Anda di halaman 1dari 16

PERBEDAAN MEKANISME RELAKSASI PADA

GENERAL ANESTESI DAN REGIONAL ANESTESI

REFARAT

Oleh:
dr. Riani Wulandari

Pembimbing:
dr. Wulan Fadinie, SpAn, M.Ked(An)

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS


DEPARTEMEN ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM MALIK MEDAN
2019
1

BAB I
PENDAHULUAN

Anestesia berarti pembiusan, kata ini berasal dari bahasa Yunani an-


"tidak, tanpa" dan aesthētos, "persepsi, kemampuan untuk merasa". Istilah
anestesi digunakan pertama kali oleh Oliver Wendel Holmes Sir pada tahun
1846. Anestesi umum adalah tindakan meniadakan nyeri secara sentral disertai
dengan hilangnya kesadaran dan bersifat pulih kembali (reversible) (Byhahn,
2006) (Morgan, 2013).
Komponen anestesi yang ideal (trias anestesi) terdiri dari : hipnotik,
analgesia dan relaksasi otot. Praktek anestesi umum juga termasuk
mengendalikan pernapasan dengan pemantauan fungsi-fungsi vital tubuh selama
prosedur anestesi. Tahapannya mencakup premedikasi, induksi, maintenance,
dan pemulihan. Ada tiga kategori utama anestesi, yaitu anestesi umum, anestesi
regional dan anestesi lokal. Masing-masing memiliki bentuk dan kegunaan.
Seorang ahli anestesi akan menentukan jenis anestesi yang menurutnya terbaik
dengan mempertimbangkan keuntungan dan kerugian dari masing-masing
tindakan tersebut (Said, 2001).
Anestesi umum adalah tindakan meniadakan nyeri secara sentral disertai
dengan hilangnya kesadaran dan bersifat pulih kembali (reversible). Praktek
anestesi umum juga termasuk mengendalikan pernapasan pemantauan fungsi-
fungsi vital tubuh selama prosedur anestesi. Tahapannya mencakup induksi,
pemeliharaan, dan pemulihan (Said, 2001).
Pemilihan tipe anestesi yang tepat untuk pasien selalu didasarkan pada
3 hal, kenyamanan pasien, kenyamanan operator, dan keahlian ahli anestesi
(Morgan, 2013).
2

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Transmisi Neuromuskuler


Daerah antara motor neuron dan sel otot adalah neuromuscular junction,
dimana daerah ini dipisahkan oleh synaptic cleft. Ketika terjadi potensiasi di ujung
saraf, masuk ion kalsium melalui calsium channel voltage gated menuju sitoplasma
sel, sehingga melepaskan acetylcholine (ACh). Molekul ACh ini berdifusi melewati
synaptic cleft untuk berikatan dengan reseptor nikotinik kolinergik pada motor
endplate. Setiap neuromuscular junction memiliki 5 juta reseptor, tapi hanya
dibutuhkan 500.000 reseptor untuk kontraksi normal otot (Morgan, 2013).
Setiap ACh reseptor memiliki 5 subunit protein, 2 subunit α, dan satu unit
ß,δ,ε. Hanya 2 subunit α yg mengikat ACh. Channel akan terbuka apabila ACh pada
satu sisi. Berbeda dengan alfa, epsilon subunit terdapat pada otot fetus, menunjukan
juga terdapat pada extrajunctional. Kation memasuki chanel reseptor ACh membuat
end-plate potential. Membuat ekstraseluler terionisasi. Setelah endplate potential
besar terdepolarisasi kuat maka sodium chanel akan terbuka. Menyebabkan
terlepasnya kalsium kedalam reticulum sarkoplasma, yang menyebabkan
berinteraksinya protein aktin dan myosin sehinggamenyebabkan kontraksi otot. ACh
pun meningkat. Eaton lambert myastenic syndrome dan myasthenia gravis. ACh
kemudian terhidrolisa menjadi asetat dan kolin oleh substrat enzyme spesifik
asetilkolinesterase. Enzim ini menempel pada motor end plate membrane, sehingga
menyebabkan endplate terepolarisasi yang menyebabkan sodium channel dari
membrane otot menutup juga. Kalsium keluar dari reticulum sarkoplasma, kemudian
otot menjadi relaks (Morgan, 2013).
3

Gambar 2.1. Neuromuskular Junction (Morgan, 2013).

2.2 Perbedaan Blokade Depolarisasi dan Nondepolarisasi


Pelumpuh otot terbagi menjadi 2, depolarisasi dan nondepolarisasi. Kedua
klasifikasi ini didasarkan pada perbedaan cara kerja, respon terhadap stimulasi saraf,
dan reversal blockade (Morgan, 2013).

Agen Pelumpuh Otot Depolarisasi dan Nondepolarisasi


Depolarisasi Nondepolarisasi
Aksi pendek Aksi pendek
  Succinylcholine  Mivacurium
Aksi sedang
  Atracurium
  Cisatracurium
  Vecuronium
  Rocuronium
Aksi lama
  Doxacurium
  Pancuronium
  Pipecuronium

2.2.1 Cara Kerja Agen Pelumpuh Otot


Depolarisasi pelumpuh otot menyerupai ACh yang menyebabkan potensial
aksi dari otot. Berbeda dengan ACh, obat ini tidak dimetabolisme oleh
4

asetilkolinesterase, konsentrasinya pun tidak cepat hilang dalam synaptic cleft


sehinggamenyebabkan pemanjangan depolarisasi pada motor endplate.
Depolarisasi endplate yang terus menerus menyebabkan relaksasi otot karena
membukanya lower gate di perijunctional sodium channel. Setelah eksitasi awal dan
membuka, sodium channel menutup dan tidak bisa dibuka lagi sampai repolarisasi
endplate. Endplate tidak dapat repolarisasi selama pelumpuh otot depolarisasi
mengikat reseptor ACh, disebut blok fase 1. setelah beberapa waktudapat
menyebabkan perubahan ionic di reseptor ACh, disebut blok fase 2, secara klinis
mirip dengan pelumpuh otot nondepolarisasi (Morgan, 2013).
Pelumpuh otot nondepolarisasi bekerja sebagai kompetitif antagonis. Sebagai
contoh pada kondisi dimana berhubungan dengan sedikit reseptor ACh (regulasi turun
pada myasthenia gravis) menunjukan resistensi pada relaksan yang depolarisasi
sedang sensitivitas meningkan pada pelumpuh otot yang nondepolarisasi. Beberapa
obat dapat mengganggu fungsi dari reseptor ACh contohnya zat inhalasi, local
anestesi dan ketamin. Obat yang dapat menyebabkan tertutrupnya channel adalah
neostigmin, antibiotic, kokain dan quinidine (Paul, 2010).

2.2.2 Reversal dari Pelumpuh Otot


Karena pelumpuh yang depolarisasi tidak dimetabolisme oleh
asetilkolinesterase, dihidrolisa didalam plasma dan hati oleh enzim lain,
pseudokolinesterase. Untungnya kerjanya cepat, karena tidak ada obat yang
merupakan reversalnya (Morgan, 2013).
5

Gambar 2.2 Struktur reseptor ACh. Perhatikan dua subunit yang mengikat ACh dan
kanal tengah. Mengikat ACh ke reseptor pada ujung otot menyebabkan pembukaan
kanal dan fluksasi ion (Morgan, 2013).

Kecuali mivacurium, pelumpuh otot nondepolarisasi tidak dimetabolisme oleh


asetilkolin atau pseudoasetilkolinesterase.reverse tergantung distribusi, metabolisme,
dan eksresi dari relaksan yang menghambat aktivitas enzim asetilkolinesterase. Jadi
tidak ada obat yang dapat mereverse blokade depolarisasi. Kenyataaanya, kolinesterse
inhibitors dapat menyebabkan perpanjangan blokade depolarisasi.

Respon terhadap Stimulasi Saraf Perifer


Penggunaan stimulator saraf perifer untuk monitor fungsi neuromuskular. 4 pola dari
stimulasi elektrik dengan supramaksimal square wave pulse :
1. Tetany : stimulus 50 -100 Hz, selama 5 detik
2. Twitch : denyut tunggal 0,2 ms lamanya
6

3. Train of four : 4 denyutan selama 2 detik, masing-masing selama 0,2 ms


4. Double burst stimulation (DBS) : 3 short (0,2 ms) frekuensi tinggi stimulasi
dibagi oleh 20 ms interval dan diikuti 750ms berikutnya oleh 2 atau 3 impuls
tambahan.
Kemampuan dari stimulus tetani selama blockade partial nondepolarisasi
meningkatkan respon disebut potensiasi posttetanik. Fenomena ini berhubungan
dengan peningkatan mobilisasi ACh.

Gambar 2.3. Skema kanal natrium. Kanal natrium adalah protein transmembran
yang memiliki dua gerbang fungsional. Ion natrium hanya lewat
ketika kedua gerbang terbuka. Pembukaan gerbang bawah
(inaktivasi) tergantung waktu, sedangkan gerbang atas tergantung
tegangan. Kanal karena itu memiliki tiga keadaan fungsional. Saat
istirahat, gerbang bawah terbuka tetapi gerbang atas ditutup (A).
Ketika selaput otot mencapai depolarisasi tegangan ambang batas,
gerbang atas terbuka dan natrium dapat lewat (B). Tidak lama setelah
gerbang atas membuka, gerbang bawah yang tergantung waktu
menutup (C). Ketika membran melakukan repolarisasi terhadap
tegangan istirahatnya, gerbang atas menutup dan gerbang bawah
terbuka (A) (Morgan, 2013).
7

2.3 Anatomi Columna Vertebralis


Columna Vertebralis
Tulang belakang dibentuk oleh tulang vertebra dan diskus intervetebralis yang
diselubungi fibrokartilago. Terdapat 7 vertebra cervical, 12 torakal, dan 5 vertebra
lumbal. Sacrum merupakan persatuan (fusi) dari 5 vertebra sakralis dan ada vertebra
sacrococcygeal yang rudimenter. Spine secara keseluruhan menopang tubuh serta
melindungi medula spinalis dan sarafnya. Pada setiap level vertebra keluar sepasang
saraf kranial (Morgan, 2013).
Vertebra berbeda dalam ukuran dan bentuknya pada setiap level. Vertebra C1,
atlas, mempunyai bentuk yang unik. Vertebra kedua, axis, sebagai konsekuensinya
mempunyai permukaan persendian yang atipikal. Ke-12 vertebra torakal mempunyai
kartilago dengan kosta (Morgan, 2013).

Medulla Spinalis
Pada pasien dewasa, medula spinalis dimulai dari foramen magnum sampai
L1. Pada anak-anak medula spinalis berakhir di L3 dan naik sesuai dengan
bertambahnya umur. Disebabkan karena medulla spinalis umumnya berakhir di L1,
maka melakukan tusukan subarAChnoid dibawah L1 pada dewasa (L3 pada anak)
akan menghindari kemungkinan trauma karena tusukan jarum pada medulla spinalis.
Kerusakan cauda equina tidak mungkin terjadi karena serabut saraf mengambang di
sakus dura dibawah L1 dan suntikan jarum bertendensi untuk mendorong menjauh
daripada tertusuk. Sakus dura dan ruangan subdura memanjang sampai S2 pada
dewasa dan sampai S3 pada anak-anak. Disebabkan kenyataan ini dan lebih kecilnya
ukuran tubuh anak, maka caudal anestesi mempunyai resiko lebih besar terjadi
suntikan subarachnoid pada anak dibandingkan dengan dewasa (Morgan, 2013).
8

Gambar 2.4. Potongan sagital melalui lumbar vertebra (A). Fitur umum vertebra (B,
C) (Morgan, 2013).

Gambar 2.5. Columna Vertebra (Morgan, 2013).


9

Gambar 2.6. Potongan posterior dan sagital dari sakrum dan koksik (Morgan, 2013).

Gambar 2.7. Anestesi epidural lumbal; pendekatan

midline (Morgan, 2013).

Gambar 2.8. Jalur keluaran pada saraf tulang belakang (Morgan, 2013).

Gambar 2.9. Korda Spinalis (Morgan, 2013).


2.4 Mekanisme Kerja
Tempat kerja utama dari blokade neuroaxial adalah nerve root/radiks
saraf. Obat anestesi lokal disuntikkan ke CSF (spinal anestesi) atau ruangan
epidural ( epidural dan caudal anestesi) dan merendam root nerve di ruang
subarachnoid atau ruang epidural. Suntikan langsung obat anestesi lokal kedalam
CSF untuk spinal anestesi membutuhkan jumlah volume dan dosis yang relatif
kecil dibandingkan dengan epidural dan kaudal anestesia. Lebih jauh tempat
suntikan untuk epidural umumnya lebih dekat ke nerve root yang harus dianestesi.
Blokade transmisi neural (konduksi) dari serabut nerve root posterior memblok
sensasi somatik dan visceral, sedangkan blokade nerve root anterior mencegah
outflow otonom dan eferent motoris (Freeman, 2014) (Morgan, 2013).

2.4.1 Blokade Somatik


Dengan menghentikan transmisi stimuli nyeri dan menghilangkan tonus
otot skelet, blokade neuroaxial dapat memberikan kondisi pembedahan yang
ekselen. Blokade sensoris menghambat nyeri somatik dan visceral, sedangkan
blokade motoris menyebabkan relaksasi otot skelet. Efek obat anestesi lokal pada
serabut saraf bervariasi bergantung pada ukuran serabut saraf, bermielin, dan
konsentrasi serta lamanya kontak. Akar nerves spinalis terdiri dari gabungan
bermacam serabut saraf. Serabut yang lebih kecil dan bermielin umumnya lebih
mudah diblok daripada serabut saraf yang lebih besar dan tidak bermielin.
Kenyataan bahwa konsentrasi obat anestesi lokal menurun dengan meningkatnya
jarak dari level penyuntikan, menerangkan fenomena perbedaan blokade.
Perbedaan blokade berakibat blok simpatis (yang ditentukan oleh sensitivitas
temperatur) 2 segmen lebih tinggi daripada blok sensoris (nyeri, raba halus) yang
2 segmen lebih tinggi daripada blokade motoris (Said, 2001) (Morgan, 2013).

2.4.2 Blokade Otonom


Penghentian transmisi otonom pada radiks saraf spinal dapat menimbulkan
blokade saraf simpatis dan parasimpatis. Simpatic outflow dari medula spinalis
adalah di torakolumbal, sedangkan parasimpatis outflow di craniosacral. Serabut
saraf simpatis preganglion (kecil, serabut beta bermielin) keluar dari medula
spinalis (Said, 2001).

Manifestasi Kardiovaskuler
Blokade neuroaxial menyebabkan penurunan tekanan darah yang
dihubungkan dengan penurunan denyut jantung dan kontraksi jantung. Efek ini
umumnya proporsional dengan tingkatan / level simpatektomi (Howard, 2007).
Tonus vasomotor umumnya ditentukan oleh serabut simpatis yang berasal dari T5
sampai L1, yang mempersarafi otot polos arterial dan vena. Blok saraf ini
menyebabkan vasodilatasi dari vena, terjadi pooling darah, dan penurunan venous
return. Arterial sistemik vasodilatasi juga menurunkan resistensi vaskuler
sistemik. Efek arterial vasodilatasi dikurangi dengan adanya kompensasi
vasokonstriksi pada level diatas blokade. Suatu blok simpatis yang tinggi tidak
saja mencegah vasokonstriksi kompensasi tapi juga memblok serabut kardiac
asselerator yang berasal dari T1-T4. Hipotensi hebat dapat ditimbulkan karena
kombinasi vasodilatasi dengan bradikardi dan penurunan kontraktilitas. Efek ini
diperbesar kalau venous return terhambat dengan adanya posisi head-up atau oleh
berat uterus yang gravid. Adanya tonus vagal menerangkan kejadian henti jantung
tiba-tiba pada spinal anestesi (Said, 2001).
Efek kardiovaskuler yang buruk harus diantisipasi untuk mengurangi
derajat hipotensi. Loading volume dengan 10-20 ml/kg cairan intravena pada
pasien sehat akan mengkompensasi pooling darah vena. Menempatkan uterus
kekiri pada trimester ketiga kehamilan mengurangi obstruksi fisik pada venous
return. Disamping faktor-faktor tersebut, hipotensi masih bisa terjadi dan harus
segera diterapi. Pemberian cairan dapat ditingkatkan, dan autotransfusi dengan
memposisikan pasien head-down. Bradikardi diterapi dengan atropin, dan
hipotensi diterapi dengan vasopressor. Alpha adrenergic agonist direk (misalnya
fenilephrin) meningkatkan tonus vena dan menyebabkan arteriol vasokonstriksi,
meningkatkan venous return dan resistensi vaskuler sistemik. Efedrin mempunyai
efek direk beta adrenergic yang meningkatkan denyut dan kontraktilitas jantung
dan efek indirek berupa vasokonstriksi. Kalau hipotensi berat dan atau bradikardi
menetap disamping intervensi diatas dapat diberikan epinephrin 5-10 ug intravena
(Said, 2001).

Manifestasi Pulmonal
Perubahan klinis yang jelas dari fisiologi pulmomal umumnya minimal
dengan blokade neuroaxial karena diapraghma dipersarafi oleh saraf frenikus
dengan serabut yang berasal dari C3-C5. Kecuali pada level torakal tinggi,
volume tidal tidak berubah, hanya sedikit penurunan vital capacity, akibat dari
hilangnya kontribusi otot abdomen untuk tenaga ekspirasi. Blok saraf frenikus
mungkin tidak terjadi kecuali pada total spinal anestesi sebagai apneu yang sering
baik dengan resusitasi hemodinamik, menunjukkan bahwa keadaan tersebut lebih
diakibatkan karena hipoperfusi batang otak daripada blokade saraf frenikus.
Konsentrasi obat anestesi lokal yang diberikan umumnya lebih rendah daripada
konsentrasi yang diperlukan untuk memblokade serabut A yang besar dari saraf
frenikus (Said, 2001).
Pasien dengan penyakit paru kronis yang berat menggunakan otot
pernafasan tambahan (otot interkostal atau abdominal) untuk inspirasi dan
ekspirasi. Blokade saraf yang tinggi dapat mengganggu otot-otot tersebut. Hal
yang sama, batuk dan kemampuan untuk mengeluarkan sekret memerlukan otot-
otot yang diperlukan untuk ekspirasi. Untuk alasan ini, blokade neuroaksial harus
digunakan dengan hati-hati pada pasien dengan fungsi respirasi yang terbatas.
Efek buruk ini dibutuhkan untuk pertimbangan melawan keuntungan pencegahan
penggunakan alat airway dan ventilasi tekanan positif. Untuk pembedahan diatas
umbilikus, teknik anestesi regional saja mungkin bukan merupakan pilihan terbaik
untuk pasien dengan penyakit paru berat. Sebaliknya, pasien dapat mengambil
keuntungan dengan penggunaan epidural torakal (dengan obat anestesi lokal dan
opioid) untuk pengelolaan nyeri pascabedah, terutama setelah operasi abdomen
atas atau torakal. Operasi torakal atau abdomen atas dihubungkan dengan
penurunan fungsi diafragma pascabedah (dari penurunan aktivitas nerves
frenikus) dan penurunan FRC (Functional Residual Capacity) yang dapat
membawa kearah terjadinya atelectasis dan hipoksia melalui mismatch
ventilasi/perfusi. Beberapa bukti menyokong analgesia pascabedah dengan torakal
epidural pada pasien dengan resiko tinggi dapat memperbaiki outcome pulmonal
dengan menurunkan kejadian pneumonia dan gagal nafas, memperbaiki
oksigenasi, dan menurunkan lamanya penggunaan ventilasi mekanis (Said, 2001).

Manifestasi GIT
Outflow simpatis berasal dari level T5-L1. Blokade neuroaxial, yang
menimbulkan blokade simpatis menyebabkan tonus vagal lebih dominan dan
menyebabkan usus berkontraksi dengan aktif peristaltik. Keadaan ini dapat
menghasilkan kondisi operasi yang ekselen untuk prosedur laparoskopi bila
digunakan untuk menambah anestesi umum. Analgesia epidural pascabedah
menunjukkan mempercepat kembalinya fungsi GIT (Said, 2001).
Hepatic blood flow akan menurun dengan menurunnya MAP dari setiap teknik
anestesi. Untuk operasi intraabdominal, penurunan perfusi hepatik lebih
diakibatkan karena manipulasi bedah daripada akibat teknik anestesi (Said, 2001).

Manifestasi Traktus Urinarius


Renal Blood Flow diatur melalui mekanisme autoregulasi, dan hanya ada
efek kecil dari blokade neuroaksial pada fungsi ginjal. Anestesi neuroaksial pada
level lumbal dan sakral memblokade kontrol saraf simpatis dan parasimpatis
untuk fungsi vesica urinaria. Hilangnya kontrol vesica urinaria otonom
menyebabkan retensi urine sampai efek blokade hilang. Bila tidak dipasang
kateter urine, pakai obat anetesi yang mempunyai lama kerja singkat dengan dosis
kecil serta membatasi jumlah cairan infus yang diberikan. Pasien harus dipantau
untuk kejadian retensi urine untuk menghindari distensi kandung kemih setelah
anestesi neuroaksial (Said, 2001).

Manifestasi Metabolik dan Endokrin


Trauma bedah menimbulkan respon neuroendokrin melalui respons
inflamatori yang terlokalisir dan mengaktifkan serabut saraf aferent somatik dan
visceral. Respons ini termasuk peningkatan kadar adrenocorticotropic hormon,
kortisol, epinephrine, norepinefrin, dan vasopresin serta mengaktivasi sistem
renin-angiotensin-aldosteron. Manifestasi kliniknya antara lain terjadi hipertensi
intraoperatif dan postoperatif, takikardi, hiperglikemia, catabolisme protein,
penekanan respon imun, dan perubahan fungsi ginjal. Blokade neuroaksial dapat
sebagian menekan (pada operasi besar) atau memblok secara total (pada operasi
ekstrimitas bawah) respons stres ini. Dengan mengurangi pelepasan
katecholamine, blokade neuroaksial dapat menurunkan aritmia perioperatif dan
kemungkinan mengurangi kemungkinan terjadinya iskhemia. Untuk
memaksimalkan blunting /penumpulan stres respons neuroendokrin, neuroaksial
blok harus dilakukan sebelum insisi dan berlanjut ke periode pascabedah (Said,
2001).
DAFTAR PUSTAKA

Byhahn C, Meininger D, Zwissler B : Current Concepts of Airway Management


in The ICU and The Emergency Departement; Yearbok of Intensive Care
and Emergency Medecine, Vincent JL (ed), Springer, New York, 2006. P
377-399.
Freeman BS, Berger JS. Anesthesiology Core Review. Part One : Basic Exam.
McGraw Hill, United States. 2014;84:243.
Howard MB. Anesthesia Review 2nd ed. Lippincott Williams & Wilkins,
Philadelphia. 2007;180.
Morgan GE, Mikhail MS. Airway Management. Clinical Anesthesiology 5 th  ed.
Lange Medical Books, New York, 2013.
Paul AK. Step by Step : Practical Aspects of Emergency Anesthesia. Jaypee
Brothers Medical Publishers, Panama. 2010;45-46.
Said AL, Kartini AS, Dachlan MR. Petunjuk Praktis Anestesiologi. 2nd ed. Bagian
Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, Jakarta. 2001;107-122.
Vacanti CA, Sikka PK, Urman RD, et al. Essential Clinical Anesthesia.
Cambridge University Press, New York. 2011;109-110.

Anda mungkin juga menyukai