Anda di halaman 1dari 48

KONSEP DASAR PENYAKIT DAN ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN

DEWASA PADA LUDWIG ANGINA

TUGAS MAKALAH KEPERAWATAN BEDAH

oleh :

Kelompok 8 / Kelas D
Putu Annesia Warsito 172310101180

Aza Fatimatuzzahra 172310101185

Azin Linggar Pramila 172310101197

Ayu Putriyas Ningsih 172310101210

Suryo Mentari 172310101216

Wahyu Purnomo 182310101199

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN

FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS JEMBER
2019
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
selesainya tugas makalah Keperawatan Maternitas yang berjudul " Konsep Dasar
Penyakit Dan Asuhan Keperawatan Pasien Dewasa Pada Ludwig Angina".
Atas dukungan moral dan materil yang diberikan dalam penyusunan makalah ini,
maka penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada:

1. Ns Mulia Hakam, M.Kep., Sp.kep.MB. Selaku PJMK Keperawatan Bedah


yang memberikan bimbingan, saran, ide dan kesempatan untuk
mengerjakan tugas makalah Keperawatan Bedah ini ini.
2. Ns. Jon Hafan, M.Kep., Sp.Kep.MB. Selaku dosen Pembimbing kami,
yang memberikan dorongan, masukan kepada penyusun.
3. Dan segala pihak yang berperan dalam penyusunan makalah ini.

Penulis menyadari bahwa makalah ini belumlah sempurna. Oleh karena


itu, saran dan kritik yang membangun dari rekan-rekan sangat dibutuhkan untuk
penyempurnaan makalah ini.

Jember, Mei 2019

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..................................................................................................... ii


DAFTAR ISI .....................................................................................................................iii
BAB 1 PENDAHULUAN .............................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang .................................................................................................. 1
1.2 Tujuan ................................................................................................................ 2
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................... 3
2.1. Definisi .............................................................................................................. 3
2.2 Anatomi Fisiologi Submandibular Dan Sublingual ..................................... 4
2.3 Etiologi .............................................................................................................. 6
2.4 Patofisiologi ...................................................................................................... 6
2.6. Manifestasi Klinis ............................................................................................ 9
2.7 Diagnosis dan Pemeriksaan Penunjang ....................................................... 10
2.8 Komplikasi ...................................................................................................... 12
2.9 Prognosis ......................................................................................................... 13
2.10 Penatalaksanaan .............................................................................................. 13
2.11 Konsep Asuhan Keparawatan Ludwig’s Angina Secara Teoritis ............ 14
BAB 3 ANALISA KASUS ........................................................................................... 25
3.1 Pengkajian ....................................................................................................... 25
3.2 Analisa Data .................................................................................................... 32
3.3 Intervensi ......................................................................................................... 34
3.4 Implementasi ................................................................................................... 37
3.5 Evaluasi............................................................................................................ 39
BAB 4 PENUTUP.......................................................................................................... 41
4.1 Kesimpulan ..................................................................................................... 41
4.2 Saran................................................................................................................. 42
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................... 43

iii
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Abses leher dalam terbentuk dalam ruang potensial di antara fasia leher
sebagai akibat perjalanan infeksi dari berbagai sumber seperti gigi, mulut,
tenggorokan, sinus paranasal, telinga tengah dan leher. Yang termasuk ke dalam
abses leher dalam adalah abses peritonsil, abses parafaring, abses retrofaring dan
angina ludwig (angina ludovici) atau abses submandibula (Hartmann, 2011).
Obstruksi jalan napas dan penyebaran infeksi ke mediastinum adalah
komplikasi yang paling sulit penanganannya dari infeksi ruang submandibula.
Insisi dan drainase secara dini harus selalu dipertimbangkan pada pasien, bahkan
dalam kasus-kasus yang tampaknya tidak kritis (Rizzo & Mosto, 2009).
Angina Ludwig merupakan selulitis diffusa yang potensial mengancam
nyawa yang mengenai dasar mulut dan region submandibular bilateral dan
menyebabkan obstruksi progresif dari jalan nafas. Wilhelm Frederick von
Ludwig, pertama kali mendeskripsikan kondisi ini pada tahun 1836 sebagai
infeksi ruang fasial yang hampir selalu fatal (Ugboko, Ndukwe, & Oginni, 2005).
Angina Ludwig ditandai dengan demam, dispnea, disfagia akibat
pembengkakan pada lantai mulut dan leher, sulit mengunyah, bercak pada leher,
nyeri di telinga dan linglung. Pada beberapa instansi, angina ini berkembang
akibat komplikasi dari infeksi odontogenik dari gigi molar kedua dan ketiga. Pada
pemeriksaan mikrobiologi, angina Ludwig diakibatkan oleh polimikroba, baik
gram positif ataupun gram negatif, aerob ataupun anaerob. Biasanya angina ini
disebabkan oleh Streptokokus spp, Stafilokokus aureus, Prevotella spp, dan
Porfirimonas spp (Aisyah, Dharma, & Turnip, 2017).
Terapi pada angina Ludwig bertujuan untuk mengamankan jalan nafas,
terapi antimikroba spectrum luas secara agresif, dan dekompresi facial planes
dengan memusnahkan sumber infeksi (Kulkarni, Pai, Battarai, Rao, &
Ambareesha, 2008).
Mengenal tanda-tanda awal angina Ludwig sangat penting dalam
manajemen gangguan ini. Pada kasus tahap lanjut, mengamankan patensi jalan

1
nafas dan drainase surgical sangat penting untuk menghindari terjadinya asfiksia
(Kulkarni, Pai, Battarai, Rao, & Ambareesha, 2008).

1.2 Tujuan
Tujuan dari penyusunan makalah Angina Ludwig ini adalah sebagai berikut:
1.2.1 Sebagai salah satu tugas Konsep Dasar Penyakit Dan Asuhan
Keperawatan Pasien Dewasa Pada Angina Ludwid Mata Kuliah
Keperawatan Bedah Fakultas Keperawatan Universitas Jember.
1.2.2 Sebagai bahan untuk menambah pengetahuan dan wawasan penulis
dan pembaca, terutama mengenai definisi, epidemiologi, etiologi,
patofisiologi, manifestasi klinis, diagnosis,tatalaksana dan asuhan
keperawatan Angina Ludwig.

2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Angina Ludwig didefinisikan sebagai selulitis yang menyebar dengan cepat,
potensial menyebabkan kematian, yang mengenai ruang sublingual dan
submandibular. Umumnya, infeksi dimulai dengan selulitis, kemudian
berkembang menjadi fasciitis, dan akhirnya berkembang menjadi abses yang
menyebabkan indurasi suprahioid, pembengkakan pada dasar mulut, dan elevasi
serta perubahan letak lidah ke posterior (Gupta, Singh, Tanger, & Mathur, 2018 &
Cossio, Hinojosa, Cruz, & Perez, 2010).
Wilhelm Fredrick von Ludwig pertama kali mendeskripsikan angina Ludwig
ini pada tahun 1836 sebagai gangrenous cellulitis yang progresif yang berasal dari
region kelenjar submandibula (Ugboko, Ndukwe, & Oginni, 2005., Gupta, Singh,
Tanger, & Mathur, 2018., & Cossio, Hinojosa, Cruz, & Perez, 2010).

Gambar 1. Anatomi dari ruang submandibular

3
2.2 Anatomi Fisiologi Submandibular Dan Sublingual
2.2.1 Anatomi
Ruang yang dibentuk oleh facia pada leher akan menghasilkan selulitis atau
abses dan menyebar melalui berbagai jalan termasuk melalui saluran limfe.

Gambar 2. Letak submandibular dan sublingual

Ruang submandibular adalah ruang diatas os hyoid (suprahyoid) dam m


myohyoid, dibagian anterior m myoyoid memisahkan rang ini menjadi 2 bagian
yaitu ruang sublingual di superior dan ruang submaksilar di inferior.adapula yang
membaginya menjadi 3 diantaranya yaitu ruang sublingual, ruang submental, dan
ruang submaksilar (Dewi, Putra, & Sucipta).
Ruang submaksilar dipisahkan dengan ruang sublingual dibagian
superiornya oleh m mylohyoid dan m hyoglussum. Dibagian medialnya oleh
corpus m styloylossus dan dibagian lateralnya berupa kulit, facia superficial, dan
m platysma superficialis pada facial servikal agian dalam. Dibagian inferiornya
dibentuk ole m digastricus. Dibagian anteriornya ruang ini berhubungan secara
bebas dengan ruang submental dan dibagian posteriornya terhbung dengan ruang
pharyuyeal (Dewi, Putra, & Sucipta).

4
Gambar 3: Letak detail submandibular dan sublingual

2.2.2 Fisiologis

Gambar 4: Kelenjar saliva dan komponenya

Kelenjar saliva dibagi menjadi 3 komponen (Hagberg, Bogomolny,


Gilmore, Gibson, Kaitner, & Khurana, 2006), yaitu:

1. Kelenjar parotis adalah kelenjar saliva terbesar yang berfungsi:


a) Mensintesis lebih banyak protein dibanding glikoprotein sehingga saliva
dari kelenjar parotis menurunkan karbohidrat.
b) Menyuplai 20% saliva ketika istirahat dan mencapai 50% ketika stimulasi.

5
2. Kelenjar submandibularis adalah kelenjar campuran dengan sekret yang
dominan yang berfungsi :
a) Mensintesis dan mensekresi sejumlah besar glikoproten dibandingkan
protein.
b) Menyuplai lebih dari 65% ketika istirahat dan hanya 30% ketika
terstimulasi
3. Kelenjar sublingualis adalah kelenjar terkecil yang berfungsi:
a) Mensintesis dan mensekresi sejumlah besar glikoproten dibandingkan
protein.
b) Mensuplai kurang lebih hampir sama baik pada kondisi istirahat maupun
saat terstimulasi.

2.3 Etiologi
Angina Ludwig biasanya disebabkan oleh infeksi odontogenik, khususnya
dari gigi molar kedua atau ketiga bawah. Gigi ini mempunyai akar yang berada di
atas otot milohioid, dan abses di lokasi ini dapat menyebar ke ruang
submandibular. Infeksi biasanya disebabkan oleh bakteri streptokokus,
stafilokokus, atau bakteroides. Namun, 50% kasus disebabkan disebabkan oleh
polimikroba, baik oleh gram positif ataupun gram negatif, aerob ataupun anaerob
(Moorhead & Guiahi, 2010).
Penyebab lain dari angina Ludwig yaitu sialadenitis, abses peritonsil, fraktur
mandibula terbuka, kista duktus tiroglossal yang terinfeksi, epiglotitis, injeksi
intravena obat ke leher, bronkoskopi yang menyebabkan trauma, intubasi
endotrakea, laserasi oral, tindik lidah, tindik mulut, infeksi saluran nafas bagian
atas, abses peritonsillar, sialadenitis submandibular, dan kista tiroglosus yang
terinfeksi dan trauma pada dasar mulut. Faktor predisposisi termasuk diabetes,
keganasan oral, karies gigi, alkoholisme, malnutrisi, dan status
immunocompromised (An & Singhal, 2019).

2.4 Patofisiologi
Angina Ludwig biasanya dimulai sebagai selulitis pada ruang
submandibular. Infeksi biasanya dimulai sebagai infeksi gigi pada gigi molar
kedua rahang bawah atau ketiga. Sumber infeksi lain termasuk penyebaran lokal
dari abses peritonsillar atau parotitis supuratif. Infeksi menyebar secara medial

6
daripada lateral karena sisi medial tulang periodontal tipis. Infeksi awalnya
menyebar ke ruang sublingual dan berlanjut ke ruang submandibular. Karena
infeksi tidak menyebar melalui sistem limfatik, infeksi bersifat bilateral. Infeksi
biasanya polimikroba yang melibatkan flora oral. Organisme yang paling umum
adalah Staphylococcus, Streptococcus, Peptostreptococcus, Fusobacterium,
Bacteroides dan Actinomyces. Pasien dengan immunocompromised berisiko lebih
tinggi terhadap angina Ludwig. Organisme yang sering diisolasi pada pasien
angina Ludwig yaitu Streptokokus viridians dan Stafilokokus aureus. Bakteri
anaerob juga sering terlibat, termasuk bakteroides, peptostreptokokus, dan
peptokokus. Bakteri gram positif lainnya yang berhasil diisolasi yaitu
usobacterium nucleatum, Aerobacter aeruginosa, spirochetes, and Veillonella,
Candida, Eubacteria, dan Clostridium species. Bakteri gram negative yang
berhasil diisolasi termasuk Neisseria species, Escherichia coli, Pseudomonas
species, Haemophilus influenzae, dan Klebsiella sp (An & Singhal, 2019).

7
PATHWAY LUDWIG ANGINA

Bakteri

Kerusakan integritas
Menginvasi jaringan sehat jaringan kulit

Infeksi
Meninggalkan
rongga berisi
jaringan dan sel
Kematian sel mati

Hipotalamus Pelepasan Sitokin Akumulasi pus


Dalam rongga

Peningkatan suhu Memicu inflamasi


Mendorong
jaringan sekitarnya
Gangguan rasa
Menarik kedatangan
nyaman
leukosit

Terbentuk
dinding oleh sel-
Leukosit melawan sel sehat
infeksi

Kematian Leukosit Abses


NYERI

Menekan leher
Sensi nyeri dalam

Nyeri telan Kesulitan


mengeluarkan sekret

Anoreksia
Gangguan pola nafas

Penurunan intake nutrisi Penurunan


Kelemahan
produksi energi

Perubahan nutrisi kurang Intoleransi


dari kebutuhan aktivitas

8
2.6. Manifestasi Klinis
Pasien dengan Angina Ludwig biasanya memiliki riwayat ekstraksi gigi
sebelumnya atau hygiene oral yang buruk dan nyeri pada gigi. Gejala klinis yang
ditemukan konsisten dengan sepsis yaitu demam, takipnea, dan takikardi. Pasien
bisa gelisah, agitasi, dan konfusi. Gejala lainnya yaitu adanya pembengkakan
yang nyeri pada dasar mulut dan bagian anterior leher, demam, disfagia,
odinofagia, drooling, trismus, nyeri pada gigi, dan fetid breath. Suara serak,
stridor, distress pernafasan, penurunan air movement, sianosis, dan “sniffing”
position. Dan pada penelitian Lee dan kawan–kawan di Korea, melaporkan gejala
klinis pada 158 kasus infeksi leher dalam yaitu keluhan leher bengkak (74,7%),
keluhan sakit pada leher (41,1%), demam (14,6%), panas dingin (10,1%), sulit
bernafas (10,1%), disfagia (6,3%), dan trismus (1,9%) (Chou, Lee, & Chao,
2007).
Stridor, kesulitan mengeluarkan secret, kecemasan, sianosis, dan posisi
duduk merupakan tanda akhir dari adanya obstruksi jalan nafas yang lama dan
merupakan indikasi untuk dipasang alat bantu pernafasan (Kulkarni, Pai, Battarai,
Rao, & Ambareesha, 2008).
Pasien dapat mengalami disfonia yang disebabkan oleh edema pada struktur
vokalis. Gejala klinis ini harus diwaspadai oleh klinisi akan adanya gangguan
berat pada jalan nafas (Kulkarni, Pai, Battarai, Rao, & Ambareesha, 2008).

Gambar 5: Pembengkakan pada area submandibular (Heavey & Gupta, 2008)

9
2.7 Diagnosis dan Pemeriksaan Penunjang
Pada pemeriksaan oral, elevasi dari lidah, terdapat indurasi besar di dasar
mulut dan di anterior lidah, dan pembengkakan suprahioid. Biasanya terdapat
edema submandibular bilateral. Pembengkakan pada jaringan anterior leher diatas
tulang hyoid sering disebut dengan bull’s neck appearance (Vieira, Allen, Stocks,
& Thompson, 2008).
Kewaspadaan dalam mengenal tanda-tanda angina Ludwig penting sangat
penting dalam diagnosis dan manjemen kondisi yang serius ini. Terdapat 4 tanda
cardinal dari angina Ludwig (Vieira, Allen, Stocks, & Thompson, 2008), yaitu :
a. Keterlibatan bilateral atau lebih ruang jaringan dalam
b. Gangrene yang disertai dengan pus serosanguinous, putrid infiltration tetapi
sedikit atau tidak ada pus
c. Keterlibatan jaringan ikat, fasia, dan otot tetapi tidak mengenai struktur
kelenjar
d. Penyebaran melalui ruang fasial lebih jarang daripada melalui sistem limfatik
Adanya brawny induration di dasar mulut merupakan gejala klinis sugestif
bagi klinisi untuk melakukan tindakan stabilisasi jalan nafas dengan secepatnya
diikuti dengan konfirmasi diagnostik selanjutnya (Vieira, Allen, Stocks, &
Thompson, 2008).
Foto polos leher dan dada sering menunjukkan pembengkakan soft-tissue,
adanya udara, dan adanya penyempitan saluran nafas. Sonografi telah digunakan
untuk mengidentifikasi penumpukan cairan di dalam soft-tissue. Foto panorama
dari rahang menunjukkan focus infeksi pada gigi (Vieira, Allen, Stocks, &
Thompson, 2008).

10
Gambar 6: Foto Polos menunjukkan adanya pembengkakan supraglotik
(tanda panah)
Pemeriksaan Penunjang :
a. Rontgen servikal lateral
Dapat memberikan gambaran adanya pembengkakan jaringan lunak pada
daerah prevertebra, adanya benda asing, gambaran udara di subkutan, air
fluid levels, erosi dari korpus vertebra. Penebalan jaringan lunak pada
prevertebra setinggi servikal II (C2), lebih 7 mm dan setinggi 14 mm
pada anak, lebih 22 mm pada dewasa dicurigai sebagai suatu abses
retrofaring (Vieira, Allen, Stocks, & Thompson, 2008).
b. Rontgen panoramiks
Dilakukan pada kasus infeksi leher dalam yang dicurigai berasal dari gigi
(Vieira, Allen, Stocks, & Thompson, 2008).
c. Rontgen toraks
Perlu dilakukan untuk evaluasi mediastinum, empisema subkutis,
pneumonia yang dicurigai akibat aspirasi dari abses (Vieira, Allen,
Stocks, & Thompson, 2008).
d. CT Scan
Berdasarkan penelitian Crespo dkk, dikutip dari Murray AD dkk, bahwa
dengan hanya pemeriksaan klinis tanpa CT Scan mengakibatkan estimasi
terhadap luasnya abses yang terlalu rendah pada 70% pasien. CT Scan
memberikan gambaran abses berupa adanya air fluid levels (Vieira,
Allen, Stocks, & Thompson, 2008). Menurut penelitian yang dilakukan

11
pada 65 penderita infeksi leher dalam di Departemen THT-KL
Universidade Estadual de Campinas, São Paulo, Brazil, pemeriksaan CT
Scan dengan kontras adalah penting dalam mengevaluasi lokasi infeksi
pada ruang leher sehingga mempermudah tindakan drainase dan
pembedahan. John dan kawan-kawan menggunakan pemeriksaan CT
Scan dengan kontras untuk mendiagnosis infeksi leher dalam pada anak-
anak yang akan diberikan terapi antibiotik intravena (McClay, Murray, &
Booth, 2003).
e. Pemeriksaan bakteriologi
Pemeriksaan bakteriologi pus dari lesi yang dalam. Setelah desinfeksi
kulit, pus dapat diambil dengan aspirasi memakai jarum aspirasi atau
dilakukan insisi. Pus yang diambil sebaiknya tidak terkontaminasi
dengan flora normal yang ada di daerah saluran nafas atas atau rongga
mulut. Spesimen yang telah diambil dimasukkan ke dalam media
transportasi yang steril (Yang, Lee, See, Huang, Chen, & Chen, 2008).

Gambar 7: CT scan menunjukkan adanya pembengkakan supraglotik dan


adanya udara dalam soft-tissue

2.8 Komplikasi
Komplikasi yang paling serius dari angina Ludwig yaitu asfiksia yang
disebabkan oleh edema pada soft-tissue leher (Kulkarni, Pai, Battarai, Rao, &

12
Ambareesha, 2008). Pada infeksi lanjut, dapat terjadi thrombosis sinus kavernosus
dan abses serebri. Komplikasi lainnya yang telah dilaporkan yaitu infeksi dinding
karotis dan rupture arteri, tromboflebitis supuratif dari vena jugularis,
mediastinitis atau selulitis nekrotikans pada leher, empiema, efusi perikard atau
efusi pleura, osteomielitis mandibula, abses subfrenikus, dan aspirasi pneumonia
(An & Singhal, 2019).

2.9 Prognosis
Prognosis angina Ludwig sangat tergantung kepada proteksi segera jalan
nafas dan pada pemberian antibiotik untuk mengatasi infeksi. Tingkat kematian
pada era sebelum adanya antibiotik sebesar 50%, tetapi dengan adanya antibiotik
tingkat mortalitas berkurang menjadi 8% (An & Singhal, 2019).
Prognosis angina Ludwig sangat tergantung kepada seberapa cepat
tatalaksana mengamankan jalan nafas dan pemberian antibiotic dilakukan. Pada
era sebelum ditemukannya antibiotik, tingkat kematian lebih tinggi dibandingkan
dengan era saat antibiotik telah ditemukan (An & Singhal, 2019).

2.10 Penatalaksanaan
2.10.1 Bedah
Karena morbiditas dan mortalitas dari angina Ludwig terutama
disebabkan oleh hilangnya patensi jalan nafas, proteksi dari jalan nafas
merupakan prioritas utama dalam tatalaksana awal pasien ini. Konsultasi
anesthesiologist dan otolaringologis sangat diperlukan dengan segera.
Transfer pasien ke ruang operasi harus dipertimbangkan sebelum manipulasi
jalan nafas dimulai. Pasien yang tidak memerlukan kontrol jalan nafas
segera harus dimonitor terus menerus. Pada pasien yang sangat memerlukan
bantuan pernapasan, kontrol jalan nafas idealnya dilakukan di ruang operasi,
untuk dilakukan krikotiroidotomi atau trakeostomi jika diperlukan (Vieira,
Allen, Stocks, & Thompson, 2008).
Drainase surgikal diindikasikan jika terdapat infeksi supuratif, bukti
radilogis adanya penumpukan cairan didalam soft-tissue, krepitus, atau
aspirasi jarum purulen. Drainase juga diindikasikan jika tidak ada perbaikan
setelah pemberian terapi antibiotik. Drainase ditempatkan di muskulus

13
milohioid ke dalam ruang sublingual.Mencabut gigi yang terinfeksi juga
penting untuk proses drainase yang lengkap (Vieira, Allen, Stocks, &
Thompson, 2008).

Gambar 8: Drainase pada infeksi supuratif (Cossio, Hinojosa, Cruz, & Perez,
2010)

2.10.2 Non Bedah


Apabila jalan nafas telah diamankan, administrasi antibiotik
intravena secara agresif harus dilakukan. Terapi awal ditargetkan untuk
bakteri gram positif dan bakteri anaerob pada rongga mulut (Kulkarni, Pai,
Battarai, Rao, & Ambareesha, 2008 & Probst, Grevers, & Iro, 2006).
Pemberian beberapa antibiotik harus dilakukan, yaitu penisilin G dosis
tinggi dan metronidazol, klindamisin, sefoksitin, piperasilin-tazobaktam,
amoksisilin klavulanat, dan tikarsilin klavulanat. Meskipun masih menjadi
kontroversi, pemberian deksametason untuk mengurangi edema dan
meningkatkan penetrasi antibiotik dapat membantu. Pemberian
deksametason intravena dan nebul adrenalin telah dilakukan untuk
mengurangi edema saluran nafas bagian atas pada beberapa kasus (Kulkarni,
Pai, Battarai, Rao, & Ambareesha, 2008).

2.11 Konsep Asuhan Keparawatan Ludwig’s Angina Secara Teoritis


1. Identitas pasien

14
Identitas pasien meliputi nama, tanggal lahir atau umur, jenis
kelamin, status, suku dan agama, alamat, pendidikan, pekerjaan, nomor
rekam medis, tanggal masuk rumah sakit, tanggal pengkajian, serta
diagnosa medis.

2. Clinical history
1. Keluhan utama
Merupakan gambaran dari apa yang dirasakan pasien atau hal
utama yang ingin diatasi (memperoleh perawatan) oleh pasien.
2. Riwayat penyakit sekarang
Riwayat penyakit sekarang merupakan pengembangan dari keluhan
utama pasien dengan menggunakan metode PQRST.
P (paliatif / profokatif) : sesuatu yang membuat keluhan menjadi
berat atau ringan
Q (quality) : bagaimana keluhan dirasakan
R (regio) : tempat keluhan dirasakan
S (scale ) : seberapa besar keluhan dirasakan
T (timing) : kapan keluhan dirasakan
3. Riwayat penyakit dahulu
Riwayat penyakit terdahulu merupakan pengkajian mengenai
penyakit yang pernah diderita klien, yang berhubungan dengan
Ludwig’s Angina maupun tidak (Bruner dan Suddarth, 2002).
4. Riwayat keluarga
Pada riwayat keluarga yang dikaji adalah riwayat dari anggota
yang memiliki penyakit sama seperti klien, penyakit menular
seperti TBC, penyakit keturunan seperti DM, Hipertensi, jantung
dan asma. Jika ada riwayat penyakit keturunan selanjutnya dibuat
genogram
3. Pola fungsional
Berdasarkan pemerksaan fisik dengan data terfokus. Data yang
harus dikumpulkan dalam pengkajian yang dilakukan pada kasus abses
submandibula menurut doenges (2000) adalah sebagai berikut:

15
1. Pola persepsi kesehatan dan management kesehatan
Menggambarkan pola pikir kesehatan pasien, keadaan sehat
dan bagaimana memelihara kondisi kesehatan. Termasuk persepsi
individu tentang status dan riwayat kesehatan, hubungannya
dengan aktivitas dan rencana yang akan datang serta usaha-usaha
preventif yang dilakukan pasien untuk menjaga kesehatannya.
2. Pola nutrisi metabolik
Dikaji tentang frekuensi makan, jenis diit, porsi makan,
riwayat alergi terhadap suatu jenis makanan tertentu. Serta, dikaji
tentang jumlah dan jenis minuman setiap hari. Pada pasien dengan
Ludwig’s Angina akan menunjukkan data subyektif : mual,
muntah, dan mengalami perubahan selera makan. Sedangkan untuk
data obyektif : mengalami distensi abdomen.
3. Pola eliminasi
Frekuensi BAB dan BAK, warna, bau, konsistensi feses dan
keluhan klien yang berkaitan dengan BAB maupun BAK. Pasien
akan menunjukkan data subyektif: inkontinensia kandung
kemih/usus atau mengalami gangguan fungsi. Hal ini dikarenakan
kurangnya asupan makanan maupun minuman pada pasien akibat
ketidak mampuan untuk menelan makanan.
4. Pola aktivitas
Dikaji tentang kegitan dalam pekerjaan, mobilisasi, olah
raga, kegiatan diwaktu luang dan apakah keluhan yang dirasakan
klien mengganggu aktivitas klien tersebut. Pasien akan
menunjukkan data subyektif : pusing, sakit kepala, nyeri, mulas.
Sedangkan, data obyektif : perubahan kesadaran, masalah dalam
keseimbangan cidera (trauma).
Dikaji sirkulasi dan pernapasan pasien. Sirkulasi dapat
menunjukkan data obyektif yakni kecepatan (bradipneu, takipneu),
pola napas (hipoventilasi, hiperventilasi, dll). Pernapasan dapat
menunjukkan perubahan pola napas serta pernapasan menggunakan
otot bantu pernapasan/otot aksesoris.

16
5. Pola istirahat tidur
Waktu tidur, lamanya tidur setiap hari, apakah ada kesulitan
dalam tidur. Pada pasien Ludwig’s Angina akan menunjukkan data
subyektif terkait neuro sensori yakni kehilangan kesadaran
sementara, vertigo. Serta, data obyektif : perubahan kesadaran bisa
sampai koma, perubahan status mental, kesulitan dalam
menentukan posisi tubuh.
6. Pola kognitif – perseptual
Penghilatan, pendengaran, rasa, bau, sentuhan, Kemampuan
bahasa, Kemampuan membuat keputusan, Ingatan,
Ketidaknyamanan dan kenyamanan. Pada pasien Ludwig’s Angina
akan memunculkan dislokasi gangguan kognitif, serta data
subyektif kenyamanan yakni nyeri pada rahang dan bengkak.
Sedangkan, data obyektif : wajah meringis, gelisah, merintih.
7. Pola persepsi dan konsep diri
Menggambarkan: Body image, Identitas diri, Harga diri,
Peran diri, Ideal diri
8. Pola peran hubungan sosial
Menggambarkan: Pola hubungan keluarga dan masyarakat,
Masalah keluarga dan masyarakat, Peran tanggung jawab.
9. Pola koping toleransi stress
Menggambarkan: Penyebab stress, Kemampuan
mengendalikan stress, Pengetahuan tentang toleransi stress, Tingkat
toleransi stress, dan Strategi menghadapi stress. Pada pasien
ludwig’s Angina akan menunjukkan data subyektif : perubahan
tingkah laku/kepribadian (tenang atau dramatis). Sedangkan, dapat
menunjukkan data obyektif : cemas, binggung, depresi yang dapat
terjadi akibat koping tidak adekuat serta dapat memunculkan
trauma baru akibat gelisah.
10. Pola seksual dan reproduksi
Menggambarkan pemenuhan kebutuhan seksual pasien serta
perkembangan sitem reproduksi.

17
11. Pola nilai dan kepercayaan
Menggambarkan: Perkembangan moral, perilaku dan
keyakinan, Realisasi dalam kesehariannya.
4. Pemeriksaan penunjang
1. Laboratorium
Pada pemeriksaan darah rutin, didapatkan leukositosis. Aspirasi
material yang bernanah (purulent) dapat dikirim untuk dibiakkan
guna uji resistensi antibiotik.
2. Radiologi
a. rongen jaringan lunak kepala AP
b. rongen panoramik dilakukan apabila penyebab abses
submandibula berasal dari gigi.
c. Rongen toraks perlu dilakukan untuk evaluasi mediastinum,
empisema subkutis, pendorongan saluran napas, dan
pneomonia akibat aspirasi abses.
d. Tomografi komputer (CT SCAN)
CT SCAN dengan kontras merupakan pemeriksaan baku emas
pada abses leher dalam. Berdasarkan penelitian crespo bahwa
hanya dengan pemeriksaan klinis tnpa CT SCAN
mengakibatkan estimasi terhadap luasnya abses yang terlalu
rendah pada 70% pasien. Gambaran abses yang tampak adalah
lesi dengan hipodens (intensitas rendah), batas yang lebih jelas,
dan kadang ada air fluid level.
5. Penatalaksanaan
a. Bedah
b. Non bedah
6. Prioritas diagnosa keperawatan
Diagnosa yang Mungkin Muncul pada Fase Pre Op
2.1 Nyeri akut b.d agen-agen penyebab cidera (biologis, kimia, fisik,
psikologis)
2.2 Resiko defisit nutrisi d.d ketidakmampuan menelan makanan
(faktor biologis) dan kelemahan otot pengunyah.

18
2.3 Ansietas b.d (defisit pengetahuan, terpajan toksin, hubungan
keluarga/ herediter, stress, krisis situasi atau maturasi,
penyalahgunaan zat, ancaman kematian, ancaman konsep diri,
konflik yang tidk disadari)
Diagnosa yang Mungkin Muncul pada Klien Post Op
1. Nyeri akut b.d agen-agen penyebab cidera fisik (luka
pembedahan).
2. Risiko Infeksi b.d luka post operasi.
3. Kerusakan integritas kulit b.d zat kimia, kelembaban, hipertermia,
hipotermia, faktor mekanik ( terpotong, terkena tekanan, dan
akibat restrain) , obat, mobilitas fisik, radiasi.
7. Nursing care plan
1) Nyeri akut b/d agen-agen penyebab cedera (biologis, kimia, fisik,
psikologis)
NOC :
1. Tingkat Nyeri
2. Kontrol Nyeri
3. Kenyamanan
Kriteria hasil :
1. Memperlihatkan pengendalian nyeri, yang dibuktikan dengan
indicator sebagai berikut (tidak pernah, jarang, kadang-kadang,
sering, selalu)
2. Mmengenali awitan nyeri
3. Mampu menggunakan tindakan pencegahan
4. Melaporkan mengontrol nyeri
5. Menunjukkan tingkat nyeri, yang dibuktikan dengan indikator
skala nyeri (sangat berat, berat, sedang, ringan, atau bahkan tidak
ada)
NIC
1. Kaji kriteria nyeri klien, penyebab dan perasaan klien.
2. Kaji skala skala nyeri klien (0-10)

19
3. Kaji dampak agama , budaya, kepercayaan dan lingkungan
terhadap nyeri dan respon nyeri
4. Observasi isyarat non verbal ketidaknyamanan, khususnya pada
mereka yang tidak mampu berkomunikasi efektif dapat dilakukan
observasi pada ekspresi wajah.
R/ pencegahan komplikasi, mengetahui tentang nyeri &
menpermudah intervensi, dan mengetahui penyebab nyeri.
Terapi Suportif :
5. Bantu klien mengidentifikasi tindakan kenyamanan yang efektif
dimasa lalu seperti, distraksi, relaksasi, kompres hangat dingin
R/ Tehnik distraksi relaksasi, kompres hangat dingin dapat
membantu meningkatkan rasa nyaman klien
6. Lakukan perubahan posisi, massase punggung dan relaksasi
R/ Posisi yang nyaman dan tehnik relaksasi yang benar membantu
menurunkan nyeri dan meningkatkan rasa nyaman
Teaching :
7. Ajarkan penggunaan teknik nonfarmakologis (misalnya nafas
dalam, umpan balik biologis, trankutaneous electrical nerve
stimulation (TENS), hypnosis, relaksasi, imajinasi terbimbing,
terapi music, distraksi, terapi bermain, terapi aktivitas, akupuntur,
kompres hangat atau dingin, massase) sebelum, setelah, dan jika
memungkinkan selama aktivitas yang menimbulkan nyeri.
8. Informasikan / instruksikan klien untuk menginformasikan pada
perawat jika peredaan nyeri tidak tercapai.
R/ Tehnik relaksasi secara mandiri membantu klien agar dapat
memanage rasa nyerinya dengan cara dan waktu yang tepat.
Modifikasi Lingkungan :
9. Ciptakan lingkungan yang aman dan nyaman
R/ Lingkungan yang aman dan nyaman membantu meningkatkan
rasa nyaman klien sehingga diharapkan dapat mengurangi rasa
nyeri yang dirasakan klien
Kolaborasi :

20
10. Kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian terapi
farmakologis sesuai indikasi.
R/ Terapi farmakologis efektif membantu menghilangkan rasa
nyeri sementara
2) Resiko defisit nutrisi d.d ketidakmampuan menelan makanan, dan
kelemahan otot pengunyah.
NOC
a. Status nutrisi
b. Status menelan
c. Tingkat nyeri
Kriteria Hasil
1. Kekuatan otot mengunyah pasien dapat teratasi (dengan kriteria
menurun menjadi sedang, cukup meningkat dan atau meningkat).
2. Frekuensi makan pasien bisa lebih membaik.
3. Meningkatnya kemampuan mengunyah makanan.
4. Berkurangnya mual dan muntah.

NIC
Manajemen gangguan makan :
a. Monitor asupan dan keluarnya makanan dan cairan serta
kebutuhan kalori.
R/ mengetahui perkembangan nutrisi pasien.
b. Mengidentifikasi kemampuan menelan pasien terkait fungsi
motorik wajah, reflek menelan dan reflek gag.
R/ menegtahui asupan makanan pasien.
Terapi Suportif :
a. Pertimbangkan faktor-faktor yang mempengaruhi pemenuhan
kebutuhan gizi seperti usia, tahap pertumbuhan dan
perkembangan, dan penyakit.
R/ pemenuhan nutrisi tepat dan lebih baik.
Terapi Lingkungan :
a. Ciptakan lingkungan yang aman dan nyaman

21
R/ Lingkungan yang aman dan nyaman membantu
meningkatkan rasa nyaman dan memudahkan intervensi
Terapi Kolaboratif :
a. Merujuk ke ahli gizi jika perlu.
R/ memperoleh saran asupan, jumlah, dan frekuensi makanan
yang lebih sesuai.
3) Ansietas b.d (defisit pengetahuan, terpajan toksin, hubungan keluarga/
herediter, stress, krisis situasi atau maturasi, penyalahgunaan zat,
ancaman kematian, ancaman konsep diri, konflik yang tidk disadari)
NOC:
1. Tingkat Ansietas
2. Koping Individu
Kriteria Hasil
a. Klien mampu mengidentifikasi dan mengungkapkan gejala
cemas dengan indikator (Tidak Pernah, Jarang, Kadang-
kadang, Sering, Selalu)
b. Vital sign dalam batas normal
c. Postur tubuh, ekspresi wajah, bahasa tubuh dan tingkat
aktivitas menunjukkan berkurangnya kecemasan
d. Menggunakan teknik relaksasi untuk meredakan ansietas

NIC
Kontrol Ansietas :
b. Kaji dan dokumentasikan tingkat kecemasan klien, termasuk sikap
reaksi fisik. R/ Mengetahui tingkat kecemasan klien membantu
memudahkan pemilihan intervensi yang tepat
c. Kaji faktor budaya (misalnya, konflik nilai) yang menjadi
penyebab ansietas.
R/ Mengetahui penyebab ansietas akan memudahkan perawat
dalam meilih intervensi yang tepat
d. Reduksi ansietas, menentukan kemampuan pengambilan keputusan
klien

22
R/ Mengetahui tingkat kemampuan pengetahuan klien dapat
membantu memberikan intervensi pelatihan yang tepat dalam
mengatasi ansietas secara mandiri
e. Gali bersama klien tentang teknik yang berhasil dan tidak berhasil
menurunkan ansietas di masa lalu
R/ Pengalaman masa lalu membantu mengetahui teknik terbaik
dalam pemberian intervensi
Terapi Suportif :
b. Berikan dorongan kepada klien untuk mengunkapkan secara verbal
pikiran dan perasaan untuk mengekternalisasikan ansietas
R/ Support perawat membantu mengurangi beban pikiran klien dan
menurunkan kecemasan
c. Bantu klien untuk memfokuskan pada situasi saat ini, sebagai cara
untuk mengidentifikasi mekanisme koping yang dibutuhkan untuk
mengurangi ansietas
R/ Identifikasi koping klien mandiri membantu mengetahui
pertahanan terbaik untuk mengurangi ansietas klien
d. Dorong klien untuk mengekpresikan kemarahan dan iritasi serta
izinkan klien untuk menangis
R/ Melepaskan ekpresi atas beban yang dirasakan dapat
menurunkan ansietas klien
e. Berikan fasilitas pengalihan melalui televisi, radio, permainan serta
terapi okupasi untuk menurunkan ansietas dan memperluas fokus
R/ Ketersediaan fasilitas yang cukup membantu mengalihkan
kecemasan yang dirasakan oleh klien
Terapi pelatihan :
a. Ajarkan anggota keluarga bagaimana membedakan antara serangan
panik dan gejala penyakit fisik
R/ Peningkatan fungsi keluarga membantu memudahkan intervensi
dan mengurangi kecemasan yang dirasakan klien
b. Instruksikan klien tentang penggunaan teknik relaksasi

23
R/ Tehnik relaksasi mandiri membantu klien untuk mampu
mengontrol ansietas
Terapi Lingkungan :
a. Ciptakan lingkungan yang nyaman dan tenang
b. Hindari sumber-sumber penyebab ansietas jika memungkinkan
R/ Lingkungan yang aman dan nyaman membantu menghindari
risiko cemas dan menurunkan ansietas
Kolaborasi :
a. Kolaborasi dengan tim medis jika terjadi ansietas terlalu berat

24
BAB 3
ANALISA KASUS

3.1 Pengkajian
Ny A usia 54 tahun datang ke rumah sakit selasa 30 april 2019 jam 08.00
dengan karies gigi yang tidak diobati dan patah tulang gigi molar. Dia mengatakan
bahwa patah gigi molar di sisi kanan belum diobati selama satu tahun karena
kurangnya asuransi gigi. Seminggu yang lalu dia mengatakan nyeri pada sisi
kanan rahangnya dan semakin meningkat. Pada hari ketujuh , dia tidak bisa
membuka mulut karena sakit luar biasa menjalar ke kedua sisi dagunya. Dia tidak
bisa mentoleransi asupan oral karena rasa sakit bila membuka mulutya. Dia juga
mengatakan sakit kepala parah di daerah frontal dan maksila. Selain itu,
mengakatan menggigil, mual , muntah, berkeringat , lemas dan disfagia. Namun
dia membantah nyeri dada, dypsnea, diare, atau sakit di wajah bagian atas atau
bahu. Tekanan darah 90/60 mmhg , Nadi 96 x/ menit , RR 18x/ menit, suhu 38,5
c, saturasi oksigen 96% pada ruang udara, Skala nyeri 7. Dari pemeriksan lab
leukosit 13.700/uL. Diagnosa medis pasien terkena Angina Ludwig. Penanganan
yang akan diberikan kepada Ny. A adalah keperawatan nyeri akut, hipertermi, dan
resiko defisit nutrisi. Hasil dari perawatan yang diberikan kepada Ny. A yakni
skala nyeri ditingkatkan hingga nyeri berkurang atau dipertimbangkan nyeri telah
hilang; Hipertermi teratasi; serta nutrisi adekuat.

3.1.1 Pengkajian Terfokus


Identitas Klien
a. Nama : Ny. A
b. Usia : 54 tahun
c. Jenis Kelamin : Perempuan
d. Agama : Islam
e. Tanggal MRS : 30 April 2019 pukul 08.00
f. Tanggal Pengkajian : 30 April 2019 pukul 08.30
g. Sumber Informasi : Pasien
3.1.2 Riwayat Kesehatan
Diagnosa Medis : Angina Lugwig

25
a. Keluhan Utama :
1. Nyeri skala 7
2. Pembengkakan pada leher
b. Riwayat penyakit sekarang :
Datang dengan karies gigi yang tidak diobati dan patah tulang
gigi molar di sisi bagian kanan. Seminggu yang lalu dia
mengatakan nyeri pada sisi kanan rahangnya dan semakin
meningkat. Pada hari ketujuh , dia tidak bisa membuka mulut
karena sakit luar biasa menjalar ke kedua sisi dagunya. Dia tidak
bisa mentoleransi asupan oral karena rasa sakit bila membuka
mulutya. Dia juga mengatakan sakit kepala parah di daerah frontal
dan maksila. Selain itu, mengakatan menggigil, mual , muntah,
berkeringat , lemas dan disfagia. Saat dilakukan pengkajian
didapatkan tanda-tanda vital Tekanan darah 90/60 mmhg , Nadi 96
x/ menit , RR 18x/ menit, suhu 38,5 c, saturasi oksigen 96%.
c. Riwayat penyakit dahulu :
Klien mengatakan tidak memiliki riwayat penyakit seperti ini
d. Riwayat penyakit keluarga
Keluarga tidak pernah terkena penyakit seperti ini sebelumnya
3.1.3 Pemeriksaan Penunjang & Lab :
a. Pemeriksaan laboratorium
Test Darah Lengkap
Ukuran Hasil Lab Nilai Rujukan

Eritrosit (sel darah merah) 4,8 juta/ɥl 4,0-5,0 juta/ɥl (P)


4,5-5,5 juta/ɥl (L)
Hemoglobin (Hb) 16,2 g/dL 12,0-14,5 g/dL(P)
13,0-16,0 g/dL (L)
Hematokrit 71% 40%-50% (P)
45%-55% (L)
Laju endap darah (LED) 19 mm/jam <15 mm/jam (P)
<10 mm/jam (L)

26
Leukosit (sel darah putih) 13.700/uL 5,0-10,0x103/ɥl
Trombosit 380.000/ ɥl 150-400x103/ɥl

Uji Protein C-reaktif 2,0 mg/dl <1,0 mg/dl


Test Elektrolit 3,4 mmol/L 3,5-5 mmol/L
(Kalium) (Kalium)
125 mEq/L 135-145 mEq/L
(Natrium) (Natrium)

b. Pemeriksaan Penunjang
Kultur Mikroba : Streptococcus viridians dan Stabilococcus aureus
3.1.4 TerapiFarmakologi :
a. Cairan intravena (IV) sebagai pemenuhan elektrolit dan nutrisi.
b. Antibiotik : Clindamycin sebagai pengobatan infeksi gigi.
c. Pada hari berikutnya, rejimen antibiotiknya diubah menjadi
cefoxitin untuk meningkatkan penetrasi pada infeksinya di rongga
mulut.
d. Simtomatik terapi diobati dengan morfin, ketorolac, dan
ondansetron.
e. Pemberian obat intravena (IV) pada hari kedua yakni
methylprednisolone merupakan obat kortikosteroid sebagai
pereda inflamasi.
f. Antipiretik : Aspirin.
3.1.5 Pola fungsi kesehatan
a. Pola nutrisi dan metabolisme
Nutrisi klien tidak tercukupi beberapa hari ini dikarenakan selalu
muntah dan sakit pada bagian mulut apa bila makan.
Di rumah : 3x sehari porsi sepiring/makan
MRS : 3x sehari porsi ¼ piring/makan
b. Pola aktivitas
Klien kurang beraktifitas karena rasa sakitnya

27
Dirumah : mampu melakukan aktivitas ringan dan sedang
sehari-hari.
MRS : tirah baring lebih dominan.
c. Pola istirahat dan tidur
Pola tidur klien tidak beraturan klien tidak bisa tidur dengan
nyenyak karena rasa sakit pada bagian mulut.
Dirumah : tidur cukup dan nyenyak.
MRS : tidur terganggu, sering terjaga disetiap tidur.
d. Pola eliminasi
Pola BAK dan BAB klien tidak normal karena kurangnya asupan
makanan.
Dirumah : BAB lancar sesuai porsi dan intensitas makan
perhari.
MRS : jarang BAB minimal 3 hari sekali.
e. Pola hubungan peran
Klien mengatakan tidak dapat melakuakan peran nya sebagai ibu
rumah tangga dengan maksimal.
Dirumah : melaksanakan pengasuhan anak dengan baik dan
menjadi istri yang profesional.
MRS : terbatasnya pemberian asuhan kepada anak dan
suami.
f. Pola penanggulangan stress
Dirumah : klien selalu bercerita kepada suami jika memiliki
masalah.
MRS : klien tidak dapat bencerita dengan leluasa karena
gangguan di daerah mulutnya.
g. Pola tata nilai dan kepercayaan
Klien terganggu saat beribadah karena rasa sakit dan nyeri yang
muncul.
h. Pola fungsi dan seksualitas
Klen masih bisa melakuan hubungan seksual
3.1.6 Observasi dan pemeriksaan fisik

28
Observasi dan Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan umum
Lemas dan meringis kesakitan
b. Tanda-tanda vital
TD : 90/60 mmHg
N : 96 x/menit
RR : 18x/ menit
S : 38,5°C
P : skala 7
c. Pemeriksaan kepala dan leher
Kepala :Inspeksi Rambut sudah beruban, keadaan rambut dan
kulit kepala bersih, penyebaran rambut tidak
merata, tidakadalesi.
Palpasi Tidak ada benjolan, ada nyeri tekan pada daerah
frontal.
Wajah :Inspeksi Tampak lesu,simestris kiri kanan, bentuk wajah
oval, tampak bengkak pada wajah, ekspresi
wajah meringis bila nyeri
Palpasi Adanya nyeri tekan, ada oedama/massa
Mata :Inspeksi Tampak cowong, terdapat lingkaran hitam di
sekitar mata.
Palpasi Tidak ada nyeri tekan pada kedua bola mata,
kedua bola mata teraba lunak
Hidung :Inspeksi Simetris kiri dan kanan, tidak nampak adanya
septum deviasi
Palpasi Tidak ada nyeri tekan pada hidung, sinus
maksillaris, frontalis dan etmoidalis, tidak ada
massa/benjolan.

Mulut :Inspeksi Adanya


karies pada gigi dan patah gigi molar, gusi

29
terdapat peradangan, lidah agak berwarna putih,
bibir kering tidak cyanosis.

Leher :Inspeksi Tidak tampak pembesaran kelenjar tyroid dan kelenjar


limfe, tidak ada pembesaran vena jugularis
Palpasi Adanya nyeri tekan, tidak teraba
pembesaran kelenjar tyroid dan kelenjar limfe.

d. Pemeriksaan thorax
Inspeksi Bentuk dada normal
chest, frekuensinafas
18x/menit.
Palpasi Ekspansi dada kanan
dan kiri seimbang.
Getaran vocal
fremitus teraba
diseluruh dada, tidak
teraba adanya massa, tidak ada nyeri tekan.
Perkusi Sonor pada semua lapang paru, tidak terdengar adannya
penimbunan cairan.
Auskultasi Bunyi nafas vesikuler, tidak terdengar bunyi nafas
tambahan.
e. Pemeriksaan ekstremitas
i. Ekstremitas atas

30
Motorik Klien dapat menggerakan ekstremitas kanan dan
kiri, tonus otot kanan dan kiri baik, kekuatan otot
nilai 4/5.
Refleks Biceps kiri dan kanan normal, triceps kiri dan kanan
normal.
Sensori Tidak ada nyeri tekan, sensitive terhadap rangansan
suhu/raba.
ii. Ekstremitas bawah
Motorik Tonus otot kanan dan kiri baik, kekuatan otot nilai
4/5.
Refleks Patella kanan dan kiri normal, Achilles kanan dan
kiri normal, babinsky kanan dan kiri normal.
Sensori Tidak ada nyeri tekan, sensitive terhadap rangansan
suhu/raba.
f. Pemeriksaan abdomen
Inspeksi Warna kulit sama dengan daerah sekitarnya, perut
nampak datar.
Auskultasi pristaltik 35 x/menit.
Perkusi Terdengar bunyi timpani kecuali pada daerah kuadran
kanan atas, pekak pada daerah hepar
Palpasi .Tidak ada kelainan dan tidak ada nyeri tekan
g. Pemeriksaan integumen
Inspeksi adanya warna kemerahan pada area mandibula
Palpasi adanya inflamasi pada area mandibula
h. Pemeriksaan genetalia
Genetalia normal tidak ada benjolan.

31
3.2 Analisa Data
Nama : Ny. A No. Reg :-

Umur : 54 tahun Diagnosa medis: Angina Ludwig

No Hari/tanggal/ Data Etiologi Masalah

jam

1. Selasa/30 DO : leukosit Karies gigi tidak Nyeri akut


April 13.700/uLTD 90/60, diobati
2019/09.30 suhu 38,5°C,N
96x/mnt, nyeri tekan
pada bagian kedua Bakteri
dagu, tampak
meringis, disfagia

Menginfeksi
jaringan sehat
DS : Pasien
mengatakan skala
nyeri pada sisi kanan
Infeksi
rahang 7, menggigil,
berkeringat

Kematian sel

Sensasi nyeri

Nyeri akut

2. Selasa/30 DO : suhu 38,5°C, Bakteri Hipertermia


April akral panas
2019/10.30
DS : pasien
mengatakan infeksi
menggigil, mual,
berkeringat, lemas
inflamasi

peningkatan

32
suhu tubuh

Hipertermia

3. Selasa/30 Infeksi Resiko defisit


April nutrisi
2019/11.30 DO : TD 90/60
mmhg, TB 165 cm,
BB 60kg Kematian sel

DS : pasien Sensai nyeri


mengatakan tidak
dapat mentoleransi
asupan oral, mual, Nyeri telan
muntah, lemas,
disfagia
anoreksia

Defisit nutrisi

Diagnosa Keperawatan

1. Nyeri akut b.d agen pencedera fisiologis (inflamasi, iskemia, neoplasma) d.d
skala nyeri 7
2. Hipertermia b.d proses penyakit (infeksi) d.d suhu tubuh 38,5°C, menggigil,
mual, berkeringat, dan lemas
3. Resiko defisit nutrisi d.d ketidakmampuan menelan makanan

33
3.3 Intervensi

No. Diagnosa Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi Rasional

1. Nyeri akut b.d agen Setelah dilakukan tindakan 1. Identifikasi pengetahuan 1. Untuk membantu pasien dalam
pencedera fisiologis keperawatan selama 2 x 24 dan keyakinan tentang mengenali nyeri yang dialami
(inflamasi, iskemia, jam, diharapkan nyeri dapat nyeri
2. Supaya pasien mengetahui apa
neoplasma) d.d skala dipertahankan dari skala 2 2. Jelaskan penyebab,
penyebab nyeri tersebut
nyeri 7 dan ditingkatkan ke skala 5 periode, dan pemicu nyeri.
dengan kriteria hasil: 3. Jelaskan strategi 3. Supaya pasien mengetahui
1. Kontrol nyeri meredakan nyeri bagaimana cara mengatasi nyeri
a. Kemampuan 4. Identifikasi kesesuaian yang dirasakan
penyebab nyeri jenis analgesik
4. Untuk menghindari kesalahan
b. Penggunaan 5. Monitor efektifitas
dalam memberikan analgesik
analgesik analgesik
2. Status kenyamanan 6. Identifikasi gejala yang 5. Untuk mengetahui apakah
a. Mual tidak menyenangkan (mis. analgesik tersebut efektif
b. Lelah Mual, nyeri, gatal, sesak) digunakan
c. Pola tidur 7. Jelaskan mengenai kondisi
6. untuk mengetahui gejala dan
dan pilihan
penyebab nyeri yang ditimbulkan

34
terapi/pengobatan 7. Menentukan pengobatan yang
diberikan

2. Hipertermia b.d proses Setelah dilakukan tindakan 1. Monitor suhu tubuh 1. Untuk mengetahui
penyakit (infeksi) d.d keperawatan selama 2 x 24 2. Sediakan lingkungan perkembangan suhu tubuh
suhu tubuh 38,50C, jam, diharapkan hipertermia dingin pasien
menggigil, mual, dapat dipertahankan dari 3. Lakukan pendinginan 2. Untuk menurunkan suhu
berkeringat, dan lemas skala 3 dan ditingkatkan ke eksternal misalkan pasien
skala 5 dengan kriteria hasil: kompres dingin pada 3. Untuk menstabilkan suhu
1. Termoregulasi dahi, leher, dada, tubuh pasien
a. Suhu kuit abdomen, aksila.
b. Suhu tubuh 4. Kolaborasi pemberian
2. Perfusi perifer cairan dan elektrolit
a. Tekanan darah intravena (RL dan D5)
sistol 5. Kolaborasi pemberian
antipiretik (antrain)
3. Risiko defisit nutrisi Setelah dilakukan tindakan 1. Identifikasi kelainan 1. Untuk mengetahui adanya
d.d ketidakmampuan keperawatan selama 2 x 24 rongga mulut kelainan yang dapat
menelan makanan jam, diharapkan risiko 2. Identifikasi perlunya menyebabkan nyeri
defisit nutrisi dapat penggunaan selang 2. Untuk membantu pemenuhan

35
dipertahankan dari skala 3 nasogastrik nutrisi
dan ditingkatkan ke skala 5 3. Monitor asupan 3. Untuk memantau asupan
dengan kriteria hasil: makanan nutrisi yang didapat
1. Status nutrisi 4. Dampingi ke kamar 4. Untuk mengetahui asupan
a. Kekuatan otot mandi untuk pengeluaran pasien
mengunyah pengamatan perilaku 5. Agar kebutuhan kalori pasien
b. Kekuatan otot memuntahan kembali terpenuhi
menelan makanan.
2. Status menelan 5. Kolaborasi dengan ahli
a. Kemampuan gizi tentang target berat
mengunyah badan kebutuhan kalori
b. Usaha menelan dan pilihan makanan

36
5.4 Implementasi

Hari,
Diagnosa Implementasi Ttd
Tgl/Jam

Selasa, Nyeri akut b.d agen pencedera fisiologis 1. Mengidentifikasi pengetahuan dan keyakinan tentang nyeri ¶
30 April (inflamasi, iskemia, neoplasma) d.d skala 2. Menjelaskan penyebab, periode, dan pemicu nyeri.
2019/ nyeri 7. 3. Menjelaskan strategi meredakan nyeri (nafas dalam,teknik
imajinasi terbimbing)
08.00
4. Mengidentifikasi kesesuaian jenis analgesi (mis. Paracetamol,
Ibuprofen, Antrain)
5. Memonitor efektifitas analgesik (efek samping penggunaan
analgesik mis. Ibuprofen, paracetamol, dll)
6. Mengidentifikasi gejala yang tidak menyenangkan (mis. Mual,
nyeri, gatal, sesak)
7. Menjelaskan mengenai kondisi dan pilihan terapi/pengobatan
untuk mengurangi rasa nyeri misalkan dengan aromaterapi,
kompres hangat,atau dingin

37
Selasa, Hipertermia b.d proses penyakit (infeksi) 1. Memonitor suhu tubuh (suhu tubuh normal yaitu 36,5°C) ¶
30 April d.d suhu tubuh 38,50C, menggigil, mual, 2. Menyediakan lingkungan dingin (suhu ruangan 20°C-25°C)
2019/ berkeringat, dan lemas. 3. Melakukan pendinginan eksternal misalkan kompres dingin
pada dahi, leher, dada, abdomen, aksila.
09.00
4. Berkolaborasi pemberian cairan dan elektrolit intravena (RL
dan D5)
5. Berkolaborasi dalam pemberian antipiretik (antrain)
Selasa, Risiko defisit nutrisi d.d ketidakmampuan 1. Mengidentifikasi kelainan rongga mulut ¶
30 April menelan makanan. 2. Mengidentifikasi perlunya penggunaan selang nasogastrik
2019/ 3. Memonitor asupan makanan (rendah lemak, tinggi protein,
tinggi karbohidrat)
10.00
4. Mendampingi ke kamar mandi untuk pengamatan perilaku
memuntahan kembali makanan.
5. Berkolaborasi dengan ahli gizi tentang target berat badan
kebutuhan kalori dan pilihan makanan

38
5.5 Evaluasi
No Hari/Tangg Diagnosa Evaluasi (SOAP) Ttd
al/Jam

1 Selasa , 30 Nyeri Akut b.d S: Klien mengatakan ¶


April 2019 agen pencedera masih terasa sedikit nyeri
fisiologis(inflama
09.09 O: - Skala Nyeri 3
si, iskemia,
neoplasma) d.d - Ekspresi nyeri
skala nyeri 7 berkurang
A: Nyeri yang dirasakan
klien berkurang

P : Lanjutkan Intervensi 1
sd 7

2 Selasa, 30 Hipertrmia b.d S : Klien mengatakan ¶


April 2019 proses penyakit badan kadang panas,
(infeksi) d.d suhu kadang tidak,
09.09
tubuh 38,5 C,
O : - TD:100/60 S: 37,5
menggigil, mual,
berkeringat dan berkeringat, lemas,
lemas menggigil

A : panas yang dirasakan


berkurang

P : Lanjutkan Intervensi 1
sd 3

3 Selasa, 30 Resiko defisit S : Klien mengatakan sakit ¶


April 2019 nutrisi d.d jika menelan
ketidakmampuan
09.09 O : - Wajah tampak
menelan makanan
menahan sakit

39
BB : 60 kg , mual , lemas

A : klien masih sakit kalau


menelan

P : Lanjutkan intervensi 1
sd 3

40
BAB 4
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Angina Ludwig didefinisikan sebagai selulitis yang menyebar dengan cepat,
potensial menyebabkan kematian, yang mengenai ruang sublingual dan
submandibular (Gupta, Singh, Tanger, & Mathur, 2018).
Angina Ludwig biasanya disebabkan oleh infeksi odontogenik, khususnya
dari gigi molar kedua atau ketiga bawah. Infeksi biasanya disebabkan oleh bakteri
streptokokus, stafilokokus, atau bakteroides. Namun, 50% kasus disebabkan
disebabkan oleh polimikroba, baik oleh gram positif ataupun gram negatif, aerob
ataupun anaerob (Moorhead & Guiahi, 2010).
Gejala klinis yang ditemukan konsisten dengan sepsis yaitu demam, takipnea,
dan takikardi. Pasien bisa gelisah, agitasi, dan konfusi. Gejala lainnya yaitu
adanya pembengkakan yang nyeri pada dasar mulut dan bagian anterior leher,
demam, disfagia, odinofagia, drooling, trismus, nyeri pada gigi, dan fetid breath.
Suara serak, stridor, distress pernafasan, penurunan air movement, sianosis, dan
“sniffing” position (Heavey & Gupta, 2008).
Kewaspadaan dalam mengenal tanda-tanda angina Ludwig penting sangat
penting dalam diagnosis dan manjemen kondisi yang serius ini. Foto polos leher
dan dada, sonografi, foto panorama, CT scan, dan MRI dapat membantu
mendiagnosis angina Ludwig (Kulkarni, Pai, Battarai, Rao, & Ambareesha,
2008).
Proteksi dari jalan nafas merupakan prioritas utama dalam tatalaksana awal
pasien ini. Apabila jalan nafas telah diamankan, administrasi antibiotik intravena
secara agresif harus dilakukan. Drainase surgikal diindikasikan jika terdapat
infeksi supuratif, bukti radilogis adanya penumpukan cairan didalam soft-tissue,
krepitus, atau aspirasi jarum purulen. Drainase juga diindikasikan jika tidak ada
perbaikan setelah pemberian terapi antibiotik (McClay, Murray, & Booth, 2003).

41
4.2 Saran
Adapun saran yang dapat diberikan sebagai berikut:
4.2.1 Kerja sama dari berbagai pihak diperlukan dalam meningkatkan
keberhasilan terapi pada pasien Angina Ludwig
4.2.2 Setiap pihak yang bertanggung jawab terhadap kesehatan harus
memahami mengenai etiologi, patofisiologi, diagnosis, terapi, dan
prognosis dari Angina Ludwig

42
DAFTAR PUSTAKA

Aisyah, S., Dharma, A., & Turnip, M. (2017, Juni). JARINGAN SYARAF
TIRUAN PREDIKSI PENYAKIT LUDWIG ANGINA. JURITI PRIMA
(Junal Ilmiah Teknik Industri Prima), 1(1).

An, J., & Singhal, M. (2019, April 3). Ludwig Angina. (t. C. license, Ed.) NCBI.

Bulechek, G. M., Butcher, H. K., Dochterman, J. M., & Wagner, C. M. (2016).


Nursing Interventions Classification (NIC) (6th ed.). (I. Nurjannah, & R.
D. Tumanggor, Eds.) Yogyakarta: CV. Mocomedia.

Chou, Y. K., Lee, C. Y., & Chao, H. H. (2007, december). An Upper Airway
Obstruction Emergency Ludwig Angina. Pediatric Emergency Care,
23(12).

Cossio, P. I., Hinojosa, E. F., Cruz, M. M., & Perez, L. G. (2010). Ludwig's
angina and ketoacidosis as a first manifestation of diabetes mellitus. Med
Oral Patol Oral Cir Bucal, 1(15), 624-627.

Dewi, I. T., Putra, I. E., & Sucipta, I. W. (n.d.). Abses Ruang Submandibula
Sinistra Dengan Perluasanke Ruang Submental. Universitas Udayana,
Ilmi Kesehatan THT-KL. Denpasar: Fakultas Kedokteran.

Gupta, A. K., Singh, A. P., Tanger, R., & Mathur, V. (2018). Ludwig’s Angina:
Pediatric Case Report and Literature Review. Journal of Mahatma Gandhi
Institute of Medical Sciences, 23(2).

Hagberg, C., Bogomolny, Y., Gilmore, C., Gibson, V., Kaitner, M., & Khurana, S.
(2006). An evaluation of the insertion and function of a new supraglottic
airway device, the King LT, during spontaneous ventilation. Anesth
Analg(102), 621-625.

Hartmann, R. (2011). Ludwig's Angina In Children. Am Fam Physician(60), 109-


112.

43
Heavey, J., & Gupta, N. (2008). Ludwig’s Angina. The new england journal of
medicine, 359(14), 1501.

International, N. (2018). NANDA-I International nursing diagnoses : Definitions


and Classification 2018-2020 (11 ed.). (T. H. Herdman, S. Kamitsuru,
Eds., B. A. Keliat, H. S. Mediani, & T. Tahlil, Trans.) Jakarta: EGC.

Kulkarni, A. H., Pai, S. D., Battarai, B., Rao, S. T., & Ambareesha, M. (2008,
June 20). Ludwig's angina and airway considerations: a case report. Cases
Journal, 1, 19.

McClay, J. E., Murray, A. D., & Booth, T. (2003). Intravenous Antibiotic Therapy
for Deep Neck Abscesses Defined by Computa Tomograhy. Archives of
Otolaryngol Head Neck Surgery, 11(129), 1207-1212.

Moorhead, K., & Guiahi, M. (2010). Pregnancy Complicated by Ludwig's Angina


Requiring Delivery. Infectious Diseases in Obstetrics and Gynecology.

Moorhead, S., Johnson, M., Maas, M. L., & Swanson, E. (2016). Nursing
Outcomes Classification (NOC) (5th ed.). (I. Nurjannah, & R. D.
Tumanggor, Eds.) Yogyakarta: CV. Mocomedia.

Probst, R., Grevers, G., & Iro, H. (2006). Basic Otorhinolarylology: A Step by
Step Learning . Georg Thieme Verlag: Stuttgart, 84-85.

Rizzo, P., & Mosto, M. (2009). Submandibular Space Infection: a Potentially


Lethal Infection. International Journal of Infect Diseases(13), 327-333.

Ugboko, V., Ndukwe, K., & Oginni, F. (2005). Ludwig’ s Angina: An Analysis of
Sixteen Cases in a Suburban Nigerian T ertiary Facility. African Journal of
oral Health, 2, 16-23.

Vieira, F., Allen, S. M., Stocks, R. M., & Thompson, J. W. (2008). Deep Neck
Infection. Otolaryngologic Clinics of North America(41), 459-483.

44
Yang, S. W., Lee, M. H., See, L. C., Huang, S. H., Chen, T. M., & Chen, T. A.
(2008). Deep neck abscess: an analysis of microbial etiology and the
effectiveness of antibiotics. Infection and Drug Resistance, 1-8.

45

Anda mungkin juga menyukai