami penyakitnya.

Sistem pelacakan aktif untuk pasien TBC yang mangkir serta berhenti berobat
sebelum waktunya, dan peningkatan jejaring pelacakan dengan melibatkan kader
kesehatan dan tokoh masyarakat. Menurut saya sistem kebijakan dalam pelacakan atau
pendataan pasien yang mangkir dan berhenti berobat bisa lebih digalakkan lagi, dengan cara
memberikan promosi kesehatan dan melibatkan tokoh serta influencer yang bisa membantu
mengedukasi masyarakat untuk paham dengan alur pengobatan TBC.

Pengetahuan Masyarakat ini berguna bagi penyembuhan TBC. Semakin tinggi


pemahaman/Pendidikan maka semakin tinggi pula pengetahuan tentang kesehatan, pengobatan
TBC dan kemampuan literasi kesehatan juga baik sehingga bisa lebih memahami petunjuk
pengobatan. Menurut Notoatmojo (2003) Pendidikan kesehatan adalah upaya menyampaikan
pesan kesehatan kepada masyarakat, kelompok dan individu agar memperoleh pengetahuan
kesehatan yang lebih baik, sedangkan penyuluhan merupakan proses komunikasi dan proses
perubahan perilaku melalui Pendidikan.

Sistem pelacakan aktif ini berpengaruh dalam penemuan pencapaian kasus TBC. Karena
pasien TBC yang mangkir dan berhenti berobat sebelum waktunya memiliki potensi untuk
menularkan TBC ke orang sekitarnya. Perlu juga dicari tahu alasan mangkir atau yang berhenti
sebelum waktunya, misalnya karena memiliki penyakit penyerta sehingga merasa tidak uat
mengkonsumsi obat TBC, atau tidak kuat dengan efek samping obat dan lainnya.

Peningkatan pelacakan yang melibatkan kader kesehatan dan tokoh masyarakat juga dapat
meningkatkan pemberdayaaan peran serta mengembangkan kemampuan masyarakat. Sehingga
pemerintah dan masyarakat bisa bersama-sama menjalankan sistem kebijakan ini agar mencapai
target penanggulangan TBC.

4
Namun untuk fakta dilapangan, saat saya menjalani co-ass (dokter muda) di RS Pirngadi
Medan tahun 2011 pada stase penyakit paru, saya melihat kebijakan tersebut sebenarnya tidak
sepenuhnya tercapai, angka pasien TBC masihlah banyak. Kemudian pernyataan dari Pak Budi
Gunadai Sadikin selaku Menteri Kesehatan Republik Indonesia, beliau meminta seluruh jajaran
kesehatan untuk memprioritaskan pencarian para penderita TBC sehingga 90% dari total kasus
TBC di Indonesia dapat terdeteksi di tahun 2024. Angka TBC yang sangat tinggi hingga membuat
Indonesia menduduki rekor kedua setelah India ini perlu menjadi perhatian besar, adanya
fenomena gunung es yang terjadi membuat saya mencoba menggambarkan pohon masalahnya
sebagai berikut:

5
Referensi:

Hidayati E, 2015. Pengetahuan dan Stigma Masyarakat Terhadap TBC Setelah Diberikan Pendidikan
Kesehatan Pencegahan dan Penularan. Jurnal Keperawatan Soedirman, volume 10, No 2, Juli 2015.

Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 67 Tahun 2021 Tentang Tuberkulosis .


https://tbindonesia.or.id/wp-content/uploads/2021/08/Perpres-Nomor-67-Tahun-2021.pdf.
Diakses pada tanggal 24 Januari 2024.

Probandari A et al, 2020. Strategi Nasional Penanggulangan Tuberkulosis di Indonesia 2020-2024.


Kementrian kesehatan Republik Indonesia 2020.

2. Implementasi dari International Health Regulations (IHR).

Pertama, implementasi IHR yang saya angkat adalah kejadian kasus covid di
Portugal yang menjadi contoh implementasi IHR yang tidak sepenuhnya tercapai. Kejadian ini
mengakibatkan kinerja beberapa kapasitas inti tidak maksimal. Ini akan saya analisis dari Queiros
G et al, 2023 pada penelitian yang berjudul, Assessment of the Implementation of the International
Health Regulations during the COVID-19 Pandemic: Portugal as a Case Study. Dalam penelitian
tersebut, para peneliti ingin melihat sejauh mana kinerja IHR apakah sudah mencapai penanganan
atau butuh perubahan. Namun pada studi penelitian tersebut ditemukan hasil bahwa, prosedur IHR
sebenarnya sudah sesuai, hanya saja kekurangan dalam mekanisme dan alur kerja ditemukan pada
tenaga medis dan sistem pelayanan kesehatan di Portugal, sehingga IHR tidak perlu melakukan
perubahan lagi.

IHR memiliki badan hukum, badan hukumnya ini di-sah-kan pada tahun 2005 dan
pemberlakuannya secara resmi mengikat seluruh negara anggota WHO (kecuali negara yang
menolak atau memberikan pernyataan keberatan dalam waktu 18 bulan sejak pemberitaan
persetujuan IHR (2005) pada WHA). Namun, jika penolakan itu sesuai dengan tujuan IHR (2005)
dan dapat diterima oleh sepertiga dari negara anggota dalam waktu 6 (enam) bulan dari masa
penolakan, peraturan ini dapat diberlakukan pada negara tersebut. Bagi negara bukan anggota
WHO, dapat menginformasikan kepada Dirjen WHO bahwa negara tersebut setuju untuk ikut serta
melaksanakan dan mengikuti IHR (2005) ini.

6
Tujuan dasarnya adalah untuk mencegah, melindungi dan mengendalikan terjadinya
penyebaran penyakit yang berisiko tinggi secara international serta menjadi public health response
sesuai dengan risiko kesehatan masyarakat dan menghindarkan hambatan yang tidak perlu
terhadap perjalanan dan perdagangan international. Kemudian, menghindarkan kerugian akibat
pembatasan atau larangan perjalanan dan perdagangan yang diakibatkan oleh masalah kesehatan
masyarakat seperti penyebaran penyakit potensial wabah maupun Public Health Emergency of
International Concern (PHEIC) lainnya.

Evaluasi implementasi IHR di tingkat negara selama pandemi COVID-19 dapat menjadi
alat yang penting untuk menilai apakah IHR cocok untuk menangani PHEIC, untuk
mengklarifikasi kekuatan serta kelemahannya, dan untuk menentukan apakah kekurangan yang
mungkin terjadi disebabkan oleh ketidakpatuhan terhadap IHR atau jika masalahnya terletak pada
peraturan itu sendiri. Karena sifatnya yang baru dan fakta bahwa ini adalah PHEIC terbesar sejak
dimulainya IHR, COVID-19 menimbulkan tantangan yang signifikan dalam penerapannya.
Meskipun skor IHR secara signifikan mengalami penurunan tingkat kejadian dan kematian
COVID-19,7 peneliti menunjukkan kegagalan terdapat pada peningkatan pengawasan dan
pelaporan wajib, transparansi dalam keputusan PHEIC, pemantauan publik yang cepat terhadap
tindakan negara, peningkatan sistem kesehatan masyarakat dan pendanaan global.

Pada mekanismenya, IHR memiliki legal framework untuk mengumpulkan informasi


secara cepat dan tepat dalam menentukan apakah suatu kejadian merupakan PHEIC atau
kedaruratan kesehatan masyarakat yang meresahkan dunia yang diharapkan berguna bagi suatu
negara untuk mendapatkan bantuan. Laporan Tahunan Penilaian Mandiri Negara Pihak (SPAR)
IHR melaporkan kepatuhan sebesar 82% dalam hal kapasitas inti dan 100% dalam hal titik masuk/
PoE (Points of Entry) seperti: pelabuhan, bandara, dan penyeberangan darat.

Namun, evaluasi tahun 2018 yang dilakukan di PoE Portugal hanya menunjukkan bahwa
mereka memenuhi sekitar 71% kapasitas IHR untuk PoE, menyoroti kesenjangan antara laporan
mandiri dan penilaian rekan sejawat, disinilah yang menyebabkan program IHR terhambat.
Mekanismenya seperti ini:

7
IHR

Indonesia dan negara-


negara lain

Di Indonesia, Depkes yang bertanggung


jawab dan WHO yang mendukung
pelaksanaannya

Setiap negara wajib Setiap negara diwajibkan Setiap negara wajib


menginformasikan kepada mengembangkan, memperkuat membuat IHR Focal
WHO tentang seluruh kejadian dan mempertahankan Points untuk tata
yang berpotensi PHEIC kemampuan dasar pada setiap hubungan operasional
level administrasi pelaksanaan IHR

Jika ada risiko KLB dan PHEIC, IHR Focal


Points melaporkan kepada WHO dalam
waktu 24 jam per hari dalam 7 hari per
minggu

Disini padahal sudah ditekankan bahwa setiap negara wajib memperkuat dan
mempertahankan kemampuan dasar pada level administrasi. Jadi kinerja IHR pun bisa
terselenggara dengan baik jika didukung pula oleh sumber daya di negara masing-masing.

Pada penelitian yang saya analisis, disana ternyata terdeteksi adanya kekurangan pelatihan
dalam tim kerja dan ketidakmampuan untuk mendeteksi masalah Kesehatan Masyarakat yang
tidak terduga, yang mungkin disebabkan oleh kurangnya pelatihan berkelanjutan dan rencana
spesifik situasi, termasuk kepatuhan Portugal terhadap IHR dan perbedaan antara laporan mandiri
dan penilaian rekan sejawat. Penelitian ini memberikan gambaran tingkat kepatuhan Portugal
terhadap IHR dan menyoroti perbedaan antara laporan mandiri dan penilaian rekan sejawat terkait
8
implementasi IHR. Hasil penelitian menunjukkan bahwa meskipun Portugal mencapai sebagian
besar kapasitas inti IHR, seperti koordinasi dan komunikasi titik fokus nasional, surveilans,
respons, kesiapsiagaan, dan laboratorium, masih terdapat kekurangan dalam beberapa aspek.
Misalnya, evaluasi menunjukkan kekurangan pelatihan dalam tim kerja, ketidakmampuan
mendeteksi masalah kesehatan masyarakat yang tidak terduga, kurangnya penilaian sistematis
terhadap efektivitas tindakan yang dilakukan, serta kebutuhan untuk optimalisasi sumber daya
manusia.

Dalam pelaksanaan IHR, WHO menyiapkan bantuan berupa kerjasama antar negara dalam
pengevaluasian, pengkajian, dan peningkatan kapasitas kesehatan masyarakat. Bantuan yang
diberikan juga termasuk mendukung negara dalam mengidentifikasi sumber dana yang dibutuhkan
untuk mengembangkan dan mempertahankan kapasitas negara tersebut. Selanjutnya, WHO akan
terus menyiapkan bantuan teknis dan logistik agar dapat memfasilitasi pelaksanaan IHR secara
efektif dan lengkap.

Contohnya pada pandemi Covid kemarin yang termasuk Kedaruratan Kesehatan (KLB).
Covid 19 dapat menjadi ancaman kesehatan bagi negara lain dan membutuhkan koordinasi
internasional dalam penanggulangannya. IHR sangat berperan mengimbangi letak geografi serta
jumlah kasus, waktu, jarak dalam batas internasional, kecepatan cara penyebarannya, dan faktor-
faktor lainnya sangat relevan untuk dianalisis fokusnya pada penyakit yang berpotensi dalam
penyebaran internasional.

Kemudian, pada implementasi kasus kedua yaitu pada saat Covid di Indonesia yaitu,
saya membahas tentang: Dari Salaman ke Senyuman: Dampak Kebijakan Kesehatan Global
terhadap Komunitas Lokal di Era Pandemi, dari Amanatin EL et al, 2020. Implementasi IHR
tidak hanya berdampak terhadap perbaikan aspek administrasi pelaporan negara namun
juga mengubah aspek sosial. Karena alur dari mekanisme yang ada di IHR dalam menangani
penanggulangan pandemi, maka kebijakan kesehatan global WHO dalam perang menghadapi
pandemi Covid-19 berupa physical distancing menjadi salah satu model mengintervensi interaksi
sosial di masyarakat lokal di Debong Kidul, Kota Tegal secara terencana melalui media struktur
politik berupa peraturan Walikota Tegal. Tentu ini adalah wujud mekanisme kerja yang dihasilkan
oleh IHR.

9
Kebijakan tersebut mengatur setiap masyarakat untuk menjaga jarak dan menghindari
sentuhan fisik dengan orang lain untuk mengimplementasikan pencegahan persebaran pandemi
Covid-19. Informasi bagaimana penyebaran dan agen penyebab adalah kerja IHR bersama WHO
dalam menginvestigasi wabah dalam waktu yang cepat. Dalam waktu cepat itu pula IHR bersama
WHO mengeluarkan kebijakan untuk menghentikan salah satu faktor penyebaran. dalam rangka
mengurangi tingkat penyebaran virus corona, pemerintah memberlakukan berbagai kebijakan
baru, salah satunya yaitu social physical distancing yang merupakan adaptasi dari kebijakan global
yang dirumuskan oleh IHR dan WHO.

Kebijakan physical distancing mencakup peraturan untuk menghindari kontak langsung


dengan orang lain (Fong et al., 2020). Greenstone dan Nigam (2020) mengungkapkan bahwa
penerapan physical distancing di beberapa negara dijalankan dengan cara yang beragam. Ada
negara yang memberikan sanksi bagi pelanggar physical distancing, tapi ada pula negara yang
hanya memberikan himbauan dan sosialisasi berkelanjutan tanpa disertai adanya sanksi.

Selain itu, local lockdown pada bulan Juli yang sempat dilakukan di kota Tegal secara tidak
langsung mentransfer pengetahuan masyarakat mengenai betapa bahayanya Covid-19. Penerapan
isolasi yang ketat, penyebaran pamflet dan brosur dari rumah ke rumah (door to door) juga
membantu proses implementasi kebijakan penanganan Covid-19 di Kota Tegal. Tidak hanya itu,
pemerintah Debong Kidul juga mengadakan sosialisasi keliling setiap hari jam sembilan pagi, dan
bekerja sama dengan para penceramah atau sesepuh masjid dan mushola agar mengingatkan
masyarakat untuk menerapkan physical distancing di setiap pidato mereka.

Di Indonesia, pemerintah memberikan instruksi bahwa pelaksanaan kebijakan social dan


physical distancing harus melibatkan tokoh masyarakat hingga tingkat RT/RW (Sekretariat
Kabinet Republik Indonesia, 2020). Kebijakan social dan physical distancing ditetapkan sejak
awal untuk menyiasati tingginya risiko penularan melalui tangan saat berjabat tangan. Jadi peran
IHR dalam memberikan kebijakan sangat berpengaruh dalam aspek sosial dan memberi
dampak positif dalam memberdayakan dan mengembangkan masyarakat.

Penyebaran Covid-19 melalui interaksi langsung telah membuat pemerintah di seluruh


dunia berjuang mengimplementasikan kebijakan yang membatasi interaksi sosial. Hal ini untuk
mengurangi beban rumah sakit, dan menyelamatkan nyawa lebih banyak orang; walaupun sifat

10
drastis dari kebijakan physical distancing juga berpengaruh terhadap interaksi sosial masyarakat
(Aquarini, 2020).

Referensi:

Queiro G et al, 2023. Assessment of the Implementation of the International Health Regulations
during the COVID-19 Pandemic: Portugal as a Case Study. Acta Medica Portuguesa:
https://doi.org/10.20344/amp.1988.

Amanatin E L et al, 2020. Dari Salaman ke Senyuman: Dampak Kebijakan Kesehatan Global terhadap
Komunitas Lokal di Era Pandemi. Umbara: Indonesian Journal of Anthropology. Volume 5 (2)
Desember 2020.

Aditama T Y, 2008. Buku saku: Panduan Petugas Kesehatan Tentang International Health Regulations
(IHR) 2005. DIrektorat Jenderal Pengendalian Penyakit & Penyehatan Lingkungan Departemen
Kesehatan RI.

=========================================================

3. Determinan utama kesehatan global saat ini.

Determinan utama kesehatan global saat ini ada banyak faktor yang sangat memberikan
pengaruh besar terhadap kondisi kesehatan populasi di seluruh dunia. Dahulu, penyakit menjadi
sebuah masalah perseorangan bahkan di anggap privasi, atau menjadi suatu urusan dalam sebuah
negara saja terkait kesejahteraan rakyat nya, namun saat ini globalisasi semakin cepat dan
singkatnya perjalanan lintas dunia untuk perdagangan, wisata, bisnis, dan transportasi barang,
sehingga membuat permasalahan kesehatan suatu negara tertentu dapat menjadi perhatian dan
masalah seluruh dunia.

Masalah kesehatan global telah dilihat sebagai salah satu masalah yang serius. Ditambah
dengan munculnya perubahan lingkungan global yang cepat dalam berbagai bidang (misalnya
lingkungan hidup, demografi, teknologi, ekonomi, dan lain-lain) yang menjadikan isu ini semakin
kompleks dan sulit dikelola. Globalisasi telah meningkatkan intensitas interaksi dan pertukaran
penduduk antarnegara. Pergerakan orang yang cepat dan masif memiliki implikasi bagi kondisi
kesehatan masyarakat di seluruh dunia, utamanya yaitu risiko tersebarnya penyakit.

Meskipun itu, globalisasi juga memungkinkan terjadinya pertukaran ide dan meluasnya
pergerakan seperti kerjasama WHO dalam menangani determinan kesehatan secara global.

11
Determinan utama kesehatan global saat ini yang dapat saya rangkum adalah sebagai berikut:

A. Penyakit-penyakit baru atau penyakit-penyakit lama yang muncul kembali


menimbulkan outbreak, seperti KLB.

Contoh nya Pandemi Covid19 kemarin dan dengan varian terbaru. Memasuki Abad
Milenium, dunia telah menyatu bagaikan sebuah bola dunia yang terhampar luas tanpa bukit,
gunung dan lautan yang memisahkan. Tapal batas antar negara tidak lagi memiliki sekat -sekat
yang dapat membendung masuknya berbagai bakteri, virus maupun jamur yang membawa
penyakit tanaman, hewan maupun manusia. Bahkan gejolak sosial, politik, ekonomi maupun
pertikaian antar bangsa, dengan derasnya arus informasi dengan cepat tersebar luas melalui media
sosial dan media daring dan menembus tidak hanya tembok-tembok gedung dan bangunan tinggi
yang kokoh, tetapi juga menembus otak manusia dan menyelam di relung-relung hatinya.

Menghadapi kondisi globalisasi seperti saat ini, terjadinya pandemi COVID-19 tidak
mungkin dapat ditanggulangi sendiri oleh pemerintah di masing-masing negara yang telah
terpapar. Tidak mungkin lagi suatu negara membentenginya dengan menutup diri dari pergaulan
global. Mengucilkan diri dari pentas dunia, justru akan berpotensi membuat sebuah negeri
mengalami bencana kekurangan pangan, energi, ataupun merosotnya kualitas kesehatan dan
pendidikan rakyatnya, bahkan sangat mungkin terjadi resesi ekonomi yang akan berimbas pada
berbagai kerawanan sosial dan politik. Padahal, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dilihat dari
3 komponen, yaitu kualitas kesehatan, majunya pendidikan, dan tingginya tingkat kesejahteraan
warga negaranya.

Ketergantungan antar negara terhadap komoditas, baik melalui perdagangan internasional


maupun tourism membuat pelabuhan laut dan juga bandar udara setiap negara menjadi pintu
masuk segala jenis vektor pembawa penyakit. Meskipun di setiap pelabuhan dan bandara
internasional telah memiliki sistem kekarantinaan baik untuk manusia, hewan dan tanaman, namun
tetap tidak akan mampu meniadakan masuknya berbagai bakteri, virus, jamur ataupun vektor
pembawa penyakit lainnya. Apalagi sebuah negara seperti Indonesia, yang terdiri dari ribuan pulau
dengan panjang pantai 99.093 km, sudah barang tentu memiliki banyak ruang terbuka berupa
pelabuhan-pelabuhan kecil dan jalan setapak di hutan yang dapat menjadi pintu masuk semuanya
itu secara ilegal. (Anisah S.N, 2022)

12
B. Penatalaksanaan beberapa penyakit lama. Misalnya seperti malaria, TBC, HIV-AIDS.

Maryadi dalam kajiannya yang berjudul, Kesehatan untuk Semua: Strategi Diplomasi
Kesehatan Global Indonesia, menyampaikan bahwa, HIV/AIDS, TB, dan malaria merupakan tiga
pandemi yang akan memberikan ancaman terhadap kesehatan global. (Maryadi, 2018)

HIV AIDS pun masih sulit dieradikasi. Meskipun kematian terkait AIDS telah menurun
sebanyak 48% sejak tahun 2005, pada tahun 2016, masih terdapat sekitar 36,7 juta orang dengan
HIV/AIDS (ODHA) dan 1,8 juta orang yang baru terinfeksi setiap tahunnya.

Saya coba mengangkat kasus HIV Aids, karena saya pernah menganalisa 5 jurnal
terkait HIV-AIDS, yaitu sebagai berikut.

Dampak HIV ini juga memberikan paradigma yang buruk terhadap ibu, sehingga ODHA
semakin menutup diri, yang pada akhirnya akan mempersulit proses pencegahan dan pengendalian
infeksi. Faktanya pada artikel ilmiah yang ditulis oleh Essajee S et al, dalam usaha menemukan
anak-anak yang terdiagnosis dengan pengobatan, ternyata banyak terdapat kesenjangan dalam
rangkaian pengobatan. Kerena rendahnya jumlah anak dan remaja pengidap HIV yang memakai
antiretroviral (ART). Ini bisa jadi disebabkan karena paradigma yang buruk terhadap HIV dan
mereka berusaha menutupinya. Tentu ini akan menghambat program pemerintah dalam menekan
angka penderita HIV.

Kondisi kesehatan mental umum terjadi pada orang yang hidup dengan HIV (ODHA).
Mereka terjadi sebagai faktor risiko untuk HIV. Beberapa penelitian dari Afrika memperkirakan
bahwa prevalensi kondisi kesehatan mental pada ODHA berkisar dari 19% hingga sekitar 50%,
dengan prevalensi depresi diperkirakan mencapai 24%, dibandingkan dengan kurang dari 3%
untuk populasi umum. Hasil serupa telah ditemukan di bagian lain dunia (misalnya, India, China,
AS dan Kanada), terutama di kalangan populasi kunci (misalnya, orang transgender), dan orang
dengan gangguan mental memiliki tingkat HIV yang lebih tinggi secara global. Kini kita
menyadari bahwa adanya kondisi kesehatan mental bersamaan menyebabkan hasil yang buruk
sepanjang kontinum perawatan HIV, dan depresi telah diidentifikasi sebagai salah satu prediktor
terkuat dari ketaatan ART yang buruk. Namun, ketersediaan skrining dan pengobatan untuk

13
kondisi kesehatan mental di klinik HIV di banyak bagian dunia masih terbatas. Dan, kepentingan
politik nampaknya mulai bergeser. (Weinberg ML et al, 2023)

Adapun penularan HIV dari ibu ke bayi dapat dicegah apabila : (1) Terdeteksi dini, (2) Ibu
melakukan perilaku hidup sehat, Ibu mendapatkan ARV profilaksis secara teratur, Ibu melakukan
ANC secara teratur, Petugas kesehatan menerapkan pencegahan infeksi sesuai Kewaspadaan
Standar, (3) Pemilihan rute persalinan yang aman yaitu dengan cara seksio sesarea, (4) Pemberian
ASI dini, (5) Pemantauan ketat tumbuh-kembang bayi & balita dari ibu dengan HIV positif, dan
(6) Adanya dukungan yang tulus, dan perhatian yang berkesinambungan kepada ibu, bayi dan
keluarganya.

Selain itu pentingnya juga edukasi kepada remaja wanita tentang perilaku seksual yang
baik. Sebab itu akan menyebabkan penularan HIV. Penyakit ini sendiri merupakan masalah kritis,
sebuah fakta yang terkadang diabaikan baik oleh Masyarakat maupun dalam pengambilan
keputusan pendanaan kesehatan masyarakat. Maka dari itu edukasi tentang pentingnya kesehatan
seksual dan reproduksi pria dan wanita diharapkan bisa menekan angka HIV. Hal ini terdapat
dalam penjelasan artikel ilmiah Cohen MS, 2019 yang memberikan kesimpulan bahwa penyakit
infeksi menular seksual sangat erat kaitannya dengan angka kejadian HIV.

Pada artikel ilmiah yang ditulis oleh Evan et al 2023, sebenarnya perempuan dengan HIV
positif sangat beresiko untuk hamil. Maka diperlukan konseling, pengobatan dan pemantauan yang
ketat agar tidak terjadi penularan kepada anak, dengan syarat daya tahan tubuh cukup baik (CD4
di atas 500), kadar virus (viral load) minimal/ tidak terdeteksi (kurang dari 1.000 kopi/ml), dan
menggunakan ART secara teratur.

Kemudian juga, proses persalinan yang terbaik untuk dipilih adalah seksio sesarea. Karena
pada saat persalinan pervaginam, bayi terpapar darah dan lendir ibu di jalan lahir. Bayi mungkin
juga terinfeksi karena menelan darah atau lendir jalan lahir secara tidak sengaja.

Hal ini juga dijelaskan dalam artikel ilmiah yang ditulis oleh Cohen MS et al 2019, bahwa
ada serangkaian besar laporan deteksi virus HIV pada saluran genital wanita dengan berbagai
macam infeksi menular seksual. Graham dan rekannya berusaha memahami bagaimana ulserasi
genital berdampak pada pelepasan HIV-1 pada serviks dan vagina pada perempuan yang menerima
ART di Kenya. Di antara 145 perempuan yang memulai ART, 36 perempuan mengembangkan

14
uretra genital setelah setidaknya dua bulan memakai ART, sepuluh perempuan (28%) mempunyai
RNA HIV-1 yang terdeteksi dalam cairan genital mereka. King dan rekannya mengikuti 1.114
perempuan yang memulai ART untuk menentukan faktor-faktor yang mempengaruhi pelepasan
virus selama 58% kunjungan pasien (di antara 76 perempuan dengan 83 kunjungan, RNA HIV-1
terdeteksi dalam cairan genital tetapi tidak dalam plasma darah. Konsentrasi rata-rata RNA HIV-1
dalam cairan genital adalah antara 1000 dan 5000 kopi/mL. (Cohen MS et al, 2019)

Untuk pemberian ASI, apabila viral load dari ibu rendah, dan sudah mendapat terapi anti
retroviral, serta jumlah CD4 baik, maka ibu bisa memberikan ASI ekslusive dan dini untuk anak.
Namun jika HIV dalam keadaan positif sebaiknya ibu memilkirkan alternatif ASI yang lain.

Masalah yang sering dihadapi pada anak yang baru lahir yaitu, mendapatkan peradangan
sistemik ibu selama kehamilan (viremia HIV), mengakibatkan hubungan sebab akibat kematian
bayi. Selain itu petugas Kesehatan juga harus memperhatikan pengurangan angka kejadian bayi
yang lahir prematur dan kecil, karena ini umum terjadi pada perempuan yang hidup dengan HIV
dikarenakan keterlambatan perkembangan saraf dan menyebabkan peningkatan morbiditas bayi.
(Evan C et al 2023)

Maka, pasca persalinanpun anak yang baru lahir juga harus dalam pemantauan. Dalam
penjelasan Evan C et al, perlu diperhatikan 5 elemen yang saling terkait dalam menjaga kesehatan
anak-anak, yaitu: Kesehatan yang baik, gizi yang cukup, keselamatan dan keamanan, pengasuhan
yang responsif dan pembelajaran dini, serta pemberian asi yang optimal.

Harapannya adalah, bisa menurunkan angka penularan HIV dari ibu ke anak dan tidak
menjadi ancaman pada tahun 2030. Seperti yang ditulis oleh Muntanga JN et al, 2023; UNAIDS
melaporkan penurunan 58% dalam jumlah infeksi HIV baru di kalangan anak-anak (0–14 tahun)
antara tahun 2010 dan 2022, memberikan harapan untuk mencapai tujuan pembangunan
berkelanjutan, yang menargetkan akhir dari AIDS sebagai ancaman kesehatan masyarakat pada
tahun 2030. Secara bersamaan, data terbaru dari pengaturan dengan beban HIV tertinggi
menunjukkan penurunan yang signifikan dalam transmisi HIV vertikal hingga sekitar 3% di Afrika
Selatan, 2,4% di Eswatini, dan 1,8% di Botswana.

15
Hasil penelitian ini bisa kita terapkan di negara kita agar kita bisa lebih fokus lagi dalam
menangani HIV, tidak mengenyampingkan penyakit ini, karena angkanya terus meningkat dan bisa
menjadi ancaman di tahun 2030.

Terbukti bahwa, HIV selama empat dekade terakhir, data yang muncul menunjukkan
kekhawatiran. (Wainberg ML et al, 2023)

C. Penyakit Penyebab Kematian (Penyakit Menular, Tidak Menular, Cedera)

Maryadi dalam kajiannya yang berjudul, Kesehatan untuk Semua: Strategi Diplomasi
Kesehatan Global Indonesia, menyampaikan bahwa, Penyakit tidak menular (Noncommunicable
Diseases/NCDs) juga telah menjadi salah satu penyebab terbesar angka kematian di dunia. NCD
telah menjadi epidemi terselubung dikarenakan beberapa faktor seperti penggunaan tembakau,
alkohol, makanan tidak sehat, kurang olahraga, obesitas, meningkatnya tekanan darah, gula darah
dan kolesterol. tren angka kematian yang disebabkan NCD meningkat dibandingkan kematian
yang disebabkan oleh penyakit infeksi, malnutrisi, dan permasalahan kelahiran. Sedangkan
penyakit infeksi, malnutrisi dan permasalahan kelahiran sebagai penyebab kematian terus
mengalami penurunan yang signifikan pada periode tahun 1990-2015. Tren ini disebabkan karena
semakin berkurangnya kemiskinan ekstrim dan adanya urbanisasi di berbagai belahan dunia. Lebih
lanjut, penyakit-penyakit menular juga akan terus menjadi ancaman global.

Globalisasi menyebabkan penyakit menular dapat menyebar lebih cepat dengan jangkauan
yang lebih luas. Sejarah telah mencatat bagaimana pandemi global dapat menyebabkan kerugian
besar baik dalam korban jiwa maupun kerugian ekonomi. Pandemi Pes (Plague) yang dikenal
dengan sebutan The Black Death terjadi di Eropa dan Asia pada Abad 14 dan menelan korban jiwa
sebanyak 375 juta orang.9 Virus influenza telah mengakibatkan tiga kali pandemi: H1 Spanish Flu,
H1N1 Swine Flu, dan H5N1 Avian (Bird) Flu. Spanish Flu yang terjadi tahun 1918 telah
membunuh sekitar 50 juta orang.

Sejak tahun 2003, Avian Flu atau Flu Burung telah menyebar melalui burung-burung yang
berpindah dari Asia ke Timur Tengah, Eropa dan Afrika. Penularan flu burung ke manusia di
Indonesia terjadi pada tahun 2005. Indonesia memiliki kasus penularan ke manusia tertinggi di
dunia sebanyak 130 kasus dan 110 orang meninggal.

16
Selain korban jiwa, penyebaran wabah penyakit juga menyebabkan kerugian ekonomi.
Wabah Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS) di tahun 2003, misalnya, menyebabkan 774
korban jiwa dan menyebabkan kerugian ekonomi sebesar lebih dari 50 miliar dolar AS. Wabah
Ebola yang terjadi di tahun 2014 telah menyebabkan 11.000 kematian dan memberi- kan kerugian
secara global sebesar 3,5 miliar dolar

Negara atau kawasan yang sedang dilanda konflik dan perang saudara juga dapat menjadi
memicu munculnya pandemi. Konflik membuat kapasitas suatu negara dalam mengidentifikasi,
mengontrol serta merespon terjadinya epidemi penyakit menjadi lemah. Perang saudara juga
menghasilkan forced migration dimana seringkali populasi bermigrasi ke daerah yang lebih aman
seperti kawasan hutan dimana interaksi antara manusia dan hewan liar sangatlah tinggi. Mayoritas
dari sekitar 400 penyakit infeksi yang telah diidentifikasi sejak tahun 1940 merupakan penyakit
zoonosis dimana terdapat penularan dari hewan ke manusia.

Oleh karena itu, perang saudara sangat mungkin menjadi pemicu timbulnya pandemi
penyakit. Selain karena faktor alamiah,
terjadinya pandemi bisa terjadi karena faktor
kesengajaan dengan menggunakan senjata
biologis. Perkembangan senjata biologis saat ini
telah jauh lebih berkembang dibandingkan pada
saat Konvensi Senjata Biologi (KSB) disepakati
pada tahun 1975. (Maryadi, 2018)

Penyebab kematian global teratas


menurut WHO tahun 2019 adalah, berdasarkan
jumlah total nyawa yang hilang, terkait dengan
tiga topik besar: kardiovaskular (penyakit
jantung iskemik, stroke), pernapasan (penyakit
paru obstruktif kronis, infeksi saluran
pernapasan bawah) dan kondisi neonates,
termasuk kelahiran asfiksia dan trauma lahir,
sepsis dan infeksi neonatus, dan komplikasi kelahiran prematur. Penyebab kematian dapat
dikelompokkan menjadi tiga kategori: menular (penyakit menular dan parasit dan kondisi ibu,

17
perinatal dan gizi), tidak menular (kronis) dan cedera. Secara global, 7 dari 10 penyebab utama
kematian pada tahun 2019 adalah penyakit tidak menular. Ketujuh penyebab ini menyumbang 44%
dari seluruh kematian atau 80% dari 10 penyakit teratas. Semua penyakit menular secara
keseluruhan menyumbang 74% kematian secara global pada tahun 2019.

Pada tabel bisa kita lihat, penyakit jantung iskemik penyebab kematian tertinggi,
kemudian disusul penyakit Stroke dan penyakit paru obstruktif kronik. Setelah itu, infeksi
saluran pernapasan bawah menjadi penyakit menular paling mematikan di dunia, dan menduduki
peringkat ke 4 penyebab kematian utama. Namun, jumlah kematian telah menurun secara
signifikan: pada tahun 2019 penyakit ini merenggut 2,6 juta jiwa, 460.000 lebih sedikit
dibandingkan tahun 2000.

Kondisi neonatal menduduki peringkat ke-5. Namun, kematian akibat kondisi neonatal
merupakan salah satu kategori yang mengalami penurunan angka kematian absolut terbesar selama
dua dekade terakhir: kondisi ini menyebabkan 2 juta bayi baru lahir dan anak kecil meninggal pada
tahun 2019, lebih sedikit 1,2 juta dibandingkan tahun 2000.

Kematian akibat penyakit tidak menular terus meningkat. Kematian akibat kanker trakea,
bronkus, dan paru-paru telah meningkat dari 1,2 juta menjadi 1,8 juta dan kini menduduki
peringkat ke-6 di antara penyebab kematian utama.

Pada tahun 2019, penyakit Alzheimer dan bentuk demensia lainnya menduduki
peringkat ke-7 penyebab kematian utama. Perempuan terkena dampak yang tidak proporsional.
Secara global, 65% kematian akibat Alzheimer dan bentuk demensia lainnya adalah perempuan.

Kematian akibat penyakit diare, dengan kematian global turun dari 2,6 juta pada tahun
2000 menjadi 1,5 juta pada tahun 2019. Kemudian, diabetes telah masuk dalam 10 besar penyebab
kematian, menyusul peningkatan persentase yang signifikan sebesar 70% sejak tahun 2000.
Diabetes juga bertanggung jawab atas peningkatan terbesar kematian pada pria di antara 10
penyebab kematian teratas, dengan peningkatan sebesar 80% sejak tahun 2000.

Penyakit-penyakit lain yang termasuk dalam 10 besar penyebab kematian pada tahun 2000
tidak lagi masuk dalam daftar. HIV adalah salah satunya. Kematian akibat HIV dan AIDS telah
turun sebesar 51% selama 20 tahun terakhir, naik dari peringkat ke-8 penyebab kematian di dunia
pada tahun 2000 menjadi peringkat ke-19 pada tahun 2019.

18
Kemudian, penyakit ginjal telah meningkat dari peringkat 13 penyebab kematian utama
di dunia menjadi peringkat 10. Angka kematian meningkat dari 813.000 pada tahun 2000 menjadi
1,3 juta pada tahun 2019. (WHO, 2019)

D. Vaksinasi dan Herd Immunity

Dari Dr. Drg. Siti Nur Anisah, Bapelkes Cikarang menjelaskan bahwa, Presiden Jokowi
saat berpidato di Forum Tingkat Tinggi Dewan Ekonomi Sosial PBB secara virtual pada hari
Selasa, 13 Juli 2021 mengungkapkan masalah kesenjangan yang sangat lebar antara negara-negara
kaya dengan negara-negara miskin terhadap akses vaksin COVID-19 di dunia. Padahal, akses
vaksin yang merata bagi seluruh negara penting untuk segera membebaskan dunia dari pandemi
COVID-19. Untuk itu beliau mendorong agar realisasi kesetaraan akses vaksin bagi semua negara
dipercepat. Salah satunya dengan berbagi dosis vaksin melalui skema COVID-19 Vaccines Global
Access (COVAX) facility.

Dari pernyataan beliau di Forum Organisasi Bangsa-Bangsa dimaksud, tersirat


kekhawatiran pemerintah di tiap-tiap negara tidak akan mampu secara sendiri-sendiri
melenyapkan COVID-19 dari muka bumi. Tercapainya kekebalan kelompok (herd immunity) di
suatu negara tidak akan mampu bertahan lama, manakala masih banyak negara lain yang
menghadapi gempuran virus Corona generasi kedua ini, karena pengaruh lingkungan global.

Pernyataan Presiden Jokowi dimaksud secara tidak langsung diamini oleh Badan
Kesehatan Dunia WHO (World Health Organization) yang juga menyoroti adanya ketimpangan
distribusi vaksin antara negara miskin / berkembang dengan negara kaya. WHO menyatakan,
sampai 21 September 2021 telah lebih dari 5,76 miliar dosis vaksin disuntikkan ke penduduk
dunia, namun didominasi oleh penduduk negara-negara di benua Amerika dan Eropa, serta
sebagian kecil di benua Asia. Kebanyakan dari negara kawasan tersebut memiliki cakupan
vaksinasi lebih dari 60% dari total populasi. Sedangkan benua Afrika paling tertinggal dalam akses
vaksinasi COVID-19. Direktur Africa’s Centers for Disease Control, John Nkengasong dalam
keterangannya mengungkapkan, sejauh ini jumlah warga Afrika yang telah di vaksinasi mencapai
kurang dari 3,5%. Padahal, WHO menargetkan 10% populasi di setiap negara telah di vaksinasi

19
hingga akhir bulan September 2001. Sedangkan, 40% populasi tiap negara diharapkan sudah di
vaksinasi pada akhir tahun 2021 ini (Katadata, 23 September 2021).

Terkait dengan upaya pemerintah Indonesia dan negara-negara lain untuk menciptakan
kekebalan kelompok (herd immunity) bagi penduduknya, tidak mungkin tercapai tanpa kerja sama
global untuk secara bersama-sama melaksanakan imunisasi penduduknya. Atau dengan kata lain,
pandemi COVID-19 ini baru akan berakhir, jika seluruh penduduk bumi memiliki kekebalan tubuh
yang baik terhadap SARS-Cov2.

Kekebalan tubuh terhadap berbagai virus, termasuk virus Corona generasi kedua tersebut
dapat diperoleh baik secara alami ataupun secara buatan melalui vaksinasi. WHO melarang semua
negara untuk melakukan upaya membangun kekebalan tubuh penduduknya secara alami, yaitu
dengan sadar atau sengaja memaparkan semua penduduk di negara itu dengan COVID-19, karena
memiliki risiko yang sangat tinggi dan akan menyebabkan kematian dalam jumlah yang sangat
besar. Menurut pakar epidemiologi, hanya 60-70 persen penduduk yang mampu bertahan dari
serangan SARS-Cov2, dan karenanya berpotensi terjadinya kematian akibat COVID-19 sebesar 1
- 2 persen dari populasi penduduk negara tersebut.

Sejauh ini, Indonesia yang direpresentasikan oleh Menteri Luar Negeri, Retno Marsudi
yang mendapat kehormatan menjadi Ketua Bersama Covax, terus menyuarakan prinsip kesetaraan
akses vaksin bagi semua negara, dan juga mendorong percepatan vaksinasi global m elalui
peningkatan produksi vaksin dengan diversifikasi produk, perluasan portfolio vaksin yang
disalurkan oleh Covax, dan peningkatan kapasitas vaksinasi di negara-negara miskin/berkembang.
Terpilihnya Menteri Luar Negeri Indonesia menjadi Ketua Covax bersama dengan Menteri
Pembangunan Internasional Kanada dan Menteri Kesehatan Ethiopia menunjukkan pengakuan
dunia terhadap peranan Indonesia dalam menanggulangi Pandemi COVID-19 global.

Belajar dari kasus yang dialami Uni Emirat Arab (UEA) menunjukkan bahwa, meski
menurut laporan WHO jumlah penduduk yang divaksin telah mencapai 91 persen (Katadata, 23
September 2021), namun ternyata sampai hari ini kasus baru positif COVID-19 tetap ada di negara
tersebut, bahkan cenderung naik. Mengapa terjadi demikian, salah satu faktor karena UEA
merupakan tipe negara yang sangat terbuka terhadap interaksi antar bangsa, dimana 85 persen dari
populasi penduduknya merupakan warga negara asing yang banyak bekerja di kilang-kilang
minyak disana. Terbukti, akibat pengaruh lingkungan global, herd immunity yang telah dicapai
20
UEA tidak berarti negara tersebut telah berhasil membebaskan diri dari pandemi COVID-19.
(Anisah S.N, 2022)

E. Perubahan Lingkungan

Maryadi dalam kajiannya yang berjudul, Kesehatan untuk Semua: Strategi Diplomasi
Kesehatan Global Indonesia, WHO juga menyebutkan bahwa kondisi lingkungan juga
menyebabkan ancaman kesehatan bagi manusia. Polusi udara di perkotaan dan pedesaan
diperkirakan terkait dengan kematian sebanyak 3 juta jiwa di seluruh dunia di tahun 2012. Di tahun
yang sama, sekitar 871 ribu kematian disebabkan oleh tidak amannya air yang digunakan dan tidak
bersihnya sistem sanitasi. (Maryadi, 2018)

Lingkungan hidup juga merupakan salah satu determinan kesehatan yang tengah
mengalami perubahan. Perubahan lingkungan (misalnya dalam bentuk perubahan iklim) dianggap
sebagai faktor signifikan yang memengaruhi kesehatan masyarakat. Iklim dan cuaca yang tidak
menentu dapat meningkatkan penyebaran penyakit, utamanya yang bersumber dari serangga.
Serangga-serangga pembawa penyakit dapat berkembang lebih pesat dalam iklim yang lebih
hangat. Selain itu, perubahan iklim juga menyebabkan cuaca ekstrem dan bencana alam lebih
sering terjadi, yang tentunya dapat memengaruhi sistem dan infrastruktur pelayanan
kesehatan. Dalam situasi bencana, seringkali kondisi kurangnya sanitasi dan tidak maksimalnya
perawatan kesehatan akibat kerusakan infrastruktur menjadi ancaman kesehatan yang cukup
serius. Lingkungan yang berubah juga dapat mendorong evolusi patogen dan munculnya
penyakit-penyakit baru.
Menurut Kholis Ernawati, 2022 bahwa, Iklim berubah secara terus menerus karena
interaksi antara komponen-komponennya dan faktor eksternal seperti erupsi vulkanik, variasi sinar
matahari, dan faktor-faktor disebabkan oleh kegiatan manusia seperti misalnya perubahan
pengunaan lahan dan penggunaan bahan bakar fosil.
United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) mendefinisikan
perubahan iklim sebagai perubahan terhadap kondisi iklim berupa perubahan komposisi atmosfer
global dan variabilitas iklim alami pada periode waktu yang dapat dibandingkan.

21
✓ Gas Rumah Kaca (GRK)
Komposisi atmosfer global yang dimaksud merujuk pada komposisi material atmosfer
termasuk GRK, yang terdiri atas Karbon Dioksida (CO2), Metana (CH4), Nitrogen (N), dan
sebagainya. Konsentrasi GRK yang semakin meningkat menyebabkan penebalan pada lapisan
atmosfer, sehingga menyebabkan jumlah panas bumi yang terperangkap di atmosfer semakin
banyak dan mengakibatkan peningkatan suhu bumi yang disebut pemanasan global (Dodo
Gunawan et al, 2021).

✓ Aktivitas yang dilakukan manusia


Aktivitas yang dilakukan manusia menjadi pemicu dasar penyebab terjadinya perubahan
iklim. Para ilmuwan sudah mengamati bahwa sebagian besar kerusakan yang terjadi di lingkungan
seperti hutan gundul, kekeringan, air laut naik dan gunung es mencair memicu pemanasan global
yang merupakan akibat dari ulah manusia. Menurut WHO, perubahan iklim mempengaruhi
determinan sosial dan kesehatan. Suhu yang semakin meningkat menyebabkan semakin
meluasnya tempat perindukan vektor dan hewan pembawa penyakit, yang pada akhirnya semakin
meluasnya masyarakat yang rentan terhadap penyakit akibat vektor dan hewan pembawa penyakit
(Kementerian Kesehatan RI, 2021).
Perubahan iklim dan peristiwa cuaca ekstrem mempengaruhi determinan sosial kesehatan,
seperti ketersediaan makanan yang cukup dan bergizi, tempat tinggal yang aman, dan air minum
yang aman untuk dikonsumsi. Kelompok rentan termasuk perempuan, anak-anak, orang tua,
penyandang disabilitas, rumah tangga miskin, dan masyarakat yang tinggal di daerah rawan
bencana serta daerah yang rentan terkena dampak perubahan iklim, sangat berisiko mengalami
kondisi kesehatan yang merugikan, sebagai akibat dari perubahan iklim.
Sejak Indonesia menandatangani Perjanjian Paris pada 2016, inisiatif-inisiatif adaptasi
perubahan iklim telah dikembangkan dengan fokus khusus untuk memastikan perlindungan dan
pemberdayaan kelompok rentan yang kerap terkena dampak perubahan iklim secara t idak
proporsional.
Kementerian Kesehatan dan WHO juga telah menyusun pedoman tentang desa tahan iklim
atau 'Desa Desi' atau disebut juga Desa Sehat Iklim. 'Desa-Desi' merupakan sebuah inisiatif
mitigasi dan adaptasi perubahan iklim di bidang kesehatan yang dipimpin oleh sektor kesehatan di
tingkat desa untuk merespons risiko yang dihadapi masyarakat dan rumah tangga akibat perubahan

22
iklim. Pemahaman masyarakat tentang keterkaitan antara kerentanan, proyeksi iklim, dan potensi
dampak di tingkat lokal perlu ditingkatkan, sehingga masyarakat dapat memilih aksi mitigasi dan
adaptasi yang sesuai.
Inisiatif Desa Desi menggunakan pendekatan partisipatif yang mendorong masyarakat
untuk mengajukan solusi lokal dan menentukan kegiatan adaptasi perubahan iklim yang relevan
dengan konteks lokal. Misalnya, desa dengan sejarah kekeringan dapat mempertimbangkan untuk
memasang teknologi hemat air seperti pemanenan air hujan atau menanam tanaman yang tidak
membutuhkan terlalu banyak air agar desa dapat menghemat air. Contoh lainnya, desa yang sudah
dinyatakan bebas malaria dapat menyusun rencana untuk meningkatkan surveilans pada bulan-
bulan tertentu di mana terdapat peningkatan suhu atau kelembapan yang dapat menyebabkan
nyamuk pembawa malaria berkembangbiak dengan pesat. (WHO, 2021).

F. Resistensi Obat

Penggunaan antibiotik secara tidak tepat dapat menyebabkan resistensi


antibiotik.Resistensi antibiotik merupakan suatu fenomena saat bakteri menjadi kebal terhadap
antibiotik sehingga tidak dapat lagi dibunuh atau dihambat pertumbuhannya oleh antibiotik.
Penggunaan antibiotik secara tidak tepat yang dapat mengakibatkan resistensi misalnya
penggunaan antibiotik dengan durasi atau dosis yang tidak tepat dan penggunaan antibiotik
sembarangan (di luar kasus infeksi bakteri).

Bakteri yang sudah kebal terhadap antibiotik dapat ditularkan dari satu orang ke orang lain.
Selain itu, “kekebalan” yang dimiliki oleh satu bakteri dapat ditularkan ke bakteri lain. Hal itulah
yang menyebabkan cepatnya perkembangan resistensi antibiotik. Kecepatan perkembangan
resistensi antibiotik ini jauh melebihi kecepatan penemuan antibiotik baru.

Saat ini cadangan antibiotik yang tersedia sudah semakin menipis. Meningkatnya kasus
resistensi antibiotik menyebabkan beberapa jenisantibiotik tersebut tidak mampu lagi digunakan
untuk mengatasi infeksi bakteri. Apabila kejadian resistensi antibiotik ini terus meningkat, kita
seolah-olah akan kembali ke masa lalu, saat antibiotik belum ditemukan. Saat itu, infeksi bakteri
yang ringan sudah dapat mengakibatkan kematian karena tidak ada obatnya. Tidak berlebihan jika
resistensi antibiotik dianggap sebagai salah satu ancaman terbesar bagi dunia kesehatan.

23
Perlu bagi kita untuk membantu menghentikan perkembangan resistensi antibiotic sebagai
determinan kesehatan global saat ini. Cara termudah adalah dengan tidak menggunakan antibiotik
sembarangan, misalnya dengan tidak mengkonsumsi antibiotik tanpa resep dokter dan selalu
menggunakan antibiotik sesuai anjuran dari dokter. Penting untuk diingat bahwa penggunaan
antibiotik sembarangan tidak hanya berbahaya bagi orang yang menggunakan antibiotik tersebut,
tapi juga bagi orang lain karena risiko resistensi antibiotik yang ditimbulkan. (Kemenkes, 2022)

H Konflik Negara: Krisis Kemanusiaan dan Pengungsi.

Shalihah et al, 2021 dalam Jurnal Pelanggaran Hukum Internasional dalam Konflik Yaman
Tahun 2015-2019 dan Akibatnya terhadap Situasi Krisis Kemanusiaan. Meskipun perang saat ini
sudah bukan menjadi cara utama yang dipilih oleh negara dalam menyelesaikan masalah, tidak
berarti konflik bersenjata menjadi hilang. Sebaliknya, konflik bersenjata masih banyak terjadi.

Menurut data dari Peace Research Institute Oslo (PRIO), pada tahun 2017 diperkirakan ada
49 konflik bersenjata yang terjadi di seluruh penjuru dunia, dengan Timur Tengah sebagai wilayah
dengan konflik terbanyak di dalamnya (Dupuy & Rustad, 2018). Krisis kemanusiaan Yaman dapat
dikategorikan sebagai kondisi keadaan darurat politik yang kompleks atau suatu fenomena yang
merupakan krisis buatan manusia, di mana situasi kekerasan mengakibatkan kematian manusia,
pemindahan paksa, epidemi, dan kelaparan (Francesch, et al., 2010).

International Federation of the Red Cross (IFRC), secara lebih spesifik mendeskripsikan
kedaruratan kompleks sebagai krisis kemanusiaan di suatu negara, wilayah atau masyarakat di
mana terdapat perusakan total atau yang cukup besar akibat dari konflik internal atau eksternal dan
yang memerlukan respons internasional yang melampaui mandat atau kapasitas lembaga tunggal
mana pun dan/atau program PBB yang sedang berjalan (IASC) (IFRC, t.t.).

Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan, penulis menyimpulkan bahwa sejak tahun
2015-2019 terdapat banyak insiden kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan yang
dilakukan oleh semua pihak yang terlibat dalam konflik Yaman. Insiden tersebut mencapai
setidaknya mencapai 9.164 insiden (yang terdiri dari 10/14 kategori kejahatan perang berdasarkan
Statuta Roma 1998) dan kejahatan terhadap kemanusiaan yang setidaknya mencapai 93.108
insiden yang dilakukan oleh para pihak dalam konflik (yang terdiri dari 10/11 kategori kejahatan

24
terhadap kemanusiaan berdasarkan Statuta Roma 1998 dan termasuk di antaranya insiden
kejahatan perang yang juga termasuk ke dalam kejahatan terhadap kemanusiaan).

Insiden tersebut juga menunjukkan bahwa para pihak yang terlibat dalam konflik tidak
menghormati HHI, khususnya Konvensi Jenewa IV, Protokol Tambahan II, serta hukum kebiasaan
internasional; dan secara langsung juga mengakibatkan tidak terpenuhinya HAM dari populasi
Yaman yang diakui secara internasional dalam UDHR, termasuk yang paling dasar sekalipun
seperti hak atas penghidupan dan keselamatan, kebebasan, dan keselamatan individu yang
dinyatakan dalam Pasal 3. Akibatnya, krisis kemanusiaan Yaman sejak terjadinya eskalasi konflik
tahun 2015 sampai dengan tahun 2019 pun menjadi semakin parah setiap tahunnya, terlihat dari
peningkatan jumlah korban serta jumlah populasi yang membutuhkan bantuan perlindungan dan
kemanusiaan.

Selain itu, perang juga berdampak terhadap kesehatan mental, ini sebenarnya menyinggung
dua lapis determinan kesehatan, yaitu determinan kesehatan akibat peperangan dan gangguan
kesehatan mental. Ramon Sabes-Figuera, Paul McCrone dan lainnya (2012) dalam jurnal Dampak
Jangka Panjang Perang terhadap Biaya Layanan Kesehatan: Studi di Delapan Negara, menyatakan
bahwa Paparan perang dapat berdampak negatif terhadap kesehatan mental. Studi menunjukkan
bahwa paparan terhadap peristiwa traumatis terkait perang yang berkepanjangan dikaitkan dengan
tingkat prevalensi gangguan mental yang tinggi, dan lebih besar dibandingkan yang ditemukan
pada populasi umum yang tidak terkena dampak perang.

Banyak penelitian berfokus pada pengungsi di negara-negara barat dibandingkan dengan


orang-orang yang tinggal di wilayah konflik, yang biasanya merupakan mayoritas dari populasi
yang terkena dampak konflik. Selain itu, dampak perang ini dapat berlangsung beberapa tahun
setelah konflik berakhir dan dampak jangka panjang ini kemungkinan besar mempunyai
konsekuensi ekonomi karena kebutuhan akan sumber daya manusia.

Perang mempunyai dampak yang sangat buruk bagi masyarakat yang mengalaminya, dan
dampaknya dapat bertahan lama setelah konflik berakhir. Data yang disajikan di sini, berkaitan
dengan negara-negara bekas Yugoslavia, mengenai penggunaan dan biaya layanan kesehatan saat
ini serta faktor-faktor yang mempengaruhinya menyoroti implikasi perang dalam jangka panjang.
Berdasarkan sampel yang lebih kecil dan lebih selektif, kami sebelumnya telah melaporkan biaya
layanan bagi mereka yang belum aktif mencari pengobatan spesialis dan mereka yang telah
25
menerima layanan tersebut. Ini adalah studi terbesar yang kami ketahui untuk menilai penggunaan
dan biaya layanan kesehatan bagi masyarakat yang terkena dampak perang, terlepas dari apakah
mereka berpartisipasi aktif dalam perang atau tidak dan apakah mereka tinggal di zona konflik
atau bermigrasi.

Pengalaman perang dan pengaruhnya terhadap kesehatan mental berhubungan dengan


peningkatan biaya perawatan kesehatan bahkan bertahun-tahun kemudian, terutama bagi mereka
yang tinggal di wilayah konflik. Meskipun semua peserta mempunyai pengalaman yang sama,
beberapa perbedaan biaya di tingkat negara dan individu diperkirakan terjadi mengingat sistem
layanan tertentu di masing-masing negara dan perbedaan karakteristik demografi dan klinis antar
peserta serta sejauh mana peristiwa traumatis dialami. Perbedaan tersebut mungkin berdampak
pada variasi prevalensi gangguan mental yang ditemukan antar negara, yang pada gilirannya
mungkin berdampak pada penggunaan layanan kesehatan. Ketika seseorang mengakses layanan
kesehatan di negara-negara Balkan, biaya layanan akan berhubungan dengan kebutuhan kesehatan
klinis dan tingkat keparahan pengalaman traumatisnya.

J. Kesehatan mental

Kesehatan mental menurut Undang-Undang nomor 3 tahun 1966 adalah suatu kondisi yang
memungkinkan perkembangan fisik, intelektual, dan emosional seseorang, yang mana
perkembangan tersebut harus selaras dengan keadaan-keadaan orang lain.

Hawari (1997) juga mengatakan bahwa pengertian kesehatan mental menurut paham ilmu
kedokteran adalah satu kondisi yang memungkinkan perkembangan fisik, intelektual dan
emosional yang optimal dari seseorang dan perkembangan itu berjalan selaras dengan keadaan
orang lain.

Ada beberapa kondisi yang bisa menjadi penyebab seseorang mengalami gangguan
kesehatan jiwa, antara lain: Cedera pada kepala, Faktor genetik atau terdapat riwayat pengidap
gangguan kesehatan jiwa dalam keluarga, Kekerasan dalam rumah tangga atau bentuk pelecehan
lainnya, Adanya riwayat kekerasan saat kanak-kanak, Memiliki kelainan senyawa kimia otak atau
gangguan pada otak, Mengalami diskriminasi dan stigma, Kehilangan atau kematian seseorang
yang sangat dekat, Mengalami kerugian sosial, seperti masalah kemiskinan atau utang, Merawat

26
anggota keluarga atau teman yang sakit kronis, Pengangguran, kehilangan pekerjaan, atau
tunawisma, Pengaruh zat racun, alkohol, atau obat-obatan yang dapat merusak otak, Stres berat
yang terjadi dalam waktu yang lama, Terisolasi secara sosial atau merasa kesepian. Tinggal pada
lingkungan perumahan yang buruk, dan mengalami trauma yang signifikan, seperti pertempuran
militer, kecelakaan serius, atau tindakan kriminal lainnya. (Sarmini et al, 2023)

Persentase populasi global yang menderita penyakit mental tersebar luas, di setiap
komunitas, di setiap negara, di setiap benua. Satu dari empat orang menderita penyakit mental
pada suatu saat dalam hidup mereka, dan perempuan dua kali lebih mungkin terkena penyakit
mental dibandingkan laki-laki. Dua pertiga orang dengan kondisi kesehatan mental tidak
menerima perawatan yang mereka butuhkan. Sebagian besar penduduk sebanyak 70% tidak
menerima pengobatan untuk penyakit mental.

Mengapa? Kendala yang dihadapi adalah kurangnya sumber daya dan petugas kesehatan
yang terlatih, namun dalam banyak kasus, stigma sosial seputar kesehatan mental merupakan
hambatan terbesar dalam mendapatkan layanan kesehatan. Kesenjangan pengobatan bahkan lebih
besar lagi dr negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah, dimana 76% hingga 85% orang
yang menderita gangguan mental tidak memiliki akses terhadap layanan kesehatan.

Orang dengan penyakit mental serius dua kali lebih mungkin terkena penyakit
kardiovaskular dan metabolic. Mereka yang memiliki masalah kesehatan mental lebih rentan
menghadapi tantangan kesehatan lainnya, termasuk penyakit kardiovaskular dan metabolisme
yang berbahaya. Orang dengan depresi memiliki risiko 40% lebih tinggi terkena kondisi ini,
sementara orang dengan penyakit mental serius memiliki risiko dua kali lebih besar.

Depresi adalah penyebab utama kecacatan di seluruh dunia, mempengaruhi 280 juta orang
dari semua lapisan masyarakat. Penyakit ini sudah menjadi kontributor utama beban penyakit
global, dan jumlahnya terus meningkat: Antara tahun 2005 dan 2015, jumlah orang yang hidup
dengan depresi meningkat lebih dari 18%. Jika tidak diobati atau dalam kondisi terburuknya
depresi dapat menyebabkan bunuh diri, yang merenggut hampir 800.000 nyawa setiap tahunnya.
Itu berarti satu orang setiap 40 detik.

Dokter dua kali lebih mungkin meninggal karena bunuh diri. Pandemi ini telah
menimbulkan dampak buruk terhadap para pekerja layanan kesehatan di dunia, dengan kesedihan,

27
kecemasan, depresi, gangguan stres pasca-trauma, dan bunuh diri hanyalah beberapa dari dampak
jangka panjang yang mungkin terjadi. Dokter sudah dua kali lebih mungkin meninggal karena
bunuh diri dibandingka masyarakat umum, dan perempuan adalah kelompok yang paling rentan
Persentase petugas kesehatan di Tiongkok yang menunjukkan gejala kecemasan setelah merespons
COVID-19.

Pada tahun 2020, para peneliti mensurvei 1.200 petugas kesehatan Tiongkok yang merawat
pasien COVID-19. Setengahnya mengalami gejala depresi, 44% mengalami gejala kecemasan, 1
dari 3 mengalami insomnia, dan lebih dari 70% mengalami gejala kesusahan. Perempuan, perawat,
dan pekerja garis depan melaporkan tingkat keempat gejala stres yang lebih tinggi.

Persentase orang Amerika yang mencari perawatan kesehatan mental namun khawatir
tentang apa yang dipikirkan orang lain. Meskipun lebih dari separuh penduduk Amerika mencari
layanan kesehatan mental, masih terdapat stigma sosial yang disayangkan dan terkadang
melemahkan seputar penyakit mental. Sebuah studi nasional pada tahun 2018 mengungkapkan
hampir 1 dari 3 orang Amerika khawatir tentang apa yang dipikirkan orang lain, sementara 21%
populasi berbohong untuk menghindari memberi tahu teman atau keluarga bahwa mereka mencari
layanan kesehatan mental. (The Global Mental Health Crisis, 2023)

Persentase anak-anak dan remaja di dunia yang mengalami kendisi kesehatan mental.
Sekitar 1 dari 5 anak muda di dunia mempunyai kondisi kesehatan mental. Masalah kesehatan
mental sering kali dimulai pada tahap awal kehidupan: Sekitar setengah dari seluruh masalah
kesehatan mental dimulai sebelum usia 14 tahun - ketika anak-anak dan remaja menghadapi
tekanan dan transisi seiring bertambahnya usia dan sebagian besar kasus tidak terdeteksi. Kaum
muda yang tinggal di daerah yang terkena dampak konflik, bencana alam, dan penyakit sangat
rentan terhadap penyakit dan tekanan mental. (Nababan, 2023)

Persentase orang Amerika dengan penyakit mental yang tidak menerima pengobatan.
Kurangnya akses terhadap layanan kesehatan mental yang berkualitas merupakan masalah global
yang serius namun hal ini juga menjadi masalah di AS. Lebih dari 26 juta orang Amerika yang
mengalami penyakit mental tidak mendapatkan pengobatan, dan banyak alasannya: biaya
perawatan, kesenjangan dalam asuransi cakupan, kurangnya psikiater yang berkualifikasi, dan
terputusnya hubungan antara sistem perawatan primer dan sistem perawatan perilaku

28
Krisis kesehatan mental tidak hanya menimbulkan dampak medis dan sosial-tetapi juga
menimbulkan kerugian finansial yang serius. Perekonomian global kehilangan sekitar $1 triliun
setiap tahun karena depresi dan kecemasan. Diperkirakan bahwa kondisi kesehatan mental dapat
merugikan perekonomian sebesar $16 triliun antara tahun 2011 dan 2030. (The Global Mental
Health Crisis, 2023)

Referensi:

Maryadi, 2018. Maryadi dalam kajiannya yang berjudul, Kesehatan untuk Semua: Strategi
Diplomasi Kesehatan Global Indonesia. usat Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan
Multilateral Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Kementerian Luar Negeri RI

Anisah S.N, 2022. Pengaruh Lingkungan Global yang Sehat Terhadap Herd Immunity. Kementrian
Kesehatan Republik Indonesia. Bapelkes Cikarang. Diakses pada tanggal 25 Januari 2024.

http://bapelkescikarang.kemkes.go.id/single.php?artikel=Pengaruh%20Lingkungan%20Global%
20yang%20Sehat%20terhadap%20Herd%20Immunity.

Sarmini et al, 2023. Jurnal: Penyuluhan Mental Health Upaya Untuk Meningkatkan Kesehatan
Mental Remaja. Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Fakultas Ilmu Kesehatan: Universitas Batam.

Widyastuti R, 2022. Bahaya Resistensi Antibiotik. Kemenkes: Direktorat Jenderal Pelayanan


Kesehatan. https://yankes.kemkes.go.id/view_artikel/1411/bahaya-resistensi-antibiotik. Diakses
pada tanggal 25 Januari 2024.

World Health Day 2021, Building a Fairer, Healthier World. Meningkatkan ketangguhan masyarakat
dalam menghadapi perubahan iklim. https://www.who.int/indonesia/news/campaign/world-
health-day-2021/perubahan-iklim. Diakses pada tanggal 26 Januari 2024

Ernawati K et al, 2022. Kesehatan Global. PT Global Eksekutif Teknologi

Healthy People 2020 Midcourse Review. Social Determinants of Health.

29
World Health Organization. (2019). The Top 10 Cause of Death. https://www.who.int/news-
room/fact-sheets/detail/the-top-10-causes-of-death. Diakses pada tanggal 26 Januari 2024.

Simatupang K H et al, 2021. Analisis Nasib Globalisasi Pasca Pandemi Covid-19. UPH Journal of
International Relations Faculty of Social and Political Science Universitas Pelita Harapan.

Sabes-Figuera R et al. 2012. Journal: Long-Term Impact of War on Healthcare Costs: An Eight
Country Study. Plos One.

WHO. 2023 Health Emergencies. Outbreak and Crisis Response Appeal 2023.
https://www.who.int/emergencies/funding/health-emergency-appeals/2022/2023/2023-appeals.
Diakses pada tanggal 27 Januari 2024

Shalihah FA et al, 2021. Jurnal: Pelanggaran Hukum Internasional dalam Konflik Yaman Tahun
2015-2019 dan Akibatnya terhadap Situasi Krisis Kemanusiaan. Jurnal ICMES.

Setiawati R, 2020. Kesehatan Mental Perspektif M. Bahri Ghazali: Skripsi Fakultas Dakwah dan
Ilmu Komunikasi Universitas Islam Negeri (UIN) Raden Intan Lampung.

Nababan (2023) "Cita-Cita Indonesia 2045 Terhalang Masalah Kesehatan Mental Remaja. Diakses
pada 27 Januari 2024 dari https://www.kompas.id/baca/humaniora/2023/02/01/cita-cita-indonesia
2045-terhalang-masalah-kesehatan-mental-remaja.

The Global Mental Health Crisis, 2023. 10 Numbers to Note. Project Hope. Diakses pada 27
Januari 2024 dari https://www.projecthope.org/the-global-mental-health-crisis-10-numbers-to-
note/

Essajee S and Brains A, 2023. Getting back on track to ending AIDS in children: it could just be
easier than you think. United Stations Plaza: Newyork

Evans C and Prendergast AJ. 2023. When and how to intervene to improve the health of children
born HIV-free. University of London: London

Muntanga JN et al, 2023. Achieving equity for children and adolescents with perinatal HIV
exposure: an urgent need for paradigm shift. Livingstone Central Hospital: Akalpewa street

Weinberg ML et al. 2023. World Mental Health Day 2023: We must leave no one behind in the
response to HIV and mental health. Columbia University: Newyork.

30
Cohen MS et al, 2019. Sexually transmitted infections and HIV in the era of antiretroviral
treatment and prevention: the biologic basis for epidemiologic synergy. Bioinformatics Building:
Chapel Hill

Alhamdulillah sudah selesai, terimakasih bu atas waktu dan perhatiannya.

31

Anda mungkin juga menyukai