Anda di halaman 1dari 8

ASKEP PADA PASIEN

DENGAN DIFTERI
Diposkan pada 17 Maret 2015 oleh tessaprymanandaputri

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Difteri merupakan salah satu penyakit yang sangat menular (contagious disease). Penyakit ini disebabkan oleh infeksi bakteri
Corynebacterium diphtheriae, yaitu kuman yang menginfeksi saluran pernafasan, terutama bagian tonsil, nasofaring (bagian antara hidung
dan faring/ tenggorokan) dan laring.

Penularan difteri dapat melalui kontak hubungan dekat, melalui udara yang tercemar oleh karier atau penderita yang akan sembuh, juga
melalui batuk dan bersin penderita.

Penderita difteri umumnya anak-anak, usia di bawah 15 tahun. Dilaporkan 10 % kasus difteri dapat berakibat fatal, yaitu sampai
menimbulkan kematian. Selama permulaan pertama dari abad ke-20, difteri merupakan penyebab umum dari kematian bayi dan anak – anak
muda. Penyakit ini juga dijumpai pada daerah padat penduduk dengan tingkat sanitasi rendah.

Oleh karena itu, menjaga kebersihan sangatlah penting, karena berperan dalam menunjang kesehatan kita.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa yang di maksud dengan penyakit difteri.?
2. Apa saja etiologi/penyebab dari penyakit difteri.?
3. Apa saja manifestasi klinis/gejala orang yang terkena difteri.?
4. Bagaimana patofisiologi penyakit difteri.?
5. Bagaimana komplikasi penyakit difteri.?
6. Bagaimanakah penatalaksanaan orang yang menderita difteri.?
7. Apa saja macam pemeriksaan penunjang yang di lakukan pada klien dengan difteri.?
8. Apa saja yang tercantum dalam pengkajian klien dengan difteri.?
9. Bagaimanakah diagnosa dan intervensi keperawatan kepada klien dengan difteri.?
1.3 Tujuan
 Tujuan Umum
Mengetahui secara menyeluruh mengenai konsep teori dan konsep asuhan keperawatan dengan difteri

 Tujuan Khusus
1. Mengetahui tentang pengertian penyakit difteri
2. Mengetahui etiologi/penyebab dari penyakit difteri
3. Mengetahui manifestasi klinis/gejala orang yang terkena difteri
4. Mengetahui patofisiologi penyakit difteri
5. Mengetahui kompilkasi penyakit difteri
6. Mengetahui penatalaksanaan orang yang menderita penyakit difteri
7. Mengetahui macam-macam pemeriksaan penunjang yang di lakukan pada klien dengan difteri.
8. Mengetahui hal-hal yang terkaji dalam pengkajian klien dengan difteri
9. Mengetahui diagnosa dan intervensi keperawatan kepada klien dengan difteri

BAB II

KAJIAN TEORI

2.1 Definisi Difteri


 Difteria adalah suatu penyakit infeksi mendadak yang disebabkan oleh kuman Corynebacterium diphteriae. Mudah menular dan yang
diserang terutama traktus respiratorius bagian atas dan ditandai dengan terbentuknya pseudomembran dan dilepaskannya eksotoksin yang
dapat menimbulkan gejala umum dan lokal. (Ilmu Kesehatan Anak FK UI: 2007)
 Difteri adalah suatu infeksi akut yang disebabkan oleh bakteri penghasil toksik (racun) Corynebacterium diphteriae. (2008).
 Difteri adalah infeksi saluran pernafasan yang disebabkan oleh Corynebacterium diphteriae dengan bentuk basil batang gram
positif (Jauhari,nurudin. 2008).
2.2 Klasifikasi
Berdasarkan tingkat keparahannya, Staff Ilmu Kesehatan Anak FKUI membagi penyakit ini menjadi 3 tingkat yaitu :
1. Infeksi ringan : bila pseudomembran hanya terdapat pada mukosa hidung dengan gejala hanya nyeri menelan.
2. Infeksi sedang : bila pseudomembran telah menyaring sampai faring (dinding belakang rongga mulut), sampai menimbulkan pembengkakan
pada laring.
3. Infeksi berat : bila terjadi sumbatan nafas yang berat disertai dengan gejala komplikasi seperti miokarditis (radang otot jantung), paralysis
(kelemahan anggota gerak) dan nefritis (radang ginjal).
Berdasarkan letaknya, digolongkan sebagai berikut :
 Difteri hidung
Gejala paling ringan dan paling jarang (2%). Mula-mula tampak pilek, kemudian secret yang keluar tercampur darah sedikit yang berasal
dari pseudomembran. Penyebaran pseudomembran dapat mencapai faring dan laring.

 Difteri faring dan tonsil ( Difteri Fausial ).


Difteri jenis ini merupakan difteri paling berat karena bisa mengancam nyawa penderita akibat gagal nafas. Paling sering dijumpai ( 75%).
Gejala mungkin ringan tanpa pembentukan pseudomembran. Dapat sembuh sendiri dan memberikan imunitas pada penderita.Pada kondisi
yang lebih berat diawali dengan radang tenggorokan dengan peningkatan suhu tubuh yang tidak terlalu tinggi, pseudomembran awalnya
hanya berupa bercak putih keabu-abuan yang cepat meluas ke nasofaring atau ke laring, nafas berbau, dan ada pembengkakan regional leher
tampak seperti leher sapi (bull’s neck). Dapat terjadi sakit menelan, dan suara serak serta stridor inspirasi walaupun belum terjadi sumbatan
laring.
 Difteri laring dan trakea
Lebih sering merupakan penjalaran difteri faring dan tonsil, daripada yang primer. Gejala gangguan nafas berupa suara serak dan stridor
inspirasi jelas dan bila lebih berat timbul sesak nafas hebat, sianosis, dan tampak retraksi suprasternal serta epigastrium. Ada bull’s neck,
laring tampak kemerahan dan sembab, banyak sekret, dan permukaan ditutupi oleh pseudomembran. Bila anak terlihat sesak dan payah
sekali perlu dilakukan trakeostomi sebagai pertolongan pertama.

 Difteri kutaneus dan vaginal


Dengan gejala berupa luka mirip sariawan pada kulit dan vagina dengan pembentukan membrane diatasnya. Namun tidak seperti sariawan
yang sangat nyeri, pada difteri, luka yang terjadi justru tidak terasa apa-apa. Difteri dapat pula timbul pada daerah konjungtiva dan
umbilikus.

 Diphtheria Kulit, Konjungtiva, Telinga


Diphtheria kulit berupa tukak di kulit, tepi jelas dan terdapat membran pada dasarnya. Kelainan cenderung menahun. Diphtheria pada mata
dengan lesi pada konjungtiva berupa kemerahan, edema dan membran pada konjungtiva palpebra. Pada telinga berupa otitis eksterna dengan
sekret purulen dan berbau.

2.3 Anatomi dan Fisiologi


 Anatomi Sistem pernapasan
Saluran pernapasan terdiri dari rongga hidung, faring, laring, trakea, broncus dan paru. (Nelson, 2010)

 Saluran pernafasan bagian atas :


 Rongga hidung
Hidung berfungsi sebagai penyaring kotoran, melembabkan serta menghangatkan udara yang dihirup ke dalam paru – paru

 Faring
Faring adalah struktur yang menghubungkan hidung dengan rongga mulut ke laring.. Fungsi utamanya adalah untuk menyediakan saluran
pada traktus respiratoriun dan digestif.

 Laring
Laring adalah struktur epitel kartilago yang menghubungkan faring dan trakhea. Fungsi utamanya adalah untuk memungkinkan terjadinya
lokalisasi. Laring juga melindungi jalan nafas bawah dari obstruksi benda asing dan memudahkan batuk.
2) Saluran pernafasan bagian bawah :

 Trakhea
Disokong oleh cincin tulang rawan yang berbentuk seperti sepatu kuda yang panjangnya kurang lebih 5 inci, tempat dimana trakea
bercabang menjadi bronkus utama kiri dan kanan dikenal sebagai karina.

 Bronkus
Terdiri atas 2 bagian yaitu broncus kanan dan kiri. Bronkus kanan lebih pendek dan lebar, merupakan kelanjutan dari trakhea yang arahnya
hampir vertikal. Bronchus kiri lebih panjang dan lebih sempit, merupakan kelanjutan dari trakhea dengan sudut yang lebih tajam.

 Alveoli
Paru terbentuk oleh sekitar 300 juta alveoli. Terdapat tiga jenis sel – sel alveolar, sel alveolar tipe I adalah sel epitel yang membentuk
dinding alveolar. Sel alveolar tipe II

sel–sel yang aktif secara metabolik, mensekresi surfactan, suatu fosfolipid yang melapisi permukaan dalam dan mencegah alveolar agar
tidak kolaps. Sel alveolar tipe III adalah makrofag yang merupakan sel – sel fagositosis yang besar yang memakan benda asing dan bekerja
sebagai mekanisme pertahanan penting.

 Paru
Paru-paru merupakan organ elastic berbentuk kerucut yang terletak dalam rongga torak atau dada. Kedua paru-paru saling terpisah oleh
mediasinum central yang mengandung jantung pembulu-pembulu darah besar.

Letak paru-paru dirongga dada dibungkus oleh selaput yang bernama pleura.

Pleura dibagi menjadi dua:

1). Pleura Visceral (selaput dada pembungkus) yaitu selaput paru yang langsung membungkus paru-paru;

2). Pleura Parietal yaitu selaput yang melapisi rongga dada sebelah luar. Antara kedua pleura ini terdapat rongga (kavum) yang disebut
kavum pleura.

Pada keadaan normal, kavum pleura ini vakum (hampa udara) sehingga paru-paru dapat berkembang kempis dan juga terdapat sedikit cairan
(eksudat) yang berguna untuk meminyaki permukaannya (pleura), menghindarkan gesekan antara paru-paru dan dinding dada sewaktu ada
gerakan bernafas.

 FisiologiSistem Pernafasan
Ketika udara atmosfer mencapai alveoli, oksigen akan bergerak dari alveoli melintasi membran alveolar kapiler dan menuju sel darah
merah. Sistem sirkulasi kemudian akan membawa oksigen yang telah berikatan dengan sel darah merah menuju jaringan tubuh, dimana
oksigen akan digunakan sebagai bahan bakar dalam proses metabolisme. Pertukaran oksigen dan karbon dioksida pada membran alveolar
kapiler dikenal dengan istilah difusi pulmonal. Setelah proses pertukaran gas selesai (kadar karbondioksida yang rendah) akan menuju sisi
kiri jantung, dan akan dipompakan ke seluruh sel dalam tubuh.
Saat mencapai jaringan, sel darah merah yang teroksigenasi ini akan melepaskan ikatannya dengan oksigen dan oksigen tersebut digunakan
untuk bahan bakar metabolisme. Juga karbondioksida akan masuk sel darah merah. Sel darah merah yang rendah oksigen dan tinggi
karbondioksida akan menuju sisi kanan jantung untuk kemudian dipompakan ke paru-paru. Hal yang sangat penting dalam proses ini adalah
bahwa alveoli harus terus menerus mengalami pengisian dengan udara segar yang mengandung oksigen dalam jumlah yang cukup.

( Sumber : http://saputraaguseko.wordpress.com/keperawatan/anatomi/anatomi-sistem-pernafasan/ )
2.4 Etiologi
Penyebabnya adalah Corynebacterium diphteriae. Bakteri ini ditularkan melalui percikan ludah yang berasal dari batuk penderita atau
benda maupun makanan yang telah terkontaminasi oleh bakteri. Biasanya bakteri ini berkembangbiak pada atau disekitar selaput lender
mulut atau tenggorokan dan menyebabkan peradangan.
Pewarnaan sediaan langsung dapat dilakukan dengan biru metilen atau biru toluidin. Basil ini dapat ditemukan dengan sediaan langsung dari
lesi.

Menurut Staf Ilmu Kesehatan Anak FKUI dalam buku kuliah ilmu kesehatan anak, sifat bakteri Corynebacterium diphteriae :

1. Gram positif
2. Aerob
3. Polimorf
4. Tidak bergerak
5. Tidak berspora
Disamping itu, bakeri ini dapat mati pada pemanasan 60º C selama 10 menit, tahan beberapa minggu dalam es, air, susu dan lendir yang
telah mengering. Terdapat tiga jenis basil yaitu bentuk gravis, mitis, dan intermedius atas dasar perbedaan bentuk koloni dalam biakan agar
darah yang mengandung kalium telurit.

Basil Difteria mempunyai sifat:

 Membentuk psedomembran yang sukar dianggkat, mudah berdarah, dan berwarna putih keabu-abuan yang meliputi daerah yang
terkena.terdiri dari fibrin, leukosit, jaringan nekrotik dan kuman.
 Mengeluarkan eksotoksin yang sangat ganas dan dapat meracuni jaringan setelah beberapa jam diserap dan memberikan gambaran
perubahan jaringan yang khas terutama pada otot jantung, ginjal dan jaringan saraf.
2.5 Manifestasi Klinis
 Demam, suhu tubuh meningkat sampai 38,9 derjat Celcius,
 Batuk dan pilek yang ringan.
 Sakit dan pembengkakan pada tenggorokan
 Mual, muntah , sakit kepala.
 Adanya pembentukan selaput di tenggorokan berwarna putih ke abu abuan kotor.
 Kaku leher
Keluhan awal yang paling sering adalah nyeri tenggorokan, nausea, muntah, dan disfagia. Selain itu ditandai dengan adanya membran semu
di tonsil dan di sekitarnya, serta pelepasan eksotoksin, yang dapat menimbulkan gejala umum (seperti penyakit infeksi) atau local (seperti
tampak keluhan nyeri)

2.6 Patofisiologi
Biasanya bakteri berkembang biak pada atau di sekitar permukaan selaput lendir mulut atau tenggorokan dan menyebabkan peradangan.
Bila bakteri sampai ke hidung, maka hidung akan berair. Peradangan bisa menyebar dari tenggorokan ke pita suara (laring) dan
menyebabkan pembengkakan sehingga saluran udara menyempit dan terjadi gangguan pernafasan.

Bakteri ini ditularkan melalui percikan ludah dari batuk penderita atau benda maupun makanan yang telah terkontaminasi oleh bakteri.
Ketika telah masuk dalam tubuh, bakteri melepaskan toksin atau racun. Toksin ini akan menyebar melalui darah dan bisa menyebabkan
kerusakan jaringan di seluruh tubuh, terutama jantung dan saraf.

Akibat yang ditimbulkan oleh penyakit ini banyak bergantung pada efek eksotoksin yang diproduksi. Toksin menghambat pembuatan
protein sel sehingga sel mati. Nekrosis jaringan pada tempat menempelnya kuman akan menunjang perkembang-biakan kuman dan produksi
toksin selanjutnya, serta pembentukan membran yang melekat erat pada dasarnya.

Basil hidup dan berkembang biak pada traktus respiratorius bagian atas, terlebih bila terdapat peradangan kronis pada tonsil, sinus dan lain-
lain. Tetapi walaupun jarang, basil dapat pula hidup pada daerah vulva, telinga dan kulit.

Pada tempat ini basil membentuk pseudomembran dan melepaskan eksotoksin. Pseudomembran dapat timbul lokal atau kemudian menyebar
dari faring atau tonsil ke laring dan seluruh traktus respiratorius bagian atas sehingga menimbulkan gejala yang lebih berat. Kelenjar getah
bening sekitarnya akan mengalami hiperplasia dan mengandung toksin.

2.7 Komplikasi
Komplikasi yang timbul pada pasien difteri :

1. Miokarditis
 biasanya timbul akhir minggu kedua atau awal minggu ketiga perjalanan penyakit
 Pemerikasaan Fisik : Irama derap, bunyi jantung melemah atau meredup, kadang-kadang ditemukan tanda-tanda payah jantung.
2. Kolaps perifer
3. Obstruksi jalan nafas dengan segala akibatnya, bronkopneumonia dan atelektasis
4. Urogenital : dapat terjadi nefritis
Penderita difteri (10%) akan mengalami komplikasi yg mengenai sistem susunan saraf terutama sistem motorik. Terjadi pada akhir minggu
pertama perjalanan penyakit.

2.8 Penatalaksanaan
 Pengobatan Umum (Buku kuliah ilmu kesehatan anak FKUI, 1999) :
 Anti Diphteri Serum (ADS) diberikan sebanyak 20.000U/hari selam 2 hari berturut-turut, dengan sebelumnya dilakukan uji kulit dan mata.
 Antibiotika, penicillin prokain 50.000U/kgBB/hari sampai 3 hari bebas panas. Pada penderita yang dilakukan trakeostomi, ditambahkan
kloramfenikol 75 mg/kgBB/hari, dibagi 4 dosis.
 Kortikosteroid, dimaksudkan untuk mencegah timbulnya komplikasi miokarditis yang sangat berbahaya. Dapat diberikan prednisone
2mg/kgBB/hari selama 3 minggu yang kemudian dihentikan secara bertahap
 Menurut Ngastiyah (1997), : Penatalaksanaan keperawatan pada pasien difteri yaitu pasien dirawat dikamar isolasi yang tertutup. Petugas
harus memakai skort (celemek) dan masker yang harus diganti tiap pergantian tugas atau bila kotor. Harus disediakan pula perlengkapan
cuci tangan, desinfektan sabun, lap atau handuk yang kering. Juga tempat untuk merendam alat makan yang diisi dengan desinfektan.
2.9 Pemeriksaan Penunjang
1. Schick test
Tes kulit ini di gunakan untuk menentukan status imunitas penderita. Untuk pemeriksaan ini di gunakan dosis 1/50 MED. Yang di berikan
intrakutan dalam bentuk larutan yang telah di encerkan sebanyak 0,1 ml bila orang tersebut tidak mengandung antitoksin akan timbul
vesikel pada bekas suntikan akan hilang setelah beberapa minggu. Pada orang yang mengandung titer antitoksin yang rendah uji schick
dapat positif, pada bekas suntikan akan timbul warna merah kecoklatan dalam 24 jam.

Uji sshick dikatakan negative bila tidak di dapatkan reaksi apapun pada tempat suntikan dan ini terdapat pada orang dengan imunitas atau
mengandung antitoksin yang tinggi. Positif palsu dapat terjadiakibat reaksi alergi terhadap protwin antitoksin yang akan menghilang dalam
72 jam.

2. Pemeriksaan laboratorium
 Pada pemeriksaan darah : penurunan hemoglobin (Hb), penurunan jumlah leukosit, eritrosit, dan kadar albumin.
 Pada urine terdapatnya albuminuria ringan
BAB II
ASUHAN KEPERAWATAN TEORITIS
3.1 Pengkajian
3.1.1 Identitas Klien
Meliputi nama, umur, no MR, pekerjaan, alamat, agama, cara masuk, riwayat alergi, tanggal masuk RS dan lain-lain.

3.1.2 Riwayat Kesehatan


1. Riwayat Kesehatan Dahulu
Biasanya klien mengalami peradangan kronis pada tonsil, sinus, faring, laring, dan saluran nafas atas dan mengalami pilek dengan sekret
bercampur darah yang disebabkan oleh bakteri Corynebacterium diphteriae.
2. Riwayat Kesehatan Sekarang
 Biasanya klien mengalami demam yang tidak terlalu tinggi, lesu, pucat, sakit kepala, anoreksia
 Biasanya klien mengeluh sakit menelan, menggigil, malaise, sakit tenggorokan, batuk.
3. Riwayat Kesehatan Keluarga
Biasanya ada keluarga yang mengalami difteri jadi ada kemungkinan besar anaknya akan menderita penyakit yang sama.

4. Riwayat Perinatal dan Neonatal


ü Hamil

Untuk mengetahui Kondisi ibu selama hamil, periksa kehamilan dimana dan berapa kali, serta mendapatkan apa saja dari petugas kesehatan
selama hamil.

ü Persalinan

 Untuk mengetahui cara persalinan, ditolong oleh siapa, adakah penyulit selama melahirkan seperti perdarahan.
 Kaji dimana klien dilahirkan, berat badan, panjang badan bayi.
ü Neonatal

Untuk mengetahui apakah bayi minum ASI atau Pasi, berapa BB Lahir, PB lahir, apakah saat lahir bayi langsung menangis/tidak.

5. Riwayat pertumbuhan dan perkembangan


Pertumbuhan dan perkembangan motorik, sensorik klien dengan difteri biasanya terganggu pernapasan sehingga sulit menelan,disertai
demam, menggigil, malaise, sakit tenggorokan, batuk.

6. Riwayat imunisasi anak dan kesehatan keluarga.


Apakah riwayat imunisasi pada anak lengkap/tidak.

3.1.3 Pemeriksaan Fisik


Secara TTV didapatkan :
1. Suhu tubuh < 38,9 º c
2. Pernafasan : 26 x/menit (meningkat)
3. Tekanan darah : 100/70 mmHg (menurun)
4. Nadi : 94x/menit (meningkat)
Secara head to toe :
1. Inspeksi :
Kepala : simetris/tidak, tampak benjolan abnormal/tidak, ada lesi/tidak, kulit kepala bersih

Rambut : hitam/tidak, ada ketombe/tidak, rontok/tidak

Wajah : pucat/tidak

Mata : ada lesi/tidak, conjungtiva pucat/tidak, scelera kuning/tidak, tampak cowong

Hidung : simetris/tidak, tampak bersih/tidak, ada secret/tidak, ada pernafasan cuping hidung/tidak.

Mulut : mukosa bibir terlihat lembab/tidak, bersih/tidakk, tampak ada stomatitis/tidak.

Leher : tampak pembesaran kelenjar tyorid, kelenjar lymfe maupun pembesaran vena jugolaris/tidak.

Dada : simetris/tidak, tampak benjolan yang abnormal/tidak, nafas teratur/tidak.

Perut : tampak buncit/tidak, adanya benjolan/tidak.

Genetalia : untuk mengetahui kelengkapan dan keadaannya.

Integumen: bersih/tidak, tampak pucat/tidak, kering/lembab.

Ekstremitas : Atas : simetris/tidak, pergerakan bebas/tidak.


Bawah : simetris/tidak, pergerakkan bebas/tidak

2. Palpasi :
Kepala : teraba benjolan abnormal/tidak

Leher : teraba pembesaran kelenjar tyorid, kelenjar lymfe maupun pembesaran vena jugolaris/tidak.

Dada : simetris/tidak, tampak benjolan yang abnormal/tidak, nafas teratur/tidak.

Perut : teraba benjolan yang abnormal/tidak..

Integumen : kering/lembab, turgor jelek/tidak

3. Auskultasi :
Dada : terdengar ronchi dan wheezing/tidak

Abdomen : terdengar bising usus/tidak

4. Perkusi :
Reflek patella kanan/kiri positif/tidak

Perut : ada kembung/tidak

3.2 Diagnosa keperawatan


Dari beberapa data yang di dapatka pada pasien difteri, kami menyimpulkan diagnosa yang dapat muncul yaitu :

1. Pola nafas napas tidak efektif b/d edema laring.


2. Ketidak seimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d anoreksia.
3. Nyeri akut b/d proses inflamasi.
Sumber : (Diagnosa Keperawatan : defiisi dan klasifikasi 2009-2011/editor, T. Heather Herdman ; ahli bahasa, Made Surmawati, Dwi
Widiatri, Estu Tiar ; editor edisi bahasa Indonesia, Monica Ester, – Jakarta : EGC, 2010 )

3.3 Intervensi Keperawatan

Rencana Keperawatan

Dx Keperawatan Tujuan Dan Kriteria Hasil Intervensi

NOC :
– Respiratory status :
Airway patency.

– Vital sign status

Tujuan : Pola nafas pasien


kembali normal.

Kriteria hasil : 1. Respiratory status : Airway


patency
o Frekuensi pernafasan dlm
rentang normal Akitifitas Keperawatan :

o Irama nafas sesuai dengan – Observasi tanda – tanda vital.


yang diharapkan.
– Posisikan pasien semi fowler.
o Pengeluaran sputum pada
jalan nafas – Anjurkan pasien agar tidak terlalu
banyak bergerak.
o Tidak ada suara nafas
tambahan – Ajarkan pasien untuk melakukan
batuk efektif
o Bernafas mudah
– Kolaborasi dengan tim medis
1.Pola nafas napas tidak o Tidak ada dyspnea dalam pemberian terapi Oxygen
efektif b/d edema laring.
NOC :
– Nutritional status :
Adequacy of nutrient

– Nutritioal status : food


and fluid intake

Tujuan : Nutrisi klien dapat


terpenuhi. 1. Nutritional status : food and fluid
intake
Kriteria hasil : Aktivitas Keperawatan :

o Klien dapat mengetahui – Monitor intake kalori dan kualitas


tentang penyakit yang konsumsi makanan.
dideritanya.
– Berikan porsi kecil dan makanan
o Adanya minat dan selera lunak/lembek.
makan.
– Berikan makan sesuai dengan
o Porsi makan sesuai selera.
kebutuhan
2. Ketidak seimbangan
nutrisi kurang dari – Timbang BB tiap hari
kebutuhan tubuh b/d o BB meningkat.
anoreksia.

1. Pain level
Aktifitas Keperawatan :

– Lakukan pengkajian nyeri secara


menyeluruh meliputi lokasi, durasi,
frekuensi, kualitas, keparahan nyari
NOC : dan factor pencetus nyeri
– Pain level
– Observasi ketidaknyamanan non
– Pain control verbal

Tujuan : nyeri berkurang atau 2. Pain control


hilang.
Akitivitas Keperawatan :
Kriteria hasil :
– Ajarkan untuk menggunakan
o Pasien dapat mengatakan teknik non farmakologi misal
nyeri yang dirasakan relaksasi, guided imageri, terapi musik
dan distraksi
o Nyeri berkurang
– Kendalikan factor lingkungan yang
dapat mempengaruhi respon pasien
o Wajah tidak meringis. terhadap ketidaknyamanan misal suhu,
lingkungan, cahaya, kegaduhan.
o Skala nyeri berkurang.( 0-2 )
– Kolaborasi: pemberian analgetik
o TTV normal sesuai indikasi
3. Nyeri akut b/d proses
inflamasi

Sumber : ( Buku saku diagnosa dengan intervensi NIC dan criteria hasil NOC/ Judith M. Wilkinson : ahli bahasa, Widyawati.. [et al.] :
editor edisi Bahasa Indonesia, Eny Meiliya, Monica Ester. – Ed. 7. – Jakarta : EGC, 2006.)

3.4 Implementasi

No Dx Keperawatan Implementasi Keperawatan

– Mengobservasi tanda – tanda vital.


– Memposisikan pasien semi fowler.
Pola nafas napas tidak efektif
1 b/d edema laring. – Menganjurkan pasien agar tidak terlalu banyak
bergerak.

– Mengajarkan pasien untuk melakukan batuk efektif

– Mengkolaborasi dengan tim medis lain, dalam


pemberian terapi Oxygen

– Memonitor intake kalori dan kualitas konsumsi


makanan.
– Memberikan porsi kecil dan makanan lunak/lembek.

– Memberikan makan sesuai dengan selera.


Ketidak seimbangan nutrisi
kurang dari kebutuhan tubuh – Menimbang BB tiap hari
2 b/d anoreksia.

– Melakukan pengkajian nyeri secara menyeluruh


meliputi lokasi, durasi, frekuensi, kualitas, keparahan nyari
dan factor pencetus nyeri
– Mengobservasi ketidaknyamanan non verbal

– Mengajarkan untuk menggunakan teknik non


farmakologi misal relaksasi, guided imageri, terapi musik
dan distraksi

– Mengendalikan factor lingkungan yang dapat


mempengaruhi respon pasien terhadap ketidaknyamanan
misal suhu, lingkungan, cahaya, kegaduhan.

– Mengkolaborasi: pemberian analgetik sesuai indikasi


3 Nyeri akut b/d proses inflamasi

3.5 Evaluasi
Setelah di lakukan implementasi, maka evaluasi kita kepada pasien yaitu :

 Pola nafas pasien kembali normal, dan pasien tidak mengalami dypnea lagi
 Nutrisi pasien dapat terpenuhi, dan berat badan dapat bertambah
 Nyeri yang di alami pasien dapat berkurang, dan juga bisa nyerinya akan hilang
DAFTAR PUSTAKA
 http://keperawatansite.blogspot.com/2013/08/askep-difteri.html. di unduh pada tanggal 28 November 2014 pukul 13.30
 http://saputraaguseko.wordpress.com/keperawatan/anatomi/anatomi-sistem-pernafasan/ di unduh pada tanggal 12 Desember 2014 pukul
14.00
 Diagnosa Keperawatan : defiisi dan klasifikasi 2009-2011/editor, T. Heather Herdman ; ahli bahasa, Made Surmawati, Dwi Widiatri, Estu
Tiar ; editor edisi bahasa Indonesia, Monica Ester, – Jakarta : EGC, 2010
 Buku saku diagnosa dengan intervensi NIC dan criteria hasil NOC/ Judith M. Wilkinson : ahli bahasa, Widyawati.. [et al.] : editor edisi
Bahasa Indonesia, Eny Meiliya, Monica Ester. – Ed. 7. – Jakarta : EGC, 2006.

Anda mungkin juga menyukai