dr. Mariance
Pembimbing:
dr. Lisa Apri Yanti, Sp.THT-KL(K), FICS
KATA PENGANTAR............................................................................................
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................
BAB II TONSILEKTOMI……..........................................................................
Definisi..........................................................................................................
Epidemiologi.................................................................................................
Anatomi dan Fisiologi Tonsil ...............................................................
Jenis Tonsilektomi………………………………………………………….
Indikasi dan Kontraindikasi ........................................................................
Persiapan Preoperasi dan Postoperasi .........................................................
Komplikasi…….............................................................................................
BAB III
EMFISEMA SUBKUTIS PASCA TONSILEKTOMI
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
2.1 Definisi
Tonsilektomi adalah operasi pengangkatan tonsil palatina baik unilateral
maupun bilateral. Tonsiloadenoidektomi adalah pengangkatan tonsil palatina dan
jaringan limfoid di nasofaring yang dikenal sebagai adenoid atau tonsil faringeal. 2
Adapun pengertian lain yang menyebutkan bahwa tonsilektomi adalah
pembedahan eksisi tonsil palatina untuk mencegah tonsilitis yang berulang.
Tonsilektomi merupakan prosedur operasi yang praktis dan aman, namun hal ini
bukan berarti tonsilektomi merupakan operasi minor karena tetap memerlukan
keterampilan dan ketelitian yang tinggi dari operator dalam pelaksanaannya.Di
AS karena kekhawatiran komplikasi, tonsilektomi digolongkan pada operasi
mayor.Di Indonesia, tonsilektomi digolongkan pada operasi sedang karena durasi
operasi pendek dan teknik tidak sulit.
2.2 Epidemiologi
Tonsilektomi pertama kali diperkenalkan 2000 tahun yang lalu oleh
Celcus dengan cara diseksi digital radikal.Menjerat dan menggunting tonsil
(tonsilektomi) diperkenalkan sekitar abad 19, begitu juga alat pengungkit tonsil
(tonsil elevator). Pada awal tahun 1960 dan 1970-an, telah dilakukan 1 sampai 2
juta tonsilektomi, adenoidektomi atau gabungan keduanya setiap tahunnya di
Amerika Serikat.3 Pada saat itu tonsilektomi dilakukan dengan anestesi lokal dan
pasien dalam keadaan duduk. Namun dari waktu ke waktu angka ini mengalami
penurunan, diperkirakan 278.000 anak-anak dibawah 15 tahun dilakukan
tonsilektomi dengan atau tanpa adenoidektomi. Di Indonesia, data nasional
mengenai jumlah operasi tonsilektomi atau tonsiloadenoidektomi belum ada.
Namun, data yang didapatkan dari RSUPNCM selama 5 tahun terakhir (1999-
2003) menunjukkan kecenderungan penurunan jumlah operasi tonsilektomi. 4
Sedangkan data dari rumah sakit Fatmawati dalam 3 tahun terakhir (2002-2004)
menunjukkan kecenderungan kenaikan jumlah operasi tonsilektomi dan
penurunan jumlah operasi tonsiloadenoidektomi.5
2.3 Anatomi dan Fisiologi Tonsil
Tonsil terdiri dari jaringan limfoid yang dilapisi oleh epitel
respiratori.Tonsil berbentuk oval dengan panjang 2-5 cm, masing-masing tonsil
mempunyai 10-30 kriptus yang meluas ke dalam jaringan tonsil. Cincin Waldeyer
merupakan jaringan limfoid yang membentuk lingkaran di faring yang terdiri dari
tonsil palatina, tonsil faringeal (adenoid), tonsil lingual, dan tonsil tubal.
Walaupun tonsil terletak di orofaring karena perkembangan yang berlebih tonsil
dapat meluas kearah nasofaring sehingga dapat menimbulkan insufisiensi
velofaring atau obstruksi hidung walau jarang ditemukan.Arah perkembangan
tonsil tersering adalah kearah hipofaring, sehingga sering menyebabkan sering
terjaganya anak saat tidur karena gangguan pada jalan nafas.
Tonsil mendapat pendarahan dari cabang-cabang arteri karotis eksterna,
yaitu 1) arteri maksilaris eksterna (arteri fasialis) dengan cabangnya arteri
tonsilaris dan arteri palatina asenden, 2) arteri maksilaris interna dengan
cabangnya arteri palatina desenden, 3) arteri lingualis dengan cabangnya arteri
lingualis dorsal, 4) arteri faringeal asenden. Kutub bawah tonsil bagian anterior
diperdarahi oleh arteri lingualis dorsal dan bagian posterior oleh arteri palatina
asenden, diantara kedua daerah tersebut diperdarahi oleh arteri tonsilaris.
Kutub atas tonsil diperdarahi oleh arteri faringeal asenden dan arteri palatina
desenden.Aliran balik melalui vena-vena tonsil membentuk pleksus yang
bergabung dengan pleksus faring disekitar kapsul tonsil dan vena lidah.
Aliran getah bening dari daerah tonsil akan menuju rangkaian getah
bening servikal profunda (deep jugular node) bagian superior di bawah muskulus
sternokleidomastoideus, selanjutnya ke kelenjar toraks dan akhirnya menuju
duktus torasikus. Tonsil hanya mempunyai pembuluh getah bening eferan
sedangkan pembuluh getah bening aferen tidak ada.
Tonsil bagian bawah mendapat sensasi dari cabang serabut saraf ke IX (nervus
glosofaringeal) dan juga dari cabang desenden lesser palatine nerves.
A. Tonsil Palatina
Tonsil palatina merupakan suatu massa jaringan limfoid yang terletak di
dalam fossa tonsilaris diantara sudut orofaring antara arcus faring anterior dan
arcus faring posterior. Tonsil palatina tidak selalu mengisi seluruh fossa
tonsilaris, daerah kosong diatasnya dikenal sebagai fossa supratonsilar. Tonsil
palatina terletak di lateral orofaring dibatasi oleh Lateral : muskulus
konstriktor faring superior, Anterior : muskulus palatoglossus, Posterior :
muskulus palatofaringeus, Superior : palatum mole dan Inferior : tonsil
lingual
Permukaan tonsil palatina ditutupi epitel berlapis gepeng yang juga melapisi
invaginasi atau kripti tonsila.Banyak limfanodulus terletak di bawah jaringan
ikat dan tersebar sepanjang kriptus.Limfonoduli terbenam di dalam stroma
jaringan ikat retikular dan jaringan limfatik difus.Limfonoduli merupakan
bagian penting mekanisme pertahanan tubuh yang tersebar di seluruh tubuh
sepanjang jalur pembuluh limfatik.Noduli sering saling menyatu dan
umumnya memperlihatkan pusat germinal.
B. Tonsil Faringeal (adenoid)
Adenoid merupakan masa limfoid yang berlobus dan terdiri dari jaringan
limfoid yang sama dengan yang terdapat pada tonsil. Lobus atau segmen
tersebut tersusun teratur seperti suatu segmen terpisah dari sebuah ceruk
dengan celah atau kantong diantaranya.Lobus ini tersusun mengelilingi
daerah yang lebih rendah di bagian tengah, dikenal sebagai bursa faringeus.
Adenoid tidak mempunyai kriptus. Adenoid terletak di dinding belakang
nasofaring. Jaringan adenoid di nasofaring terutama ditemukan pada dinding
atas dan posterior, walaupun dapat meluas ke fosa Rosenmuller dan orifisium
tuba eustachius.Ukuran adenoid bervariasi pada masing-masing anak. Pada
umumnya adenoid akan mencapai ukuran maksimal antara usia 3-7 tahun
kemudian akan mengalami regresi dan menghilang pada umur 14 tahun.
C. Tonsil Lingual
Tonsil lingual terletak di dasar lidah dan dibagi menjadi dua oleh ligamentum
glosoepiglotika. Di garis tengah, di sebelah anterior massa ini terdapat
foramen sekum pada apeks, yaitu sudut yang terbentuk oleh papilla
sirkumvalata.
2.4 Jenis Teknik Tonsilektomi
Ada beberapa teknik untuk melakukan tonsilektomi. Pada dasarnya,
teknik-teknik ini memiliki prinsip yang sama, hanya alat yang digunakan dan cara
mengatasi komplikasi yang berbeda. Teknik-teknik yang biasa digunakan untuk
melakukan tonsilektomi, antara lain:
1. Cara Guillotine Diperkenalkan pertama kali oleh Philip Physick (1828)
dari Philadelphia, sedangkan cara yang masih digunakan sampai sekarang
adalah modifikasi Sluder. Di negara-negara maju cara ini sudah jarang
digunakan dan di Indonesia cara ini hanya digunakan pada anak-anak dalam
anestesi umum.
Posisi pasien telentang dalam anestesi umum. Operator di sisi kanan berhadapan
dengan pasien. Setelah relaksasi sempurna otot faring dan mulut, mulut difiksasi
dengan pembuka mulut. Lidah ditekan dengan spatula. Untuk tonsil kanan, alat
guillotine dimasukkan ke dalam mulut melalui sudut kiri. Ujung alat diletakkan
diantara tonsil dan pilar posterior, kemudian kutub bawah tonsil dimasukkan ke
dalam Iubang guillotine. Dengan jari telunjuk tangan kiri pilar anterior ditekan
sehingga seluruh jaringan tonsil masuk ke dalam Iubang guillotine. Picu alat
ditekan, pisau akan menutup lubang hingga tonsil terjepit. Setelah diyakini
seluruh tonsil masuk dan terjepit dalam lubang guillotine, dengan bantuan jari,
tonsil dilepaskan dari jaringan sekitarnya dan diangkat keluar. Perdarahan
ditangani.
2. Cara diseksi Cara ini diperkenalkan pertama kali oleh Waugh (1909).
Cara ini digunakan pada pembedahan tonsil orang dewasa, baik dalam
anestesi umum maupun lokal. Teknik : Bila menggunakan anestesi umum,
posisi pasien terlentang dengan kepala sedikit ekstensi. Posisi operator di
proksimal pasien. Dipasang alat pembuka mulut Boyle-Davis gag. Tonsil
dijepit dengan cunam tonsil dan ditarik ke medial Dengan menggunakan
respatorium/enukleator tonsil, tonsil dilepaskan dari fosanya secara tumpul
sampai kutub bawah dan selanjutnya dengan menggunakan jerat tonsil, tonsil
diangkat. Perdarahan ditangani.
3. Cryogenic tonsillectomy Tindakan pembedahan tonsil dapat
menggunakan cara cryosurgery yaitu proses pendinginan jaringan tubuh
sehingga terjadi nekrosis. Bahan pendingin yang dipakai adalah freon dan
cairan nitrogen.
4. Electrosterilization of tonsil Merupakan suatu pembedahan dengan cara
koagulasi listrik pada jaringan tonsil (bedah listrik). Alat yang biasanya
digunakan adalah monopolar blade, monopolar suction, dan
monopolar/bipolar diathermy. Pada bedah listrik transfer energi berupa
radiasi elektromagnetik (energi radiofrekuensi) untuk menghasilkan efek pada
jaringan. Frekuensi radio yang digunakan dalam spektrum elektromagnetik
berkisar pada 0.1 hingga 4 MHz. Penggunaan gelombang pada frekuensi ini
mencegah terjadinya gangguan konduksi saraf atau jantung. Pada teknik ini
elektroda tidak menjadi panas, panas dalam jaringan terbentuk karena adanya
aliran baru yang dibuat dari teknik ini. Teknik ini menggunakan listrik 2 arah
(AC) dan pasien termasuk dalam jalur listrik (electrical pathway). Tenaga
listrik dipasang pada kisaran 10 sampai 40 W untuk memotong, menyatukan
atau untuk koagulasi. Bedah listrik merupakan satu-satunya teknik yang dapat
melakukan tindakan memotong dan hemostase dalam satu prosedur. Dapat
pula digunakan sebagai tambahan pada prosedur operasi lain.
Kontraindikasi
Terdapat beberapa keadaan yang disebutkan sebagai kontraindikasi,
namun bila sebelumnya dapat diatasi, operasi dapat dilaksanakan dengan tetap
memperhitungkan imbang “manfaat dan risiko”. Keadaan tersebut adalah: infeksi
pernapasan bagian atas yang berulang, infeksi sistemik atau kronis, demam yang
tidak diketahui penyebabnya, pembesaran tonsil tanpa gejala-gejala obstruksi
rinits alergika, asma, ketidakmampuan yang umum atau kegagalan untuk tumbuh,
tonus otot yang lemah, sinusitis, risiko anestesi yang besar atau atau penyakit
yang berat, anemia, gangguan perdarahan, infeksi akut yang berat, radang akut
tonsil, albuminuria, hipertensi, poliomielitis epidemic
Perawatan Postoperasi
Antibiotika postoperasi diberikan oleh kebanyakan dokter bedah. Sebuah
studi randomized oleh Grandis dkk. Menyatakan terdapat hubungan antara
berkurangnya nyeri dan bau mulut pada pasien yang diberikan antibiotika
postoperasi.Antibiotika yang dipilih haruslah antibiotika yang aktif terhadap flora
rongga mulut, biasanya penisilin yang diberikan per oral.Pasien yang menjalani
tonsilektomi untuk infeksi akut atau abses peritonsil atau memiliki riwayat
faringitis berulang akibat streptokokus harus diterapi dengan
antibiotika.Penggunaan antibiotika profilaksis perioperatif harus dilakukan secara
rutin pada pasien dengan kelainan jantung.
Pemberian obat antinyeri berdasarkan keperluan, bagaimanapun juga,
analgesia yang berlebihan bisa menyebabkan berkurangnya intake oral karena
letargi.Selain itu juga bisa menyebabkan bertambahnya pembengkakan di
faring.Sebelum operasi, pasien harus dimotivasi untuk minum secepatnya setelah
operasi selesai untuk mengurangi keluhan pembengkakan faring dan pada akhinya
rasa nyeri.
Dalam hal ini terjadi kontroversi mengenai diet. Belum ada bukti ilmiah
yang secara jelas menyatakan bahwa memberikan pasien diet biasa akan
menyebabkan perdarahan postoperatif. Bagaimanapun juga, pemberian cairan
secara rutin saat pasien bangun dan secara bertahap pindah ke makanan lunak
merupakan standar perawatan.
2.7 Komplikasi
Tonsilektomi merupakan tindakan bedah yang dilakukan dengan anestesi
umum maupun lokal, sehingga komplikasi yang ditimbulkannya merupakan
gabungan komplikasi tindakan bedah dan anestesi. Sekitar 1:15.000 pasien yang
menjalani tonsilektomi meninggal baik akibat perdarahan maupun komplikasi
anestesi dalam 5-7 hari setelah operasi.7
1) Komplikasi anestesi
Komplikasi terkait anestesi terjadi pada 1:10.000 pasien yang menjalani
tonsilektomi dan adenoidektomi (brookwood ent associates).Komplikasi ini
terkait dengan keadaan status kesehatan pasien. Adapun komplikasi yang
dapat ditemukan berupa: laringospasme, gelisah pasca operasi, mual muntah,
kematian saat induksi pada pasien dengan hipovolemi, induksi intravena
dengan pentotal bisa menyebabkan hipotensi dan henti jantung, hipersensitif
terhadap obat anestesi
2) Komplikasi bedah10
Perdarahan Merupakan komplikasi tersering (0,1-8,1% dari jumlah
kasus).11Perdarahan dapat terjadi selama operasi, segera sesudah operasi
atau di rumah. Kematian akibat perdarahan terjadi pada 1:35.000 pasien.
Sebanyak 1 dari 100 pasien kembali karena masalah perdarahan dan
dalam jumlah yang sama membutuhkan transfusi darah. Perdarahan yang
terjadi dalam 24 jam pertama dikenal sebagai early bleeding, perdarahan
primer atau “reactionary haemorrage” dengan kemungkinan
penyebabnya adalah hemostasis yang tidak adekuat selama operasi.
Umumnya terjadi dalam 8 jam pertama. Perdarahan primer ini sangat
berbahaya, karena terjadi sewaktu pasien masih dalam pengaruh anestesi
dan refleks batuk belum sempurna. Darah dapat menyumbat jalan napas
sehingga terjadi asfiksia. Perdarahan dapat menyebabkan keadaan
hipovolemik bahkan syok. Perdarahan yang terjadi setelah 24 jam disebut
dengan late/delayed bleeding atau perdarahan sekunder. Umumnya
terjadi pada hari ke 5-10 pascabedah. Perdarahan sekunder ini jarang
terjadi, hanya sekitar 1%. Penyebabnya belum dapat diketahui secara
pasti, bisa karena infeksi sekunder pada fosa tonsilar yang menyebabkan
kerusakan pembuluh darah dan perdarahan dan trauma makanan yang
keras.
Nyeri Nyeri pascaoperasi muncul karena kerusakan mukosa dan
serabut saraf glosofaringeus atau vagal, inflamasi dan spasme otot
faringeus yang menyebabkan iskemia dan siklus nyeri berlanjut sampai
otot diliputi kembali oleh mukosa, biasanya 14-21 hari setelah operasi.
Nyeri tenggorok muncul pada hampir semua pasien pascatonsilektomi.
Penggunaan elektrokauter menimbulkan nyeri lebih berat dibandingkan
teknik “cold” diseksi dan teknik jerat. Nyeri pascabedah bisa dikontrol
dengan pemberian analgesik. Jika pasien mengalami nyeri saat menelan,
maka akan terdapat kesulitan dalam asupan oral yang meningkatkan
risiko terjadinya dehidrasi. Bila hal ini tidak dapat ditangani di rumah,
perawatan di rumah sakit untuk pemberian cairan intravena dibutuhkan.
3) Komplikasi lain
Dehidrasi, demam, kesulitan bernapas, gangguan terhadap suara (1:10.000),
aspirasi, otalgia, pembengkakan uvula, insufisiensi velopharingeal, stenosis
faring, lesi di bibir, lidah, gigi dan pneumonia.
BAB III
EMFISEMA SUBKUTIS PASCA TONSILEKTOMI
BAB III
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
18
1. Eibling DE. Tonsillectomy. In: Myers EN, editor. Operative Otolaryngology
Head and Neck Surgery. Philadelphia: WB Saunders Company 1997.p.186-
97
2. Bailey BJ. Tonsillectomy. In: Bailey BJ, Calhour KH, Friedman NR,
Newlands SD, Vrabec JT, editors. Atlas of Head and Neck Surgery-
Otolaryngology. Philadelphia:Lippincott Williams & Wilkins 2001.2nd
edition.p.327-2- 327-6
3. Younis RT, Lazar RH. History and current practice of tonsillectomy.
Laryngoscope 2002;112:3-5
4. Data operasi Tonsiloadenoidektomi tahun 1999-2003 Bagian THT FKUI-
RSUPNCM.
5. Data operasi Tonsiloadenoidektomi tahun 2002-2004 RS Fatmawati.
6. Rahardjo E, Sunatrio H, Mustafa I, Umbas R, Thayeb U, Windiastuti E, dkk.
Persiapan rutin prabedah elektif. HTA Indonesia 2003
7. Frey RJ. Gale Encyclopedia of Medicine. Published December, 2002 by the
Gale Group
8. Ferrari LR, Vassalo SA. Anesthesia for otolaryngology procedures. In: Cote
CJ, Todres ID, Ryan JF, Goudsouzian NG, editors. A Practice of anesthesia
for infants and children. Philadelphia: WB Saunders Company 2001. 3rd
ed.p.461-67.
9. Joseph MM. Anesthesia for ear, nose, and throat surgery. In: Longnecker DE,
Tinker JH, Morgan GE,editors. Principles and practice of anesthesiology.
London: Mosby 1998.2nd ed.p.2208-10.
10. Adams GL,Penyakit-penyakit nasofaring dan orofaring. Dalam: Adams
GL,Boies buku ajar penyakit THT,Jakarta, Penerbit buku kedokteran EGC
edisi 6, 2008 : 337-40
11. Randal DA, Hoffer ME. Complication of tonsillectomy and adenoidectomy.
Otolaryngol Head Neck Surg 1998;118:61-8