ADENOIDTONSILITIS KRONIK
Oleh :
Pembimbing :
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas limpahan rahmat dan
karunia-NYA kami dapat menyelesaikan makalah Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Telinga,
Hidung, Tenggorok - Bedah Kepala Leher ini dengan judul “Adenoidtonsilitis Kronik”.
Penulis ingin menyampaikan terima kasih yang tak terhingga kepada:
1. dr. Hari Purnomo, Sp.THT-KL sebagai Ka. KSM Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung,
Tenggorok - Bedah Kepala Leher dan pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan
arahan dalam menyelesaikan makalah ini.
2. dr. Endang Puspitowati, Sp.THT-KL sebagai pembimbing selama kepaniteraan klinik
Telinga, Hidung, Tenggorok dan Bedah Kepala Leher di RSUD Sidoarjo.
3. dr. Kartiko Husodo Odi, Sp.THT-KL sebagai pembimbing selama kepaniteraan klinik
Telinga, Hidung, Tenggorok dan Bedah Kepala Leher di RSUD Sidoarjo.
3. Perawat dan staf Poli Telinga, Hidung, Tenggorok dan Bedah Kepala Leher RSUD Sidoarjo.
Jika dalam penulisan makalah ini terdapat kesalahan atau kata yang kurang berkenan di
hati para pembaca kami mohon maaf sebesar-besarnya.
Kritik dan saran yang mendukung dari pembaca juga sangat dibutuhkan guna penulisan
makalah yang lebih baik dimasa yang akan datang. Demikian, semoga makalah ini bermanfaat
bagi pembacanya.
Penulis
2
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ......................................................................................... 2
DAFTAR ISI ....................................................................................................... 3
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... 5
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................... 6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................... 8
2.1 Anatomi Adenoid .................................................................................... 8
2.2 Fisiologi ................................................................................................... 11
2.3 Hipertrofi Adenoid .................................................................................. 12
2.3.1 Definisi ........................................................................................ 12
2.3.2 Etiologi ........................................................................................ 12
2.3.3 Gejala Klinis ................................................................................ 12
2.3.4 Diagnosa ...................................................................................... 13
2.3.5 Penatalaksanaan ........................................................................... 15
2.3.6 Komplikasi Adenoidektomi......................................................... 18
2.3.7 Prognosis ..................................................................................... 18
2.4 Anatomi Tonsil ........................................................................................ 18
2.5 Fisiologi Tonsil ........................................................................................ 20
2.5.1 Vaskularisasi ................................................................................ 20
2.5.2 Inervasi ........................................................................................ 21
2.5.3 Imunologi .................................................................................... 21
2.5.4 Fungsi Tonsil ............................................................................... 22
2.6 Tonsilitis Kronik ...................................................................................... 22
2.6.1 Definisi ........................................................................................ 22
2.6.2 Etiologi ........................................................................................ 22
2.6.3 Patofisiologi ................................................................................. 23
2.6.4 Manifestasi Klinis ........................................................................ 23
2.6.5 Pemeriksaan Fisik ........................................................................ 24
2.6.6 Diagnosis ..................................................................................... 25
3
2.6.7 Diagnosis Banding....................................................................... 27
2.6.8 Penatalaksanaan ........................................................................... 28
2.6.9 Komplikasi .................................................................................. 32
4
DAFTAR GAMBAR
5
BAB I
PENDAHULUAN
Tonsilitis adalah peradangan tonsil palatina yang merupakan bagian dari cincin Waldeyer.
Cincin Waldeyer terdiri atas susunan kelenjar limfa yang terdapat di dalam rongga mulut yaitu:
tonsil laringeal (adenoid), tonsil palatina (tonsil faucial), tonsila lingual (tonsila pangkal lidah),
tonsil tuba Eustachius (lateral band dinding faring/ Gerlach’s tonsil). Peradangan pada tonsila
palatine biasanya meluas ke adenoid dan tonsil lingual. Penyebaran infeksi terjadi melalui udara
(air borne droplets), tangan dan ciuman. Dapat terjadi pada semua umur, terutama pada anak.
Adenoid ( Faringeal Tonsil ) adalah jaringan limfoid yang merupakan bagian dari cincin
waldeyer. Terletak di dinding postero superior dari nasofaring, secara fisiologi akan mengalami
hipertropi pada anak di rentang usia 6 – 10 tahun, lalu kemudian akan mengalami atropi di usia
16 tahun.
Hipertrofi dari adenoid dan tonsil palatina adalah penyebab utama dari sumbatan hidung
pada anak-anak. Ketika terjadi infeksi saluran nafas berulang, Sleep Apnea ataupun otitis media
supuratif kronis dikarenakan sumbatan hidung hidung tersebut, maka menjadi indikasi untuk
dilakukannya adenoidektomi. Adenoid mengalami hipertrofi pada masa anak anak, lalu
kemudian mengalami atrofi pada pubertas, namun keadaan dimana adenoid tetap persisten
sampai dewasa pun tidak jarang ditemukan. Saat ini dikatakan bahwa hipertrofi adenoid
disebabkan karena infeksi akut yang berulang, namun alergi juga dicurigai sebagai salah satu
penyebab hipertrofi adenoid. Hipertrofi adenoid ini sendiri seringnya terlupakan dalam
mendiagnosa pasien dewasa dengan keluhan sumbatan hidung. Maka sebaiknya pasien yang
dating dengan keluhan sumbatan hidung menjadi indikasi untuk dilakukannya nasal endoskopi
untuk menegakkan diagnosa yang tepat.
Tonsilitis kronis merupakan salah satu penyakit yang paling umum dari daerah oral dan
ditemukan terutama di kelompok usia muda. Kondisi ini karena peradangan kronis pada tonsil.
6
Data dalam literatur menggambarkan tonsilitis kronis klinis didefinisikan oleh kehadiran infeksi
berulang dan obstruksi saluran napas bagian atas karena peningkatan volume tonsil. Kondisi ini
mungkin memiliki dampak sistemik, terutama ketika dengan adanya gejala seperti demam
berulang, odynophagia, sulit menelan, halitosis dan limfadenopati servikal dan submandibula.
Kelainan ini merupakan kelainan tersering pada anak di bidang THT. Untuk seluruh kasus,
prevalensinya tertinggi setelah nasofaring akut, yaitu 3,8% dengan insidensi sekitar 6,75% dari
jumlah seluruh kunjungan. Pada tonsilitis kronis, ukuran tonsil dapat membesar sedemikian
sehingga disebut tonsilitis kronis hipertrofi.
Obstructive Sleep Apnea Syndrome (OSAS) adalah suatu sindrom obstruksi total atau
parsial jalan nafas yang menyebabkan gangguan fisiologis yang bermakna dengan dampak klinis
yang bervariasi. Prevalensi OSAS adalah 0,7 . 10,3%. Beberapa keadaan dapat merupakan faktor
risiko OSAS seperti hipertofi adenoid dan atau tonsil, obesitas, disproporsi sefalometri, kelainan
daerah hidung.
Tonsilitis kronis dengan hipertrofi tonsil dapat menyebabkan berbagai gangguan tidur,
seperti mendengkur sampai dengan terjadinya apnea obstruktif sewaktu tidur (Obstructive Sleep
apnea). Obstructive sleep apnea atau OSA merupakan kondisi medik yang serius, ditandai
dengan episode obstruksi saluran napas atas selama tidur sehingga menyebabkan berkurangnya
asupan oksigen secara periodik.
Penyebab utama OSA pada anak-anak adalah hipertrofi tonsil dan adenoid, tetapi dapat
juga akibat kelainan struktur kraniofasial seperti pada sindroma Pierre Robin dan Down.
Frekuensi OSA mencapai puncaknya pada dekade 5 dan 6, dan menurun pada usia di atas 60-an.
Tetapi secara umum frekuensi OSA meningkat secara progresif sesuai dengan penambahan usia.
Secara umum, penatalaksanaan tonsilitis kronis dibagi dua, yaitu konservatif dan operatif.
Terapi konservatif dilakukan untuk mengeliminasi kausa, yaitu infeksi, dan mengatasi keluhan
yang mengganggu. Bila tonsil membesar danmenyebabkan sumbatan jalan napas, disfagia berat,
gangguan tidur, terbentuk abses, atau tidak berhasil dengan pengobatan konvensional, maka
operasi tonsilektomi perlu dilakukan.
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Adenoid adalah kelompok jaringan limfoid yang terletak pada atap dan dinding posterior
nasofaring. Nasofaring berada di belakang bawah dari palatum mole dan palatum durum. Bagian
atas dari palatum durum merupakan atap dari nasofaring. Anterior nasofaring merupakan
perluasan rongga hidung posterior. Menggantung dari aspek posterior palatum molle adalah
uvula. Pada atap dan dinding posterior nasofaring, diantara lubang tuba auditori, mukosa berisi
masa jaringan limfoid yang disebut pharyngeal tonsil (adenoid). Nasofaring merupakan suatu
8
ruangan yang terletak di belakang rongga hidung di atas tepi bebas palatum molle. Berhubungan
dengan rongga hidung dan ruang telinga tengah masing-masing melalui choanae dan tuba
eustachius (Ballenger).
9
Gambar 2 : anatomi Faring
Tonsil faringeal atau adenoid termasuk dalam rangkaian cincin waldeyer yang merupakan
massa limfoid berlobus dan terdiri dari jaringan limfoid yang sama dengan jaringan limfoid pada
tonsil palatine. Lobus atau segmen tersebut tersusun teratur seperti suatu segmen yang ada pada
buah jeruk, dengan celah atau kantong diantaranya. Lobus ini tersusun mengelilingi daerah yang
lebih rendah di bagian tengah, dikenal sebagai bursa faringeus. Adenoid tidak mempunyai kriptus
dan terdiri atas rangka jaringan ikat fibrosa yang menunjang massa limfoid. Jaringan ini terisi
pembuluh darah dan pembuluh limfe, sedangkan di beberapa tempat terdapat kelompok-
kelompok kelenjar mukosa di dalam septa yang bermuara ke arah permukaan. Kelenjar mukosa
sering terdapat di dalam adenoid pada permukaan dasarnya. Ditengah-tengah jaringan ikat halus
terdapat kumpulan sel-sel leukosit atau sel-sel limfoid dan bergabung menjadi jaringan limfoid
yang membentuk adenoid . (Ballenger)
10
Gambar 3 : Anatomi Cincin Waldeyer
2.2. FISIOLOGI
Adenoid bersama tonsil dan lingual tonsil membentuk cincin jaringan limfe pada pintu
masuk saluran nafas dan saluran pencernaan yang dikenal sebagai cincin Waldeyer. Kumpulan
jaringan ini pada pintu masuk saluran nafas dan saluran pencernaan. Seperti halnya jaringan-
jaringan limfe yang lain, jaringan limfe pada cincin Waldeyer menjadi hipertrofi pada masa
kanak-kanak dan menjadi atrofi pada masa pubertas. Karena kumpulan jaringan ini berfungsi
sebagai suatu kesatuan, maka pada fase aktifnya, pengangkatan suatu bagian jaringan tersebut
11
menyebabkan hipertrofi sisa Ukuran adenoid kecil pada waktu lahir. Selama masa kanak-kanak
akan mengalami hipertrofi fisiologis, terjadi pada umur 3 tahun. karena adenoid membesar,
terbentuk pernafasan melalui mulut. Pada umur 5 tahun, anak mulai sekolah dan lebih terbuka
kesempatan untuk mendapatkan infeksi dari anak yang lain. Hal ini menyebabkan pembesaran
adenoid dan akan menciut setelah usia 5 tahun. Adenoid akan mengalami atrofi dan menghilang
keseluruhannya pada usia pubertas (Parcy, 1989).
2.3.2. ETIOLOGI
Etiologi pembesaran adenoid dapat dibagi menjadi dua yaitu secara fisiologis dan faktor infeksi.
Adenoid akan mengalami hipertrofi pada masa puncaknya yaitu 3-7 tahun. Biasanya
asimptomatik, namun jika cukup membesar akan menimbulkan gejala. Hipertrofi adenoid juga
didapatkan pada anak yang mengalami infeksi kronik atau rekuren pada saluran pernapasan atas
ataupun anak dengan rinithis alergi. ( Brambia I et all, 2014)
12
Gambar 4: Fasies adenoid (http://www.intelligentdental.com/2011/10/13/top-5-
children-habits-you-need-to-know-about-part-1/)
Hipertropi adenoid yang tidak diberikan penanganan akan mengakibatkan gangguan tidur
( Obstructive Sleep Apnea ), masalah pada telinga, gagal tumbuh dan kembang pada anak,
hipertensi pulmonal, dan kelainan struktur kraniofasial. (Somayaji G, Rajeshwari A, Mahaveera
J, 2012)
2.3.4. DIAGNOSA
13
2. Pemeriksaan rinoskopi anterior dengan melihat tertahannya gerakan velum palatum
mole pada waktu fonasi.
3. Pemeriksaan rinoskopi posterior (pada anak biasanya sulit).
4. Palpasi Adenoid
5. Pemeriksaan nasoendoskopi dapat membantu untuk melihat ukuran adenoid secara
langsung.
6. Pemeriksaan radiologi dengan membuat foto polos lateral dapat melihat pembesaran
adenoid. (Rusmarjono, Efiaty, 2009)
Saat ini endoskopi rigid dianggap sebagai gold standard untuk pemeriksaan hidung pada
dewasa karena menghasilkan gambar dengan kualitas yang baik, namun hal ini sulit diterapkan
pada pasien anak tanpa dilakukan sedasi terlebih dahulu. (Brambilia I et al, 2014)
Berbagai metode dalam mengklasifikasi grade dari hipertropi adenoid telah dilaporkan,
salah satunya adalah klasifikasi menurut Parikh et al (2006).Klasifikasi ini sangat efektif dalam
mengevaluasi derajat obstruksi dari adenoid.
1. Grade 1 : adenoid tidak bersentuhan dengan struktur – struktur lain di sekitarnya
2. Grade 2 : adenoid bersentuhan dengan torus tubarius
3. Grade 3 : adenoid menutup sampai ke os vomer
4. Grade 4 : adenoid sampai ke palatum molle ( Brambillia I, 2014)
14
2.3.5. PENATALAKSANAAN
Terapinya terdiri atas adenoidektomi untuk adenoid hipertrofi yang menyebabkan
obstruksi hidung, obstruksi tuba Eustachius, atau yang menimbulkan penyulit lain.
Indikasi adenoidektomi:
1. Sinusitis kronis atau rinorea purulent berulang yang terjadi 4 kali atau lebih dalam
setiap 12 bulan, pada anak dibawah usia 12 tahun
2. Adanya gejala adenoiditis menetap setelah pemberian dua kali terapi antibiotic,
dimana salah satunya telah diberkan antibiotic golongan beta lactam selama 2 minggu.
3. Gangguan tidur dengan obstruksi saluran nafas yang menetap selama 3 bulan
4. Hyponasal speech
5. Otitis media dengan efusi lebih dari 3 bulan
6. Kelainan bentuk wajah atau pertumbuhan gigi.
7. Kecurigaan neoplasma jinak / ganas
8. Adanya komplikasi kardio-pulmonal (AAO-HNS, 2012)
Kontraindikasi adenoidektomi :
1. Gangguan perdarahan yang parah, yang tidak dapat diatasi dengan obat-obatan koagulasi,
praoperasi, intraoperatif, dan pasca operasi.
2. Anak – anak dengan palatoskizis, dengan kelemahan otot atau penyakit saraf lainnya. (Mc
Clay J, 2013)
Teknik Operasi
1. Teknik Kuretase
Operasi dilakukan dibawah general anastesi dengan intubasi endotrakeal, digunakan Boyle-
Davis untuk membuka mulut. Palatum molle ditraksikan dengan menggunakan kateter karet yang
melewati mulut dan hidung lalu kedua ujungnya di jepit menggunakan klem arteri. Lalu
endoskopi hidung 70o dimasukkan melalui mulut, sampai terlihat massa adenoid. Kuretasi massa
adenoid dilakukan dengan menggunakan forsep ST. Claire Thomson. Perdarahan yang terjadi
biasanya sedikit terutama setelah keseluruhan adenoid di keluarkan. (El-Badrawy, Aziz, 2009)
16
Gambar 6 : st. clair Thomson Adenoid Curette (http://www.saharantrading.co.uk/store/ear-nose-
throat/st-clair-thomson-adenoid-curette-w/cage-10mm-sz-1-9-25-grade-a-
instruments/prod_5431.html_
2. Teknik Microdebrider
operasi dilakukan dibawah general anastesi. Pasien diposisikan supine dengan posisi leher
ekstensi. Lalu posisikan mcIvor agar mulut pasien terbuka, kemudian pasang dua kateter untuk
mertraksikan palatum molle. Lalu gunakan endoskopi 70o dengan video untuk melihat kavum
nasofaring. Kemudian masukkan microdebrider dengan pisau 40o yang sudah terkoneksi dengan
aspiraor dan di program dengan kecepatan rotasi 1200 rpm. (Costantini et al, 2008)
4. Teknik Coblation
Dengan menggunakan nasal endoskopi 0 °, ukuran adenoid diidentifikasi terlebih dahulu.
Setelah itu digunakan alat coblation yang mampu menjangkau seluruh wilayah nasofaring. Alat
kontrol coblation di kaki harus diaktifkan setiap kali coblation berada pada tepi adenoid.
17
Coblation harus digunakan secara hati hati agar tidak mencederai uvula dan palatum molle.
Kemudian dilakukan lagi endoskopi untuk memastikan seluruh massa adenoid telah terangkat.
(Businco et al, 2012)
2.3.7. PROGNOSIS
Adenoidektomi merupakan suatu tindakan yang kuratif pada kebanyakan individu. Jika
pasien ditangani dengan baik diharapkan dapat sembuh sempurna, kerusakan akibat cor pulmonal
tidak menetap dan sleep apnea dan obstruksi jalan nafas dapat diatas
Tonsil faringeal dalam kapsulnya terletak pada mukosa dinding lateral rongga
mulut. Di depan tonsil, arkus faring anterior disusun oleh otot palatoglosus, dan
dibelakang dari arkus faring posterior disusun oleh otot palatofaringeus.Permukaan
medial tonsil bentuknya beraneka ragam dan mempunyai celah yang disebut kriptus.
18
Epitel yang melapisi tonsil ialah epitel skuamosa yang juga meliputi kriptus. Didalam
kriptus biasanya ditemukan leukosit, limfosit, epitel yang terlepas, bakteri dan sisa
makanan. Permukaan lateral tonsil melekat pada fasia pharynx yang sering juga disebut
kapsul tonsil. Kapsul ini tidak melekat erat pada otot pharynx, sehingga mudah dilakukan
diseksi pada tonsilektomi.
Tonsil lingual terletak di dasar lidah dan dibagi menjadi dua oleh ligamentum
glosoepiglotica. Di garis tengah, di sebelah anterior massa ini terdapat foramen sekum
pada apeks, yaitu sudut yang terbentuk oleh papilla sirkum valata. Tempat ini kadang-
kadang menunjukkan penjalaran duktus tiroglossus dan secara klinik merupakan tempat
penting bila ada massa tiroid lingual (lingual thyroid) dan kista duktus tiroglosus.
Tonsilla palatina adalah dua massa jaringan limfoid berbentuk ovoid yang terletak
pada dinding lateral orofaring dalam fossa tonsillaris. Tiap tonsilla ditutupi membran
mukosa dan permukaan medialnya yang bebas menonjol kedalam faring.Permukaannnya
tampak berlubang-lubang kecil yang berjalan ke dalam cryptae tonsillares yang
berjumlah 6-20 kripte.Pada bagian atas permukaan medial tonsilla terdapat sebuah celah
intratonsil dalam. Permukaan lateral tonsilla ditutupi selapis jaringan fibrosa yang disebut
capsula tonsilla palatina, terletak berdekatan dengan tonsilla lingualis.
19
6. Lateral : kapsul dipisahkan oleh m. konstrictor faryngis superior oleh
jaringanareolar longgar. A. karotis interna terletan 2,5 cm dibelakang dan lateral
tonsil.
2.5.1. Vaskularisasi
20
Gambar 9. Pendarahan tonsil
2.5.2. Innervasi
2.5.3. Imunologi
Tonsil merupakan jaringan limfoid yang mengandung sel limfosit. Limfosit B
membentuk kira-kira 50-60% dari limfosit tonsilar. Sedangkan limfosit T pada tonsil
adalah 40% dan 3% lagi adalah sel plasma yang matang. Limfosit B berproliferasi di
pusat germinal.Immunoglobulin (IgG, IgA, IgM, IgD), komponen komplemen, interferon,
lisozim dan sitokin berakumulasi di jaringan tonsilar.Sel limfoid yang immunoreaktif
pada tonsil dijumpai pada 4 area yaitu epitel sel retikular, area ekstrafolikular, mantle
zone pada folikel limfoid dan pusat germinal pada folikel ilmfoid. Tonsil merupakan
organ limfatik sekunder yang diperlukan untuk diferensiasi dan proliferasi limfosit yang
sudah disensitisasi. Tonsil mempunyai 2 fungsi utama yaitu pertama menangkap dan
mengumpulkan bahan asing dengan efektif dan kedua sebagai organ utama produksi
antibodi dan sensitisasi sel limfosit T dengan antigen spesifik.
21
2.5.4. Fungsi Tonsil
1. Membentuk zat – zat anti yang terbentuk di dalam sel plasma saat reaksi
seluler.3
2. Menangkap dan menghancurkan benda-benda asing maupun mikroorganisme
yang masuk ke dalam tubuh melalui hidung dan mulut.
Tonsilitis berulang terutama terjadi pada anak-anak dan diantara serangan tidak
jarang tonsil tampak sehat. Tetapi tidak jarang keadaan tonsil diluar serangan terlihat
membesar disertai dengan hiperemi ringan yang mengenai arkus anterior dan apabila
tonsil ditekan keluar detritus.
2.6.2. Etiologi
Ada pula yang menyebutkan etiologi terjadinya tonsilitis antara lain Streptokokus
hemolitikus Grup A, Hemofilus influenza, Streptokokus pneumonia, Stafilokokus
(dengan dehidrasi, antibiotika), dan Tuberkulosis (pada immunocompromise).Beberapa
22
faktor predisposisi timbulnya kejadian tonsilitis kronis, yaitu rangsangan kronis (rokok,
makanan), higiene mulut yang buruk, pengaruh cuaca (udara dingin, lembab, suhu yang
berubah-ubah), alergi (iritasi kronis dari alergen), keadaan umum (gizi jelek, kelelahan
fisik), pengobatan tonsilitis akut yang tidak adekuat.
2.6.3. Patofisiologi
dalam tubuh melalui hidung atau mulut. Kuman yang masuk akan dihancurkan oleh
makrofag dan sel-sel polimorfonuklear. Adanya infeksi berulang pada tonsil akan
membuat suatu ketika tonsil tidak dapat menghancurkan kuman sehingga kuman tersebut
menetap di tonsil dan menjadi sarang infeksi. Dengan demikian, suatu saat kuman dan
toksin dapat menyebar ke seluruh tubuh misalnya pada saat kondisi daya tahan tubuh
dengan infiltrasi leukosit polimorfonuklear. Karena proses radang berulang yang timbul
maka epitel mukosa dan jaringan limfoid diganti oleh jaringan parut yang akan
mengalami pengerutan sehingga kripta melebar. Kripta ini diisi oleh detritus (kumpulan
leukosit, bakteri dan epitel yang terlepas). Proses ini meluas sehingga menembus kapsul
tonsil dan akhirnya timbul perlengketandengan jaringan di sekitar fossa tonsilaris. Pada
pasien mengeluhkan rasa mengganjal saat menelan pada tenggorok, terasa kering,
23
pernapasan berbau, dan rasa nyeri pada tenggorok yang berulang dan menetap dapat juga
diserta dengan malaise, nafsu makan menurun dan demam namun tidak mencolok.2
tampak tonsil membesar dengan permukaan tidak rata, kripta melebar dan beberapa kripta
terisi detritus. Pada umumnyaterdapat dua gambaran tonsil yang mungkin tampak pada
jaringan sekitarnya, kripta melebar diatasnya tertutup oleh eksudat yang purulen. (b)
tonsil tetap kecil, mengeriput, terkadang seperti terpendam di dalam tonsillar bed dengan
bagian tepi hiperemis, kripta tampak melebar dan ditutupi oleh eksudat yang purulen.
Pada pemeriksaan fisik tonsilitis kronis yang minimal pasti ditemukan yaitu kripta
perbandingan tonsil dengan orofaring, dengan mengukur jarak antara kedua arkus anterior
24
dibandingkan dengan jarak permukaan medial kedua tonsil, maka pembesaran tonsil dapat
dibagi menjadi :
2.6.6. Diagnosis
kronis dapat ditegakkan melalui satu atau lebih keluhan yang berulang yang disampaikan
dalam anamnesis, pemeriksaan fisik tampak pembesaran ukuran tonsil, dan atau
25
Pada anamnesis seringkali keluhan penderita tonsillitis mirip dengan tonsillitis
akut tetapi sangat ringan bahkan kadang –kadang tanpa keluhan. Dalam beberapa kasus
penderita sering datang dengan keluhan rasa nyeri tenggorok terus-menerus, nyeri waktu
menelan, rasa mengganjal di tenggorok, mulut dan nafas berbau busuk (halitosis), suhu
badan kadang-kadang normal kadang –kadang subfebris, badan lesu, nafsu makan
berkurang, dan nyeri pada leher, saat tidur mendengkur, gangguan bernafas, hidung
tersumbat, batuk dan pilek berulang. Selain itu tonsillitis kronis dapat pula disertai
keluhan sistemik, seperti rasa lemah, nafsu makan berkurang, sakit kepala, dan nyeri pada
sendi.
dengan permukaan yang tidak rata, tetapi pada beberapa penderita tonsil tampak atrofi,
hiperemi, dan edema yang tidak jelas. Pada beberapa kasus, sebagian kripta mengalami
stenosis sehingga tampak permukaan kripte tonsil melebar. Diantara kripta ini akan
terbentuk lekukan yang kemudian terisi dengan detritus. Detritus adalah akumulasi epitel
yang mati, sel leukosit yang mati, dan bakteri yang menutupi kripte berupa eksudat yang
lidah.Kelenjar leher membesar tetapi tidak nyeri tekan. Arkus anterior atau posterior
tonsillitis kronis. Pemeriksaan yang dapat dilakukan berupa kultur dan uji resistensi
(sensitifitas) kuman dari sediaan apus tonsil (swab tenggotok). Biakan swab sering
Pneumokokus.
26
2.6.7. Diagnosis Banding
Terdapat beberapa diagnosis banding dari tonsilitis kronis, yaitu sebagai berikut.
a) Tonsilitis Difteri
besar, yaitu umum, lokal dan gejala akibat eksotoksin. Gejala umum sama seperti
gejala infeksi lain, yaitu demam subfebris, nyeri kepala, tidak nafsu makan, badan
lemah, nadi lambat dan keluhan nyeri menelan. Gejala lokal yang tampak berupa
tonsil membengkak ditutupi bercak putih kotor yang makin lama makin meluas
dan membentuk pseudomembran yang melekat erat pada dasarnya sehingga bila
palatum dan otot pernafasan dan pada ginjal dapat menimbulkan albuminuria.
Gejala yang timbul pada penyakit ini adalah demam, sakit kepala, nyeri di
mulut, foetor ex ore,hipersalivasi, gigi dan gusi mudah berdarah, hingga gangguan
uvula, dinding faring, gusi dan prosesus alveolaris. Mukosa mulut dan faring
b. Mononukleosis Infeksiosa
Mononukleosis Infeksiosa adalah penyakit demam akut yang teruama terlihat pada
27
Membran semu yang menutup ulkus mudah diangkat tanpa timbul perdarahan,
terdapat pembesaran kelenjar limfe leher, ketiak dan regio inguinal.Gejala klinis
pasien ini adalah gangguan menelan, nyeri tenggorokan, malaise, demam, myalgia,
sakit kepala dan anoreksia. Penyakit ini juga sering disertai dengan farigitis yang
mungkin berat dan seringkali diserai eksudat yang berbau. Pada pemeriksaan tonsil
c. Faringitis Kronis
gejala peradangan faring melebihi tiga bulan. Gejala yang paling sering dirasakan
berupa nyeri pada sisi belakang tenggorokan dan tenggorokan terasa kering sehingga
berusaha membersihkan tenggorok. Dapat pula terasa batuk kering dan terasa
2.6.8. Penatalaksanaan
a) Non-pembedahan
28
b) Pembedahan
Pada beberapa kasus dengan keluhan tertentu, misalnya sering kambuh, pernafasan
terganggu, atau sudah terjadi komplikasi, maka terapi yang dipertimbangkan adalah
dalam buku De Medicina (tahun 10 Masehi). Jenis tindakan ini juga merupakan
tindakan pembedahan yang pertama kali didokumentasikan secara ilmiah oleh Lague
Indikasi tonsilektomi secara umum apabila tonsil menjadi sumber infeksi yang dapat
memberikan risiko yang lebih besar daripada risiko operasi. Indikasi tonsilektomi
Surgery dan the American Academy of Otolaryngology Head and Neck Suegery
(AAO-HNS) than 1995 dalam terbagi atas dua bagian, yaitu sebagai berikut.
Indikasi absolut:
disfagia menetap dan berat, gangguan tidur (sleep apnea), gangguan menelan
Abses peritonsil yang tidak respon terhadap pengobatan medis dan drainase
29
Indikasi relatif :
Penderita dengan infeksi tonsil yang kambuh 3 kali atau lebih dalam setahun
Bau mulut atau bau nafas yang menetap yang menandakan tonsilitis kronis tidak
Tonsilitis kronis atau rekuren yang disebabkan kuman streptococus yang resisten
Kontraindikasi relatif
Kontraindikasi absolut
anemia aplastik, hemofilia, dan penyakit sistemis yang tidak terkontrol, seperti
penyakit jantung.
Komplikasi Tonsilektomi
1. Komplikasi anestesi
30
Komplikasi anestesi ini terkait dengan keadaan status kesehatan pasien.
mual muntah, kematian saat induksi pada pasien dengan hipovolemi, induksi
2. Komplikasi bedah
uvula, insufisiensi velopharingeal, stenosis faring, lesi dibibir, lidah, gigi dan
pneumonia.
Nyeri pasca operasi muncul karena kerusakan mukosa dan serabut saraf
menyebabkan iskemia dan siklus nyeri berlanjut sampai otot diliputi kembali oleh
3. Edukasi
misalnya menganjurkan sikat gigi dan kumur-kumur teratur, bila perlu konsultasi
ke dokter gigi.
31
2.6.9. Komplikasi
Tonsilitis merupakan radan kronis pada tonsil yang dapat menimbulkan komplikasi.
Komplikasi dari tonsilitis kronis dapat terjadi secara perkontinuitatum ke daerah sekitar
atau komplikasi ke organ yang jauh dari tonsil dengan cara hematogen atau limfogen.
a. Rhinitis kronis
b. Sinusitis
c. Otitis media
d. Peritonsilitis, merupakan peradangan tonsil dan daerah sekitarnya yang berat tanpa
ruang peritonsil. Sumber infeksi berasal dari penjalaran tonsilitis akut yang
mengalami supurasi, menembus kapsul tonsil dan penjalaran dari infeksi gigi
melalui aliran getah bening/pembuluh darah. Infeksi berasal dari daerah tonsil,
faring, sinus paranasal, adenoid, kelenjar limfe faringeal, mastoid dan os petrosus.
terjadipada anak usia 3 bulan sampai 5 tahun karena ruang retrofaring masih berisi
kelenjar limfe
32
h. Krista Tonsil, merupakan sisa makanan yang terkumpul dalam kripta mungkin
tertutup oleh jaringan fibrosa dan ini menimbulkan krista berupa tonjolan pada
kalsium fosfat dan kalsium karbonat dalam jaringantonsil membentuk bahan keras
seperti kapur
c. Miositis
dan purpura.
33
BAB III
KESIMPULAN
3.1. Kesimpulan
Tonsilitis kronis adalah peradangan kronis dari tonsil palatina yang merupakan bagian
dari cincin Waldyer sebagai lanjutan peradangan akut/subakut yang berulang/rekuren, dengan
Tonsillitis kronis ditandai dengan keluhan rasa nyeri tenggorok terus-menerus, nyeri
waktu menelan, rasa megganjal di tenggorok, mulut dan nafas berbau busuk (halitosis), suhu
badan kadang-kadang normal kadang –kadang subfebris, badan lesu, nafsu makan berkurang,
dan nyeri pada leher, saat tidur mendengkur, gangguan bernafas, hidung tersumbat, batuk dan
pilek berulang. Selain itu tonsillitis kronis dapat puladisertai keluhan sistemik, seperti rasa
lemah, nafsu makan berkurang, sakit kepala, dan nyeri pada sendi.
Secara umum, diagnosis tonsillitis kronis ditegakkan bila terdapat satu atau lebih
keluhan dari anamnesis yang berulang disertai dengan pembesaran ukuran tonsil dan atau
Adenoid ( Faringeal Tonsil ) adalah jaringan limfoid yang merupakan bagian dari
mengalami atropi di usia 16 tahun. Gejala klinis adenoid hipertrofi adalah pasien bernafas
melalui mulut, mendengkur, gangguan tidur (Obstructive Sleep Apnea), hyponasal voice,
34
otitis media berulang atau efusi telinga tengah yang menetap, rinosinusitis kronis dan muka
adenoid.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan (1)Tanda dan gejala klinik. (2) Rinoskopi anterior.
(3) rinoskopi posterior. (4) palpasi adenoid (5) Pemeriksaan nasoendoskopi. (6) Pemeriksaan
35
DAFTAR PUSTAKA
36
19. Klarisa, C., Fardizza, F., Tanto, C., Liwang, F., Hanifati, S., dkk. 2014. Kapita Selekta
Kedokteran, edisi ke-4. Jakarta: Media Aesculapius
20. Marcus CL. Carroll JL. Obstructive sleep apnea syndrome. Dalam: Loughlin GM, Eiger H,
penyunting. Respiratory disease in children; diagnosis and management. Baltimore, William
& Wilkins, 1994. h. 475-91.
21. McClay, JE., Adenoidectomy, Medscape Reference, Retrieved June 17, 2014 from
http://emedicine.medscape.com/article/872216-overview#a0101
22. Moore KL, Anne MR. Neck in : Essential Clinical Anatomy. USA : Lippincot Williams and
Wilkins. 2002 : p. 439 – 445
23. Nelson WE, Behrman RE, Kliegman R, Arvin AM. Tonsil dan Adenoid. In: Ilmu Kesehatan
Anak Edisi 15 Volum 2. Jakarta: ECG,2000. p1463-4
24. Nűńez-Fernández D, Garcia-Osornia MA. Snoring and Obstructive Sleep Apnea, Upper
Airway Evaluation. Emergency Medicine Textbook, 2008. (diakses dari website
www.medscape.com, pada tanggal 18 Oktober 2012)
25. Restuti, R. D., Trimartani., Rasad, R. A., Rosalina, D., Endiyarti, F., dkk. 2016. Panduan
Praktik Klinis Prosedur Tidakan Clinical Pathway, Di Bidang Telinga Hidung Tenggorok
Kepala Leher
26. Rusmarjono, Kartoesoediro S. Tonsilitis kronik. In: Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorok Kepala & Leher ed Keenam. FKUI Jakarta: 2011. p212-25.
27. Rusmarjono., Soepardy, EA. Faringitis, Tonsilitis dan hipertrofi Adenoid, Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher, ed. 6. Balai penerbit, Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, 2009. P.224 – 225,
28. Soepardi E. A., Iskana, N., Bashiruddin, J. Restuti, R. D., 2012. Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher.Edisi ke tujuh. Jakrta: Badan Penerbit FKUI
29. Somayaji, G., Rajeshwari, A., Jain, M. Significance of Adenoid Nasopharyngeal Ratio in the
Assessment of Adenoid Hypertrophy in Children, Research in Otolaryngology 2012,
Retrieved June 11, 2014 from http://journal.sapub.org/otolaryn
30. Srikandi, N. M.P.R, Sutanegara, S.W.D., Sucipta, I. W. 2013. Profil Pembesaran Tonsil Pada
Pasien Tonsilitis Kronis Yang Menjalani Tonsilekomi Di RSUP Sanglah Pada Tahun 2013
31. Usman, R., Syarif, F., Dyanovani, R. 2012. Obstructive Sleep Apnea (OSA) pada Tonsilitis
Kronis
32. Wijaya, S., Santoso, A. H., Suhandi, S., dkk. 2001. Buku Saku Hematologi, Edisi-3. Jakarta:
EGC
33. Williams, K. The Effects of Enlarged Adenouds on a Developing Malocclusion, Retrieved
june 10, 2014 from http://www.ortodoncia.ws/publicaciones/2010/art24.asp
34. Wita, J. S., Nagel, P., Robert, G., Danny, F., Joko, S. 2012. Dasar-dasar Ilmu THT, edisi ke
dua. Jakarta: EGC
35. Yildirim, N., Sahan, M., Karslioglu, Y. Adenoid hypetrophy in adults : Clinical and
Morphological characteristics, Jurnal of International Medical Research, Retrieved June
10,2014 from http://imr.sagepub.com/content/36/1/157
37