Anda di halaman 1dari 35

HUBUNGAN TINGKAT KEPATUHAN PENGGUNAAN OBAT

DAN KEBERHASILAN TERAPI PADA PASIEN DIABETES


MELITUS DI PUSKESMAS PALARAN SAMARINDA

Oleh :

Cendhy Githea Ersedyabhakti 1410029046


Elly Lutfiasari 1410029048
Mayshia Prazitya Shakti 1410029050

Pembimbing :

dr. M. Khairul Nuryanto, M. Kes


Veronika Hinum, S. KM, MM
dr. Kasiman

Laboratorium Ilmu Kesehatan Masyarakat


Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman
Puskesmas Palaran
2016
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT


karena berkat rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
penulisan penelitian dengan judul Hubungan Tingkat Kpatuhan Penggunaan
Obat dan Keberhasilan Terapi pada pasien Diabetes Melitus di Puskesmas Palaran
Samarinda.
Dalam penulisan penelitian ini banyak pihak yang telah memberikan
bantuan serta bimbingan kepada penulis. Pada kesempatan ini penulis
menyampaikan terima kasih yang tulus kepada :
1. dr. Ika Fikriah, M. Kes selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas
Mulawarman Samarinda.
2. dr. M. Khairul Nuryanto, M. Kes selaku dosen pembimbing yang telah
mengarahkan dan membimbing penulis selama penyusunan proposal
penelitian ini.
3. dr. Kasiman yang telah membantu dalam perbaikan, saran-saran, dan
bimbingan yang sangat dibutuhkan selama proses penulisan.
4. Ibu Veronika Hinum, S. KM, MM selaku Kepala Puskesmas Palaran yang
telah banyak memfasilitasi dan memberikan bimbingan kepada penulis selama
proses penulisan.
5. Seluruh dosen pengajar pada Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman
atas ilmu yang telah diberikan serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan
satu persatu yang telah banyak membantu.
Semoga segala bantuan dan dorongan yang telah diberikan kepada penulis
mendapat balasan yang setimpal dari Allah SWT.
Penulis menyadari masih terdapat kesalahan dan kekurangan dalam
penulisan penelitian ini. Namun harapan penulis semoga ini dapat bermanfaat bagi
masyarakat pada umumnya serta perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan
pada khususnya. Amin.

Samarinda, 9 November 2013


Penulis,
ABSTRAK

2
Diabetes mellitus merupakan penyakit kronis yang tidak dapat disembuhkan,
sehingga terapi diberikan secara terus menerus dengan tepat. Salah satu penentu
keberhasilan terapi adalah adanya kepatuhan penggunaan obat. Tujuan penelitian
ini adalah untuk mengetahui hubungan antara kepatuhan penggunaan obat
terhadap keberhasilan terapi pada pasien diabetes mellitus di Puskesmas Palaran.
Penelitian ini merupakan jenis penelitian non eksperimental dengan rancangan
analisis cross sectional dan pengambilan data menggunakan metode wawancara.
Penelitian ini dilakukan pada 24 pasien diabetes mellitus tipe 2 rawat jalan di
Puskesmas Palaran yang melakukan kontrol dan mendapatkan antidiabetik oral
pada bulan Oktober 2016, sampel diambil dengan teknik quote sampling.
Hubungan skor kepatuhan dengan penurunan kadar gula darah puasa dianalisis
menggunakan chi-square. Ditemukan bahwa penyakit diabetes mellitus lebih
banyak diderita oleh perempuan dengan usia 55-64 tahun (58,3%). Terapi diabetes
mellitus yang banyak diberikan adalah dalam bentuk kombinasi 2 jenis obat yaitu
sulfonilurea dan biguanid (54,2%). Tingkat kepatuhan pasien berada pada tingkat
tinggi (62,5%) dan pada tingkat rendah (37,5%). Dari analisis chi-square
ditemukan korelasi antara skor kepatuhan dengan penurunan kadar gula darah
puasa dalam kategori sangat rendah yakni tingkat kepatuhan mempengaruhi
keberhasilan terapi sebesar > 0,99.

Kata kunci: Diabetes mellitus, kepatuhan, keberhasilan terapi

3
ABSTRACT

Diabetes mellitus is a chronic disease that can not be cured, so that continuous
therapy is given properly. One of the critical success of therapy is the use of
medication adherence. The purpose of this study was to determine the corelation
between adherence to the successful use of drug therapy in patients with diabetes
mellitus Puskesmas Palaran. This study is a type of non-experimental research
design and analysis of cross sectional data collection using the interview method.
This study was conducted in 24 patients with type 2 diabetes mellitus in outpatient
Puskesmas Palaran the control and getting oral antidiabetic in October 2016,
samples were taken by purposive sampling technique. Corelation scores
medication adherence with decreased levels of fasting blood sugar was analyzed
using Chi-square. It was found that diabetes mellitus affects more women age 55-
64 years (58,3%). Treatment of diabetes mellitus is a lot of given in the form of a
combination of 2 drugs types of sulfonylurea and biguanide (54,2%). The level of
patient medication 2 adherence is at a high level (62,5%) and low level (37,5%).
From the analysis Chi-square found a correlation between adherence scores with
decreased fasting blood sugar levels very low which that medication adherence
affects therapeutic outcome of > 0,99.

Keywords: Diabetes mellitus, medication adherence, therapeutic outcome.

4
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Diabetes melitus (DM) merupakan sekelompok gangguan metabolik
kronis akibat abnormalitas metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein yang
ditandai dengan hiperglikemia yang berakibat pada komplikasi mikrovaskular,
makrovaskular, dan neuropati (DiPiro, et al., 2008). DM merupakan penyakit
jangka panjang sehingga memerlukan pengobatan jangka panjang pula (Depkes
RI, 2008).
Pasien diabetes melitus dapat beresiko mendapatkan komplikasi baik akut
maupun kronis. Komplikasi pada pasien diabetes melitus antara lain hipertensi,
dislipidemia, stroke, infeksi, retinopati, nefropati dan neuropati (Udayani, 2011).
Berbagai komplikasi tersebut, kemungkinan besar pasien diabetes melitus juga
menggunakan obat-obat lain selain obat antidiabetes oral seperti obat
antihipertensi, antidislipidemia, dan lain lain. Diperkirakan karena hal tersebut
pengobatan pada pasien diabetes melitus akan mengakibatkan kejenuhan
(Departemen Kesehatan RI, 2008).
Angka kejadian DM di Puskesmas Palaran mengalami peningkatan
hingga mencapai sebanyak dua kali lipat dibandingkan dengan tahun sebelumnya,
yaitu dari sebanyak 66 kasus baru pada tahun 2015 dan meningkat sebanyak 119
kasus baru pada tahun 2016, dan menempati urutan ke 6 pada 10 besar penyakit
berdasarkan jumlah kunjungan terbanyak di Puskesmas Palaran.
Salah satu faktor risiko potensial dalam meningkatnya kasus Diabetes
Melitus di Puskesmas Palaran berdasarkan dari pengamatan yang kami lakukan,
yaitu pasien tidak rutin untuk melakukan kontrol. Dan hasil ini juga didukung
oleh pernyataan petugas puskesmas baik dokter maupun perawat dimana mereka
mengatakan banyaknya pasien yang jarang kontrol dan mengambil obat,
memberhentikan pengobatan apabila pasien sudah merasa tidak ada keluhan,
ataupun datang hanya ketika mereka memiliki keluhan.
Oleh karena itu, dilakukan penelitian untuk mengevaluasi penderita DM
di wilayah kerja Puskesmas Palaran berupa Hubungan tingkat tingkat kepatuhan
penggunaan obat dan keberhasilan terapi pada pasien DM.

5
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah karakteristik pasien Diabetes Melitus Tipe 2 di
wilayah kerja Puskesmas Palaran berdasarkan usia jenis kelamin dan
lama menderita DM?
2. Bagaimanakah gambaran tingkat kepatuhan pasien Diabetes Melitus
Tipe 2 di wilayah kerja puskesmas palaran?
3. Bagaimanakah gambaran keberhasilan terapi pasien Diabetes Melitus
Tipe 2 di wilayah kerja puskesmas palaran?
4. Bagaimanakah hubungan tingkat kepatuhan penggunaan obat dan
keberhasilan terapi pada pasien Diabetes Melitus Tipe 2 di
Puskesmas Palaran Samarinda?

1.3 Tujuan Penelitian


1. Mengetahui karakteristik pasien Diabetes Melitus Tipe 2 di wilayah
kerja Puskesmas Palaran berdasarkan usia jenis kelamin dan lama
menderita DM.
2. Mengetahui gambaran tingkat kepatuhan pasien Diabetes Melitus
Tipe 2 di wilayah kerja puskesmas palaran.
3. Mengetahui gambaran keberhasilan terapi pasien Diabetes Melitus
Tipe 2 di wilayah kerja puskesmas palaran.
4. Mengetahui hubungan tingkat kepatuhan penggunaan obat dan
keberhasilan terapi pada pasien Diabetes Melitus Tipe 2 di Puskesmas
Palaran Samarinda.

1.4 Manfaat Penelitian


1. Didapatkan data tingkat kepatuhan pasien penderita diabetes melitus
tipe 2 di Puskesmas Palaran Samarinda.
2. Didapatkan data tentang keberhasilan terapi pada pasien penderita
diabetes melitus tipe 2 di Puskesmas Palaran Samarinda.
3. Sebagai acuan untuk pengambilan langkah-langkah intervensi dalam
rangka meningkatkan tingkat kepatuhan pasien yang menggunakan
obat Diabetes Melitus.

6
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Diabetes Melitus Tipe 2


2.1.1 Definisi
Non-insulin dependent diabetes mellitus (NIDDM) atau yang sekarang lebih
sering disebut diabetes melitus tipe 2 (DMT2), menurut Dorland (2010)
merupakan suatu penyakit kronis dimana kelenjar pankreas tidak dapat
memproduksi hormon insulin yang cukup dan/atau hormon tersebut tidak dapat
digunakan tubuh dengan efektif, namun jumlah insulin selalu cukup untuk
mencegah terjadi komplikasi akut berupa ketoasidosis.

2.1.2 Epidemiologi
Data dari International Diabetes Federation (IDF) (2012) menunjukkan
bahwa 371 juta orang di dunia atau 8,3 persen dari penduduk dunia menderita
DM. Jumlah penderita DM mencapai 7,6 juta orang di Indonesia pada tahun
2012, dimana penderita DM terbanyak yaitu > 50 persen merupakan kelompok
usia 40-59 tahun (International Diabetes Federation, 2012). Penelitian
pendahuluan yang dilakukan peneliti di RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda
menunjukkan pasien DM rawat inap terus meningkat setiap tahunnya dan
mencapai jumlah 1.113 orang pada tahun 2012. DMT2 memberi kontribusi 80-95
persen dari jumlah seluruh kasus (IDF, 2012).

2.1.3 Etiologi dan Faktor Resiko


Penyebab spesifik terhadap perkembangan terjadinya abnormalitas pada
penderita DMT2 belum diketahui secara pasti. Faktor-faktor yang diduga
meningkatkan risiko terjadinya DMT2 antara lain usia 45 tahun, riwayat
keluarga menderita DMT2, ras atau etnis tertentu. Faktor lain sebenarnya dapat
dihindari dengan pola hidup yang sehat, contohnya obesitas atau berat badan
berlebih (BMI 25 kg/m2), kebiasaan aktivitas fisik yang kurang atau gaya hidup
sedenter, diet rendah serat dan tinggi lemak, toleransi glukosa terganggu (TGT)
dan glukosa darah puasa terganggu (GDPT), wanita dengan riwayat menderita
DM gestasional atau melahirkan bayi dengan berat > 4 kg, hipertensi, kolesterol

7
HDL 35 mg/dL atau trigliserida 250 mg/dL, riwayat penyakit vaskular
(Alsahli & Gerich, 2012; Purnamasari, 2009).

2.1.4 Patofisiologi
Patofisiologi dari terjadinya DMT2 merupakan interaksi dari faktor genetik
dan lingkungan, dalam hal ini gaya hidup yang lebih berefek pada menurunnya
sekresi insulin dan respon jaringan terhadap insulin (Alsahli & Gerich, 2012).
Insulin adalah salah satu hormon yang dihasilkan oleh sel pulau langerhans
dalam kelenjar pankreas yang berfungsi meregulasi glukosa darah. Penurunan
sekresi insulin menyebabkan glukosa darah setelah asupan makan tidak dapat
dikontrol dalam keadaan normal, sehingga terjadi keadaan hiperglikemi, yaitu
glukosa darah di atas normal. Hal ini dapat disertai penurunan sensitifitas insulin
di jaringan target, contohnya pada jaringan otot sehingga menyebabkan ambilan
glukosa untuk metabolisme di dalam sel berkurang. Insulin juga berfungsi
menginhibisi glukoneogenesis dan glikogenolisis, dimana bila sensitifitasnya pada
jaringan hepar menurun atau kadarnya di dalam darah menurun, cadangan glukosa
akan terus dipecah meskipun kadar glukosa darah telah tinggi (Manaf, 2009).

Penurunan sekresi insulin Penurunan sekresi insulin


postprandial basal
Hiperglikemik postprandial Apoptosis Penurunan
Peningkatan kerja sel progresif jumlah sel
pankreas sel
Peningkatan resistensi
insulin

Gambar 2.1 Patofisiologi DMT2 (diadaptasi dari Kaku, 2010)

Tubuh mengkompensasi hal-hal tersebut dengan meningkatkan kerja sel


untuk sekresi insulin. Hal ini lambat laun dapat menginduksi apoptosis secara
progresif yang menyebabkan penurunan jumlah sel . Terjadilah penurunan dari
sekresi insulin basal dan regulasi glukosa tidak dapat dicapai, inilah saat
seseorang terjatuh pada keadaan DMT2 (Kaku, 2010).

8
2.1.5 Manifestasi Klinis
Keluhan klasik DM adalah poliuria atau banyak buang air kecil, polidipsia
atau banyak minum, polifagia atau banyak makan dan penurunan berat badan
yang tidak dapat dijelaskan sebabnya (PERKENI, 2006).
Keluhan lainnya dapat berupa : lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur
disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae (gatal didaerah kemaluan) pada
wanita (PERKENI, 2006).

2.1.6 Diagnosis
Pembagian alur diagnosis DM di Indonesia terbagi menjadi dua bagian
besar berdasarkan ada tidaknya gejala klasik DM, seperti tertera pada tabel 2.3.
(PERKENI, 2006).
Tabel 2.1Kriteria Diagnosis DM (PERKENI, 2006)
1. Gejala klasik DM + glukosa plasma sewaktu 200 mg/dL (11,1 mmol/L)
Ket: glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada
suatu hari tanpa memperhatikan waktu makan terakhir
Atau
2. Gejala klasik DM + kadar glukosa plasma puasa 126 mg/dL (7,0 mmol/L)
Ket: puasa diartikan pasien tak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8 jam
Atau
3. Kadar glukosa plasma 2 jam pada TTGO 200 mg/dL (11,1 mmol/L)
Ket: TTGO dilakukan dengan standar WHO, menggunakan beban glukosa
yang setara dengan 75 g glukosa anhidurs yang dilarutkan ke dalam air.

2.1.7 Komplikasi
Komplikasi pada penderita DMT2 diduga terjadi karena efek toksik dari
hiperglikemi dan level lipid yang abnormal sehingga menyebabkan gangguan
fungsi dan struktur pada pembuluh darah besar (makrovaskuler) dan kecil
(mikrovaskuler). Komplikasi utama penderita DMT2 menurut International
Diabetes Federation (2006) adalah penyakit kardiovaskuler, retinopati diabetik,
neuropati diabetik, nefropati diabetik dan kaki diabetik.

2.1.8 Penatalaksanaan
Pengelolaan pasien DM diharapkan dapat menurunkan morbiditas dan
mortalitas DM. Tujuan tersebut dapat tercapai dengan usaha pengendalian

9
terhadap glukosa darah, tekanan darah, berat badan dan profil lipid pasien sesuai
kriteria (Tabel 2.1) melalui pengelolaan yang holistik (PERKENI, 2006).
Pengelolaan DM memilik 4 pilar utama, yaitu (PERKENI, 2006):
a. Edukasi
b. Terapi gizi medis
c. Latihan jasmani
d. Intervensi farmakologis, yang terbagi menjadi pemberian obat hipoglikemik
oral (OHO), insulin dan terapi kombinasi antara OHO dengan insulin
(PERKENI, 2006).
Terapi non farmakologis berupa edukasi, gizi dan latihan jasmani merupakan
tombak utama dalam pengelolaan pasien DMT2. Apabila setelah penerapannya
tidak mampu mengontrol kadar gula darah yang diharapkan, baru kemudian
dilakukan terapi farmakologis dengan tetap melanjutkan terapi non farmakologis
(Yunir & Soebardi, 2009).

2.2 Tingkat Kepatuhan


2.2.1 Definisi Tingkat Kepatuhan
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Pranoto, 2007), patuh
adalah suka menurut perintah, taat pada perintah, sedangkan kepatuhan adalah
perilaku sesuai aturan dan berdisiplin.
Sedangkan menurut Ali (1999) dalam Slamet (2007), kepatuhan berasal
dari kata dasar patuh, yang berarti disiplin dan taat. Patuh adalah suka menurut
perintah, taat pada perintah atau aturan. Sedangkan kepatuhan adalah perilaku
sesuai aturan dan berdisiplin.
2.2.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan

Menurut (Niven, 2002) faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat


kepatuhan adalah :

a. Pendidikan
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana
belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia,

10
serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan
negara. Tingginya pendidikan seorang perawat dapat meningkatkan
kepatuhan dalam melaksanakan kewajibannya, sepanjang bahwa
pendidikan tersebut merupakan pendidikan yang aktif.
b. Modifikasi Faktor Lingkungan dan Sosial
Hal ini berarti membangun dukungan sosial dari pimpinan rumah sakit,
kepala perawat, perawat itu sendiri dan teman-teman sejawat. Lingkungan
berpengaruh besar pada pelaksanaan prosedur asuhan keperawatan
yang telah ditetapkan. Lingkungan yang harmonis dan positif akan
membawa dampak yang positif pula pada kinerja perawat,
kebalikannya lingkungan negatif akan membawa dampak buruk pada
proses pemberian pelayanan asuhan keperawatan.
c. Perubahan Model Prosedur
Program pelaksanan prosedur asuhan keperawatan dapat dibuat
sesederhana mungkin dan perawat terlihat aktif dalam mengaplikasikan
prosedur tersebut. Keteraturan perawat melakukan asuhan keperawatan
sesuai standar prosedur dipengaruhi oleh kebiasaan perawat
menerapkan sesuai dengan ketentuan yang ada.
d. Meningkatkan Interaksi Profesional Kesehatan
Meningkatkan interaksi profesional kesehatan antara sesama perawat
(khususnya antara kepala ruangan dengan perawat pelaksana) adalah suatu
hal penting untuk memberikan umpan balik pada perawat. Suatu
penjelasan tetang prosedur tetap dan bagaimana cara
menerapkannya dapat meningkatkan kepatuhan. Semakin baik
pelayanan yang diberikan tenaga kesehatan, maka semakin mempercepat
proses penyembuhan penyakit klien.

e. Pengetahuan
Pengetahuan merupakan hasil tahu dan ini terjadi setelah orang
melakukan penginderaan terhadap suatu obyek tertentu, dari pengalaman
dan penelitian terbukti bahwa perilaku yang didasari oleh pengetahuan
akan lebih langgeng dari pada perilaku yang tidak didasari oleh
pengetahuan (Notoatmodjo, 2007). Faktor- faktor yang mempengaruhi
tingkat pengetahuan seseorang adalah pendidikan, pekerjaan dan usia.
Menurut Notoadmojo (2003) tingkat pengetahuan manusia dibagi menjadi

11
6 tingkat. Pertama yaitu tahu (know), diartikan sebagai pengingat suatu
materi yang telah dipelajari sebelum terhadap sesuatu yang spesifik dari
seluruh yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Setelah tahu,
kemudian sesorang akan memahami (compherension). Memahami
diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar.
Orang yang telah paham objek-objek atau materi harus dapat menjelaskan,
dengan menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan dari terhadap
objek yang dipelajari. Selanjutnya, apa yang telah dipahami akan
diaplikasikan (Aplication). Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk
menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi dan kondisi yang
sebenarnya. Aplikasi juga merupakan penggunaan hukum-hukum,
rumus, metode, prinsip dan dalam konteks atau situasi lain.
Kemudian, materi atau objek yang telah diplikasikan selanjutnya
diartikan untuk dijabarkan ke dalam komponen-komponen, tetapi dalam
struktur organisasi dan masih ada kaitannya satu sama lain
(Analysis). Kemampuan analisis ini dapat dilihat dari penggunaan kata
kerja, dapat menjabarkan, membedakan, mensyahkan dan
mengelompokkan. Materi atau obejk yang telah dianalisis,
digabungkan untuk menyusun formulasi-formulasi yang ada (Syntesis).
Kemudian dinilai berdasarkan suatu kriteria yang ditentukan sendiri atau
menggunakan kriteria yang ada (Evaluasi).
f. Sikap (Attitude)
Sikap merupakan aksi atau respon seseorang yang masih tertutup Menurut
Notoadmodjo (2007), sikap manusia terhadap suatu rangsangan adalah
perasaan setuju (favorablere) ataupun perasaan tidak setuju (non
favorable) terhadap rangsangan tersebut. Selain itu Allport (1935 dalam
Notoadmodjo, 2003) menjelaskan bahwa sikap mempunyai 3 (tiga)
komponen pokok yaitu: kepercayaan (keyakinan) yang merupakan ide dan
konsep terhadap suatu objek, kehidupan emosional atau evaluasi
emosional terhadap suatu objek dan kecenderungan untuk bertindak.
Ketiga komponen ini secara bersama-sama membentuk sikap yang utuh
(total attitude). Dalam penentuan sikap yang utuh ini, pengetahuan,
pikiran, keyakinan dan emosi memegang peranan penting. Seperti halnya

12
dengan pengetahuan, Notoadmodjo (2007) menyebutkan bahwa sikap
terdiri dari berbagai tingkatan. Pertama adalah subjek mau dan
memperhatikan stimulus yang diberikan objek (receiving). Kemudian
merespon (memberikan) jawaban apabila ditanya serta mengerjakan
dan menyelesaikan tugas yang diberikan (responding). Selanjutnya,
subjek akan menunjukan sikap menghargai (valuating) yaitu dengan
mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu
masalah, lalu bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya
dengan segala resiko (responsible).
Faktor-faktor yang mempengaruhi sikap secara psikologi ada dua yaitu:
faktor instriksik dan faktor ekstrinsik. Yang termasuk faktor instrinsik
diantaranya intelegensi, bakat, minat, dan kepribadian, sedangkan yang
termasuk didalam ekstrinsik antara lain yang datang dari lingkungan
individu itu sendiri. Maka sikap seseorang terhadap rangsangan sangat
tergantung pada berbagai situasi dan kondisi lingkungan dimana orang
itu berada. Dan sikap juga terukir melalui pengalaman seseorang, dengan
motivasi yang ada pada dirinya. Sikap merupakan reaksi yang masih
tertutup dari seseorang terhadap suatu rangsangan (Notoadmodjo, 2007).
g. Usia
Usia adalah umur yang terhitung mulai saat dilahirkan sampai saat akan
berulang tahun. Semakin cukup umur, tingkat kematangan dan
kekuatan seseorang akan lebih matang dalam berpikir dan bekerja. Dari
segi kepercayaan, masyarakat yang lebih dewasa akan lebih dipercaya
daripada orang yang belum cukup tinggi tingkat kedewasaannya. Hal ini
sebagai akibat dari pengalaman dan kematangan jiwanya. Semakin
dewasa seseorang, maka cara berfikir semakin matang dan teratur
melakukan suatu tindakan (Notoatmodjo, 2007).
2.2.3 Proses Perubahan Sikap dan Tindakan (Perilaku)
Menurut Teori Kelman, perubahan sikap dan perilaku individu dimulai
dengan tahap kepatuhan. Mula-mula individu mematuhi anjuran atau instruksi
tanpa kerelaan untuk melakukan tindakan tersebut dan seringkali karena ingin
menghindari hukuman/sanksi jika tidak patuh, atau untuk memperoleh imbalan
yang dijanjikan jika mematuhi anjuran tersebut, tahap ini disebut tahap
kesediaan. Biasanya perubahan yang terjadi dalam tahap ini bersifat sementara,

13
artinya bahwa tindakan itu dilakukan selama masih ada pengawasan petugas.
Tetapi begitu pengawasan itu mengendur atau hilang, perilaku itupun ditinggalkan
(Niven, 2002).
Pengawasan itu tidak perlu berupa kehadiran fisik petugas atau tokoh
otoriter, melainkan cukup rasa takut terhadap ancaman sanksi yang berlaku, jika
individu tidak melakukan tindakan tersebut. Dalam tahap ini pengaruh tekanan
kelompok sangatlah besar, individu terpaksa mengalah dan mengikuti perilaku
mayoritas kelompok meskipun sebenarnya dia tidak menyetujuinya. Namun
segera setelah dia keluar dari kelompok tersebut, kemungkinan perilakunya akan
berubah menjadi perilakunya sendiri (Niven 2000).
Kepatuhan individu berdasarkan rasa terpaksa atau ketidakpahaman
tentang pentingnya perilaku yang baru itu dapat disusul dengan kepatuhan yang
berbeda, yaitu kepatuhan demi menjaga hubungan baik dengan petugas kesehatan
atau tokoh (pimpinan) yang menganjurkan perubahan tersebut (change agent).
Biasanya kepatuhan ini timbul karena individu merasa tertarik atau
mengagumi petugas (pimpinan) tersebut, sehingga ingin mematuhi apa yang
dianjurkan atau diinstruksikan tanpa memahami sepenuhnya arti dan manfaat dari
tindakan tersebut, tahap ini disebut proses identifikasi. Meskipun motivasi untuk
mengubah perilaku individu dalam tahap ini lebih baik dari pada dalam tahap
kesediaan, namun motivasi ini belum dapat menjamin kelestarian perilaku itu
karena individu belum dapat menghubungkan perilaku tersebut dengan nilai-nilai
lain dalam hidupnya, sehingga jika dia ditinggalkan petugas atau tokoh idolanya
itu maka dia merasa tidak perlu melanjutkan perilaku tersebut. Perubahan perilaku
individu baru dapat menjadi optimal jika perubahan tersebut terjadi melalui
proses internalisasi, dimana perilaku yang baru itu dianggap bernilai positif
bagi diri individu dan diintegrasikan dengan nilai-nilai lain dari hidupnya.
Niven (2002) menyebutkan proses internalisasi ini dapat dicapai jika
petugas atau pimpinan tersebut merupakan seseorang yang dapat dipercaya
(kredibilitasnya tinggi) yang dapat membuat individu memahami makna dan
penggunaan perilaku tersebut serta membuat mereka mengerti akan pentingnya
perilaku tersebut bagi kehidupan mereka sendiri. Memang proses internalisasi ini
tidaklah mudah dicapai sebab diperlukan kesediaan individu untuk mengubah

14
nilai dan kepercayaan mereka agar menyesuaikan diri dengan nilai atau perilaku
yang baru (Teori The Health Belief Model).
2.2.4 Faktor Penentu Derajat Ketidakpatuhan
Niven (2002) mengungkapkan derajat ketidak patuhan ditentukan oleh
kompleksitas prosedur pengobatan, derajat perubahan gaya hidup/lingkungan
kerja yang dibutuhkan, lamanya waktu dimana perawat mematuhi prosedur
tersebut, apakah prosedur tersebut berpotensi menyelamatkan hidup, dan
keparahan penyakit yang dipersepsikan sendiri oleh pasien bukan petugas
kesehatan.
2.2.5 Strategi untuk meningkatkan kepatuhan
Menurut Smet (1994), berbagai strategi telah dicoba untuk meningkatkan
kepatuhan, diantaranya adalah:
a. Dukungan Profesional Kesehatan
Dukungan profesional kesehatan sangat diperlukan untk meningkatkan
kepatuhan, contoh yang paling sederhana dalam hal dukungan tersebut
adalah dengan adanya tehnik komunikasi. Komunikasi memegang
peranan penting karena komunikasi yang baik diberikan oleh profesional
kesehatan, isalnya antara kepala perawatan dengan bawahannya.
b. Dukungan Sosial
Dukungan sosial yang dimaksud adalah pasien dan keluarga. Pasien dan
keluarga yang percaya pada tindakan dan perilaku yang dilakukan oleh
perawat dapat menunjang peningkatan kesehatan pasien, sehingga perawat
dapat bekerja dengan percaya diri dan ketidak patuhan dapat dikurangi.
c. Perilaku Sehat
Modifikasi perilaku sehat sangat diperlukan, misalnya kepatuhan perawat
untuk selalu mencuci tangan sebelum dan sesudah menyentuh pasien
ataupun melakukan tindakan asuhan keperawatan.
d. Pemberian Informasi
Pemberian informasi yang jelas tentang pentingnya pemberian asuhan
keperawatan berdasarkan prosedur yang ada membantu meningkatkan
kepatuhan perawat, hal ini dapat dilakukan dengan memberikan
pelatihan-pelatihan kesehatan yang diadakan oleh pihak rumah sakit
ataupun instansi kesehatan lain.

15
BAB 3
KERANGKA PENELITIAN

3.1 KerangkaTeori

Penderita Diabetes MelitusTipe 2

4 PilarPenatalaksanaan

Edukasi TerapiGiziMedis LatihanJasmani IntervensiFarmakologis

Evaluasi ObatHipoglikemi Oral

Patuh TidakPatuh

Gagal / GulaDarahTidakTerkontrol

INSULIN

Komplikasi

Mikrovaskular Makrovaskular

Keterangan :

: Variabel yang tidakditeliti

: Variabel yang diteliti

16
3.2 Hipotesis Penelitian
Hipotesis null (H0):
a. Tidak ada hubungan antara tingkat kepatuhan penggunaan obat dan
keberhasilan terapi pada pasien diabetes mellitus tipe 2 di Puskesmas Palaran
Samarinda.
Hipotesis alternatif (H1):
a. Ada hubungan antara tingkat kepatuhan penggunaan obat dan keberhasilan
terapi pada pasien diabetes mellitus tipe 2 di Puskesmas Palaran Samarinda.

17
BAB 4
METODE PENELITIAN

4.1 Desain Penelitian


Penelitian ini merupakan jenis penelitian observasional (non eksperimental)
dengan pendekatan cross sectional yang menggunakan kuesioner dan data rekam
medik pasien Diabetes Melitus tipe 2 di Puskesmas Palaran Samarinda.

4.2 Tempat Penelitian


Penelitian dilaksanakan di wilayah kerja Puskesmas Palaran Samarinda.

4.3 Waktu Penelitian


Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan November 2016.

4.4 Populasi dan Sampel Penelitian


4.4.1 Populasi Penelitian
Populasi pada penelitian ini adalah pasien rawat jalan diabetes melitus tipe
2 yang menjalani pengobatan di Puskesmas Palaran Samarinda.
4.4.2 Sampel Penelitian
Sampel pada penelitian ini adalah pasien rawat jalan diabetes melitus tipe 2
yang memenuhi kriteria penelitian dan menjalani pengobatan di Puskesmas
Palaran Samarinda.

4.5 Besar Sampel


Jumlah sampel penelitian merupakan seluruh sampel yang didapatkan
dalam 2 minggu. Sampel yang memenuhi kriteria akan dipilih menggunakan
teknik quote sampling.

4.6 Kriteria Sampel


4.6.1 Kriteria inklusi
a. Pasien penderita diabetes mellitus tipe 2 dengan atau tanpa penyakit
penyerta.
b. Pasien yang saat ini melakukan kontrol dan sebelumnya telah
mendapatkan obat antidiabetes oral dalam waktu minimal 1 bulan.

18
c. Pasien rawat jalan dan memiliki catatan gula darah puasa 3 bulan
terakhir secara berturut-turut pada rekam medisnya.
d. Bersedia mengisi kuesioner.
4.6.2 Kriteria Eksklusi
a. Pasien yang tidak bersedia mengisi kuesioner.
b. Pemeriksaan yang tertera pada rekam medis adalah gula darah sewaktu

4.7 Data dan Instrumen Penelitian


4.7.1 Data Primer
Data primer diperoleh dari hasil wawancara menggunakan Modified
Morisky Scale-8 (MMAS-8) pada pasien yang memenuhi kriteria penelitian.
4.7.2 Data Sekunder
Data sekunder diperoleh melalui data rekam medis pasien diabetes melitus
tipe 2 di Puskesmas Palaran Samarinda.
4.7.3 Instrumen Penelitian
Instrumen yang dipakai dalam penelitian ini adalah kuesioner Modified
Morisky Scale-8 (MMAS-8) dan data rekam medis pasien diabetes melitus tipe 2
di Puskesmas Palaran Samarinda.

4.8 Variabel Penelitian


Variabel bebas (independent):
a. Tingkat kepatuhan pasien.
Variabel terikat (dependent):
a. Keberhasilan Terapi

4.9 Definisi Operasional


4.9.1 Tingkat kepatuhan pasien
Kepatuhan didefinisikan sebahgai perilaku sesuai aturan dan berdisiplin.
Tingkat kepatuhan dinilai dengan menggunakan instrumen MMAS-8.
Kriteria objektif:
a. Tinggi : < 11
b. Rendah : 11
Skala : Nominal

19
4.9.2 Keberhasilan terapi
Keberhasilan terapi dinilai berdasarkan data kadar gula darah puasa yang
terdapat pada rekam medis pasien selama 3 bulan terakhir.
Kriteria Objektif :
a. Berhasil : Terjadi penurunan kadar gula darah puasa
mencapai nilai normal pada minimal 2 kali pemeriksaan dari kadar gula
darah puasa selama 3 bulan terakhir.
b. Tidak berhasil : Tidak terjadi penurunan atau terjadi peningkatan
kadar gula darah puasa melebihi nilai normal pada minimal 2 kali
pemeriksaan dari kadar gula darah puasa selama 3 bulan terakhir.
Skala : Nominal

4.10 Jadwal Kegiatan Penelitian


No Kegiatan 2016
Oktober November
3 4 1 2 3
1. Penyusunan proposal
2. Seminar proposal
3. Penelitian
4. Penyusunan laporan hasil
5. Seminar hasil

20
4.11 Alur Penelitian

Pasien diabetes melitus yang datang kontrol


di Puskesmas Palaran

Kriteria Inklusi Kriteria Ekslusi

Pengumpulan data (pengisian


kuesioner)

Pengumpulan data GDP pasien


diabetes melitus tipe 2

Pengelolaan dan analisis data

Hasil penelitian

Kesimpulan

21
BAB 5
HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Karakteristik Pasien


Data mengenai karakteristik pasien digunakan untuk mengetahui
perbandingan antara jenis kelamin serta karakteristik usia penderita diabetes
mellitus rawat jalan di Puskesmas Palaran.

Tabel 4. Karakteristik Pasien Diabetes Mellitus Tipe 2 Rawat Jalan Puskesmas Palaran
Menurut Jenis Kelamin, Usia, dan Lama Menderita DM

Karakteristik Frekuensi Presentasi (%)

(n = 24)
Usia (th)
< 45 1 4,2
45 54 6 25
55 64 14 58,3
65 3 12,5
Jenis Kelamin
Perempuan 19 79,2
Laki-Laki 5 20,8
Lama Menderita DM (th)
<5 17 42,7
5 10 7 57,3
10 0 0

Dari tabel 4 dapat dilihat bahwa penderita DM di kalangan perempuan


lebih besar dibandingkan laki-laki. Besarnya frekuensi DM di kalangan
perempuan bisa menjadi indikasi bahwa perempuan lebih rentan terkena DM,
karena jenis kelamin merupakan faktor resiko penyakit DM yang tidak dapat
diubah. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Awad et al.,(2013) yang menyatakan
bahwa kejadian diabetes mellitus tipe 2 itu lebih banyak terjadi pada perempuan
dibandingkan laki-laki. Prevalensi DM tipe 2 di Amerika lebih sering terjadi di

22
kalangan perempuan meskipun belum diketahui secara pasti bagaimana
mekanismenya (Triplit et al, 2008).
Distribusi pasien DM tipe 2 berdasarkan usia menunjukkan bahwa DM
tipe 2 prevalensinya lebih tinggi pada usia diatas 50 tahun dengan persentase
>50% dibandingkan usia sebelum 45 tahun hanya 4,2%. Prevalensi DM tipe 2
meningkat seiring bertambahnya usia atau lebih sering terjadi di kalangan
perempuan di Amerika (Triplit et al, 2008). Diabetes mellitus tipe 2 biasanya
banyak terjadi pada usia 20-59 tahun 8,7% sedangkan yang lebih dari 65 tahun
18% (Depkes RI, 2005).

5.2 Profil Penggunaan Obat

Tabel 5. Obat Hipoglikemik Oral Yang Diresepkan Pada Pasien Diabetes Mellitus Tipe 2
Rawat Jalan Puskesmas Palaran
Nama Obat Frekuensi Presentasi (%)

(n = 24)
Peresepan tunggal
Metformin 5 20,8
Glibenklamid 3 12,5
Glimepirid 3 12,5
Peresepan kombinasi
Metformin & Glibenklamid 13 54,2
Total 24 100

Karakteristik peresepan penggunaan obat yang diberikan berdasarkan


kondisi pasien. Dalam penelitian ini dapat diketahui bahwa golongan obat
antidiabetik yang paling banyak digunakan di Puskesmas Palaran tahun 2016
yaitu peresepan kombinasi antara metformin dan glibenklamid yaitu sebesar
54,2%.
Banyaknya pasien diabetes mellitus tipe 2 yang membutuhkan dua atau
lebih obat antidiabetik yang digunakan bertujuan untuk mencapai kadar gula
darah yang diinginkan serta meningkatkan kualitas hidup pasien.

23
5.3 Tingkat Kepatuhan
Kepatuhan penggunaan obat yang optimal akan memberikan keberhasilan
terapi dalam pengobatan semua penyakit kronis serta meningkatkan kualitas hidup
pasien. Pada penyakit diabetes mellitus, kepatuhan pasien dalam menjalankan
pengobatan mempengaruhi keberhasilan terapi (BPOM, 2006).

Tabel 6. Tingkat Kepatuhan Pasien Diabetes Mellitus Tipe 2 Rawat Jalan Puskesmas
Palaran Berdasarkan Penilaian Morisky scale

Tingkat Kepatuhan Frekuensi Presentasi (%)

(n = 24)
Rendah 15 62,5

(Skor < 11)


Tinggi 9 37,5

(Skor 11)

Skor penilaian kepatuhan yang mengacu pada Morisky scale didapat


bahwa tingkat kepatuhan penggunaan obat pada pasien diabetes mellitus tipe 2
instalasi rawat jalan Puskesmas Palaran dikategorikan tinggi (62,5%), dan rendah
(37,5%). Kepatuhan pasien diabetes mellitus dipengaruhi karakteristik dari
penyakit dan pengobatannya (kompleksitas dari pengobatan, lamanya penyakit
yang memberikan efek negatif terhadap kepatuhan pasien. Makin lama pasien
mengidap penyakit diabetes, makin kecil pasien tersebut patuh pada
pengobatannya serta cara pemberian pelayanan yang harus intensif dan
multidisiplin pada tim tenaga medis untuk mencapai keberhasilan terapi pasien),
faktor intra-personal (umur, jenis kelamin, penghargaan terhadap diri sendiri,
disiplin diri, stres, depresi dan penyalahgunaan alkohol), faktor interpersonal
(kualitas hubungan antara pasien dan petugas pelayanan kesehatan dan dukungan
keluarga) dan faktor lingkungan (BPOM, 2006).
Tabel 7. Alasan Berhenti Minum Obat Pada Pasien Diabetes Mellitus Tipe 2 Rawat Jalan
Puskesmas Palaran

No Tingkat Kepatuhan Frekuensi Presentasi (%)

24
(n = 24)
13 Ketika berpergian 7 29
14 Ketika sibuk dengan urusan 4 17
15 Ketika lupa 5 21
16 Ketika terjadi efek samping 2 8
17 Ketika perubahan rutinitas hidup 1 5
18 Ketika merasa mengantuk 0 0
19 Ketika sakitnya semakin parah 2 8
20 Ketika merasa senang 0 0
21 Ketika kondisinya membaik setelah 3 12
minum obat

Tabel di atas menunjukkan alasan pasien berhenti minum obat, alasan


pasien tidak patuh menggunakan obat yang paling dominan 29% ketika bepergian
tidak membawa obat, 21% berhenti minum obat karena ketidak sengajaan lupa
dan 17% pasien berhenti minum obat karena sibuk dengan urusan yaitu dengan
frekuensi sering 4 sampai lebih dari 6 kali dalam sebulan. Pasien berhenti minum
obat lebih banyak pada saat bepergian sehingga dukungan keluarga sangat penting
dalam mengingatkan untuk membawa obat saat bepergian.

5.4 Keberhasilan Terapi


Keberhasilan terapi pada pasien diabetes mellitus menunjukkan adanya
peningkatan kualitas hidup pasien serta terhindar dari adanya penyakit
komplikasi. Keberhasilan terapi dipengaruhi oleh adanya kepatuhan, motivasi,
serta dukungan keluarga. Keberhasilan terapi diabetes mellitus dapat ditingkatkan
dengan cara mengatur diet, memonitor kadar gula darah, merawat kebersihan kaki
dan porsi olahraga (Santosa, 2011).

Tabel 5.4 Kadar Gula Darah Pasien Diabetes Mellitus Tipe 2 Rawat Jalan Puskesmas
Palaran Menurut Kadar Gula Darah Puasa
Kategori Frekuensi Presentasi (%)

(n = 24)

25
Berhasil 12 50
Tidak Berhasil 12 50

Keberhasilan terapi dilihat dari adanya penurunan kadar gula darah puasa. Tabel
10 menunjukkan bahwa tingkat keberhasilan terapi pasien seimbang yaitu sebesar
50%.

5.5 Analisis Hubungan Tingkat Kepatuhan Penggunaan Obat Dan


Keberhasilan Terapi
Tabel 5.5 Hasil Uji Chi-Square dalam menganalisis Tingkat Kepatuhan terhadap
Keberhasilan Terapi

Variabel Bebas Variabel Terikat Signifikansi (p)

Tingkat Kepatuhan Keberhailan Terapi 0.999

Tabel 5.6 Analisis Hubungan Tingkat Kepatuhan Penggunaan Obat Dan Keberhasilan
Terapi

Keberhasilan Terapi
Klasifikasi Berhasil Tidak Total
Berhasil
Rendah 6 6 12
Tinggi 6 6 12
Total 12 12 24

Tabel 5.5 menunjukkan hasil analisis variabel bebas menggunakan Chi-


Square dengan nilai signifikansi (nilai p) yang dianggap bermakna apabila <0.05.
Berdasarkan nilai diatas, maka dapat disimpulkan secara statistik tingkat
kepatuhan dan keberhasilan terapi tidak memiliki hubungan yang signifikan. Hasil
analisis bivariat menunjukkan terdapat kesamaan jumlah antara keberhasilan

26
terapi pasien yang berhasil dan tidak berhasil dengan tingkat kepatuhan minum
obat pasien penderita DM tipe 2 Rawat Jalan di Puskesmas Palaran.

27
BAB 6
PEMBAHASAN

Pembahasan mengenai analisis tingkat kepatuhan penggunaan obat


terhadap keberhasilan terapi pada pasien Diabetes Melitus tipe 2 (DMT2) di
Puskesmas Palaran Samarinda diuraikan dalam bentuk deskriptif dan analitik
sesuai dengan tujuan penelitian yang diharapkan. Rancangan penelitian ini adalah
analitik cross sectional dengan menggunakan data primer dari wawancara
menggunakan kuesioner MMS (Modified Morisky Scale) dan data sekunder dari
data rekam medis pasien Diabetes Melitus tipe 2 (DMT2) di ruang rekam medis
Puskesmas Palaran Samarinda. Pengambilan data dilakukan selama bulan Oktober
hingga November 2016 dengan menggunakan teknik quota sampling, kemudian
didapatkan 24 sampel yang memenuhi kriteria inklusi dari 27 sampel yang
didapatkan.

6.1 Karakteristik Pasien DMT2


Hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas responden adalah berusia
lebih dari 50 tahun. Hal ini sejalan dengan penelitian oleh Puspita 2013 dimana
usia terbanyak adalah pada rentang 55-64 tahun yaitu sebanyak 51%.
Notoatmojdo (2003) menyatakan bahwa usia memiliki hubungan derajat tingkat
keterpaparan, besarnya resiko serta resistensi terhadap penyakit. Orang yang
sudah tua akan menjadi lebih terisolasi saat mereka semakin tua, serta terdapat
penurunan fungsi sosial seperti intelektual, memori dan kemampuan memecahkan
masalah (Niven 2002).
Proporsi responden berdasarkan jenis kelamin terbanyak adalah perempuan.
Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Puspita (2014), dimana
jenis kelamin berkaitan dengan peran kehidupan dan perilaku yang berbeda antara
laki-laki dan perempuan dalam masyarakat (Novian, 2013). Dalam menjaga
kesehatan biasanya kaum perempuan lebih menjaga kesehatannya dibanding laki-
laki. Hal tersebut juga diungkapkan Primadiah (2012) bahwa perempuan lebih taat
dan teratur berobat daripada laki-laki.

28
6.2 Tingkat Kepatuhan dan Keberhasilan Terapi Pasien DMT2
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Pranoto, 2007), patuh
adalah suka menurut perintah, taat pada perintah, sedangkan kepatuhan adalah
perilaku sesuai aturan dan berdisiplin. Terdapat 4 pilar penatalaksanaan pada
pasien DMT2, yaitu edukasi, latihan jasmani, terapi gizi medis, serta adanya
intervensi farmakologis, berupa pemberian OHO (Obat Hipoglikemik Oral) dan
Insulin (PERKENI, 2016). Kepatuhan penggunaan obat merupakan salah satu faktor
keberhasilan terapi, maka kepatuhan penggunaan obat antidiabetik dianggap penting.
Selain itu, ketidakpatuhan pasien dalam mengkonsumsi obat dalam hal ini, dapat
meningkatkan resiko komplikasi dan bertambah parahnya penyakit yang diderita
(Pratita, 2012).
Pada penelitian ini angka keberhasilan terapi dilihat dengan menggunakan
kadar gula darah pasien selama 3 bulan terakhir, dimana untuk mengetahui
pengendalian kadar gula darah yang baik adalah dengan menggunakan
pemeriksaan HbA1C (PERKENI, 2016). Namun dalam penelitian ini kami
menggunakan kadar gula darah puasa pasien selama 3 bulan terakhir. Menurut
literatur, keberhasilan terapi juga dapat dilihat dari adanya penurunan kadar gula
darah puasa menjadi antara 70 dan 130 mg/dL (Pascal et al., 2012).
Pada penelitian ini didapatkan sampel sebanyak 24 orang, dimana hasil ini
lebih rendah dibandingkan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Puspita di
Semarang dengan total sebanyak 97 sampel. Hal ini dapat disebabkan karena
adanya keterbatasan waktu penelitian dimana penelitian dilakukan cukup singkat
yaitu seama 2 minggu. Variabel penelitian yang diteliti memiliki kesamaan,
seperti tingkat kepatuhan dan keberhasilan terapi,namun terdapat perbedaan dalam
karakteristik pasien DMT2 dimana peneliti menambahkan satu vaiabel tambahan
yaitu lama menderita DMT2.
Hasil penelitian ini menunjukkan variabel tidak menunjukkan adanya
hubungan secara signifikan. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh
Puspita di RS X Surakarta yang juga menemukan tidak ada hubungan yang
signifikan antara tingkat kepatuhan dengan keberhasilan terapi pada pasien
DMT2.

29
6.3 Analisis Tingkat Kepatuhan Minum Obat dengan Keberhasilan
Pengelolaan DMT2

Peningkatan kualitas hidup pasien DM dipengaruhi oleh keberhasilan


pengobatan. Kurang optimalnya hasil pengobatan pada umumnya disebabkan
karena ketidakpatuhan pasien, ketidaktepatan peresepan, dan ketidaktepatan
monitoring (Hepler & Strand, 1990).
Ketidakpatuhan pasien meningkatkan resiko komplikasi dan bertambah
parahnya penyakit yang diderita (Pratita, 2012). Keberhasilan terapi dapat dilihat
dari adanya penurunan kadar gula darah puasa. Pada penelitian ini, sebagian
pasien yang tidak berhasil sebesar (%) dan sebagian pasien yang berhasil sebesar
(%).
Hubungan kepatuhan penggunaan obat terhadap keberhasilan terapi di
analisis dengan uji statistik chi-square. Nilai p = 0,999 berarti hubungan antara
kepatuhan penggunaan obat dengan keberhasilan terapi tidak signifikan. Hal ini
sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Puspita (2013) yang juga
mendapatkan tidak ada hubungan antara kepatuhan penggunaan obat dengan
keberhasilan terapi (p = 0,544). Namun penelitian yang dilakukan oleh Achmad
(2011) menemukan adanya hubungan antara tingkat kepatuhan dengan
keberhasilan pengelolaan DMT2 (p = 0,01).
Keberhasilan terapi tidak sepenuhnya dipengaruhi oleh kepatuhan
penggunaan obat, namun juga berdasarkan dari pengaturan diet, latihan fisik dan
jasmani, serta edukasi yang baik yang termasuk ke dalam 4 pilar penatalaksanaan
Diabetes Mellitus (PERKENI, 2016). Kepatuhan penggunaan obat hanya
merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi keberhasilan terapi. Seperti yang
telah dipaparkan oleh peneliti lain yang menyatakan penurunan kadar gula darah
dipengaruhi oleh latihan fisik (olahraga) sebesar 30,14% (Puji et al., 2007).
Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan terapi pada pasien diabetes
mellitus adalah kepatuhan penggunaan obat, pendidikan dan obesitas. Dari ketiga
faktor tersebut yang paling berpengaruh adalah faktor obesitas (Dewi, 2009).

30
Dalam Diabetes Control and Complication Trial (DCCT), penelitian
tentang tingkat kepatuhan diabitisi terhadap pengelolaan DM menemukan bahwa
80 % diantaranya menyuntik insulin dan minum obat dengan cara yang tidak
tepat, 58 % memakai dosis yang salah, dan 75 % tidak mengikuti diet yang
dianjurkan. Ketidakpatuhan ini selalu menjadi hambatan untuk tercapainya usaha
pengendalian glukosa darah, dan berakibat pasien memerlukan pemeriksaan atau
pengobatan tambahan yang sebetulnya tidak diperlukan

31
BAB 7
PENUTUP

7.1 Kesimpulan
Setelah dilakukan penelitian dan pengolahan data yang dilakukan, maka
diambil kesimpulan sebagai berikut :
1. Karakteristik penderita DMT2 du Puskesmas Palaran : penderita DMT2 di
kalangan perempuan lebih besar dibandingkan laki-laki. Distribusi pasien DM
tipe 2 berdasarkan usia menunjukkan bahwa DM tipe 2 prevalensinya lebih
tinggi pada usia diatas 50 tahun. Lama menderita DM terbanyak yaitu kurang
dari 5 tahun
2. Tingkat kepatuhan penggunaan obat pasien DMT2 di Puskesmas Palaran
masih rendah.
3. Keberhasilan terapi pada pasien DMT2 di Puskesmas Palaran seimbang.
4. Tidak ada hubungan antara tingkat kepatuhan penggunaan obat dan
keberhasilan terapi pada pasien diabetes melitus di puskesmas palaran
samarinda.

7.2 Saran
1. Perlu adanya penelitian lebih lanjut mengenai faktor-faktor lain yang juga
berperan penting dalam penatalaksanaan DMT2, yaitu dari segi latihan fisik,
diet,maupun tingkat pengetahuan.
2. Pasien DMT2 dapat dirujuk untuk dilakukan pemeriksaan HbA1c secara
berkala untuk mengetahui keberhasilan terapi.
3. Perlu dilakukan penyuluhan kepada masyarakat mengenai 4 pilar
penatalaksanaan DMT2 yang saling berkaitan satu dengan yang lainnya.

32
DAFTAR PUSTAKA

Alsahli, M., & Gerich, J. E. (2012). Pathogenesis of Type 2 Diabetes. In J. S.


Skyler (Ed.), Atlas of Diabetes (4 ed.). Springer.
Departemen Kesehatan RI. (2005). Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Diabetes
Mellitus. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.
Departemen Kesehatan RI. (2007). Pedoman Konseling Pelayanan Kefarmasian di
Sarana Kesehatan. Jakarta: Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan
Direktorat Jendral Bina Kefarmasian dan Alat kesehatan Departemen
Kesehatan RI.
Departemen Kesehatan RI. (2008a). Pedoman Pengendalian
Diabetes Melitus dan Penyakit Metabolik. Jakarta: Departeman Kesehatan
RI.
Hussar, D. A. (2005). Patient Compliance in Remington: The Science and Practice
of Pharmacy. Editor Genaro, A. R. 21st edition Chapter 98. Maryland:
Lippincott Williams & Wilkins.p. 17821792
International Diabetes Federation. (2012). Retrieved Agustus 22, 2013, from IDF
Diabetes Atlas: http://www.idf.org
Kaku, K. (2010). Pathophysiology of Type 2 Diabetes and Its Treatment Policy.
Japan Medical Association Journal (JMAJ).
Manaf, A. (2009). Insulin: Mekanisme Sekresi dan Aspek Metabolisme. In A. W.
Sudoyo (Ed.), Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam (V ed., Vol. III). Interna
Publishing.
PERKENI. (2006). Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus
Tipe 2 di Indonesia. Jakarta.
Pratita, N.D., 2012, Hubungan Dukungan Pasangan dan Health Locus of Control
dengan
Kepatuhan dalam Menjalani Proses Pengobatan Pada Penderita Diabetes Mellitus
Tipe 2, Jurnal Ilmiah Mahasiswa, Universitas Surabaya
Purnamasari, D. (2009). Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Melitus. In A. W.
Sudoyo (Ed.), Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam (V ed., Vol. III). Interna
Publishing.
Udayani, N. N. (2011). Analisis Penggunaan Obat Hipoglikemik dan Dislipidemia
Oral Pada Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 dengan Komplikasi
Dislipidemia Rawat Jalan di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta. Tesis.
Yogyakarta: Program Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada.
Yunir, E., & Soebardi, S. (2009). Terapi Non Farmakologis pada Diabetes Melitus.
In A. W. Sudoyo (Ed.), Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam (5 ed., Vol. III).
Interna Publishing

33
Lampiran 1
Kuisioner Morisky 8-item Medication Adherence Questionnaire (MMAS-8)
NO PERTANYAAN JAWABAN SKOR
1 Apakah Bapak/Ibu/Saudarai/i pernah lupa Ya/Kadang 0
minum obat? Tidak 1
2 Apakah Bapak/Ibu/Saudarai/I kurang Ya/Kadang 0
memperhatikan aturan pemakaian obat? Tidak 1
3 Ketika kondisi membaik, apakah Ya/Kadang 0
Bapak/Ibu/Saudarai/I berhenti minum obat? Tidak 1
4 Ketika kondisi memburuk, aoakah Ya/Kadang 0
Bapak/Ibu/Saudarai/I berhenti minum obat? Tidak 1
5 Apakah terkadang Bapak/Ibu/Saudarai/i Ya/Kadang 0
mengambil obat yang diresepkan? Tidak 1
6 Apakah Bapak/Ibu/Saudarai/i mengetahui Ya/Kadang 0
manfaat jangka panjang dari obat yang
digunakan? Tidak 1
7 Apakah Bapak/Ibu/Saudarai/i mengikuti Ya/Kadang 0
aturan pakai penggunaan obat satu hari Tidak 1
penuh?
8 Apakah Bapak/Ibu/Saudarai/i mengikuti Ya/Kadang 0
aturan pakai penggunaan obat dalam satu
minggu penuh? Tidak 1
9 Ketika kadar gula darah tidak terkontrol, Ya/Kadang 0
apakah Bapak/Ibu/Saudarai/i berhenti minum
obat? Tidak 1
10 Apakah Bapak/Ibu/Saudarai/i setuju jika Ya/Kadang 0
meminum obat secara teratur akan
memperbaiki kondisi Bapak/Ibu/Saudarai/i? Tidak 1
11 Apakah kemarin Bapak/Ibu/Saudarai/i Ya/Kadang 0
mengambil seluruh obat yang diresepkan? Tidak 1
12 Barapa kali Bapak/Ibu/Saudarai/i lupa a. Tidak pernah 4
minum obat? b. Sekali sehari 1
c. Sekali 2
seminggu
d. Sekali sebulan 3

34
Klasifikasi tingkat kepatuhan penggunan obat
SKOR TINGKAT KEPATUHAN
< 11 Tidak Patuh
11 Patuh

35

Anda mungkin juga menyukai