Anda di halaman 1dari 28

REFARAT

RHINOSINUSITIS AKUT

Disusun Oleh :
JEMIA SURA LAKSANA TARIGAN
190131080

Dosen Pembimbing :
dr. Adlin Adnan, Sp.THT-KL (K)

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER


DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG
TENGGOROKAN
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM MALIK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN 2020
ii

KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan atas ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas
berkat dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan makalah yang berjudul
“Rhinosinusitis Akut” sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan Program
Pendidikan Profesi Dokter (P3D) di Departemen Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Dalam proses penyusunan makalah ini, penulis menyampaikan penghargaan dan
terima kasih kepada dr. Adlin Adnan, Sp.THT-KL (K) selaku dosen pembimbing yang
telah membimbing dan membantu penulis selama proses penyusunan makalah.
Penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini masih belum sempurna. Oleh karena
itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi perbaikan penulisan
makalah di kemudian hari. Akhir kata, semoga makalah ini dapat memberikan manfaat
dan dapat menjadi bahan rujukan bagi penulisan ilmiah di masa mendatang.
Medan, November 2020

Penulis

LEMBAR PENGESAHAN

Telah dibacakan pada tanggal :


iii

Nilai :

Pembimbing

dr. Adlin Adnan, Sp.THT-KL (K)

DAFTAR ISI
KATAPENGANTAR ..................................................................................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................................. iii
DAFTAR ISI .................................................................................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN .............................................................................................. 1
1.1 LATAR BELAKANG ............................................................................................ 1
1.2 TUJUAN PENULISAN ......................................................................................... 2
1.3 MANFAAT PENULISAN ..................................................................................... 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................... 3
2.1 RHINOSINUSITIS ................................................................................................. 3
2.2 RHINOSINUSITIS AKUT ..................................................................................... 3
2.2.1 DEFINISI ...................................................................................................... 3
2.2.2 ETIOLOGI DAN FAKTOR PREDISPOSISI. ............................................. 4
2.2.3 EPIDEMIOLOGI . ........................................................................................ 6
2.2.4 PATOFISIOLOGI . ...................................................................................... 7
2.2.5 MANIFESTASI KLINIS . ............................................................................ 9
iv

2.2.6 DIAGNOSIS . ............................................................................................... 11


2.2.7 TANDA BAHAYA . .................................................................................... 13
2.2.8 TATALAKSANA . ...................................................................................... 13
2.2.9 KOMPLIKASI . ............................................................................................ 18
2.2.10 PROGNOSIS . ............................................................................................ 19

KESIMPULAN ............................................................................................................... 29
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................... 30
1

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penggunaan terminologi rhinosinusitis mengakui bahwa rhinitis dan sinusitis
terjadi secara bersamaan. Hal ini dilakukan oleh karena sulitnya membedakan
patofiologi dan patofisiologi dari hidung dan sinus meskipun salah satu area dapat
terbukti lebih terdampak dibandingkan satu sama lainnya. Rhinosinusitis
didefinisikan sebagai inflamasi hidung dan sinus paranasal yang ditandai dengan
dua gejala atau lebih, salah satunya termasuk hidung tersumbat/obstruksi/kongesti
atau cairan hidung (anterior/posterior nasal drip) dapat disertai dengan nyeri wajah
atau penurunan sensitivitas penghidu, dan bisa didapatkan polip nasi dan/atau
cairan mukopurulen dari meatus media atau obstruksi pada meatus media dan/atau
perubahan pada CT berupa perubahan mukosa pada kompleks osteiomeatal
dan/atau sinus. Rhinosinusitis kemudian dapat dibagi menjadi rhinosinusitis akut

dan kronik.1

Rhinosinusitis akut pada umumnya disebabkan oleh infeksi hidung. Mukosa


sinus merupakan persambungan dari mukosa hidung dan infeksi pada hidung
dapat menyebar secara langsung atau melalui limfatik submukosal. Penyebab
paling sering dari rhinosinusitis akut yaitu virus dan diikuti oleh bakteri. Kegiatan
seperti berenang dan menyelam juga dapat menyebabkan rhinosinusitis akut oleh
karena air yang terinfeksi dapat masuk ke sinus melalui ostia. Konten air yang
tinggi chlorin dapat menyebabkan inflamasi pada mukosa. Trauma juga dapat
menyebabkan rhinosinusitis akut apabila terdapat fraktur compound atau penetrasi
pada sinus baik frontal, maxilla maupun ethmoid dan menyebabkan infeksi
langsung apda mukosa sinus. Infeksi dental dapat menyebabkan sinusitis
maxillaris oleh jalur infeksi molar atau premolar.2

1.2 Tujuan Penulisan


Makalah ini bertujuan untuk menjelaskan rhinosinusitis akut serta untuk
melengkapi tugas di Departemen Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
2

1.3 Manfaat Penulisan


Manfaat penulisan makalah ini adalah sebagai penambah wawasan mengenai
rhinosinusitis.
3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Rhinosinusitis

Penggunaan terminologi rhinosinusitis mengakui bahwa rhinitis dan sinusitis


terjadi secara bersamaan. Hal ini dilakukan oleh karena sulitnya membedakan
patofiologi dan patofisiologi dari hidung dan sinus meskipun salah satu area dapat
terbukti lebih terdampak dibandingkan satu sama lainnya. Rhinosinusitis
didefinisikan sebagai inflamasi hidung dan sinus paranasal yang ditandai dengan
dua gejala atau lebih, salah satunya termasuk hidung tersumbat/obstruksi/kongesti
atau cairan hidung (anterior/posterior nasal drip) dapat disertai dengan nyeri wajah
atau penurunan sensitivitas penghidu, dan bisa didapatkan polip nasi dan/atau
cairan mukopurulen dari meatus media atau obstruksi pada meatus media dan/atau
perubahan pada CT berupa perubahan mukosa pada kompleks osteiomeatal
dan/atau sinus. Rhinosinusitis kemudian dapat dibagi menjadi rhinosinusitis akut
dan kronik.1

2.2 Rhinosinusitis Akut

2.2.1 Definisi

Rhinosinusitis akut pada orang dewasa ditandai oleh adanya onset akut dari
dua atau lebih gejala yang salah satunya harus merupakan obstruksi atau kongesti
hidung atau nasal discharge (anterior/posterior nasal drip) yang dapat disertai
tekanan/nyeri wajah, reduksi atau hilangnya penciuman untuk waktu kurang dari
12 minggu.1

Banyak pasien yang berkonsultasi pada dokter dengan masalah yang


dihubungkan dengan infeksi saluran pernafasan atas yang mayoritas bersifat
selflimiting dan dapat diklasifikasikan sebagai common cold. Common cold
didefinisikan sebagai rhinosinusitis akut viral dengan durasi simtom dibawah 10

hari. Ketika simtom memberat dalam lima hari atau persisten selama 10 hari
dengan durasi kurang dari 12 minggu maka diklasifikasikan sebagai rhinosinusitis
akut post-viral berdasarkan klasifikasi oleh European Position Paper on
Rhinosinusitis and Nasal Polps (EPOS) 2020. Hanya sebagian kecil rhinosinusitis
akut disebabkan oleh bakteri. Rhinosinusitis akut bakterial berdasarkan EPOS
2020 didefinisikan apabila terdapat tiga dari lima simtom yaitu mucus berwarna,
4

nyeri lokal berat (umumnya unilateral), demam diatas 38 derajat celcius,


peningkatan CRP atau ESR dan double sickening.1

Gambar 1 Definisi Rhinosinusitis Akut

2.2.2 Etiologi dan Faktor Predisposisi

Rhinosinusitis akut pada umumnya disebabkan oleh infeksi hidung. Mukosa


sinus merupakan persambungan dari mukosa hidung dan infeksi pada hidung
dapat menyebar secara langsung atau melalui limfatik submukosal. Penyebab
paling sering dari rhinosinusitis akut yaitu virus dan diikuti oleh bakteri. Kegiatan
seperti berenang dan menyelam juga dapat menyebabkan rhinosinusitis akut oleh
karena air yang terinfeksi dapat masuk ke sinus melalui ostia. Konten air yang
tinggi chlorin dapat menyebabkan inflamasi pada mukosa. Trauma juga dapat
menyebabkan rhinosinusitis akut apabila terdapat fraktur compound atau penetrasi
pada sinus baik frontal, maxilla maupun ethmoid dan menyebabkan infeksi
langsung apda mukosa sinus. Infeksi dental dapat menyebabkan sinusitis
maxillaris oleh jalur infeksi molar atau premolar.2

Faktor Predisposisi

Lokal

1. Obstuksi pada ventilasi dan drainase sinus. Normalnya sinus diventilasi


dengan baik dan juga menghasilkan mucus dalam jmlah sedikit yang melalui
pergerakan ciliary menuju ostia sinus akan didranase pada cavum nasi.
5

Faktorfaktor yang menganggu fungsi ini akan menyebabkan sinusitis oleh


adanya stasis dari sekresi sinus. Beberapa faktor tersebut yaitu :

• Nasal packing

• Deviasi septum

• Konka hipertrofi

• Edema sinus oleh alergi atau rhinitis vasomotor

• Polip hidung

• Abnormalitas anatomi sel ethomidal

• Neoplasma jinak atau ganas

2. Stasis dari sekresi cavum nasi. Sekresi normal hidung dapat tidak terdrainase
menuju nasopharynx oleh kekentalannya (cystic fibrosis) atau obstruksi
(adenoid membesar, atresia koana.

3. Kejadian sinusitis sebelumnya. Pertahanan lokal dari mukosa sinus telah


terdampak dan belum pulih sepenuhnya.

General

1. Lingkungan. Rhinosinusitis umum terjadi pada daerah beriklim dingin dan


basah. Polusi atmosfer, asap rokok, debu dan tempat ramai merupakan
predisposisi infeksi sinus.

2. Kondisi medis umum jelek. Infeksi demam exanthematous yang baru terjadi
(measle, chickenpox, pertussis), defisiensi nutrisi dan penyakit sistemik
(diabetes, HIV-AIDS dan kondisi imunokompromais).

Pada rhinosinusitis akut yang dimulai infeksi virus dapat diikuti oleh infeksi
bakteri. Bakteri penyebab rhinosinusitis akut yang umum dijumpai yaitu
Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenza, Moraxella catarrhalis,
Streptococcus pyogenes, Staphylococcus aureus dan Klebsiella pneumoniae.
Organisme anaerob dan infeksi multiorganisme sering dijumpai oleh invasi infeksi
dental.2,3
6

2.2.3 Epidemiologi

Rhinosinusitis akut merupakan masalah yang umum dijumpai dan nilai insiden
yang tepat sulit untuk diperkirakan. Insiden dari rhinosinusitis akut viral sangatlah
tinggi dan berdasarkan beberapa sumber sangatlah bervariasi diantara 12% hingga
20% yang dapat dilihat pada tabel 1. Diestimasikan pada orang dewasa terjadi 2
hingga 5 episode rhinosinusitis akut viral atau common cold setiap tahunnya dan
anak sekolah diperkirakan terjadi 7 hingga 10 episode setiap tahunnya.1
Diperkirakan 0,5-2 % infeksi saluran nafas viral atas disertai oleh infeksi
bakteri.4,5

Tabel 1 Insiden dan Prevalensi Rhinosinusitis Akut1

2.2.4 Patofisiologi

Rhinosinusitis akut (RSA) dibedakan menjadi rinosinusitis viral akut,


rinosinusitis pasca viral dan rhinosinusitis bakterial akut. Rhinosinusitis akut
7

bakterial (RSAB) sering didahului oleh rinosinusitis virus akut atau flu biasa.
Selain strain dan virulensi virus individu, tingkat keparahan dan patogenesis ARS
sangat tergantung pada faktor host atau kondisi predisposisi, seperti usia,
parameter pertahanan tubuh atau defisiensi imun, infeksi atau imunisasi
sebelumnya, peradangan mukosa yang sudah ada sebelumnya oleh paparan
alergen, patogen atau faktor risiko lingkungan lainnya, dan kelainan bentuk
anatomi hidung dan sinus.1 Epitel hidung adalah pintu masuk utama virus
pernapasan dan target langsung untuk replikasi virus di jalan napas. Ini juga
merupakan komponen aktif dari tanggapan inang awal melawan infeksi virus. Sel
epitel hidung mengekspresikan berbagai reseptor yang mengenali virus tertentu,
seperti intercellular adhesion molecule-1 (ICAM-1), tolllike receptor 3 (TLR3), α-
2,3-linked sialic acid (α-2,3SA)/α-2,6-SA containing receptor, retinoic acid
inducible gene 1 (RIG-1, juga dikenal sebagai DDX58), and MDA4 (juga dikenal
sebagai IFIHI). Setelah infeksi, virus masuk melalui endositosis yang dimediasi
reseptor, diikuti oleh ekspresi dan replikasi genom virus dalam beberapa jam
setelah infeksi.1
Epitel hidung tidak hanya berfungsi sebagai penghalang mekanis untuk
melindungi dari faktor lingkungan, mikroorganisme, dan racun, tetapi juga
berpartisipasi dalam respons imun bawaan (non-spesifik) dan adaptif. Epitel
permukaan saluran napas semu dapat rusak dalam derajat yang berbeda-beda
tergantung pada jenis virus dan juga dapat beregenerasi untuk memulihkan fungsi
pertahanannya. Oleh karena itu, interaksi antara epitel hidung dan patogen yang
menyerang memainkan peran kunci dalam perkembangan penyakit dan tanggapan
kekebalan selanjutnya terhadap virus, sehingga berkontribusi pada beban penyakit
dan respon terhadap infeksi epitel hidung.1
8

Gambar 2 Patofisiologi Rhinosinusitis Akut1


Penurunan fungsi pembersihan mukosiliar hidung diamati pada pasien dengan
flu biasa. Lapisan mukosa rongga hidung dilapisi oleh lapisan lendir setebal 10
sampai 15 μm. Lendir disuplai oleh sel goblet di epitel dan kelenjar seromukosa
submukosa. Sekresi sinus adalah campuran glikoprotein, produk kelenjar lainnya,
dan protein plasma. Sekresi kaya akan lisozim, laktoferin, albumin, penghambat
leukoprotease sekretori, dan mukoprotein.1
Dalam keadaan fisiologis, segera setelah infeksi virus, respons imun akan
muncul sehingga terjadi eliminasi virus lebih awal dengan kerusakan minimal
pada inang. Namun, kaskade peradangan yang diinisiasi oleh sel epitel biasanya
menyebabkan kerusakan oleh sel yang menginfiltrasi, menyebabkan edema,
pembengkakan, ekstravasasi cairan, produksi mukus dan obstruksi sinus, yang
akhirnya menyebabkan RSA atau memperburuk RSA.1
Rinosinusitis bakterial akut (RSAB) adalah komplikasi infeksi saluran
pernapasan atas yang tidak umum yang dapat menyebabkan kerusakan mukosa
dan super infeksi bakteri. Kerusakan atau gangguan fungsi mukosiliar akibat
infeksi virus mungkin merupakan penyebab utama infeksi bakteri. Infeksi bakteri
dan jamur biasanya disertai dengan infeksi virus, seperti yang diamati pada flu
biasa (infeksi RV), dan rinosinusitis berulang atau kronis. Streptococcus
9

pneumoniae, Hemophilus influenzae dan Moraxella catarrhalis adalah bakteri


yang paling sering terjadi pada rinosinusitis.1

2.2.5 Manifestasi Klinis


Rhinosinusitis akut dapat diikuti dengan gejala seperti demam rendah, mual,
sakit kepala, dan mungkin adanya batuk. Gejala fisik tipikal termasuk didalamnya
pembengkakan mukosa hidung secara bilateral, sekresi hidung purulen dan nyeri
tekan pada sinus, walaupun hal ini bersifat tidak sensitif ataupun spesifik. Nyeri
pada palpitasi sinus frontal dapat menandakan adanya suatu inflamasi.Infeksi
sinus maksilaris dapat menyebabkan sakit gigi yang ditandai dengan adanya nyeri
tekan pada daerah molar. Sinusitis ethmoid dapat dihubungkan dengan
pembengkakan, nyeri tekan dan nyeri pada daerah mata. Cairan purulen dapat
tampak pada pemeriksaan dalam bentuk anterior rhinorrhea ataupun posterior
pharyngeal drip yang berhubungan dengan gejala klinis dari nyeri tenggorokan
dan batuk. Awalnya cairan hidung adalah serosa, kemudian berubah menjadi
mukopurulen, dan hilang dalam waktu 10 hari. Namun, apabila gejala memburuk
setelah 5 hari dari onset pertama kali atau menetap diatas 10 hari, maka
kemungkinan ada suatu infeksi bakteri sekunder.6 Manifestasi klinisi
10

rhinosinusitis akut tergantung oleh tingkat keparahan proses inflamasi dan


efisiensi ostium dalam drainase eksudat. Rhinosinusitis dengan ostium yang
tertutup memiliki manifestasi klinis yang lebih berat dan lebih sering
menyebabkan komplikasi.2

1. Sinusitis maxilla

• Simtom constitutional seperti demam, malaise dan nyeri badan.

• Nyeri kepala pada dahi dan sering disalahkan sebagai sinusitis frontal.

• Nyeri. Umumnya terletak pada rahang atas namun dapat terjadi nyeri
referral pada gusi dan gigi. Hal ini menyebabkan pasien sering
berkonsultasi ke dokter gigi. Nyeri diagregasi oleh menghentak gigi,
batuk dan mengunyah. Nyeri referral sering juga terjadi pada daerah
ipsilateral supraorbital dan mengstimulasi infeksi sinus frontal.

• Penekanan atau tapping pada dinding anterior antrum menyebabkan


adanya nyeri.

• Pipi merah dan edema. Umumnya terlihat pada anak-anak dan kelopak
mata bawah dapat terlihat puffy.

• Nasal discharge. Rhinoscopy anterior atau endoscopy hidung dapat


memperlihatkan pus atau mucopus pada meatus media. Mukosa
meatus media dan konka terlihat merah dan bengkak.

• Postnasal discharge. Pus dapat terlihat pada bagian atas soft palate
pada rhinoscopy anterior atau endoscopy hidung.

2. Sinusitis frontal

• Sakit kepala frontal. Umumnya berat dan terlokalisasi pada sinus


terdampak. Karakterisktik periodic seperti muncul saat bangun tidur,
secara gradual meningkat dan mencapai puncak pada tengah hari
kemudian perlahan-lahan berkurang.

• Nyeri pada penekanan dasar sinus frontal diatas canthus media. Selain
itu nyeri dapat terjadi oleh tapping pada dinding anterior dari sinus
frontal pada bagian media dari daerah supraorbital.
11

• Edema kelopak mata dan photophobia.

• Nasal discharge. Garis vertical dari mucus dan pus dapat terlihat dari
atas pada bagian anterior dari meatus media. Hal ini dapat tidak terlihat
apabila ostium tertutup tanpa drainase. Mukosa hidung terlihat
meradang pada meatus media.

3. Sinus ethmoid

• Nyeri terlokalisasi pada jembatan hidung, medial dan dalam pada


mata. Diperberat oleh pergerakan bola mata.

• Edema kelopak mata. Kedua kelopak mata dapat terlihat bengkak,


peningkatan lakrimasi dan cellulitis orbita dapat merupakan
komplikasi awal pada kasus seperti ini.

• Nasal discharge pada rhinoscopy anterior dimana pus dapat terliat pada
meatus media atau superior tergantung dari bagian anterior atau
posterior sinus ethmoid yang terdampak.

• Edema konka media.

4. Sinus sphenoid

• Sakit kepala terlokalisasi pada occiput atau vertex. Nyeri referral dapat
terjadi pada regio mastoid.

• Postnasal discharge dapat terlihat pada rhinoscopy posterior. Garis


lurus pus dapat terlihat pada atap dinding posterior nasopharynx atau
diatas ujung posterior konka media.

2.2.6 Diangosis

Anamnesis

Anamnesis yang cermat dan diperlukan teliti sangat diperlukan terutama


dalam menilai gejala-gejala yang disebutkan di atas. Selain gejala diatas, gejala
terkait yang dapat timbul adalah iritasi faring, laring, dan trakea yang
menyebabkan sakit tenggorokan, disfonia, dan batuk, serta gejala umum termasuk
mengantuk, malaise, dan demam. Nyeri secara fasialis ataupun pada dental,
12

terutama jika unilateral, terbukti merupakan prediktor terjadinya sinusitis


maksilaris akut.1

Pemeriksaan fisik

Pada rhinosinusitis aku dapat terlihat adanya hiperemi dan daerah sembab
sekitar hidung dan orbita. Pada anak gejala ini lebih terlihat jelas terutama pada
rhinosinusitis akut berat atau dengan komplikasi. Gejala nyeri tekan di daerah
sinus terutama sinus frontal dan maksila kadang dapat ditemukan,akan tetapi nyeri
tekan di sinus tidak selalu identik dengan sinusitis. Pemeriksaan yang penting
adalah rinoskopi. Pada pemeriksaan rinoskopi anterior dapat dijumpai adanya
kelainankelainan di rongga hidung yang berkaitan dengan rhinosinusitis seperti
hiperemi,sekret,udem,krusta,septum deviasi,polip atau tumor. Pengukuran suhu
juga diperlukan karena jika suhu >38°C menandakan adanya suatu penyakit yang
lebih serius sehingga membutuhkan pengobatan aktif. Selain itu, suhu tubuh yang
tinggi juga dikaitkan dengan kultur bakteri S.pneumoniae atau H. Influenzae yang
positif.1,2

Pemeriksaan Penunjang

1.1 Pencitraan

Pemeriksaan yang dapat dilakukan adalah foto sinus paranasal


(Water’s,Caldwel dan lateral), CT scan dan MRI. Foto sinus paranasal cukup
informatif pada rhinosinusitis akut akan tetapi CT scan merupakan
pemeriksaan radiologis yang mempunyai nilai objektif yang tinggi. Indikasi
pemeriksaan CT scan adalah untuk evaluasi penyakit lebih lanjut apabila
pengobatan medikamentosa tidak memberi respon seperti yang diharapkan.
Kelainan pada sinus maupun kompleks ostiomeatal dapat terlihat dengan jelas
melalui pemeriksaan ini.1,2

Rontgen sinus digunakan untuk menilai kelainan struktur anatomi sinus


paranasal, seperti sinusitis, polip, dan fraktur. Sinus paranasal merupakan
ruang berongga berisikan udara. Sinus paranasal terdiri dari sinus maksilaris,
sinus frontal, sinus etmoid, dan sinus sphenoid. Kelainan pada sinus paranasal
yang dapat dinilai melalui pemeriksaan rontgen sinus adalah anomali
13

kongenital, tumor, inflamasi, kondisi alergi, komplikasi dari infeksi, obstruksi,


dan
trauma.7,8

Pemeriksaan rontgen sinus dapat dilakukan dengan beberapa posisi berbeda,


sesuai dengan kebutuhan klinisi untuk membantu menegakkan diagnosis.
Beberapa posisi rontgen sinus adalah posisi Caldwell, Waters, dan lateral.
Rontgen sinus posisi Caldwell dapat menilai sinus frontal dan sinus etmoid.
Posisi Waters untuk menilai sinus maksilaris, dan sangat baik untuk
menegakkan diagnosis sinusitis. Posisi lateral dapat menilai sinus frontal,
sphenoid, dan jaringan lunak.9-11

2.1 C-Reactive protein (CRP)

CRP adalah biomarker hematologis dan meningkat pada infeksi bakteri.


Penggunaannya telah dianjurkan pada infeksi saluran pernafasan. sebagai bantuan
untuk menargetkan infeksi bakteri dan dengan demikian membatasi penggunaan
antibiotik yang tidak perlu. CRP yang rendah atau normal dapat mengidentifikasi
pasien dengan kemungkinan infeksi bakteri yang rendah dan yang kemungkinan
tidak membutuhkan atau mendapat manfaat dari antibiotik.1 3.1 Prokalsitonin

Prokalsitonin juga telah diadvokasi sebagai biomarker hematologis potensial


yang menunjukkan infeksi bakteri yang lebih parah dan diselidiki sebagai alat
untuk memandu peresepan antibiotik pada infeksi saluran pernapasan di
masyarakat.1

3.1 Transiluminasi

Pemeriksaan transiluminasi hanya dapat digunakan untuk pemeriksaan


sinus maksila dan frontal. Pemeriksaan dilakukan bila pemeriksaan
penunjang radiologi tidak tersedia. Pemeriksaan transiluminasi
dilakukan pada ruangan yang gelap atau cahaya minimal.

Untuk pemeriksaan sinus maksila, pasien diminta untuk duduk dan


mendongakkan kepalanya ke belakang sambil membuka mulut.
Pemeriksa menempelkan penlight/ otoskop/ transiluminator pada bagian
14

pipi di area sinus maksila. Cahaya yang tembus dan terang pada bagian
palatum merupakan pemeriksaan yang normal. Bila cahaya redup atau
tidak tampak sama sekali dapat dicurigai adanya cairan yang kental
(pus), penebalan mukosa, atau bisa juga massa yang mengisi rongga
sinus. Bandingkan hasil pemeriksaan sinus maksila kanan dan kiri.

Untuk pemeriksaan sinus frontal, penlight / otoskop / transiluminator


ditempelkan pada bagian medial orbita di bawah alis dengan cahaya
diarahkan ke bagian atas. Perhatikan cahaya yang muncul di area sinus
frontal, bandingkan antara sinus frontal kanan dan kiri. Cahaya yang
gelap bisa disebabkan karena sinusitis atau karena sinus yang tidak
berkembang. [1,7]
15

2.2.7 Tanda Bahaya

Beberapa tanda bahaya berdasarkan EPOS 2020 yang perlu dikenali pada
rhinosinusitis akut yaitu edema/eritema periorbital, perubahan posisi mata,
pandangan ganda, ophthalmoplegia, penurunan penglihatan yang tajam, sakit
kepala frontal unilateral atau bilateral yang berat, pembengkakan frontal, tanda
meningitis, tanda neurologis dan penurunan kesadaran. Apabila dijumpai tanda
bahaya tersebut maka perlu dilakukan rujukan segera.1

2.2.8 Tatalaksana

Terapi Antibiotik

Penggunaan antibiotic dapat dipertimbangkan pada pasien dengan simptom


rhinosinusitis akut yang tidak membaik setelah tujuh hari atau memburuk, nyeri
yang berat, demam diatas 38,3 derajat celcius dan pasien imunokompromais.
Pasien dengan demam tinggi, edema periorbital, eritema dan nyeri fasial yang
berat sering dihubungkan dengan komplikasi yang serius sehingga perlu
dipertimbangkan pemberiaan antibiotic. Sebagai tambahan, usia pasien, kondisi
medis umum, status kardiopulmonary dan kondisi komorbid merupakan
pertimbangan penting dalam inisiasi terapi antibiotic.12,17

Pada systematic review dari 13 randomized trial antibiotic pada orang dewasa
dengan rhinosinusitis akut dijumpai perbaikan klinis sebesar 70 persen setelah 7
hari dengan atau tanpa antibiotic. Pasien sembuh total tanpa antibiotic dijumpai
pada 8% pasien dalam 3-5 hari, 35% dalam 7-12 hari dan 45% dalam 14-15 hari.
Penggunaan antibiotic meningkatkan angka kesembuhan sebesar 15%
dibandingkan placebo pada 7-12 hari. Pada hari ke 14-15 penggunaan antibiotik
tidak lagi menguntungkan. Efek samping terjadi lebih sering dengan penggunaan
antibiotic dibandingkan placebo (number needed to harm = 9). Efek samping yang
umum dijumpai yaitu diare, nausea, muntah, rash, vaginal discharge dan sakit
kepala.13

Meta-analisis lainnya mendapatkan bahwa efek terapi yang lebih baik pada
penggunaan antibiotic dengan peningkatan efek samping.14,15 Pada satu
randomized double blind clinical trial dijumpai tidak ada perbaikan penggunaan
antibiotic pada hari ke-14 dibandingkan placebo. Namun pada analisis subgroup
16

yang sembuh total dijumpai angka rerata hari membaik dari 8,1 untuk grup
antibiotic dibandingkan 10,7 pada grup placebo.16

Pemilihan antibiotic untuk tatalaksana rhinosinusitis akut dapat dilihat pada


tabel 2. Kebanyakan guideline merekomendsaikan pemberian amoxicillin sebagai
terapi lini pertama oleh keamanan, efektivitas, low cost dan spectrum
microbiologis sempit. Pada pasien yang alergi terhadap penicillin,
trimethoprim/sulfamethoxazole atau macrolide dapat digunakan sebagai alternatif.
Sebuah systematic review tidak dijumpai perbedaan klinis yang signifikan pada
pasien rhinosinusitis akut bakterial yang diberikan amoxicillin dibandingkan
cephalosporin dan macrolide. Fluoroquinolone yang lebih baru tidak dijumpai
keunggulan dibandingkan betalactam dan tidak rekomendasikan sebagai lini
pertama. Durasi terapi antibiotic yang direkomendasikan yaitu 10 hari berdasarkan
durasi tipikal terapi yang digunakan pada randomized controlled trials (RCT).17

Gagal terapi terjadi ketika gejala memberat ketika terapi dan tidak membaik
setelah tujuh hari terapi. Penyebab nonbacterial atau infeksi bakteri yang resisten
terhadap obat tersebut harus dipertibamgkan. Apabila simtom tidak membaik
dengan pemberian amoxicillin atau terjadi relapse dalam enam minggu,
penggunaan antibiotic alternative dengan spectrum yang lebih luas diperlukan.
Dosis tinggi amoxicillin/calvulanate atau fluoroquinolone respiratory dapat
dipertimbangkan. Pada kasus refrakter, rujukan ke otolaryngologist diperlukan17

Tabel 2 Terapi Antibiotik pada Rhinosinusitis Akut17


17

Terapi Adjuvan

Simtom yang tidak berat seperti nyeri ringan, temperatur kurang dari 38,3
derajat celcius atau durasi kurang dari 7 hari dapat ditatalaksana dengan terapi
suportif. Terapi adjuvan untuk mengurangi gejala rhinosinusitis akut yaitu
analgesic, decongenstant, antihistamine, irigasi hidung, mucolytic dan
kortikosteroid dapat terlihat pada tabel 3.17

Tabel 3 Terapi Adjuvan pada Rhinosinusitis Akut


18

Analgesic

Terapi analgesic diperlukan untuk pasien untuk mengurangi nyeri,


mendapatkan istirahat yang adekuat dan melanjutkan aktivitas sehari-hari.
Pemilihan analgesic disesuaikan dengna tingkat keparahan dari nyeri.
Acetaminophen atau NSAID dapat diberikan sendiri atau dengan kombinasi
dengan opioid pada nyeri ringan hingga moderat.17

Decongestant

Decongestant dapat diberikan untuk mengurangi edema mukosa dan


memfasilitasi ventilasi dan drainase pada episode akut. Efek decongestant hanya
pada cavum nasi dan tidak berekstensi pada sinus paranasal. Tidak terdapat RCT
yang mengevaluasi efektivitas decongestant pada pasien dengan sinusitis. Pada
tujuh systematic review, nasal decongestant dijumpai memberikan efek moderat
pada short-term relief pada kongesti orang dewasa dengan common cold.

Decongestant topical tidak boleh diberikan lebih dari tiga hari karena resiko
rebound kongesti hidung (rhinitis medicametosa).17

Antihistamine

Antihistamine sering digunakan untuk mengurangi simtom oleh efektivitasnya


mengurangi kongesti. Namun, tidak terdapat studi yang mendukung
19

penggunaannya pada sinusitis akut. Berdasarkan Cochrane review, antihistamine


tidak signifikan dalam mengurangi kongesti nasal, rhinorrhea atau bersi pada
pasien dengan common cold. Antihistamine dapat mengkomplikasi drainase oleh
efek mengeringkan mukosa hidung dan kemudian menyebabkan
ketidaknyamanan. Oleh karena itu, antihistamine tidak diberikan sebagai
simtomatik relief kecuali

dijumpai riwayat alergi.17

Irigasi hidung

Irigasi hidung dengan saline dapat dilakukan untuk melunakan sekresi yang
kental dan meningkatkan mucociliary clearance. Irigasi hidung dengan saline
menunjukkan adanya manfaat pada pasien rhinosinusitis kronik dan sinusitis
berulang. Bukti yang mendukung penggunaan irigasi hidung dengan saline pada
infeksi saluran nafas atas sangatlah bervariasi. Cochrane review mendapatkan tiga
trial kecil yang menunjukkan manfaat yang terbatas dalam mengurangi simtom
rhinosinusitis akut pada orang dewasa. Namun, irigasi hidung merupakan tindakan
yang tergolong aman dan opsi yang tidak mahal bagi pasien dalam mengurangi
simtom.17

Mucolytic

Mucolytic seperti guaifenesin digunakan untuk mencairkan mucus dan


meningkatkan drainase hidung. Namun, evaluasi dalam clinical trial belum
dilakukan sehingga tidak direkomendasikan sebagai terapi adjuvant pada
rhinosinusitis akut.17

Kortikosteroid
Kortikosteroid intranasal mengurangi inflamsi dan edema pada mukosa
hidung, konka dan ostia sinus. Tidak terdapat controlled trial yang mendukung
penggunaan kortikosteroid sistemik sebagai terapi rhinosinusitis akut.
Kortikosteroid intranasal diabsorbsi secara minimal dan memiliki insiden efek
samping sistemik yang minimal. Kebanyakan studi pada kortikosteroid intranasal
disponsori oleh industry dan dijumpai manfaat dengan perbaikan simtom pada
penggunaannya. Data pada monoterapi kortikosteroid intranasal untuk
20

rhinosinusitis akut sangatlah terbatas. Sebuah Cochrane review yang menilai 4


RCT dengan total pasien 1.943 orang, penulisnya mendukung meskipun dengan
bukti yang terbatas penggunaan kortikosteroid intranasal sebagai monoterapi atau
adjuvant pada rhinosinusitis akut. Namun, RCT lain mendapatkan bahwa
antibiotic dan kortikosteroid intranasal baik tunggal maupun dengan kombinasi
tidaklah efektif. Studi ini menilai bahwa penggunaan kortikosteroid intransal
dapat efektif pada simtom yang tidak terlalu berat. Meskipun kortikosteroid
intransal tidak disetujui sebagai terapi rhinosinusitis akut, guideline-guideline
tetap mempertimbangkan penggunaannya sebagai opsi berdasarkan keputusan
pasien.17

2.2.9 Komplikasi

Komplikasi dari rhinosinusitis dapat terjadi di daerah sekitar sinus paranasal,


umunya di daerah orbital dan intrakranial. Preseptal orbital cellulitis dapat dilihat
sebagai adanya edema di dalam regio kelopak mata; namun, hal ini dapat
mengarah ke selulitis orbital, dimana dapat mengarah ke terbentuknya abses
dalam jaringan orbital ataupun periorbital. Dalam kondisi yang sangat jarang,
dapat terbentuk trombus pada sinus kavernosus. Selulitis orbital dan abses dapat
menyebabkan tekanan intraorbital meningkat, dan menyebabkan iskemia pada
nervus optikus dan retina, dimana jika tidak ditangani dapat menyebabkan
gangguan penglinhatan yang bersifat permanen. Infeksi yang menetap di dalam
tulang di regio frontalis terkadang dapat mengarah ke osteomielitis dan hal ini
dapat menyebar ke ekstradural ataupun subdural space menyebabkan komplikasi
intrakranial dengan penyebaran sumber infeksi melalui trombosis di dalam sistem
vena dari regio tengkorak bagian anterior. Penyebaran infeksi yang terus menerus
dapat mengarah ke terbentuknya abses intraserebral.6
21

2.2.10 Prognosis

Rhinosinusitis akut pada umumnya adalah viral. Mayoritas dari kasus dapat
sembuh secara spontan ataupun dengan antibiotik jika disertai dengan infeksi
sekunder. Rhinosinusitis fungal adalah suatu bentuk infeksi yang jarang dan
biasanya ditemukan pada pasien immunocompromised dan mempunyai tingkat
morbiditas dan mortalitas yang tinggi.18
22

KESIMPULAN

Rhinosinusitis disebabkan oleh semua keadaan yang mengakibatkan


tersumbatnya aliran lendir dari sinus ke rongga hidung. Selain itu, kelainan
anatomi seperti polip dan tumor, pilek / rhinitis karena alergi atau infeksi, benda
asing, pengobatan infeksi akut yang tidak sempurna, dan gangguan daya tahan
tubuh seperti diabetes dan AIDS juga merupakan faktor penyebab rhinosinusitis.
Gejala yang umumnya dialami oleh penderita rhinosinusitis seperti hidung
tersumbat, nyeri pada wajah, demam, lendir berwarna kuning, nyeri kepala, nyeri
gigi, batuk, dan nyeri / berat / tertekan pada telinga.
Untuk penegakan diagnosis rhinosinusitis pada umunya dapat ditegakkan
secara klinis, beberapa pemeriksaan penunjang seperti Transiluminasi, Rontgen
Sinus Paranalis, CT-Scan Sinoscopy, dan Pemeriksaan Mikrobiologi.
Penanganan rinosinusitis tergantung dari jenis, derajat serta lamanya
penyakit pada masing-masing penderita. Terapi medikamentosa merupakan terapi
yang penting karena lebih sederhana,mudah dilaksanakan serta relatif lebih murah
dibandingkan dengan terapi pembedahan.

DAFTAR PUSTAKA

1. Fokkens, Wytske & Lund, Valerie & Hopkins, Claire & Hellings, P.W. &
Kern, R. & Reitsma, Sietze & Toppila-Salmi, Sanna & Bernal-Sprekelsen,
Manuel & Mullol, Joaquim & Alobid, Isam & Anselmo-Lima, W. & Bachert,
Claus & Baroody, F. & Buchwald, C. & Cervin, Anders & Cohen, N. &
Constantinidis, Jannis & Gabory, L. & Desrosiers, Martin & Zwetsloot, C.P..
(2020). European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps 2020.
Rhinology journal. 58. 1-464. 10.4193/Rhin20.600.Goldberg, Charlie. 2008.
Head and Neck Exam. University of California, San Diego.
23

2. Dhingra P, Dingra S. Disease of Ear, Nose and Throat, & Head and Neck
Surgery. 7th ed. India: Elsevier; 2018.

3. Erdoğmuş Küçükcan N, Bafaqeeh SA, Sallavaci S. Microbiology of


Rhinosinusitis and Antimicrobial Resistance. All Around the Nose.
2019;193197.

4. Fokkens W, Lund V, Bachert C, et al. European Position Paper on


Rhinosinusitis and nasal Polyps. Rhinology Suppl. 2005;18.

5. Revai K, Dobbs LA, Nair S, Patel JA, Grady JJ, Chonmaitree T. Incidence of
acute otitis media and sinusitis complicating upper respiratory tract infection:
the effect of age. Pediatrics 2007;119:e1408-12.

6. Ludman HS, Bradley PJ. ABC of Ear, Nose and Throat. 5th ed. Wiley
Blackwell; 120 p.

7. Khandedia MV. Bhardava VH. Sarda A. Evaluation of Paranasal Sinus


Lesions through Plain X-rays and CT-Scan - A Descriptive Study.
International Journal of Contemporary Medicine Surgery and Radiology.
2019;4(1):A9-A14. DOI: http://dx.doi.org/10.21276/ijcmsr.2019.4.1.3

8. Kolo ES. The role of plain radiographs in the diagnosis of chronic maxillary
rhinosinusitis in adults. 2012; 12(4): 459–463. doi: 10.4314/ahs.v12i4.10.

9. Ramanan RV. Sinusitis Imaging. Medscape. Jan 2016. Available from:


https://emedicine.medscape.com/article/384649-overview#a2

10. Ebrahimnejad H. Zarch SHH. Langaroodi AJ. Diagnostic Efficacy of Digital


Waters’ and Caldwell’s Radiographic Views for Evaluation of Sinonasal Area.
2016;13(5):357–364.
Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5250634/

11. Kim HG. Lee KM. Lee JS. Improvement diagnostic accuracy of sinusitis
recognition in paranasal sinus X-ray using multiple deep learning models.
Quantitative Imaging in Medicine and Surgery. 2019; 9(6): 942–951.

12. Rosenfeld RM, Andes D, Bhattacharyya N, et al. Clinical practice guideline:


adult sinusitis. Otolaryngol Head Neck Surg. 2007;137(3 suppl): S1-S31.
24

13. Rosenfeld RM, Singer M, Jones S. Systematic review of antimicrobial therapy


in patients with acute rhinosinusitis. Otolaryngol Head Neck Surg. 2007;137(3
suppl):S32-S45.

14. Falagas ME, Giannopoulou KP, Vardakas KZ, Dimopoulos


G,
Karageorgopoulos DE. Comparison of antibiotics with placebo for treatment
of acute sinusitis: a meta-analysis of randomised controlled trials. Lancet
Infect Dis. 2008;8(9):543-552.

15. Ahovuo-Saloranta A, Borisenko OV, Kovanen N, et al. Antibiotics for acute


maxillary sinusitis. Cochrane Database Syst Rev. 2008;(2):CD000243.

16. Merenstein D, Whittaker C, Chadwell T, Wegner B, D’Amico F. Are


antibiotics beneficial for patients with sinusitis complaints? A randomized
double-blind clinical trial. J Fam Pract. 2005;54(2):144-151.

17. Aring AM, Chan MM. Acute Rhinosinusitis. American Family Physician.
2011;83(1):1057-1063.

18. Bird J, Biggs T, Thomas M, Salib R. Adult acute rhinosinusitis. BMJ


[Internet].
2013 Aug 1 [cited 2020 Oct 3];346(may10 1):f2687–f2687. Available

Anda mungkin juga menyukai