Anda di halaman 1dari 27

Treakeostomi ec Fraktur Maxilofacial

Oleh :

NUR SHABRINA FAHMI 10310275

Konsulen Pembimbing :
Dr. H. Farid Wajid Sp. THT-KL

BAGIAN ILMU KESEHATAN THT-KL


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MALAHAYATI
RSUD DR. SOEKARDJO TASIKMALAYA
2015
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penyusun panjatkan kehadirat Allah Swt Yang Maha Esa karena
berkat rahmat dan karunia-Nya sehingga penyusun dapat menyelesaikan Laporan Kasus
ini dengan baik.
Laporan Kasus ini disusun untuk memenuhi tugas di stase Ilmu Penyakit THT-KL
pada Kepaniteraan Klinik Senior di RSUD DR. SOEKARDJO KOTA TASIMALAYA.
Pokok bahasan yang telah di tentukan dalam penyusunan referat ini adalah

Treakeostomi ec Fraktur Maxilofacial.


Ucapan terima kasih penyusun sampaikan kepada seluruh pihak yang telah membantu
dalam penyusunan referat ini, khususnya kepada dr. H. Farid Wajdi, Sp.THT-KL selaku
pembimbing yang telah memberi banyak arahan sehingga penyusun dapat menyelesaikan
Laporan kasus ini dengan baik.
Adapun dalam penyusunan referat ini masih banyak kekurangan, untuk itu penyusun
mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari pembimbing dan dari
pembaca agar kedepannya penyusun dapat memperbaiki dan menyempurnakan
kekurangan tersebut.
Besar harapan penyusun agar referat ini dapat bermanfaat bagi pembaca, serta dapat
digunakan sebagaimana mestinya dan dapat memberikan suatu pengetahuan bagi

pembacanya untuk meningkatkan ilmu pengetahuanya.

Tasikmalaya,

Juni 2015

Penyusun

BAB I

STATUS PASIEN
I.

KETERANGAN UMUM
- Nama
: Tn. I
- Jenis Kelamin
: laki-laki
- Usia
: 33 Tahun
- Alamat
: Kp. Rahayu 2 002/006 Kel/Des Sukahurip
kec. Tasikmalaya. Jawa Barat
- Agama
: Islam
- Status
: Menikah
- Pekerjaan
: Wiraswasta
- Tanggal Pemeriksaan : Kamis, 19 Juni 2014

II.

ANAMNESIS
Keluhan Utama
Keluar darah dari hitung dan bibir atas robek

Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang ke Poli THT-KL sebagai rujukan dari bagian Bedah Mulut.
Keluarga Os mengeluh keluar darah dari kedua hidung dan bibir atas robek 7
hari SMRS. Keluarga os mengatakan os dilempar batu beratnya sekitar 2 kg pada
bagian wajah. Os juga mengeluhkan 3 hari pasca kejadian wajah menjadi
bengkak, penglihatan menjadi kabur dan di kedua telinga seperti ada yang bertalu
seperti mendengar detak jantung. Os merasakan sakit pada bagian belakang kepala
dan nyeri ketika menelan. Os mengeluh kesulitan membuka mulut dan gigi atas.
Os juga mengeluh keluar air liur terus menerus dari mulut. Mual (-) muntah (-).
Sesak (-). Demam (-). Pingsan (-), Kejang (-).

Riwayat Penyakit Dahulu


-

Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat Pengobatan
Saat kejadian os segera di bawa ke rumah sakit TMC. Setelah

dilakukan tindakan di IGD os dirujuk ke Rumah Sakit dr.

III.

Soekardjo Tasikmalaya
Riwayat Alergi
PEMERIKSAAN FISIK
- Status generalis
3

o Keadaan Umum : Tampak Sakit Berat


o Kesadaran
: Compos Mentis
o Vital Sign
- TD : 120/80 mmHg
- Nadi : 94x/menit

- Respirasi : 22x/ menit


- Suhu
: 36,80C

o Kepala
Mata
Konjungtiva

: Anemis -/-, perdarahan -/-

Sklera

: ikterus -/-

Palpebra

: oedem +/+

Pupil

: refleks cahaya +/+,


isokor 3mm/3mm

o THT
o Leher

: Status Lokalis

KGB

: tidak ada pembesaran

Tiroid

: tidak ada pembesaran

o Thorax
Paru
-

Inspeksi

: Simetris, tidak ada retraksi, tidak

ada ketertinggalan gerak antara dada kanan dan


dada kiri.
Palpasi
: Vocal Fremitus raba normal
Perkusi
: Sonor di kedua lapangan paru
Auskultasi
: Ves +/+ Rh -/- Wh -/-

Jantung
-

Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi

: ictus cordis tidak tampak


: ictus cordis tidak teraba
: redup
: BJ S1 S2 Reguler

Abdomen
- Inspeksi
- Auskultasi
- Palpasi
- Perkusi
o Ekstremitas
- Akral Hangat
- Oedem
o

o Neurologi

: Cembung, Jejas (-)


: BU (+) Normal
: Soepel
: Tympani
: +/+
:-/-

: Tidak dilakukan pemerikasaan

Status lokalis
o Telinga
Bagian

Kelainan

Auris
Dekstra
-

Sinistra
-

Radang dan tumor

Trauma
Kelainan

Radang dan tumor

Trauma
Edema

Hiperemis

Nyeri tekan

Sikatriks

Fistula

Canalis

Fluktuasi
Kelainan kongenital

Acusticus

Kulit

+ (normal)

+ (normal)

Eksternus

Sekret

Serumen

Edema

Preauricula

Auricula

Retroauricula

Kelainan

Membran

Jaringan granulasi

Massa

Kolesteatoma
Warna

Sulit dinilai

Sulit dinilai

Intak

Sulit dinilai

Sulit dinilai

Cahaya

Sulit dinilai

Sulit dinilai

Timpani

Tes Pendengaran
Pemeriksaan

Auris

Tes Rinne
Tes Webber

Dekstra
Sinistra
(+)
(+)
Tidak ada lateralisasi

Kesan:
Telinga kanan dan kiri dalam batas normal
o Hidung
Pemeriksaan
Keadaan luar

Nares
Dekstra

Sinistra

Bentuk dan ukuran


Mukosa

Simertis
Epistaksis
Epistaksis

Sekret

Sulit dinilai

Sulit dinilai

Rhinoskopi

Krusta

Sulit dinilai

Sulit dinilai

Anterior

Concha Inferior

Sulit dinilai

Sulit dinilai

Septum

Deviasi (+)

Deviasi (+)

Polip/Tumor

Sulit dinilai

Sulit dinilai

Sulit dinilai
Tidak dilakukan

Sulit dinilai
Tidak

pemeriksaan

dilakukan

karena pasien

pemeriksaan

Rhinoskopi

Pasase udara
Mukosa
Khoana
Sekret
Torus tubarius

Posterior

Fossa rosenmuller
Adenoid

tidak dapat

karena pasien

membuka mulut

tidak dapat
membuka
mulut

o Tenggorok
Bagian

Kelainan
Mukosa mulut
Lidah
Palatum molle

Keterangan
Basah
Tidak dilakukan pemeriksaan
karena pasien tidak dapat
membuka mulut

Gigi Geligi
87654321

Mulut

12345678

Tidak dilakukan

Tidak

Uvula

pemeriksaan

dilakukan

Halitosis

karena pasien

pemeriksaan

tidak dapat

karena pasien

membuka mulut

tidak dapat
membuka

Mukosa
Tonsil

mulut
Tidak dilakukan pemeriksaan

Besar

karena pasien tidak dapat

Kripta

membuka mulut

Dentritus
Perlengketan
Mukosa
Faring

Granulasi
Post nasal drip

o Maxilofasial
o Bentuk
- Look : Deformitas os nasal (+), Edema (+), Vunul
-

laseratum labia oris superior dextra (+)


Feel : Krepitasi (+), Nyeri tekan (+)
Move : ROM (Terbatas)

o Paresis N. Fascial : (-)


o Leher
: KGB (tidak ada perbesaran)
IV.

RESUME
a. Anamnesis

Telinga

RPS
- Tinitus ( + )

RPD

- Otalgia ( - )

Hidung,
Mulut
Tenggorok,
Leher

Otorea ( - )
Cefalgia ( - )
Deformitas os nasal (+)
Epistaksis (+)
ROM (terbatas)

- Odinofagi (-)
- Limfadenopati (-)

b. Pemeriksaan Fisik
- Status generalis :
o KU
: Tampak Sakit Berat
-

Status lokalis :
o ADS : Sulit dinilai
o CN
: Deformitas os Nasal, Epitaksis Nasal dextra et
sinistra
o NPOP : Sulit Dinilai
o MF
: Edema (+), Vulnus laseratum labia oris superior
dextra, ROM (terbatas)
o Leher : Limfadenopati (-)

V.

DIAGNOSIS BANDING
- Close Fraktur os nasal + Close Fraktur os Maxilla + Fraktur
dentoalveolar + Vulnus Laseratum Labium Oris Superior

VI.
-

DIAGNOSIS KERJA
Close Fraktur os nasal + Close Fraktur os Maxilla + Fraktur
dentoalveolar + Vulnus Laseratum Labium Oris Superior

VII.

USULAN PEMERIKSAAN
- Foto Rongent : Thoraks PA, Proyeksi Wajah Lateral, cervical,
-

Water, Submentovertex
Lab Darah Lengkap

Rongen Thorax PA

Proyeksi

Wajah Lateral

10

Cervical

VIII. PENATALAKSANAAN
a. Umum :
- Diet makanan Cair
b. Medikamentosa :
11

Infus RL 500 cc + 1 amp. Ketorolac + 1 amp

tramadol + 1 amp Ranitidin dlm 20 tpm


Cefotaxime 1000mg 2x1
Asam Traneksamat 1 g 3x1 amp

Thrakeostomi + Reposisi Fraktur os Nasal


Pemasangan Rubber Wirring

c. Operatif

12

Tindakan Oprasi Trakeostomi


Tanggal : 29-5-2015
Mulai Oprasi : 09.45
Selesai Oprasi : 10.30

Laporan Oprasi :
1. Setelah pasien dalam keadaan anastesi beri a dan antiseptic
13

2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.

Dilakaukan diseksi tumpul pada trakea


Dilakukan pembuatan stoma pada trakea
Dipasang TC Tube
Dipasang kasa aman
Dulakukan reposisi Nasal
Dipasang tampon anterior
Oprasi selesai
IX.

PROGNOSIS
a. Quo ad vitam
b. Quo ad functional

: dubia ad bonam
: dubia ad bonam

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Trakeostomi merupakan suatu teknik yang digunakan untuk
mengatasi

pasien

dengan

ventilasi yang tidak adekuat dan


obstruksi
bagian

jalan
atas.

pernapasan
Insisi

yang

dilakukan pada trakea disebut


Trakeotomi, sedangkan tindakan
membuat

stoma

yang

selanjutnya

diikuti

dengan

pemasangan
kanul

trakea

agar

udara

dapat masuk ke
dalam

paru

paru melalui trakea disebut Trakeostomi.


B. Klasifikasi
1. Trakeostomi untuk mengatasi gawat darurat
14

2. Trakeostomi yang terencana dan dilakukan di kamar oprasi dengan


trakeostomi efektif
C. Indikasi trakeostomi
Menurut Endean
1. Yang memerlukan ventilai mekanik dalam jangka panjang
2. Dengan keganasan kepaladan leher yang dilakukan reseksi yang sulit
untuk dilakukan intubasi
3. Dengan trauma maxilofascial disertai dengan resiko sumbatan jalan
napas
4. Dengan sumbatan jalan napas akibat trauma, luka bakar, ataukeduanya
5. Dengan gangguan neurologis yang disertai dengan risiko sumbatan
jalan napas
6. Dengan severe sleep apnea yang tidak dapat dilakukan intubasi
D. Kontraindikasi Trakeostomi
Bila tindakan konservatif membebaskan jalan napas masih dapat
dilakukan.

E. PERALATAN TRAKEOSTOMI
Alat yang perlu dipersiapkan untuk melakukan trakeostomi adalah semprit
dengan obat analgesia (novokain), pisau (skapel), pinset anatomi, gunting panjang
yang tumpul, sepasang pengait tumpul, klem arteri, gunting kecil yang tajam serta
kanul trakea yang ukurannya cocok untuk pasien.

15

Seperti pipa endotrakeal, kaf pipa yang bertekanan rendah dan bervolume
banyaklah yang dipilih. Yang sering digunakan adalah pipa yang terbuat dari
klorida polivinil (KPV), silastik dan metal. Pipa KPV dan silastik umum
digunakan untuk UTI sedangkan pipa metal digunakan untuk trakeostomi jangka
panjang terutama bila kaf tidak diperlukan.

F. PROSEDUR TRAKEOSTOMI
1. Trakeostomi elektif.
Pada kebanyakan kasus trakeostomi dilakukan di Intensive Care Unit atau
di kamar operasi. Pada lokasi tersbut pasien terus dimonitor dengan pulse
oxymetri dan elektrokardiogram. Anestesiologis biasanya melakukan gabungan
antara medikasi intravena dan anestesi lokal.

16

Teknik trakeostomi ditentukan sampai batas tertentu oleh keadaan yang


memerlukan tindakan tersebut. Yang terpenting ialah memperoleh udara
pernafasan secepat dan seefisiensi mungkin dengan menghindari trauma pada
laring, trakea, dan struktur yang berdekatan.
Bila mungkin, dilakukan intubasi endotrakea sebelum trakeostomiterapi,
terutama pada anak. Jika tidak mungkin melakukan intubasi,ventilasi dan
oksigenasi melalui kantong dan masker sangat membantu. Jika udara pernafasan
telah terkontrol, dapat dilakukan trakeostomi dengan lebih cermat dan trauma
minimal.
Pasien tidur telentang dengan bantal di bawah bahu untuk memperoleh
ekstensi leher yang maksimal. Anestesi tidak diperlukan pada pasien yang tidak
sadar. Anestesi lokal pada umumnya sudah cukup untuk pasien sadar, termasuk
anak. Anestesi lokal diberikan dengan infiltrasi kulit pada garis insisi dan bahan
disuntikkan ke jaringan yang lebih dalam di garis tengah sampai pada dinding
trakea anterior. Dapat digunakan lidocaine (Xylocaine) 1% dengan epinefrin 1 :
150.000.
Insisi kulit ditentukan berdasarkan situasi dan kondisi. Jika trakeostomi
dilakukan bersamaan dengan bedah kepala dan leher, insisi disesuaikan dengan
rencana operasi yang akan dilakukan. Jika trakeostomi dilakukan tersendiri, bila
mungkin dibuat insisi horizontal. Insisi dibuat sepanjang 5 cm, kira kira dau jari
di atas fosa suprasternal.
Hasil kosmetik insisi horizontal lebih baik dibandingkan insisi vertikal.
Dalam keadaan gawat dan bantuan tidak tersedia, dilakukan insisi vertikal di garis
tengah sepanjang 4 cm supaya cepat dan perdarahan minimal. Insisi kulit
diperdalam sampai terlihat otot penggantung. Pada titik ini, untuk menentukan
letak trakea perlu dilakukan palpasi untuk menghindari diseksi terlalu lateral. Otot
penggantung dipisahkan secara vertikal di garis tengah dan disingkirkan ke lateral,
maka tampak fasia pre-trakea yang menutupi trakea dan ismus tiroid.
Tampak banyak vena turun ke fasia dari tiroid, tetapi dengan tetap bekerja
di garis tengah pada bidang vertikal, sebagian besar vena dapat dihindari. Ismus
tirois hampir selalu berada di atas cincin trakea ke-3 dan biasanya dapat
disingkirkan ke atas dengan retractor kecil dan tumpul untuk membebaskan

17

trakea. Ismus tiroid tidak perlu dipotong, sehingga perdarahan dapat dihindari,
kecuali pada ismus yang luar biasa lebar, harus dipotong diantara dua klem, dan
diikat pada pinggir potongan.
Trakea harus difiksasi dengan memasukkan pengait pada dinding anterior
antara cincin ke-1 dan ke-2, kemudian ditarik ke arah atas dan luar. Dinding
anterior trakea diinsisi secara vertikal, sebanyak 2 sampai 3 cincin. Insisi trakea
jangan lebih tinggi dari cincin ke-2, untuk mencegah rangsangan pipa trakeostomi
pada kartilago krikoid yang dapat menyebabkan perikondritis. Jangan membuang
tulang rawan dari dinding anterior trakea, karena dapat menimbulkan defek besar
pada trakea yang tidak perlu pasca ekstubasi, sehingga terjadi granulasi yang
mengganggu dan memperlambat penyembuhan. Insisi trakea diperlebar dengan
dilator Truosseau atau klem yang besar, kemudian pipa dimasukkan , dijaga agar
tidak mngenai dinding posterior trakea.
Balon dikontrol dengan cara inflasi untuk mengetahui ada tidaknya
kerusakan pada balon pada waktu memasukkan pipa. Segera setelah pipa masuk
sering timbul batuk hebat, dan beberapa pasien dapat timbul apnea karena
kehilangan rangsangan hipoksia untuk bernafas. Pipa trakeostomi harus dipilih
dengan hati hati. Akhir akhir ini pemakaian pipa perak ukuran standar tipe
Holinger dan Jackson telah ditinggalkan dan diganti dengan pipa jenis silikon atau
Portex. Alasannya untuk mengurangi trauma pada dinding trakea, mengurangi
kanul dalam, dan ekonomis. Panjang pipa trakeostomi juga penting dan seringkali
perlu disesuaikan panjangnya untuk tiap individu.
Diameter pipa dipilih yang terbesar, kira kira sesuai dengan tiga per
empat diameter trakea. Ukuran rata rata np. 6 untuk wanita dewasa atau no. 7
dan 8 untuk pria. Pipa dengan balon mungkin perlu bila ada masalah aspirasi, atau
jika diperlukan respirator dengan tekanan positif. Insisi kulit tidak dijahit dan
tidak diperban dengan tekanan karena dapat menimbulkan emfisema subkutan,
pneumomediastinum, dan pneumotoraks. Kasa kecil dapat diletakkan antara
pinggir pipa dan kulit leher.

18

19

20

2. Trakeostomi Darurat
Pada keadaan darurat, trakeostomi harus dapat dilakukan dalam 2 3
menit, dimana anoksia akan terjadi dalam 4 5 menit. Pada trakeostomi darurat
lebih baik dilakukan insisi secara vertikal, yang dimulai pada level kartilago
krikoid, lanjutkan ke inferior sekitar 2,5 3,75 cm. Gunakan tangan kiri untuk
menstabilkan laring dan mengekstensi leher bila tidak ada kontraindikasi (seperti
cedera servikal). Sementara tangan kanan digunakan untuk membuat insisi.
Jari telunjuk tangan kiri dapat digunakan untuk mendorong ismus tiroid ke
inferior dan mempalpasi trakea. Insisi kulit secara vertikal ini sangat krusial dalam
keadaan darurat, karena tindakan dapat dilakukan lebih cepat dan kurangnya
resiko trauma terhadap struktur leher yang lain.
G. PERAWATAN TRAKEOSTOMI
Hal-hal penting pada perawatan trakeostomi adalah :
1. Humidifikasi.
2. Fiksasi harus aman dan ganti setiap hari.
3. Bersihkan luka setiap 6 jam atau sesering yang diperlukan.
4. Penghisapan trakeobronkial dilakukan dengan mengindahkan kaidah a dan
antisepsis. Gunakan kateter dan sarung tangan steril.

21

5. Radiografi dada harus diambil untuk konfirmasi posisi ujung pipa. Pipa
dipertahankan selama 7 hari setelah itu ganti setiap 4 hari. Bila digunakan pipa
metal, pipa bagian dalam dapat sering diganti tanpa mengganti pipa utama.
6. Kultur luka dan sputum harus diperiksa.
7. Alat-alat untuk keadaan darurat harus selalu tersedia tidak jauh dari pasien,
seperti :
a. Pipa trakeostomi yang baru dengan ukuran yang sama dan satu nomor lebih
kecil.
b. Dilator trakea, speculum hidung dan laringoskop untuk anak yang dapat
digunakan untuk dilatasi stoma dan pemasangan pipa kembali.
c. Peralatan untuk menghisap dan fasilitas untuk ventilasi kendali.
d. Sungkup muka, laringoskop dan pipa endotrakeal. Jika pipa trakeostomi tidak
berhasil dimasukkan kembali, kadang-kadang dilupakan bahwa pasien dapat di
ventilasi melalui laring.
H. DEKANULASI
Pipa trakeostomi jangan dibiarkan lebih lama dari waktu yang diperlukan,
terutama pada anak. Harus diangkat secepat mungkin untuk mengurangi
timbulnya trakeobronkitis, ulserasi trakea, stenosis trakea, trakeomalasi, dan
fistula trakeokutan menetap. Segera setelah keadaan pasien membaik, ukuran pipa
trakeostomi diperkecil sampai ukuran yang memungkinkan udara dapat memintas
pipa menuju saluran nafas bagian atas. Hal ini menolong menghindari
ketergantungan fisiologik pada pipa yang besar akibat menurunnya resistensi
pernafasan. Kemudian pipa ditutup dan dinilai apakah jalan nafas adekuat,
kemampuan menelan dan mengeluarkan sekret. Jika pipa dapat ditutup selama 8
12 jam, pipa dikeluarkan dan fistel trakeokutan ditutup. Segera setelah dekanulasi,
pasien harus diamati dengan ketat dan alat yang diperlukan untuk mendapatkan
jalan nafas kembali selalu harus tersedia.

22

I. JENIS KOMPLIKASI
Segera
A Komplikasi perioperatif seperti perdarahan, emfisema, pneumotorak, emboli
udara dan kerusakan tulang rawan krikoid.
b. Diskoneksi.
c. Salah menempatkan trakeostomi, misalnya di jaringan pretrakea atau bronkus
utama kanan.
d. Herniasi kaf yang menyebabkan pipa tersumbat.
e. Ujung pipa tertutup dinding trakea atau carina.
f. Apnea akibat hilangnya rangsangan hipoksia pernafasan.
Trakeostomi yang dilakukan pada pasien dengan riwayat hipoksia kronik,
tarikan nafas pertama atau kedua setelah pipa dimasukkan dapat diikuti dengan
henti nafas. Hal ini sehubungan dengan denervasi fisiologik pada reseptor kimia
perifer karena naiknya PO2 tiba tiba. Oleh karena hipoksia sangat
mempengaruhi rangsangan pernafasan, maka dapat terjadi apnea.

23

A. Trakea tertekuk ke depan


B. Tukak dinding depan trakea karena ukuran kanul terlalu besar
C. Emfisema subkutis karena dislokasi kanul
D. Tukak karina karena kateter isap
E. Manset ditiup terlalu kuat sehingga menyebabkan penutupan kanul ( herniasi
akibat ditiup berlebihan )
F. Manset kanul terlepas di trakea
G. Nekrosis cincin trakea karena manset ditiup terlalu kuat
H. Cedera dinding belakang (hati hati fistel trakeo-esofagus)
Menengah
a. Tersumbat sekret, dapat terjadi segera atau gradual. Tetapi hal ini jarang terjadi
bila humidifikasi, hidrasi dan penghisapan lendir baik.
b. Infeksi pada stoma atau trakeobronkial.
Infeksi dapat dikendalikan dengan teknik steril dan humidifikasi.
Antibiotik profilaksis harus dilarang karena memungkinkan perkembangan
bakteri oportunistik. Pseudomonas aeruginosa tidak jarang dapat dibiak dari lokasi
trakeostomi dan tidak selalu merupakan infeksi sistemik. Tindakan yang perlu
dilakukan mungkin hanya mebasahi kasa dengan larutan asam asetat 0,5%. Pasien
yang mendapat banyak antibiotik mungkin mengalami kontaminasi Candida
albicans pada lokasi trakeostomi. Namun sebelum memulai pengobatan sistemik
harus dicoba perawatan luka secara lokal.
c. Ulserasi trakea kerena penekanan kaf.

24

d. Erosi yang dalam dapat menyebabkan perdarahan dari a. Inominata atau fistel
trakeoesofagus.
Lanjut
a. Granuloma trakea yang bisa menyebabkan kesulitan bernapas bila pipa
diangkat.
b. Trakeomalasia dan dilatasi trakea.
c. Stenosis trakea.
Merupakan komplikasi mayor yang tersering. Frekuensi komplikasi ini
semakin sering meningkat karena pasien sering kali memerlukan ventilasi
terkontrol jangka lama dengan tuba bermanset. Menurut Fearon, stenosis stoma
bukanlah suatu komplikasi melainkan merupakan parut pasca operasi yang telah
diperkirakan, dan gejala hanaya kan timbul bila diameter lumen sama dengan atau
kurang dari 4 mm. Bilamana terdapat granulasi di atas stoma atau kartilago dalam
lumen, maka masalah dapat di atasi dengan eksisi endoskopik atau memasang
stent pada jalan nafas. Tuba bermanset dapat menyebabkan obstruksi mukosa
sirkumferensial dalam beberapa jam. Manset harus dikembangkan dan kemudian
sejumlah udara dilepaskan hingga menimbulkan bunyi. Manset bertekanan
renda juga bersifat protektif. Perbaikan stenosis trakea semakin sulit bilamana
sikatriks makin panjang.
d. Fistel trakeokutan menetap
e. Fistel trakeoesofagus
Biasanya timbul pada pasien yang hipotensi dan telah menjalani intubasi
yang lama dengan tuba bermanset dan ventilasi terkontrol. Pasien demikian
memerlukan tuba nasogastrik, namun seringkali meninggal akibat penyakit
primernya ataupun akibat pneumonia aspirasi lewat fistula. Perbaikan bedah amat
kompleks dan melibatkan pnempatan otot-otot leher diantara trakea dan esofagus
setelah perbaikan primer pada fistula.
f. Masalah jaringan parut trakeostomi

25

BAB III
PEMBAHASAN
Pasien

ini didiagnosis dengan Close Fraktur os nasal + Fraktur os

mandibula + Fraktur dentoalveolar + Vulnus Laseratum Labium Oris Superior


berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan radiologis yang
dilakukan. Dari anamnesis didapatkan riwayat trauma pada wajah. Keluar darah
dari kedua hidung dan bibir atas robek, wajah menjadi bengkak, penglihatan
menjadi kabur dan di kedua telinga seperti ada yang bertalu seperti mendengar
detak jantung. Os merasakan sakit pada bagian belakang kepala dan nyeri ketika
menelan. Os mengeluh kesulitan membuka mulut dan gigi atas. Os juga mengeluh
keluar air liur terus menerus dari mulut. Dari pemeriksaan fisik didapatkan
Deformitas os nasal (+), Edema (+), Vunul laseratum labia oris superior dextra (+)
Krepitasi (+), Nyeri tekan (+) ROM (Terbatas)

26

DAFTAR PUSTAKA

1. Jacob Ballenger, John. Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan


Leher. Jilid 1. Edisi ketiga belas. Jakarta : Binarupa Aksara, 1994.435 456.
2. Soepardi, Arsyad., Iskandar, Nurbaiti. Buku ajar Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi keenam. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, 2007. 243-253
3. Maisel, Robert, H. Trakeostomi dalam Boeis Buku Ajar Penyakit THT. Edisi
Enam. Jakarta : EGC, 1997.

27

Anda mungkin juga menyukai