Tonsilitis Difteri
Disusun oleh:
Pembimbing :
Dr. dr. Yuliani M. Lubis, Sp. T.H.T.K.L.
PEMBIMBING,
i
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan
berkat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan referat ini dengan
judul “Tonsilitis Difteri”.
Penulisan referat ini adalah salah satu syarat untuk menyelesaikan
Kepaniteraan Klinik Senior Program Pendidikan Profesi Dokter (P3D) di
Departemen Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok, Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara.
Dalam proses penulisan referat ini, penulis menyampaikan penghargaan dan
terima kasih kepada Dr. dr. Yuliani M. Lubis, Sp. T.H.T.K.L. selaku dosen
pembimbing atas saran, arahan, dan bimbingan selama proses penyusunan referat
ini.
Penulis menyadari bahwa penulisan referat ini masih belum sempurna. Oleh
karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi
perbaikan penulisan referat di kemudian hari. Semoga referat ini dapat memberikan
manfaat terutama sebagai wadah pengetahuan mengenai Rhinitis Alergi dan dapat
menjadi bahan rujukan bagi penulisan ilmiah di masa mendatang. Akhir kata
penulis mengucapkan terima kasih.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
BAB II ................................................................................................... 3
TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................... 3
2.1 ANATOMI TONSIL ................................................................................ 3
2.10 TATALAKSANA.................................................................................... 16
iii
2.11 KOMPLIKASI ......................................................................................... 21
iv
BAB I
PENDAHULUAN
Delapan puluh persen kasus difteri terjadi pada anak dengan usia
dibawah15 tahun, namun dapat juga terjadi pada anak dengan usia lebih dari
15 tahun. Empat puluh tujuh kasus difteri dilaporkan terjadi di Eropa selama
tahun 2008 (Byard, 2013). Kasus terbanyak (62%) dilaporkan oleh Negara
Latvia. Kasus difteri di Negara Vietnam mengalami penurunan pada tahun
1980 sesuai dengan meningkatnya cakupan imunisasi difteri. Pertengahan
tahun 1990 kasus difteri mulai muncul kembali di Vietnam. Tahun 1999
hingga 2004 dilaporkan 401 kasus dicurigai difteri. Sembilan puluh kasus
diantaranya telah dikonfirmasi dengan pemeriksaan laboratorium dan
terbukti disebabkan oleh Corynebacterium diphtheria (Hien., et al, 2014).
Difteri juga dapat menimbulkan berbagai komplikasi serius yang
berakibat kematian. C.diphtheriae dapat menginvasi secara lokal dan
memproduksi eksotoksin yang sangat berbahaya, menyebabkan gangguan
padaotot jantung dan sistem saraf yang dapat berakhir pada kematian.
Diagnosis dini dan intervensi yang sesuai dapat menurunkan morbiditas dan
mortalitas difteri (Jain A., et al, 2016).
Umumnya manifestasi difteri yang dapat dijumpai adalah
terdapatnya pseudomembran yang terbentuk pada area tonsil, faring,
laring, bahkan bisa meluas sampai trakhea dan bronkus. Membran palsu
1
dapat menyebabkan edema pada jaringan mukosa dibawahnya, sehingga
dapat menyebabkan obstruksi saluran nafas dan kematian pada penderita
difteri pernafasan (Adler, et al., 2013).
Pemeriksaan yang khas pada penyakit ini menunjukkan adanya membran
yang khas di atas daerah tonsila yang meluas ke struktur yang berdekatan.
Membran tampak kotor dan berwarna hijau tua bahkan dapat menyumbat
peradangan tonsila. Perdarahan terjadi pada pengangkatan membran yang
membedakannya dengan penyebab faringitis membranosa lain. (Adams,
1997)
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3
Tonsil terbentuk di beberapa area sekitar orofaring dan nasofaring,
dimana proliferasi lokal lapisan endodermis diinvasi oleh jaringan
limfoid. Lapisan epitel endodermis tumbuh mengelilingi mensenkim
sebagai sejumlah tunas padat, berasal dari hasil degenerasi dan pelepasan
sel-sel pusatnya, membentuk fossa tonsil dan crypts. Sel limfoid
menumpuk di sekitar crypts sekitar bulan kelima dan dikelompokkan
sebagai folikel limfoid; area sel T dan sel B dapat diidentifikasi. Tonsil
palatina terbentuk dari bagian ventral kantong faring kedua. Adapun
sebuah celah yang menyerupai celah intratonsillar meluas hingga ke
bagian atas tonsil dan mungkin merupakan sisa kantong faring kedua.
Jaringan limfoid, yang mirip dengan jaringan pada tonsil palatina, juga
ditemukan di kantong pertama (tonsil tuba), permukaan bagian posterior
lidah (tonsil lingual), dan di dinding dorsal faring (tonsil faringeal atau
adenoid) (Standring, 2016).
Waldeyer’s ring adalah cincin sirkumfaringeal dari jaringan limfoid
pada mukosa yang mengelilingi jalur/ lubang ke saluran pencernaan dan
pernapasan. Waldeyer’s ring secara anterior dan inferior tersusun atas
tonsil lingual, secara lateral oleh tonsil palatina dan tonsil tuba, serta
secara posterior dan superior oleh tonsil faringeal dan kumpulan jaringan
limfoid yang lebih kecil dalam interval intertonsillar (Standring, 2016).
a. Tonsil Faringeal
4
faringeus (Jacomo et al, 2010). Oleh karena tonsil faringeal merupakan
bagian dari Waldeyer’s ring, maka ia juga berperan pada sistem
pertahanan saluran pernapasan bagian atas yaitu termasuk area rongga
hidung, nasofaring, tuba faringotimpani, telinga tengah dan dalam
(Standring, 2016).
b. Tonsil Palatina
5
yang lebih kuat – yang juga mengandung elastin. Septa ini memisahkan
parenkim tonsil, yang nantinya akan menyatu di ujungnya dengan
hemikapsul fibrosa padat yang tidak beraturan pada bagian dalam tonsil
dan dengan lamina propria pada permukaan faring. Pembuluh darah,
limfatik, dan percabangan saraf bergabung dalam kondensasi jaringan ikat
tersebut. Hemikapsul juga membentuk batas lateral dengan dinding
orofaringeal dan dengan mukosa yang menutupi permukaan bebasnya
(Standring, 2016).
Suplai darah arteri ke tonsil palatina berasal dari percabangan arteri
karotis eksternal. Tiga arteri akan memasuki tonsil di kutub bawahnya.
Yang terbesar adalah arteri tonsilaris, yang naik antara pterygoid medial
dan styloglossus, kemudian melubangi konstriktor superior pada batas
atas styloglossus, dan bercabang-cabang di tonsil dan otot lingual
posterior. Arteri lain yang ditemukan, di kutub bawah, adalah
percabangan dorsal dari arteri lingual, yang masuk melalui anterior, dan
percabangan dari arteri palatina ascendens, yang masuk melalui posterior
untuk mensuplai bagian bawah tonsil palatina (Standring, 2016).
Area tonsil dipersarafi oleh cabang tonsilaris dari nervus maksilaris
dan glossofaringeus. Serabut-serabut nervus maksilaris melewati, tetapi
tidak bersinaps, ganglion pterigopalatina; mereka didistribusikan melalui
nervus palatina dan membentuk pleksus (sirkulus tonsillaris) di sekitar
tonsil, bersama- sama dengan cabang tonsilaris dari nervus
glossofaringeus. Serabut saraf dari pleksus ini juga didistribusikan ke
langit-langit lunak (soft palate) dan daerah isthmus orofaringeal. Cabang
timpani dari nervus glossofaringeus akan mensuplai membran mukosa
yang melapisi rongga timpani. Infeksi, keganasan, dan inflamasi pasca
operasi dari tonsil dan tonsil fossa dapat disertai dengan nyeri yang
dirujuk ke telinga (Standring, 2016).
6
c. Tonsil Lingual
Tonsil lingual terletak di dasar lidah dan dibagi menjadi dua oleh
ligamentum glosoepiglotika. Terdapat banyak folikel limfa yang
membentuk tonsil lingual. Setiap folikel limfa membentuk bulatan dengan
pusat yang berlubang kecil mengarah ke suatu rongga. Di sekitar rongga
tersebut umumnya terdapat banyak kelompok nodul jaringan limfoid
(Jacomo et al, 2010).
d. Tonsil Tuba
2.2 DEFINISI
7
langsung atau dari bernafas dalam sekresi aerosol dari batuk atau bersin
dari individu yang terinfeksi (World Health Organization, 2018).
2.3 EPIDEMIOLOGI
8
tidak mendapat vaksinasi sebelumnya. Pada tahun 2016, 59% kasus difteri
terjadi pada kelompok umur 5-9 tahun dan 1-4 tahun (Saunders dan
Suarca, 2019).
2.4 ETIOLOGI
Penularan melalui kontak dengan karier atau individu terinfeksi. Bakteri
ditularkan melalui kontak droplet seperti batuk, bersin, ataupun kontak langsung
saat berbicara. Manusia merupakan karier asimptomatik dan berperan sebagai
reservoir C. diphteriae. Transmisi melalui kontak dengan lesi kulit individu
terinfeksi jarang terjadi. Corynebacterium diphteriae merupakan bakteri basil
gram positif anaerob. Produksi toksin terjadi hanya jika bakteri terinfeksi
(mengalami lisogenisasi) oleh virus spesifik (bakteriofage) yang membawa
informasi genetik untuk toksin (gen tox). Hanya strain toksigenik yang dapat
menyebabkan penyakit berat. Masa inkubasi bakteri ini biasanya 2-5 hari (1-10
hari). C.diphteriae dapat diklasifikasikan menjadi beberapa biotipe, yaitu
intermedius, gravis, mitis, dan belfanti. Semua biotipe ini telah ditemukan dalam
bentuk toksigenik (Saunders dan Suarca, 2019).
9
diderita memberikan kepekaan terhadap agen tertentu. Umur yang sering
terkena difteri adalah 2–10 tahun. Jarang ditemukan pada bayi berumur
kurang dari 6 bulan oleh karena imunisasi pasif melewati plasenta dari
ibunya. Juga jarang pada dewasa yang berumur diatas 15 tahun. Jenis
kelamin yang sering terkena adalah wanita karena daya imunitasnya lebih
rendah Faktor yang mempermudah (enabling factor): penghasilan rendah,
gizi rendah, perumahan tidak sehat, akses rendah ke pelayanan kesehatan,
dan hal-hal yang memungkinkan proses terjadinya penyakit. Faktor penguat
(reinforcing factor) pemaparan yang berulang-ulang atau kerja keras,
kehamilan akan memperberat penyakit yang sedang berproses (Alfina dan
Isfandiari, 2015).
2.6 PATOFISIOLOGI
10
yang bergabung, Fragmen B berikatan dengan reseptor pada permukaan
membran lapisan lipid yang memampukan segmen A untuk masuk ke dalam sel.
(Dass, 2008)
11
Jaringan yang tidak ada membran biasanya tidak membengkak. Pada difteri
sedang biasanya proses yang terjadi akan menurun pada hari-hari 5-6, walaupun
antitoksin tidak diberikan. Gambaran klinik dibagi dalam 3 golongan yaitu :
(Soepardi, 2004)
1. Gejala umum, seperti juga gejala infeksi lainnya yaitu kenaikan suhu tubuh
biasanya subfebris, nyeri kepala, tidak nafsu makan, badan lemah, nadi lambat,
serta keluhan nyeri menelan
2. Gejala lokal, yang tampak berupa tonsil membengkak ditutupi bercak putih
kotor yang makin lama makin meluas dan bersatu membentuk semu. Membran
ini dapat meluas ke palatum molle, uvula, nasofaring, laring, trakea dan bronkus
dan dapat menyumbat saluran nafas. Membran semu ini melekat erat pada
dasarnya, sehingga bila diangkat akan mudah berdarah. Pada perkembangan
penyakit ini bila infeksinya berjalan terus, kelenjar limfa leher akan
membengkak sedemikian besarnya sehingga leher menyerupai sapi( bull neck)
atau disebut juga Burgermeester’s hals.
3. Gejala akibat eksotoksin, yang dikeluarkan oleh kuman difteri ini akan
menimbulkan kerusakan jaringan tubuh yaitu pada jantung dapat terjadi
miokarditis sampai decompensatio cordis, mengenai saraf kranial menyebabkan
kelumpuhan otot palatum dan otot-otot pernafasan dan pada ginjal menimbulkan
albuminuria.
12
2.8 DIAGNOSIS
2.8.1 Anamnesis
- demam ringan
13
- malaise
- sakit kepala
Studi Laboratorium
14
digunakan adalah Inokulasi media tellurite atau Loeffler dengan usap yang
diambil dari hidung, pseudomembran, tonsil, ulserasi, atau perubahan warna.
Identifikasi dilakukan melalui pengamatan morfologi koloni, penampilan
mikroskopis, dan reaksi fermentasi. Setiap basil difteri yang diisolasi harus diuji
untuk produksi racun. Dapatkan usap tenggorokan dan faring dari semua kontak
dekat. (CDC, 2003)
Difteri harus dibedakan dari infeksi lain pada saluran pernapasan bagian atas
dengan manifestasi klinis yang serupa. Perbedaan lain yang harus diingat saat
mendiagnosis difteri adalah sebagai berikut:
15
· Mononukleosis Infeksi: Ini bermanifestasi dengan kelelahan, malaise,
sakit tenggorokan, demam, mual, anoreksia, batuk. Triad klasik adalah
anak-anak yang hadir dengan demam, faringitis, dan limfadenopati.
(Schwartzkopf, 2018)
· Faringitis: Ini hadir dengan sakit tenggorokan yang biasanya tiba-tiba pada
onset, odynophagia, demam, dan batuk. (Oliveira, 2018)
2.10 TATALAKSANA
16
Pencegahan
Medikamentosa
Komponen utama pengobatan adalah pemberian Anti Difteri Serum (ADS) dan
antibiotik.
Anti Difteri Serum atau antitoksin difteri merupakan antiserum yang berasal dari
kuda. Antitoksin berfungsi untuk menetralkan toksin difteri bebas sebelum
memasuki sel. Jika seluruh toksin sudah mencapai membran sel, maka
penggunaan antitoksin menjadi tidak bermanfaat. Dosis antitoksin bergantung
dari status klinis dan keparahan dari kondisi. Obat ini dapat diberikan kepada
pasien melalui rute intramuskuler maupun intravena.(Lamichhane, 2021)
17
Tabel 2.1 Dosis ADS berdasarkan tingkat keparahan
Bila uji kulit positif, ADS diberikan dengan cara desensitisasi. Bila uji
kulit negatif, ADS diberikan sekaligus secara intravena. Dosis ADS ditentukan
secara empiris berdasarkan keparahan penyakit dan durasi sakit, tidak
18
bergantung dari berat badan pasien. Dosisnya berkisar antara 20.000-100.000
unit. (WHO, 2017)
Antibiotik
Pembedahan
Jika terdapat tanda ancaman obstruksi komplit pada jalan napas, maka
diperlukan tindakan patensi jalan napas. Tanda ancaman obstruksi komplit jalan
napas adalah stridor inspirasi, peningkatan laju napas, retraksi dinding dada, dan
penggunaan otot bantu napas.
19
Patensi jalan napas dilakukan dengan pendekatan bertingkat. Metode pertama
yang dapat dilakukan adalah intubasi orotrakeal. Namun, jika setelah terpasang
intubasi jalan napas belum aman, dapat dilakukan trakeostomi atau needle
cricoidthyroidotomy.
Jika penderita sudah mengalami obstruksi komplit pada jalan napas, lakukan
trakeostomi emergensi jika ada ahli bedah berpengalaman atau lakukan needle
cricothyroidotomy sebagai prosedur emergensi sementara. Pada kondisi ini,
intubasi orotrakeal mungkin tidak dapat dilakukan dan dapat membuat membran
terlepas sehingga obstruksi tidak teratasi. Bronkoskopi juga dapat dilakukan
untuk membantu mengangkat pseudomembran yang ada. (WHO,2017)
Terapi Suportif
Edukasi pasien untuk makan dan minum. Jika pasien kesulitan dalam
menelan, pemberian nutrisi dapat dibantu dengan selang nasogastrik. Selang
nasogastrik harus dipasang dengan sangat hati-hati.(Sharma, 2021)
20
dan gaun. Seluruh tenaga kesehatan dan pendamping yang berkontak perlu untuk
menerapkan etika batuk yang benar dan menjaga kebersihan tangan.(WHO,
2017)
2.11 KOMPLIKASI
- Komplikasi Jantung
- Komplikasi Neurologis
21
2.12 PROGNOSIS
Prognosisnya tergantung pada beberapa faktor:
· Usia Onset: Tingkat kematian yang tinggi terlihat pada individu yang lebih muda
dari lima tahun dan mereka yang lebih tua dari 40 tahun.
· Durasi Timbulnya Gejala: Kematian yang tinggi terlihat pada kasus dengan
timbulnya durasi lebih dari empat hari.
· Keterlibatan Jantung: Ini terkait dengan prognosis yang sangat buruk, terutama
AV dan blok cabang bundel kiri.
22
BAB III
KESIMPULAN
23
DAFTAR PUSTAKA
Adler NR, Mahony A, Friedman ND. 2013, Diphtheria : Forgotten , but not
Gone. International Medicine Journal. 2013; 43(2). 206–10.
Alfina, R. & Isfandiari, M.A. 2015, ‘Faktor Yang Berhubungan Dengan Peran
Aktif Kader Dalam Penjaringan Kasus Probable Difteri’, Jurnal
Berkala Epidemiologi, vol. 3, no. 3. [Online], accessed 19 Februari
2020, Available at:
https://media.neliti.com/media/publications/75845-ID-none.pdf
Hellstein JW, Marek CL. Candidiasis: Red and White Manifestations in the Oral
Cavity. Head Neck Pathol. 2019 Mar;13(1):25-32
Hien TT, White NJ. Diphtheria. In: Farrar J, Hotez PJ, Junghanss T, Kang G,
Lalloo D, White NJ, editors. Manson’s Tropical Infectious Diseases.
China: Elsevier Ltd; 2014. p.692–7.
24
Jacomo A.L., Akamatsu F.E., Andrade M. dan Margarido N.F. (2010).
‘Pharyngeal lymphatic ring: anatomical review’. J Morphol Sci, 27(1)
[online]. Terdapa pada:
http://www.jms.periodikos.com.br/article/587cb4937f8c9d0d058b
475c/pdf/jms-27-1-587cb4937f8c9d0d058b475c.pdf (diakses pada 20
Februari 2020).
Jain A, Samdani S, Meena V, Sharma MP. Diphtheria: It is still prevalent!!!
International journal of pediatric otorhinolaryngology. 2016; 86:68–71.
Mattos-Guaraldi AL, Sampaio JL, Santos CS, Pimenta FP, Pereira GA, Pacheco
LG, dkk. Deteksi pertama Corynebacterium ulcerans yang memproduksi
racun seperti difteri dalam kasus manusia dengan infeksi paru-paru di
wilayah metropolitan Rio de Janeiro, Brasil. Mem Inst Oswaldo Cruz.
2008 Juni 1-03(4):396-400. [Tautan MEDLINE QxMD]. [Teks Lengkap].
Mattos-Guaraldi AL, Moreira LO, Damasco PV, Hirata Júnior R. Difteri tetap
menjadi ancaman bagi kesehatan di negara berkembang--sebuah
gambaran umum. Mem Inst Oswaldo Cruz. 2003 Desember 98(8):987-93
25
Saunders, R. & Suarca, I.K. 2019, ‘Diagnosis dan Tatalaksana Difteri’,
Continuing Medical Education (CDK-273), vol. 46, no. 2. [Online],
accessed 19 Februari 2020, Available at:
file:///C:/Users/User/Downloads/CME%20273 Diagnosis
%20dan%20Tatalaksana%20Difteri.pdf
Soepardi E., Iskandar N. Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi ke lima
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta: 2004
Standring S. (2016). ‘Pharynx’ dalam Standring S., Anand N., Birch R.,
Collins P., Crossman A.R., Gleeson M., Jawaheer G., Smith A.L.,
Spratt J.D., Stringer M.D., Tubbs R.S., Tunstall R., Wein A.J. dan
Vinckenbosch P, Guilcher P, Lambercy K, Richard C. [Retropharyngeal
abscess in children]. Rev Med Suisse. 2017 Oct 04;13(577):1698-
1702
Wigley C.B. (penyunting). Gray’s Anatomy.Edi si 41. Philadelphia: Elsevier.
Webb TR, Cross SH, McKie L, Edgar R, Vizor L, Harrison J, dkk. Modifikasi
diftalamida eEF2 membutuhkan protein domain-J dan sangat penting
untuk perkembangan normal. J Sel Sci. 2008 Oktober 1. 121:3140-5.
26
World Health Organization. 2018, ‘Diphtheria’, [Online], accessed 19
Februari 2022, Available at:
https://www.who.int/immunization/diseases/diphtheria/en/
27