Anda di halaman 1dari 33

TONSILITIS KRONIK EKSASERBASI

AKUT
LAPORAN KASUS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Dalam Pelaksanaan Program
Dokter Internsip

Oleh:
Win Ichda Alfahlevi

Pembimbing:
dr. Milzam Rafdi Asmara, Sp.THT-KL

Pendamping
dr. Rudy Hartono, M.Ked, Sp.PK

RSUD dr. ZUBIR MAHMUD


KABUPATEN ACEH TIMUR
PROVINSI ACEH
2022
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT karena berkat rahmat dan
hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan laporan kasus yang berjudul
“Tonsilitis Kronik Eksaserbasi Akut”. Shalawat dan salam penulis haturkan
kepada Nabi Muhammad SAW. yang telah membimbing umat manusia dari alam
kegelapan ke alam yang penuh dengan ilmu pengetahuan.
Penyusunan laporan kasus ini disusun sebagai salah satu tugas dalam
menjalani Program Internsip di RSUD dr. Zubir Mahmud Kabupaten Aceh
Timur.
Ucapan terima kasih dan penghargaan penulis sampaikan kepada
pembimbing dr. Milzam Rafdi Asmara, Sp.THT-KL yang telah bersedia
meluangkan waktu membimbing penulis dalam penulisan laporan kasus ini serta
pendamping dr. Rudy Hartono, M.Ked, Sp.PK. Penulis juga mengucapkan terima
kasih kepada para sahabat dan rekan-rekan yang telah memberikan dorongan
moril dan materil sehingga tugas ini dapat selesai.
Akhir kata penulis berharap semoga laporan kasus ini dapat menjadi
sumbangan pemikiran dan memberikan manfaat bagi semua pihak khususnya
bidang kedokteran dan berguna bagi para pembaca dalam mempelajari dan
mengembangkan ilmu. Semoga Allah SWT selalu memberikan rahmat dan
hidayah-Nya kepada kita semua, Amin.

Idi Rayeuk, 29 Desember 2021

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ......................................................................................... i


KATA PENGANTAR........................................................................................ ii
DAFTAR ISI ...................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN.......................................................................... 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Definisi................................................................................. 3
2.2 Epidemiologi ....................................................................... 7
2.3 Etiologi................................................................................. 7
2.4 Patofisiologi.......................................................................... 8
2.5 Diagnosis.............................................................................. 10
2.6 Diagnosa Banding................................................................. 12
2.7 Penatalaksanaan.................................................................... 14
2.8 Komplikasi............................................................................ 17

BAB III LAPORAN KASUS


3.1 Identitas Pasien..................................................................... 17
3.2 Anamnesis ........................................................................... 17
3.3 Pemeriksaan Fisik ................................................................ 18
3.4 Pemeriksaan Penunjang ....................................................... 21
3.5 Diagnosis.............................................................................. 21
3.6 Diagnosa Banding................................................................. 23
3.7 Terapi.................................................................................... 23
3.8 Prognosis ............................................................................. 23

BAB IV PEMBAHASAN............................................................................. 26

BAB V KESIMPULAN.............................................................................. 27

DAFTAR PUSTAKA....................................................................................... 28

iii
BAB I
PENDAHULUAN

Tonsilitis merupakan penyakit yang paling sering terjadi di bagian


otorhinolaringologi baik akut maupun kronis terutama pada anak-anak. Pada tonsilitis
kronis, terjadi pembesaran tonsil disertai dengan serangan infeksi yang berulang.
Pada proses radang tonsil yang berulang, epitel mukosa jaringan limfoid sering
mengalami perlukaan, sehingga pada proses penyembuhannya digantikan oleh
jaringan parut yang mengakibatkan kripta menjadi lebar. Faktor-faktor predisposisi
timbulnya tonsilitis kronis dimana sering disebabkan pengobatan tonsilitis akut yang
tidak adekuat.1
Tonsilitis dapat disebabkan oleh beberapa jenis bakteri dan virus. Baik
tonsilitis akut maupun tonsilitis kronik memiliki penyebab yang hampir sama yaitu
tonsilitis akut lebih sering disebabkan oleh bakteri streptococus β-hemolyticus grup
A, pneumococcus, streptococcus viridans dan streptococcus pyrogenes, sedangkan
tonsilitis kronik kuman penyebabnya sama dengan tonsilitis akut tetapi kadang-
kadang kuman berubah menjadi kuman golongan gram negatif. Infiltrasi bakteri pada
lapisan epitel jaringan tonsil akan menimbulkan reaksi radang berupa keluarnya
leukosit polimorfonuklear bakteri yang mati dan epitel yang terlepas sehingga
terbentuk detritus. Detritus ini merupakan kumpulan leukosit, bakteri yang mati dan
epitel yang terlepas. Secara klinis detrius ini mengisi kriptus tonsil dan tampak
sebagai bercak kekuningan.2
Tonsilitis berulang merupakan proses inflamasi kronik pada tonsil palatina.
Meskipun angka kejadiannya tinggi, etiologi tonsilitis berulang masih belum jelas.
Bagian permukaan dan parenkim dari tonsilitis berulang banyak mengandung bakteri
patogen aerob dan anaerob. Parenkim tonsil ini ditempati banyak bakteri patogen.
Konsentrasi bakteri yang tinggi pada jaringan berhubungan dengan klinis dan
hiperplasia dari tonsil.3
Pasien dengan minimal 3 episode serangan tiap tahun, meskipun terapi medis
adekuat, dapat dipertimbangkan untuk kandidat tonsilektomi, dan terapi pembedahan
dianjurkan untuk pasien dengan empat atau lima episode serangan tiap tahun. Pasien

1
dewasa sering mempunyai episode serangan yang lebih sedikit atau lebih ringan,
meskipun lebih didominasi penyakit kronis lain.4
Tonsilitis paling sering terjadi pada anak-anak, tetapi jarang terjadi pada anak
usia < 2 tahun. Tonsilitis juga sangat jarang terjadi pada orang tua usia >40 tahun.
Insidensi terjadinya tonsilitis rekuren di Eropa dilaporkan sekitar 11% dengan
komplikasi tersering adalah abses peritonsilar. Komplikasi ini lebih sering terjadi
pada anak-anak dengan puncaknya pada masa remaja kemudian risikonya menurun
hingga usia tua. Abses peritonsilar lebih sering terjadi pada perempuan dibanding
laki-laki.5
World Health Organization (WHO) tidak mengeluarkan data mengenai
jumlah kasus tonsilitis di dunia, namun WHO memperkirakan 287.000 anak dibawah
15 tahun mengalami tonsilektomi dengan atau tanpa adenoidektomi. Sebanyak
248.000 (86,4%) anak menjalani tonsiloadenoidektomi dan 39.000 (13,6%) anak
menjalani tonsilektomi saja. Berdasarkan data epidemiologi penyakit THT di tujuh
provinsi di Indonesia pada bulan September tahun 2012, prevalensi tonsilitis kronik
tertinggi setelah nasofaringitis akut yaitu sebesar 3,8%, prevalensi tonsilitis kronik
sebesar 3,8% tertinggi kedua setelah nasofaringitis akut (4,6%). Di RSUP Dr.
Wahidin Sudirohusodo Makassar jumlah kunjungan baru dengan tonsillitis kronik
mulai Juni 2008–Mei 2009 sebanyak 63 orang. Apabila dibandingkan dengan jumlah
kunjungan baru pada periode yang sama, maka angka ini merupakan 4,7% dari
seluruh jumlah kunjungan baru. Data rekam medis tahun 2010 di RSUP Dr. M.
Djamil Padang di Bagian THT-KL Subbagian Laring Faring ditemukan insiden
tonsilitis sebanyak 465 dari 1110 kunjungan di Poliklinik RSUP Dr. M. Djamil
Padang Subbagian Laring Faring dan yang menjalani tonsilektomi sebanyak 163
kasus. Tonsilitis kronik banyak terjadi pada anak-anak.6

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Tonsilitis


Tonsilitis merupakan peradangan pada tonsil palatina yang merupakan bagian
dari cincin Waldeyer. Pada kebanyakan pasien, tonsillitis dan radang tenggorokan
merupakan proses yang sama tetapi banyak organisme lain yang dapat menyebabkan
infeksi pada tonsil. Orofaring dan cincin Waldeyer tonsillar normalnya dikolonisasi
oleh bakteri aerob dan anaerob termasuk Staphylococcus, non- hemolytic
streptococci, Lactobacillus, Bacteroides, dan Actinomyces. Organisme ini, bakteri
patogen, virus, jamur dan parasit dapat menginfeksi jaringan tonsil dan adenoid.7
Tonsilitis berdasarakan onset kejadian dibagi menjadi 2 yaitu akut dan kronik.
Tonsilitis akut apabila waktu munculnya gejala pertama kali kurang dari 14 hari.
Tonsilitis kronis apabila peradangan pada tonsil palatina yang lebih dari 3 bulan.
Peradangan kronis yang terjadi disebabkan kegagalan penetrasi antibiotik yang cukup
ke dalam parenkim tonsil atau terapi antibiotik yang tidak tepat.7
Sedangkan tonsilitis akut rekuren terjadi apabila infeksi dengan gejala akut
terjadi paling sedikit 4-7 kali dalam satu tahun terakhir, atau lima kali dalam dua
tahun terakhir, atau tiga kali dalam tiga tahun terakhir.7

● Anatomi Tonsil Palatina


Tonsil palatina adalah suatu massa jaringan limfoid yang terletak di dalam
fosa tonsil pada kedua sudut orofaring, dan dibatasi oleh pilar anterior (otot
palatoglosus) dan pilar posterior (otot palatofaringeus). Tonsil berada dibagian
anterior-inferior jaringan limfoid cincin Waldeyer. Tonsila palatina lebih padat
dibandingkan jaringan limfoid lain. Permukaan lateralnya ditutupi oleh kapsul tipis
dan di permukaan medialnya terdapat kripta.8

3
Seperti kelenjar limfoid cincin Waldeyer lainnya, tonsil palatina berperan
sebagai pelindung dan bertindak sebagai sentinel aliran udara dan saluran makanan.
Kripta di tonsil memperluas area permukaan untuk kontak dengan bahan-bahan asing.
Tonsil membesar saat anak-anak dan berangsur-angsur mengecil saat mendekati
pubertas.9
Tonsil palatina mempunyai dua permukaan yaitu medial dan lateral, serta dua
kutub yaitu atas dan bawah. Permukaan medial tonsil ditutupi oleh non-keratinLZing
stratified squamous epithelium dan terdapat kripta. Pada permukaan lateral tonsil
terdiri dari kapsul fibrosa, diantara kapsul dan tonsilar bed terdapat jaringan ikat
longgar yang membuat menjadi mudah pada saat tonsilektomi. Tonsil mendapat
persarafan sensorik dari ganglion sphenopalatina dan nervus glossopharingeus.9
Tonsil berbentuk oval dengan diameter transversal tonsil sekitar 10-15 mm
dengan diameter vertikal sekitar 20-25 mm, masing-masing tonsil mempunyai 10-30
kriptus yang meluas ke dalam jaringan tonsil (Berkovitz, 2008). Permukaan kripta
ditutupi oleh epitel yang sama dengan epitel permukaan medial tonsil. Secara klinis,
kripta dapat merupakan sumber infeksi, baik lokal maupun umum karena dapat terisi
sisa makanan, epitel yang terlepas dan kuman.8

Gambar 2.1 Anatomi tonsila palatina tampak dari depan (Dhingra, 2010)

4
Tonsil tidak selalu mengisi seluruh fosa tonsilaris, daerah yang kosong
diatasnya dikenal sebagai fosa supratonsilar. Tonsil terletak di lateral orofaring.
Dibatasi oleh:
 Lateral – m. konstriktor faring superior
 Anterior – m. palatoglosus
 Posterior – m. palatofaringeus
 Superior – palatum mole
 Inferior – tonsil lingual

Tonsil palatina merupakan bagian dari mucosa-Associated Lymphatic Tissue


(MALT), yaitu bagian khusus dari sistem kekebalan tubuh yang berfungsi sebagai
baris pertama pertahanan terhadap faktor lingkungan yang berbahaya termasuk
mikroba patogen. Sehingga tonsil palatina sering terkena infeksi bakteri dan virus
yang menyebabkan peradangan.4
Folikel limfoid primer tampak di tonsil dari minggu ke 16 kehamilan, dan
sentrum germinativum dibentuk segera setelah lahir. Folikel limfoid di tonsil palatina
berbentuk bulat atau elips, terletak di bawah epitel dan diisi dengan intensitas
maturasi dan diferensiasi sel B sebaik aktivasi sel T. Folikel limfoid sekunder berisi
sentrum germinativum, terdiri dari zona gelap, dengan sejumlah besar proliferasi B
blast atau sentroblast, zona terang (bagian basal dan apeks) terisi sebagian besar oleh
sentrosit dan sebuah mantle zone berisi native B cells. Folikel limfoid tonsil berisi
jaringan follicular dendritic cells (FDC) dan sebuah kelas khusus sel dendritik
sentrum germinativum yang mengaktivasi sel T di sentrum germinativum. FDC
mampu menahan sejumlah besar kompleks imun di membran plasma untuk jangka
lama dan dengan cara beraksi sebagai antigen presenting cells yang memberikan
lingkungan yang sesuai untuk proliferasi dan diferensiasi sel B di sentrum
germinativum. Selanjutnya FDC berperan dalam modulasi kerentanan terhadap
apoptosis sel B di folikel limfoid. Secara ultrastruktur teridentifikasi 7 populasi FDC
berbeda namun belum jelas apakah mereka memiliki fungsi yang berbeda. Seperti sel

5
B, FDC sebagian besar terletak dalam dark zone, sedangkan proliferasinya terbanyak
terletak pada light zone.8

● Vaskularisasi
Tonsil mendapat aliran darah dari cabang-cabang A. karotis eksterna, yaitu 1)
A. maksilaris eksterna (A. fasialis) dengan cabangnya A. tonsilaris dan A. palatina
asenden; 2) A. maksilaris interna dengan cabangnya A. palatina desenden; 3) A.
lingualis dengan cabangnya A. lingualis dorsal; 4) A. faringeal asenden. Pembuluh
darah vena pada tonsil mengalir ke vena palatina eksternal yang kemudian ke vena
fasialis.

Gambar 2.2 Aliran pembuluh darah tonsil (Dhingra, 2010)

● Aliran limfatik
Aliran getah bening dari daerah tonsil akan menuju rangkaian getah bening
servikal profunda (deep jugular node) bagian superior di bawah M.
Sternokleidomastoideus, selanjutnya ke kelenjar toraks dan akhirnya menuju duktus
torasikus. Tonsil hanya mempunyai pembuluh getah bening eferan sedangkan
pembuluh getah bening aferen tidak ada.9

6
● Persarafan
Tonsil bagian atas mendapat sensasi dari nervus V (N. Trigeminus) melalui
ganglion sfenopalatina dan bagian bawah dari saraf glosofaringeus.9

2.2 Epidemiologi
World Health Organization (WHO) tidak mengeluarkan data mengenai
jumlah kasus tonsilitis di dunia, namun WHO memperkirakan 287.000 anak dibawah
15 tahun mengalami tonsilektomi dengan atau tanpa adenoidektomi. Sebanyak
248.000 (86,4%) anak menjalani tonsiloadenoidektomi dan 39.000 (13,6%) anak
menjalani tonsilektomi saja. Berdasarkan data epidemiologi penyakit THT di tujuh
provinsi di Indonesia pada bulan September tahun 2012, prevalensi tonsilitis kronik
tertinggi setelah nasofaringitis akut yaitu sebesar 3,8%, prevalensi tonsilitis kronik
sebesar 3,8% tertinggi kedua setelah nasofaringitis akut (4,6%). Di RSUP Dr.
Wahidin Sudirohusodo Makassar jumlah kunjungan baru dengan tonsillitis kronik
mulai Juni 2008–Mei 2009 sebanyak 63 orang. Apabila dibandingkan dengan jumlah
kunjungan baru pada periode yang sama, maka angka ini merupakan 4,7% dari
seluruh jumlah kunjungan baru. Data rekam medis tahun 2010 di RSUP Dr. M.
Djamil Padang di Bagian THT-KL Subbagian Laring Faring ditemukan insiden
tonsilitis sebanyak 465 dari 1110 kunjungan di Poliklinik RSUP Dr. M. Djamil
Padang Subbagian Laring Faring dan yang menjalani tonsilektomi sebanyak 163
kasus. Tonsilitis kronik banyak terjadi pada anak-anak.6

2.3 Etiologi
Tonsilitis sering pada anak-anak, tetapi juga dijumpai pada orang dewasa.
Jarang dijumpai pada bayi dan orang dewasa diatas 50 tahun. Pada tonsilitis yang
berulang, inti tonsil sebagai tempat bakteri bersembunyi, beberapa ada yang bersifat
patogen. Konsentrasi jaringan infeksi bakteri yang tinggi berhubungan dengan
parameter klinis dan hiperplasia tonsil.3,9

7
Bakteri penyebab tonsilitis kronik pada umumnya sama dengan tonsilitis akut,
yang tersering adalah bakteri gram positif . Beberapa penelitian terdahulu
mendapatkan bakteri Streptococcus Beta Hemolitikus Grup A adalah kuman
penyebab tonsilitis kronik yang paling sering, tetapi sekarang ini telah terjadi
pergeseran pola kuman dimana bakteri aerob dan anaerob banyak diteliti sebagai
penyebab tonsilitis kronik. Bakteri anaerob merupakan bagian flora normal di faring
dan dapat menjadi patogen seperti bakteri patogen lainnya. Beberapa bakteri anaerob
dapat ditemukan dalam inti tonsil seperti Bacteroides fragilis, Fusobacterium spp,
Prevotella, Porphyromonas, Fusobacterium dan Actinomyces spp.10
Penelitian Abdulrachman et al. (2008) di Mesir mendapatkan kuman patogen
terbanyak di tonsil adalah stafilokokus aureus, streptokokus beta hemolitikus grup A,
Escherichia Coli dan klebsiella.11 Hammouda et al. (2009) juga mendapatkan kuman
Staphylococcus Aureus terbanyak ditemukan pada tonsil penderita tonsilitis kronik,
diikuti haemophilus influenza, Streptokokus beta hemolitikus grup A, streptococcus
pneumoniae dan Klebsiella pneumoniae .12
Dari hasil penelitian Suyitno & Sadeli (1995) kultur apusan tenggorok di
dapatkan bakteri gram positif sebagai penyebab tersering tonsilofaringitis kronis yaitu
Streptococcus Alfa kemudian diikuti Staphylococcus Aureus, Streptococcus Beta
Hemolitikus Grup A, Staphylococcus Epidermidis dan bakteri gram negatif berupa
enterobacter, pseudomonas aeruginosa, klebsiella dan escherichia coli. 13

2.4 Patofisiologi
Tonsil dan adenoid memegang peranan penting untuk pertahanan tubuh,
imunitas lokal, dan pengawas imunitas melawan invasi antigen dari saluran
pernapasan. Karena tonsil tidak mempunyai saluran limfatik aferen seperti jaringan
limfatik sekunder lainnya, dimana mendapat suplai dari permukaan epitel. Kripta-
kripta tersebut berfungsi meningkatkan area permukaan dan menangkap benda-benda
asing saat menelan dan bernapas. Kripta ini dikelilingi sejumlah agregasi mediator
seluler dari sistem imunitas. Agregasi limfosit B, limfosit T dan bermacam-macam

8
antigen presenting cell (APC) sepert makrofag, sel B, sel dendrit dijumpai dalam
jumlah yang banyak dalam jaringan subepitel dari tonsil.14
Faktor predisposisi timbulnya tonsillitis kronis yaitu adanya rangsangan yang
menahun dari rokok, kebersihan mulut yang buruk, pengaruh cuaca, kelelahan fisik
dan pengobatan tonsilitis akut yang tidak adekuat.15
Karena proses radang berulang yang timbul maka selain epitel mukosa juga
jaringan limfoid terkikis, sehingga pada proses penyembuhan jaringan limfoid diganti
oleh jaringan parut yang akan mengalami pengerutan sehingga kripta melebar. Secara
klinik kripta ini tampak diisi oleh detritus. Proses berjalan terus sehingga menembus
kapsul tonsil dan akhirnya menimbulkan perlekatan dengan jaringan di sekitar fossa
tonsilaris.15
Proses ini biasanya diikuti dengan serangan yang berulang setiap enam
minggu hingga 3-4 bulan. Seringnya serangan merupakan faktor prediposisi
timbulnya tonsilitis kronis yang merupakan infeksi fokal. Tonsil sebagai sumber
infeksi merupakan keadaan patologis akibat inflamasi kronis dan akan menyebabkan
reaksi atau gangguan fungsi organ lain. Hal ini dapat terjadi karena kripta tonsil dapat
menyimpan bakteri atau produknya yang dapat menyebar ke bagian tubuh lainnya.8
Patogenesis dari tonsilitis berulang masih belum diketahui. Pemilihan
antibiotik yang sesuai untuk pasien tonsilitis berulang sulit dilakukan karena
terbatasnya pendataan mikroflora tonsil dan meningkatnya angka kejadian dari
bakteri produksi beta-laktamase di tonsil.8
● Virus
Virus berperan penting sebagai pencetus inflamasi mukosa, obstruksi kripta,
dan ulkus yang menjadi infeksi bakteri. Gejala klinis tonsilofaringitis virus sama
dengan infeksi bakteri, tetapi sering dengan gejala yang lebih ringan, seperti nyeri
tenggorokan, nyeri menelan, nyeri telinga, sakit kepala dan demam. Sering dijumpai
tonsil hiperemis dan membesar dengan atau tanpa eksudat. Virus penyebab sama
dengan infeksi saluran pernapasan atas lainnya : Rhinovirus, Coronavirus,
Adenovirus, Herpes Simpleks, Parainfluenza, Epstein-Barr dan Citomegalovirus.14

● Bakteri

9
Beberapa penelitian mengenai bakteri yang didapat dari bahan post operasi
menunjukkan adanya spesies aerob : streptokokus hemolitikus alpha dan gamma,
haemophilus influenza, Staphylococcus aureus , grup A beta-hemolytic streptococci
(GABA), dan Moraxella catarrhalis. Spesies anaerob termasuk Peptostreptococcus,
Prevotella, and Fusobacterium. Berdasarkan hasil ini dan sebelumnya, disimpulkan
kultur permukaan tonsil memiliki keterbatasan untuk menentukan organisme
penyebab, terutama pada inflamasi kronis. 14
● Hipertrofi
Pada tonsil hipertrofi dijumpai gejala sulit menelan, gangguan tidur,
perubahan suara, dan kelainan pada gigi. Pada anak-anak dapat dijumpai keluhan
subjektif berupa sulit menelan atau sensasi orofaring yang penuh.
Bentuk dari tonsil hipertrofi akut unilateral sering disebabkan oleh infeksi,
tetapi harus didiagnosa banding dengan keganasan. Pembengkakan tiba-tiba dari
cincin Waldeyer harus dicurigai dengan limfoma. 14

2.5 Diagnosis
Diagnosa tonsilitis kronik terutama ditegakkan berdasarkan anamnese dan
pemeriksaan fisik.
Gejala klinis tonsilitis kronik yaitu :
1) Riwayat sakit menelan yang berulang;
2) Rasa tidak enak ditenggorokan;
3) Napas berbau oleh karena adanya pus dalam kripta;
4) Suara sengau dan rasa tercekik saat tidur pada malam hari 9
Pada pemeriksaan klinis dapat dijumpai:
1) Tonsil dapat membesar bervariasi. Kadang-kadang tonsil dapat bertemu di
tengah. Standar untuk pemeriksaan tonsil berdasarkan pemeriksaan fisik
diagnostik diklasifikasikan berdasarkan ratio tonsil terhadap orofaring
(dari medial ke lateral) yang diukur dari pilar anterior kanan dan kiri.
2) Kripta melebar dan beberapa kripta terisi oleh detritus

10
3) Pilar anterior tampak lebih kemerahan dibanding dengan mukosa faring,
merupakan tanda penting untuk menegakkan infeksi kronik pada tonsil
4)Pembesaran kelenjar limfa submandibula.14
Ukuran tonsil palatina diklasifikasikan sesuai dengan protokol yang diusulkan
oleh L. Brodsky. 14
 T0 : tidak ada pembesaran tonsil atau atropi dan tanpa obstruksi udara.
 T1: tonsil sedikit keluar dimana ukuran tonsil <25% dari diameter orofaring
yang di ukur dari plika anterior kiri dan kanan.
 T2 : ukuran tonsil >25% s/d <50% dari diameter orofaring yang di ukur dari
plika anterior kiri dan kanan.
 T3: ukuran tonsil >50% s/d <75% dari diameter orofaring yang di ukur dari
plika anterior kiri dan kanan.
 T4: ukuran tonsil >75% dari diameter orofaring yang di ukur dari plika
anterior kiri dan kanan.

Gambar 2.3 Derajat pembesaran tonsil

Pemeriksaan Penunjang:

11
Pada penderita tonsilitis kronis pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan
adalah pemeriksaan mikrobiologi. Efektivitas pengobatan tonsilitis kronis tergantung
pada pengetahuan tentang organisme penyebabnya.

1. Apusan/swab tenggorok.
Apusan tenggorok masih digunakan sebagai pemeriksaan utama untuk
mengkonfirmasi organisme penyebab infeksi di sebagian negara berkembang.
Namun, beberapa penelitian menunjukkan perbedaan flora patogen di permukaan
tonsil dengan di dalam inti tonsil. Kultur yang dilakukan dari hapusan tenggorok
dapat menghasilkan kultur yang positip terhadap streptokokus beta hemolitikus grup
A, tapi hal ini tidak dapat menjadi bukti yang meyakinkan bahwa organisme ini yang
menjadi penyebab. Insiden kultur positif dapat mencapai 40% pada penderita yang
asimptomatik.16
2. Find Needle Aspiration Biopsy (FNAB)
Merupakan teknik yang sangat populer dalam menegakkan diagnosa. Dalam
penelitian-penelitian sebelumnya, menunjukkan korelasi yang sangat erat antara hasil
aspirasi jarum halus dengan inti tonsil yang di diseksi. Gold standard pemeriksaan
tonsil adalah kultur dari inti tonsil yang di diseksi.17

2.6 Diagnosa Banding


a. Difteri Tonsil Faring
Difteri tonsil faring adalah radang akut pada tonsil sampai mukosa faring yang
disebabkan kuman corynebacterium diphtheriae. Mudah menular dan yang
diserang terutama traktus respiratorius bagian ats dengan tanda khas terbentuknya
pseudomembran dan dilepaskannya eksotoksin yang dapat menimbulkan
eksotoksin yang dapat menimbulkan gejala umum dan lokal.18

12
Gambar. tonsil membengkak ditutupi pseudomembran yang mudah berdarah

b. Limfoma Tonsil
Limfoma adalah keganasan jaringan limfoid yang ditandai oleh proliferasi sel
limfoid atau prekursorsnya dan merupakan keganasan nonepithelial paling sering
pada kepala dan leher. Lebih dari setengah limfoma ekstranodal di daerah kepala
leher muncul pada cincin waldeyer; dengan urutan kejadian terbanyak di tonsil,
diikuti nasofaring dan dasar lidah. Limfoma tonsil ditandai dengan pembesaran
tonsil atau nyeri tenggorokan.18

13
2.7 Penatalaksanaan
1. Medikamentosa
Pada tonsilitis kronis penggunaan antibiotik yang efektif untuk melawan beta
laktamase yang dihasilkan mikroorganisme (seperti amoksisilin klavulanat atau
klindamisin) selama 3-6 minggu dapat bermanfaat untuk menghindarkan kebutuhan
akan tonsilektomi pada sekitar 15% anak-anak.19
Pemberian penisilin V selama 10 hari tetap merupakan régimen pilihan untuk
pengobatan streptokokus beta hemolitikus grup A. Sefalosporin generasi pertama
merupakan terapi alternatif menggantikan penisilin pada pasien yang alergi penisilin.
Eritromisin juga dapat digunakan pada pasien yang alergi terhadap penisilin.20
Terapi profilaksis dengan antibiotik dapat dipertimbangkan pada pasien yang
tidak dapat menjalani operasi tonsilektomi. Ketika pembesaran tonsil menyebabkan
sumbatan saluran nafas bagian atas, pemberian steroid dapat mengurangi gejala.
Terapi konservatif seperti pemberian antibiotik biasanya tidak berhasil mengobati
tonsilitis kronis. Pengobatan tonsilitis kronis sangat sulit dan biasanya dilakukan
tonsilektomi.8
2. Operatif

Tonsilektomi didefenisikan sebagai tindakan bedah yang dilakukan untuk


mengangkat tonsil termasuk kapsul, yaitu dengan membedah ruang peritonsil antara
kapsul tonsil dengan dinding otot. Tonsilektomi merupakan salah satu tindakan bedah
yang paling umum dilakukan di Amerika Serikat, dengan lebih dari 530.000 tindakan
yang dilakukan setiap tahunnya pada anak-anak dibawah usia 15 tahun.21
Banyak teknik operasi tonsilektomi yang telah dilaporkan, yaitu diseksi
tumpul dan jerat, elektrokauter monopolar, elektrokauter bipolar, dan laser CO2 atau
KTP Diseksi dengan elektrokauter telah menjadi teknik yang populer dan umum
dilakukan. Teknik operasi lain seperti Coblator, Microdebrider, The ultrasonic
Harmonic Scalpel, elektrokauter bipolar juga dilakukan.22
Pada beberapa tahun sebelumnya, karena komplikasi yang diakibatkan infeksi
streptococcal sering terjadi dan komplikasi tonsilektomi belum terlalu diketahui,

14
tonsilektomi sering dilakukan sebagai ukuran kesehatan masyarakat. Seluruh anak-
anak dan keluarga dilakukan operasi pada hari yang sama. Saat komplikasi
tonsilektomi telah dimengerti dengan baik, kebutuhan akan tonsilektomi dilakukan
berdasarkan penelitian dan beberapa dokter anak mempertanyakan apakah
tonsilektomi perlu dilakukan pada semua anak-anak. Perdebatan ini memicu adanya
studi klinis mengenai indikasi tonsilektomi dan efektifitas nya dalam mengurangi
infeksi pada anak-anak.7

Indikasi tonsilektomi menurut The American Academy of Otolaryngology-Head


and Neck Surgery (1995) yaitu:
1) Serangan tonsilitis lebih dari tiga kali per tahun serangan akut walaupun
telah mendapatkan terapi yang adekuat
2) Tonsil hipertrofi yang menimbulkan maloklusi gigi dan menyebabkan
gangguan pertumbuhan orofasial
3) Sumbatan jalan napas yang berupa hipertrofi tonsil dengan sumbatan jalan
napas, sleep apnea, gangguan menelan, gangguan berbicara dan cor
pulmonale
4) Rinitis dan sinusitis yang kronis, abses peritonsil yang tidak berhasil hilang
dengan pengobatan
5) Napas berbau yang tidak berhasil dengan pengobatan
6)Tonsilitis berulang yang disebabkan oleh bakteri grup A streptokokus beta
hemolitikus
7) Hipertrofi tonsil yang dicurigai adanya keganasan
8) Otitis media efusa/otitis media supuratif.15

Indikasi tonsilektomi yang lain adalah:9

A. Absolut
1. Radang tenggorokan yang berulang.
a) Tujuh kali atau lebih serangan dalam satu tahun, atau
b) Lima kali serangan pertahun dalam dua tahun, atau
c) Tiga kali serangan pertahun dalam tiga tahun, atau

15
d) Dua minggu atau lebih tidak masuk sekolah atau bekerja dalam
satu tahun.
2. Abses peritonsil.
3. Tonsilitis menyebabkan kejang demam.
4. Hipertrofi tonsil menyebabkan:
a) Obstruksi jalan nafas
b) Kesulitan untuk menelan
c) Gangguan berbicara
5. Suspek malignasi

B. Relatif
1. Karier Dipteri yang tidak respon terhadap antibiotik.
2. Karier streptokokus yang dapat menjadi fokal infeksi.
3. Tonsilitis kronis dengan halitosis yang tidak respon terhadap
pengobatan medis.
4. Tonsilitis streptokokus Beta Hemolitikus yang berulang pada pasien
dengan kelainan katup jantung

Kontraindikasi Tonsilektomi9 :

1. Hemoglobin < 10 gr%.


2. Adanya infeksi akut pada saluran pernafasan atas.
3. Anak dibawah usia tiga tahun.
4. Overt atau submucous Cleft palate.

16
2. 8 Komplikasi Tonsilitis
Komplikasi tonsillitis dapat dibagi menjadi nonsupuratif dan supuratif.
Komplikasi nonsupuratif termasuk scarlet fever, deman rematik akut, dan
glomerulonephritis poststreptococcal. Komplikasi supuratif yaitu pembentukan abses
termasuk abses peritonsiler dan parafaringeal.23

Tingkat kematian akibat tindakan tonsilektomi pada dewasa sebesar 0,03%


serta komplikasi setelah operasi dan kemungkinan operasi ulang masing-masing
sebesar 1,2% dan 3,2%. Terdapat dua hal yang paling sering menyebabkan kematian
pada operasi tonsilektomi, antara lain 1/3 kejadian disebabkan oksigenasi yang tidak
adekuat selama prosedur pembedahan menyebabkan henti jantung serta pendarahan
yang terjadi baik secara langsung atau tidak langsung. 23

BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien

17
Nama : an. CH
Umur : 14 Tahun
Jenis Kelamin : Laki-Laki
No. RM : 121227
Alamat : Bangka Rimueng, Peureulak
Tanggal Masuk : 05-11-2021

3.2 Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesa dengan pasien dan alloanamnesa
dengan ibu pasien pada hari Senin, tanggal 15-11-21
 Keluhan Utama
Nyeri menelan (+)
 Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien mengatakan nyeri menelan, nyeri pada tenggorokan (+) dialami sejak 2
minggu sebelum masuk rumah sakit. Nyeri menelan baik saat mengkonsumsi
makanan padat maupun cair. Pasien juga mengaku demam (+) yang di
rasakan sejak 2 minggu, demam hilang timbul., riwayat batuk pilek di
jumpai(+). Ibu pasien mengaku anaknya tidur mendengkur. Nyeri didaerah
wajah dan rasa adanya cairan mengalir di daerah tenggorok di sangkal.
Keluhan pada telinga, mata dan gigi juga di sangkal

 Riwayat Penyakit Dahulu:


Os mengaku mengeluhkan penyakit yang sama 1 tahun yang lalu
dan berulang 6 bulan lalu.
 Riwayat Penggunaan Obat:
Disangkal

 Riwayat Penyakit Keluarga:


Tidak ada keluarga pasien yang memiliki keluhan yang sama.

18
3.3 Pemeriksaan Fisik
3
3.1
3.2
3.3
Keadaan Umum
Pasien tampak sakit sedang. Saat dilakukan anamnesis, pasien sedang
berbaring di tempat tidur. Pasien cukup kooperatif dan komunikatif dalam
menjawab pertanyaan.

Tanda Vital
Kesadaran : Compos mentis
Tekanan Darah : 116/89 mmHg
Nadi : 78 x/menit, regular, kuat angkat
Frekuensi nafas : 20 x/ menit, SpO2: 99-100% tanpa O2
Suhu : 36,7oC
Berat Badan : 44kg

Status Generalis
Kepala : Normochepali, deformitas (-)
Mata : Konjungtiva palpebra inferior pucat (+/+), sklera ikterik
(-/-), pupil isokor (3 mm/ 3mm), refleks cahaya langsung
(+/+), refleks cahaya tidak langsung (+/+)
Telinga : Tanda radang (-/-), pengeluaran sekret (-/-)
Hidung : Rinorrhea (-/-), deformitas septum nasi (-)
Mulut : Stomatitis (-), leukoplakia (-), atrofil papil lidah (-)

Tonsil :
- T3/T3
- Hiperemis
- Kripta melebar
- Detritus

19
Leher : Tidak teraba pembesaran kelenjar getah bening, tidak
teraba pembesaran kelenjar tiroid, tidak terdapat peningkatan JVP.

Thorax:
Inspeksi Simetris, penggunaan alat bantu napas (-),
barrel chest (-), jejas (-)

Palpasi Stem fremitus kanan = Stem fremitus kiri


Nyeri tekan (-/-)

Perkusi Sonor (+/+)

Auskultasi Vesikuler (+/+), wheezing (-/-)


Ronkhi(-/-)

Cor :

Inspeksi Ictus cordis tidak terlihat

Ictus cordis teraba di ICS V linea


Palpasi
midklavikularis sinistra

Perkusi Batas-batas jantung :


Atas : ICS II linea midklavikula kiri
Kanan : ICS IV linea parasternalis kanan

20
Kiri : ICS V linea aksilaris anterior kiri

BJ I > BJ II, reguler, tidak ada bising atau


Auskultasi
gallop S3

Abdomen :
soepel, darm steifung (-), darm contour (-), caput
Inspeksi
medusa (-)

Nyeri tekan at region epigastrium (-), soepel(+),


Palpasi
organomegali (-)

Perkusi Shifting dullness (-)

Auskultasi Peristaltik usus (N) 2-3 kali/menit

Ekstremitas :
- Ekstremitas Atas
Warna : Sawo matang Jari tabuh : (-)
Edema : (-/-) Tremor : (-)
Sendi : Nyeri (-/-) Deformitas : (-/-)
Suhu raba :N/N Kekuatan : 5/5
Pucat : (-/-) Eritema palmar : (-/-)

- Ekstremitas Bawah
Warna : Sawo matang Jari tabuh : (-)
Edema : (-/-) Tremor : (-)
Sendi : Nyeri (-/-) Deformitas : (-/-)

21
Suhu raba :N/N Kekuatan : 5/5
Pucat : (-/-) Eritema palmar : (-/-)

3.4 Pemeriksaan Penunjang

Laboratorium (5/11/2021)
Pemeriksaan Laboratorium Hasil Nilai Normal

Darah Rutin
Hemoglobin 12,1 gr/dl 12-16 gr/dl
Hematokrit 38 % 37-47 %
Leukosit 14.3x 103 /µL 4.500-11.000/ µL
Eritrosit 1,55 x 106 /µL 3,5-5,0 jt/ µL
Trombosit 267.000 / µL 150.000-450.000/ µL
MCV 88,5 fL 80-100 fL
MCH 28,3 pg 27-34 pg
MCHC 33,5g/dL 32-36 g/dL
RDW 13,7 % 11,0-16,0 %
MPV 7,1fL 6,5-12,0 fL
Monosit 8,3 % 3,0-12,0%
Glukosa Darah Sewaktu 124 mg/dL <200 mg/dL
Masa perdarahan 3’6’’ 1-5’
Masa pembekuan 5’32’’ 2-6’

3.5. Diagnosis
- Tonsilitis Kronik Eksaserbasi Akut

3.6. Diagnosis Banding


- Difteri Tonsil Faring

22
- Limfoma Tonsil
3.7. Terapi
- IVFD NaCl 0,9% 20 gtt/i
- Inj. Ceftriaxone 500 mg vial /12 jam (ST)
- Inj. Ranitidin 25 mg amp/8 jam
- Inj. Dexametason 20 mg amp/8 jam
- Inj. Ketorolac amp /8jam
- Pro Tonsilektomi
3.8 Prognosis
- Quo ad vitam : dubia ad bonam
- Quo ad fuctionam : dubia ad bonam
- Quo ad sanactionam : dubia ad bonam

23
Tanggal Pemeriksaan Hasil Pemeriksaan Instruksi

Senin, 15 November 2021 S/ nyeri menelan Th/


O/ KU : sedang - IVFD RL 20 gtt/i (micro)
TD: - - Inj. Ceftriaxone 500 mg vial /12
HR: 80x/i jam (ST)
RR: 22x/i - Inj. Ranitidin 25 mg amp/8 jam
T: 36,5oc - Inj. Dexametason 20 mg amp/8
Ass/ jam
- Tonsilitis Kronik Eksaserbasi - Inj. Ketorolac amp/8 jam
Akut P/ Pro Tonsilektomi

dr. Milzam Sp.THT-KL


Selasa, 16 November 2021 S/ nyeri pasca operasi Th/
O/ KU : sedang - IVFD RL 20 gtt/i (micro)
TD: - - Inj. Ceftriaxone 500 mg vial /12
HR: 82x/i jam
RR: 20x/i - Inj. Ranitidin 25 mg amp/8 jam
T: 36,4oc - Inj. Dexametason 20 mg amp/8
Ass/ jam
Post Tonsilektomi - Inj. Ketorolac amp/8 jam
- Inj. Kalnex amp /8jam
P/-

dr. Milzam Sp.THT-KL

Rabu, 17 November 2021 S/ nyeri pasca operasi Th/


O/ KU : sedang - IVFD RL 20 gtt/i (micro)
TD: - - Inj. Ceftriaxone 500 mg vial /12

24
HR: 82x/i jam
RR: 20x/i - Inj. Ranitidin 25 mg amp/8 jam
T: 36,3oc - Inj. Dexametason 20 mg amp/8
Ass/ jam
Post Tonsilektomi - Inj. Ketorolac amp/8 jam
- Inj. Kalnex amp /8jam

P/- PBJ

dr. Milzam Sp.THT-KL

25
BAB IV
PEMBAHASAN

Pada kebanyakan pasien, tonsillitis dan radang tenggorokan merupakan


proses yang sama tetapi banyak organisme lain yang dapat menyebabkan infeksi pada
tonsil. Orofaring dan cincin Waldeyer tonsillar normal nya dikolonisasi oleh bakteri
aerob dan anaerob termasuk Staphylococcus, non- hemolytic streptococci,
Lactobacillus, Bacteroides, dan Actinomyces. Organisme ini, bakteri patogen, virus,
jamur dan parasit dapat menginfeksi jaringan tonsil dan adenoid.7
Tonsilitis dikatakan akut apabila waktu munculnya gejala pertama kali kurang
dari 14 hari. Tonsilitis kronis apabila keluhan telah ada lebih dari 3 bulan. Sedangkan
tonsilitis akut rekuren terjadi apabila infeksi dengan gejala akut terjadi paling sedikit
4-7 kali dalam satu tahun terakhir, atau lima kali dalam dua tahun terakhir, atau tiga
kali dalam tiga tahun terakhir.24
Pada pasien ini di jumpai demam yang di rasakan sejak 2 minggu, demam
hilang timbul. Nyeri saat menelan di jumpai, riwayat batuk pilek di jumpai. Tonsilitis
sering pada anak-anak, tetapi juga dijumpai pada orang dewasa. Jarang dijumpai
infan dan orang dewasa diatas 50 tahun. Pada pasien ini di jumpai usia anak tersebut
14 tahun. Pada tonsilitis yang berulang, inti tonsil sebagai tempat bakteri
bersembunyi, beberapa ada yang bersifat patogen. Konsentrasi jaringan infeksi
bakteri yang tinggi berhubungan dengan parameter klinis dan hiperplasia tonsil.3
Tonsilektomi didefinisikan sebagai tindakan bedah yang dilakukan untuk
mengangkat tonsil termasuk kapsul, yaitu dengan membedah ruang peritonsil antara
kapsul tonsil dengan dinding otot. Tonsilektomi merupakan salah satu tindakan bedah
yang paling umum dilakukan di Amerika Serikat, dengan lebih dari 530.000 tindakan
yang dilakukan setiap tahunnya pada anak-anak dibawah usia 15 tahun.21 Pada pasien
ini di rencanakan operasi tonsilektomi dengan diseksi.

26
BAB V
KESIMPULAN

Tonsil palatine adalah suatu massa jaringan limfoid yang terletak di dalam
fosa tonsil pada kedua sudut orofaring, dan dibatasi oleh pilar anterior (otot
palatoglosus) dan pilar posterior (otot palatofaringeus). Bagian tonsil antara lain :
fosa tonsil, kapsul tonsil, plika triangularis. Tonsil berfungsi sebagai penyaring
organisme yang berbahaya. Bila tonsil sudah tidak dapat menahan infeksi dari bakteri
atau virus tersebut maka akan timbul tonsillitis.
Tonsillitis adalah suatu proses inflamasi atau peradangan pada tonsil yang
disebabkan oleh virus atau bakteri. Tonsillitis kronik adalah peradangan kronis yang
lebih dari 3 bulan, setelah serangan akut yang terjadi berulang-ulang. Pada umumnya
penderita sering mengeluh oleh karena serangan tonsillitis akut yang berulang ulang,
ada nya rasa nyeri yang terus menerus pada tenggorok, nyeri waktu menelan atau
sangkut saat menelan, terasa kering dan pernafasan bau.
Pada pemeriksaan fisik tampak tonsil membesar dengan adanya hipertrofi dan
jaringan parut, permukaan tonsil tidak rata, kriptus melebar, dan dijumpai detritus.
Terapi pada tonsillitis kronik, berupa terapi local, ditujukan pada hyigiene
mulut dengan menggunakan obat kumur. Dapat juga dilakukan tindakan operasi
tonsilektomi sesuai indikasi.

27
DAFTAR PUSTAKA

1. Jeong, J. et al. 2007. Bacteriologic Comparison of Tonsil Core in Recurrent


Tonsillitis and Tonsillar Hypertrophy. The Laryngoscope Lippincott Williams
& Wilkins. pp 2146-51.
2. Nizar, M., Qamariah, N., Muthmainah, N. 2016. Identifikasi Bakteri
Penyebab Tonsilitis Kronik pada Pasien Anak di Bagian THT RSUD Ulin
Banjarmasin, Berkala Kedokteran, Vol. 12, No.2, Sep 2016: 197-204.
3. Al-Roosan, M., Al-Khotum, N., Al-Said,H., 2008. Correlation between
surface apusan culture and tonsillar core culture in patients with recurrent
tonsillitis. Khartoum Medical Journal Vol. 01, No. 03, pp.122.
4. Kasenomm P. et al., 2005. Selection of indicators for tonsillectomy in adults
with recurrent tonsillitis. BMC Ear, Nose and Throat Disorders, 5;7.
5. Shah U. Tonsillitis and Peritonsillar Abscess. 2018. https://emedicine.
medscape.com/article/871977-overview#a5

6. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementrian RI. Riset


Kesehatan Dasar. 2013.
http://www.depkes.go.id/resources/download/general/Hasil%20Riskesdas
%202013.pdf
7. Shnayder, Y., Lee, K., Bernstein, J. 2008. Management of Adenotonsillar
Disease. In: Current Diagnosis & Treatment 2nd Ed. New York: The McGraw-
Hill Companies. 20 : pp. 340-347.
8. Amaruddin, T., Christanto, A. 2007. Kajian manfaat tonsilektomi. Dalam:
Cermin Dunia Kedokteran, vol. 34, no. 2/155, pp. 61-8.
9. Dhingra, PL 2010, Diseases of Ear, Nose and Throat: Acute and chronic
tonsillitis, 4th ed, Elsevier, pp. 239-42.
10. Brook, et al., 2005, The role of anaerobic bacteria in tonsillitis, International
Journal of Pediatric Otorhinolaryngology, 69(1), pp.1-8.

28
11. Abdulrahman, AS, Kholeif, LA, Yasser, ME, El-Beltagy, YM & Eldesouky,
AA 2004, ‘Bacteriology of tonsil surface and core in children with chronic
tonsillitis and incedence of bacteremia during tonsillectomy’, Egypt Medical
Journal 13(2), pp.1-9.
12. Hammouda, M, Khalek, ZA, Awad, S, AzLZ, MA & Fathy, M 2009,
‘Chronic tonsillitis bacteriology in Egyptian children including antimicrobial
susceptibility’, Australian Journal of Basic and Applied Sciences, 3(3), pp.
1948-53.
13. Suyitno, S & Sadeli, 1995, Uji banding klinik antara ofloksacin dengan
amoksisilin terhadap penderita tonsilitis/tonsilofaringitis kronis eksaserbasi
akut, Kumpulan Naskah Ilmiah KONAS XIV PERHATI, Yogyakarta, pp. 397-
412.
14. Jeyakumar, A., Miller, S., Mitchell, R. 2014. Adenotonsillar Disease in
Children. Lippincott William & Wilkins. Fifth edition, pp. 1430-1442.
15. Rusmarjono & Soepardi, EA 2007, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorok: Faringitis, Tonsilitis, dan Hipertrofi Adenoid, Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, Edisi Keempat, Jakarta, pp. 217-25.
16. Mckerrow, W., 2008. Diseases of the tonsil. In: Scott-Brown’s
Otorhinolaryngology, Head and Neck Surgery Seventh edition. Vol 1. Hodder
Arnold An Hachette UK Company, Britain, p. 1219-25.
17. Kurien, et al., 2003, Fine needle aspiration in chronic tonsillitis: relieble and
valid diagnostic test, The Journal of Laryngology & Otology, vol. 117, pp.
973-5.
18. https://www.scribd.com/document/363036187/Diagnosis-Banding-Tonsilitis
19. Brodsky, L., Poje, C. 2006. Head and Neck Surgery Otolaryngology:
Tonsillitis, Tonsillectomy, and Adenoidectomy. In: Bailey's head and neck
surgery-otolaryngology 4th edition, vol. 2, Lippincott Williams and Wilkins,
Philadelphia, pp.1183-98.
20. Discolo CM, Darrow DH, Koltai PJ. (2003) Infectious indications for
tonsillectomy.Pediatric Clin N Am, 50, p. 445-58.

29
21. Baugh, R. 2011. Clinical practice guideline: tonsillectomy in children,
Otolaryngology-Head and Neck Surgery, 144, pp.1-10.
22. Shirley, W., Woolley, A., Wiatrak, B. Pharyngitis and Adenotonsillar Disease.
In: Cummings Otolaringology Head & Neck Surgery. 5th Ed. Mosby Elsevier.
(196) pp. 2782-2802
23. Chen MM, Roman SA, Sosa JA, Judson BL. Safety of Adult Tonsillectomy:
A Population-Level Analysis of 5968 Patients. JAMA Otolaryngol Head Neck
Surg. 2014 Mar;140(3):197-202
24. Novialdi, A. 2014. Pengaruh Tonsilektomi Terhadap Kadar Interferon-γ dan
Tumor Necrosis Factor-α pada Pasien Tonsilitis Kronis. Bagian Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala dan Leher Fakultas
Kedokteran Universitas Andalas.

30

Anda mungkin juga menyukai