Oleh :
Pembimbing :
2
Diabetes mellitus merupakan penyakit kronis yang tidak dapat disembuhkan,
sehingga terapi diberikan secara terus menerus dengan tepat. Salah satu penentu
keberhasilan terapi adalah adanya kepatuhan penggunaan obat. Tujuan penelitian
ini adalah untuk mengetahui hubungan antara kepatuhan penggunaan obat
terhadap keberhasilan terapi pada pasien diabetes mellitus di Puskesmas Palaran.
Penelitian ini merupakan jenis penelitian non eksperimental dengan rancangan
analisis cross sectional dan pengambilan data menggunakan metode wawancara.
Penelitian ini dilakukan pada 24 pasien diabetes mellitus tipe 2 rawat jalan di
Puskesmas Palaran yang melakukan kontrol dan mendapatkan antidiabetik oral
pada bulan Oktober 2016, sampel diambil dengan teknik quote sampling.
Hubungan skor kepatuhan dengan penurunan kadar gula darah puasa dianalisis
menggunakan chi-square. Ditemukan bahwa penyakit diabetes mellitus lebih
banyak diderita oleh perempuan dengan usia 55-64 tahun (58,3%). Terapi diabetes
mellitus yang banyak diberikan adalah dalam bentuk kombinasi 2 jenis obat yaitu
sulfonilurea dan biguanid (54,2%). Tingkat kepatuhan pasien berada pada tingkat
tinggi (62,5%) dan pada tingkat rendah (37,5%). Dari analisis chi-square
ditemukan korelasi antara skor kepatuhan dengan penurunan kadar gula darah
puasa dalam kategori sangat rendah yakni tingkat kepatuhan mempengaruhi
keberhasilan terapi sebesar > 0,99.
3
ABSTRACT
Diabetes mellitus is a chronic disease that can not be cured, so that continuous
therapy is given properly. One of the critical success of therapy is the use of
medication adherence. The purpose of this study was to determine the corelation
between adherence to the successful use of drug therapy in patients with diabetes
mellitus Puskesmas Palaran. This study is a type of non-experimental research
design and analysis of cross sectional data collection using the interview method.
This study was conducted in 24 patients with type 2 diabetes mellitus in outpatient
Puskesmas Palaran the control and getting oral antidiabetic in October 2016,
samples were taken by purposive sampling technique. Corelation scores
medication adherence with decreased levels of fasting blood sugar was analyzed
using Chi-square. It was found that diabetes mellitus affects more women age 55-
64 years (58,3%). Treatment of diabetes mellitus is a lot of given in the form of a
combination of 2 drugs types of sulfonylurea and biguanide (54,2%). The level of
patient medication 2 adherence is at a high level (62,5%) and low level (37,5%).
From the analysis Chi-square found a correlation between adherence scores with
decreased fasting blood sugar levels very low which that medication adherence
affects therapeutic outcome of > 0,99.
4
BAB 1
PENDAHULUAN
5
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah karakteristik pasien Diabetes Melitus Tipe 2 di
wilayah kerja Puskesmas Palaran berdasarkan usia jenis kelamin dan
lama menderita DM?
2. Bagaimanakah gambaran tingkat kepatuhan pasien Diabetes Melitus
Tipe 2 di wilayah kerja puskesmas palaran?
3. Bagaimanakah gambaran keberhasilan terapi pasien Diabetes Melitus
Tipe 2 di wilayah kerja puskesmas palaran?
4. Bagaimanakah hubungan tingkat kepatuhan penggunaan obat dan
keberhasilan terapi pada pasien Diabetes Melitus Tipe 2 di
Puskesmas Palaran Samarinda?
6
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.2 Epidemiologi
Data dari International Diabetes Federation (IDF) (2012) menunjukkan
bahwa 371 juta orang di dunia atau 8,3 persen dari penduduk dunia menderita
DM. Jumlah penderita DM mencapai 7,6 juta orang di Indonesia pada tahun
2012, dimana penderita DM terbanyak yaitu > 50 persen merupakan kelompok
usia 40-59 tahun (International Diabetes Federation, 2012). Penelitian
pendahuluan yang dilakukan peneliti di RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda
menunjukkan pasien DM rawat inap terus meningkat setiap tahunnya dan
mencapai jumlah 1.113 orang pada tahun 2012. DMT2 memberi kontribusi 80-95
persen dari jumlah seluruh kasus (IDF, 2012).
7
HDL 35 mg/dL atau trigliserida 250 mg/dL, riwayat penyakit vaskular
(Alsahli & Gerich, 2012; Purnamasari, 2009).
2.1.4 Patofisiologi
Patofisiologi dari terjadinya DMT2 merupakan interaksi dari faktor genetik
dan lingkungan, dalam hal ini gaya hidup yang lebih berefek pada menurunnya
sekresi insulin dan respon jaringan terhadap insulin (Alsahli & Gerich, 2012).
Insulin adalah salah satu hormon yang dihasilkan oleh sel pulau langerhans
dalam kelenjar pankreas yang berfungsi meregulasi glukosa darah. Penurunan
sekresi insulin menyebabkan glukosa darah setelah asupan makan tidak dapat
dikontrol dalam keadaan normal, sehingga terjadi keadaan hiperglikemi, yaitu
glukosa darah di atas normal. Hal ini dapat disertai penurunan sensitifitas insulin
di jaringan target, contohnya pada jaringan otot sehingga menyebabkan ambilan
glukosa untuk metabolisme di dalam sel berkurang. Insulin juga berfungsi
menginhibisi glukoneogenesis dan glikogenolisis, dimana bila sensitifitasnya pada
jaringan hepar menurun atau kadarnya di dalam darah menurun, cadangan glukosa
akan terus dipecah meskipun kadar glukosa darah telah tinggi (Manaf, 2009).
8
2.1.5 Manifestasi Klinis
Keluhan klasik DM adalah poliuria atau banyak buang air kecil, polidipsia
atau banyak minum, polifagia atau banyak makan dan penurunan berat badan
yang tidak dapat dijelaskan sebabnya (PERKENI, 2006).
Keluhan lainnya dapat berupa : lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur
disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae (gatal didaerah kemaluan) pada
wanita (PERKENI, 2006).
2.1.6 Diagnosis
Pembagian alur diagnosis DM di Indonesia terbagi menjadi dua bagian
besar berdasarkan ada tidaknya gejala klasik DM, seperti tertera pada tabel 2.3.
(PERKENI, 2006).
Tabel 2.1Kriteria Diagnosis DM (PERKENI, 2006)
1. Gejala klasik DM + glukosa plasma sewaktu 200 mg/dL (11,1 mmol/L)
Ket: glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada
suatu hari tanpa memperhatikan waktu makan terakhir
Atau
2. Gejala klasik DM + kadar glukosa plasma puasa 126 mg/dL (7,0 mmol/L)
Ket: puasa diartikan pasien tak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8 jam
Atau
3. Kadar glukosa plasma 2 jam pada TTGO 200 mg/dL (11,1 mmol/L)
Ket: TTGO dilakukan dengan standar WHO, menggunakan beban glukosa
yang setara dengan 75 g glukosa anhidurs yang dilarutkan ke dalam air.
2.1.7 Komplikasi
Komplikasi pada penderita DMT2 diduga terjadi karena efek toksik dari
hiperglikemi dan level lipid yang abnormal sehingga menyebabkan gangguan
fungsi dan struktur pada pembuluh darah besar (makrovaskuler) dan kecil
(mikrovaskuler). Komplikasi utama penderita DMT2 menurut International
Diabetes Federation (2006) adalah penyakit kardiovaskuler, retinopati diabetik,
neuropati diabetik, nefropati diabetik dan kaki diabetik.
2.1.8 Penatalaksanaan
Pengelolaan pasien DM diharapkan dapat menurunkan morbiditas dan
mortalitas DM. Tujuan tersebut dapat tercapai dengan usaha pengendalian
9
terhadap glukosa darah, tekanan darah, berat badan dan profil lipid pasien sesuai
kriteria (Tabel 2.1) melalui pengelolaan yang holistik (PERKENI, 2006).
Pengelolaan DM memilik 4 pilar utama, yaitu (PERKENI, 2006):
a. Edukasi
b. Terapi gizi medis
c. Latihan jasmani
d. Intervensi farmakologis, yang terbagi menjadi pemberian obat hipoglikemik
oral (OHO), insulin dan terapi kombinasi antara OHO dengan insulin
(PERKENI, 2006).
Terapi non farmakologis berupa edukasi, gizi dan latihan jasmani merupakan
tombak utama dalam pengelolaan pasien DMT2. Apabila setelah penerapannya
tidak mampu mengontrol kadar gula darah yang diharapkan, baru kemudian
dilakukan terapi farmakologis dengan tetap melanjutkan terapi non farmakologis
(Yunir & Soebardi, 2009).
a. Pendidikan
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana
belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia,
10
serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan
negara. Tingginya pendidikan seorang perawat dapat meningkatkan
kepatuhan dalam melaksanakan kewajibannya, sepanjang bahwa
pendidikan tersebut merupakan pendidikan yang aktif.
b. Modifikasi Faktor Lingkungan dan Sosial
Hal ini berarti membangun dukungan sosial dari pimpinan rumah sakit,
kepala perawat, perawat itu sendiri dan teman-teman sejawat. Lingkungan
berpengaruh besar pada pelaksanaan prosedur asuhan keperawatan
yang telah ditetapkan. Lingkungan yang harmonis dan positif akan
membawa dampak yang positif pula pada kinerja perawat,
kebalikannya lingkungan negatif akan membawa dampak buruk pada
proses pemberian pelayanan asuhan keperawatan.
c. Perubahan Model Prosedur
Program pelaksanan prosedur asuhan keperawatan dapat dibuat
sesederhana mungkin dan perawat terlihat aktif dalam mengaplikasikan
prosedur tersebut. Keteraturan perawat melakukan asuhan keperawatan
sesuai standar prosedur dipengaruhi oleh kebiasaan perawat
menerapkan sesuai dengan ketentuan yang ada.
d. Meningkatkan Interaksi Profesional Kesehatan
Meningkatkan interaksi profesional kesehatan antara sesama perawat
(khususnya antara kepala ruangan dengan perawat pelaksana) adalah suatu
hal penting untuk memberikan umpan balik pada perawat. Suatu
penjelasan tetang prosedur tetap dan bagaimana cara
menerapkannya dapat meningkatkan kepatuhan. Semakin baik
pelayanan yang diberikan tenaga kesehatan, maka semakin mempercepat
proses penyembuhan penyakit klien.
e. Pengetahuan
Pengetahuan merupakan hasil tahu dan ini terjadi setelah orang
melakukan penginderaan terhadap suatu obyek tertentu, dari pengalaman
dan penelitian terbukti bahwa perilaku yang didasari oleh pengetahuan
akan lebih langgeng dari pada perilaku yang tidak didasari oleh
pengetahuan (Notoatmodjo, 2007). Faktor- faktor yang mempengaruhi
tingkat pengetahuan seseorang adalah pendidikan, pekerjaan dan usia.
Menurut Notoadmojo (2003) tingkat pengetahuan manusia dibagi menjadi
11
6 tingkat. Pertama yaitu tahu (know), diartikan sebagai pengingat suatu
materi yang telah dipelajari sebelum terhadap sesuatu yang spesifik dari
seluruh yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Setelah tahu,
kemudian sesorang akan memahami (compherension). Memahami
diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar.
Orang yang telah paham objek-objek atau materi harus dapat menjelaskan,
dengan menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan dari terhadap
objek yang dipelajari. Selanjutnya, apa yang telah dipahami akan
diaplikasikan (Aplication). Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk
menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi dan kondisi yang
sebenarnya. Aplikasi juga merupakan penggunaan hukum-hukum,
rumus, metode, prinsip dan dalam konteks atau situasi lain.
Kemudian, materi atau objek yang telah diplikasikan selanjutnya
diartikan untuk dijabarkan ke dalam komponen-komponen, tetapi dalam
struktur organisasi dan masih ada kaitannya satu sama lain
(Analysis). Kemampuan analisis ini dapat dilihat dari penggunaan kata
kerja, dapat menjabarkan, membedakan, mensyahkan dan
mengelompokkan. Materi atau obejk yang telah dianalisis,
digabungkan untuk menyusun formulasi-formulasi yang ada (Syntesis).
Kemudian dinilai berdasarkan suatu kriteria yang ditentukan sendiri atau
menggunakan kriteria yang ada (Evaluasi).
f. Sikap (Attitude)
Sikap merupakan aksi atau respon seseorang yang masih tertutup Menurut
Notoadmodjo (2007), sikap manusia terhadap suatu rangsangan adalah
perasaan setuju (favorablere) ataupun perasaan tidak setuju (non
favorable) terhadap rangsangan tersebut. Selain itu Allport (1935 dalam
Notoadmodjo, 2003) menjelaskan bahwa sikap mempunyai 3 (tiga)
komponen pokok yaitu: kepercayaan (keyakinan) yang merupakan ide dan
konsep terhadap suatu objek, kehidupan emosional atau evaluasi
emosional terhadap suatu objek dan kecenderungan untuk bertindak.
Ketiga komponen ini secara bersama-sama membentuk sikap yang utuh
(total attitude). Dalam penentuan sikap yang utuh ini, pengetahuan,
pikiran, keyakinan dan emosi memegang peranan penting. Seperti halnya
12
dengan pengetahuan, Notoadmodjo (2007) menyebutkan bahwa sikap
terdiri dari berbagai tingkatan. Pertama adalah subjek mau dan
memperhatikan stimulus yang diberikan objek (receiving). Kemudian
merespon (memberikan) jawaban apabila ditanya serta mengerjakan
dan menyelesaikan tugas yang diberikan (responding). Selanjutnya,
subjek akan menunjukan sikap menghargai (valuating) yaitu dengan
mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu
masalah, lalu bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya
dengan segala resiko (responsible).
Faktor-faktor yang mempengaruhi sikap secara psikologi ada dua yaitu:
faktor instriksik dan faktor ekstrinsik. Yang termasuk faktor instrinsik
diantaranya intelegensi, bakat, minat, dan kepribadian, sedangkan yang
termasuk didalam ekstrinsik antara lain yang datang dari lingkungan
individu itu sendiri. Maka sikap seseorang terhadap rangsangan sangat
tergantung pada berbagai situasi dan kondisi lingkungan dimana orang
itu berada. Dan sikap juga terukir melalui pengalaman seseorang, dengan
motivasi yang ada pada dirinya. Sikap merupakan reaksi yang masih
tertutup dari seseorang terhadap suatu rangsangan (Notoadmodjo, 2007).
g. Usia
Usia adalah umur yang terhitung mulai saat dilahirkan sampai saat akan
berulang tahun. Semakin cukup umur, tingkat kematangan dan
kekuatan seseorang akan lebih matang dalam berpikir dan bekerja. Dari
segi kepercayaan, masyarakat yang lebih dewasa akan lebih dipercaya
daripada orang yang belum cukup tinggi tingkat kedewasaannya. Hal ini
sebagai akibat dari pengalaman dan kematangan jiwanya. Semakin
dewasa seseorang, maka cara berfikir semakin matang dan teratur
melakukan suatu tindakan (Notoatmodjo, 2007).
2.2.3 Proses Perubahan Sikap dan Tindakan (Perilaku)
Menurut Teori Kelman, perubahan sikap dan perilaku individu dimulai
dengan tahap kepatuhan. Mula-mula individu mematuhi anjuran atau instruksi
tanpa kerelaan untuk melakukan tindakan tersebut dan seringkali karena ingin
menghindari hukuman/sanksi jika tidak patuh, atau untuk memperoleh imbalan
yang dijanjikan jika mematuhi anjuran tersebut, tahap ini disebut tahap
kesediaan. Biasanya perubahan yang terjadi dalam tahap ini bersifat sementara,
13
artinya bahwa tindakan itu dilakukan selama masih ada pengawasan petugas.
Tetapi begitu pengawasan itu mengendur atau hilang, perilaku itupun ditinggalkan
(Niven, 2002).
Pengawasan itu tidak perlu berupa kehadiran fisik petugas atau tokoh
otoriter, melainkan cukup rasa takut terhadap ancaman sanksi yang berlaku, jika
individu tidak melakukan tindakan tersebut. Dalam tahap ini pengaruh tekanan
kelompok sangatlah besar, individu terpaksa mengalah dan mengikuti perilaku
mayoritas kelompok meskipun sebenarnya dia tidak menyetujuinya. Namun
segera setelah dia keluar dari kelompok tersebut, kemungkinan perilakunya akan
berubah menjadi perilakunya sendiri (Niven 2000).
Kepatuhan individu berdasarkan rasa terpaksa atau ketidakpahaman
tentang pentingnya perilaku yang baru itu dapat disusul dengan kepatuhan yang
berbeda, yaitu kepatuhan demi menjaga hubungan baik dengan petugas kesehatan
atau tokoh (pimpinan) yang menganjurkan perubahan tersebut (change agent).
Biasanya kepatuhan ini timbul karena individu merasa tertarik atau
mengagumi petugas (pimpinan) tersebut, sehingga ingin mematuhi apa yang
dianjurkan atau diinstruksikan tanpa memahami sepenuhnya arti dan manfaat dari
tindakan tersebut, tahap ini disebut proses identifikasi. Meskipun motivasi untuk
mengubah perilaku individu dalam tahap ini lebih baik dari pada dalam tahap
kesediaan, namun motivasi ini belum dapat menjamin kelestarian perilaku itu
karena individu belum dapat menghubungkan perilaku tersebut dengan nilai-nilai
lain dalam hidupnya, sehingga jika dia ditinggalkan petugas atau tokoh idolanya
itu maka dia merasa tidak perlu melanjutkan perilaku tersebut. Perubahan perilaku
individu baru dapat menjadi optimal jika perubahan tersebut terjadi melalui
proses internalisasi, dimana perilaku yang baru itu dianggap bernilai positif
bagi diri individu dan diintegrasikan dengan nilai-nilai lain dari hidupnya.
Niven (2002) menyebutkan proses internalisasi ini dapat dicapai jika
petugas atau pimpinan tersebut merupakan seseorang yang dapat dipercaya
(kredibilitasnya tinggi) yang dapat membuat individu memahami makna dan
penggunaan perilaku tersebut serta membuat mereka mengerti akan pentingnya
perilaku tersebut bagi kehidupan mereka sendiri. Memang proses internalisasi ini
tidaklah mudah dicapai sebab diperlukan kesediaan individu untuk mengubah
14
nilai dan kepercayaan mereka agar menyesuaikan diri dengan nilai atau perilaku
yang baru (Teori The Health Belief Model).
2.2.4 Faktor Penentu Derajat Ketidakpatuhan
Niven (2002) mengungkapkan derajat ketidak patuhan ditentukan oleh
kompleksitas prosedur pengobatan, derajat perubahan gaya hidup/lingkungan
kerja yang dibutuhkan, lamanya waktu dimana perawat mematuhi prosedur
tersebut, apakah prosedur tersebut berpotensi menyelamatkan hidup, dan
keparahan penyakit yang dipersepsikan sendiri oleh pasien bukan petugas
kesehatan.
2.2.5 Strategi untuk meningkatkan kepatuhan
Menurut Smet (1994), berbagai strategi telah dicoba untuk meningkatkan
kepatuhan, diantaranya adalah:
a. Dukungan Profesional Kesehatan
Dukungan profesional kesehatan sangat diperlukan untk meningkatkan
kepatuhan, contoh yang paling sederhana dalam hal dukungan tersebut
adalah dengan adanya tehnik komunikasi. Komunikasi memegang
peranan penting karena komunikasi yang baik diberikan oleh profesional
kesehatan, isalnya antara kepala perawatan dengan bawahannya.
b. Dukungan Sosial
Dukungan sosial yang dimaksud adalah pasien dan keluarga. Pasien dan
keluarga yang percaya pada tindakan dan perilaku yang dilakukan oleh
perawat dapat menunjang peningkatan kesehatan pasien, sehingga perawat
dapat bekerja dengan percaya diri dan ketidak patuhan dapat dikurangi.
c. Perilaku Sehat
Modifikasi perilaku sehat sangat diperlukan, misalnya kepatuhan perawat
untuk selalu mencuci tangan sebelum dan sesudah menyentuh pasien
ataupun melakukan tindakan asuhan keperawatan.
d. Pemberian Informasi
Pemberian informasi yang jelas tentang pentingnya pemberian asuhan
keperawatan berdasarkan prosedur yang ada membantu meningkatkan
kepatuhan perawat, hal ini dapat dilakukan dengan memberikan
pelatihan-pelatihan kesehatan yang diadakan oleh pihak rumah sakit
ataupun instansi kesehatan lain.
15
BAB 3
KERANGKA PENELITIAN
3.1 KerangkaTeori
4 PilarPenatalaksanaan
Patuh TidakPatuh
Gagal / GulaDarahTidakTerkontrol
INSULIN
Komplikasi
Mikrovaskular Makrovaskular
Keterangan :
16
3.2 Hipotesis Penelitian
Hipotesis null (H0):
a. Tidak ada hubungan antara tingkat kepatuhan penggunaan obat dan
keberhasilan terapi pada pasien diabetes mellitus tipe 2 di Puskesmas Palaran
Samarinda.
Hipotesis alternatif (H1):
a. Ada hubungan antara tingkat kepatuhan penggunaan obat dan keberhasilan
terapi pada pasien diabetes mellitus tipe 2 di Puskesmas Palaran Samarinda.
17
BAB 4
METODE PENELITIAN
18
c. Pasien rawat jalan dan memiliki catatan gula darah puasa 3 bulan
terakhir secara berturut-turut pada rekam medisnya.
d. Bersedia mengisi kuesioner.
4.6.2 Kriteria Eksklusi
a. Pasien yang tidak bersedia mengisi kuesioner.
b. Pemeriksaan yang tertera pada rekam medis adalah gula darah sewaktu
19
4.9.2 Keberhasilan terapi
Keberhasilan terapi dinilai berdasarkan data kadar gula darah puasa yang
terdapat pada rekam medis pasien selama 3 bulan terakhir.
Kriteria Objektif :
a. Berhasil : Terjadi penurunan kadar gula darah puasa
mencapai nilai normal pada minimal 2 kali pemeriksaan dari kadar gula
darah puasa selama 3 bulan terakhir.
b. Tidak berhasil : Tidak terjadi penurunan atau terjadi peningkatan
kadar gula darah puasa melebihi nilai normal pada minimal 2 kali
pemeriksaan dari kadar gula darah puasa selama 3 bulan terakhir.
Skala : Nominal
20
4.11 Alur Penelitian
Hasil penelitian
Kesimpulan
21
BAB 5
HASIL DAN PEMBAHASAN
Tabel 4. Karakteristik Pasien Diabetes Mellitus Tipe 2 Rawat Jalan Puskesmas Palaran
Menurut Jenis Kelamin, Usia, dan Lama Menderita DM
(n = 24)
Usia (th)
< 45 1 4,2
45 54 6 25
55 64 14 58,3
65 3 12,5
Jenis Kelamin
Perempuan 19 79,2
Laki-Laki 5 20,8
Lama Menderita DM (th)
<5 17 42,7
5 10 7 57,3
10 0 0
22
kalangan perempuan meskipun belum diketahui secara pasti bagaimana
mekanismenya (Triplit et al, 2008).
Distribusi pasien DM tipe 2 berdasarkan usia menunjukkan bahwa DM
tipe 2 prevalensinya lebih tinggi pada usia diatas 50 tahun dengan persentase
>50% dibandingkan usia sebelum 45 tahun hanya 4,2%. Prevalensi DM tipe 2
meningkat seiring bertambahnya usia atau lebih sering terjadi di kalangan
perempuan di Amerika (Triplit et al, 2008). Diabetes mellitus tipe 2 biasanya
banyak terjadi pada usia 20-59 tahun 8,7% sedangkan yang lebih dari 65 tahun
18% (Depkes RI, 2005).
Tabel 5. Obat Hipoglikemik Oral Yang Diresepkan Pada Pasien Diabetes Mellitus Tipe 2
Rawat Jalan Puskesmas Palaran
Nama Obat Frekuensi Presentasi (%)
(n = 24)
Peresepan tunggal
Metformin 5 20,8
Glibenklamid 3 12,5
Glimepirid 3 12,5
Peresepan kombinasi
Metformin & Glibenklamid 13 54,2
Total 24 100
23
5.3 Tingkat Kepatuhan
Kepatuhan penggunaan obat yang optimal akan memberikan keberhasilan
terapi dalam pengobatan semua penyakit kronis serta meningkatkan kualitas hidup
pasien. Pada penyakit diabetes mellitus, kepatuhan pasien dalam menjalankan
pengobatan mempengaruhi keberhasilan terapi (BPOM, 2006).
Tabel 6. Tingkat Kepatuhan Pasien Diabetes Mellitus Tipe 2 Rawat Jalan Puskesmas
Palaran Berdasarkan Penilaian Morisky scale
(n = 24)
Rendah 15 62,5
(Skor 11)
24
(n = 24)
13 Ketika berpergian 7 29
14 Ketika sibuk dengan urusan 4 17
15 Ketika lupa 5 21
16 Ketika terjadi efek samping 2 8
17 Ketika perubahan rutinitas hidup 1 5
18 Ketika merasa mengantuk 0 0
19 Ketika sakitnya semakin parah 2 8
20 Ketika merasa senang 0 0
21 Ketika kondisinya membaik setelah 3 12
minum obat
Tabel 5.4 Kadar Gula Darah Pasien Diabetes Mellitus Tipe 2 Rawat Jalan Puskesmas
Palaran Menurut Kadar Gula Darah Puasa
Kategori Frekuensi Presentasi (%)
(n = 24)
25
Berhasil 12 50
Tidak Berhasil 12 50
Keberhasilan terapi dilihat dari adanya penurunan kadar gula darah puasa. Tabel
10 menunjukkan bahwa tingkat keberhasilan terapi pasien seimbang yaitu sebesar
50%.
Tabel 5.6 Analisis Hubungan Tingkat Kepatuhan Penggunaan Obat Dan Keberhasilan
Terapi
Keberhasilan Terapi
Klasifikasi Berhasil Tidak Total
Berhasil
Rendah 6 6 12
Tinggi 6 6 12
Total 12 12 24
26
terapi pasien yang berhasil dan tidak berhasil dengan tingkat kepatuhan minum
obat pasien penderita DM tipe 2 Rawat Jalan di Puskesmas Palaran.
27
BAB 6
PEMBAHASAN
28
6.2 Tingkat Kepatuhan dan Keberhasilan Terapi Pasien DMT2
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Pranoto, 2007), patuh
adalah suka menurut perintah, taat pada perintah, sedangkan kepatuhan adalah
perilaku sesuai aturan dan berdisiplin. Terdapat 4 pilar penatalaksanaan pada
pasien DMT2, yaitu edukasi, latihan jasmani, terapi gizi medis, serta adanya
intervensi farmakologis, berupa pemberian OHO (Obat Hipoglikemik Oral) dan
Insulin (PERKENI, 2016). Kepatuhan penggunaan obat merupakan salah satu faktor
keberhasilan terapi, maka kepatuhan penggunaan obat antidiabetik dianggap penting.
Selain itu, ketidakpatuhan pasien dalam mengkonsumsi obat dalam hal ini, dapat
meningkatkan resiko komplikasi dan bertambah parahnya penyakit yang diderita
(Pratita, 2012).
Pada penelitian ini angka keberhasilan terapi dilihat dengan menggunakan
kadar gula darah pasien selama 3 bulan terakhir, dimana untuk mengetahui
pengendalian kadar gula darah yang baik adalah dengan menggunakan
pemeriksaan HbA1C (PERKENI, 2016). Namun dalam penelitian ini kami
menggunakan kadar gula darah puasa pasien selama 3 bulan terakhir. Menurut
literatur, keberhasilan terapi juga dapat dilihat dari adanya penurunan kadar gula
darah puasa menjadi antara 70 dan 130 mg/dL (Pascal et al., 2012).
Pada penelitian ini didapatkan sampel sebanyak 24 orang, dimana hasil ini
lebih rendah dibandingkan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Puspita di
Semarang dengan total sebanyak 97 sampel. Hal ini dapat disebabkan karena
adanya keterbatasan waktu penelitian dimana penelitian dilakukan cukup singkat
yaitu seama 2 minggu. Variabel penelitian yang diteliti memiliki kesamaan,
seperti tingkat kepatuhan dan keberhasilan terapi,namun terdapat perbedaan dalam
karakteristik pasien DMT2 dimana peneliti menambahkan satu vaiabel tambahan
yaitu lama menderita DMT2.
Hasil penelitian ini menunjukkan variabel tidak menunjukkan adanya
hubungan secara signifikan. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh
Puspita di RS X Surakarta yang juga menemukan tidak ada hubungan yang
signifikan antara tingkat kepatuhan dengan keberhasilan terapi pada pasien
DMT2.
29
6.3 Analisis Tingkat Kepatuhan Minum Obat dengan Keberhasilan
Pengelolaan DMT2
30
Dalam Diabetes Control and Complication Trial (DCCT), penelitian
tentang tingkat kepatuhan diabitisi terhadap pengelolaan DM menemukan bahwa
80 % diantaranya menyuntik insulin dan minum obat dengan cara yang tidak
tepat, 58 % memakai dosis yang salah, dan 75 % tidak mengikuti diet yang
dianjurkan. Ketidakpatuhan ini selalu menjadi hambatan untuk tercapainya usaha
pengendalian glukosa darah, dan berakibat pasien memerlukan pemeriksaan atau
pengobatan tambahan yang sebetulnya tidak diperlukan
31
BAB 7
PENUTUP
7.1 Kesimpulan
Setelah dilakukan penelitian dan pengolahan data yang dilakukan, maka
diambil kesimpulan sebagai berikut :
1. Karakteristik penderita DMT2 du Puskesmas Palaran : penderita DMT2 di
kalangan perempuan lebih besar dibandingkan laki-laki. Distribusi pasien DM
tipe 2 berdasarkan usia menunjukkan bahwa DM tipe 2 prevalensinya lebih
tinggi pada usia diatas 50 tahun. Lama menderita DM terbanyak yaitu kurang
dari 5 tahun
2. Tingkat kepatuhan penggunaan obat pasien DMT2 di Puskesmas Palaran
masih rendah.
3. Keberhasilan terapi pada pasien DMT2 di Puskesmas Palaran seimbang.
4. Tidak ada hubungan antara tingkat kepatuhan penggunaan obat dan
keberhasilan terapi pada pasien diabetes melitus di puskesmas palaran
samarinda.
7.2 Saran
1. Perlu adanya penelitian lebih lanjut mengenai faktor-faktor lain yang juga
berperan penting dalam penatalaksanaan DMT2, yaitu dari segi latihan fisik,
diet,maupun tingkat pengetahuan.
2. Pasien DMT2 dapat dirujuk untuk dilakukan pemeriksaan HbA1c secara
berkala untuk mengetahui keberhasilan terapi.
3. Perlu dilakukan penyuluhan kepada masyarakat mengenai 4 pilar
penatalaksanaan DMT2 yang saling berkaitan satu dengan yang lainnya.
32
DAFTAR PUSTAKA
33
Lampiran 1
Kuisioner Morisky 8-item Medication Adherence Questionnaire (MMAS-8)
NO PERTANYAAN JAWABAN SKOR
1 Apakah Bapak/Ibu/Saudarai/i pernah lupa Ya/Kadang 0
minum obat? Tidak 1
2 Apakah Bapak/Ibu/Saudarai/I kurang Ya/Kadang 0
memperhatikan aturan pemakaian obat? Tidak 1
3 Ketika kondisi membaik, apakah Ya/Kadang 0
Bapak/Ibu/Saudarai/I berhenti minum obat? Tidak 1
4 Ketika kondisi memburuk, aoakah Ya/Kadang 0
Bapak/Ibu/Saudarai/I berhenti minum obat? Tidak 1
5 Apakah terkadang Bapak/Ibu/Saudarai/i Ya/Kadang 0
mengambil obat yang diresepkan? Tidak 1
6 Apakah Bapak/Ibu/Saudarai/i mengetahui Ya/Kadang 0
manfaat jangka panjang dari obat yang
digunakan? Tidak 1
7 Apakah Bapak/Ibu/Saudarai/i mengikuti Ya/Kadang 0
aturan pakai penggunaan obat satu hari Tidak 1
penuh?
8 Apakah Bapak/Ibu/Saudarai/i mengikuti Ya/Kadang 0
aturan pakai penggunaan obat dalam satu
minggu penuh? Tidak 1
9 Ketika kadar gula darah tidak terkontrol, Ya/Kadang 0
apakah Bapak/Ibu/Saudarai/i berhenti minum
obat? Tidak 1
10 Apakah Bapak/Ibu/Saudarai/i setuju jika Ya/Kadang 0
meminum obat secara teratur akan
memperbaiki kondisi Bapak/Ibu/Saudarai/i? Tidak 1
11 Apakah kemarin Bapak/Ibu/Saudarai/i Ya/Kadang 0
mengambil seluruh obat yang diresepkan? Tidak 1
12 Barapa kali Bapak/Ibu/Saudarai/i lupa a. Tidak pernah 4
minum obat? b. Sekali sehari 1
c. Sekali 2
seminggu
d. Sekali sebulan 3
34
Klasifikasi tingkat kepatuhan penggunan obat
SKOR TINGKAT KEPATUHAN
< 11 Tidak Patuh
11 Patuh
35