Anda di halaman 1dari 8

PENGOBATAN CUTANEUS LARVA MIGRANS

Eric Caumes
Dari Service de Maladies Infectieuses et Tropicales, Rumah Sakit Pitie-Salpetrie`re Paris, Perancis

Cutaneous larva migrans disebabkan oleh larva cacing tambang dan merupakan
penyakit kulit yang paling sering menyerang wisatawan yang baru bepergian dari
negara tropis. Komplikasi penyakit ini (impetigo dan reaksi alergi), serta adanya
pruritus yang hebat dan lama penyakit yang signifikan, mengharuskan penyakit ini
wajib untuk diobati. Teknik freezing dari tepi terowongan kulit yang terkena jarang
memberikan hasil. Pengobatan topikal pada daerah yang terkena dengan
menggunakan 10%-15% larutan thiabendazole atau salep nilainya cukup terbatas
terutama pada lesi multipel dan folikulitis yang disebabkan oleh cacing tambang,
serta membutuhkan aplikasi 3 kali sehari selama minimal 15 hari. Thiabendazole
oral juga kurang efektif jika diberikan sebagai dosis tunggal (angka kesembuhan,
68% -84%) dan kurang dapat ditoleransi dibandingkan penggunaan albendazole
atau ivermectin. Pengobatan dengan dosis tunggal 400 mg albendazole oral
memberikan tingkat kesembuhan 46% -100%; dosis tunggal 12 mg oral ivermectin
memberikan tingkat kesembuhan 81% -100%.
Cutaneous larva migrans adalah penyakit kulit yang paling sering menyerang
wisatawan yang baru bepergian dari negara-negara tropis [1]. Saat ini penyakit ini sangat
mudah diobati dengan agen antihelmintik oral baru, yang selain dapat ditoleransi dengan
baik namun juga efektif.
Cutaneous larva migrans disebabkan oleh larva cacing tambang, dimana
Ancylostoma braziliense merupakan spesies yang paling sering ditemukan pada manusia
[2, 3]. Cacing tambang ini umumnya hidup di usus hewan peliharaan seperti anjing dan
kucing dan mengeluarkan telur larva melalui feses ke tanah (biasanya daerah berpasir
pantai atau di bawah rumah). Manusia terinfeksi di daerah endemis tropis dan subtropis
melalui kontak dengan tanah yang terkontaminasi. Larva cacing tambang masuk ke
dalam kulit namun tetap terbatas pada dermis bagian atas, karena manusia bukan host
utama dari larva ini.

Migrasi larva melalui kulit ditandai oleh adanya pruritus yang hebat, terowongan
linear, atau berkelok-kelok (gambar 1, kiri) yang dikenal sebagai creeping eruption.
Perhatikan bahwa creeping eruption terjadi pada banyak penyakit kulit manusia lainnya.
Folikulitis cacing tambang adalah bentuk jarang dari cutaneous larva migrans, ditandai
dengan folikulitis pustular dari bokong (gambar 1, kanan) [4].
Cutaneous larva migrans biasanya sembuh spontan dalam beberapa minggu atau
bulan. Dalam serangkaian 25 pasien yang diobati dengan menggunakan plasebo, 12%
sembuh pada akhir minggu pertama dan 36% pada akhir minggu keempat; periode
terpanjang diperlukan untuk penyembuhan spontan adalah 11,2 minggu di seri ini [5],
namun larva diketahui bermigrasi hingga 1 tahun [3].
Komplikasi penyakit ini meliputi impetigo dan reaksi alergi lokal atau general.
Sebagai contoh, edema dan reaksi vesiculobullous dilaporkan di masing-masing 6% dan
9% dari 67 pasien Perancis [1] dan 17% dan 10% dari 60 orang Kanada [6]. Pada seri
terbesar dari cutaneous larva migrans, yang melibatkan 98 pasien Jerman, 20% dari 40
pasien yang diuji memiliki hipereosinofilia (didefinisikan sebagai proporsi eosinofil 17%
dari total jumlah leukosit); tingkat eosinofilia rata-rata adalah 5%, dan kisaran adalah 0%
-37% [7].
Komplikasi potensial ini, bersama-sama dengan pruritus hebat dan lama penyakit,
membuat pengobatan penyakit ini bersifat wajib. Namun, manajemen optimal merupakan
kontroversi: dalam 1 studi, 22 pasien Jerman dengan cutaneous larva migrans telah
menerima 12 perawatan yang berbeda, termasuk pembedahan dan French Brandy,
sebelum mereka dirujuk ke pusat khusus [7]. Adapun terapi yang paling efektif adalah
pemberian agen antihelmintik secara topikal atau oral, seperti albendazole, thiabendazole,
dan ivermectin.

Pengobatan topikal
Freezing. Teknik pembekuan tepi terowongan dari kulit yang terkena dengan
menggunakan etilen klorida semprot, karbon dioksida padat, atau nitrogen cair jarang
bekerja, karena larva biasanya terletak beberapa sentimeter di bawah terowongan kulit

yang terlihat dengan mata. Dalam 1 seri, cryotherapy (penggunan nitrogen cair yag
diulang) tidak berhasil untuk 6 pasien dan mengakibatkan blister parah atau ulserasi pada
2 pasien [7]. Dalam seri lain, tak satu pun dari 7 pasien yang diobati dengan nitrogen cair
sembuh [6]. Karena metode ini tidak efektif dan menyakitkan, maka sebaiknya dihindari.
Thiabendazole. Penggunaan secara topikal dari 10% -15% thiabendazole larutan/
salep ke daerah yang terkena telah dibuktikan khasiatnya sejak beberapa dekade yang lalu
[8, 9]. Dalam sebuah studi besar dari 53 pasien Kanada, di mana 15% krim thiabendazole
dalam dasar yang larut air diaplikasikan pada daerah yang terkena 2 atau 3 kali sehari
selama 5 hari, hampir semua pasien sembuh kecuali 1 pasien [6]. Krim thiabendazole
dibuat dengan menghancurkan 500 mg tablet thiabendazole dalam dasar yang larut air.
Pada banyak pasien pruritus dan migrasi larva berhenti dalam waktu 48 jam pengobatan.
Dalam studi tersebut (98 pasien Jerman), thiabendazole salep (15% thiabendazole dan 3%

Gambar 1. Kiri, Karakteristik jalur berlekuk pada cutaneous larva migrans. Kanan, folikulitis
pada cacing tambang, bentuk klinis jarang cutaneous larva migrans.

asam salisilat pada obat salep alcoholum Lanae) berhasil pada 96 kasus (angka
kesembuhan, 98%) dalam waktu 10 hari. Dalam 2 kasus lain, pengobatan berhasil setelah
2 minggu di 1 kasus dan setelah 4 minggu pada kasus lain [7].
Keuntungan utama dari pengobatan topikal ini adalah tidak adanya efek samping
sistemik. Sedangkan kelemahan utamanya adalah bahwa nilainya terbatas untuk beberapa
lesi dan folikulitis cacing tambang dan juga aplikasinya butuh dilakukan berkali-kali
setiap hari selama beberapa hari.

Pengobatan Oral
Thiabendazole. Thiabendazole merupakan obat oral cukup sering digunakan dalam
mengobati cutaneous larva migrans [5, 9-12] (tabel 1). Thiabendazole kurang efektif jika
diberikan dalam dosis tunggal. Sebagai contoh, hanya 68% dari 28 pasien dalam 1 seri
sembuh dengan dosis tunggal 50 mg / kg [5]. Angka kesembuhan meningkat menjadi
77% setelah 2 hari berturut-turut, 87% setelah 3-4 hari berturut-turut, dan 89% setelah 4
dosis mingguan (Tabel 1).
Thiabendazole kurang dapat ditoleransi dibandingkan albendazole atau ivermectin.
Dalam sebuah penelitian terhadap 138 pasien yang diobati dengan thiabendazole (1,252,5 g / d selama 1-2 hari) untuk berbagai indikasi, adapun efek samping yang sering
terjadi: pusing (13% -54%), mual (49%), muntah (2% -16%), dan sakit kepala (7%) [13].
Albendazole. Albendazole merupakan obat antihelmintik heterosiklik generasi ketiga.
Obat ini telah digunakan selama sekitar satu dekade untuk mengobati helminthiasis pada
usus,

seperti

ascaridiasis,

cacing

kremi,

ancylostomiasis,

trichuriasis,

dan

strongyloidiasis. Uji coba albendazole dalam pengobatan cutaneous larva migrans


memiliki hasil yang bertentangan sehubungan dengan penggunaan dosis optimal. Tingkat
kesembuhan mencapai 100% telah diperoleh setelah pengobatan dengan dosis tunggal
400 mg dan dengan dosis yang sama diberikan untuk 3 dan 5 hari berturut-turut (tabel 2).
Albendazole juga telah digunakan dengan sukses pada dosis harian yang lebih tinggi (800
mg selama 3 kali berturut-turut setiap hari). Namun, dalam penelitian terbesar
Albendazole pada cutanous larva migran (melibatkan 26 wisatawan Italia), pengobatan
dengan 400 mg selama 5 hari berturut-turut gagal untuk 2 pasien [18]. Sebagai tambahan,
dalam sebuah studi dari 11 wisatawan Perancis, dosis 400 mg tunggal gagal dalam 6
kasus [19].
Perbedaan dalam populasi penelitian dapat menjelaskan tingkat penyembuhan yang
berbeda (46% -100%) yang diamati dalam studi ini. Sangat menarik bahwa 3 dari 4 studi
dengan tingkat kesembuhan 100% melibatkan penduduk daerah endemis, dimana cukup
sulit untuk membedakan antara kekambuhan dengan terjadinya infeksi ulang. Pada 2 dari
3 penelitian yang melibatkan wisatawan, albendazole gagal mengobati 2 dari 26 pasien
Italia [18] dan 6 dari 11 pasien Perancis [19], dimana lamanya follow up tidak dijelakan

dalam studi ketiga [14]. Temuan ini menunjukkan bahwa bagi wisatawan dengan
cutaneous larva migrans yang diobati dengan albendazole, regimen pengobatannya harus
dengan dosis 400-800 mg / hari selama 3-5 hari.
Albendazole ditoleransi dengan baik dalam uji coba yang melibatkan pasien dengan
cutaneous larva migrans. Namun, 27% dari 30 pasien dengan strongyloidiasis pada
gastrointestinal mengeluh nyeri gastrointestinal dan diare setelah menerima 800 mg
albendazol per oral selama 3 hari berturut-turut [20]. Publikasi lainnya menunjukkan
Tabel 1. Pengobatan cutaneous larva migrans dengan thiobendazole oral (5mg/kg/hari).

Sumber

Jumlah pasien

Pengobatan

Jumlah pasien
sembuh (%)

[11]
[10]
[5]

17
51
28

[12]

25

2 hari
3-4 hari
Dosis I
Dosis 2
Dosis 3
Dosis 4
Dosis 1
Dosis 2

13(77)
44(87)
19 (68)
21 (75)
22 (79)
24 (89)
21 (84)
23 (92)

Tabel 2. Pengobatan cutaneous larva migrans dengan albendazole oral.


Sumber
[16]
[17]
[15]
[14]
[18]
[19]

Jumlah pasien

Dosis harian,

Lama

Jumlah pasien

8
6
2
5
18
26
11

mg
400
400
800
800
400
400
400

pengobatan
1
3
3
3
5
5
1

sembuh (%)
8 (100)
6(100)
2 (100)
4 (100)
18 (100)
24 (92)
5 (46)

bahwa albendazole ditoleransi dengan baik kecuali diberikan pada dosis yang tinggi atau
untuk waktu yang lama, seperti yang dibutuhkan pada Penyakit hidatidosa [21].
Ivermectin. Ivermectin, merupakan derivat avermectin B, aktif terhadap Onchocerca
volvulus dan nematoda lainnya, termasuk cacing gastrointestinal. Mekanisme kerjanya
belum dapat dipahami [22]. Dosis tunggal ivermectin menghasilkan 100% tingkat
kesembuhan pada pasien dengan cutaneous larva migrans di 2 studi terbuka yang
diterbitkan pada tahun 1992, di mana 8 pasien Kamerun menerima 150 mg / kg [23] dan

12 wisatawan Perancis yang menerima 200 mg / kg [24] (tabel 3). Sejak saat itu, khasiat
ivermectin telah dikonfirmasi dalam 3 penelitian besar. Salah satunya melibatkan 57
wisatawan Prancis diobati dengan dosis tunggal 12 mg ivermectin oral, dan sekitar 56
(98%) sembuh [25].
Tabel 3. Pengobatan cutaneous larva migrans dengan dosis tunggal 12 mg ivermectin.
Sumber
[23]
[24]
[19]
[25]
[26]
[27]

Jumlah pasien
8
12
10
57
51
59

Jumlah pasien sembuh (%)


8 (100)
12 (100)
10 (100)
56 (100)
48 (100)
48 (100)

Studi lain yang melibatkant 67 wisatawan Belgia diobati dengan dosis tunggal (12
mg) ivermectin. Lima puluh satu pasien diamati dan 48 (94%) sembuh; 2 pasien kambuh,
dan pengobatan gagal pada pasien imunodefisiensi [26]. Ketiga penelitian ini melibatkan
59 wisatawan Perancis diberikan dosis 12 mg oral; 48 pasien (81%) sembuh, 9 kambuh,
dan pengobatan gagal pada 2 orang. Pada 11 pasien terakhir membutuhkan rangkaian
kedua (n = 9) atau ketiga (n = 2) dari ivermectin. Interval median hingga hilangnya
pruritus dan lesi memutuhkan waktu 3 hari (kisaran, 1-7 hari) untuk pasien yang
menerima dosis kedua, dan 9 hari (kisaran, 4-30 hari) bagi mereka yang menerima dosis
ketiga. Hanya 2 pasien tidak sembuh dengan ivermectin [27].
Ivermectin ditoleransi dengan baik pada studi pasien dengan cutaneous larva
migrans, dan tidak ada efek samping yang dilaporkan selain filariasis [28]. Hampir semua
efek samping merupakan hasil respon imun pasien dalam membunuh mikrofilaria [22].
Sebuah penelitian terbuka [19] membandingkan efektivitas dosis tunggal ivermectin
oral (12 mg) dan Albendazole oral (400 mg) pada pengobatan cutaneous larva migrans.
Dua puluh satu pasien secara acak menerima ivermectin (n = 10) atau albendazole (n =
11). Semua pasien secara acak menerima ivermectin, dan tidak kambuh (angka
kesembuhan, 100%). Semua kecuali 1 dari pasien yang menerima Albendazole
merespons, tapi 5 kambuh setelah rata-rata 11 hari (angka kesembuhan, 46%); perbedaan
khasiat secara signifikan mendukung ivermectin (P = 0,017). Tidak ada efek samping
utama yang muncul. Para peneliti menyimpulkan bahwa dosis tunggal 12 mg ivermectin

lebih efektif daripada dosis tunggal 400 mg albendazole untuk pengobatan cutaneous
larva migrans [19].
Pencegahan
Karena wisatawan biasanya terinfeksi dengan berjalan kaki atau berbaring dipantai
tropis berpasir yang terkontaminasi oleh kotoran anjing, maka cara terbaik untuk
mencegah cutaneous larva migrans adalah dengan melarang anjing di pantai (Gambar 2,
atas) [29].

Gambar 2. Atas, Pencegahan cutaneous larva migrans: tidak ada anjing yang diperbolehkan di
pantai (Sydney, Australia). Bawah, Menghindari cutaneous larva migrans: berbaring di bagian
pantai yang terkena oleh air pasang (Boracay,Filipina).

Karena hal ini jelas tidak mungkin dikembangkan di negara-negara tropis, di mana anjing
terdapat di mana-mana, hal terbaik yang dapat dilakukan adalah dengan memakai sepatu
saat berjalan di daerah berpasir. Ketika berada di pantai tropis yang sering dikunjungi
oleh anjing, maka sebaiknya berbaring di atas pasir yang terkena air pasang atau

menggunakan kasur; hindari berbaring di pasir kering secara langsung, bahkan berbaring
di handuk sekalipun (gambar 2, bawah).

Anda mungkin juga menyukai