Anda di halaman 1dari 32

REFERAT

Tonsilitis Difteri

Disusun oleh:

Raja Putri Adila 210131086


Sonia Priskila 210131128

Pembimbing :
Dr. dr. Yuliani M. Lubis, Sp. T.H.T.K.L.

PROGRAM PENDIDIKAN DAN PROFESI DOKTER


DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM MALIK MEDAN
RUMAH SAKIT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2022
LEMBAR PENGESAHAN

Telah dibacakan pada tanggal :


Nilai :

PEMBIMBING,

Dr. dr. Yuliani M. Lubis, Sp. T.H.T.K.L.

i
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan
berkat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan referat ini dengan
judul “Tonsilitis Difteri”.
Penulisan referat ini adalah salah satu syarat untuk menyelesaikan
Kepaniteraan Klinik Senior Program Pendidikan Profesi Dokter (P3D) di
Departemen Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok, Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara.
Dalam proses penulisan referat ini, penulis menyampaikan penghargaan dan
terima kasih kepada Dr. dr. Yuliani M. Lubis, Sp. T.H.T.K.L. selaku dosen
pembimbing atas saran, arahan, dan bimbingan selama proses penyusunan referat
ini.
Penulis menyadari bahwa penulisan referat ini masih belum sempurna. Oleh
karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi
perbaikan penulisan referat di kemudian hari. Semoga referat ini dapat memberikan
manfaat terutama sebagai wadah pengetahuan mengenai Rhinitis Alergi dan dapat
menjadi bahan rujukan bagi penulisan ilmiah di masa mendatang. Akhir kata
penulis mengucapkan terima kasih.

Medan, September 2022

Penulis

ii
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ................................................................. i


KATA PENGANTAR .......................................................................... ii
DAFTAR ISI......................................................................................... iii
BAB I ..................................................................................................... 1
PENDAHULUAN ................................................................................ 1
1.1 LATAR BELAKANG ............................................................................... 1

1.2 TUJUAN PENULISAN............................................................................. 2

1.3 MANFAAT PENULISAN ........................................................................ 2

BAB II ................................................................................................... 3
TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................... 3
2.1 ANATOMI TONSIL ................................................................................ 3

2.2 DEFINISI ................................................................................................... 7

2.3 EPIDEMIOLOGI ....................................................................................... 8

2.4 ETIOLOGI ................................................................................................. 9

2.5 FAKTOR RISIKO ..................................................................................... 9

2.6 PATOFISIOLOGI ..................................................................................... 10

2.7 MANIFESTASI KLINIS ........................................................................... 11

2.8 DIAGNOSIS ...................................................................................... 13

2.8.1 Anamnesis ................................................................................ 13


2.8.2 Pemeriksaan Fisik .................................................................... 14
2.8.3 Pemeriksaan Penunjang ........................................................... 14
2.9 DIAGNOSIS BANDING .......................................................................... 15

2.10 TATALAKSANA.................................................................................... 16

iii
2.11 KOMPLIKASI ......................................................................................... 21

2.12 PROGNOSIS ........................................................................................... 21

BAB III ................................................................................................... 23


KESIMPULAN ..................................................................................... 23
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................ 24

iv
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Difteri adalah suatu penyakit bakteri akut terutama menyerang
tonsil, faring, laring, hidung, selaput lendir, kulit serta kadang-kadang
konjungtiva atau genitalia. Penyakit ini ditandai dengan pembentukan
pseudomembran pada kulit dan atau mukosa yang disebabkan oleh
Corynebacterium Diphteriae. (Kadun, 2006)

Delapan puluh persen kasus difteri terjadi pada anak dengan usia
dibawah15 tahun, namun dapat juga terjadi pada anak dengan usia lebih dari
15 tahun. Empat puluh tujuh kasus difteri dilaporkan terjadi di Eropa selama
tahun 2008 (Byard, 2013). Kasus terbanyak (62%) dilaporkan oleh Negara
Latvia. Kasus difteri di Negara Vietnam mengalami penurunan pada tahun
1980 sesuai dengan meningkatnya cakupan imunisasi difteri. Pertengahan
tahun 1990 kasus difteri mulai muncul kembali di Vietnam. Tahun 1999
hingga 2004 dilaporkan 401 kasus dicurigai difteri. Sembilan puluh kasus
diantaranya telah dikonfirmasi dengan pemeriksaan laboratorium dan
terbukti disebabkan oleh Corynebacterium diphtheria (Hien., et al, 2014).
Difteri juga dapat menimbulkan berbagai komplikasi serius yang
berakibat kematian. C.diphtheriae dapat menginvasi secara lokal dan
memproduksi eksotoksin yang sangat berbahaya, menyebabkan gangguan
padaotot jantung dan sistem saraf yang dapat berakhir pada kematian.
Diagnosis dini dan intervensi yang sesuai dapat menurunkan morbiditas dan
mortalitas difteri (Jain A., et al, 2016).
Umumnya manifestasi difteri yang dapat dijumpai adalah
terdapatnya pseudomembran yang terbentuk pada area tonsil, faring,
laring, bahkan bisa meluas sampai trakhea dan bronkus. Membran palsu

1
dapat menyebabkan edema pada jaringan mukosa dibawahnya, sehingga
dapat menyebabkan obstruksi saluran nafas dan kematian pada penderita
difteri pernafasan (Adler, et al., 2013).
Pemeriksaan yang khas pada penyakit ini menunjukkan adanya membran
yang khas di atas daerah tonsila yang meluas ke struktur yang berdekatan.
Membran tampak kotor dan berwarna hijau tua bahkan dapat menyumbat
peradangan tonsila. Perdarahan terjadi pada pengangkatan membran yang
membedakannya dengan penyebab faringitis membranosa lain. (Adams,
1997)

Diagnosa harus dapat ditegakkan sesegera mungkin sehingga


penanganan dapat diberikan lebih awal. Pada kasus-kasus yang berat ditandai
dengan pembengkakan dan oedema di leher dengan pembentukan membran
pada trakea secara ektensif dan dapat terjadi obstruksi jalan napas. (Kadun,
2006)

1.2 TUJUAN PENULISAN

Referat ini disusun sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan


Program Pendidikan Profesi Dokter (P3D) di Departemen Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorok Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

1.3 MANFAAT PENULISAN

Referat ini diharapkan dapat memberikan manfaat terhadap penulis dan


pembaca terutama peserta P3D sebagai sumber pengetahuan dan informasi
mengenai Tonsilitis Difteri agar mampu mendiagnosis dan memberikan
tatalaksana yang tepat.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ANATOMI TONSIL


Tonsil terbentuk terutama pada 3 area (Drake, Vogl dan Mitchell, 2018) :

- Tonsil faringeal (pharyngeal tonsil), dikenal sebagai adenoid ketika


membesar, berada di garis tengah (midline) atap nasofaring
- Tonsil palatina berada pasa masing-masing sisi orofaring, di antara
lengkung palatoglossal dan palatofaringeal tepat di belakang ismus
orofaringeal. Tonsil ini dapat terlihat ketika kita membuka mulut dan
lidah ditekan ke bawah.
- Tonsil lingual merupakan sebutan untuk sejumlah nodul limfoid yang
berada pada sepertiga posterior lidah.

Gambar 2.1 Anatomi tonsil (Drake, Vogl dan Mitchell, 2018)

3
Tonsil terbentuk di beberapa area sekitar orofaring dan nasofaring,
dimana proliferasi lokal lapisan endodermis diinvasi oleh jaringan
limfoid. Lapisan epitel endodermis tumbuh mengelilingi mensenkim
sebagai sejumlah tunas padat, berasal dari hasil degenerasi dan pelepasan
sel-sel pusatnya, membentuk fossa tonsil dan crypts. Sel limfoid
menumpuk di sekitar crypts sekitar bulan kelima dan dikelompokkan
sebagai folikel limfoid; area sel T dan sel B dapat diidentifikasi. Tonsil
palatina terbentuk dari bagian ventral kantong faring kedua. Adapun
sebuah celah yang menyerupai celah intratonsillar meluas hingga ke
bagian atas tonsil dan mungkin merupakan sisa kantong faring kedua.
Jaringan limfoid, yang mirip dengan jaringan pada tonsil palatina, juga
ditemukan di kantong pertama (tonsil tuba), permukaan bagian posterior
lidah (tonsil lingual), dan di dinding dorsal faring (tonsil faringeal atau
adenoid) (Standring, 2016).
Waldeyer’s ring adalah cincin sirkumfaringeal dari jaringan limfoid
pada mukosa yang mengelilingi jalur/ lubang ke saluran pencernaan dan
pernapasan. Waldeyer’s ring secara anterior dan inferior tersusun atas
tonsil lingual, secara lateral oleh tonsil palatina dan tonsil tuba, serta
secara posterior dan superior oleh tonsil faringeal dan kumpulan jaringan
limfoid yang lebih kecil dalam interval intertonsillar (Standring, 2016).

a. Tonsil Faringeal

Tonsil faringeal berada pada lapisan mukosa atap dan dinding


posterior nasofaring. Tonsil ini memiliki bentuk yang bulat, serta
beberapa tingkatan dan sulkus. Tonsil ini ditandai dari sulkus yang sempit,
lebih dalam dan tidak beraturan, dikenal sebagai skripta tonsilaris.
Kadang-kadang, tonsil faringeal memiliki sulkus yang lebih dalam di
tengah, mengikuti jaringan ikat di sekitarnya, yang dikenal sebagai bursa

4
faringeus (Jacomo et al, 2010). Oleh karena tonsil faringeal merupakan
bagian dari Waldeyer’s ring, maka ia juga berperan pada sistem
pertahanan saluran pernapasan bagian atas yaitu termasuk area rongga
hidung, nasofaring, tuba faringotimpani, telinga tengah dan dalam
(Standring, 2016).

Tonsil faringeal secara lateral dan inferior ditutup oleh epitel


pernapasan bersilia yang terdiri dari bercak-bercak kecil dari epitel
skuamosa bertingkat stratifikasi non-keratin (non-keratinized stratified
squamous epithelium). Permukaan superiornya dipisahkan dari
periosteum tulang sphenoid dan oksipital oleh hemikapsul jaringan ikat.
Adapun vaskularisasi tonsil faringeal berasal dari arteri faringeal
ascendens dan arteri palatina ascendens, arteri fasialis pars tonsillaris,
arteri maksilaris pars faringeal dan arteri kanalis pterigoid (Standring,
2016).

b. Tonsil Palatina

Tonsil palatina kanan dan kiri akan membentuk bagian dari


Waldeyer’s ring. Setiap tonsil adalah suatu massa jaringan limfoid yang
menetap pada dinding lateral orofaring. Ukuran bervariasi sesuai dengan
usia, kondisi individu dan status patologis sehingga tonsil mungkin
hipertrofi dan/ atau meradang. Selama 5 atau 6 tahun pertama kehidupan,
ukuran tonsil ini dapat meningkat dan mencapai maksimum pada masa
pubertas dengan rata-rata 20-25 mm vertikal dan 10-15 mm melintang
(Standring, 2016).
Tonsil ini dilapisi oleh epitel skuamosa berlapis non-keratin (non-
keratinized stratified squamous epithelium). Keseluruhan tonsil ini secara
internal disokong oleh jalinan serat kolagen halus tipe III (retikulin), yang
terkondensasi di tempat-tempat untuk membentuk septa jaringan ikat

5
yang lebih kuat – yang juga mengandung elastin. Septa ini memisahkan
parenkim tonsil, yang nantinya akan menyatu di ujungnya dengan
hemikapsul fibrosa padat yang tidak beraturan pada bagian dalam tonsil
dan dengan lamina propria pada permukaan faring. Pembuluh darah,
limfatik, dan percabangan saraf bergabung dalam kondensasi jaringan ikat
tersebut. Hemikapsul juga membentuk batas lateral dengan dinding
orofaringeal dan dengan mukosa yang menutupi permukaan bebasnya
(Standring, 2016).
Suplai darah arteri ke tonsil palatina berasal dari percabangan arteri
karotis eksternal. Tiga arteri akan memasuki tonsil di kutub bawahnya.
Yang terbesar adalah arteri tonsilaris, yang naik antara pterygoid medial
dan styloglossus, kemudian melubangi konstriktor superior pada batas
atas styloglossus, dan bercabang-cabang di tonsil dan otot lingual
posterior. Arteri lain yang ditemukan, di kutub bawah, adalah
percabangan dorsal dari arteri lingual, yang masuk melalui anterior, dan
percabangan dari arteri palatina ascendens, yang masuk melalui posterior
untuk mensuplai bagian bawah tonsil palatina (Standring, 2016).
Area tonsil dipersarafi oleh cabang tonsilaris dari nervus maksilaris
dan glossofaringeus. Serabut-serabut nervus maksilaris melewati, tetapi
tidak bersinaps, ganglion pterigopalatina; mereka didistribusikan melalui
nervus palatina dan membentuk pleksus (sirkulus tonsillaris) di sekitar
tonsil, bersama- sama dengan cabang tonsilaris dari nervus
glossofaringeus. Serabut saraf dari pleksus ini juga didistribusikan ke
langit-langit lunak (soft palate) dan daerah isthmus orofaringeal. Cabang
timpani dari nervus glossofaringeus akan mensuplai membran mukosa
yang melapisi rongga timpani. Infeksi, keganasan, dan inflamasi pasca
operasi dari tonsil dan tonsil fossa dapat disertai dengan nyeri yang
dirujuk ke telinga (Standring, 2016).

6
c. Tonsil Lingual

Tonsil lingual terletak di dasar lidah dan dibagi menjadi dua oleh
ligamentum glosoepiglotika. Terdapat banyak folikel limfa yang
membentuk tonsil lingual. Setiap folikel limfa membentuk bulatan dengan
pusat yang berlubang kecil mengarah ke suatu rongga. Di sekitar rongga
tersebut umumnya terdapat banyak kelompok nodul jaringan limfoid
(Jacomo et al, 2010).

d. Tonsil Tuba

Tonsil tuba merupakan jaringan limfoid yang berada di lapisan


submukosa nasofaring, posterior terhadap ostium faringeal dari tuba
auditori. Adapun vaskularisasi tonsil tuba berawal dari percabangan arteri
sphenopalatina dan arteri fariengeal ascendens, cabang arteri karotid
eksterna (Jacomo et al, 2010).

2.2 DEFINISI

Difteri adalah penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri


Corynebacterium diphtheria, yang terutama menginfeksi tenggorokan dan
saluran udara bagian atas, dan menghasilkan racun yang mempengaruhi
organ lain. Penyakit ini memiliki onset akut dan gejalan utama yang dapat
dijumpai adalah sakit tenggorokan, demam rendah dan kelenjar bengkak
di leher, dan toksin dalam kasus yang parah, dapat menyebabkan
miokarditis atau neuropati perifer. Toksin difteri menyebabkan selaput
jaringan mati menumpuk di tenggorokan dan tonsil, membuat sulit
bernafas dan menelan. Penyakit ini menyebar melalui kontak fisik

7
langsung atau dari bernafas dalam sekresi aerosol dari batuk atau bersin
dari individu yang terinfeksi (World Health Organization, 2018).

2.3 EPIDEMIOLOGI

Mulai tahun 1920-an, angka difteri turun dengan cepat di United


States dan negara-negara lain dengan meluasnya penggunaan vaksin.
Dalam dekade terakhir, ada kurang dari lima kasus difteri di Amerika
Serikat yang dilaporkan ke CDC. Namun, penyakit ini tetap meningkat
secara global. Pada tahun 2016, negara- negara melaporkan sekitar 7.100
kasus difteri ke World Health Organization (WHO), tetapi ada
kemungkinan lebih banyak kasus (Centers for Disease Control and
Prevention, 2018).
Difteri menjadi salah satu penyakit infeksi yang paling ditakuti
karena dapat menjadi epidemik dengan case fatality rate (CFR) tinggi,
terutama pada anak- anak. Sejak tahun 2011- 2015, Indonesia telah
menjadi negara dengan insidens difteri tertinggi kedua di dunia, yaitu
sebanyak 3203 kasus. Penyakit difteri terdapat di seluruh dunia,
khususnya di negara-negara tropis dengan penduduk padat dan cakupan
imunisasi rendah. Difteri umumnya menyerang anak-anak usia 1-10 tahun
(Saunders dan Suarca, 2019).
Menurut WHO, Asia Tenggara merupakan wilayah dengan insidens
tertinggi di dunia khususnya pada tahun 2005. Indonesia menempati
urutan kasus difteri terbanyak kedua setelah India, yaitu 3203 kasus.
Menurut data Profil Kesehatan Indonesia tahun 2016, jumlah kasus difteri
sebanyak 415 kasus dengan kasus meninggal 24 kasus, sehingga CFR
difteri mencapai 5,8%. Kasus terbanyak di Jawa Timur (209 kasus) dan
Jawa Barat (133 kasus). Dari seluruh kasus difteri, sebanyak 51% pasien

8
tidak mendapat vaksinasi sebelumnya. Pada tahun 2016, 59% kasus difteri
terjadi pada kelompok umur 5-9 tahun dan 1-4 tahun (Saunders dan
Suarca, 2019).

2.4 ETIOLOGI
Penularan melalui kontak dengan karier atau individu terinfeksi. Bakteri
ditularkan melalui kontak droplet seperti batuk, bersin, ataupun kontak langsung
saat berbicara. Manusia merupakan karier asimptomatik dan berperan sebagai
reservoir C. diphteriae. Transmisi melalui kontak dengan lesi kulit individu
terinfeksi jarang terjadi. Corynebacterium diphteriae merupakan bakteri basil
gram positif anaerob. Produksi toksin terjadi hanya jika bakteri terinfeksi
(mengalami lisogenisasi) oleh virus spesifik (bakteriofage) yang membawa
informasi genetik untuk toksin (gen tox). Hanya strain toksigenik yang dapat
menyebabkan penyakit berat. Masa inkubasi bakteri ini biasanya 2-5 hari (1-10
hari). C.diphteriae dapat diklasifikasikan menjadi beberapa biotipe, yaitu
intermedius, gravis, mitis, dan belfanti. Semua biotipe ini telah ditemukan dalam
bentuk toksigenik (Saunders dan Suarca, 2019).

2.5 FAKTOR RESIKO


Faktor risiko terjadinya difteri dibedakan menjadi empat faktor. Masing-
masing merupakan faktor yang mutlak diperlukan namun bila sendirian tidak
cukup untuk menimbulkan penyakit. Penyebab yang selalu menimbulkan
atau memulai penyakit ini disebut sufficient factor, sedangkan penyebab
yang mutlak dibutuhkan untuk terjadinya proses penyakit disebut necessary
factor. Peran faktor penyebab penyakit dapat dikelompokkan sebagai berikut:
Faktor predisposisi: umur, jenis kelamin, dan penyakit yang telah atau pernah

9
diderita memberikan kepekaan terhadap agen tertentu. Umur yang sering
terkena difteri adalah 2–10 tahun. Jarang ditemukan pada bayi berumur
kurang dari 6 bulan oleh karena imunisasi pasif melewati plasenta dari
ibunya. Juga jarang pada dewasa yang berumur diatas 15 tahun. Jenis
kelamin yang sering terkena adalah wanita karena daya imunitasnya lebih
rendah Faktor yang mempermudah (enabling factor): penghasilan rendah,
gizi rendah, perumahan tidak sehat, akses rendah ke pelayanan kesehatan,
dan hal-hal yang memungkinkan proses terjadinya penyakit. Faktor penguat
(reinforcing factor) pemaparan yang berulang-ulang atau kerja keras,
kehamilan akan memperberat penyakit yang sedang berproses (Alfina dan
Isfandiari, 2015).

2.6 PATOFISIOLOGI

Kepadatan yang berlebihan, kesehatan yang buruk, kondisi kehidupan di


bawah standar, imunisasi yang tidak lengkap, dan keadaan immunocompromised
memfasilitasi kerentanan terhadap difteri dan merupakan faktor risiko penularan
penyakit ini. Manusia merupakan reservoir terutamapada transmisi penyakit ini,
namun beberapa laporan kasus mengatakan bahwa difteri dapat dihubungkan
dengan ternak. (Bonmarin, 2009)

Pasien yang terinfeksi difteri tanpa membawa gejala dapat menularkan C


diptheria melalui droplet, sekret nasofaring, dapat ditularkan juga melalui luka
terbuka (Mattos, 2008)

C diptheria berikatan dengan epitel mukosa dimana exotoksin yang


dikeluarkan oleh endosom, menyebabkan reaksi inflamasi lokal yang diikuti
dengan dekstruksi dan nekrosis jaringan. Racun tersebut terbuat dari 2 protein

10
yang bergabung, Fragmen B berikatan dengan reseptor pada permukaan
membran lapisan lipid yang memampukan segmen A untuk masuk ke dalam sel.
(Dass, 2008)

Secara molekuler, kerentanan seluler juga disebabkan oleh modifikasi


diftalamida, bergantung pada tipe HLA sebagai predisposisi kepada infeksi yang
lebih parah. Molekul diftalamida hadit pada semua organisme eukariotik dan
terdapat pada residu histidin dari eEF2. eEF2 ini bertanggungjawab atas
modifikasi residu histidin dan merupakan target untuk toksin difteri. Fragmen A
menghambat transfer asam amino dari tRNA ke rantai asam amino ribosom
sehingga menghambat sintesis protein yang diperlukan untuk fungsi sel yang
normal. Toksin difteri menyebabkan transfer katalitik NAD ke diftalamida yang
menonaktifkan faktor perpanjangan, yang mengakibatkan inaktivasi eEF2, yang
mengakibatkan penyumbatan sintesis protein dan kematian sel. (Webb, 2008)

Kerusakan jaringan lokal memungkinkan racun dibawa secara limfatik dan


hematologis ke bagian lain dari tubuh. Elaborasi racun difteri dapat
mempengaruhi organ yang jauh seperti miokardium, ginjal, dan sistem saraf.

2.7 MANIFESTASI KLINIS

Pada mulanya tenggorok hanya hiperemis saja tetapi kebanyakan sudah


terjadi membran putih/keabu-abuan. Dalam 24 jam membran dapat menjalar dan
menutupi tonsil, palatum molle, uvula. Mula-mula membran tipis, putih dan
berselaput yang segera menjadi tebal., abu-abu/hitam tergantung jumlah kapiler
yang berdilatasi dan masuknya darah ke dalam eksudat. Membran mempunyai
batas-batas jelas dan melekat dengan jaringan dibawahnya. Sehingga sukar
untuk diangkat, sehingga bila diangkat secara paksa menimbulkan perdarahan.

11
Jaringan yang tidak ada membran biasanya tidak membengkak. Pada difteri
sedang biasanya proses yang terjadi akan menurun pada hari-hari 5-6, walaupun
antitoksin tidak diberikan. Gambaran klinik dibagi dalam 3 golongan yaitu :
(Soepardi, 2004)

1. Gejala umum, seperti juga gejala infeksi lainnya yaitu kenaikan suhu tubuh
biasanya subfebris, nyeri kepala, tidak nafsu makan, badan lemah, nadi lambat,
serta keluhan nyeri menelan

2. Gejala lokal, yang tampak berupa tonsil membengkak ditutupi bercak putih
kotor yang makin lama makin meluas dan bersatu membentuk semu. Membran
ini dapat meluas ke palatum molle, uvula, nasofaring, laring, trakea dan bronkus
dan dapat menyumbat saluran nafas. Membran semu ini melekat erat pada
dasarnya, sehingga bila diangkat akan mudah berdarah. Pada perkembangan
penyakit ini bila infeksinya berjalan terus, kelenjar limfa leher akan
membengkak sedemikian besarnya sehingga leher menyerupai sapi( bull neck)
atau disebut juga Burgermeester’s hals.

3. Gejala akibat eksotoksin, yang dikeluarkan oleh kuman difteri ini akan
menimbulkan kerusakan jaringan tubuh yaitu pada jantung dapat terjadi
miokarditis sampai decompensatio cordis, mengenai saraf kranial menyebabkan
kelumpuhan otot palatum dan otot-otot pernafasan dan pada ginjal menimbulkan
albuminuria.

12
2.8 DIAGNOSIS

2.8.1 Anamnesis

Gejala difteri pernapasan biasanya mengikuti masa inkubasi 2-5 hari


(kisaran, 1-10 hari). Gejala awalnya bersifat umum dan tidak spesifik, sering
menyerupai infeksi saluran pernapasan atas virus yang khas. Keterlibatan
pernapasan biasanya dimulai dengan sakit tenggorokan dan peradangan faring
ringan. Pengembangan pseudomembran yang terlokalisasi atau menyatu dapat
terjadi di bagian mana pun dari saluran pernapasan. Pseudomembran itandai
dengan pembentukan lapisan puing-puing abu-abu padat yang terdiri dari
campuran sel-sel mati, fibrin, sel darah merah, leukosit, dan organisme.(Mattos,
2003)

Gambar 2.2 . Pseudomembran

Pasien dengan difteri dapat datang dengan keluhan

- demam ringan

13
- malaise

- sakit tenggorokan (85-90%)

- sakit kepala

- limfadenopati serfiks dan pembentukan pseudomembran saluran pernafasan

- keluarnya cairan dari hidung baik yang serosanguineous atau seropurulen

- suara serak, disfagia

- dispnea, stridor pernafasan, mengi maupun batuk

2.8.2 Pemeriksaan Fisik

Secara umum pasien memiliki demam dengan derajat rendah dan


disertai pembengkakan pada bagian leher, pada difteri faring pasien dapat hadir
dengan gejala umum halitosis, takikardia dan kecemasan, pada tonsil dan faring
dapat dijumpai membran tebal dan berwarna abu-abu yang menutupi amandel,
langit-langit rongga nulut, orofaring, nasofaring dan uvula. Biasanya dijumpai
perdarahan pada mukosa yang disebabkan upaya mengikis pseudomembran
tersebut. Pada leher juga dapat dijumpai limfadenopati (bull’s neck appearance)
yang dapat disertai dengan disfonia. (Bruce, 2022)

2.8.3 Pemeriksaan Penunjang

Studi Laboratorium

Untuk menegakkan diagnosis C diptheria, dapat dilakukan isolasi bakteri


dalam media kultur untuk mengidentidikasi produksi racun. Teknik kultur yang

14
digunakan adalah Inokulasi media tellurite atau Loeffler dengan usap yang
diambil dari hidung, pseudomembran, tonsil, ulserasi, atau perubahan warna.
Identifikasi dilakukan melalui pengamatan morfologi koloni, penampilan
mikroskopis, dan reaksi fermentasi. Setiap basil difteri yang diisolasi harus diuji
untuk produksi racun. Dapatkan usap tenggorokan dan faring dari semua kontak
dekat. (CDC, 2003)

Pada pengujian bakteriologis dapat dijumpai hasil bakteri yang


berbentuk klun, nonenkapsulasi dan nonmotil, pewarnaan dilakukan secara
imunofluoresen dari kultur 4 jam ataupun dapat dengan menggunakan
methylene blue untuk identifikasi dengan cepat. (Dass, 2008)

2.9 DIAGNOSIS BANDING

Difteri harus dibedakan dari infeksi lain pada saluran pernapasan bagian atas
dengan manifestasi klinis yang serupa. Perbedaan lain yang harus diingat saat
mendiagnosis difteri adalah sebagai berikut:

· Epiglottitis: Ini adalah peradangan akut yang melibatkan daerah


supraglottik orofaring dengan radang epiglotis dan struktur di
sekitarnya. (Baiu, 2019)

· Abses Retrofaringeal: Ini bermanifestasi dengan demam spiking tinggi


dan membutuhkan drainase segera.

· Angioedema: Ini bermanifestasi sebagai pembengkakan umum karena


keterlibatan dermis yang lebih rendah dan jaringan
subkutan/submukosa/submukosa.(Vinckenbosch, 2017)

15
· Mononukleosis Infeksi: Ini bermanifestasi dengan kelelahan, malaise,
sakit tenggorokan, demam, mual, anoreksia, batuk. Triad klasik adalah
anak-anak yang hadir dengan demam, faringitis, dan limfadenopati.
(Schwartzkopf, 2018)

· Faringitis: Ini hadir dengan sakit tenggorokan yang biasanya tiba-tiba pada
onset, odynophagia, demam, dan batuk. (Oliveira, 2018)

· Kandidiasis Oral: Pseudomembran keabu-abuan, dalam kasus difteri, harus


dibedakan dari kandidiasis oral. (Hellstein, 2019)

2.10 TATALAKSANA

Tujuan mengobati penderita diphtheria adalah menginaktivasi toksin


yang belum terikat secepatnya, mencegah dan mengusahakan agar penyulit yang
terjadi minimal, mengeliminasi C. diphtheriae untuk mencegah penularan serta
mengobati infeksi penyerta dan penyulit diphtheria.

Pengobatan difteri harus dimulai bahkan sebelum tes konfirmasi selesai


karena tingginya potensi mortalitas dan morbiditas. Isolasi semua kasus dengan
segera dan gunakan tindakan pencegahan universal dan tetesan untuk membatasi
jumlah kontak yang mungkin. Mendapatkan swab tenggorokan dan hidung dari
orang-orang yang melakukan kontak dekat dengan tersangka korban difteri;
memberikan penguat difteri yang sesuai dengan usia. Memulai terapi antibiotik
dengan eritromisin atau penisilin untuk kemoprofilaksis pada pasien dengan
dugaan paparan. Kultur tenggorokan harus diulang dalam 2 minggu setelah
perawatan.

16
Pencegahan

Meluasnya penggunaan vaksin difteri, toksoid tetanus, dan pertusis


seluler (DTaP) pada masa kanak-kanak telah secara signifikan mengurangi
kejadian difteri. Namun, kekebalan anak berkurang, membutuhkan vaksin
booster yang diperbarui. CDC merekomendasikan Tdap, atau Td setidaknya
setiap 10 tahun untuk menjaga kekebalan tubuh. (Liang, 2018)

Medikamentosa
Komponen utama pengobatan adalah pemberian Anti Difteri Serum (ADS) dan
antibiotik.

Anti Difteri Serum (ADS)

Anti Difteri Serum atau antitoksin difteri merupakan antiserum yang berasal dari
kuda. Antitoksin berfungsi untuk menetralkan toksin difteri bebas sebelum
memasuki sel. Jika seluruh toksin sudah mencapai membran sel, maka
penggunaan antitoksin menjadi tidak bermanfaat. Dosis antitoksin bergantung
dari status klinis dan keparahan dari kondisi. Obat ini dapat diberikan kepada
pasien melalui rute intramuskuler maupun intravena.(Lamichhane, 2021)

17
Tabel 2.1 Dosis ADS berdasarkan tingkat keparahan

Dosis untuk Anak dan


Keparahan Difteri Dewasa

Difteri laring atau faring selama 2 hari 20.000 – 40.000 IU

Difteri nasofaring 40.000 – 60.000 IU

Sakit lebih dari 3 hari atau pada pasien dengan


pembengkakan difus di leher (distress
pernapasan dan hemodinamik tidak stabil) 80.000 – 100.000 IU

Uji Kulit Sebelum Pemberian:

Sebelum memberikan ADS, pasien perlu dinilai sensitivitasnya melalui


uji kulit terlebih dahulu. Uji kulit dilakukan dengan melarutkan 0,1 mL ADS
dalam larutan garam fisiologis 1:1000, lalu disuntikkan secara intrakutan. Hasil
positif ditunjukkan dengan adanya indurasi >10 mm dalam 20 menit.(Sharma,
2021)

Dosis Anti Difteri Serum:

Bila uji kulit positif, ADS diberikan dengan cara desensitisasi. Bila uji
kulit negatif, ADS diberikan sekaligus secara intravena. Dosis ADS ditentukan
secara empiris berdasarkan keparahan penyakit dan durasi sakit, tidak

18
bergantung dari berat badan pasien. Dosisnya berkisar antara 20.000-100.000
unit. (WHO, 2017)

Pemberian ADS intravena dilakukan dengan cara melarutkan ke dalam


larutan garam fisiologis atau 100 ml dextrose 5% lalu disuntikan perlahan dalam
1-2 jam. Amati adanya efek samping obat selama pemberian antitoksin hingga
2 jam berikutnya. Selain itu, amati pula adanya reaksi hipersensitivitas lambat
(serum sickness). (WHO, 2017)

Kemungkinan terjadi reaksi anafilaksis sekitar 0,6% yang terjadi


beberapa menit setelah pemberian ADS. Untuk itu, pemantauan ketat dan injeksi
epinefrin harus selalu tersedia pada pasien yang baru mendapatkan ADS.
ADS tidak boleh diberikan pada wanita hamil.

Antibiotik

Pilihan antibiotik untuk difteri adalah erythromycin dan penicillin G atau


penicillin V. Alternatifnya adalah benzilpenicillin atau erythromycin secara
parenteral, jika pasien tidak dapat menelan. Pengobatan antibiotik perlu dimulai
sedini mungkin untuk eradikasi organisme ini. Selain itu, pengobatan antibiotik
membantu membatasi jumlah toksin yang diedarkan, mempercepat pemulihan,
dan mencegah penyebaran infeksi ke kontak erat. (Sharma, 2021)

Pembedahan
Jika terdapat tanda ancaman obstruksi komplit pada jalan napas, maka
diperlukan tindakan patensi jalan napas. Tanda ancaman obstruksi komplit jalan
napas adalah stridor inspirasi, peningkatan laju napas, retraksi dinding dada, dan
penggunaan otot bantu napas.

19
Patensi jalan napas dilakukan dengan pendekatan bertingkat. Metode pertama
yang dapat dilakukan adalah intubasi orotrakeal. Namun, jika setelah terpasang
intubasi jalan napas belum aman, dapat dilakukan trakeostomi atau needle
cricoidthyroidotomy.
Jika penderita sudah mengalami obstruksi komplit pada jalan napas, lakukan
trakeostomi emergensi jika ada ahli bedah berpengalaman atau lakukan needle
cricothyroidotomy sebagai prosedur emergensi sementara. Pada kondisi ini,
intubasi orotrakeal mungkin tidak dapat dilakukan dan dapat membuat membran
terlepas sehingga obstruksi tidak teratasi. Bronkoskopi juga dapat dilakukan
untuk membantu mengangkat pseudomembran yang ada. (WHO,2017)

Terapi Suportif
Edukasi pasien untuk makan dan minum. Jika pasien kesulitan dalam
menelan, pemberian nutrisi dapat dibantu dengan selang nasogastrik. Selang
nasogastrik harus dipasang dengan sangat hati-hati.(Sharma, 2021)

Perawatan Pasien Difteri


Perawatan pasien difteri dilakukan di ruang isolasi yang terpisah dari
pasien lainnya. Dalam perawatan pasien difteri, seluruh tenaga kesehatan yang
memeriksa atau merawat harus sudah menerima imunisasi lengkap.

Tenaga kesehatan yang berkontak langsung dengan penderita (jarak <1


meter) perlu menggunakan alat pelindung diri (APD) yang optimal.Pada saat
memeriksa tenggorok dan mengambil spesimen, sebaiknya dilengkapi dengan
topi dan baju pelindung. Sedangkan pada saat melakukan tindakan yang
berpotensi menimbulkan aerosolisasi (intubasi dan bronkoskopi), tenaga
kesehatan sebaiknya menggunakan masker N95. Anggota keluarga yang
mendampingi pasien, sebaiknya juga menggunakan APD, seperti masker bedah

20
dan gaun. Seluruh tenaga kesehatan dan pendamping yang berkontak perlu untuk
menerapkan etika batuk yang benar dan menjaga kebersihan tangan.(WHO,
2017)

2.11 KOMPLIKASI

Komplikasi yang paling sering adalah miokarditis dan neuritis. Kematian


terjadi pada 5%-10% kasus. Komplikasi parah termasuk pembentukan
pseudomembran di saluran pernapasan bagian atas yang menyebabkan obstruksi
pernapasan dan membutuhkan ventilasi mekanis dan intubasi segera. (Jain,
2016)

- Komplikasi Jantung

Komplikasi jantung adalah miokarditis disertai dengan aritmia jantung


dengan blok jantung tingkat pertama, kedua, atau ketiga dan keruntuhan
peredaran darah. Perubahan EKG yang dicatat pada pasien ini adalah interval P-
R yang berkepanjangan dan perubahan gelombang ST /T. (Samdani, 2018)

- Komplikasi Neurologis

Komplikasi neurologis pada difteri termasuk kelemahan saraf atau


kelumpuhan, terutama yang melibatkan saraf kranial dan juga mempengaruhi
saraf di ekstremitas yang menyebabkan kelemahan otot ekstremitas.
Keterlibatan otot-otot faring dan langit-langit lunak menghasilkan regurgitasi
makanan dan cairan melalui hidung. Dalam kasus yang jarang terjadi, ensefalitis
karena komplikasi difteri terlihat pada anak-anak. (Owais, 2011)

21
2.12 PROGNOSIS
Prognosisnya tergantung pada beberapa faktor:

· Usia Onset: Tingkat kematian yang tinggi terlihat pada individu yang lebih muda
dari lima tahun dan mereka yang lebih tua dari 40 tahun.

· Durasi Timbulnya Gejala: Kematian yang tinggi terlihat pada kasus dengan
timbulnya durasi lebih dari empat hari.

· Keterlibatan Jantung: Ini terkait dengan prognosis yang sangat buruk, terutama
AV dan blok cabang bundel kiri.

· Penyakit Sistemik: Tingkat kematian yang tinggi terlihat dalam kasus-kasus


keterlibatan sistemik.(Lamichhane, 2021)

22
BAB III
KESIMPULAN

Tonsilitis difteri merupakan suatu peradangan pada tonsil yang disebabkan


karena bakteri C diphtheriae Penyakit ini ditandai dengan pembentukan
pseudomembran pada kulit dan atau mukosa, gejala klinis yang dapat ditimbulkan
oleh penyakit ini terbagi menjadi 3 yaitu gejala umum seperti kenaikan suhu tubuh,
nyeri kepala, tidak nafsu makan, kemudian gejala lokal berupa tonsil yang
membengkak ditutupi bercak putih kotor yang meluas, dan gejala akibat eksotoksin,
yang dikeluarkan oleh kuman difteri yang dapat menimbulkan kerusakan jaringan
tubuh.

Penegakan diagnosis tonsilitis difteri terbagi atas anamnesis, pemeriksaan


fisik dan penunjang pada anamnesis dapat dijumpai keluhan yang serupa dengan
manifestasi klinis yang dialami pasien, pada pemeriksaan fisik dapat dijumpai
pembengkakan pada bagian leher, dan dijumpai suatu pseudomembran, Pada
pemeriksaan penunjang hal yang dilakukan untuk menegakkan diagnosis tonsilitis
difteri adalah kultur bakteri yang diambil dari usap hidung, maupun
pseudomembran yang terdapat pada tonsil.

Tujuan mengobati penderita diphtheria adalah menginaktivasi toksin yang


belum terikat secepatnya, mencegah dan mengusahakan agar penyulit yang terjadi
minimal, mengeliminasi C. diphtheriae untuk mencegah penularan serta mengobati
infeksi penyerta dan penyulit diphtheria. Komponen utama pengobatan adalah
pemberian Anti Difteri Serum (ADS) dan antibiotik.

23
DAFTAR PUSTAKA

Adler NR, Mahony A, Friedman ND. 2013, Diphtheria : Forgotten , but not
Gone. International Medicine Journal. 2013; 43(2). 206–10.
Alfina, R. & Isfandiari, M.A. 2015, ‘Faktor Yang Berhubungan Dengan Peran
Aktif Kader Dalam Penjaringan Kasus Probable Difteri’, Jurnal
Berkala Epidemiologi, vol. 3, no. 3. [Online], accessed 19 Februari
2020, Available at:
https://media.neliti.com/media/publications/75845-ID-none.pdf

Baiu I, Melendez E. Epiglottitis. JAMA. 2019 May 21;321(19):1946

Bonmarin I, Guiso N, Le Fleche-Mateos A, Patey O, Patrick AD, Levy-Bruhl


D. Difteri: penyakit zoonosis di Prancis?. Vaksin. 2009 Juni 24.
27(31):4196-200.
Centers for Disease Control and Prevention (CDC). 2018, ‘About
Diphtheria’, [Online], accessed 19 Februari 2020, Available at:
https://www.cdc.gov/diphtheria/about/index.html
Drake R.L., Vogl A.W. dan Mitchell A.W.M. (2018). Gray’s Basic Anatomy.
Edisi 2. Philadelphia: Elsevier.

Hellstein JW, Marek CL. Candidiasis: Red and White Manifestations in the Oral
Cavity. Head Neck Pathol. 2019 Mar;13(1):25-32

Hien TT, White NJ. Diphtheria. In: Farrar J, Hotez PJ, Junghanss T, Kang G,
Lalloo D, White NJ, editors. Manson’s Tropical Infectious Diseases.
China: Elsevier Ltd; 2014. p.692–7.

24
Jacomo A.L., Akamatsu F.E., Andrade M. dan Margarido N.F. (2010).
‘Pharyngeal lymphatic ring: anatomical review’. J Morphol Sci, 27(1)
[online]. Terdapa pada:
http://www.jms.periodikos.com.br/article/587cb4937f8c9d0d058b
475c/pdf/jms-27-1-587cb4937f8c9d0d058b475c.pdf (diakses pada 20
Februari 2020).
Jain A, Samdani S, Meena V, Sharma MP. Diphtheria: It is still prevalent!!!
International journal of pediatric otorhinolaryngology. 2016; 86:68–71.

Lamichhane A, Radhakrishnan S. Diphtheria. StatPearls, Treasure Island (FL):


StatPearls Publishing; 2022.

Liang JL, Tiwari T, Moro P, Messonnier NE, Reingold A, Sawyer M, dkk.


Pencegahan Pertusis, Tetanus, dan Difteri dengan Vaksin di Amerika
Serikat: Rekomendasi Komite Penasihat Praktik Imunisasi (ACIP).
MMWR Recomm Rep. 2018 April 27. 67 (2):1-44

Mattos-Guaraldi AL, Sampaio JL, Santos CS, Pimenta FP, Pereira GA, Pacheco
LG, dkk. Deteksi pertama Corynebacterium ulcerans yang memproduksi
racun seperti difteri dalam kasus manusia dengan infeksi paru-paru di
wilayah metropolitan Rio de Janeiro, Brasil. Mem Inst Oswaldo Cruz.
2008 Juni 1-03(4):396-400. [Tautan MEDLINE QxMD]. [Teks Lengkap].

Mattos-Guaraldi AL, Moreira LO, Damasco PV, Hirata Júnior R. Difteri tetap
menjadi ancaman bagi kesehatan di negara berkembang--sebuah
gambaran umum. Mem Inst Oswaldo Cruz. 2003 Desember 98(8):987-93

Oliveira Pereira C, Ramos D, Mação P, Januário G, Januário L. [Diagnosis and


treatment of acute pharyngitis -Is there any benefit on ten-day course of
antibiotics?] An Pediatr (Engl Ed). 2018 Jun;88(6):335-339.

25
Saunders, R. & Suarca, I.K. 2019, ‘Diagnosis dan Tatalaksana Difteri’,
Continuing Medical Education (CDK-273), vol. 46, no. 2. [Online],
accessed 19 Februari 2020, Available at:
file:///C:/Users/User/Downloads/CME%20273 Diagnosis
%20dan%20Tatalaksana%20Difteri.pdf

Schwartzkopf J. Infectious mononucleosis. JAAPA. 2018 Nov;31(11):52-53

Sharma NC, Efstratiou A, Mokrousov I, Mutreja A, Das B, Ramamurthy T.


Diphtheria. Nat Rev Dis Primers, 2019;5:1–18.
https://doi.org/10.1038/s41572-019-0131-y.

Soepardi E., Iskandar N. Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi ke lima
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta: 2004

Standring S. (2016). ‘Pharynx’ dalam Standring S., Anand N., Birch R.,
Collins P., Crossman A.R., Gleeson M., Jawaheer G., Smith A.L.,
Spratt J.D., Stringer M.D., Tubbs R.S., Tunstall R., Wein A.J. dan
Vinckenbosch P, Guilcher P, Lambercy K, Richard C. [Retropharyngeal
abscess in children]. Rev Med Suisse. 2017 Oct 04;13(577):1698-
1702
Wigley C.B. (penyunting). Gray’s Anatomy.Edi si 41. Philadelphia: Elsevier.

Webb TR, Cross SH, McKie L, Edgar R, Vizor L, Harrison J, dkk. Modifikasi
diftalamida eEF2 membutuhkan protein domain-J dan sangat penting
untuk perkembangan normal. J Sel Sci. 2008 Oktober 1. 121:3140-5.

26
World Health Organization. 2018, ‘Diphtheria’, [Online], accessed 19
Februari 2022, Available at:
https://www.who.int/immunization/diseases/diphtheria/en/

WHO. Operational protocol for clinical management of Diphtheria. 2017.


https://www.who.int/publications-detail-redirect/operational-protocol-
for-clinical-management-of-diphtheria

27

Anda mungkin juga menyukai