Anda di halaman 1dari 24

KOMPLIKASI TONSILEKTOMI

dr. Mariance

Pembimbing:
dr. Lisa Apri Yanti, Sp.THT-KL(K), FICS

KSM ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK – BEDAH


KEPALA LEHER
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
RSUP DR. MOHAMMAD HOESIN, PALEMBANG
2020
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................
BAB II TONSILEKTOMI……..........................................................................
Definisi..........................................................................................................
Epidemiologi.................................................................................................
Anatomi dan Fisiologi Tonsil ...............................................................
Jenis Tonsilektomi………………………………………………………….
Indikasi dan Kontraindikasi ........................................................................
Persiapan Preoperasi dan Postoperasi .........................................................
Komplikasi…….............................................................................................
BAB III
EMFISEMA SUBKUTIS PASCA TONSILEKTOMI
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN

Tonsilektomi merupakan prosedur yang paling sering dilakukan dalam


sejarah operasi.Kontroversi mengenai tonsilektomi dilaporkan lebih banyak bila
dibandingkan dengan prosedur operasi manapun.Konsensus umum yang beredar
sekarang menyatakan bahwa tonsilektomi telah dilakukan dalam jumlah yang
tidak tepat (seharusnya) pada anak-anak pada tahun-tahun yang lalu.Besarnya
jumlah ini karena keyakinan para dokter dan orangtua tentang keuntungan
tonsilektomi dan bukan berdasarkan bukti ilmiah atau studi klinis.Padahal
pembesaran tonsil jarang merupakan indikasi untuk pengakalan kebanyakan anak
anak mempunyai tonsil yang besar, yang ukurannya akan menurun sejalan dengan
perlambatan usia. Pada dekade terakhir, tonsilektomi tidak hanya dilakukan untuk
tonsilitis berulang, namun juga untuk berbagai kondisi yang lebih luas termasuk
kesulitan makan, kegagalan penambahan berat badan, overbite, tounge thrust,
halitosis, mendengkur, gangguan bicara dan enuresis.1 Saat ini walau jumlah
operasi tonsilektomi telah mengalami penurunan bermakna, namun masih menjadi
operasi yang paling sering dilakukan.
Pada pertengahan abad 19 yang lalu, mulai terdapat pergeseran dari
hampir tidak adanya kriteria yang jelas untuk melakukan tonsilektomi menjadi
adanya kriteria yang lebih jelas dan tegas.Saat ini indikasi tonsilektomi masih
beragam.Di abad ke 20 tonsilektomi dilakukan karena tonsil merupakan fokus
infeksi untuk penyakit sistemik seperti reumatisme.Sampai saat ini telah
dikembangkan berbagai studi untuk menyusun indikasi formal yang ternyata
menghasilkan perseteruan dari berbagai pihak terkait.Dalam penyusunannya
ditemukan kesulitan untuk memprediksi kemungkinan infeksi di kemudian hari
sehingga dianjurkan terapi dilakukan dengan pendekatan personal dan tidak
berdasarkan peraturan yang kaku.American Academy of Otolaryngology-Head
and Neck Surgery telah mengeluarkan rekomendasi resmi mengenai tindakan
tonsilektomi yang merupakan kesepakatan para ahli.
Tonsilektomi telah dilakukan oleh dokter THT, dokter bedah umum,
dokter umum dan dokter keluarga selama lebih dari 50 tahun terakhir. Namun,
dalam 30 tahun terakhir, kebutuhan akan adanya standarisasi teknik operasi
menyebabkan pergeseran pola praktek operasi tonsilektomi. Saat ini di Amerika
Serikat tonsilektomi secara ekslusif dilakukan oleh dokter THT.
Tingkat komplikasi, seperti perdarahan pascaoperasi berkisar antara 0,1-
8,1% dari jumlah kasus.Kematian pada saat operasi sangat jarang.Kematian dapat
terjadi akibat komplikasi bedah maupun anestesi.Tantangan terbesar selain
operasinya sendiri adalah pengambilan keputusan dan teknik yang dilakukan
dalam pelaksanaannya. Tonsilektomi sebagai tindakan operasi terbanyak di
bidang THT belum mempunyai keseragaman indikasi. Kajian manfaat
tonsilektomi terhadap kejadian sakit tenggorok, kualitas hidup, keuntungan
ekonomi, dan gambaran imunologis tonsil belum dibahas secara mendalam. 2,3
BAB II
TONSILEKTOMI

2.1 Definisi
Tonsilektomi adalah operasi pengangkatan tonsil palatina baik unilateral
maupun bilateral. Tonsiloadenoidektomi adalah pengangkatan tonsil palatina dan
jaringan limfoid di nasofaring yang dikenal sebagai adenoid atau tonsil faringeal. 2
Adapun pengertian lain yang menyebutkan bahwa tonsilektomi adalah
pembedahan eksisi tonsil palatina untuk mencegah tonsilitis yang berulang.
Tonsilektomi merupakan prosedur operasi yang praktis dan aman, namun hal ini
bukan berarti tonsilektomi merupakan operasi minor karena tetap memerlukan
keterampilan dan ketelitian yang tinggi dari operator dalam pelaksanaannya.Di
AS karena kekhawatiran komplikasi, tonsilektomi digolongkan pada operasi
mayor.Di Indonesia, tonsilektomi digolongkan pada operasi sedang karena durasi
operasi pendek dan teknik tidak sulit.

2.2 Epidemiologi
Tonsilektomi pertama kali diperkenalkan 2000 tahun yang lalu oleh
Celcus dengan cara diseksi digital radikal.Menjerat dan menggunting tonsil
(tonsilektomi) diperkenalkan sekitar abad 19, begitu juga alat pengungkit tonsil
(tonsil elevator). Pada awal tahun 1960 dan 1970-an, telah dilakukan 1 sampai 2
juta tonsilektomi, adenoidektomi atau gabungan keduanya setiap tahunnya di
Amerika Serikat.3 Pada saat itu tonsilektomi dilakukan dengan anestesi lokal dan
pasien dalam keadaan duduk. Namun dari waktu ke waktu angka ini mengalami
penurunan, diperkirakan 278.000 anak-anak dibawah 15 tahun dilakukan
tonsilektomi dengan atau tanpa adenoidektomi. Di Indonesia, data nasional
mengenai jumlah operasi tonsilektomi atau tonsiloadenoidektomi belum ada.
Namun, data yang didapatkan dari RSUPNCM selama 5 tahun terakhir (1999-
2003) menunjukkan kecenderungan penurunan jumlah operasi tonsilektomi. 4
Sedangkan data dari rumah sakit Fatmawati dalam 3 tahun terakhir (2002-2004)
menunjukkan kecenderungan kenaikan jumlah operasi tonsilektomi dan
penurunan jumlah operasi tonsiloadenoidektomi.5
2.3 Anatomi dan Fisiologi Tonsil
Tonsil terdiri dari jaringan limfoid yang dilapisi oleh epitel
respiratori.Tonsil berbentuk oval dengan panjang 2-5 cm, masing-masing tonsil
mempunyai 10-30 kriptus yang meluas ke dalam jaringan tonsil. Cincin Waldeyer
merupakan jaringan limfoid yang membentuk lingkaran di faring yang terdiri dari
tonsil palatina, tonsil faringeal (adenoid), tonsil lingual, dan tonsil tubal.
Walaupun tonsil terletak di orofaring karena perkembangan yang berlebih tonsil
dapat meluas kearah nasofaring sehingga dapat menimbulkan insufisiensi
velofaring atau obstruksi hidung walau jarang ditemukan.Arah perkembangan
tonsil tersering adalah kearah hipofaring, sehingga sering menyebabkan sering
terjaganya anak saat tidur karena gangguan pada jalan nafas.
Tonsil mendapat pendarahan dari cabang-cabang arteri karotis eksterna,
yaitu 1) arteri maksilaris eksterna (arteri fasialis) dengan cabangnya arteri
tonsilaris dan arteri palatina asenden, 2) arteri maksilaris interna dengan
cabangnya arteri palatina desenden, 3) arteri lingualis dengan cabangnya arteri
lingualis dorsal, 4) arteri faringeal asenden. Kutub bawah tonsil bagian anterior
diperdarahi oleh arteri lingualis dorsal dan bagian posterior oleh arteri palatina
asenden, diantara kedua daerah tersebut diperdarahi oleh arteri tonsilaris.
Kutub atas tonsil diperdarahi oleh arteri faringeal asenden dan arteri palatina
desenden.Aliran balik melalui vena-vena tonsil membentuk pleksus yang
bergabung dengan pleksus faring disekitar kapsul tonsil dan vena lidah.
Aliran getah bening dari daerah tonsil akan menuju rangkaian getah
bening servikal profunda (deep jugular node) bagian superior di bawah muskulus
sternokleidomastoideus, selanjutnya ke kelenjar toraks dan akhirnya menuju
duktus torasikus. Tonsil hanya mempunyai pembuluh getah bening eferan
sedangkan pembuluh getah bening aferen tidak ada.
Tonsil bagian bawah mendapat sensasi dari cabang serabut saraf ke IX (nervus
glosofaringeal) dan juga dari cabang desenden lesser palatine nerves.
A. Tonsil Palatina
Tonsil palatina merupakan suatu massa jaringan limfoid yang terletak di
dalam fossa tonsilaris diantara sudut orofaring antara arcus faring anterior dan
arcus faring posterior. Tonsil palatina tidak selalu mengisi seluruh fossa
tonsilaris, daerah kosong diatasnya dikenal sebagai fossa supratonsilar. Tonsil
palatina terletak di lateral orofaring dibatasi oleh Lateral : muskulus
konstriktor faring superior, Anterior : muskulus palatoglossus, Posterior :
muskulus palatofaringeus, Superior : palatum mole dan Inferior : tonsil
lingual

Permukaan tonsil palatina ditutupi epitel berlapis gepeng yang juga melapisi
invaginasi atau kripti tonsila.Banyak limfanodulus terletak di bawah jaringan
ikat dan tersebar sepanjang kriptus.Limfonoduli terbenam di dalam stroma
jaringan ikat retikular dan jaringan limfatik difus.Limfonoduli merupakan
bagian penting mekanisme pertahanan tubuh yang tersebar di seluruh tubuh
sepanjang jalur pembuluh limfatik.Noduli sering saling menyatu dan
umumnya memperlihatkan pusat germinal.
B. Tonsil Faringeal (adenoid)
Adenoid merupakan masa limfoid yang berlobus dan terdiri dari jaringan
limfoid yang sama dengan yang terdapat pada tonsil. Lobus atau segmen
tersebut tersusun teratur seperti suatu segmen terpisah dari sebuah ceruk
dengan celah atau kantong diantaranya.Lobus ini tersusun mengelilingi
daerah yang lebih rendah di bagian tengah, dikenal sebagai bursa faringeus.
Adenoid tidak mempunyai kriptus. Adenoid terletak di dinding belakang
nasofaring. Jaringan adenoid di nasofaring terutama ditemukan pada dinding
atas dan posterior, walaupun dapat meluas ke fosa Rosenmuller dan orifisium
tuba eustachius.Ukuran adenoid bervariasi pada masing-masing anak. Pada
umumnya adenoid akan mencapai ukuran maksimal antara usia 3-7 tahun
kemudian akan mengalami regresi dan menghilang pada umur 14 tahun.
C. Tonsil Lingual
Tonsil lingual terletak di dasar lidah dan dibagi menjadi dua oleh ligamentum
glosoepiglotika. Di garis tengah, di sebelah anterior massa ini terdapat
foramen sekum pada apeks, yaitu sudut yang terbentuk oleh papilla
sirkumvalata.
2.4 Jenis Teknik Tonsilektomi
Ada beberapa teknik untuk melakukan tonsilektomi. Pada dasarnya,
teknik-teknik ini memiliki prinsip yang sama, hanya alat yang digunakan dan cara
mengatasi komplikasi yang berbeda. Teknik-teknik yang biasa digunakan untuk
melakukan tonsilektomi, antara lain:
1. Cara Guillotine Diperkenalkan pertama kali oleh Philip Physick (1828)
dari Philadelphia, sedangkan cara yang masih digunakan sampai sekarang
adalah modifikasi Sluder. Di negara-negara maju cara ini sudah jarang
digunakan dan di Indonesia cara ini hanya digunakan pada anak-anak dalam
anestesi umum.
Posisi pasien telentang dalam anestesi umum. Operator di sisi kanan berhadapan
dengan pasien. Setelah relaksasi sempurna otot faring dan mulut, mulut difiksasi
dengan pembuka mulut. Lidah ditekan dengan spatula. Untuk tonsil kanan, alat
guillotine dimasukkan ke dalam mulut melalui sudut kiri. Ujung alat diletakkan
diantara tonsil dan pilar posterior, kemudian kutub bawah tonsil dimasukkan ke
dalam Iubang guillotine. Dengan jari telunjuk tangan kiri pilar anterior ditekan
sehingga seluruh jaringan tonsil masuk ke dalam Iubang guillotine. Picu alat
ditekan, pisau akan menutup lubang hingga tonsil terjepit. Setelah diyakini
seluruh tonsil masuk dan terjepit dalam lubang guillotine, dengan bantuan jari,
tonsil dilepaskan dari jaringan sekitarnya dan diangkat keluar. Perdarahan
ditangani.
2. Cara diseksi Cara ini diperkenalkan pertama kali oleh Waugh (1909). 
Cara ini digunakan pada pembedahan tonsil orang dewasa, baik dalam
anestesi umum maupun lokal. Teknik : Bila menggunakan anestesi umum,
posisi pasien terlentang dengan kepala sedikit ekstensi. Posisi operator di
proksimal pasien. Dipasang alat pembuka mulut Boyle-Davis gag. Tonsil
dijepit dengan cunam tonsil dan ditarik ke medial Dengan menggunakan
respatorium/enukleator tonsil, tonsil dilepaskan dari fosanya secara tumpul
sampai kutub bawah dan selanjutnya dengan menggunakan jerat tonsil, tonsil
diangkat. Perdarahan ditangani.
3. Cryogenic tonsillectomy   Tindakan pembedahan tonsil dapat
menggunakan cara cryosurgery yaitu proses pendinginan jaringan tubuh
sehingga terjadi nekrosis. Bahan pendingin yang dipakai adalah freon dan
cairan nitrogen.
4. Electrosterilization of tonsil Merupakan suatu pembedahan dengan cara
koagulasi listrik pada jaringan tonsil (bedah listrik). Alat yang biasanya
digunakan adalah monopolar blade, monopolar suction, dan
monopolar/bipolar diathermy. Pada bedah listrik transfer energi berupa
radiasi elektromagnetik (energi radiofrekuensi) untuk menghasilkan efek pada
jaringan. Frekuensi radio yang digunakan dalam spektrum elektromagnetik
berkisar pada 0.1 hingga 4 MHz. Penggunaan gelombang pada frekuensi ini
mencegah terjadinya gangguan konduksi saraf atau jantung. Pada teknik ini
elektroda tidak menjadi panas, panas dalam jaringan terbentuk karena adanya
aliran baru yang dibuat dari teknik ini. Teknik ini menggunakan listrik 2 arah
(AC) dan pasien termasuk dalam jalur listrik (electrical pathway). Tenaga
listrik dipasang pada kisaran 10 sampai 40 W untuk memotong, menyatukan
atau untuk koagulasi. Bedah listrik merupakan satu-satunya teknik yang dapat
melakukan tindakan memotong dan hemostase dalam satu prosedur. Dapat
pula digunakan sebagai tambahan pada prosedur operasi lain.

2.5 Indikasi dan Kontraindikasi Tonsilektomi


Indikasi tonsilektomi dulu dan sekarang tidak berbeda, namun terdapat
perbedaan prioritas relatif dalam menentukan indikasi tonsilektomi pada saat
ini.Dulu tonsilektomi diindikasikan untuk terapi tonsilitis kronik dan berulang.
Saat ini, indikasi yang lebih utama adalah obstruksi saluran napas dan hipertrofi
tonsil.3 Indikasi tonsilektomi dibagi atas 2 kategori berdasarkan America
Academy of Otolaryngology-Head and Neck Surgery (AAO-HNS), indikasi
absolut dan indikasi relatif.

Table Indikasi tonsilektomi dari Berbagai Sumber


NO SUMBER INDIKASI
.
1. American Academy of Indikasi Absolut
Otolaryngology-Head and  Pembengkakan tonsil yang menyebabkan obstruksi
Neck Surgery (AAO- saluran napas, disfagia berat, gangguan tidur dan
HNS)14 komplikasi kardiopulmoner
 Abses peritonsil yang tidak membaik dengan
pengobatan medis dan drainase
 Tonsilitis yang menimbulkan kejang demam
 Tonsilitis yang membutuhkan biopsi untuk
menentukan patologi anatomi
Indikasi Relatif
 Terjadi 3 episode atau lebih infeksi tonsil per tahun
dengan terapi antibiotik adekuat
 Halitosis akibat tonsilitis kronik yang tidak membaik
dengan pemberian terapi medis
 Tonsilitis kronik atau berulang pada karier
streptokokus yang tidak membaik dengan pemberian
antibiotik β-laktamase resisten
 Hipertrofi tonsil unilateral yang dicurigai merupakan
suatu keganasan.
2. Scottish Intercollegiate Indikasi tonsilektomi pada anak dan dewasa berdasarkan
Guidelines Network55 bukti ilmiah, observasi klinis dan hasil audit klinis dimana
pasien harus memenuhi semua kriteria di bawah:
 Sore throat yang disebabkan oleh tonsilitis
 5 atau lebih episode sore throat per tahun
 Gejala sekurang-sekurangnya dialami selama 1
tahun.
 Keparahan episode sore throat sampai
mengganggu pasien dalam menjalani fungsi
kehidupan normal
3. Evidence Based Medicine  Tonsilitis bakterialis berulang (>4x/tahun). Dengan
Guidelines56 catatan hasil kultur bakteri harus dicantumkan dalam
surat rujukan
 Tonsilitis akut dengan komplikasi: abses peritonsiler,
septikemia. Pasien dengan abses peritonsiler berusia
<40 tahun langsung diterapi dengan tonsilektomi.
 Curiga adanya keganasan (pembesaran asimetri atau
ulserasi)
 Sumbatan jalan napas yang disebabkan tonsil (T3-T3),
sleep apnea, kelainan oklusi gigi
Tonsilitis kronik, merupakan indikasi relatif tonsilektomi.
Tindakan dianjurkan apabila pasien mengalami halitosis,
nyeri tenggorok, gagging, dan keluhan tidak hilang dengan
pengobatan biasa.
4. INSALUD (National Indikasi absolut
Institute of Health)  Kanker tonsil
Spanyol3  Penyumbatan saluran nafas
berat pada rinofaring dengan desaturasi atau retensi
CO2
Indikasi relatif
 Infeksi rekuren dengan
eksudat, dapat dibedakan dengan jelas dari common
cold, dengan 7 atau lebih episode pada tahun ini, atau
5 episode pertahun pada 2 tahun sebelumnya, atau 3
episode pertahun pada 3 tahun sebelumnya.
 Abses peritonsilar
Tidak diindikasikan
 Otitis media akut atau kronik
 Sinusitis akut atau kronik
 Ketulian
 Infeksi saluran nafas atas atau
bawah
 Penyakit sistemik
5. National Health &  Faringitis rekuren
Medical Research Council,  Faringitis kronik
1991 (Australia)3  Obstruksi jalan nafas
 Dugaan neoplasma
6. Henry Ford Medical Berdasarkan hasil literatur review:
Group, 1995 (USA)3  Tonsilitis
 Hipertrofi tonsil
 Experience
7. Infectious Disease Society Berdasarkan hasil literatur review:
of America3  Faringitis streptokokus
rekuren
8. American Academy of Berdasarkan hasil literatur review:
Pediatrics3 Faringitis rekuren

Kontraindikasi
Terdapat beberapa keadaan yang disebutkan sebagai kontraindikasi,
namun bila sebelumnya dapat diatasi, operasi dapat dilaksanakan dengan tetap
memperhitungkan imbang “manfaat dan risiko”. Keadaan tersebut adalah: infeksi
pernapasan bagian atas yang berulang, infeksi sistemik atau kronis, demam yang
tidak diketahui penyebabnya, pembesaran tonsil tanpa gejala-gejala obstruksi
rinits alergika, asma, ketidakmampuan yang umum atau kegagalan untuk tumbuh,
tonus otot yang lemah, sinusitis, risiko anestesi yang besar atau atau penyakit
yang berat, anemia, gangguan perdarahan, infeksi akut yang berat, radang akut
tonsil, albuminuria, hipertensi, poliomielitis epidemic

2.6 Persiapan Praoperasi


Keputusan untuk melakukan operasi tonsilektomi pada seorang pasien
terletak di tangan dokter ahli di bidang ini, yaitu dokter spesialis telinga, hidung
dan tenggorok (THT).Mengingat tonsilektomi umumnya dilakukan di bawah
anestesi umum, maka kondisi kesehatan pasien terlebih dahulu harus dievaluasi
untuk menyatakan kelayakannya menjalani operasi tersebut. Karena sebagian
besar pasien yang menjalani tonsilektomi adalah anak-anak dan sisanya orang
dewasa, diperlukan keterlibatan dan kerjasama dokter spesialis anak dan dokter
spesialis penyakit dalam untuk memberikan penilaian preoperasi terhadap pasien. 6
Konsultasi ini dapat dilakukan baik oleh dokter spesialis THT maupun spesialis
anestesi. Penilaian preoperasi secara umum terdiri dari penilaian klinis yang
diperoleh dari anamsesis, rekam medik dan pemeriksaan fisik.Penilaian
laboratoris dan radiologik kadang dibutuhkan.Sampai saat ini masih terdapat
perbedaan baik di kalangan klinisi maupun institusi pelayanan kesehatan dalam
memilih pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan secara rutin atau atas indikasi
tertentu.Hal ini memiliki dampak pada keselamatan pasien selain meningkatnya
biaya kesehatan yang harus dikeluarkan pasien, pemerintah atau pihak ketiga.
Informed consent perlu diberikan pada pasien sehubung dengan tindakan,
komplikasi, dan risiko yang potensial dialami oleh pasien.Selain itu puasa harus
dilakukan sebelum operasi.Lamanya puasa tergantung pada umur pasien.

Perawatan Postoperasi
Antibiotika postoperasi diberikan oleh kebanyakan dokter bedah. Sebuah
studi randomized oleh Grandis dkk. Menyatakan terdapat hubungan antara
berkurangnya nyeri dan bau mulut pada pasien yang diberikan antibiotika
postoperasi.Antibiotika yang dipilih haruslah antibiotika yang aktif terhadap flora
rongga mulut, biasanya penisilin yang diberikan per oral.Pasien yang menjalani
tonsilektomi untuk infeksi akut atau abses peritonsil atau memiliki riwayat
faringitis berulang akibat streptokokus harus diterapi dengan
antibiotika.Penggunaan antibiotika profilaksis perioperatif harus dilakukan secara
rutin pada pasien dengan kelainan jantung.
Pemberian obat antinyeri berdasarkan keperluan, bagaimanapun juga,
analgesia yang berlebihan bisa menyebabkan berkurangnya intake oral karena
letargi.Selain itu juga bisa menyebabkan bertambahnya pembengkakan di
faring.Sebelum operasi, pasien harus dimotivasi untuk minum secepatnya setelah
operasi selesai untuk mengurangi keluhan pembengkakan faring dan pada akhinya
rasa nyeri.
Dalam hal ini terjadi kontroversi mengenai diet. Belum ada bukti ilmiah
yang secara jelas menyatakan bahwa memberikan pasien diet biasa akan
menyebabkan perdarahan postoperatif. Bagaimanapun juga, pemberian cairan
secara rutin saat pasien bangun dan secara bertahap pindah ke makanan lunak
merupakan standar perawatan.
2.7 Komplikasi
Tonsilektomi merupakan tindakan bedah yang dilakukan dengan anestesi
umum maupun lokal, sehingga komplikasi yang ditimbulkannya merupakan
gabungan komplikasi tindakan bedah dan anestesi. Sekitar 1:15.000 pasien yang
menjalani tonsilektomi meninggal baik akibat perdarahan maupun komplikasi
anestesi dalam 5-7 hari setelah operasi.7
1) Komplikasi anestesi
Komplikasi terkait anestesi terjadi pada 1:10.000 pasien yang menjalani
tonsilektomi dan adenoidektomi (brookwood ent associates).Komplikasi ini
terkait dengan keadaan status kesehatan pasien. Adapun komplikasi yang
dapat ditemukan berupa: laringospasme, gelisah pasca operasi, mual muntah,
kematian saat induksi pada pasien dengan hipovolemi, induksi intravena
dengan pentotal bisa menyebabkan hipotensi dan henti jantung, hipersensitif
terhadap obat anestesi
2) Komplikasi bedah10
 Perdarahan  Merupakan komplikasi tersering (0,1-8,1% dari jumlah
kasus).11Perdarahan dapat terjadi selama operasi, segera sesudah operasi
atau di rumah. Kematian akibat perdarahan terjadi pada 1:35.000 pasien.
Sebanyak 1 dari 100 pasien kembali karena masalah perdarahan dan
dalam jumlah yang sama membutuhkan transfusi darah. Perdarahan yang
terjadi dalam 24 jam pertama dikenal sebagai early bleeding, perdarahan
primer atau “reactionary haemorrage” dengan kemungkinan
penyebabnya adalah hemostasis yang tidak adekuat selama operasi.
Umumnya terjadi dalam 8 jam pertama. Perdarahan primer ini sangat
berbahaya, karena terjadi sewaktu pasien masih dalam pengaruh anestesi
dan refleks batuk belum sempurna. Darah dapat menyumbat jalan napas
sehingga terjadi asfiksia. Perdarahan dapat menyebabkan keadaan
hipovolemik bahkan syok. Perdarahan yang terjadi setelah 24 jam disebut
dengan late/delayed bleeding atau perdarahan sekunder. Umumnya
terjadi pada hari ke 5-10 pascabedah. Perdarahan sekunder ini jarang
terjadi, hanya sekitar 1%. Penyebabnya belum dapat diketahui secara
pasti, bisa karena infeksi sekunder pada fosa tonsilar yang menyebabkan
kerusakan pembuluh darah dan perdarahan dan trauma makanan yang
keras.
 Nyeri  Nyeri pascaoperasi muncul karena kerusakan mukosa dan
serabut saraf glosofaringeus atau vagal, inflamasi dan spasme otot
faringeus yang menyebabkan iskemia dan siklus nyeri berlanjut sampai
otot diliputi kembali oleh mukosa, biasanya 14-21 hari setelah operasi.
Nyeri tenggorok muncul pada hampir semua pasien pascatonsilektomi.
Penggunaan elektrokauter menimbulkan nyeri lebih berat dibandingkan
teknik “cold” diseksi dan teknik jerat. Nyeri pascabedah bisa dikontrol
dengan pemberian analgesik. Jika pasien mengalami nyeri saat menelan,
maka akan terdapat kesulitan dalam asupan oral yang meningkatkan
risiko terjadinya dehidrasi. Bila hal ini tidak dapat ditangani di rumah,
perawatan di rumah sakit untuk pemberian cairan intravena dibutuhkan.
3) Komplikasi lain
Dehidrasi, demam, kesulitan bernapas, gangguan terhadap suara (1:10.000),
aspirasi, otalgia, pembengkakan uvula, insufisiensi velopharingeal, stenosis
faring, lesi di bibir, lidah, gigi dan pneumonia.
BAB III
EMFISEMA SUBKUTIS PASCA TONSILEKTOMI

Emfisema subkutis adalah komplikasi yang jarang terjadi setelah prosedur


di daerah orofaring atau trakeobronkial. Mekanisme patogenik pastinya masih
belum jelas, tetapi ada dua teori utama yang mengenai penyebab terjadinya
emfsema subkutis. Teori pertama menyatakan bahwa penyebab potensial yang
penting adalah prosedur anestesi itu sendiri. Lebih khusus lagi, emfisema dapat
terjadi akibat robekan pada mukosa trakeobronkial atau trauma laring yang terjadi
selama lewatnya tabung endotrakeal, melalui overinflasi pada cuff tabung
endotrakeal, oleh tekanan alveolar yang terlalu tinggi, atau karena kerusakan alat
ventilator selama intubasi. Lapisan bawaan pada mukosa, seperti bula, celah atau
laringokel juga dapat mempengaruhi terjadinya emfisema pasca operasi. Cedera
trakea iatrogenik akibat intubasi orotrakeal jarang terjadi, dengan kejadian sekitar
0,005% ketika tabung endotrakeal dimasukan. Namun, terdapat kasus yang
menggambarkan emfisema subkutan tanpa keterlibatan mediastinum, yang tidak
dapat dengan mudah dijelaskan dengan teori yang disebutkan di atas.
Teori kedua melibatkan robekan mukosa dan otot pada faring dan
masuknya udara ke dalam ruang parapharyngeal. Mekanisme ini melibatkan
struktur yang mengintervensi antara fossa tonsil dan ruang parapharyngeal serta
mediastinum. Kapsul tonsil merupakan bagian dari fasia faringobasilar yang
menutupi bagian dalam dari tonsil dan memanjang ke dalamnya untuk
membentuk septa yang membawa saraf dan pembuluh darah. Jaringan ikat
longgar menempelkan kapsul tonsil, menutupi otot faring, yang memungkinkan
pengangkatan kapsul dengan mudah dari otot superfisial ke faringobasilar faring
di ruang peritonsillar. Namun, pada kasus tonsilitis berulang, perlekatan pada otot
yang mendasari membuat diseksi ekstrakapsular menjadi sulit. Fasia ini menutupi
otot konstriktor superior. Lebih dalam terletak fasia buccopharyngeal, bagian dari
divisi visceral dari lapisan tengah fasia serviks dalam. Fasia buccopharyngeal
memisahkan dinding otot faring dari ruang yang mengelilinginya secara lateral,
menutupi otot konstriktor dan otot buccinator. Kapsul tonsil yang kasar dapat
merusak fasia buccopharyngeal, memungkinkan udara masuk ke dalam ruang
parapharyngeal. Selanjutnya lapisan visceral meluas ke dada di sekitar trakea dan
esofagus. Akibatnya, emfisema dapat meluas ke mediastinum superior,
menyebabkan pneumomediastinum dengan gejala defisiensi pernapasan.
Setelah mempertimbangkan mekanisme patofisiologis yang mendasari,
pertanyaan yang tersisa adalah tindakan apa yang harus dilakukan untuk
mengurangi kemungkinan emfisema subkutan setelah tonsilektomi. Tindakan
pencegahan termasuk pembedahan tonsil secara hati-hati untuk mencegah
kerusakan pada otot parapharyngeal, serta menghindari aktivitas yang
meningkatkan tekanan faring, seperti batuk, muntah, bersin, meniup hidung,
aktivitas fisik, dan ventilasi manual pasca ekstubasi. Diagnosis banding termasuk
penyebab lain pembengkakan leher onset cepat, seperti perdarahan, hematoma dan
reaksi alergi . Kondisi klinis penting lainnya, yang harus dipertimbangkan karena
jarang digambarkan sebagai komplikasi tonsilektomi, adalah necrotizing fasciitis.
Fasciitis nekrotikans adalah infeksi jaringan lunak yang ditandai dengan inflamasi
yang berkembang pesat dan nekrosis jaringan fasia subkutan. Ini memiliki tingkat
kematian yang sangat tinggi karena kedekatannya dengan struktur anatomi vital.
Kurangnya faktor risiko yang relevan, tanda klinis eritema, demam dan nyeri
bengkak, serta temuan laboratorium dan radiologis dapat membantu membedakan
kedua kondisi patologis yang berbeda ini.
Pengobatan emfisema subkutis biasanya konservatif dan mencakup
penilaian kardiopulmoner reguler dan pemberian antibiotik spektrum luas.
Pemberian antibiotik wajib untuk mencegah kontaminasi dan infeksi dari rongga
mulut karena emfisema serviks dapat dikaitkan dengan bakteri yang menyebar di
mediastinum atau perkembangan serviks necrotizing fasciitis. Pemberian oksigen
tambahan dapat meningkatkan penyerapan nitrogen dari udara yang terakumulasi
di rongga emfisematosa. Menghindari peningkatan tekanan dapat mengurangi
terjadinya emfisema setelah tonsilektomi dan pasien harus disarankan untuk
menghindari bersin dengan mulut tertutup, meniup hidung dan aktivitas lain yang
dapat meningkatkan tekanan intratoraks atau intraoral (misalnya manuver
Valsava) sehingga obat-obatan yang menekan batuk dan muntah dapat diresepkan.
Dalam kasus gagal napas, tindakan mengamankan jalan napas dengan intubasi
atau trakeostomi diindikasikan. Dalam kasus yang jarang terjadi, perluasan
mediastinum dari emfisema mungkin memerlukan torakotomi.

BAB III
KESIMPULAN

Tonsilektomi adalah operasi pengangkatan tonsil palatina baik unilateral


maupun bilateral. Tonsiloadenoidektomi adalah pengangkatan tonsil palatina dan
jaringan limfoid di nasofaring yang dikenal sebagai adenoid atau tonsil faringeal. 2
Tonsilektomi merupakan prosedur yang paling sering dilakukan dalam sejarah
operasi.

Dari pembahasan yang telah dilakukan mengenai tonsilektomi, telah


dikatakan banyak sekali kontroversi yang dilaporkan mengenai tonsilektomi.Hal
ini dikarenakan pelaksanaan tonsilektomi dalam jumlah yang tidak tepat
(seharusnya) pada anak-anak pada tahun-tahun yang lalu.Besarnya jumlah ini
karena keyakinan para dokter dan orangtua tentang keuntungan tonsilektomi dan
bukan berdasarkan bukti ilmiah atau studi klinis.Sering kali pembesaran tonsil
jarang merupakan indikasi untuk pengangkatan tonsil. Kebanyakan anak-anak
mempunyai tonsil yang besar, yang ukurannya akan menurun sejalan dengan
pertumbuhan usia.Saat ini walau jumlah operasi tonsilektomi telah mengalami
penurunan bermakna, namun masih menjadi operasi yang paling sering dilakukan.
Sehingga American Academy of Otolaryngology-Head and Neck Surgery telah
mengeluarkan rekomendasi resmi mengenai tindakan tonsilektomi yang
merupakan kesepakatan para ahli.Berdasarkan indikasi dan kontraindikasi serta
mempertimbangkan komplikasi yang dapat terjadi, diharapkan dokter spesialis
THT yang melakukan tonsilektomi dapat lebih selektif dalam memilih pasien.

DAFTAR PUSTAKA

18
1. Eibling DE. Tonsillectomy. In: Myers EN, editor. Operative Otolaryngology
Head and Neck Surgery. Philadelphia: WB Saunders Company 1997.p.186-
97
2. Bailey BJ. Tonsillectomy. In: Bailey BJ, Calhour KH, Friedman NR,
Newlands SD, Vrabec JT, editors. Atlas of Head and Neck Surgery-
Otolaryngology. Philadelphia:Lippincott Williams & Wilkins 2001.2nd
edition.p.327-2- 327-6
3. Younis RT, Lazar RH. History and current practice of tonsillectomy.
Laryngoscope 2002;112:3-5
4. Data operasi Tonsiloadenoidektomi tahun 1999-2003 Bagian THT FKUI-
RSUPNCM.
5. Data operasi Tonsiloadenoidektomi tahun 2002-2004 RS Fatmawati.
6. Rahardjo E, Sunatrio H, Mustafa I, Umbas R, Thayeb U, Windiastuti E, dkk.
Persiapan rutin prabedah elektif. HTA Indonesia 2003
7. Frey RJ. Gale Encyclopedia of Medicine. Published December, 2002 by the
Gale Group
8. Ferrari LR, Vassalo SA. Anesthesia for otolaryngology procedures. In: Cote
CJ, Todres ID, Ryan JF, Goudsouzian NG, editors. A Practice of anesthesia
for infants and children. Philadelphia: WB Saunders Company 2001. 3rd
ed.p.461-67.
9. Joseph MM. Anesthesia for ear, nose, and throat surgery. In: Longnecker DE,
Tinker JH, Morgan GE,editors. Principles and practice of anesthesiology.
London: Mosby 1998.2nd ed.p.2208-10.
10. Adams GL,Penyakit-penyakit nasofaring dan orofaring. Dalam: Adams
GL,Boies buku ajar penyakit THT,Jakarta, Penerbit buku kedokteran EGC
edisi 6, 2008 : 337-40
11. Randal DA, Hoffer ME. Complication of tonsillectomy and adenoidectomy.
Otolaryngol Head Neck Surg 1998;118:61-8

Anda mungkin juga menyukai