REFARAT
Oleh:
dr. Riani Wulandari
Pembimbing:
dr. Wulan Fadinie, SpAn, M.Ked(An)
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Gambar 2.2 Struktur reseptor ACh. Perhatikan dua subunit yang mengikat ACh dan
kanal tengah. Mengikat ACh ke reseptor pada ujung otot menyebabkan pembukaan
kanal dan fluksasi ion (Morgan, 2013).
Gambar 2.3. Skema kanal natrium. Kanal natrium adalah protein transmembran
yang memiliki dua gerbang fungsional. Ion natrium hanya lewat
ketika kedua gerbang terbuka. Pembukaan gerbang bawah
(inaktivasi) tergantung waktu, sedangkan gerbang atas tergantung
tegangan. Kanal karena itu memiliki tiga keadaan fungsional. Saat
istirahat, gerbang bawah terbuka tetapi gerbang atas ditutup (A).
Ketika selaput otot mencapai depolarisasi tegangan ambang batas,
gerbang atas terbuka dan natrium dapat lewat (B). Tidak lama setelah
gerbang atas membuka, gerbang bawah yang tergantung waktu
menutup (C). Ketika membran melakukan repolarisasi terhadap
tegangan istirahatnya, gerbang atas menutup dan gerbang bawah
terbuka (A) (Morgan, 2013).
7
Medulla Spinalis
Pada pasien dewasa, medula spinalis dimulai dari foramen magnum sampai
L1. Pada anak-anak medula spinalis berakhir di L3 dan naik sesuai dengan
bertambahnya umur. Disebabkan karena medulla spinalis umumnya berakhir di L1,
maka melakukan tusukan subarAChnoid dibawah L1 pada dewasa (L3 pada anak)
akan menghindari kemungkinan trauma karena tusukan jarum pada medulla spinalis.
Kerusakan cauda equina tidak mungkin terjadi karena serabut saraf mengambang di
sakus dura dibawah L1 dan suntikan jarum bertendensi untuk mendorong menjauh
daripada tertusuk. Sakus dura dan ruangan subdura memanjang sampai S2 pada
dewasa dan sampai S3 pada anak-anak. Disebabkan kenyataan ini dan lebih kecilnya
ukuran tubuh anak, maka caudal anestesi mempunyai resiko lebih besar terjadi
suntikan subarachnoid pada anak dibandingkan dengan dewasa (Morgan, 2013).
8
Gambar 2.4. Potongan sagital melalui lumbar vertebra (A). Fitur umum vertebra (B,
C) (Morgan, 2013).
Gambar 2.6. Potongan posterior dan sagital dari sakrum dan koksik (Morgan, 2013).
Gambar 2.8. Jalur keluaran pada saraf tulang belakang (Morgan, 2013).
Manifestasi Kardiovaskuler
Blokade neuroaxial menyebabkan penurunan tekanan darah yang
dihubungkan dengan penurunan denyut jantung dan kontraksi jantung. Efek ini
umumnya proporsional dengan tingkatan / level simpatektomi (Howard, 2007).
Tonus vasomotor umumnya ditentukan oleh serabut simpatis yang berasal dari T5
sampai L1, yang mempersarafi otot polos arterial dan vena. Blok saraf ini
menyebabkan vasodilatasi dari vena, terjadi pooling darah, dan penurunan venous
return. Arterial sistemik vasodilatasi juga menurunkan resistensi vaskuler
sistemik. Efek arterial vasodilatasi dikurangi dengan adanya kompensasi
vasokonstriksi pada level diatas blokade. Suatu blok simpatis yang tinggi tidak
saja mencegah vasokonstriksi kompensasi tapi juga memblok serabut kardiac
asselerator yang berasal dari T1-T4. Hipotensi hebat dapat ditimbulkan karena
kombinasi vasodilatasi dengan bradikardi dan penurunan kontraktilitas. Efek ini
diperbesar kalau venous return terhambat dengan adanya posisi head-up atau oleh
berat uterus yang gravid. Adanya tonus vagal menerangkan kejadian henti jantung
tiba-tiba pada spinal anestesi (Said, 2001).
Efek kardiovaskuler yang buruk harus diantisipasi untuk mengurangi
derajat hipotensi. Loading volume dengan 10-20 ml/kg cairan intravena pada
pasien sehat akan mengkompensasi pooling darah vena. Menempatkan uterus
kekiri pada trimester ketiga kehamilan mengurangi obstruksi fisik pada venous
return. Disamping faktor-faktor tersebut, hipotensi masih bisa terjadi dan harus
segera diterapi. Pemberian cairan dapat ditingkatkan, dan autotransfusi dengan
memposisikan pasien head-down. Bradikardi diterapi dengan atropin, dan
hipotensi diterapi dengan vasopressor. Alpha adrenergic agonist direk (misalnya
fenilephrin) meningkatkan tonus vena dan menyebabkan arteriol vasokonstriksi,
meningkatkan venous return dan resistensi vaskuler sistemik. Efedrin mempunyai
efek direk beta adrenergic yang meningkatkan denyut dan kontraktilitas jantung
dan efek indirek berupa vasokonstriksi. Kalau hipotensi berat dan atau bradikardi
menetap disamping intervensi diatas dapat diberikan epinephrin 5-10 ug intravena
(Said, 2001).
Manifestasi Pulmonal
Perubahan klinis yang jelas dari fisiologi pulmomal umumnya minimal
dengan blokade neuroaxial karena diapraghma dipersarafi oleh saraf frenikus
dengan serabut yang berasal dari C3-C5. Kecuali pada level torakal tinggi,
volume tidal tidak berubah, hanya sedikit penurunan vital capacity, akibat dari
hilangnya kontribusi otot abdomen untuk tenaga ekspirasi. Blok saraf frenikus
mungkin tidak terjadi kecuali pada total spinal anestesi sebagai apneu yang sering
baik dengan resusitasi hemodinamik, menunjukkan bahwa keadaan tersebut lebih
diakibatkan karena hipoperfusi batang otak daripada blokade saraf frenikus.
Konsentrasi obat anestesi lokal yang diberikan umumnya lebih rendah daripada
konsentrasi yang diperlukan untuk memblokade serabut A yang besar dari saraf
frenikus (Said, 2001).
Pasien dengan penyakit paru kronis yang berat menggunakan otot
pernafasan tambahan (otot interkostal atau abdominal) untuk inspirasi dan
ekspirasi. Blokade saraf yang tinggi dapat mengganggu otot-otot tersebut. Hal
yang sama, batuk dan kemampuan untuk mengeluarkan sekret memerlukan otot-
otot yang diperlukan untuk ekspirasi. Untuk alasan ini, blokade neuroaksial harus
digunakan dengan hati-hati pada pasien dengan fungsi respirasi yang terbatas.
Efek buruk ini dibutuhkan untuk pertimbangan melawan keuntungan pencegahan
penggunakan alat airway dan ventilasi tekanan positif. Untuk pembedahan diatas
umbilikus, teknik anestesi regional saja mungkin bukan merupakan pilihan terbaik
untuk pasien dengan penyakit paru berat. Sebaliknya, pasien dapat mengambil
keuntungan dengan penggunaan epidural torakal (dengan obat anestesi lokal dan
opioid) untuk pengelolaan nyeri pascabedah, terutama setelah operasi abdomen
atas atau torakal. Operasi torakal atau abdomen atas dihubungkan dengan
penurunan fungsi diafragma pascabedah (dari penurunan aktivitas nerves
frenikus) dan penurunan FRC (Functional Residual Capacity) yang dapat
membawa kearah terjadinya atelectasis dan hipoksia melalui mismatch
ventilasi/perfusi. Beberapa bukti menyokong analgesia pascabedah dengan torakal
epidural pada pasien dengan resiko tinggi dapat memperbaiki outcome pulmonal
dengan menurunkan kejadian pneumonia dan gagal nafas, memperbaiki
oksigenasi, dan menurunkan lamanya penggunaan ventilasi mekanis (Said, 2001).
Manifestasi GIT
Outflow simpatis berasal dari level T5-L1. Blokade neuroaxial, yang
menimbulkan blokade simpatis menyebabkan tonus vagal lebih dominan dan
menyebabkan usus berkontraksi dengan aktif peristaltik. Keadaan ini dapat
menghasilkan kondisi operasi yang ekselen untuk prosedur laparoskopi bila
digunakan untuk menambah anestesi umum. Analgesia epidural pascabedah
menunjukkan mempercepat kembalinya fungsi GIT (Said, 2001).
Hepatic blood flow akan menurun dengan menurunnya MAP dari setiap teknik
anestesi. Untuk operasi intraabdominal, penurunan perfusi hepatik lebih
diakibatkan karena manipulasi bedah daripada akibat teknik anestesi (Said, 2001).