AKUT
LAPORAN KASUS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Dalam Pelaksanaan Program
Dokter Internsip
Oleh:
Win Ichda Alfahlevi
Pembimbing:
dr. Milzam Rafdi Asmara, Sp.THT-KL
Pendamping
dr. Rudy Hartono, M.Ked, Sp.PK
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT karena berkat rahmat dan
hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan laporan kasus yang berjudul
“Tonsilitis Kronik Eksaserbasi Akut”. Shalawat dan salam penulis haturkan
kepada Nabi Muhammad SAW. yang telah membimbing umat manusia dari alam
kegelapan ke alam yang penuh dengan ilmu pengetahuan.
Penyusunan laporan kasus ini disusun sebagai salah satu tugas dalam
menjalani Program Internsip di RSUD dr. Zubir Mahmud Kabupaten Aceh
Timur.
Ucapan terima kasih dan penghargaan penulis sampaikan kepada
pembimbing dr. Milzam Rafdi Asmara, Sp.THT-KL yang telah bersedia
meluangkan waktu membimbing penulis dalam penulisan laporan kasus ini serta
pendamping dr. Rudy Hartono, M.Ked, Sp.PK. Penulis juga mengucapkan terima
kasih kepada para sahabat dan rekan-rekan yang telah memberikan dorongan
moril dan materil sehingga tugas ini dapat selesai.
Akhir kata penulis berharap semoga laporan kasus ini dapat menjadi
sumbangan pemikiran dan memberikan manfaat bagi semua pihak khususnya
bidang kedokteran dan berguna bagi para pembaca dalam mempelajari dan
mengembangkan ilmu. Semoga Allah SWT selalu memberikan rahmat dan
hidayah-Nya kepada kita semua, Amin.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
Halaman
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................... 1
BAB IV PEMBAHASAN............................................................................. 26
BAB V KESIMPULAN.............................................................................. 27
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................... 28
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
dewasa sering mempunyai episode serangan yang lebih sedikit atau lebih ringan,
meskipun lebih didominasi penyakit kronis lain.4
Tonsilitis paling sering terjadi pada anak-anak, tetapi jarang terjadi pada anak
usia < 2 tahun. Tonsilitis juga sangat jarang terjadi pada orang tua usia >40 tahun.
Insidensi terjadinya tonsilitis rekuren di Eropa dilaporkan sekitar 11% dengan
komplikasi tersering adalah abses peritonsilar. Komplikasi ini lebih sering terjadi
pada anak-anak dengan puncaknya pada masa remaja kemudian risikonya menurun
hingga usia tua. Abses peritonsilar lebih sering terjadi pada perempuan dibanding
laki-laki.5
World Health Organization (WHO) tidak mengeluarkan data mengenai
jumlah kasus tonsilitis di dunia, namun WHO memperkirakan 287.000 anak dibawah
15 tahun mengalami tonsilektomi dengan atau tanpa adenoidektomi. Sebanyak
248.000 (86,4%) anak menjalani tonsiloadenoidektomi dan 39.000 (13,6%) anak
menjalani tonsilektomi saja. Berdasarkan data epidemiologi penyakit THT di tujuh
provinsi di Indonesia pada bulan September tahun 2012, prevalensi tonsilitis kronik
tertinggi setelah nasofaringitis akut yaitu sebesar 3,8%, prevalensi tonsilitis kronik
sebesar 3,8% tertinggi kedua setelah nasofaringitis akut (4,6%). Di RSUP Dr.
Wahidin Sudirohusodo Makassar jumlah kunjungan baru dengan tonsillitis kronik
mulai Juni 2008–Mei 2009 sebanyak 63 orang. Apabila dibandingkan dengan jumlah
kunjungan baru pada periode yang sama, maka angka ini merupakan 4,7% dari
seluruh jumlah kunjungan baru. Data rekam medis tahun 2010 di RSUP Dr. M.
Djamil Padang di Bagian THT-KL Subbagian Laring Faring ditemukan insiden
tonsilitis sebanyak 465 dari 1110 kunjungan di Poliklinik RSUP Dr. M. Djamil
Padang Subbagian Laring Faring dan yang menjalani tonsilektomi sebanyak 163
kasus. Tonsilitis kronik banyak terjadi pada anak-anak.6
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3
Seperti kelenjar limfoid cincin Waldeyer lainnya, tonsil palatina berperan
sebagai pelindung dan bertindak sebagai sentinel aliran udara dan saluran makanan.
Kripta di tonsil memperluas area permukaan untuk kontak dengan bahan-bahan asing.
Tonsil membesar saat anak-anak dan berangsur-angsur mengecil saat mendekati
pubertas.9
Tonsil palatina mempunyai dua permukaan yaitu medial dan lateral, serta dua
kutub yaitu atas dan bawah. Permukaan medial tonsil ditutupi oleh non-keratinLZing
stratified squamous epithelium dan terdapat kripta. Pada permukaan lateral tonsil
terdiri dari kapsul fibrosa, diantara kapsul dan tonsilar bed terdapat jaringan ikat
longgar yang membuat menjadi mudah pada saat tonsilektomi. Tonsil mendapat
persarafan sensorik dari ganglion sphenopalatina dan nervus glossopharingeus.9
Tonsil berbentuk oval dengan diameter transversal tonsil sekitar 10-15 mm
dengan diameter vertikal sekitar 20-25 mm, masing-masing tonsil mempunyai 10-30
kriptus yang meluas ke dalam jaringan tonsil (Berkovitz, 2008). Permukaan kripta
ditutupi oleh epitel yang sama dengan epitel permukaan medial tonsil. Secara klinis,
kripta dapat merupakan sumber infeksi, baik lokal maupun umum karena dapat terisi
sisa makanan, epitel yang terlepas dan kuman.8
Gambar 2.1 Anatomi tonsila palatina tampak dari depan (Dhingra, 2010)
4
Tonsil tidak selalu mengisi seluruh fosa tonsilaris, daerah yang kosong
diatasnya dikenal sebagai fosa supratonsilar. Tonsil terletak di lateral orofaring.
Dibatasi oleh:
Lateral – m. konstriktor faring superior
Anterior – m. palatoglosus
Posterior – m. palatofaringeus
Superior – palatum mole
Inferior – tonsil lingual
5
B, FDC sebagian besar terletak dalam dark zone, sedangkan proliferasinya terbanyak
terletak pada light zone.8
● Vaskularisasi
Tonsil mendapat aliran darah dari cabang-cabang A. karotis eksterna, yaitu 1)
A. maksilaris eksterna (A. fasialis) dengan cabangnya A. tonsilaris dan A. palatina
asenden; 2) A. maksilaris interna dengan cabangnya A. palatina desenden; 3) A.
lingualis dengan cabangnya A. lingualis dorsal; 4) A. faringeal asenden. Pembuluh
darah vena pada tonsil mengalir ke vena palatina eksternal yang kemudian ke vena
fasialis.
● Aliran limfatik
Aliran getah bening dari daerah tonsil akan menuju rangkaian getah bening
servikal profunda (deep jugular node) bagian superior di bawah M.
Sternokleidomastoideus, selanjutnya ke kelenjar toraks dan akhirnya menuju duktus
torasikus. Tonsil hanya mempunyai pembuluh getah bening eferan sedangkan
pembuluh getah bening aferen tidak ada.9
6
● Persarafan
Tonsil bagian atas mendapat sensasi dari nervus V (N. Trigeminus) melalui
ganglion sfenopalatina dan bagian bawah dari saraf glosofaringeus.9
2.2 Epidemiologi
World Health Organization (WHO) tidak mengeluarkan data mengenai
jumlah kasus tonsilitis di dunia, namun WHO memperkirakan 287.000 anak dibawah
15 tahun mengalami tonsilektomi dengan atau tanpa adenoidektomi. Sebanyak
248.000 (86,4%) anak menjalani tonsiloadenoidektomi dan 39.000 (13,6%) anak
menjalani tonsilektomi saja. Berdasarkan data epidemiologi penyakit THT di tujuh
provinsi di Indonesia pada bulan September tahun 2012, prevalensi tonsilitis kronik
tertinggi setelah nasofaringitis akut yaitu sebesar 3,8%, prevalensi tonsilitis kronik
sebesar 3,8% tertinggi kedua setelah nasofaringitis akut (4,6%). Di RSUP Dr.
Wahidin Sudirohusodo Makassar jumlah kunjungan baru dengan tonsillitis kronik
mulai Juni 2008–Mei 2009 sebanyak 63 orang. Apabila dibandingkan dengan jumlah
kunjungan baru pada periode yang sama, maka angka ini merupakan 4,7% dari
seluruh jumlah kunjungan baru. Data rekam medis tahun 2010 di RSUP Dr. M.
Djamil Padang di Bagian THT-KL Subbagian Laring Faring ditemukan insiden
tonsilitis sebanyak 465 dari 1110 kunjungan di Poliklinik RSUP Dr. M. Djamil
Padang Subbagian Laring Faring dan yang menjalani tonsilektomi sebanyak 163
kasus. Tonsilitis kronik banyak terjadi pada anak-anak.6
2.3 Etiologi
Tonsilitis sering pada anak-anak, tetapi juga dijumpai pada orang dewasa.
Jarang dijumpai pada bayi dan orang dewasa diatas 50 tahun. Pada tonsilitis yang
berulang, inti tonsil sebagai tempat bakteri bersembunyi, beberapa ada yang bersifat
patogen. Konsentrasi jaringan infeksi bakteri yang tinggi berhubungan dengan
parameter klinis dan hiperplasia tonsil.3,9
7
Bakteri penyebab tonsilitis kronik pada umumnya sama dengan tonsilitis akut,
yang tersering adalah bakteri gram positif . Beberapa penelitian terdahulu
mendapatkan bakteri Streptococcus Beta Hemolitikus Grup A adalah kuman
penyebab tonsilitis kronik yang paling sering, tetapi sekarang ini telah terjadi
pergeseran pola kuman dimana bakteri aerob dan anaerob banyak diteliti sebagai
penyebab tonsilitis kronik. Bakteri anaerob merupakan bagian flora normal di faring
dan dapat menjadi patogen seperti bakteri patogen lainnya. Beberapa bakteri anaerob
dapat ditemukan dalam inti tonsil seperti Bacteroides fragilis, Fusobacterium spp,
Prevotella, Porphyromonas, Fusobacterium dan Actinomyces spp.10
Penelitian Abdulrachman et al. (2008) di Mesir mendapatkan kuman patogen
terbanyak di tonsil adalah stafilokokus aureus, streptokokus beta hemolitikus grup A,
Escherichia Coli dan klebsiella.11 Hammouda et al. (2009) juga mendapatkan kuman
Staphylococcus Aureus terbanyak ditemukan pada tonsil penderita tonsilitis kronik,
diikuti haemophilus influenza, Streptokokus beta hemolitikus grup A, streptococcus
pneumoniae dan Klebsiella pneumoniae .12
Dari hasil penelitian Suyitno & Sadeli (1995) kultur apusan tenggorok di
dapatkan bakteri gram positif sebagai penyebab tersering tonsilofaringitis kronis yaitu
Streptococcus Alfa kemudian diikuti Staphylococcus Aureus, Streptococcus Beta
Hemolitikus Grup A, Staphylococcus Epidermidis dan bakteri gram negatif berupa
enterobacter, pseudomonas aeruginosa, klebsiella dan escherichia coli. 13
2.4 Patofisiologi
Tonsil dan adenoid memegang peranan penting untuk pertahanan tubuh,
imunitas lokal, dan pengawas imunitas melawan invasi antigen dari saluran
pernapasan. Karena tonsil tidak mempunyai saluran limfatik aferen seperti jaringan
limfatik sekunder lainnya, dimana mendapat suplai dari permukaan epitel. Kripta-
kripta tersebut berfungsi meningkatkan area permukaan dan menangkap benda-benda
asing saat menelan dan bernapas. Kripta ini dikelilingi sejumlah agregasi mediator
seluler dari sistem imunitas. Agregasi limfosit B, limfosit T dan bermacam-macam
8
antigen presenting cell (APC) sepert makrofag, sel B, sel dendrit dijumpai dalam
jumlah yang banyak dalam jaringan subepitel dari tonsil.14
Faktor predisposisi timbulnya tonsillitis kronis yaitu adanya rangsangan yang
menahun dari rokok, kebersihan mulut yang buruk, pengaruh cuaca, kelelahan fisik
dan pengobatan tonsilitis akut yang tidak adekuat.15
Karena proses radang berulang yang timbul maka selain epitel mukosa juga
jaringan limfoid terkikis, sehingga pada proses penyembuhan jaringan limfoid diganti
oleh jaringan parut yang akan mengalami pengerutan sehingga kripta melebar. Secara
klinik kripta ini tampak diisi oleh detritus. Proses berjalan terus sehingga menembus
kapsul tonsil dan akhirnya menimbulkan perlekatan dengan jaringan di sekitar fossa
tonsilaris.15
Proses ini biasanya diikuti dengan serangan yang berulang setiap enam
minggu hingga 3-4 bulan. Seringnya serangan merupakan faktor prediposisi
timbulnya tonsilitis kronis yang merupakan infeksi fokal. Tonsil sebagai sumber
infeksi merupakan keadaan patologis akibat inflamasi kronis dan akan menyebabkan
reaksi atau gangguan fungsi organ lain. Hal ini dapat terjadi karena kripta tonsil dapat
menyimpan bakteri atau produknya yang dapat menyebar ke bagian tubuh lainnya.8
Patogenesis dari tonsilitis berulang masih belum diketahui. Pemilihan
antibiotik yang sesuai untuk pasien tonsilitis berulang sulit dilakukan karena
terbatasnya pendataan mikroflora tonsil dan meningkatnya angka kejadian dari
bakteri produksi beta-laktamase di tonsil.8
● Virus
Virus berperan penting sebagai pencetus inflamasi mukosa, obstruksi kripta,
dan ulkus yang menjadi infeksi bakteri. Gejala klinis tonsilofaringitis virus sama
dengan infeksi bakteri, tetapi sering dengan gejala yang lebih ringan, seperti nyeri
tenggorokan, nyeri menelan, nyeri telinga, sakit kepala dan demam. Sering dijumpai
tonsil hiperemis dan membesar dengan atau tanpa eksudat. Virus penyebab sama
dengan infeksi saluran pernapasan atas lainnya : Rhinovirus, Coronavirus,
Adenovirus, Herpes Simpleks, Parainfluenza, Epstein-Barr dan Citomegalovirus.14
● Bakteri
9
Beberapa penelitian mengenai bakteri yang didapat dari bahan post operasi
menunjukkan adanya spesies aerob : streptokokus hemolitikus alpha dan gamma,
haemophilus influenza, Staphylococcus aureus , grup A beta-hemolytic streptococci
(GABA), dan Moraxella catarrhalis. Spesies anaerob termasuk Peptostreptococcus,
Prevotella, and Fusobacterium. Berdasarkan hasil ini dan sebelumnya, disimpulkan
kultur permukaan tonsil memiliki keterbatasan untuk menentukan organisme
penyebab, terutama pada inflamasi kronis. 14
● Hipertrofi
Pada tonsil hipertrofi dijumpai gejala sulit menelan, gangguan tidur,
perubahan suara, dan kelainan pada gigi. Pada anak-anak dapat dijumpai keluhan
subjektif berupa sulit menelan atau sensasi orofaring yang penuh.
Bentuk dari tonsil hipertrofi akut unilateral sering disebabkan oleh infeksi,
tetapi harus didiagnosa banding dengan keganasan. Pembengkakan tiba-tiba dari
cincin Waldeyer harus dicurigai dengan limfoma. 14
2.5 Diagnosis
Diagnosa tonsilitis kronik terutama ditegakkan berdasarkan anamnese dan
pemeriksaan fisik.
Gejala klinis tonsilitis kronik yaitu :
1) Riwayat sakit menelan yang berulang;
2) Rasa tidak enak ditenggorokan;
3) Napas berbau oleh karena adanya pus dalam kripta;
4) Suara sengau dan rasa tercekik saat tidur pada malam hari 9
Pada pemeriksaan klinis dapat dijumpai:
1) Tonsil dapat membesar bervariasi. Kadang-kadang tonsil dapat bertemu di
tengah. Standar untuk pemeriksaan tonsil berdasarkan pemeriksaan fisik
diagnostik diklasifikasikan berdasarkan ratio tonsil terhadap orofaring
(dari medial ke lateral) yang diukur dari pilar anterior kanan dan kiri.
2) Kripta melebar dan beberapa kripta terisi oleh detritus
10
3) Pilar anterior tampak lebih kemerahan dibanding dengan mukosa faring,
merupakan tanda penting untuk menegakkan infeksi kronik pada tonsil
4)Pembesaran kelenjar limfa submandibula.14
Ukuran tonsil palatina diklasifikasikan sesuai dengan protokol yang diusulkan
oleh L. Brodsky. 14
T0 : tidak ada pembesaran tonsil atau atropi dan tanpa obstruksi udara.
T1: tonsil sedikit keluar dimana ukuran tonsil <25% dari diameter orofaring
yang di ukur dari plika anterior kiri dan kanan.
T2 : ukuran tonsil >25% s/d <50% dari diameter orofaring yang di ukur dari
plika anterior kiri dan kanan.
T3: ukuran tonsil >50% s/d <75% dari diameter orofaring yang di ukur dari
plika anterior kiri dan kanan.
T4: ukuran tonsil >75% dari diameter orofaring yang di ukur dari plika
anterior kiri dan kanan.
Pemeriksaan Penunjang:
11
Pada penderita tonsilitis kronis pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan
adalah pemeriksaan mikrobiologi. Efektivitas pengobatan tonsilitis kronis tergantung
pada pengetahuan tentang organisme penyebabnya.
1. Apusan/swab tenggorok.
Apusan tenggorok masih digunakan sebagai pemeriksaan utama untuk
mengkonfirmasi organisme penyebab infeksi di sebagian negara berkembang.
Namun, beberapa penelitian menunjukkan perbedaan flora patogen di permukaan
tonsil dengan di dalam inti tonsil. Kultur yang dilakukan dari hapusan tenggorok
dapat menghasilkan kultur yang positip terhadap streptokokus beta hemolitikus grup
A, tapi hal ini tidak dapat menjadi bukti yang meyakinkan bahwa organisme ini yang
menjadi penyebab. Insiden kultur positif dapat mencapai 40% pada penderita yang
asimptomatik.16
2. Find Needle Aspiration Biopsy (FNAB)
Merupakan teknik yang sangat populer dalam menegakkan diagnosa. Dalam
penelitian-penelitian sebelumnya, menunjukkan korelasi yang sangat erat antara hasil
aspirasi jarum halus dengan inti tonsil yang di diseksi. Gold standard pemeriksaan
tonsil adalah kultur dari inti tonsil yang di diseksi.17
12
Gambar. tonsil membengkak ditutupi pseudomembran yang mudah berdarah
b. Limfoma Tonsil
Limfoma adalah keganasan jaringan limfoid yang ditandai oleh proliferasi sel
limfoid atau prekursorsnya dan merupakan keganasan nonepithelial paling sering
pada kepala dan leher. Lebih dari setengah limfoma ekstranodal di daerah kepala
leher muncul pada cincin waldeyer; dengan urutan kejadian terbanyak di tonsil,
diikuti nasofaring dan dasar lidah. Limfoma tonsil ditandai dengan pembesaran
tonsil atau nyeri tenggorokan.18
13
2.7 Penatalaksanaan
1. Medikamentosa
Pada tonsilitis kronis penggunaan antibiotik yang efektif untuk melawan beta
laktamase yang dihasilkan mikroorganisme (seperti amoksisilin klavulanat atau
klindamisin) selama 3-6 minggu dapat bermanfaat untuk menghindarkan kebutuhan
akan tonsilektomi pada sekitar 15% anak-anak.19
Pemberian penisilin V selama 10 hari tetap merupakan régimen pilihan untuk
pengobatan streptokokus beta hemolitikus grup A. Sefalosporin generasi pertama
merupakan terapi alternatif menggantikan penisilin pada pasien yang alergi penisilin.
Eritromisin juga dapat digunakan pada pasien yang alergi terhadap penisilin.20
Terapi profilaksis dengan antibiotik dapat dipertimbangkan pada pasien yang
tidak dapat menjalani operasi tonsilektomi. Ketika pembesaran tonsil menyebabkan
sumbatan saluran nafas bagian atas, pemberian steroid dapat mengurangi gejala.
Terapi konservatif seperti pemberian antibiotik biasanya tidak berhasil mengobati
tonsilitis kronis. Pengobatan tonsilitis kronis sangat sulit dan biasanya dilakukan
tonsilektomi.8
2. Operatif
14
tonsilektomi sering dilakukan sebagai ukuran kesehatan masyarakat. Seluruh anak-
anak dan keluarga dilakukan operasi pada hari yang sama. Saat komplikasi
tonsilektomi telah dimengerti dengan baik, kebutuhan akan tonsilektomi dilakukan
berdasarkan penelitian dan beberapa dokter anak mempertanyakan apakah
tonsilektomi perlu dilakukan pada semua anak-anak. Perdebatan ini memicu adanya
studi klinis mengenai indikasi tonsilektomi dan efektifitas nya dalam mengurangi
infeksi pada anak-anak.7
A. Absolut
1. Radang tenggorokan yang berulang.
a) Tujuh kali atau lebih serangan dalam satu tahun, atau
b) Lima kali serangan pertahun dalam dua tahun, atau
c) Tiga kali serangan pertahun dalam tiga tahun, atau
15
d) Dua minggu atau lebih tidak masuk sekolah atau bekerja dalam
satu tahun.
2. Abses peritonsil.
3. Tonsilitis menyebabkan kejang demam.
4. Hipertrofi tonsil menyebabkan:
a) Obstruksi jalan nafas
b) Kesulitan untuk menelan
c) Gangguan berbicara
5. Suspek malignasi
B. Relatif
1. Karier Dipteri yang tidak respon terhadap antibiotik.
2. Karier streptokokus yang dapat menjadi fokal infeksi.
3. Tonsilitis kronis dengan halitosis yang tidak respon terhadap
pengobatan medis.
4. Tonsilitis streptokokus Beta Hemolitikus yang berulang pada pasien
dengan kelainan katup jantung
Kontraindikasi Tonsilektomi9 :
16
2. 8 Komplikasi Tonsilitis
Komplikasi tonsillitis dapat dibagi menjadi nonsupuratif dan supuratif.
Komplikasi nonsupuratif termasuk scarlet fever, deman rematik akut, dan
glomerulonephritis poststreptococcal. Komplikasi supuratif yaitu pembentukan abses
termasuk abses peritonsiler dan parafaringeal.23
BAB III
LAPORAN KASUS
17
Nama : an. CH
Umur : 14 Tahun
Jenis Kelamin : Laki-Laki
No. RM : 121227
Alamat : Bangka Rimueng, Peureulak
Tanggal Masuk : 05-11-2021
3.2 Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesa dengan pasien dan alloanamnesa
dengan ibu pasien pada hari Senin, tanggal 15-11-21
Keluhan Utama
Nyeri menelan (+)
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien mengatakan nyeri menelan, nyeri pada tenggorokan (+) dialami sejak 2
minggu sebelum masuk rumah sakit. Nyeri menelan baik saat mengkonsumsi
makanan padat maupun cair. Pasien juga mengaku demam (+) yang di
rasakan sejak 2 minggu, demam hilang timbul., riwayat batuk pilek di
jumpai(+). Ibu pasien mengaku anaknya tidur mendengkur. Nyeri didaerah
wajah dan rasa adanya cairan mengalir di daerah tenggorok di sangkal.
Keluhan pada telinga, mata dan gigi juga di sangkal
18
3.3 Pemeriksaan Fisik
3
3.1
3.2
3.3
Keadaan Umum
Pasien tampak sakit sedang. Saat dilakukan anamnesis, pasien sedang
berbaring di tempat tidur. Pasien cukup kooperatif dan komunikatif dalam
menjawab pertanyaan.
Tanda Vital
Kesadaran : Compos mentis
Tekanan Darah : 116/89 mmHg
Nadi : 78 x/menit, regular, kuat angkat
Frekuensi nafas : 20 x/ menit, SpO2: 99-100% tanpa O2
Suhu : 36,7oC
Berat Badan : 44kg
Status Generalis
Kepala : Normochepali, deformitas (-)
Mata : Konjungtiva palpebra inferior pucat (+/+), sklera ikterik
(-/-), pupil isokor (3 mm/ 3mm), refleks cahaya langsung
(+/+), refleks cahaya tidak langsung (+/+)
Telinga : Tanda radang (-/-), pengeluaran sekret (-/-)
Hidung : Rinorrhea (-/-), deformitas septum nasi (-)
Mulut : Stomatitis (-), leukoplakia (-), atrofil papil lidah (-)
Tonsil :
- T3/T3
- Hiperemis
- Kripta melebar
- Detritus
19
Leher : Tidak teraba pembesaran kelenjar getah bening, tidak
teraba pembesaran kelenjar tiroid, tidak terdapat peningkatan JVP.
Thorax:
Inspeksi Simetris, penggunaan alat bantu napas (-),
barrel chest (-), jejas (-)
Cor :
20
Kiri : ICS V linea aksilaris anterior kiri
Abdomen :
soepel, darm steifung (-), darm contour (-), caput
Inspeksi
medusa (-)
Ekstremitas :
- Ekstremitas Atas
Warna : Sawo matang Jari tabuh : (-)
Edema : (-/-) Tremor : (-)
Sendi : Nyeri (-/-) Deformitas : (-/-)
Suhu raba :N/N Kekuatan : 5/5
Pucat : (-/-) Eritema palmar : (-/-)
- Ekstremitas Bawah
Warna : Sawo matang Jari tabuh : (-)
Edema : (-/-) Tremor : (-)
Sendi : Nyeri (-/-) Deformitas : (-/-)
21
Suhu raba :N/N Kekuatan : 5/5
Pucat : (-/-) Eritema palmar : (-/-)
Laboratorium (5/11/2021)
Pemeriksaan Laboratorium Hasil Nilai Normal
Darah Rutin
Hemoglobin 12,1 gr/dl 12-16 gr/dl
Hematokrit 38 % 37-47 %
Leukosit 14.3x 103 /µL 4.500-11.000/ µL
Eritrosit 1,55 x 106 /µL 3,5-5,0 jt/ µL
Trombosit 267.000 / µL 150.000-450.000/ µL
MCV 88,5 fL 80-100 fL
MCH 28,3 pg 27-34 pg
MCHC 33,5g/dL 32-36 g/dL
RDW 13,7 % 11,0-16,0 %
MPV 7,1fL 6,5-12,0 fL
Monosit 8,3 % 3,0-12,0%
Glukosa Darah Sewaktu 124 mg/dL <200 mg/dL
Masa perdarahan 3’6’’ 1-5’
Masa pembekuan 5’32’’ 2-6’
3.5. Diagnosis
- Tonsilitis Kronik Eksaserbasi Akut
22
- Limfoma Tonsil
3.7. Terapi
- IVFD NaCl 0,9% 20 gtt/i
- Inj. Ceftriaxone 500 mg vial /12 jam (ST)
- Inj. Ranitidin 25 mg amp/8 jam
- Inj. Dexametason 20 mg amp/8 jam
- Inj. Ketorolac amp /8jam
- Pro Tonsilektomi
3.8 Prognosis
- Quo ad vitam : dubia ad bonam
- Quo ad fuctionam : dubia ad bonam
- Quo ad sanactionam : dubia ad bonam
23
Tanggal Pemeriksaan Hasil Pemeriksaan Instruksi
24
HR: 82x/i jam
RR: 20x/i - Inj. Ranitidin 25 mg amp/8 jam
T: 36,3oc - Inj. Dexametason 20 mg amp/8
Ass/ jam
Post Tonsilektomi - Inj. Ketorolac amp/8 jam
- Inj. Kalnex amp /8jam
P/- PBJ
25
BAB IV
PEMBAHASAN
26
BAB V
KESIMPULAN
Tonsil palatine adalah suatu massa jaringan limfoid yang terletak di dalam
fosa tonsil pada kedua sudut orofaring, dan dibatasi oleh pilar anterior (otot
palatoglosus) dan pilar posterior (otot palatofaringeus). Bagian tonsil antara lain :
fosa tonsil, kapsul tonsil, plika triangularis. Tonsil berfungsi sebagai penyaring
organisme yang berbahaya. Bila tonsil sudah tidak dapat menahan infeksi dari bakteri
atau virus tersebut maka akan timbul tonsillitis.
Tonsillitis adalah suatu proses inflamasi atau peradangan pada tonsil yang
disebabkan oleh virus atau bakteri. Tonsillitis kronik adalah peradangan kronis yang
lebih dari 3 bulan, setelah serangan akut yang terjadi berulang-ulang. Pada umumnya
penderita sering mengeluh oleh karena serangan tonsillitis akut yang berulang ulang,
ada nya rasa nyeri yang terus menerus pada tenggorok, nyeri waktu menelan atau
sangkut saat menelan, terasa kering dan pernafasan bau.
Pada pemeriksaan fisik tampak tonsil membesar dengan adanya hipertrofi dan
jaringan parut, permukaan tonsil tidak rata, kriptus melebar, dan dijumpai detritus.
Terapi pada tonsillitis kronik, berupa terapi local, ditujukan pada hyigiene
mulut dengan menggunakan obat kumur. Dapat juga dilakukan tindakan operasi
tonsilektomi sesuai indikasi.
27
DAFTAR PUSTAKA
28
11. Abdulrahman, AS, Kholeif, LA, Yasser, ME, El-Beltagy, YM & Eldesouky,
AA 2004, ‘Bacteriology of tonsil surface and core in children with chronic
tonsillitis and incedence of bacteremia during tonsillectomy’, Egypt Medical
Journal 13(2), pp.1-9.
12. Hammouda, M, Khalek, ZA, Awad, S, AzLZ, MA & Fathy, M 2009,
‘Chronic tonsillitis bacteriology in Egyptian children including antimicrobial
susceptibility’, Australian Journal of Basic and Applied Sciences, 3(3), pp.
1948-53.
13. Suyitno, S & Sadeli, 1995, Uji banding klinik antara ofloksacin dengan
amoksisilin terhadap penderita tonsilitis/tonsilofaringitis kronis eksaserbasi
akut, Kumpulan Naskah Ilmiah KONAS XIV PERHATI, Yogyakarta, pp. 397-
412.
14. Jeyakumar, A., Miller, S., Mitchell, R. 2014. Adenotonsillar Disease in
Children. Lippincott William & Wilkins. Fifth edition, pp. 1430-1442.
15. Rusmarjono & Soepardi, EA 2007, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorok: Faringitis, Tonsilitis, dan Hipertrofi Adenoid, Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, Edisi Keempat, Jakarta, pp. 217-25.
16. Mckerrow, W., 2008. Diseases of the tonsil. In: Scott-Brown’s
Otorhinolaryngology, Head and Neck Surgery Seventh edition. Vol 1. Hodder
Arnold An Hachette UK Company, Britain, p. 1219-25.
17. Kurien, et al., 2003, Fine needle aspiration in chronic tonsillitis: relieble and
valid diagnostic test, The Journal of Laryngology & Otology, vol. 117, pp.
973-5.
18. https://www.scribd.com/document/363036187/Diagnosis-Banding-Tonsilitis
19. Brodsky, L., Poje, C. 2006. Head and Neck Surgery Otolaryngology:
Tonsillitis, Tonsillectomy, and Adenoidectomy. In: Bailey's head and neck
surgery-otolaryngology 4th edition, vol. 2, Lippincott Williams and Wilkins,
Philadelphia, pp.1183-98.
20. Discolo CM, Darrow DH, Koltai PJ. (2003) Infectious indications for
tonsillectomy.Pediatric Clin N Am, 50, p. 445-58.
29
21. Baugh, R. 2011. Clinical practice guideline: tonsillectomy in children,
Otolaryngology-Head and Neck Surgery, 144, pp.1-10.
22. Shirley, W., Woolley, A., Wiatrak, B. Pharyngitis and Adenotonsillar Disease.
In: Cummings Otolaringology Head & Neck Surgery. 5th Ed. Mosby Elsevier.
(196) pp. 2782-2802
23. Chen MM, Roman SA, Sosa JA, Judson BL. Safety of Adult Tonsillectomy:
A Population-Level Analysis of 5968 Patients. JAMA Otolaryngol Head Neck
Surg. 2014 Mar;140(3):197-202
24. Novialdi, A. 2014. Pengaruh Tonsilektomi Terhadap Kadar Interferon-γ dan
Tumor Necrosis Factor-α pada Pasien Tonsilitis Kronis. Bagian Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala dan Leher Fakultas
Kedokteran Universitas Andalas.
30