Anda di halaman 1dari 21

i

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................................................i
LEMBAR PENGESAHAN...............................................................................ii
DAFTAR ISI.....................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................1
1.1 Latar Belakang...................................................................................1
1.2 Tujuan Penulisan...............................................................................2
1.3 Manfaat Penulisan.............................................................................2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.......................................................................3
2.1 Anatomi dan Fisiologi Tonsil............................................................3
2.2 Tonsilitis Difteri................................................................................7
2.2.1 Definisi..................................................................................7
2.2.2 Epidemiologi.........................................................................7
2.2.3 Faktor Risiko.........................................................................8
2.2.4 Etiologi..................................................................................8
2.2.5 Patogenesis............................................................................9
2.2.6 Patofisiologi........................................................................10
2.2.7 Manifestasi Klinis...............................................................11
2.2.8 Diagnosa..............................................................................11
2.2.9 Tatalaksana..........................................................................12
2.2.10 Komplikasi........................................................................15
2.2.11 Prognosis...........................................................................16
BAB III KESIMPULAN.................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................18

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Difteri merupakan infeksi jalan napas dengan tingkat morbiditas dan


mortalitas yang tinggi, dan menjadi masalah kesehatan global. Difteri merupakan
salah satu target dalam program imunisasi (expanded immunization programme)
(Sadoh,2012). Beberapa tahun terakhir ini terjadi peningkatan morbiditas dan
mortalitas difteri di negara-negara dengan cakupan imunisasi (total coverage
vaccination) yang tinggi dimana penyebaran penyakit difteri telah dapat
dikendalikan sebelumnya (Mukarami, et al, 2010).
Delapan puluh persen kasus difteri terjadi pada anak dengan usia dibawah
15 tahun, namun dapat juga terjadi pada anak dengan usia lebih dari 15 tahun.
Empat puluh tujuh kasus difteri dilaporkan terjadi di Eropa selama tahun 2008
(Byard, 2013). Kasus terbanyak (62%) dilaporkan oleh Negara Latvia. Kasus
difteri di Negara Vietnam mengalami penurunan pada tahun 1980 sesuai dengan
meningkatnya cakupan imunisasi difteri. Pertengahan tahun 1990 kasus difteri
mulai muncul kembali di Vietnam. Tahun 1999 hingga 2004 dilaporkan 401 kasus
dicurigai difteri. Sembilan puluh kasus diantaranya telah dikonfirmasi dengan
pemeriksaan laboratorium dan terbukti disebabkan oleh Corynebacterium
diphtheria (Hien., et al, 2014).
Penyakit dengan gejala klinis difteri di Rumah Sakit Dr. Cipto
Mangunkusumo sepanjang tahun 2011-2014 dilaporkan sebanyak 5 kasus dan
seluruhnya berusia di bawah 15 tahun. Dua kasus terbukti disebabkan oleh C.
diphtheriae dari hasil pemeriksaan laboratorium. Difteri disebabkan oleh strain
toksik kuman bacillus gram positif C.diphtheriae (Adler, et al., 2013). Difteri
dapat berupa infeksi saluran napas atas, infeksi pada kulit atau berupa status karier
tanpa timbulnya gejala. Difteri juga dapat menimbulkan berbagai komplikasi
serius yang berakibat kematian. C.diphtheriae dapat menginvasi secara lokal dan
memproduksi eksotoksin yang sangat berbahaya, menyebabkan gangguan pada

1
2

otot jantung dan sistem saraf yang dapat berakhir pada kematian. Diagnosis dini
dan intervensi yang sesuai dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas difteri
(Jain A., et al, 2016).
Umumnya manifestasi difteri yang dapat dijumpai adalah terdapatnya
pseudomembran yang terbentuk pada area tonsil, faring, laring, bahkan bisa
meluas sampai trakhea dan bronkus. Membran palsu dapat menyebabkan edema
pada jaringan mukosa dibawahnya, sehingga dapat menyebabkan obstruksi
saluran nafas dan kematian pada penderita difteri pernafasan (Adler, et al., 2013).

1.2 TUJUAN PENULISAN


Makalah ini bertujuan untuk menjelaskan mengenai definisi, epidemiologi,
etiologi, gejala klinis, patoisiologi, diagnosis, dan tatalaksana serta komplikasi
dari Tonsilitis Difteri, serta untuk melengkapi tugas kepaniteraan klinik senior
(KKS) di Departemen Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Rumah Sakit
Umum Pusat Haji Adam Malik Medan.

1.3 MANFAAT PENULISAN

Manfaat penulisan makalah ini adalah sebagai penambah wawasan


mengenai definisi, epidemiologi, etiologi, gejala klinis, patoisiologi, diagnosis,
dan tatalaksana serta komplikasi dari Tonsilitis Difteri.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ANATOMI DAN FISIOLOGI TONSIL

Kumpulan jaringan limfoid pada mukosa faring merupakan salah satu


bagian dari sistem pertahanan tubuh. Kumpulan terbesarnya akan membentuk
tonsil atau amandel. Tonsil terbentuk terutama pada 3 area (Drake, Vogl dan
Mitchell, 2018) :
- Tonsil faringeal (pharyngeal tonsil), dikenal sebagai adenoid ketika
membesar, berada di garis tengah (midline) atap nasofaring
- Tonsil palatina berada pasa masing-masing sisi orofaring, di antara lengkung
palatoglossal dan palatofaringeal tepat di belakang ismus orofaringeal. Tonsil
ini dapat terlihat ketika kita membuka mulut dan lidah ditekan ke bawah.
- Tonsil lingual merupakan sebutan untuk sejumlah nodul limfoid yang berada
pada sepertiga posterior lidah.

Gambar 1.1 Anatomi tonsil (Drake, Vogl dan Mitchell, 2018)


4

Tonsil terbentuk di beberapa area sekitar orofaring dan nasofaring, dimana


proliferasi lokal lapisan endodermis diinvasi oleh jaringan limfoid. Lapisan epitel
endodermis tumbuh mengelilingi mensenkim sebagai sejumlah tunas padat,
berasal dari hasil degenerasi dan pelepasan sel-sel pusatnya, membentuk fossa
tonsil dan crypts. Sel limfoid menumpuk di sekitar crypts sekitar bulan kelima dan
dikelompokkan sebagai folikel limfoid; area sel T dan sel B dapat diidentifikasi.
Tonsil palatina terbentuk dari bagian ventral kantong faring kedua. Adapun
sebuah celah yang menyerupai celah intratonsillar meluas hingga ke bagian atas
tonsil dan mungkin merupakan sisa kantong faring kedua. Jaringan limfoid, yang
mirip dengan jaringan pada tonsil palatina, juga ditemukan di kantong pertama
(tonsil tuba), permukaan bagian posterior lidah (tonsil lingual), dan di dinding
dorsal faring (tonsil faringeal atau adenoid) (Standring, 2016).
Waldeyer’s ring adalah cincin sirkumfaringeal dari jaringan limfoid pada
mukosa yang mengelilingi jalur/ lubang ke saluran pencernaan dan pernapasan.
Waldeyer’s ring secara anterior dan inferior tersusun atas tonsil lingual, secara
lateral oleh tonsil palatina dan tonsil tuba, serta secara posterior dan superior oleh
tonsil faringeal dan kumpulan jaringan limfoid yang lebih kecil dalam interval
intertonsillar (Standring, 2016).

a. Tonsil Faringeal
Tonsil faringeal berada pada lapisan mukosa atap dan dinding posterior
nasofaring. Tonsil ini memiliki bentuk yang bulat, serta beberapa tingkatan dan
sulkus. Tonsil ini ditandai dari sulkus yang sempit, lebih dalam dan tidak
beraturan, dikenal sebagai skripta tonsilaris. Kadang-kadang, tonsil faringeal
memiliki sulkus yang lebih dalam di tengah, mengikuti jaringan ikat di sekitarnya,
yang dikenal sebagai bursa faringeus (Jacomo et al, 2010). Oleh karena tonsil
faringeal merupakan bagian dari Waldeyer’s ring, maka ia juga berperan pada
sistem pertahanan saluran pernapasan bagian atas yaitu termasuk area rongga
hidung, nasofaring, tuba faringotimpani, telinga tengah dan dalam
(Standring, 2016).
5

Tonsil faringeal secara lateral dan inferior ditutup oleh epitel pernapasan
bersilia yang terdiri dari bercak-bercak kecil dari epitel skuamosa bertingkat
stratifikasi non-keratin (non-keratinized stratified squamous epithelium).
Permukaan superiornya dipisahkan dari periosteum tulang sphenoid dan oksipital
oleh hemikapsul jaringan ikat. Adapun vaskularisasi tonsil faringeal berasal dari
arteri faringeal ascendens dan arteri palatina ascendens, arteri fasialis pars
tonsillaris, arteri maksilaris pars faringeal dan arteri kanalis pterigoid (Standring,
2016).

b. Tonsil Palatina
Tonsil palatina kanan dan kiri akan membentuk bagian dari Waldeyer’s
ring. Setiap tonsil adalah suatu massa jaringan limfoid yang menetap pada dinding
lateral orofaring. Ukuran bervariasi sesuai dengan usia, kondisi individu dan
status patologis sehingga tonsil mungkin hipertrofi dan/ atau meradang. Selama 5
atau 6 tahun pertama kehidupan, ukuran tonsil ini dapat meningkat dan mencapai
maksimum pada masa pubertas dengan rata-rata 20-25 mm vertikal dan 10-15 mm
melintang (Standring, 2016).
Tonsil ini dilapisi oleh epitel skuamosa berlapis non-keratin (non-
keratinized stratified squamous epithelium). Keseluruhan tonsil ini secara internal
disokong oleh jalinan serat kolagen halus tipe III (retikulin), yang terkondensasi di
tempat-tempat untuk membentuk septa jaringan ikat yang lebih kuat – yang juga
mengandung elastin. Septa ini memisahkan parenkim tonsil, yang nantinya akan
menyatu di ujungnya dengan hemikapsul fibrosa padat yang tidak beraturan pada
bagian dalam tonsil dan dengan lamina propria pada permukaan faring. Pembuluh
darah, limfatik, dan percabangan saraf bergabung dalam kondensasi jaringan ikat
tersebut. Hemikapsul juga membentuk batas lateral dengan dinding orofaringeal
dan dengan mukosa yang menutupi permukaan bebasnya (Standring, 2016).
Suplai darah arteri ke tonsil palatina berasal dari percabangan arteri karotis
eksternal. Tiga arteri akan memasuki tonsil di kutub bawahnya. Yang terbesar
adalah arteri tonsilaris, yang naik antara pterygoid medial dan styloglossus,
kemudian melubangi konstriktor superior pada batas atas styloglossus, dan
6

bercabang-cabang di tonsil dan otot lingual posterior. Arteri lain yang ditemukan,
di kutub bawah, adalah percabangan dorsal dari arteri lingual, yang masuk melalui
anterior, dan percabangan dari arteri palatina ascendens, yang masuk melalui
posterior untuk mensuplai bagian bawah tonsil palatina (Standring, 2016).
Area tonsil dipersarafi oleh cabang tonsilaris dari nervus maksilaris dan
glossofaringeus. Serabut-serabut nervus maksilaris melewati, tetapi tidak
bersinaps, ganglion pterigopalatina; mereka didistribusikan melalui nervus
palatina dan membentuk pleksus (sirkulus tonsillaris) di sekitar tonsil, bersama-
sama dengan cabang tonsilaris dari nervus glossofaringeus. Serabut saraf dari
pleksus ini juga didistribusikan ke langit-langit lunak (soft palate) dan daerah
isthmus orofaringeal. Cabang timpani dari nervus glossofaringeus akan mensuplai
membran mukosa yang melapisi rongga timpani. Infeksi, keganasan, dan
inflamasi pasca operasi dari tonsil dan tonsil fossa dapat disertai dengan nyeri
yang dirujuk ke telinga (Standring, 2016).

c. Tonsil Lingual
Tonsil lingual terletak di dasar lidah dan dibagi menjadi dua oleh
ligamentum glosoepiglotika. Terdapat banyak folikel limfa yang membentuk
tonsil lingual. Setiap folikel limfa membentuk bulatan dengan pusat yang
berlubang kecil mengarah ke suatu rongga. Di sekitar rongga tersebut umumnya
terdapat banyak kelompok nodul jaringan limfoid (Jacomo et al, 2010).

d. Tonsil Tuba
Tonsil tuba merupakan jaringan limfoid yang berada di lapisan submukosa
nasofaring, posterior terhadap ostium faringeal dari tuba auditori. Adapun
vaskularisasi tonsil tuba berawal dari percabangan arteri sphenopalatina dan arteri
78
fariengeal ascendens, cabang arteri karotid eksterna (Jacomo et al, 2010).

2.2 TONSILITIS DIFTERI

2.2.1 Definisi
Difteri adalah penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri
Corynebacterium diphtheria, yang terutama menginfeksi tenggorokan dan saluran
udara bagian atas, dan menghasilkan racun yang mempengaruhi organ lain.
Penyakit ini memiliki onset akut dan gejalan utama yang dapat dijumpai adalah
sakit tenggorokan, demam rendah dan kelenjar bengkak di leher, dan toksin dalam
kasus yang parah, dapat menyebabkan miokarditis atau neuropati perifer. Toksin
difteri menyebabkan selaput jaringan mati menumpuk di tenggorokan dan tonsil,
membuat sulit bernafas dan menelan. Penyakit ini menyebar melalui kontak fisik
langsung atau dari bernafas dalam sekresi aerosol dari batuk atau bersin dari
individu yang terinfeksi (World Health Organization, 2018).

2.2.2 Epidemiologi
Mulai tahun 1920-an, angka difteri turun dengan cepat di United States dan
negara-negara lain dengan meluasnya penggunaan vaksin. Dalam dekade terakhir,
ada kurang dari lima kasus difteri di Amerika Serikat yang dilaporkan ke CDC.
Namun, penyakit ini tetap meningkat secara global. Pada tahun 2016, negara-
negara melaporkan sekitar 7.100 kasus difteri ke World Health Organization
(WHO), tetapi ada kemungkinan lebih banyak kasus (Centers for Disease Control
and Prevention, 2018).
Difteri menjadi salah satu penyakit infeksi yang paling ditakuti karena dapat
menjadi epidemik dengan case fatality rate (CFR) tinggi, terutama pada anak-
anak. Sejak tahun 2011- 2015, Indonesia telah menjadi negara dengan insidens
difteri tertinggi kedua di dunia, yaitu sebanyak 3203 kasus. Penyakit difteri
terdapat di seluruh dunia, khususnya di negara-negara tropis dengan penduduk
padat dan cakupan imunisasi rendah. Difteri umumnya menyerang anak-anak usia
1-10 tahun (Saunders dan Suarca, 2019).
Menurut WHO, Asia Tenggara merupakan wilayah dengan insidens tertinggi
di dunia khususnya pada tahun 2005. Indonesia menempati urutan kasus difteri
terbanyak kedua setelah India, yaitu 3203 kasus. Menurut data Profil Kesehatan
Indonesia tahun 2016, jumlah kasus difteri sebanyak 415 kasus dengan kasus
meninggal 24 kasus, sehingga CFR difteri mencapai 5,8%. Kasus terbanyak di
8

Jawa Timur (209 kasus) dan Jawa Barat (133 kasus). Dari seluruh kasus difteri,
sebanyak 51% pasien tidak mendapat vaksinasi sebelumnya. Pada tahun 2016,
59% kasus difteri terjadi pada kelompok umur 5-9 tahun dan 1-4 tahun (Saunders
dan Suarca, 2019).

2.2.3 Faktor Risiko

Faktor risiko terjadinya difteri dibedakan menjadi empat faktor. Masing-


masing merupakan faktor yang mutlak diperlukan namun bila sendirian tidak
cukup untuk menimbulkan penyakit. Penyebab yang selalu menimbulkan atau
memulai penyakit ini disebut sufficient factor, sedangkan penyebab yang mutlak
dibutuhkan untuk terjadinya proses penyakit disebut necessary factor. Peran faktor
penyebab penyakit dapat dikelompokkan sebagai berikut: Faktor predisposisi:
umur, jenis kelamin, dan penyakit yang telah atau pernah diderita memberikan
kepekaan terhadap agen tertentu. Umur yang sering terkena difteri adalah 2–10
tahun. Jarang ditemukan pada bayi berumur kurang dari 6 bulan oleh karena
imunisasi pasif melewati plasenta dari ibunya. Juga jarang pada dewasa yang
berumur diatas 15 tahun. Jenis kelamin yang sering terkena adalah wanita karena
daya imunitasnya lebih rendah Faktor yang mempermudah (enabling factor):
penghasilan rendah, gizi rendah, perumahan tidak sehat, akses rendah ke
pelayanan kesehatan, dan hal-hal yang memungkinkan proses terjadinya penyakit.
Faktor penguat (reinforcing factor) pemaparan yang berulang-ulang atau kerja
keras, kehamilan akan memperberat penyakit yang sedang berproses (Alfina dan
Isfandiari, 2015).

2.2.4 Etiologi

Penularan melalui kontak dengan karier atau individu terinfeksi. Bakteri


ditularkan melalui kontak droplet seperti batuk, bersin, ataupun kontak langsung
saat berbicara. Manusia merupakan karier asimptomatik dan berperan sebagai
reservoir C. diphteriae. Transmisi melalui kontak dengan lesi kulit individu
terinfeksi jarang terjadi. Corynebacterium diphteriae merupakan bakteri basil
9

gram positif anaerob. Produksi toksin terjadi hanya jika bakteri terinfeksi
(mengalami lisogenisasi) oleh virus spesifik (bakteriofage) yang membawa
informasi genetik untuk toksin (gen tox). Hanya strain toksigenik yang dapat
menyebabkan penyakit berat. Masa inkubasi bakteri ini biasanya 2-5 hari (1-10
hari). C. diphteriae dapat diklasifikasikan menjadi beberapa biotipe, yaitu
intermedius, gravis, mitis, dan belfanti. Semua biotipe ini telah ditemukan dalam
bentuk toksigenik (Saunders dan Suarca, 2019).

2.2.5 Patogenesis

Corynebacterium diphtheria yang masuk ke dalam tubuh dapat berkembang


biak pada mukosa saluran nafas, untuk kemudian memproduksi eksotoksin yang
disebut diphtheria toxin (dt). Toksin yang terbentuk tersebut kemudian dapat
diserap oleh membran mukosa dan menimbulkan peradangan dan penghancuran
epitel saluran nafas hingga terjadi nekrosis, leukosit akan menginfiltasi daerah
nekrosis sehingga banyak ditemukan fibrin yang kemudian akan membentuk
patchy exudate, yang masih dapat dilepaskan. Pada keadaan lanjut akan terkumpul
fibrous exudate yang membentuk pseudomembran (membran palsu) dan semakin
sulit untuk dilepas serta mudah berdarah. Umumnya pseudomembran terbentuk
pada area tonsil, faring, laring, bahkan bisa meluas sampai trakhea dan bronkus.
Membran palsu dapat menyebabkan edema pada jaringan mukosa dibawahnya,
sehingga dapat menyebabkan obstruksi saluran nafas dan kematian pada penderita
difteri pernafasan. Toksin kemudian memasuki peredaran darah dan menyebar ke
seluruh tubuh, terutama pada jantung dan jaringan saraf yang memiliki banyak
reseptor dt, serta menyebabkan degenerasi dan nekrosis pada jaringan tersebut.
Bila mengenai jantung akan mengakibatkan terjadinya miokarditis dan payah
10
jantung, sedangkan pada jaringan saraf akan menyebabkan polineuropati.
Kematian biasanya disebabkan karena adanya kegagalan jantung dan gangguan
pernafasan (Saunders dan Suarca, 2019).
2.2.6 Patofisiologi
Penyakit disebabkan oleh toxin diphtheria yang merupakan faktor virulensi
dari C. diphtheriae. Toxin ini dikode oleh gen tox yang dibawa oleh suatu
bakteriofaga lisogenik yaitu Beta-faga. Hanya galur C. diphtheriae yang memiliki
gen tox ini lah yang dapat menimbulkan penyakit. Galur lain yang tidak memiliki
gen ini tidak bersifat patogenik, akan tetapi galur ini dapat berubah menjadi
patogenik bila ditransduksi oleh bakteriofaga lisogenik beta-faga. Spesies bakteri
coryneform lain yang dapat menghasilkan toxin ini adalah Corynebacterium
ulcerans yang juga dapat menimbulkan manifestasi klinis difteri
Toxin diphtheria memiliki 2 subunit dan 3 regio. Subunit A memiliki regio
katalitik, sedangkan subunit B memiliki regio pengikat reseptor (receptor-binding
region), dan regio translokasi (translocation region). Reseptor untuk toxin ini
adalah heparin-binding epidermal growth factor yang terdapat pada permukaan
banyak sel eukariotik, termasuk sel jantung dan sel saraf. Hal ini yang mendasari
terjadinya komplikasi kardiologis dan neurologis dari difteri. Begitu toxin difteri
berlekatan dengan sel host melalui ikatan antara heparin-binding epidermal
growth factor dan receptor binding region subunit B, regio translokasi disisipkan
ke dalam membrane endosome yang kemudian memungkinkan pergerakan region
katalitik subunit A ke dalam sitosol. Kemudian subunit A bekerja dengan cara
menghentikan sintesis protein sel host. Subunit A memiliki aktivitas enzimatik
yang mampu memecah Nikotinamida dari Nicotinamide Adenine Dinucleotide
(NAD) dan kemudian mentransfer sisa ADP-ribosa dari hasil pemecahan tadi
menuju Elongation Factor-2 (EF-2). EF-2 yang ter-ADP ribosilasi ini kemudian
menjadi inaktif. EF-2 merupakan faktor yang penting dalam translasi protein,
sehingga sintesis protein seluler menjadi terganggu. Proses ini kemudian
menyebabkan nekrosis sel disertai dengan inflamasi dan eksudat fibrin yang
memberikan gambaran pseudomembrane. Bentukan pseudomembrane ini dapat
11
menghambat jalan napas, sehingga kematian akibat difteri timbul karena
sumbatan jalan napas (Saunders dan Suarca, 2019).

2.2.7 Manifestasi Klinis


Gambaran klinik dibagi dalam 3 golongan yaitu gejala umum, gejala lokal
dan gejala akibat eksotoksin. (Buku ajar ilmu kesehatan THT FK UI, 2017)
a) Gejala umum: seperti gejala infeksi lainnya yaitu kenaikan suhu tubuh
biasanya subfebris, nyeri kepala, tidak nafsu makan, badan lemah, nadi
lambat serta keluhan nyeri menelan.
b) Gejala lokal: berupa tonsil membengkak ditutupi bercak putih kotor yang
makin lama makin meluas dan bersatu membentuk membran semu. Membran
ini dapat meluas ke palatum molle, uvula, nasofaring, laring, trakea dan
bronkus dan dapat menyumbat saluran napas. Membran semu ini melekat erat
pada dasarnya, sehingga bila diangkat akan mudah berdarah. Pada
perkembangan penyakit ini bila infeksinya berjalan terus, kelenjar limfe leher
akan membengkak sedemikian besarnya sehingga leher menyerupai leher
sapi ( bull neck ) atau disebut juga Burgemeester’s hals.
c) Gejala akibat eksotoksin: dikeluarkan oleh kuman difteri ini akan
menimbulkan kerusakan jaringan tubuh yaitu pada jantung dapat terjadi
miokarditis sampai decompensation cordis, mengenai saraf kranial
menyebabkan kelumpuhan otot palatum dan otot- otot pernapasan dan pada
ginjal menimbulkan albuminuria.

2.2.8 Diagnosa
Diagnosa tonsillitis difteri ditegakkan berdasarkan gambaran klinik dan
pemeriksaan preparat langsung kuman yang diambil dari permukaan bawah
membran semu dan didapatkan kuman Corynebacterium diphteriae (Buku ajar
ilmu kesehatan THT FK UI, 2017).
Pemeriksaan Penunjang yang bisa dilakukan dalam mendiagnosa tonsillitis difteri
adalah:
1. Bakteriologik: Preparat apusan kuman difteri dari bahan apusan
12
mukosa hidung dan tenggorok (nasopharyngeal swab).
2. Kultur lesi tenggorokan dibutuhkan untuk diagnose klinis, untuk
isolasi primer menggunakan agar Loeffler, atau agar tellurite Tinsdale.
3. Menyusul isolasi awal C. diphteriae dapat diidentifikasi sebagai mitis,
intermedius, atau biotipe gravis berdasar fermentasi karbohidrat-
karbohidrat dan hemolisis pada agar pelat darah domba. Strain
ditentukan secara in vitro dan in vivo.
4. Darah lengkap: Hemoglobin, leukosit hitung jenis leukosit, eritrosit,
trombosit, LED.
5. Urin lengkap: Protein dan sedimen.
6. Ureum dan kreatinin (bila dicurigai ada komplikasi ginjal).
7. EKG secara berkala untuk mendeteksi toksin basil menyerang sel otot
jantung dilakukan sejak hari 1 perawatan lalu minimal 1x seminggu,
kecuali bila ada indikasi biasa dilakukan 2-3x seminggu.
8. Tes Apusan Specimen: Diambil dari hidung, tenggorokan dan terdapat
lesi mukokuatan lain, berguna untuk identifikasi tempat spesies, uji
toksigenitas dan kerentanan anti mikroba sebagai medikasi.

2.2.9 Tatalaksana
Dalam penatalaksanaan difteri, terapi yang menjadi baku emas dan memiliki
efektivitas yang tinggi adalah melalui pemberian equine-derived DAT, yang
merupakan suatu antibodi IgG poliklonal (WHO, 2017). Selain pemberian DAT,
ada beberapa langkah yang perlu dilaksanakan untuk penatalaksanaan yang
komprehensif terhadap infeksi difteri. Diantaranya perlu dilakukan isolasi untuk
mencegah penyebaran, pemberian antibiotik, serta pelaksanaan imunisasi.
Penanganan juga perlu dilakukan terhadap orang – orang yang mengalami kontak
dekat dengan pasien, yaitu melalui pemantuan dan pemberian profilaksis (WHO,
2018).
Penyakit difteri merupakan penyakit yang dapat menular melalui kontak
dekat dan droplet. Sehingga, dalam pencegahan transmisi perlu dilakukan isolasi
terhadap pasien – pasien tersebut. Selain pencegahan transmisi terhadap orang
lain, perlu dilakukan penjagaan yang ketat dengan menggunakan alat pelindung
diri, terutama pada staff medis yang merawat pasien tersebut (Balkan & Barel,
2019). Isolasi dapat dilakukan hingga terbukti melalui kultur bakteri yang
menunjukkan baik dari apusan tenggorokan dan apusan hidung yang diambil
berjarak dalam 24 jam, setelah 24 jam penghentian penggunaan antibiotik
dinyatakan negatif (NSW Government Health, 2013).
13

Seperti yang sudah disebutkan, pemberian DAT merupakan baku emas dalam
penatalaksanaan difteri. Perjalanan penyakit serta outcome dari infeksi difteri
sangat dipengaruhi oleh jarak onset pemberian DAT dengan onset perjalanan
penyakit (WHO, 2018). Toksin difteri yang telah memasuki sel penderita, tidak
terpengaruh oleh pemberian DAT (WHO, 2017). Dalam waktu tiga hari dari onset
penyakit, risiko untuk komplikasi dan outcome yang buruk, semakin hari akan
semakin meningkat. Apabila difteri hampir pasti dicurigai, maka penatalaksanaan
difteri dapat segera dimulai meskipun tanpa dikonfirmasi oleh hasil laboratorium.
Pemberian dapat dilakukan melalui jalur intravena apabila kasus dinilai serius
(WHO, 2018).
Pemberian seluruh dosis terapeutik dilakukan satu kali. Dosis ADT yang
diberikan berkisar dari 20.000 unti hingga 100.000 unit. Hal ini bergantung pada
luas lesi dan durasi onset (Andrews & Blumberg, 2017). Dosis yang lebih
direkomendasikan pada orang – orang dengan waktu onset yang lebih lama. Dosis
yang diberikan pada anak – anak sama dengan dosis yang diberikan pada orang
dewasa (WHO, 2017). Meskipun kecil, terdapat kemungkinan untuk seseorang
mengalami reaksi alergi terhadap pemberian DAT. Maka pemberian DAT juga
harus dipantau. DAT sebaiknya tidak diberikan pada wanita yang sedang hamil.5
Akses terhadap ADT bersifat terbatas akibat berkurangnya produksi dari
antitoksin. Episode dimana terjadi keterlambatan pemberian ADT akibat
kurangnya ketersediaan dari ADT telah dilaporkan pada beberapa bagian dunia
(WHO, 2017).

14

Tabel 1. Dosis Pemberian ADT


Tingkat keparahan difteri Dosis untuk anak – anak dan dewasa

Laringeal atau faringeal dengan durasi 2 20.000 – 40.000 IU


hari

Nasofaringeal 40.000 – 60.000 IU

Meluas dengan durasi 3 hari atau lebih 80.000 – 100.000 IU


atau pasien yang dijumpai dengan
pembengkakan difus pada leher
(Respiratory distress, hemodynamic
instability)

Sumber: Operational Protocol for clinical management of Diphtheria, 2017, WHO


Pemberian antibiotik dapat dilakukan pada pasien terinfeksi difteri yang
bertujuan untuk mengeliminasi bakteri serta menghentikan produksi toksin difteri.
Selain itu, pemberian antibiotik dapat membantu pencegahan transmisi, serta
mencegah adanya carrier yang dapat bertahan bahkan setelah gejala klinis
menghilang (WHO, 2017). Pemberian antibiotik dapat dilakukan hingga selama 2
minggu (WHO, 2018).
Pada kasus – kasus dengan pasien yang tidak mampu menelan, rute
pemberian antibiotik dapat diberikan secara intramuscular maupun intravena.
Pada kasus pasien dengan klinis yang berat, juga dapat diberikan terapi
intramuskular, maupun intravena. Apabila klinis pasien telah membaik, rute obat
dapat diganti dengan pengobatan oral. Pada pasien dengan klinis yang lebih
ringan, penggunaan terapi oral sejak deteksi kasus dapat dilakukan (Andrews &
Blumberg, 2017).
Sebelum melakukan terapi antibiotik, sebaiknya terlebih dahulu melakukan
pengecekan hiperreaktivitas terhadap penisilin. Pilihan antibiotik yang dapat
diberikan untuk pasien dengan klinis yang lebih berat yaitu, procaine benzyl
penicillin (50mg/kg sekali sehari, maksimal 1.2 gram dalam sehari), aqueous
benzyl penicillin (100,000 unit/kg/hari, maksimal 4 MIU atau 2.4 gram dalam
sehari), erythromycin (40-50 mg/kg/hari, maksimum 2 gram/hari). Sementara
untuk pasien – pasien yang dapat menelan dan dengan klinis yang lebih ringan,
dapat diberikan terapi antibiotik oral seperti oral phenoxymethylcillin V
15

(50mg/kg/hari), eryhthromycin (40-50mg/kg/hari), azithromycin (10-12mg/kg


sekali sehari) (Andrews & Blumberg, 2017).
Selain pemberian terapi ADT dan antibiotik, pada beberapa kasus perlu
dilakukan terapi untuk penanganan gejala – gejala mengganggu yang muncul pada
pasien. Salah satu di antaranya adalah distress pernapasan yang dapat diakibatkan
oleh adanya obstruksi saluran napas, maupun aspirasi. Selain itu perlu dilakukan
pengawasan terhadap EKG pasien yang menunjukkan abnormalitas konduksi serta
aritmia (Andrews & Blumberg, 2017).
Imunitas protektif terhadap difteri tidak selalu muncul pada penderita yang
telah mengalami penyembuhan. Karena itu, pasien – pasien yang telah terpapar
dengan difteri, perlu dilakukan pemberian vaksin pada fase penyembuhan sesuai
dengan usia (NSW Government Health, 2013). Imunisasi juga dilakukan terhadap
orang – orang yang telah terpapar (WHO, 2017).

2.2.10 Komplikasi
Komplikasi yang paling sering muncul, pada penderita difteri, adalah
komplikasi jantung serta neurologis. Komplikasi ini dapat muncul akibat toksin
yang dihasilkan oleh bakteri Corynebacterium diphtheria. Selain komplikasi
kardiologis serta neurologis, pasien – pasien dengan difteri juga sering kali
mengalami obstruksi pernapasan yang dapat mengancam jiwa (Bennett & Dolin,
2020).
Komplikasi kardiologis akibat difteri dapat muncul hingga 25% pada
penderita difteri faringeal. Adanya demam, pseudomembrane, serta bullneck dapat
menjadi tanda prediktif yang mengindikasikan terlibatnya jantung dalam
perjalanan penyakit. Abnormalitas pada EKG yang dapat dijumpai pada pasien
16
pasien difteri berupa, perubahan segmen ST dan gelombang T serta prolongasi QT
interval. Beberapa komplikasi berat yang dapat dijumpai yaitu adanya dilatasi,
aritmia serta blockade jantung (Bennett & Dolin, 2020).
Komplikasi neurologis lebih sedikit terjadi, jika dibandingkan dengan
komplikasi kardiologis. Neuropati saraf motoris lokal yang dapat terjadi dalam
bentuk paralisis dari palatum molle maupun dinding posterior faring dapat terjadi
pada awal terjadinya komplikasi. Selanjutnya dapat terjadi neuropati bulbar
maupun okulomotor. Neuritis peripheral, dapat terjadi yang ditandai dengan
descending motor neuropathy yang dapat melibatkan diafragma dan juga
ekstremitas. Tanda – tanda gangguan pada saraf autonomy juga dapat terjadi
(Bennett & Dolin, 2020).
Komplikasi lain yang dapat muncul yaitu adanya gangguan ginjal berupa
Acute Kidney Injury. Hal ini dipicu oleh adanya aktivitas langsung dari eksotoksin
yang dihasilkan oleh bakteri difteri. Pada beberapa penelitian dijumpai adanya
nekrosis pada jaringan ginjal maupun organ penting lainnya seperti hati, serta
kelenjar adrenal (Bennett & Dolin, 2020).

2.2.11 Prognosis
Difteri merupakan penyakit yang dapat dicegah melalui pemberian vaksinasi,
dan merupakan salah satu penyakit yang sering dijumpai pada era sebelum vaksin.
Beberapa negara asia tenggara memiliki area yang endemik terhadap difteri.
Beberapa di antaranya adalah Indonesia, Kamboja, India, Laos dan negara –
negara lainnya (Adler & Mahony, 2012).
Terapi yang menjadi prinsip utama dalam penanganan difteria adalah dengan
ADT. Semakin lama pemberian ADT maka risiko komplikasi akan semakin
buruk. Penanganan awal serta pemberian ADT menjadi penentu penting terhadap
proteksi pada tubuh pasien (Adler & Mahony, 2012).

BAB III
KESIMPULAN
Difteri merupakan infeksi jalan napas dengan tingkat morbiditas dan
mortalitas yang tinggi, dan menjadi masalah kesehatan global. Difteri adalah
penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri Corynebacterium diphtheria, yang
terutama menginfeksi tenggorokan dan saluran udara bagian atas, dan
menghasilkan racun yang mempengaruhi organ lain.
Penyakit ini memiliki onset akut dan gejala utama yang dapat dijumpai
adalah sakit tenggorokan, demam rendah dan kelenjar bengkak di leher, dan
toksin dalam kasus yang parah, dapat menyebabkan miokarditis atau neuropati
perifer. Diagnosa tonsillitis difteri ditegakkan berdasarkan gambaran klinik dan
pemeriksaan preparat langsung kuman yang diambil dari permukaan bawah
membran semu dan didapatkan kuman Corynebacterium diphteriae.
Dalam penatalaksanaan difteri, terapi yang menjadi baku emas dan memiliki
efektivitas yang tinggi adalah melalui pemberian equine-derived DAT, yang
merupakan suatu antibodi IgG poliklonal. Selain pemberian DAT, ada beberapa
langkah yang perlu dilaksanakan untuk penatalaksanaan yang komprehensif
terhadap infeksi difteri. Diantaranya perlu dilakukan isolasi untuk mencegah
penyebaran, pemberian antibiotik, serta pelaksanaan imunisasi. Penanganan juga
perlu dilakukan terhadap orang – orang yang mengalami kontak dekat dengan
pasien, yaitu melalui pemantuan dan pemberian profilaksis.
Difteri merupakan penyakit yang dapat dicegah melalui pemberian vaksinasi,
dan merupakan salah satu penyakit yang sering dijumpai pada era sebelum vaksin.
Terapi yang menjadi prinsip utama dalam penanganan difteria adalah dengan
ADT. Semakin lama pemberian ADT maka risiko komplikasi akan semakin
buruk. Penanganan awal serta pemberian ADT menjadi penentu penting terhadap
proteksi pada tubuh pasien.

17
DAFTAR PUSTAKA

Adler, N, Mahony, A, Friedman, N 2012, ‘Diphtheria: forgotten but not


gone’, Internal Medicine Journal, vol.43, no.3, hh. 206 – 209.

Adler NR, Mahony A, Friedman ND. 2013, Diphtheria : Forgotten , but


not Gone. International Medicine Journal. 2013; 43(2). 206–10.

Alfina, R. & Isfandiari, M.A. 2015, ‘Faktor Yang Berhubungan Dengan


Peran Aktif Kader Dalam Penjaringan Kasus Probable Difteri’,
Jurnal Berkala Epidemiologi, vol. 3, no. 3. [Online], accessed 19
Februari 2020, Available at:
https://media.neliti.com/media/publications/75845-ID-none.pdf

Andrews, A, Archery, Blumberg, L, Dat, VQ, Dixit, D, dkk 2017,


‘Operational Protocol for Clinical Management of Diphtheria’,
World Health Organization, hh. 5 – 8.

Balkan, S, Barel, P, Bottineau, M, Boulle, P, Carreno, C, Cerecada, M,


dkk 2019, ‘Clinical Guidelines: Diagnosis and Treatment manual’,
Medecins Sans Frontieres, hh.54 – 55.

Bennett, J, Dolin, R, Blaser, M 2020, Mandell, Douglas, and Bennett’s


Principles and Practice of Infectious Diseases, edk 9, Elsevier,
Philadelphia.

Byard RW. Diphtheria-’The strangling angel’ of children. Journal of


Forensic and Legal Medicine. 2013; 20(2):65–8.

Centers for Disease Control and Prevention (CDC). 2018, ‘About


Diphtheria’, [Online], accessed 19 Februari 2020, Available at:
https://www.cdc.gov/diphtheria/about/index.html

Drake R.L., Vogl A.W. dan Mitchell A.W.M. (2018). Gray’s Basic
Anatomy. Edisi 2. Philadelphia: Elsevier.

Hien TT, White NJ. Diphtheria. In: Farrar J, Hotez PJ, Junghanss T, Kang
G, Lalloo D, White NJ, editors. Manson’s Tropical Infectious
Diseases. China: Elsevier Ltd; 2014. p.692–7.

18
19

Jacomo A.L., Akamatsu F.E., Andrade M. dan Margarido N.F. (2010).


‘Pharyngeal lymphatic ring: anatomical review’. J Morphol Sci,
27(1) [online]. Terdapat pada:
http://www.jms.periodikos.com.br/article/587cb4937f8c9d0d058b
475c/pdf/jms-27-1-587cb4937f8c9d0d058b475c.pdf (diakses pada
20 Februari 2020).

Jain A, Samdani S, Meena V, Sharma MP. Diphtheria: It is still


prevalent!!! International journal of pediatric otorhinolaryngology.
2016; 86:68–71.

Murakami H, Phuong NM, Thang HV, Chau NV, Giao PN, Tho ND.
Endemic diphtheria in Ho Chi Minh City; Viet Nam: A matched
case-control study to identify risk factors of incidence. Vaccine.
2010; 28(51): 8141–6.

NSW Government Health 2013, ‘Diphtheria’, Communicable Disease


Protocol, hh. 3 – 5.

Sadoh AE, Oladokun RE. Re-emergence of diphtheria and pertussis:


Implications for Nigeria. Vaccine. 2012; 30(50): 7221–8.

Saunders, R. & Suarca, I.K. 2019, ‘Diagnosis dan Tatalaksana Difteri’,


Continuing Medical Education (CDK-273), vol. 46, no. 2.
[Online], accessed 19 Februari 2020, Available at: f
ile:///C:/Users/User/Downloads/CME%20273 Diagnosis
%20dan%20Tatalaksana%20Difteri.pdf

Soepardi Arsyad Elfiaty Prof dr sp. THT-KL (K), dkk., Buku Ajar Ilmu
Kesehatan THT – KL edisi ketujuh, Jakarta: Badan penerbit FK
UI, 2017 h 197 – 198.

Standring S. (2016). ‘Pharynx’ dalam Standring S., Anand N., Birch R.,
Collins P., Crossman A.R., Gleeson M., Jawaheer G., Smith A.L.,
Spratt J.D., Stringer M.D., Tubbs R.S., Tunstall R., Wein A.J. dan
Wigley C.B. (penyunting). Gray’s Anatomy. Edisi 41.
Philadelphia: Elsevier.

Wetmore RF. Tonsil and Adenoids. In: Kliegman RM, Stanton BF, St.
Geme JW, Schor NF, Behrman R, editors. Nelson Textbook of
Pediatrics 19th ed. Elsevier Inc: Philadelphia. p.1442–5.
20

WHO 2017, ‘Diphtheria vaccine: WHO position paper – August 2017’,


Weekly Epidemiological Record, vol. 92, hh. 422 – 424.

World Health Organization. 2018, ‘Diphtheria’, [Online], accessed 19


Februari 2020, Available at:
https://www.who.int/immunization/diseases/diphtheria/en/

WHO 2018, ‘Diphtheria’, Vaccine preventable diseases surveillance


standards, hh. 12 – 13.

Anda mungkin juga menyukai