Anda di halaman 1dari 18

BAB IV

PEMBAHASAN

A. UPAYA MENINGKATKAN DUKUNGAN KELUARGA PENDERITA


DIABETES MELLITUS TIPE 2 DALAM MENJALANKAN TERAPI
MELALUI TELENURSING

Fuji Rahmawati, Antarini Idriansari, Putri Widita Muharyani

wilayah kerja Puskesmas Indralaya tahun 2017

1. RUMUSAN MASALAH
Rumusan Masalah dalam penelitian adalah Berdasarkan uraian latar belakang diatas,
maka rumusan masalah yang kami angkat adalah bagaimana upaya yang dilakukan
untuk meningkatkan dukungan keluarga penderita diabetes mellitus tipe 2 dalam
menjalankan terapi melalui telenursing
2. TUJUAN
- Apakah Tujuan Dari Penelitian Pengaruh Telenursing Terhadap Peningkatan
Dukungan keluarga penderita DM tipe 2 dalam menjalankan Terapi ?
- Apakah ada perbedaan nilai dukungan keluarga antara kelompok intervensi dan
kelompok kontrol ?

Diabetes Mellitus (DM) Tipe 2 merupakan tipe diabetes yang paling sering
ditemukan di dunia. DM Tipe 2 meliputi 90% hingga 95% dari semua populasi
Dm tipe 2 disebut juga DM tidak tergantung insulin yang terjadi
akibatpenurunan sensitivitas terhadap insulin (resistensiinsulin) atau akibat
penurunan jumlah produksi insulin.
Pengelolaan terapeutik yang teratur melalui perubahan gaya hidup pasien yang
tepat tegas dan permanen sangat diperlukan untuk mencegah terjadinya
komplikasi DM Tipe 2, Pengelolaan DM Tipe 2 di antaranya adalah pembatasan
dietpeningkatan aktivitas fisik, regimen pengobatan yang tepat, kontrol medis
teratur dan pengontrolan metabolik secara teratur melalui pemeriksaan labor3.
Lebih lanjut menyatakan bahwa kepatuhan pasien DM terhadap terapi yang telah
diindikasikan akan memberikan efek terapeutik yang positif (therapeutic
compliance), dan sebaliknya, pasien DM yang tidak mengikuti regimen terapeutik
yang telah diindikasikan dapat menimbulkan kegagalan pelaksanaan terapi
(noncompliance) seperti keterlambatan terapi, menghentikan terapi dan tidak
mengikuti terapi dengan tepat. Kepatuhan pasien DM terhadap terapi pada
akhirnya akan meningkatkan kualitas hidup pasien tersebut.
Dukungan keluarga terbukti meningkatkan kepatuhan pasien DM terhadap
terapinya. Sebuah studi yang menggunakan Path Model dilakukan oleh Misra &
Lager (2008) terhadap 180 pasien dewasa dengan DM Tipe 2 di Texas didapatkan
hasil bahwa tingginya level dukungan sosial dapat meningkatkan penerimaan
pasien terhadap penyakitnya dan dapat mengurangi kesulitan yang dirasakan
dalam self-care behaviors. Kemudian penelitian oleh Yusuf dan Widyaningsih
(2013) di RSUD Dr. Soediran Mangun Sumarso Surakarta menunjukkan bahwa
ada hubungan antara dukungan keluarga dengan ketepatan jumlah energi (p value
= 0,000), ketepatan jadwal makan (p value = 0,001), dan ketepatan jenis makanan
(p value = 0,000) pada pasien DM Tipe 2. Sejalan dengan penelitian di atas,
penelitian Rahmawati, Setiowati, dan Solehati (2015), juga membuktikan bahwa
dukungan keluarga yang digambarkan dalam empat dimensi yaitu dimensi empati,
dorongan, fasilitatif dan partisipasi secara signifikan memberikan pengaruh
sebesar 40,3% terhadap kualitas hidup pasien DM Tipe 2 di wilayah kerja
Puskesmas Situ Kabupaten Sumedang Utara Kabupaten Sumedang.
Oleh karena itu, pemahaman tentang pelaksanaan terapi DM Tipe 2 perlu
ditingkatkan tidak hanya bagi penderita saja, namun juga bagi keluarga terdekat
yang manjadi care taker dari penderita DM Tipe 2 Saat ini, Perkembangan
teknologi informasi dan komunikasi memberi dampak positif terhadap berbagai
sendi kehidupan, termasuk bidang keperawatan. Salah satu teknologi keperawatan
yang sedang berkembang adalah telehealth nursing atau telenursing. memberikan
dukungan pada keluarga dan perawatan multidisiplin yang inovatif serta
kolaborasi. Pada penelitian sebelumnya, telah banyak penelitian yang mendukung
bahwa inovasi telenursing sangat berdampak positif bagi pelayanan keperawatan.
Dukungan keluarga setelah telenursing antara kelompok intervensi dan
kelompok kontrol penderita DM Tipe 2 di Wilayah Kerja Puskesmas
Indralaya.
Rata-rata selisih mean nilai dukungan keluarga setelah intervensi telenursing
antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol menggunakan uji t independen
sebesar -15,7 (selisih SD=4,0) dengan p value 0,000 < α = 0,05 dengan tingkat
kepercayaan 90% menunjukkan bahwa telenursing efektif dalam menaikkan
dukungan keluarga. Soegondo (2006) berpendapat bahwa keluarga mempunyai
pengaruh kepada sikap dan kebutuhan belajar bagi penderita DM dengan cara
menolak atau memberikan dukungan baik secara fisik, psikologis, emosional, dan
sosial. Pasien DM akan memiliki sikap lebih positif untuk mempelajari DM
apabila keluargamemberikan dukungan dan berpartisipasi dalam pendidikan
kesehatan mengenai DM. Sebaliknya, pasien DM akan bersikap negatif apabila
terjadi penolakan terhadap pasien dan tanpa adanya dukungan dari keluarga
selama menjalani pengobatan. Sikap negatif terhadap penyakit dan pengobatan
akan mengakibatkan kegagalan penatalaksanaan DM yang terapeutik. Hal ini
dapat memengaruhi kualitas hidup dan kemampuan sosial pasien. Menurut Antari,
Rasdini dan Triyani (2011), dengan adanya dukungan sosial sangat membantu
penderita DM tipe 2 untuk dapat meningkatkan keyakinan akan kemampuannya
melakukan perawatan diri. Penderita dengan dukungan sosial yang baik akan
memiliki perasaan aman dan nyaman sehingga akan tumbuh rasa perhatian
terhadap diri sendiri dan meningkatkan motivasi untuk melakukan pengelolaan
penyakit. Kondisi ini akan mencegah munculnya stress pada penderita DM tipe 2.
Dapat dipahami jika penderita DM tipe 2 mengalami stress, tentunya ini akan
memengaruhi fungsi tubuh. Stress akan memicu peningkatkan kortisol dalam
tubuh yang akan memengaruhi peningkatkan kadar glukosa darah dengan
meningkatkan glukoneogenesis, katabolisme lemak dan protein. Kortisol juga
akan mengganggu ambilan glukosa oleh sel tubuh sehingga dapat memengaruhi
kadar glukosa darah. Kondisi ini dapat menyebabkan terjadinya
ketidakseimbangan kadar gula dalam darah dan jika hal ini terjadi dalam waktu
yang lama maka risiko munculnya komplikasi akan meningkat. Pada akhirnya hal
tersebut akan memengaruhi kualitas hidup penderita DM tipe 2.
Menurut peneliti, dukungan keluarga yang memadai akan meningkatkan
kesehatan fisik penderita DM Tipe 2 dengan menurunkan gejala depresi. Selain
itu, dukungan keluarga juga dapat meningkatkan kemampuan adaptif dari kognitif
termasuk meningkatkan optimisme penderita DM Tipe 2, mengurangi kesepian
dan meningkatkan kemampuan diri dalam pengelolaan DM Tipe 2. Hal ini akan
menurunkan risiko komplikasi dan meningkatkan kualitas hidupnya. Dengan kata
lain, semakin baik dukungan keluarga maka akan semakin baik pula kualitas
hidup pasien DM tipe 2.iTujuan : Dukungan keluarga terbukti meningkatkan
kepatuhan penderita DM Tipe 2 dalam menjalankan terapinya, tidak hanya pada
penderita yang tidak mempunyai komplikasi, tetapi juga sebagai salah satu
komponen pendukung dari perawatan paliatif pada penderita DM Tipe 2 yang
telah memiliki banyak komplikasi. Telenursing yang memanfaatkan kemajuan
teknolog DIAGNOSA PREEKLAMPSIA PADA IBU HAMIL
MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI BERBASIS WEB (Telenursing)
i komunikasi dan informasi adalah alternatif baru dalam pelayanan
keperawatan untuk meningkatkan respon pasien dan keluarga tanpa terkendala
masalah jarak dan waktu. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui
pengaruh telenursing terhadap peningkatan dukungan keluarga penderita DM Tipe
2 dalam menjalankan terapi.

B. DIAGNOSA PREEKLAMPSIA PADA IBU HAMIL MENGGUNAKAN


SISTEM INFORMASI BERBASIS WEB (Telenursing)

Fajaria Nur Aini , Melyana Nurul Widyawati , Bedjo Santoso

Wilayah Kerja Puskesmas Tahun 2019

1. RUMUSAN MASALAH
Rumusan Masalah dalam penelitian adalah Berdasarkan uraian latar belakang
diatas, maka rumusan masalah yang kami angkat adalah bagaimana perbedaan
kecepatan waktu yang dibutuhkan untuk mendiagnosa preeklampsia
menggunakan sistem informasi berbasis web dengan sistem manual.
2. TUJUAN
- Untuk mengetahui hasil dari diagnosa preeklampsia pada ibu hamil dengan
menggunakan sistem informasi berbasis web (telenursing)
- Apakah ada perbedaan waktu penegakan diagnosa preeklampsia menggunakan
sistem informasi berbasis web dengan manual

Preeklampsia merupakan salah satu penyebab terbanyak kematian ibu dan


bayi di seluruh dunia terutama di negara berkembang. World Health Organization
(WHO) memperkirakan kasus preeklampsia tujuh kali lebih tinggi di negara
berkembang daripada di negara maju (Allen et al, 2014, Park et al, 2014, Park et
al, 2015, English et al, 2015). Prevalensi preeklampsia di negara maju adalah 1,3-
6%, sedangkan di negara berkembang adalah 1,8-18%. Insiden preeklampsia di
Indonesia sendiri adalah 128.273/tahun atau sekitar 5,3%. Kecenderungan yang
ada dalam dua dekade terkahir ini tidak terlihat adanya penurunan yang nyata
terhadap insiden preeklampsia, berbeda dengan insiden infeksi yang semakin
menurun sesuai dengan perkembangan temuan antibiotik(Wibowo et al., 2016).
Tidak lengkapnya data riwayat ibu hamil yang selama ini terjadi menyebabkan
penentuan diagnosa yang tidak tepat dan berakibat kesalahan pada pengambilan
keputusan(Wójtowicz et al., 2016).
Distribusi frekuensi diagnosa preeklampsia pada ibu hamil dapat dilihat pada
tabel 1 di bawah ini: Tabel. 1 Distribusi Frekuensi Diagnosa Tabel 1 menunjukkan
bahwa mayoritas responden adalah ibu hamil sehat yaitu pada kelompok
intervensi sejumlah 25 ibu hamil (37.87%) dan pada kelompok kontrol sebesar 23
ibu hamil (34.85%). Jumlah diagnosa terkecil yaitu pada kasus superimposed
preeklampsia. Perbedaan waktu kecepatan diagnosa preeklampsia dapat dilihat
pada tabel 2 di bawah ini: Tabel. 2 Perbedaan Waktu Kecepatan Diagnosa
Preeklampsia Kelompok N Mean (detik) SD P-Value Intervensi 33 371.12 68.271
0.041 Kontrol 33 400.83 88.054 Tabel 2 menunjukkan bahwa seluruh responden
pada kelompok intervensi dilakukan diagnosa preeklampsia menggunakan sistem
informasi berbasis web dengan rata-rata lama pemeriksaan yaitu 371.12 detik.
Sedangkan pada kelompok kontrol responden Diagnosa Manual Sistem Informasi
Jumlah Total Persentase Jumlah Persentase Jumlah Persentase Ibu Hamil Sehat 23
34.85% 25 37.87% 48 72.73% Hipertensi Kronis 2 3.03% 1 1.51% 3 4.55%
Hipertensi Gestasional 2 3.03% 3 4.55% 5 7.57% Preeklampsia Ringan 2 3.03% 2
3.03% 4 6.06% Preeklampsia Berat 3 4.55% 1 1.52% 4 6.06% Superimposed
Preeklampsia 1 1.52% 1 1.52% 2 3.03% Jumlah 33 50% 33 50% 66 100% 2019.
Jurnal Keperawatan Silampari 2 (2) 18-27 23 mendapatkan pemeriksaan dengan
sistem manual dengan rata-rata waktu yang diperlukan adalah 400.83 detik. Hasil
ini menunjukkan bahwa responden pada kelompok intervensi mengalami waktu
pemeriksaan lebih cepat dibandingkan dengan sistem manual, yaitu sebesar 7.21%
lebih cepat. Berdasarkan intepretasi data dapat ditarik kesimpulan bahwa pada
waktu penegakan diagnosa kelompok intervensi lebih baik jika dibandingkan
dengan kelompok kontrol. Hal ini dapat dilihat dari nilai mean serta standar
deviasi kelompok intervensi lebih rendah jika dibandingkan dengan kelompok
kontrol. Hasil uji statistik dengan menggunakan Independent T-Test didapatkan P-
value sebesar 0.041
Hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas responden adalah ibu hamil
denganosa ibu hamil sehat yaitu sebanyak sejumlah 25 ibu hamil (37.87%) pada
kelompok intervensi dan pada kelompok kontrol sebesar 23 ibu hamil (34.85%).
Jumlah diagnosa terkecil yaitu pada kasus superimposed preeklampsia. Hasil uji
statistik mean pada kelompok intervensi (sistem informasi) sebesar 371.12 detik
dengan standar deviasi 68.271 dan nilai mean pada kelompok kontrol 400.83 detik
dengan standar deviasi 88.054. Berdasarkan intepretasi data dapat ditarik
kesimpulan bahwa pada waktu penegakan diagnosa kelompok intervensi lebih
baik jika dibandingkan dengan kelompok kontrol. Hal ini dapat dilihat dari nilai
mean serta standar deviasi kelompok intervensi lebih rendah jika dibandingkan
dengan kelompok kontrol. Hasil uji statistik dengan menggunakan Independent T-
Test didapatkan P-value sebesar 0.041.
Perbedaan rata-rata waktu penegakan diagnosa preeklampsia menggunakan
sistem informasi berbasis web dibandingkan dengan sistem manual memiliki
perbedaan yang tidak terlalu jauh. Hal ini dikarenakan untuk melakukan diagnosa
(baik dengan sistem informasi berbasis web maupun dengan sistem manual)
dibutuhkan pemeriksaan laboratorium protein urin. Pemeriksaan protein urin
dilakukan terpadu dengan pemeriksaan laboratorium lainnya di laboratorium oleh
petugas khusus laboratorium. Lama dalam melakukan pemeriksaan laboratorium
protein urin tergantung pada antrian pemeriksaan laboratorium lainnya, sehingga
hasilnya menjadi tidak jauh berbeda walaupun tetap lebih cepat jika menggunakan
sistem informasi berbasis web. Senada dengan hal tersebut, penelitian yang
dilakukan di Kenya pada tahun 2015 oleh Warren et al mengungkapkan bahwa
dengan adanya pengembangan sistem informasi guna mendukung pengambilan
keputusan klinis waktu 2019. Jurnal Keperawatan Silampari 2 (2) 18-27 25 yang
dibutuhkan oleh tenaga kesehatan dan tenaga sukarelawan lebih cepat. Kecepatan
dalam pelaporan hasil pemeriksaan kepada klien akan mempengaruhi kualitas dari
tempat pelayanan kesehatan tersebut (Warren et al, 2015). Sistem informasi juga
memberikan kemudahan dalam hal pengaksesan data pasien menjadi lebih cepat
(Utami, Nuryati, 2015).
Kecepatan dalam melakukan diagnosa preeklampsia sangat diperlukan agar
penderita cepat mendapatkan penanganan yang tepat serta penderita tidak
mengalami komplikasi yang disebabkan karena preeklampsia. Menurut Rana
(2014) preeklampsia sangat berhubungan dengan angka kematian dan kesakitan
ibu. Penderita preeklampsia berisiko mengalami komplikasi yang parah seperti
eklampsia, ruptur hati, stroke, edema paru, gagal ginjal dan perdarahan. Selain itu
preeklampsia menjadi penyebab pertumbuhan janin terhambat, kelahiran
prematur. Anak-anak yang lahir dari ibu dengan preeklampsia memiliki
peningkatan risiko displasia bronkopulmoner dan cerebral palsy yang disebakan
karena kelahiran prematur. Kualitas hidup juga akan menurun dan meningkatkan
risiko depresi pasca melahirkan (Rana et al, 2014).

C. TELENURSING SEBAGAI TREND DAN ISSU PELAYANAN


KEPERAWATAN INDONESIA DITAHUN 2020
Irfan Maulana

1. RUMUSAN MASALAH
Rumusan Masalah dalam penelitian adalah Berdasarkan uraian latar belakang
diatas, maka rumusan masalah yang kami angkat adalah bagaimana kelebihan dan
kekurangan telenursing serta aplikasinya dalam pelayanan keperawatan.
2. TUJUAN
- Untuk menunjukkan bahwa terdapat peningkatan kepuasan masyarakat terhadap
pelayanan kesehatan melalui Telenursing, Sehingga kualitas dari pelayanan
kesehatan yang profesional dapat dirasakan oleh masyarakat.

Telenursing didefinisikan sebagai praktek keperawatan jarak jauh


menggunakan teknologi telekomunikasi (National Council of State Boards of
Nursing, 2011). Teknologi informasi dibidang keperawatan adalah teknologi
informasi yang mengintegrasikan ilmu keperawatan, komputer, ilmu pengetahuan,
dan ilmu informasi untuk mengelola dan mengkomunikasikan data, informasi, dan
pengetahuan dalam praktek keperawatan. Informatika keperawatan memfasilitasi
integrasi data, informasi, dan pengetahuan untuk dukungan klien, perawat, dan
penyedia lainnya dalam pengambilan keputusan mereka dalam semua peran dan
pengaturan. (Terhuyung & Bagley-Thompson, 2002 dalam Salim, 2010). Prinsif
dalam pemberian asuhan keperawatan salah satunya adalah efektifitas dan
efisiensi sehingga tujuan pelayanan dapat tercapai. Saat ini telah banyak penelitian
yang mendukung bahwa inovasi telenursing sangat berdampak positif bagi
pelayanan keperawatan, berikut dapat dilihat pada beberapa artikel penelitian
maupun artikel ilmiah lainnya di jurnal-jurnal kesehatan sebagai berikut :
1. impact of tele-advice on community nurses’ knowledge of venous leg ulcer
care (Ameen, Coll, & Peters, 2005). Pada penelitian ini dikemukakan
efektifitas telenursing dibidang manajemen perawatan ulkus kaki, desain
yang digunakan adalah quasi eksperimental dengan pendekatan pre dan
post intervensi pada 2 kelompok yaitu kelompok intervensi sebanyak 19
orang dan kelompok kontrol sebanyak 19 orang, pada penelitian ini
didapatkan bahwa terdapat perbaikan yang signifikan dalam hal
kemampuan perawat komunitas dalam manajemen perawatan ulkus kaki
antara sebelum dan sesudah intervensi melalui telenursing. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa tele-saran dapat menjadi manfaat besar bagi perawat
komunitas dalam meningkatkan pengetahuan mereka dalam
praktek perawatan ulkus kaki. Ini akan memiliki implikasi signifikan untuk
penggunaan sumber daya manusia yang lebih efisien dan efektivitas biaya
dalam perawatan luka.
2. Tele-education in emergency care (Binks & Benger, 2007). Dalam artikel
ini dijelaskan
bahwa Telenursing juga bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan
pengetahuan dan keterampilan petugas kesehatan dalam hal ini adalah
perawat, terutama petugas kesehatan yang bertugas didaerah-daerah
terpencil yang kadang sulit diakses melalui jalan darat karena kondisi
geografis yang tidak memungkinkan sehingga mereka kurang terpapar
informasi-informasi maupun pengetahuan terkini menghenai pelayanan
keperawatan. Disini dijelaskan bagaimana telenursing dimanfaatkan
sebagai sarana penambahan wawasan dan pengetahuan mengenai
keperawatan gawat darurat terhadap petugas kesehatan yang bertugas di
daerah terpencil. Dalam Tele-education dapat diterapkan empat domain
pembelajaran, yaitu : 1) pengetahuan, 2) keterampilan, 3) hubungan
(relationship), dan 4) sikap (attituds).

3. Efficacy of tele-nursing consultations in rehabilitation after radical


prostatectomy: arandomised controlled trial study (Jensen, Kristensen,
Christensen, & Borre, 2011). Dalam artikel ini dijelaskan bahwa terdapat
peningkatan angka dalam insiden kanker prostat menyebabkan tuntutan
yang lebih tinggi terhadap peran perawatan kesehatan masyarakat. Untuk
mengatasi kondisi tersebut, prostatektomi radikal jalur cepat telah
diperkenalkan, sehingga waktu rawat menjadi pendek dan sedikit waktu
yang tersedia untuk edukasi terhadap pasien post op prostektomy, maka
pasien dituntut agar mampu melakukan perawatan secara mandiri melalui
bantuan Telenursing. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menyelidiki
apakah konsultasi telepon perawat yang dipimpin (TC) dapat
mengoptimalkan sumber daya, rehabilitasi secara aman dan kepuasan
pasien dalam 8 periode pasca-operasi. Penelitian ini merupakan uji coba
terkontrol secara acak prospektif dari 95 pasien baik intervensi atau
standar tindak lanjut. Intervensi yang diberikan adalah TC tambahan 3 hari
pasca bedah. Pendidikan perawatan dan pasien selama rawat inap
yang diberikan adalah sama untuk semua pasien. Data dikumpulkan dari
catatan medis dan kuesioner 2 minggu pasca-bedah. Memang tidak
ditemukan perbedaan dalam keberhasilan keseluruhan tentang kepuasan
pasien, rasa aman dan ketidaknyamanan pasca-operasi. Beberapa pasien
memiliki kebutuhan yang belum terpenuhi saat dirawat di rumah sakit
sehingga peberian TC menjadi alternatif pilihan yang baik. Secara umum,
pasien cukup terdidik dalam pengelolaan rehabilitasi awal dan mereka
menyatakan kepuasan yang tinggi dan rasa aman pada periode pasca
operasi setelah pulang meskipun tanpa TC. Oleh karena itu, TC tidak akan
menjadi prosedur standar, tetapi hasilnya telah meningkatkan kesadaran
dalam praktek klinis sehari-hari dan dapat dioptimalkan pemanfaatannya.
4. Using the Tele-ICU Care Delivery Model to Build Organizational
Performance, Part 1
(Rufo, 2011). Dalam artikel ini dijelaskan bahwa paradigma dalam model
pemberian perawatan saat ini telah bergeser ke arah perbaikan kualitas
hidup pasien dan keamanan perawatan pasien. Tele-health terintegrasi
adalah salah satu contoh. Dengan menggunakan perangkat mobile dan
keahlian dari dokter yang berpengalaman dapat dihubungkan ke lokasi
terpencil, sehingga pemberi asuhan keperawatan didaerah terpencil
sekarang dapat menerima bantuan untuk manajemen pasien secara
langsung melalui metode ini. Tele-ICU adalah salah satu contoh dari
penerapan model teknologi yang mempercepat pemecahan masalah klinis
dan pengambilan keputusan, sehingga mempercepat pemberian perawatan
kritis dan akhirnya meningkatkan hasil yang diharapkan.
5. A second set of eyes: an introduction to tele-ICU (Goran, 2010). Dalam
artikel ini dijelaskan bahwa Tele-ICU, eICU, virtual ICU, atau pusat ICU
terpencil telah diterapkan dalam perawatan pasien ICU oleh dokter di 28
negara, lebih dari 40 sistem perawatan kesehatan, dan lebih dari 200
rumah sakit. Meskipun di beberapa tim perawatan tetap belum terbiasa
untuk aplikasikan metode baru ini, sedangkan yang lain tetap skeptis
meskipun rasio biaya perawatan yang bisa ditekan dan manfaat yang
didapat. Namun, dengan perluasan berbagai program dan publikasi hasil
klinis dan fiskal, tele-ICU menjadi lebih diperhatikan dan mengubah
wawasan tentang perawatan klinis.
Dari berbagai sumber hasil penelitian maupun kajian literatur diatas dapat
ditarik kesimpulan bahwa metode pelayanan keperawatan yang
menggukana model Telenursing efektif digunakan dalam aktifitas
pelayanan kesehatan, sebagaimana berikut ini : Bisa digunakan sebagai
sarana untuk menambah wawasan dan pengetahuan bagi petugas
kesehatan khususnya tenaga keperawatan yang berada dimasyarakat
maupun dipelosok yang secara geografis sulit diakses, dengan
mengembangkan model Tele-edu atau Telecosulting yang dapat
memfasilitasi pembelajaran maupun konsultasi asuhan keperawatan
dari perawat primer kepada perawat spesialis, atau model Tele-ICU
dimana pelayananintensive care dapat diberikan pada pasien yang berada
ditempat yang terisolasi namun memiliki fasilitas ICU yang memadai serta
mempunyai care giver. Bisa digunakan sebagai sarana memantau
perkembangan serta memandirikan pasien atau keluarga untuk merawat
diri sendiri melalui metode Telenursing. Pasien yang sudah bisa pulang
dan harus menjalani perawatan secara mandiri dirumah dapat di folow up
melalui metode ini. Bisa digunakan sebagai sarana memandu dan
memantau rehabilitasi pasien pasca dirawat di rumah sakit. Dengan
metode Telenursing ini petugas dapat memantau dan memandu.

D. EFEKTIVITAS TELENURSING DAN ACTIVITY DAILY LIVING REPORT


TERHADAP KADAR GULA DARAH PADA KLIEN DM TIPE II DI
PUSKESMAS KAMPUNG BARU LUWUK KABUPATEN BANGGAI
Sri Yuliant , Toha Muhaimin , Fitrian Rayasari

Wilayah kerja Puskesmas kampung baru Luwuk tahun 2016

1. RUMUSAN MASALAH
Rumusan Masalah dalam penelitian adalah Berdasarkan uraian latar belakang
diatas, maka rumusan masalah yang kami angkat adalah efektivitas telenursing
dan activity daily living report terhadap kadar gula darah pada klien dm tipe 2
2. TUJUAN
untuk mengetahui efektivitas telenursing dan activity daily living Report
(ADL) terhadap kontrol gula darah pada klien diabetes tipe 2 di Puskesmas
Kampung Baru Luwuk Kabupaten Banggai.
Untuk mengetahui apakah ada perbedaan rata-rata skor kadar gula darah puasa
pada klien diabetes melitus tipe 2 sebelum dan setelah perlakuan pada
kelompok intervensi

Penatalaksanaan dengan diabetes melitus tipe 2 yang telah dilakukan


oleh petugas kesehatan di Puskesmas Kampung Baru Kabupaten Banggai
yaitu diadakannya program pengelolaan penyakit kronis atau prolanis dengan
salah satu penyakit kronis yang paling dominan adalah diabetes melitus tipe 2.
Aktivitas dalam prolanis meliputi aktivitas konsultasi medis (edukasi), home
visit (monitoring), aktivitas klub dan pemantauan status kesehatan. Saat ini,
kegiatan yang dilakukan pada klien diabetes masih sebatas edukasi belum
pada kunjungan (home visit) maupun pendampingan. Upaya ini dikatakan oleh
kepala puskesmas, masih belum efektif. Berdasarkan beberapa penelitian
diketahui bahwa sebagian besar klien diabetes memiliki kadar gula darah yang
tidak terkendali dengan baik. Penelitian yang dilakukan oleh Astuti dkk
(2013), terhadap 86 responden, didapatkan hasil bahwa 61,6% responden
memiliki pengendalian kadar gula darah buruk.

Dari hasil analisis tabel diatas didapatkan rata-rata skor kadar gula
darah puasa pada kelompok intervensi I sebelum dilakukan intervensi dengan
telenursing adalah 230,64 mg/dl dengan standar deviasi 68,946. Sedangkan
rata-rata skor kadar gula darah puasa sesudah dilakukan intervensi dengan
telenursing adalah 127,81 mg/dl dengan standar deviasi 17,527. Hasil uji
statistik didapatkan nilai P = 0,000 maka dapat disimpulkan bahwa ada
perbedaan yang signifikan kadar gula darah puasa sebelum dan sesudah
dilakukan intervensi dengan telenursing pada kelompok 1. Pengukuran
dilakukan dengan menggunakan uji statistik T Dependent. Dari hasil analisis
tabel diatas didapatkan rata-rata skor kadar gula darah puasa pada kelompok
intervensi II sebelum dilakukan intervensi dengan activity daily living report
(ADL) adalah 182,85 mg/dl dengan standar deviasi 34,43. Sedangkan rata-rata
skor kadar gula darah puasa sesudah dilakukan intervensi dengan activity daily
living report (ADL) adalah 160,87 mg/dl dengan standar deviasi 17,47. Hasil
uji statistik didapatkan nilai P = 0,003 maka dapat disimpulkan bahwa ada
perbedaan kadar gula darah puasa sebelum dan sesudah dilakukan intervensi
dengan activity daily living report (ADL) pada kelompok II. Pada orang yang
memiliki umur lebih dari 45 tahun, fungsi sel pankreas mengalami penurunan
yang besarnya tergantung pada beban kerja sel beta pankreas. Beban kerja
pankreas ini dipengaruhi oleh tingkat resistensi insulin serta durasi terjadinya
insulin. Pengukuran dilakukan dengan menggunakan uji statistik T
Dependent. Hasil penelitian diketahui rata-rata usia responden pada kelompok
I (intervensi pendampingan dengan telenursing) 56,21 tahun, usia termuda 48
tahun dan tertua 60 tahun. Pada kelompok II (intervensi pemantauan dengan
activity daily living report (ADL) rata-rata usia responden 55,21 tahun, usia
termuda 48 tahun dan tertua 60 tahun. Seiring dengan bertambahnya usia,
organ tubuh mengalami penurunan fungsi atau bahkan kegagalan dalam
menjalankan fungsinya, termasuk sel beta pankreas.

Dukungan Keluarga Hasil penelitian diketahui bahwa dari 28 proporsi


yang menyatakan dukungan keluarga antara baik dan kurang sama besar
(50%). Dimana diketahui dari 14 responden yang menyatakan dukungan
keluarga kurang baik sebagian besar yaitu 9 (64.3%) pada kelompok II
sedangkan dari 14 responden yang menyatakan dukungan keluarga baik
sebagian besar yaitu 9 (64.3%) pada kelompok I. Keluarga merupakan bagian
terpenting bagi semua orang. Begitu pula bagi penderita diabetes melitus tipe
2. Disadari atau tidak, saat seseorang mengalami diabetes mellitus maka
mereka akan mengalami masa–masa sulit. Penelitian yang telah dilakukan
oleh Wardani dkk (2014), terhadap 34 responden didapatkan hasil bahwa 11
responden (32,4%) yang mendapat dukungan keluarga, mereka melakukan
pengendalian kadar gula darah.

Efektifitas Telenursing dan Activity Daily Living Report terhadap


kadar gula darah Berdasarkan hasil kedua kelompok intervensi didapatkan
penurunan kadar, gula darah puasa baik kelompok yang menggunakan
telenursing maupun activity daily living report dan dari uji analisis p value <
0,05. Namun jika dilihat dari selisih antara telenursing dan activity daily living
report (ADL) didapatkan hasil perbedaan selisih skor penurunan kadar gula
darah puasa pada kelompok intervensi I yang dilakukan dengan telenursing
ratarata adalah 102,83 mg/dl dengan standar deviasi 62,48. Sedangkan pada
kelompok intervensi II yang dilakukan dengan activity daily living report
(ADL) rataratanya adalah 21,99 mg/dl dengan standar deviasi 22,08. Uji
statistik didapatkan hasil nilai p = 0,000 yang berarti ada perbedaan yang
signifikan pada kedua kelompok tersebut. Maka dapat disimpulkan bahwa
terjadi penurunan selisih lebih tinggi pada intervensi yang dilakukan dengan
telenursing dibandingkan dengan menggunakan intervensi activity daily living
report (ADL) saja. Hasil dari penelitian ini sejalan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Kawaguchi et al (2004), didapatkan hasil bahwa ratarata kadar
gula darah puasa mengalami penurunan secara bermakna dari 142gr/dl
menjadi 127gr/dl, tekanan darah sistolik turun secara bermakna dari 153
mmHg menjadi 141 mmHg, tekanan darah diastolik turun secara bermakna
dari 85.4 mmHg menjadi 81 mmHg. Selain itu klien merasakan bahwa dirinya
lebih bisa melakukan self-management terkait kondisi kesehatan dan
penyakitnya.

Penelitian ini telah mengidentifikasi karakteristik usia, jenis kelamin,


dukungan keluarga, latihan fisik, dan lama menderita DM. pendidikan, dan
pekerjaan. Responden sebagian besar, aki-laki dibanding perempuan. Rata-rata
usia responden pada kelompok I adalah 56.21 tahun dan kelompok II rata-rata
usia responden 55.21 tahun. Rata-rata lama menderita DM pada kelompok I
adalah 3.50 Tahun dan pada kelompok II adalah 2.71 Tahun. Berdasarkan
jenis kelamin proporsi pada kelompok 1 dan 2 sama (50%) antara perempuan
dan laki-laki. berdasarkan latihan fisik pada kelompok I sebagian besar 12
(63.2%) aktif dan pada kelompok II sebagian besar yaitu 7 (77.8%) kurang
aktif. berdasarkan dukungan keluarga pada kelompok I sebagian besar 9
(64.3%) dukungan keluarga baik dan pada kelompok II sebagian besar yaitu 9
(64.3%) kurang baik. Ada perbedaaan rata-rata gula darah puasa sebelum
intervensi yaitu 230,64 mg/dl dan sesudah intervensi yaitu 127,81 mg/dl
dengan menggunakan Telenursing pada kelompok I. Ada perbedaaan rata-rata
kadar gula darah puasa sebelum intervensi 182,85 mg/dl dan sesudah
intervensi 160,87 dengan menggunakan Activity Daily Living Report (ADL)
pada kelompok II. Ada perbedaan rata-rata selisih penurunan kadar gula darah
puasa antara kelompok 1 telenursing sebesar 102.83 mg/dl dan kelompok II
activity daily living report rata-rata penurunan kadar gula darah puasa hanya
sebesar 21.99 mg/dl. Jadi selisih terlihat penurunan gula darah puasa antara
kelompok 1 dan kelompok II adalah 80,84 point. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa pendampingan dengan telenursing lebih efektif
menurunkan kadar gula darah puasa.

Hasil penelitian ini dapat dijadikan dasar sebagai referensi untuk


mengembangkan pelayanan keperawatan khususnya untuk program prolanis
pada klien DM tipe II dimana dapat bekerja sama dengan dinas kesehatan
setempat untuk membuat suatu aplikasi yang dapat digunakan dalam
pengontrolan kadar gula darah sehingga telenursing dapat diterapkan bukan
hanya diperkotaan tetapi juga didaerah.
E. EFEKTIVITAS PENGGUNAAN LAYANAN HOMECARE DALAM
PELAYANAN KESEHATAN PADA PUSKESMAS BAROMBONG KOTA
MAKASSAR

Suprapto

Wilayah Kerja Puskesmas Barombong Tahun 2018

1. RUMUSAN MASALAH
Rumusan Masalah dalam penelitian adalah Berdasarkan uraian latar belakang diatas,
maka rumusan masalah yang kami angkat adalah bagaimana penggunaan layanan
homecare dalam pelayanan kesehatan
2. TUJUAN
- Untuk mengetahui efektivitas penggunaam media layanan Homecare
- Untuk mengetahui tingkat kepuasan dalam pelayanan homecare. Penelitian ini
menggunakan metode penelitian deskriptif kuantitatif yakni mendeskripsikan atau
menggambarkan data yang dikumpulkan melalui penyebaran kuisioner kepada
pengguna layanan Homecare yakni masyarakat.

Thoha dalam Anggara (2012:568) mengatakan pelayanan masyarakat adalah


suatu usaha yang dilakukan oleh seseorang/sekelompok, orang/institusitertentu
untuk memberikan kemudahan pada masyarakat dalam mencapaitujuan tertentu.
Sama halnya dengan pelayanan kesehatan pada dasarnya bertujuan untuk
melaksanakan pencegahan dan pengobatan penyakit,termasuk di dalamnya
pelayanan medis yang dilakukan atas dasar hubunganpasien dengan tenaga medis
atau kesehatan. Hubungan pelayanan kesehatantersebut, pasien dan tenaga medis
masing-masing memiliki hak dankewajiban.
Hak pasien adalah mendapatkan pelayanan kesehatan sesuai dengan standar
pelayanan. Sedangkan tenaga medis berkewajiban memberikan pelayananmedis
yang sebaik-baiknya kepada pasien dengan benar sesuai prosedur.Akan tetapi
dalam kenyataannya pelayanan kesehatan memiliki jangkauanwilayah yang masih
terbatas, artinya masih banyak masyarakat yang belummerasakan pelayanan
kesehatan. Untuk mendapatkan pelayanan kesehatanyang lebih baik dan optimal,
maka dari itu dibuatlah Keputusan MenteriKesehatan Nomor 128 Tahun 2004
tentang Kebijakan Dasar Puskesmas yang berisi “Dalam rangka mengoptimalkan
fungsi pusat kesehatan masyarakatdalam mendukung penyelenggaraan
pembangunan diperlukan adanya kebijakan dan langkahlangkah strategi yang
digunakan sebagai acuan dalampenyelenggaraan Puskesmas. Program Home Care
adalah pelayanan kesehatan yang berkesinambungan dan kompherensif yang
diberikan kepada individu dan keluarga ditempat tinggal mereka yang bertujuan
untuk meningkatkan, mempertahankan, atau memulihkan kesehatan atau
memaksimalkan tingkat kemandirian dan meminimalkan akibat dari penyakit.
Perawat dirumah merupakan lanjutan asuhan keperawatan dari rumah sakit
dimana sudah termasuk pemulangan dan dilaksanakan oleh perawat rumah sakit
semula oleh perawat komunitas dimana pasien berada serta merupakan bagian dari
asuhan keperawatan keluarga sebagai tindak lanjut dari tindakan unit rawat jalan
atau puskesmas.
Adapun faktor yang mempengaruhi efektivitas penggunaan media terdiri dari
kehandalan, ketanggapan, jaminan, empati, dan bukti fisik. Terbukti dengan hasil
penelitian terhadap Efektivitas Penggunaan Layanan Homecare faktor kehandalan
petugas saat memberikan pelayanan sebanyak 203 (95.3%) responden yang
menyatakan petugas handal dalam memberikan pelayanan dan sebanyak 10
(4.7%) responden yang menyatakan petugas tidak handal. Sedangkan untuk
ketanggapan petugas (tabel 4.18) sebanyak 198(93.0%) responden menyatakan
petugas tanggap dalam memberikan pelayanan dan hanya 15 (7.0%) responden
yang menyatakan petugas tidak tanggap. Jaminan, petugas memberikan jaminan
saat proses pelayanan berlangsung (tabel 4.22) sebanyak 202 (94.8%) responden
menyatakan petugas memberikan jaminan dan 11 (5.2%) responden menyatakan
petugas tidak memberikan jaminan pada saat proses pelayanan. Selanjutnya faktor
empati, dari 213 responden sebanyak 193 (90.6%) responden menyatakan petugas
memberikan empati dan 20 (9.4%) responden menyatakan tidak adanya empati
dari petugas. Bukti langsung dari layanan homecare, sebanyak 190 (89.2%) dari
213 responden menyatakan petugas yang datang dengan bukti fisik dan 23
(10.8%) responden menyatakan petugas datang tidak dilengkapi dengan bukti
fisik. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar individu menggunakan layanan
homecare dan mendapatkan pelayanan yang baik. Terbukti pada tingkat
efektivitas dari 213 responden, 201 (94.4%) reponden menyatakan bahwa layanan
homecare sudah efektif. Ini membuktikan bahwa layanan homecare efektif bagi
pemenuhan kebutuhan masyarakat Barombong. Telah terbukti bahwa layanan
homecare merupakan layanan untuk pemenuhan kebutuhan dimasyarakat yang
mampu memberikan informasi dengan cara yang mudah dan dapat diakses oleh
semua kalangan. Pemenuhan kebutuhan yang diberikan menghasilkan kepuasan
bagi pengguna layanan tersebut. Kepuasan dapat diukur melalui pelayanan yang
diberikan sudah sesuai dengan harapan pengguna layanan, dari informasi layanan
yang diberikan dan efektifitas penggunaanya.
Metode Tipe penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan metode
deskriptif. Kriyanto (2005:55), buku Riset Komunikasi menjelaskan bahwa
penelitian kuantitatif merupakan penelitian yang mendeskripsikan atau
menjelaskan suatu masalah yang hasilnya dapat digeneralisasikan sedangkan
metode deskriptif merupakan metode yang bertujuan untuk melukiskan atau
memaparkan suatu objek misalnya suatu gejala atau fenomena. Peneliti
menggunakan metode deskriptif kuantitatif yang mendeskripsikan atau
menggambarkan data yang dikumpulkan melalui penyebaran kuisioner kepada
masyarakat.
Hasil dan Pembahasan Untuk mengukur efektivitas penggunaan media
layanan homecare digunakan lima indikator dari ekefitivitas pelayanan menurut
Philip Kotler. Kehandalan, yaitu kemampuan melaksanakan pelayanan yang
dijanjikan dengan andal dan akurat. Hal ini berarti pelayanan yang dikelola harus
dilakukan dengan konsisten dan cermat. Kehandalan petugas meliputi
menyediakan pelayanan tepat waktu yang dijanjikan, menyediakan pelayanan
sesuai yang dijanjikan, dan petugas yang mempunyai pengetahuan untuk
menjawab pertanyaan pengguna layanan. Dari hasil olahan data SPSS, dapat
ditarik kesimpulan bahwa dari indikator kehandalan membuktikan bahwa petugas
handal dalam memberikan pelayanan. Ketanggapan, yaitu kesediaan membantu
pengguna layanan atau memberikan layanan tepat waktu. Hal ini berarti petugas
harus memberikan tanggapan dengan cepat dan tepat atas permintaan dan
masukan pengguna layanan. Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa menurut
masyarakat yang sudah menggunakan layanan homecare, petugas tanggap dalam
memberikan pelayanan. Selain itu, dibuktikan dengan ketika masyarakat
melakukan panggilan, panggilan tersebut terhubung dan langsung direspon atau
dijawab. Tidak hanya itu, kehandiran tim medis yang tepat waktu sampai kelokasi
pengguna layanan merupakan ketanggapan dari media layanan homecare yang
dimana media layanan tersebut memantau tim medis jika sudah sampai. Jaminan
yang diberikan petugas dari media layanan homecare, dimana jaminan dari
layanan tersebut yakni membuat pelanggan merasa aman saat menggunakan
layanan, petugas yang selalu sopan dan ramah dan petugas yang berpengalaman
atau kompeten dalam memberikan pelayanan. Dari hasil kuesioner menunjukkan
bahwa pada indikator jaminan, masyarakat merasa yakin dengan media layanan
homecare. Yakin dalam arti masyarakat percaya bahwa layanan ini benar ada dan
melayani dengan sopan dan berpengalaman.
Penggunaan layanan homecare sudah Efektif dalam memberikan pelayanan,
terbukti dari lima indikator pelayanan, yaitu kehandalan, ketanggapan, jaminan,
empati dan bukti fisik yang telah diterima masyarakat kota Makassar. Hal ini
menunjukkan setiap individu yang menggunakan layanan sebagian besar
menerima bentuk pelayanan yang sama. Tingkat kepuasan layanan dilihat dari
pelayanan yang diberikan sesuai dengan informasi layanan yang dijanjikan,
pelayanan yang baik dan memberikan kepuasan bagi pengguna layanan, dan
pelayanan yang diberikan sesuai dengan harapan pengguna layanan.

Anda mungkin juga menyukai