DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR........................................................................................i
LEMBAR PENGESAHAN...............................................................................ii
DAFTAR ISI.....................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................1
1.1 Latar Belakang...................................................................................1
1.2 Tujuan Penulisan...............................................................................2
1.3 Manfaat Penulisan.............................................................................2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.......................................................................3
2.1 Anatomi dan Fisiologi Tonsil............................................................3
2.2 Tonsilitis Difteri................................................................................7
2.2.1 Definisi..................................................................................7
2.2.2 Epidemiologi.........................................................................7
2.2.3 Faktor Risiko.........................................................................8
2.2.4 Etiologi..................................................................................8
2.2.5 Patogenesis............................................................................9
2.2.6 Patofisiologi........................................................................10
2.2.7 Manifestasi Klinis...............................................................11
2.2.8 Diagnosa..............................................................................11
2.2.9 Tatalaksana..........................................................................12
2.2.10 Komplikasi........................................................................15
2.2.11 Prognosis...........................................................................16
BAB III KESIMPULAN.................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................18
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
2
otot jantung dan sistem saraf yang dapat berakhir pada kematian. Diagnosis dini
dan intervensi yang sesuai dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas difteri
(Jain A., et al, 2016).
Umumnya manifestasi difteri yang dapat dijumpai adalah terdapatnya
pseudomembran yang terbentuk pada area tonsil, faring, laring, bahkan bisa
meluas sampai trakhea dan bronkus. Membran palsu dapat menyebabkan edema
pada jaringan mukosa dibawahnya, sehingga dapat menyebabkan obstruksi
saluran nafas dan kematian pada penderita difteri pernafasan (Adler, et al., 2013).
TINJAUAN PUSTAKA
a. Tonsil Faringeal
Tonsil faringeal berada pada lapisan mukosa atap dan dinding posterior
nasofaring. Tonsil ini memiliki bentuk yang bulat, serta beberapa tingkatan dan
sulkus. Tonsil ini ditandai dari sulkus yang sempit, lebih dalam dan tidak
beraturan, dikenal sebagai skripta tonsilaris. Kadang-kadang, tonsil faringeal
memiliki sulkus yang lebih dalam di tengah, mengikuti jaringan ikat di sekitarnya,
yang dikenal sebagai bursa faringeus (Jacomo et al, 2010). Oleh karena tonsil
faringeal merupakan bagian dari Waldeyer’s ring, maka ia juga berperan pada
sistem pertahanan saluran pernapasan bagian atas yaitu termasuk area rongga
hidung, nasofaring, tuba faringotimpani, telinga tengah dan dalam
(Standring, 2016).
5
Tonsil faringeal secara lateral dan inferior ditutup oleh epitel pernapasan
bersilia yang terdiri dari bercak-bercak kecil dari epitel skuamosa bertingkat
stratifikasi non-keratin (non-keratinized stratified squamous epithelium).
Permukaan superiornya dipisahkan dari periosteum tulang sphenoid dan oksipital
oleh hemikapsul jaringan ikat. Adapun vaskularisasi tonsil faringeal berasal dari
arteri faringeal ascendens dan arteri palatina ascendens, arteri fasialis pars
tonsillaris, arteri maksilaris pars faringeal dan arteri kanalis pterigoid (Standring,
2016).
b. Tonsil Palatina
Tonsil palatina kanan dan kiri akan membentuk bagian dari Waldeyer’s
ring. Setiap tonsil adalah suatu massa jaringan limfoid yang menetap pada dinding
lateral orofaring. Ukuran bervariasi sesuai dengan usia, kondisi individu dan
status patologis sehingga tonsil mungkin hipertrofi dan/ atau meradang. Selama 5
atau 6 tahun pertama kehidupan, ukuran tonsil ini dapat meningkat dan mencapai
maksimum pada masa pubertas dengan rata-rata 20-25 mm vertikal dan 10-15 mm
melintang (Standring, 2016).
Tonsil ini dilapisi oleh epitel skuamosa berlapis non-keratin (non-
keratinized stratified squamous epithelium). Keseluruhan tonsil ini secara internal
disokong oleh jalinan serat kolagen halus tipe III (retikulin), yang terkondensasi di
tempat-tempat untuk membentuk septa jaringan ikat yang lebih kuat – yang juga
mengandung elastin. Septa ini memisahkan parenkim tonsil, yang nantinya akan
menyatu di ujungnya dengan hemikapsul fibrosa padat yang tidak beraturan pada
bagian dalam tonsil dan dengan lamina propria pada permukaan faring. Pembuluh
darah, limfatik, dan percabangan saraf bergabung dalam kondensasi jaringan ikat
tersebut. Hemikapsul juga membentuk batas lateral dengan dinding orofaringeal
dan dengan mukosa yang menutupi permukaan bebasnya (Standring, 2016).
Suplai darah arteri ke tonsil palatina berasal dari percabangan arteri karotis
eksternal. Tiga arteri akan memasuki tonsil di kutub bawahnya. Yang terbesar
adalah arteri tonsilaris, yang naik antara pterygoid medial dan styloglossus,
kemudian melubangi konstriktor superior pada batas atas styloglossus, dan
6
bercabang-cabang di tonsil dan otot lingual posterior. Arteri lain yang ditemukan,
di kutub bawah, adalah percabangan dorsal dari arteri lingual, yang masuk melalui
anterior, dan percabangan dari arteri palatina ascendens, yang masuk melalui
posterior untuk mensuplai bagian bawah tonsil palatina (Standring, 2016).
Area tonsil dipersarafi oleh cabang tonsilaris dari nervus maksilaris dan
glossofaringeus. Serabut-serabut nervus maksilaris melewati, tetapi tidak
bersinaps, ganglion pterigopalatina; mereka didistribusikan melalui nervus
palatina dan membentuk pleksus (sirkulus tonsillaris) di sekitar tonsil, bersama-
sama dengan cabang tonsilaris dari nervus glossofaringeus. Serabut saraf dari
pleksus ini juga didistribusikan ke langit-langit lunak (soft palate) dan daerah
isthmus orofaringeal. Cabang timpani dari nervus glossofaringeus akan mensuplai
membran mukosa yang melapisi rongga timpani. Infeksi, keganasan, dan
inflamasi pasca operasi dari tonsil dan tonsil fossa dapat disertai dengan nyeri
yang dirujuk ke telinga (Standring, 2016).
c. Tonsil Lingual
Tonsil lingual terletak di dasar lidah dan dibagi menjadi dua oleh
ligamentum glosoepiglotika. Terdapat banyak folikel limfa yang membentuk
tonsil lingual. Setiap folikel limfa membentuk bulatan dengan pusat yang
berlubang kecil mengarah ke suatu rongga. Di sekitar rongga tersebut umumnya
terdapat banyak kelompok nodul jaringan limfoid (Jacomo et al, 2010).
d. Tonsil Tuba
Tonsil tuba merupakan jaringan limfoid yang berada di lapisan submukosa
nasofaring, posterior terhadap ostium faringeal dari tuba auditori. Adapun
vaskularisasi tonsil tuba berawal dari percabangan arteri sphenopalatina dan arteri
78
fariengeal ascendens, cabang arteri karotid eksterna (Jacomo et al, 2010).
2.2.1 Definisi
Difteri adalah penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri
Corynebacterium diphtheria, yang terutama menginfeksi tenggorokan dan saluran
udara bagian atas, dan menghasilkan racun yang mempengaruhi organ lain.
Penyakit ini memiliki onset akut dan gejalan utama yang dapat dijumpai adalah
sakit tenggorokan, demam rendah dan kelenjar bengkak di leher, dan toksin dalam
kasus yang parah, dapat menyebabkan miokarditis atau neuropati perifer. Toksin
difteri menyebabkan selaput jaringan mati menumpuk di tenggorokan dan tonsil,
membuat sulit bernafas dan menelan. Penyakit ini menyebar melalui kontak fisik
langsung atau dari bernafas dalam sekresi aerosol dari batuk atau bersin dari
individu yang terinfeksi (World Health Organization, 2018).
2.2.2 Epidemiologi
Mulai tahun 1920-an, angka difteri turun dengan cepat di United States dan
negara-negara lain dengan meluasnya penggunaan vaksin. Dalam dekade terakhir,
ada kurang dari lima kasus difteri di Amerika Serikat yang dilaporkan ke CDC.
Namun, penyakit ini tetap meningkat secara global. Pada tahun 2016, negara-
negara melaporkan sekitar 7.100 kasus difteri ke World Health Organization
(WHO), tetapi ada kemungkinan lebih banyak kasus (Centers for Disease Control
and Prevention, 2018).
Difteri menjadi salah satu penyakit infeksi yang paling ditakuti karena dapat
menjadi epidemik dengan case fatality rate (CFR) tinggi, terutama pada anak-
anak. Sejak tahun 2011- 2015, Indonesia telah menjadi negara dengan insidens
difteri tertinggi kedua di dunia, yaitu sebanyak 3203 kasus. Penyakit difteri
terdapat di seluruh dunia, khususnya di negara-negara tropis dengan penduduk
padat dan cakupan imunisasi rendah. Difteri umumnya menyerang anak-anak usia
1-10 tahun (Saunders dan Suarca, 2019).
Menurut WHO, Asia Tenggara merupakan wilayah dengan insidens tertinggi
di dunia khususnya pada tahun 2005. Indonesia menempati urutan kasus difteri
terbanyak kedua setelah India, yaitu 3203 kasus. Menurut data Profil Kesehatan
Indonesia tahun 2016, jumlah kasus difteri sebanyak 415 kasus dengan kasus
meninggal 24 kasus, sehingga CFR difteri mencapai 5,8%. Kasus terbanyak di
8
Jawa Timur (209 kasus) dan Jawa Barat (133 kasus). Dari seluruh kasus difteri,
sebanyak 51% pasien tidak mendapat vaksinasi sebelumnya. Pada tahun 2016,
59% kasus difteri terjadi pada kelompok umur 5-9 tahun dan 1-4 tahun (Saunders
dan Suarca, 2019).
2.2.4 Etiologi
gram positif anaerob. Produksi toksin terjadi hanya jika bakteri terinfeksi
(mengalami lisogenisasi) oleh virus spesifik (bakteriofage) yang membawa
informasi genetik untuk toksin (gen tox). Hanya strain toksigenik yang dapat
menyebabkan penyakit berat. Masa inkubasi bakteri ini biasanya 2-5 hari (1-10
hari). C. diphteriae dapat diklasifikasikan menjadi beberapa biotipe, yaitu
intermedius, gravis, mitis, dan belfanti. Semua biotipe ini telah ditemukan dalam
bentuk toksigenik (Saunders dan Suarca, 2019).
2.2.5 Patogenesis
2.2.8 Diagnosa
Diagnosa tonsillitis difteri ditegakkan berdasarkan gambaran klinik dan
pemeriksaan preparat langsung kuman yang diambil dari permukaan bawah
membran semu dan didapatkan kuman Corynebacterium diphteriae (Buku ajar
ilmu kesehatan THT FK UI, 2017).
Pemeriksaan Penunjang yang bisa dilakukan dalam mendiagnosa tonsillitis difteri
adalah:
1. Bakteriologik: Preparat apusan kuman difteri dari bahan apusan
12
mukosa hidung dan tenggorok (nasopharyngeal swab).
2. Kultur lesi tenggorokan dibutuhkan untuk diagnose klinis, untuk
isolasi primer menggunakan agar Loeffler, atau agar tellurite Tinsdale.
3. Menyusul isolasi awal C. diphteriae dapat diidentifikasi sebagai mitis,
intermedius, atau biotipe gravis berdasar fermentasi karbohidrat-
karbohidrat dan hemolisis pada agar pelat darah domba. Strain
ditentukan secara in vitro dan in vivo.
4. Darah lengkap: Hemoglobin, leukosit hitung jenis leukosit, eritrosit,
trombosit, LED.
5. Urin lengkap: Protein dan sedimen.
6. Ureum dan kreatinin (bila dicurigai ada komplikasi ginjal).
7. EKG secara berkala untuk mendeteksi toksin basil menyerang sel otot
jantung dilakukan sejak hari 1 perawatan lalu minimal 1x seminggu,
kecuali bila ada indikasi biasa dilakukan 2-3x seminggu.
8. Tes Apusan Specimen: Diambil dari hidung, tenggorokan dan terdapat
lesi mukokuatan lain, berguna untuk identifikasi tempat spesies, uji
toksigenitas dan kerentanan anti mikroba sebagai medikasi.
2.2.9 Tatalaksana
Dalam penatalaksanaan difteri, terapi yang menjadi baku emas dan memiliki
efektivitas yang tinggi adalah melalui pemberian equine-derived DAT, yang
merupakan suatu antibodi IgG poliklonal (WHO, 2017). Selain pemberian DAT,
ada beberapa langkah yang perlu dilaksanakan untuk penatalaksanaan yang
komprehensif terhadap infeksi difteri. Diantaranya perlu dilakukan isolasi untuk
mencegah penyebaran, pemberian antibiotik, serta pelaksanaan imunisasi.
Penanganan juga perlu dilakukan terhadap orang – orang yang mengalami kontak
dekat dengan pasien, yaitu melalui pemantuan dan pemberian profilaksis (WHO,
2018).
Penyakit difteri merupakan penyakit yang dapat menular melalui kontak
dekat dan droplet. Sehingga, dalam pencegahan transmisi perlu dilakukan isolasi
terhadap pasien – pasien tersebut. Selain pencegahan transmisi terhadap orang
lain, perlu dilakukan penjagaan yang ketat dengan menggunakan alat pelindung
diri, terutama pada staff medis yang merawat pasien tersebut (Balkan & Barel,
2019). Isolasi dapat dilakukan hingga terbukti melalui kultur bakteri yang
menunjukkan baik dari apusan tenggorokan dan apusan hidung yang diambil
berjarak dalam 24 jam, setelah 24 jam penghentian penggunaan antibiotik
dinyatakan negatif (NSW Government Health, 2013).
13
Seperti yang sudah disebutkan, pemberian DAT merupakan baku emas dalam
penatalaksanaan difteri. Perjalanan penyakit serta outcome dari infeksi difteri
sangat dipengaruhi oleh jarak onset pemberian DAT dengan onset perjalanan
penyakit (WHO, 2018). Toksin difteri yang telah memasuki sel penderita, tidak
terpengaruh oleh pemberian DAT (WHO, 2017). Dalam waktu tiga hari dari onset
penyakit, risiko untuk komplikasi dan outcome yang buruk, semakin hari akan
semakin meningkat. Apabila difteri hampir pasti dicurigai, maka penatalaksanaan
difteri dapat segera dimulai meskipun tanpa dikonfirmasi oleh hasil laboratorium.
Pemberian dapat dilakukan melalui jalur intravena apabila kasus dinilai serius
(WHO, 2018).
Pemberian seluruh dosis terapeutik dilakukan satu kali. Dosis ADT yang
diberikan berkisar dari 20.000 unti hingga 100.000 unit. Hal ini bergantung pada
luas lesi dan durasi onset (Andrews & Blumberg, 2017). Dosis yang lebih
direkomendasikan pada orang – orang dengan waktu onset yang lebih lama. Dosis
yang diberikan pada anak – anak sama dengan dosis yang diberikan pada orang
dewasa (WHO, 2017). Meskipun kecil, terdapat kemungkinan untuk seseorang
mengalami reaksi alergi terhadap pemberian DAT. Maka pemberian DAT juga
harus dipantau. DAT sebaiknya tidak diberikan pada wanita yang sedang hamil.5
Akses terhadap ADT bersifat terbatas akibat berkurangnya produksi dari
antitoksin. Episode dimana terjadi keterlambatan pemberian ADT akibat
kurangnya ketersediaan dari ADT telah dilaporkan pada beberapa bagian dunia
(WHO, 2017).
14
2.2.10 Komplikasi
Komplikasi yang paling sering muncul, pada penderita difteri, adalah
komplikasi jantung serta neurologis. Komplikasi ini dapat muncul akibat toksin
yang dihasilkan oleh bakteri Corynebacterium diphtheria. Selain komplikasi
kardiologis serta neurologis, pasien – pasien dengan difteri juga sering kali
mengalami obstruksi pernapasan yang dapat mengancam jiwa (Bennett & Dolin,
2020).
Komplikasi kardiologis akibat difteri dapat muncul hingga 25% pada
penderita difteri faringeal. Adanya demam, pseudomembrane, serta bullneck dapat
menjadi tanda prediktif yang mengindikasikan terlibatnya jantung dalam
perjalanan penyakit. Abnormalitas pada EKG yang dapat dijumpai pada pasien
16
pasien difteri berupa, perubahan segmen ST dan gelombang T serta prolongasi QT
interval. Beberapa komplikasi berat yang dapat dijumpai yaitu adanya dilatasi,
aritmia serta blockade jantung (Bennett & Dolin, 2020).
Komplikasi neurologis lebih sedikit terjadi, jika dibandingkan dengan
komplikasi kardiologis. Neuropati saraf motoris lokal yang dapat terjadi dalam
bentuk paralisis dari palatum molle maupun dinding posterior faring dapat terjadi
pada awal terjadinya komplikasi. Selanjutnya dapat terjadi neuropati bulbar
maupun okulomotor. Neuritis peripheral, dapat terjadi yang ditandai dengan
descending motor neuropathy yang dapat melibatkan diafragma dan juga
ekstremitas. Tanda – tanda gangguan pada saraf autonomy juga dapat terjadi
(Bennett & Dolin, 2020).
Komplikasi lain yang dapat muncul yaitu adanya gangguan ginjal berupa
Acute Kidney Injury. Hal ini dipicu oleh adanya aktivitas langsung dari eksotoksin
yang dihasilkan oleh bakteri difteri. Pada beberapa penelitian dijumpai adanya
nekrosis pada jaringan ginjal maupun organ penting lainnya seperti hati, serta
kelenjar adrenal (Bennett & Dolin, 2020).
2.2.11 Prognosis
Difteri merupakan penyakit yang dapat dicegah melalui pemberian vaksinasi,
dan merupakan salah satu penyakit yang sering dijumpai pada era sebelum vaksin.
Beberapa negara asia tenggara memiliki area yang endemik terhadap difteri.
Beberapa di antaranya adalah Indonesia, Kamboja, India, Laos dan negara –
negara lainnya (Adler & Mahony, 2012).
Terapi yang menjadi prinsip utama dalam penanganan difteria adalah dengan
ADT. Semakin lama pemberian ADT maka risiko komplikasi akan semakin
buruk. Penanganan awal serta pemberian ADT menjadi penentu penting terhadap
proteksi pada tubuh pasien (Adler & Mahony, 2012).
BAB III
KESIMPULAN
Difteri merupakan infeksi jalan napas dengan tingkat morbiditas dan
mortalitas yang tinggi, dan menjadi masalah kesehatan global. Difteri adalah
penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri Corynebacterium diphtheria, yang
terutama menginfeksi tenggorokan dan saluran udara bagian atas, dan
menghasilkan racun yang mempengaruhi organ lain.
Penyakit ini memiliki onset akut dan gejala utama yang dapat dijumpai
adalah sakit tenggorokan, demam rendah dan kelenjar bengkak di leher, dan
toksin dalam kasus yang parah, dapat menyebabkan miokarditis atau neuropati
perifer. Diagnosa tonsillitis difteri ditegakkan berdasarkan gambaran klinik dan
pemeriksaan preparat langsung kuman yang diambil dari permukaan bawah
membran semu dan didapatkan kuman Corynebacterium diphteriae.
Dalam penatalaksanaan difteri, terapi yang menjadi baku emas dan memiliki
efektivitas yang tinggi adalah melalui pemberian equine-derived DAT, yang
merupakan suatu antibodi IgG poliklonal. Selain pemberian DAT, ada beberapa
langkah yang perlu dilaksanakan untuk penatalaksanaan yang komprehensif
terhadap infeksi difteri. Diantaranya perlu dilakukan isolasi untuk mencegah
penyebaran, pemberian antibiotik, serta pelaksanaan imunisasi. Penanganan juga
perlu dilakukan terhadap orang – orang yang mengalami kontak dekat dengan
pasien, yaitu melalui pemantuan dan pemberian profilaksis.
Difteri merupakan penyakit yang dapat dicegah melalui pemberian vaksinasi,
dan merupakan salah satu penyakit yang sering dijumpai pada era sebelum vaksin.
Terapi yang menjadi prinsip utama dalam penanganan difteria adalah dengan
ADT. Semakin lama pemberian ADT maka risiko komplikasi akan semakin
buruk. Penanganan awal serta pemberian ADT menjadi penentu penting terhadap
proteksi pada tubuh pasien.
17
DAFTAR PUSTAKA
Drake R.L., Vogl A.W. dan Mitchell A.W.M. (2018). Gray’s Basic
Anatomy. Edisi 2. Philadelphia: Elsevier.
Hien TT, White NJ. Diphtheria. In: Farrar J, Hotez PJ, Junghanss T, Kang
G, Lalloo D, White NJ, editors. Manson’s Tropical Infectious
Diseases. China: Elsevier Ltd; 2014. p.692–7.
18
19
Murakami H, Phuong NM, Thang HV, Chau NV, Giao PN, Tho ND.
Endemic diphtheria in Ho Chi Minh City; Viet Nam: A matched
case-control study to identify risk factors of incidence. Vaccine.
2010; 28(51): 8141–6.
Soepardi Arsyad Elfiaty Prof dr sp. THT-KL (K), dkk., Buku Ajar Ilmu
Kesehatan THT – KL edisi ketujuh, Jakarta: Badan penerbit FK
UI, 2017 h 197 – 198.
Standring S. (2016). ‘Pharynx’ dalam Standring S., Anand N., Birch R.,
Collins P., Crossman A.R., Gleeson M., Jawaheer G., Smith A.L.,
Spratt J.D., Stringer M.D., Tubbs R.S., Tunstall R., Wein A.J. dan
Wigley C.B. (penyunting). Gray’s Anatomy. Edisi 41.
Philadelphia: Elsevier.
Wetmore RF. Tonsil and Adenoids. In: Kliegman RM, Stanton BF, St.
Geme JW, Schor NF, Behrman R, editors. Nelson Textbook of
Pediatrics 19th ed. Elsevier Inc: Philadelphia. p.1442–5.
20