Kelompok Tutorial 4 :
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan yang Maha Esa, atas
Laporan ini tidak akan selesai tepat waktu tanpa bantuan dari berbagai
pihak. Oleh karena itu, penulis menyampaikan terima kasih kepada sebagai tutor
serta semua pihak yang turut membantu pembuatan makalah ini yang tidak bisa
mengharapkan kritik dan saran dari pembahas untuk kemajuan makalah ini di masa
mendatang.
karies dan amalgam serta proses penambalan sehingga dapat diaplikasikan pada
Penulis
i
DAFTAR ISI
iii
DAFTAR GAMBAR
1
- Tes vitalitas (EPT) negatif
- Tes perkusi dan tes tekan positif
- Tes palpasi positif
Pemeriksaan Radiografi
1.1.3 Tutorial 2
Drg. Neni yang bertugas menduga Nn. Noessy menderita sinusitis
maksilaris akut kanan. Pemeriksaan radiografi menunjukkan keterlibatan sinus
maksilaris kanan akibat phoenix abscess (Abses periapikal) pada gigi 15. Dokter
gigi merencanakan membuka tambalan gigi dengan maksud mengurangi rasa sakit,
memberi obat antibiotik, analgetik-antipiretik. Setelah meminum obat tersebut,
pasien mengeluh timbul gatal-gatal pada muka. Dokter gigi memberikan loratadine
dan mengganti antibiotik golongan lain. Sesuai dengan permintaan pasien, dokter
gigi kemudian melakukan perawatan saluran akar.
1.2 Tabel 7 Jumps
Term Problem Identification Hypothesis Mechanism More Info I Don’t Know Learning Issues
Phoenix 1. Rasa sakit dan penuh 1. Karie 1. Pemeriksaan 1. Apa saja klasifikasi 1. Mengapa pasien merasakan sakit dan
Abcess pada wajah sebelah sekunder Ekstraoral : obat anti histamin penuh pada wajah?
kanan sejak kemarin. 2. Sinusitis Palpasi wajah lainnya? 2. Mengapa keluar lender seperti ingus
2. Tadi malam lubang maksilarise kanan sakit 2. Apa asaja macam- dari lubang hidung ketika menunduk?
hidung kanan t causa 2. Pemeriksaan macam sinus? 3. Mengapa gigi yang telah ditambal dapat
mengeluarkan lendir infeksi Intraoral: terasa sakit kembali?
seperti ingus ketika odontogeni - OH baik 4. Apa yang dimaksud dengan karies
menunduk. k -vitalitas negatif sekunder?
3. Menduga kondisi 3. Abses - Perkusi dan 5. Mengapa pasien demam dan disertai
tersebut berkaitan periapikal tekan positif sakit kepala?
dengan adanya - Palpasi positif 6. Apa yang dimaksud dengan gigi
tambalan gigi nekrosis?
belakang atas kanan 7. Apa yang dimaksud dengan abses
beberapa tahun lalu. phoenix?
4. Sejak 3 bulan yang 8. Bagaimana hubungan antara gigi
lalu sakit gigi tumpul nekrosis dengan abses phoenix?
tiba-tiba, hilang 9. Apa itu sinus dan anatominya?
timbul, dan sakit
bertambah saat 10. Apa yang dimaksud dengan sinusitis
makan maksilaris akut?
5. Beberapa hari lalu 11. Bagaimana interpretasi radiografi sinus
sakit kepala dan maksilaris pada kasus?
demam 12. Bagaimana farmakologi loratadine?
6. Meminum obat 13. Obat apa sja yang dapat menimbulkan
penghilang rasa sakit alergi?
7. Gigi belakang kakan
atas ditambal
beberapa bulan yang
lalu.
8. Gigi atas kanan
belakang pernah
ditambal oleh dokter
gigi pada kunjungan
kedua karena giginya
berlubang dan tidak
sakit hanya terasa
sensitif ketika
minum dingin dan
makan makanan
manis.
7
1.3 Mekanisme
Gigi belakang kanan atas ditambal beberapa bulan yang lalu
Maksilaris Akut
Phoenix abscess
Alergi obat
golongan lain
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Kejadian sinusitis maksila akibat infeksi gigi rahang atas terjadi karena
infeksi bakteri (anaerob) menyebabkan terjadinya karies profunda sehingga
jaringan lunak gigi dan sekitarnya rusak. Pada pulpa yang terbuka, kuman akan
masuk dan mengadakan pembusukan pada pulpa sehingga membentuk gangren
pulpa. Infeksi ini meluas dan mengenai selaput periodontium menyebabkan
periodontitis dan iritasi akan berlangsung lama sehingga terbentuk pus. Abses
periodontal ini kemudian dapat meluas dan mencapai tulang alveolar menyebabkan
abses alveolar. Tulang alveolar membentuk dasar sinus maksila sehingga memicu
infeksi mukosa sinus.
Infeksi pada mukosa sinus ini menyebabkan terasa sakit pada daerah wajah
pasien. Rasa sakit akibat inflamasi dapat terjadi karena adanya peregangan jaringan
akibat adanya edema sehingga terjadi peningkatan tekanan lokal yang dapat
menimbulkan rasa nyeri atau bisa juga karena adanya pelepasan mediator-mediator
inflamasi (zat kimia) seperti prostaglandin, histamin, dan bradikinin yang dapat
merangsang saraf-saraf perifer di sekitar radang sehingga dirasakan nyeri.
Selain menyebabkan nyeri, inflamasi ini akan menyebabkan disfungsi silia,
obstruksi ostium sinus serta abnormalitas sekresi mukus sehingga terjadi akumulasi
cairan mukus dalam sinus. Cairan mukus ini disekresi oleh sel epitel pada sinus
untuk membunuh bakteri maka bersifat sebagai antimikroba serta mengandung zat-
zat yang berfungsi sebagai mekanisme pertahanan tubuh terhadap kuman yang
masuk. Terakumulasinya pus/purulent pada sinus maksila ini menyebabkan wajah
terasa penuh.
2.2 Mengapa keluar lendir seperti ingus ketika menunduk?
Silia yang terdapat pada mukosa sinus berfungsi untuk membawa mukus
yang disekresi menuju rongga hidung, sementara ostium merupakan tempat
pertukaran bebas oksigen dan mukus. Secara anatomis, letak ostium lebih tinggi
dibanding letak maksila, saat silia sudah disfungsi dan terdapat obstruksi ostium,
aliran sekret ini dapat terjadi tergantung posisi pasien, sehingga saat penderita sinus
menunduk, sekret akan keluar melalui hidung.
2.3.1 Definisi
Karies sekunder adalah lesi pada margin restorasi, yang diketahui sebagai alasan
yang penting untuk dilakukan penggantian bahan restorasi pada gigi tersebut,
terlepas dari jenis bahan restorasi yang digunakan.
FDI mendefinsikan secondary caries sebagai “lesi yang terdiagnosa positif karies,
dan berada pada margin restorasi”. Namun, bukan hanya karies sekunder yang
lesinya berbatasan dengan margin restorasi, residual caries (remaining caries) pun
lesinya terletak berbatasan dengan margin restorasi. Residual caries merupakan sisa
jaringan demineralisasi, akibat kegagalan proses eliminasi dari dentin yang
terinfeksi atau/dan enamel saat proses preparasi kavitas. Maka dari itu klinisi
seringkali kesulitan dalam menentukan diagnosis yang kuat antara kariies sekunder
dan karies residual.
Research pada karies sekunder pada jenis bahan tambal yang berbeda menyatakan
bahwa semua karies sekunder memiliki pattern yang sama secara histologis:
a. Outer lesion
Akibat paparan langsung dari penyebab primer pada permukaan gigi
b. Wall lesion
Terbentuk akibat bakteri yang berdifusi, ion hydrogen atau cairan yang masuk dari
celaah antara bahan restorasi dengan dinding kavitas.
3
saliva sehingga memungkinkan kontaminasi saliva pada kavitas maupun bahan
tambal yang diinsersikan sehingga tambalan tidak maksimal
3. Bonding resin composite yang tidak efektif dan sifat komposit yaitu
polymerization shrinkage.
Demam
Mekanisme demam
Nyeri Kepala
Nyeri kepala adalah rasa nyeri atau rasa tidak mengenakkan di seluruh
daerah kepala dengan batas bawah dari dagu sampai ke belakang kepala.
○ Ekstrakranial
■ Kulit, scalp, otot, tendon, fascia daerah kepala dan leher
■ Periosteum tengkorak (terutama supra orbita, temporal, dan
oksipital bawah)
■ Rongga orbita beserta isinya
■ Sinus paranaslis, oropharynx, dan rongga hidung
■ Gigi geligi
■ Telinga luar dan tengah
■ Arteri ekstrakranial
■ N. C2 & C3
5
■ Duramater konveksitas otak
ii. Struktur yang sensitif terhadap nyeri iii. Perjalanan saraf terkait nyeri pada kepala
· Traksi
· Inflamasi
· Distensi
· Displacement
· Spasme vaskuler
a. Nyeri kepala primer (nyeri kepala yang tidak jelas kelainan anatomi
atau kelainan struktur )
1. Migraine
2. Tension type headache
7. Nyeri kepala atau nyeri wajah karena kelainan wajah atau struktur
kranial
Pada kasus ini pasien mengalami nyeri kepala sekunder sebab terdapat peradangan
pada mukosa sinus yang menyebabkan kelainan pada struktur kranial dimana
rongga sinus yang seharusnya tidak dipenuhi oleh mukus, kini terdapat mukus yang
menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial sehingga pasien mengalami nyeri
di bagian kepala.
7
2.5 Apa yang dimaksud dengan gigi nekrosis? (All about)
Kondisi pulpa pada gigi yang nekrosis sudah non vital sehingga ketika
dilakukan tes vitalitas, diberikan stimulus melalui electric pulp test maupun
rangsang dingin, pulpa biasanya tidak merespon. Namun menurut beberapa
penelitian, ketika diberikan rasang thermal berupa panas berkelanjutan secara
periodic, pulpa akan merespon terhadap stimulus ini. Respon tersebut berkaitan
dengan adanya sisa-sisa gas pada ruang kanal pulpa sampai dengan jaringan
periapikal.
Nekrosis pulpa dapat terjadi secara parsial maupun total. Hal ini
berhubungan dengan gigi yang memiliki jumlah akar lebih dari satu. Ketika
dilakukan tes pulpa pada salah satu akar, gigi dapat memberikan respon negatif,
tetapi ketika akar yang lain dites, mungkin dapat memberikan respon positif. Oleh
karena itu, gigi tersebut dapat mempunyai gejala yang membingungkan.
2.5.2 Etiologi
Inflamasi pada pulpa terjadi karena adanya iritan. Iritan tersebut dapat
berupa makhluk hidup dan buka mahkluk hidup. Iritan berupa makhluk diantaranya
yaitu bermacam-macam organisme dan virus, sedangkan iritan yang bukan berupa
makhluk hidup terdiri dari mechanical, thermal, dan chemical.
a) Microbial irritants
Mikroorganisme yang ditemukan pada karies merupakan sumber utama dari iritasi
pada pulpa dan jaringan periradikular. Spesies bakteri yang berada pada dentin dan
enamel yang terkena karies diantaranya seperti Streptococcus mutans, lactobacilli,
and Actinomyces. Bakteri dan produk toksinnya akan masuk melalui tubuli dentin.
Kemudian akan terjadi infiltrasi sel-sel inflamasi kronis, seperti makrofag, limfosit,
dan sel-sel plasma, sebagai respon terhadap bakteri yang berada di dentin. Ketika
kerusakan terjadi semakin dalam dan mencapai pulpa, jaringan pulpa akan
diinfiltrasi oleh PMN dan daerah tersebut akan membentuk area nekrosis liquefaksi.
Bakteri akan berkolonisasi pada daerah tersebut dan menetap. Jaringan pulpa tetap
mengalami inflamasi dalam waktu yang lama dan pulpa akan mengalami nekrosis.
b) Mechanical irritants
Jaringan pulpa atau periradikular juga dapat teriritasi secara mekanis. Preparasi
kavitas yang dalam, pengangkatan struktur gigi tanpa pendinginan yang tepat,
trauma tumbukan, trauma oklusal, kuretase periodontal yang dalam, dan pergerakan
ortodontik gigi adalah iritan termal dan fisik yang utama pada jaringan pulpa.
Karena perubahan pada pulpa yang mendasarinya, seperti aspirasi odontoblas ke
dalam tubulus dentin, pada umumnya bersifat sementara dan pulpa yang benar-
benar sehat berpotensi pulih kembali dari cedera ini. Sayangnya, pulpa pada gigi
yang telah menjalani prosedur restorasi yang luas umumnya akan mengalami
peradangan. Jika tindakan pencegahan yang tepat tidak dilakukan, preparasi kavitas
ataupun mahkota dapat merusak odontoblas yang berdekatan.
c) Chemical irritants
Iritasi kimia pada pulpa meliputi bahan dentin cleansing, sterilisasi, dan zat
desensitisasi, serta beberapa zat yang ada dalam bahan restoratif sementara dan
permanen serta cavity liner. Agen antibakteri, seperti perak nitrat, fenol dengan dan
tanpa champor, dan eugenol, telah digunakan dalam upaya untuk "mensterilkan"
dentin setelah preparasi. Namun, keefektifannya sebagai sterilisasi dentin
9
dipertanyakan karena sitotoksisitasnya dapat menyebabkan perubahan inflamasi
pada pulpa gigi yang mendasarinya.
11
2. Dilihat dari riwayat pasien, biasanya pasien memiliki oral hygiene
yang buruk sehingga memungkinkan terjadinya nekrosis pulpa dikarenakan
penjalaran dari karies yang tidak di terapi dan tidak dilakukan tindakan preventif
dengan melakukan oral hygine yang baik
3. Karena nekrosis pulpa dapat disebabkan oleh adanya trauma, maka
apabila pasien mengatakan bahwa pernah ada riwayat trauma yang ia alami. Bisa
jadi itu merupakan suatu acuan untuk menentukan diagnosis.
5. Nekrosis ada yang parsial dan total untuk yang total biasanya
asimtomatik. Pasien tidak merasakan nyeri pada nekrosis total.
6. Sedangkan pada nekrosis sebagian dapat simptomatik atau ditemui nyeri.
Karena bisajadi gigi memiliki akar multiroot dan yang mengalami nekrosis hanya
salah satu bagian nya saja.
2.6.1 Definisi
2.6.2 Etiologi
Gejala biasanya asymptomatic kecuali ada dekat dengan traktus sinus. Pada
gambaran radiografi, menunjukkan adanya gambaran radiolusensi lesi periapikal
yang besar, dan apabila dilakukan tes EPT, perkusi dan palpasi akan menunjukkan
hasil negatif. Ketika dilakukan tes palpasi akan terasa lunak. Lesi abses juga
biasanya menyebabkan rasa nyeri yang parah, mobilitas, dan kadang terjadi elevasi
gigi yang terlibat dan terjadi pembengkakan.
13
Dalam kasus yang jarang, abses dapat bermanifestasi pada gejala sistemik
seperti demam, bengkak pada wajah, limfadenopati disertai rasa sakit.
2.6.4 Patogenesis
Karies dan trauma pada gigi dapat menyebabkan inflamasi pada pulpa dan
menyebabkan pulpa nekrosis. Bakteri memiliki akses untuk masuk ke jaringan
periapikal dengan melakukan pertahanan melalui inflamasi berupa periodontitis
apikalis. Proses ini melalui respon imun spesifik (antibodi) dan non-spesifik
(Makrofag, sel PMN). Apabila sistem imun tidak berhasil melawan bakteri,
kelebihan cairan atau eksudat tidak dapat dikeluarkan karena sistem limfe kolaps
dan terjadi pembengkakan yang disebut dengan abses alveolar akut. Bila keadaan
ini dibiarkan akan menyebabkan osteomyelitis. Namun apabila jumlah bakteri
berukrang dan sistem pertahanan tubuh meningkat akan menyebabkan abses
berubah menjadi kronis dan bila imunitas turun bisa kembali menjadi akut ditandai
dengan timbulnya rasa sakit, maka keadaan tersebut disebut eksaserbasi akut
(phoenix abscess).
Terjadinya nekrosis pulpa pada dasarnya diawali oleh infeksi bakteri pada
jaringan pulpa. Ini dapat terjadi karena adanya kontak antara jaringan pulpa dengan
lingkungan oral akibat terbentuknya dentinal tubules dan direct pulpal exposure,
hal ini memudahkan infeksi bakteri ke jaringan pulpa yang menyebabkan radang
pada jaringan pulpa. Apabila tidak dilakukan penanganan, maka inflamasi pada
pulpa akan bertambah parah dan dapat terjadi perubahan sirkulasi darah di dalam
pulpa yang pada akhirnya menyebabkan nekrosis pulpa. Dilatasi kapiler pulpa ini
diikuti dengan degenerasi kapiler dan terjadi edema pulpa. Karena kurangnya
sirkulkasi kolateral pada pulpa, maka dapat terjadi iskemia infark sebagian atau
total pada pulpa dan menyebabkan respon pulpa terhadap inflamasi rendah. Hal ini
memungkinkan bakteri untuk melakukan penetrasi sampai ke pembuluh darah kecil
pada apek. Semua proses tersebut dapat mengakibatkan terjadinya nekrosis pulpa.
Perluasan infeksi pulpa dapat menyebabkan abses periapikal.
Ketika mikroba menginfeksi ke dalam jaringan periapikal berlangsung lama
sehingga menyebabkan eksaserbasi atau perburukan progresif dari lesi yang sudah
ada disebut dengan istilah abses phoenix. Kondisi yang menyakitkan di mana ujung
(bagian apikal) dari akar gigi ini menjadi meradang, yang dapat mengakibatkan
pembengkakan dan demam. Abses periapikal ini bila terjadi pada gigi P1, P2, M1,
M2, M3 rahang atas dapat menyebabkan terjadinya sinusitis maksilaris. Seperti
pada kasus yaitu terjadi pada gigi 15
karies sekunder
invasi bakteri
15
Merambah ke jaringan periapikal
Abses
Terjadinya nekrosis pulpa pada dasarnya diawali oleh infeksi bakteri pada
jaringan pulpa. Ini dapat terjadi karena adanya kontak antara jaringan pulpa dengan
lingkungan oral akibat terbentuknya dentinal tubules dan direct pulpal exposure,
hal ini memudahkan infeksi bakteri ke jaringan pulpa yang menyebabkan radang
pada jaringan pulpa. Apabila tidak dilakukan penanganan, maka inflamasi pada
pulpa akan bertambah parah dan dapat terjadi perubahan sirkulasi darah di dalam
pulpa yang pada akhirnya menyebabkan nekrosis pulpa. Dilatasi kapiler pulpa ini
diikuti dengan degenerasi kapiler dan terjadi edema pulpa. Karena kurangnya
sirkulkasi kolateral pada pulpa, maka dapat terjadi iskemia infark sebagian atau
total pada pulpa dan menyebabkan respon pulpa terhadap inflamasi rendah. Hal ini
memungkinkan bakteri untuk melakukan penetrasi sampai ke pembuluh darah kecil
pada apek. Semua proses tersebut dapat mengakibatkan terjadinya nekrosis pulpa.
Perluasan infeksi pulpa dapat menyebabkan abses periapikal.
karies sekunder
invasi bakteri
17
Abses
Aliran Darah
Pneumatization
Dibentuk dari hari ke-65 Isampai hari ke-70 IU. Dibentuk dari evaginasi
mukosa dari bagian tengah middle meatus pada hidung dan meluas ke tulang
maxila membuat kavitas. Pada saat lahir, kavitas berukuran 3-10mm secara
anteroposterior dan volume 1 cm^3. Pertumbuhan lambat pada usia 7 tahun
dan meningkat pada usia 12-14 tahun (2-3mm per tahun ke semua arah).
Pneumatization berlanjut sampe erupsi sempurna semua gigi permanen.
Gigi tanggal dan tulang alveolar resesi, sinus maksila juga meluas sampai
daerah resesi
Superior
o Orbit, Infraorbital nerve and vessels
Inferior
o Akar molar dan premolar
o Tebal tulang 0,5mm di M2, Mukoperiosteal (membran
schneiderian) 0,13-0,5 mm
o Rupturnya membran schneiderian akibat inflamasi odontogenik
-> Infeksi sinus
Posterior
o Infratemporal fossa, pterygopalatine
Medial
o sinus natural ostium
o Berhubungan dengan struktur osteomeatal complex
Lateral dan anterior
o Tulang zygomatik lateral
§ N. Posterolateral : P-M RA
o Tulang zygomatik anterior N. Infraorbital: I-C RA
19
Vaskularisasi dan Inervasi
21
2.8.2 Sinus Frontal
Sinus frontal bertempat di tulang frontal, superior pada mata di dahi. Sinus
frontal kanan dan kiri biasanya tidak simetris, satu lebih besar dari pada lainnya dan
dipisahkan oleh sekat yang terletak digaris tengah. Kurang lebih 15% orang dewasa
hanya mempunyai satu sinus frontal dan kurang lebih 5% sinus frontalnya tidak
berkembang. Sinus frontal belum berkembang sempurna saat lahir dan biasanya
berkembang dengan baik pada usia 7 atau 8 tahun. Sinus frontalis dipisahkan oleh
tulang yang relatif tipis dari orbita dan fossa serebri anterior, sehingga infeksi dari
sinus frontal mudah menjalar kedaerah ini. Sinus frontal ini berdrenase melalui
ostiumnya dan bermuara ke meatus media. Sinus frontal menerima suplai sarafnya
dari cabang divisi oftalmikus saraf trigeminal. Sinus frontalis diperdarahi oleh arteri
supraorbital, arteri supraochlear, dan arteri anterior ethmoidal yang merupakan
percabangan dari arteri opthalmic. Serta di persarafi oleh saraf supraorbital dan
saraf supraochlear percabangan dari ophthalmic saraf trigeminal.
Location of Ostium
Middle meatus
23
2.9 Apa yang dimaksud dengan Sinusitis Maksilaris akut?
25
dalam sinus akan menurun dan hal ini akan menyebabkan silia menjadi hipoaktif
dan mukus yang diproduksi menjadi lebih kental. Tekanan dalam rongga sinus yang
menurun pada akan menimbulkan rasa nyeri di daerah sinus yang terkena sinusitis.
(Greenberg, Glick and Ship, 2008)
27
2. Oksimetazolin HCl sediaan spray 15 ml 2x1 puff, amoksisilin tablet
3x500 mg dan asam mefenamat tablet 3x500 mg. Oksimetazolin
spray merupakan obat dekongestan yang bertujuan untuk
mengurangi inflamasi, menghilangkan pembengkakan mukosa serta
membuka sumbatan ostium sinus yang menyumbat drainage mucus,
sehingga jika sumbatan ostium sinus dihilangkan, diharapkan gejala
hidung tersumbat dan bengkak dapat hilang.
3. Asam mefenamat sediaan tablet diberikan 3x500 mg sebagai terapi
simptomatik. Asam mefenamat merupakan analgesik yang diberikan
untuk mengurangi nyeri yang pada penderita sinusitis.
4. Mukolitik untuk mengurangi kekentalan mukus. Bila ada reaksi
alergi, berikan antihistamin.
5. Terapi pembedahan jarang digunakan, kecuali ada komplikasi ke
orbita atau intrakranial, atau nyeri yang hebat akibat sekret yang
tertahan sumbatan.
7.
29
2.10 Bagaimana interpretasi gambaran radiografi sinus maksilaris pada
kasus?
31
a. Sinusitis Maksilaris Akut
· Total opacity
33
Interpretasi Gambar Radiografi Kasus
Area 1 :
· Impaksi gigi18
Area 2 :
Area 4 : DBN
Area 5 : DBN
❖ Water’s
Foto ini dilakukan dengan posisi dimana kepala menghadap film, garisi
orbito meatus membentuk sudut 37o dengan film. Pada foto ini, secara ideal piramid
tulang petrosum diproyeksikan pada dasar sinus maksilaris sehingga kedua sinus
maksilaris dapat dievaluasi sepenuhnya.
35
Sinus maksilaris yang sehat tampak sebagai suatu bayangan yang agak jernih
(kehitam-hitaman) di bawah orbita sedangkan siinus yang meradang tampak lebih
radioopak dibandingkan yang normal.
Pada CT-Scan, udara tampak hitam dan tulang tampak putih. Daerah abu-
abu di sinus menandakan kelainan, misalnya nanah, lendir, polip, atau kista. Ketika
melihat CT-Scan sinus, dengan tampakan hitam maka sinus dikatakan normal
sedangkan tampakan berwarna abu-abu menandakan adanya kelainan/
penyumbatan pada sinus.
Pada sinusitis mula-mula tampak penebalan dinding sinus, dan yang paling
sering diserang adalah sinus maksilaris, tetapi pada sinusitis kronik tampak juga
sebagai penebalan dinding sinus yang disebabkan karena timbulnya fibrosis dan
jaringan parut yang menebal.
37
ix. Gambaran CT scan sinusitis. Penebalan sebagian mukosa sinus maksilaris kiri bawah lateral.
(Potongan aksial)
x. Gambaran CT scan sinusitis. Penebalan sebagian mukosa sinus maksilaris kiri bawah lateral.
(Potongan koronal)
2.11.1 Definisi
2.11.2 Farmakodinamik
39
Antihistamin H1 memiliki kemampuan;
- Menghambat kontraksi intestinal dan otot polos bronchus, dan
meningkatkan permeabelitas kapiler
- Memblok peningkatan sekresi saliva dan kelenjar air mata
- Menghambat pelepasan epinefrin
2.11.3 Farmakokinetik
A. Absorpsi
- Cepat memlalui administrasi oral
- Onset of action 15-60 menit setelah obat diminum
- Efek maksimal 1-2 jam
- Durasi 4-6 jam
B. Distribusi
- Distribusi ke seluruh tubuh
- AH1 generasi kedua tidak bisa melewati blood brain barrier dengan
baik, sehingga tidak memiliki efek sedasi
C. Metabolisme
- Di hepar oleh enzim CYP3A4
D. Ekskresi
- Melalui urin dan feses
2.11.4 Indikasi
2.11.5 Kontraindikasi
Utama :
o Sakit kepala
o Gastrointestinal distress ( diare, sakit perut, mual, dan muntah )
41
- Jarang ( efek sedasi ) :
o Midriasis dan xerostomia karena efek antikolinergik
o Penurunan kesadaran
2.11.9 Dosis
2.11.10 Sediaan
- Tablet 10 mg
- Sirup 5mg/5ml
2.12 Reaksi Alergi
1. Diagnosis
Reaksi alergi obat bisa menyerupai alergi pada umumnya seperti urtikaria,
anafilaksis, asma dan penyakit serum. Gejala lain yang dapat muncul diantaranya
adalah jenis ruam kulit (terutama eksantema), infiltrasi eosinofil ke paru, panas,
hepatitis, sindrom lupus dan nefritis interstisial akut. Reaksi ini cenderung bersifat
spesifik yang tidak bergantung pada dosis dan efek farmakalogi obat. Alergi obat
jarang terjadi pada pajanan pertama, lebih cenderung terjadi pada pajanan ulang
karena reaksi ini memerlukan memori (sensitasi) dengan gambaran reaksi yang
terjadi pada pajanan berikutnya yangterjadi lebih cepat. Dalam beberapa hari
setelah penghentian obat, reaksi alergi obat biasanya menghilang, kecuali pada
kondisi yang manametabolit obat berperan sebagai hapten atau sudah terbentuknya
kompleks imun. Hal yang perlu diingat adalah alergi obat hanya terjadi pada
sebagian kecil penderita yang mendapat obat.
Pemeriksaan fisis pada pasien tersangka alergi obat harus dilakukan secara
menyeluruh terhadap semua sistem untuk mencari semua presentasi klinis alergi
obat. Manifestasi klinis tersering adalah pada organ kulit. Karakteristik dari lesi
kulit penting untuk menentukan kemungkinan penyebab, pemeriksaan penunjang
43
lanjutan dan tatalakasana alergi obat. Sejumlah manifestasi kelainan kulit yang
sering muncul pada reaksi alergi obat adalah pruritus, eksantema, urtikaria,
angioedema, erupsi bula, akne, fixed drug eruptions, eritema multiform,
eritematosus lupus, psoriasis, purpura dan vaskulitis. Selain itu, juga data berupa
reaksi kulit yang mengancam nyawa seperti sindrom Stevens-Johnson erupsi, toxic
epidermal necrolysis(TEN), dermatitis exfoliatif dan drug rash with eosinophilia
and systemic symptoms(DRESS).
Manifestasi kulit reaksi alergi obat yang tersering adalah eksantema (erupsi
makulopapular). Lesi kulit biasanya gatal yang pada awalnya makula dan kemudian
berkembang menjadi papula dan akhirnya muncul sebagai plak. Lesi kulit biasanya
muncul mulai dari bagian tengah badan yang menyebar ke daerah ekstrimitas secara
bilateral. Exantem yang muncul biasanya merupakan manifestasi hipersensitivitas
tipe lambat yang muncul beberapa hari setelah penggunaan obat. Exantem yang
dipicu obat ini tidak berkembang menjadi reaksi anafilaksis karena biasanya tidak
melibatkan IgE. Beberapa obat yang diketahui menimbulkan eksantem adalah
allopurinol, aminopenisilin, sefalosporin, obat antieplepsi dan antibakteri
sulfonamid.
M anifestasi kulit fixed drug eruption muncul pada sisi mukosa atau kulit yang
sama yang terpajan ulang terhadap penyebab alergi obat. Lesi ini berbentuk bulat,
oval, berbatas tegas, kemerahan, plak yang sedikit terangkat, dengan ukuran
diameter beberapa milimeter sampai sentimeter. Lesi ini juga dapat muncul dalam
bentuk vesikel atau bulat. Daerah predileksi pada lesi ini diantaranya adalah pada
daerah bibir, tangan dan genital (terutama pada pria). Lesi fixed drug eruptionsini
sering muncul pada reaksi alergi obat terhadap tetrasiklin, OAINS dan
karbamazepin.
Urtikaria dan angioedema adalah manifestasi yang paling sering muncul pada alergi
obat yang melibatkan IgE. Lesi kulit lupus yang diinduksi obat sering muncul pada
daerah kulit yang terpapar cahaya. Palmar-plantar erythrodysesthesia (lebih sering
dikenal sebagai hand foot syndrome) biasanya muncul 2 sampai 12 hari setelah
kemoterapi dengan ciri khas adanya edema dan eritema pada telapak tanan dan kaki
yang berkembang menjadi lepuh, ulserasi atau nekrosis. Lesi ini paling sering
disebabkan oleh obat kemoterapi doxorubicin.
Manifestasi kulit lain yang mungkin muncul adalah pustula. Pemfigus yang
muncul karena reaksi obat sering disebabkan oleh obat-obatan yang mengandung
gugus thiol seperti captopril atau penisilin. Sementara pemfigus-bula yang muncul
di daerah tungkai, badan maupun membran mukosa sering disebabkan oleh obat
seperti penghambat angiotensin converting enzyme (ACE), furosemid, penisilin
dan sulfsalazin. Purpura dan petekia merupakan stigmata vaskulitis yang
disebabkan oleh alergi obat. Sementara itu, eritema multiforma merupakan lesi
makulopapular polimorfik yang menyebar ke arah perifer dan menimbulkan lesi
target yang terdiri dari 3 zona yaitu papul/ lepuh di bagian paling tengah, yang
dikelilingi oleh edema dan daerah eritema di wilayah paling luar. Dalam bentuk
yang paling berat, lesi eritema multiforma ini akan membentuk lepuh dan
melibatkan membran mukosa. Eritema multiforma dapat muncul menyerupai
sindrom Stevens-Johnson (SJS).Namun, pada SJS didapatkan karakteristik khusus
yaitu adanya penyebaran makula-papula dan lepuh di daerah wajah, batang tubuh
dan ekstrimitas proksimal. Pada SJS, didapatkan gejala konsitusional yang
progresif. Gambaran klinis SJS dapat berkembang menjadi toksik epidermal
nekrolisis (TEN), yaitu penyakit kulit yang dipicu reaksi alergi obat yang
menyebabkan apoptosis sel epidermis dan mengakibatkan pemisahan yang luas
pada daerah dermoepidermal junction, sehingga muncul gambaran kulit yang
45
melepuh. SJS dan TEN dapat merupakan bagian dari spektum suatu penyakit.Pada
SJS didapatkan kurang dari 10% bagian tubuh yang mengalami epidermal
detachment, sementara pada TEN lebih dari 30% dan 10%-30% dipertimbangkan
sebagai sindrom overlap.
3. Penanganan Khusus
Terdapat beberapa cara khusus yang penting dalam tatalaksana alergi obat
diantaranya adalah threating through, test dosing, desensitisasi dan pramedikasi
terhadap obat-obat tertentu. Dalam keadaan ekstrim, yaitu saat obat kausal sangat
diperlukan, maka pilihan yang dapat diambil adalah obat diteruskan bersamaan
pemberian anthistamin dan kortikosteroid untuk menekan alergi. Hal ini disebut
treating through, namun berisiko potensial mengakibatkan reaksi berkembang
menjadi eksfoliatif atau sindrom SJS dan memicu keterlibatan organ internal.
Pada kondisi tes kulit atau RAST terhadap obat antibiotik tidak dapat dikerjakan
dan dipikirkan kemungkinan alergi rendah, tidak disertai reaksi berat dan
mengancam nyawa, maka dapat dikerjakan tes dosing atau provocative drug
challenge/graded drug challenge/ incremental drug challenge. Tes ini tidak
mengubah respon sistem imun. Prinsip dasar tes ini adalah pemberian obat secara
hati-hati dan bertahap, sehingga reaksi ringan yang diketahui mungkin terjadi akan
segera diketahui dan dapat dengan mudah diatasi. Tes ini dapat dipakai sebagai
satu-satunya cara absolut untuk menyatakan ada tidaknya hubungan etiologi antara
obat, sehingga bila penderita menunjukkan toleransi terhadap obat yang diberikan,
berarti tidak ada alergi. Tes ini terbagi menjadi tesdosing cepat dan lambat.
Pada tes dosing, obat diberikan dengan dosis awal yang kecil, kemudian
ditingkatkan serial sampai dicapai dosis penuh. Interval waktu peningkatan dosis
yaitu 24-48 jam bila dipikirkan reaksi hipersensitivitas lambat dan 20-30 menit bila
dipikirkan reaksi lgE. Pada tes dosing lambat dikerjakan bila reaksi yang diduga
terjadi adalah reaksi lambat seperti dermatitis. Pada kondisi ini jarak antara
pemberian obat dijadikan 24-48 jam, prosedur biasanya selesai dalam 2 minggu.
Pemeriksaan tes dosing saat ini semakin sering dikerjakan pada penderita HIV yang
akan diberikan trimetoprim/sulfamtoksazole. Saat ini sudah tersedia beberapa
protokol untuk tes dosing terhadap beberapa obat seperti sulfonamid, relaksan otot,
asiklovir, zidovudine, pentamidin dan penisilamin, ihinbitor ACE dan heparin.
Selain itu, termasuk juga obat yang jarang menimbulkan reaksi alergi seperti β-
blocker dan obat-obatan yang dapat menimbulkan reaksi serupa alergi (pseudo-
alergi) seperti opiate, anestesi lokal, aspirin, dan tartazin.
47
Pada reaksi yang melibatkan IgE, desensitisasi dikerjakan dengan tujuan
memperoleh reaksi yang ringan melalui eliminasi IgE. Terapi ini dilakukan dengan
cara induksi toleransi pada renderita yang mengalami reaksi alergi (melalui IgE),
cepat dan sistemik terhadap obat yang dapat dipastikan dengan tes kulit misalnya
pada penisilin. Teknik desenstisasi menggunakan protokol yang prinsip dasarnya
adalah pemberian bertahap dosis obat yang ditingkatkansecara perlahan, mulai dari
dosis subalergenik dan diteruskan sampai dosis penuh. Pada saat dilakukan
desensitisasi, jika terapi dihentikan, pada 50% penderita anafilaksis dapat terjadi
kembali. Protokol desensitisasi telah tersedia terhadap berbagai kelas obat, salah
satu nya seperti pada Tabel 1.
Pemeriksaan in vivo
Uji kulit
Sel mast dengan IgE spesifik untuk alergen tertentu berlekatan dengan reseptor
yang berafinitas tinggi pada kulit pasien dengan alergi. Kontak sejumlah kecil
alergen pada kulit pasien yang alergi dengan alergen akan menimbulkan hubungan
silang antara alergen dengan sel mast permukaan kulit, yang akhirnya mencetuskan
aktivasi sel mast dan melepaskan berbagai newly generated mediator.
Histamin merupakan mediator utama dalam timbulnya reaksi wheal, gatal, dan
kemerahan pada kulit (hasil uji kulit positif). Reaksi kemerahan kulit ini terjadi
segera, mencapai puncak dalam waktu 20 menit dan mereda setelah 20-30 menit.
Beberapa pasien menunjukkan edema yang lebih lugas dengan batas yang tidak
terlalu jelas dan dasar kemerahan selama 6-12 jam dan berakhir setelah 24 jam (fase
lambat).
49
skin prick test (SPT), namun tidak direkomendasikan untuk alergen makanan
karena dapat mencetuskan reaksi anafilaksis.
Uji tusuk dapat dilakukan pada alergen hirup, alergen di tempat kerja, dan alergen
makanan. Lokasi terbaik adalah daerah volar lengan bawah dengan jarak minimal
2 cm dari lipat siku dan pergelangan tangan. Setetes ekstrak alergen dalam gliserin
diletakkan pada permukaan kulit. Lapisan superfisial kulit ditusuk dan dicungkit ke
atas dengan jarum khusus untuk uji tusuk.
Hasil positif bila wheal yang terbentuk >2 mm. Preparat antihistamin,
efedrin/epinefrin, kortikosteroid dan β-agonis dapat mengurangi reaktivitas kulit,
sehingga harus dihentikan sebelum uji kulit. Uji kulit paling baik dilakukan setelah
pasien berusia tiga tahun. Sensitivitas SPT terhadap alergen makanan lebih rendah
dibanding alergen hirup. Dibanding uji intradermal, SPT memiliki sensitivitas yang
lebih rendah namun spesifisitasnya lebih tinggi dan memiliki korelasi yang lebih
baik dengan gejala yang timbul.
Pemeriksaan In Vitro
Pemeriksaan hitung eosinofil total perlu dilakukan untuk menunjang diagnosis dan
mengevaluasi pengobatan penyakit alergi. Eosinofilia apabila dijumpai jumlah
eosinofil darah lebih dari 450 eosinofil/µL. Hitung eosinofil total dengan kamar
hitung lebih akurat dibandingkan persentase hitung jenis eosinofil sediaan apus
darah tepi dikalikan hitung leukosit total. Eosinofilia sedang (15%-40%) didapatkan
pada penyakit alergi, infeksi parasit, pajanan obat, keganasan, dan defisiensi imun,
sedangkan eosinofilia yang berlebihan (50%-90%) ditemukan pada migrasi larva.
Dibandingkan IgE, eosinofilia menunjukkan korelasi yang lebih kuat dengan
sinusitis berat maupun sinusitis kronis. Jumlah eosinofil darah dapat berkurang
akibat infeksi dan pemberian kortikosteroid secara sistemik.
Peningkatan kadar IgE serum sering didapatkan pada penyakit alergi sehingga
seringkali dilakukan untuk menunjang diagnosis penyakit alergi. Pasien dengan
dermatitis atopi memiliki kadar IgE tertinggi dan pasien asma memiliki kadar IgE
yang lebih tinggi dibandingkan rinitis alergi. Meskipun rerata kadar IgE total pasien
alergi di populasi lebih tinggi dibandingkan pasien non-alergi, namun adanya
tumpang tindih kadar IgE pada populasi alergi dan non-alergi menyebabkan nilai
diagnostik IgE total rendah. Kadar IgE total didapatkan normal pada 50% pasien
alergi, dan sebaliknya meningkat pada penyakit non-alergi (infeksi virus/jamur,
imunodefisiensi, keganasan).
Pemeriksaan kadar IgE spesifik untuk suatu alergen tertentu dapat dilakukan secara
in vivo dengan uji kulit atau secara in vitro dengan metode RAST (Radio
Allergosorbent Test), ELISA (Enzyme-linked Immunosorbent Assay), atau RAST
enzim. Kelebihan metode RAST dibanding uji kulit adalah keamanan dan hasilnya
51
tidak dipengaruhi oleh obat maupun kelainan kulit. Hasil RAST berkorelasi cukup
baik dengan uji kulit dan uji provokasi, namun sensitivitas RAST lebih rendah.
BAB III
KESIMPULAN
Dari kasus yang diberikan, seorang wanita bernama Nn. Noessy berusia 21
tahun dengan keluhan sakit dan terasa penuh pada wajah sebelah kanan.Lubang
hidung kanan mengeluarkan lendir seperti ingus ketika menunduk. Hal ini berkaitan
dengan adanya tambalan pada gigi belakang atas kanan yang ditambal beberapa
tahun lalu. Dilihat dari pemeriksaan radiografi telah terjadi karies sekunder yaitu
kebocoran mikro pada tambalan gigi 15, dimana menyebabkan terjadinya karies
profunda sehingga jaringan lunak gigi dan sekitarnya rusak. Hal ini disebabkan oleh
karena celah yang terdapat pertemuan kedua permukaan ini merupakan tempat yang
baik untuk berkumpulnya kuman, cairan ludah, dan molekul atau ion). Pada pulpa
yang terbuka ini, kuman akan masuk dan mengadakan pembusukan pada pulpa
sehingga membentuk gangren pulpa. Infeksi ini meluas dan mengenai selaput
periodontium menyebabkan periodontitis dan iritasi akan berlangsung lama
sehingga terbentuk pus. Abses periodontal ini kemudian dapat meluas dan
mencapai tulang alveolar menyebabkan abses alveolar. Tulang alveolar membentuk
dasar sinus maksila sehingga memicu inflamasi mukosa sinus. Infeksi pada mukosa
sinus ini menyebabkan terasa sakit pada daerah wajah pasien dan akumulasi pus ini
lah yang menyebabkan wajah teras penuh.
Sakit hilang timbul pada gigi menandakan adanya aktivitas bakteri di dalam
gigi yang merusak struktur gigi sekitar karies sekunder. Rasa sakit bertambah saat
makan itu terjadi karena tambalan menekan gigi di bawahnya yang sedang
terinfeksi.
53
lubang berisi kumpulan pus terlokalisir akibat proses supurasi pada suatu jaringan
yang disebabkan oleh bakteri piogenik.
Infeksi odontogenik dapat berasal dari tiga jalur, yaitu jalur periapikal, jalur
periodontal dan jalur perikoronal. Pada kasus ini melalui jalur periapikal sebagai
hasil dari nekrosis pulpa dan invasi bakteri ke jaringan periapikal. Infeksi
odontogen biasanya dimulai dari permukaan gigi yaitu adanya karies gigi yang
sudah mendekati ruang pulpa, kemudian akan berlanjut menjadi pulpitis dan
akhirnya akan terjadi kematian pulpa gigi (nekrosis pulpa). Infeksi odontogen dapat
terjadi secara lokal atau meluas secara cepat. Adanya gigi yang nekrosis
menyebabkan bakteri bisa menembus masuk ruang pulpa sampai apeks gigi.
Foramen apikalis dentis pada pulpa tidak bisa mendrainase pulpa yang terinfeksi.
Selanjutnya proses infeksi tersebut menyebar progresif ke ruangan atau jaringan
lain yang dekat dengan struktur gigi yang nekrosis tersebut.
Terjadinya nekrosis pulpa pada dasarnya diawali oleh infeksi bakteri pada
jaringan pulpa. Ini dapat terjadi karena adanya kontak antara jaringan pulpa dengan
lingkungan oral akibat terbentuknya dentinal tubules dan direct pulpal exposure,
hal ini memudahkan infeksi bakteri ke jaringan pulpa yang menyebabkan radang
pada jaringan pulpa. Apabila tidak dilakukan penanganan, maka inflamasi pada
pulpa akan bertambah parah dan dapat terjadi perubahan sirkulasi darah di dalam
pulpa yang pada akhirnya menyebabkan nekrosis pulpa. Dilatasi kapiler pulpa ini
diikuti dengan degenerasi kapiler dan terjadi edema pulpa. Karena kurangnya
sirkulkasi kolateral pada pulpa, maka dapat terjadi iskemia infark sebagian atau
total pada pulpa dan menyebabkan respon pulpa terhadap inflamasi rendah. Hal ini
memungkinkan bakteri untuk melakukan penetrasi sampai ke pembuluh darah kecil
pada apek. Semua proses tersebut dapat mengakibatkan terjadinya nekrosis pulpa.
Perluasan infeksi pulpa dapat menyebabkan abses periapikal.
Abses periapikal ini kemudian dapat meluas dan mencapai tulang alveolar
menyebabkan abses alveolar. Tulang alveolar membentuk dasar sinus maksila
sehingga memicu inflamasi mukosa sinus. Bila kondisi ini menetap, sekret yang
terkumpul dalam sinus merupakan media yang baik untuk tumbuhnya dan
multiplikasi bakteri. Sekret menjadi purulen. keadaan ini memerlukan terapi
antibiotik. Jika terapi tidak berhasil, inflamasi berlanjut, terjadi hipoksia dan bakteri
anaerob berkembang. Mukosa makin membengkak dan ini merupakan rantai siklus
yang terus berputar sampai akhirya perubahan mukosa menjadi kronik, yaitu
hipertropi, polipoid atau pembentukan polip dan kista.
Pasien mengeluarkan lendir dari hidung sebelah kanan saat menunduk
diakibatkan karena sinus paranasal berada disekitar nasal dan mempunyai
hubungan dengan hidung. Secara anatomis, letak ostium lebih tinggi dibanding
letak maksila. Saat silia sudah disfungsi, aliran sekret ini dapat terjadi tergantung
posisi pasien. Sehingga saat menunduk, sekret mukus ini akan keluar melalui
hidung.
Demam akan timbul pada gejala dan tanda sinusitits, hal ini karena sistem
imun dalam tubuh sedang bekerja, tetapi tidak terlalu tinggi. Demam yang tidak
terlalu tinggi ini juga menandakan bahwa infeksi sinus telah berlangsung lama. Jika
tanda gejala ini lenyap dalam sebulan atau bahkan dua atau tiga bulan, berarti gejala
tersebut terjadi pada sinusitis akut
Sakit kepala merupakan salah satu tanda yang paling umum dan paling
penting pada sinusitis. Nyeri kepala yang timbul di hidung merupakan akibat
adanya kongesti dan udem di osteum sinus dan sekitarnya. Jika sakit kepala akibat
kelelahan pada mata, maka biasanya bilateral dan makin berat pada sore hari,
sedangkan pada sinusitis sakit kepala lebih sering unilateral atau lebih terasa pada
satu sisi,atau dimulai sebagai nyeri kepala unilateral dan meluas
55
ke sisi lainnya. Sakit kepala yang bersumber di sinus akan meningkat jika
membungkukan badan ke depan dan jika badan tiba-tiba digerakan. Sakit kepala ini
akan menetap saat menutup mata, saat istirahat, atau saat berada dikamar yang
gelap, sedangkan jika disebabkan oleh kelelahan mata, nyeri akan menghilang pada
keadaan-keadaan tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/122730-S09021fk-Gambaran%20pengetahuan-
Literatur.pdf
http://repository.unisba.ac.id/bitstream/handle/123456789/8314/kharisma_mak_ti
njauan_penyakit_nyeri_kepala_2017_sv.pdf?sequence=1&isAllowed=y
Jakarta:Erlangga.2007
57