Anda di halaman 1dari 20

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI.................................................................................................................i

PENDAHULUAN.........................................................................................................1
1.1 Latar Belakang...............................................................................................1
1.2 Tujuan............................................................................................................2
1.3 Manfaat..........................................................................................................2
BAB II...........................................................................................................................3
TINJAUAN PUSTAKA................................................................................................3
2.1 Definisi..........................................................................................................3
2.2 Anatomi, Fisiologi, dan Histologi Telinga Luar...........................................4
2.2.1 Anatomi dan Fisiologi Telinga Luar.....................................................4
2.2.2 Kulit Meatus aKustikus Eksternus........................................................7
2.3 Etiologi..........................................................................................................8
2.4 Epidemiologi.................................................................................................9
2.5 Patofisiologi.................................................................................................10
2.6 Manifestasi klinik........................................................................................11
2.7 Pemeriksaan Fisik........................................................................................12
2.8 Pemeriksaan penunjang...............................................................................13
2.9 Komplikasi otomikosis................................................................................13
2.10 Tatalaksana..................................................................................................14
2.11 Prognosis.....................................................................................................15
BAB III........................................................................................................................16
KESIMPULAN...........................................................................................................16
3.1 Kesimpulan..................................................................................................16
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................17

i
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Fungi (bahasa latin dari jamur) adalah organism eukariotik, pembawa spora,

hanya sedikit mengandung klorofil, dan bereproduksi baik secara seksual maupun

aseksual. Otomikosis atau Otitis Eksterna yang disebabkan oleh jamur ( fungal otitis

externa ) digambarkan sebagai infeksi akut, subakut maupun kronik oleh jamur yang

menginfeksi epitelskuamosa pada kanalis auditorius eksternus dengan komplikasi

yang jarang melibatkan telingatengah. Walaupun sangat jarang mengancam jiwa,

proses penyakit ini sering menyebabkan keputusasaan baik pada pasien maupun ahli

telinga hidung tenggorok karena lamanya waktuyang diperlukan dalam pengobatan

dan tindak lanjutnya, begitu juga dengan angka rekurensinyayang begitu tinggi

(Murat, et al, 2003)

  Otomikosis adalah suatu bentuk penyakit yang umum ditemukan diseluruh

belahan dunia. Frekuensinya bervariasi tergantung pada perbedaan zona geografik,

faktor lingkungan, dan jugawaktu. Otomikosis adalah satu dari gejala umum yang

sering dijumpai pada klinik-klinik THT dan prevalensinya mencapai 9 % dari

keseluruhan pasien yang menunjukkan gejala dan tanda otitis eksterna. Walaupun

terdapat perdebatan pendapat bahwa jamur sebagai penyebab infeksi, melawan

pendapat lain yang menyatakan adanya koloni berbagai macam spesies sebagai

responhost yang immunocompromise terhadap infeksi bakteri, kebanyakan studi

1
laboratorium dan pengamatan secara klinis mendukung otomikosis sebagai penyebab

patologis yang sebenarnya, dengan Candida dan Aspergillus sebagai spesies jamur

yang terbanyak diperoleh dari isolatnya (Tang, et al, 2006)

  Banyak faktor yang dikemukakan sebagai predisposisi terjadinya otomikosis,

termasuk cuaca yang lembab, adanya serumen, instrumentasi pada telinga, status

pasien yang immunocompromised, dan peningkatan pemakaian preparat steroid dan

antibiotik topikal. Pengobatan yang direkomendasikan meliputi debridement lokal,

penghentian pemakaian antibiotik topikal dan anti jamur lokal atau sistemik. Berikut

ini akan dibahas tentang anatomi telinga itu sendiri, karakteristik, gejala klinis,

faktor-faktor predisposisi, dan komplikasi dari otomikosis, sehingga kita dapat

mendiagnosa dan memberi pengobatan secara cepat dan tepat (Tang, et al, 2006)

1.2 Tujuan

Tujuan referat ini adalah :

1. Untuk mengetahui secara rinci tentang otomikosis

2. Untuk mengetahui cara menegakkan diagnose dan penanganan

3. Untuk mengetahui pemeriksaan penunjang yang di perlukan

1.3 Manfaat

Semoga referat ini dapat berguna bagi penyusun maupun pembaca untuk lebih

mengetahui tentang difinisi, etiologi, faktor penyebab, gejala klinis, komplikasi ,tata

laksana, dan prognosis.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Otomikosis adalah peradangan pada kanalis auditorius eksternus yang

disebabkan oleh jamur. Otomikosis merupakan salah satu jenis infeksi jamur

superfisialis, yang merupakan infeksi jamur yang terbatas pada lapisan terluar kulit,

rambut dan kuku serta membran mukosa dengan penyebab terbanyak adalah

Aspergillus Sp (Barati et al, 2011).

Otomikosis atau otitis eksterna fungi adalah infeksi akut, subakut, dan kronik

pada epitel skuamosa dari kanalis auditorius eksterna oleh ragi dan filamen jamur

(Guitterez et al, 2015). Komplikasinya dapat mencapai ke telinga tengah dan kavitas

terbuka mastoid (Carney, 2008). Meskipun jamur merupakan patogen primer, hal ini

bisa juga dampak dari infeksi kronis dari kanalis eksternus atau telinga tengah (Ho et

al, 2016).

3
2.2 Anatomi, Fisiologi, dan Histologi Telinga Luar

2.2.1 Anatomi dan Fisiologi Telinga Luar

Telinga sebagai indera pendengar terdiri dari tiga bagian yaitu telinga luar,

telinga tengah dan telinga dalam. Struktur anatomi telinga seperti diperlihatkan

pada gambar diatas. Telinga luar terdiri dari daun telinga (auricula), liang telinga

(meatus akustikus eksternus), hingga membrana timpani. Telinga luar berfungsi

menangkap rangsang getaran bunyi atau bunyi dari luar. Daun telinga terdiri atas

tulang rawan elastin dan kulit. Bagian-bagian daun telinga lobula, heliks, anti

heliks, tragus, dan antitragus. Liang telinga atau saluran telinga merupakan

4
saluran yang berbentuk seperti huruf S. Pada 1/3 proksimal memiliki kerangka

tulang rawan dan 2/3 distal memiliki kerangka tulang keras. Meatus akustikus

eksternus mengandung rambut-rambut halus, kelenjar seruminosa dan kelenjar

sebasea. Rambut-rambut halus berfungsi untuk melindungi liang telinga dari

kotoran, debu dan serangga, sementara kelenjar sebasea berfungsi menghasilkan

serumen. Serumen adalah hasil produksi kelenjar sebasea, kelenjar seruminosa, epitel

kulit yang terlepas dan partikel debu. Membran timpani membentu sudut 45 dengan

bidang horizontal dan sagittal, tepi bawah membrane timpani lebih medial dari tepi

atas. Warna membrane timpani adalah putih mengkilat seperti mutiara dengan tinggi

9-10 mm dan lebar 8-9 mm.

Inervasi telinga luar

Persarafan telinga luar bervariasi berupa tumpang tindih antara saraf-

saraf kutaneus dan kranial. Cabang aurikular temporalis dari bagian ketiga saraf

trigeminus (N.V) mensarafi permukaan anterolateral permukaan telinga, dinding

5
anterior dan superior liang telinga dan sekmen depan membrana timpani.

Permukaan posteromedial daun telinga dan lobulus dipersarafin oleh fleksus servikal

saraf aurikularis mayor. Cabang aurikularis dari saraf fasialis (N.VII),

glosfaringeus (N.IX) dan vagus (N.X) menyebar kedaerah konka dan cabang-

cabang saraf ini menyarafi dinding posterior dan inferior liang telinga dan

sekmen posterior dan inperior membrana timpani. Batang saraf utama pada

jaringan subkutan beralan sejajar dengan permukaan kulit.

Vakularisasi telinga luar

Arteri-arteri dari daun telinga dan liang telinga luar berasal dari cabang

temporal superfisial dan aurikular posterior dari arteri karotis eksternal.

ermukaan anterior telinga dan bagian luar liang telinga didarahi oleh cabang

6
aurikular anterior dari arteri temporalis superfisial. Suatu cabang dari arteri aurikular

posterior mendarahi permukaan posterior telinga. Banyak dijumpai anastomosis

diantara cabang-cabang dari arteri ini. Pendarahan kebagian lebih dalam dari

liang telinga luar dan permukaan luar membrana timpani adalah oleh cabang

auricular dalam arteri maksilaris interna. Vena telinga bagian anterior, posterior

dan bagian dalam umumnya bermuara kevena jugularis eksterna dan vena

mastoid. Akan tetapi, beberapa vena telinga mengalir kedalam vena temporalis

superficial dan vena aurikularis posterior.

2.2.2 Kulit Meatus aKustikus Eksternus

Meatus akustikus eksterna memiliki lapisan kulit yang sama dengan lapisan

kulit pada bagian tubuh lainnya yaitu dilapisi epitel skuamosa. Kulit meatus

akustikus eksterna merupakan lanjutan dari kulit daun telinga dan kedalam

meluas menjadi lapisan luar membran timpani. Pada meatus akustikus

eksterna pars kartilagenus tebalnya 0,5 – 1 mm, terdiri dari lapisan epidermis

dengan papillanya, dermis dan subkutan yang merekat dengan perikondrium.

Lapisan kulit meatus akustikus eksterna pars osseus lebih tipis, tebalnya kira-

kira 0,2 mm, tidak mengandung papilla,tidak memiliki rambut dan kelebjar,

melekat erat dengan periosteum tanpa lapisan subkutan dan berlanjut menjadi

lapisan luar dari membran timpani. Epidermis dari laing telinga pars

kartilagenus biasanya terdri dari 4 lapis yaitu sel basal, skuamosa, sel granuler

dan lapisan tanduk. Folikel rambut banyak terdapat pada 1/3 bagian luar

7
meatus akustikus eksterna dan tidak begitu banyak pada 2/3 dalam. Kelenjar

sebasea terletak secara berkelompok pada bagian superficial kulit, dan paling

banyak ditemukan pada 1/3 luar ari meastus akustikus eksterna.

2.3 Etiologi

Faktor predisposisi terjadinya otitis eksterna, dalam hal ini otomikosis,

meliputi ketiadaan serumen, kelembaban yang tinggi, peningkatan temperatur, dan

trauma lokal, yang biasanya sering disebabkan oleh kapas telinga (cotton buds) dan

alat bantu dengar. Serumen sendiri memiliki pH yang berkisar antara 4-5 yang

berfungsi menekan pertumbuhan bakteri dan jamur. Olah raga air misalnya berenang

dan berselancar sering dihubungkan dengan keadaan ini oleh karena paparan ulang

8
dengan air yang menyebabkan keluarnya serumen, dan keringnya kanalis auditorius

eksternus. Bisa juga disebabkan oleh adanya prosedur invasif pada telinga.

Predisposisi yang lain meliputi riwayat menderita eksema, rhinitis allergika, dan

asthma (Lalwani, 2011).

  Infeksi ini disebabkan oleh beberapa spesies dari jamur yang bersifat saprofit,

terutama Aspergillus niger. Agen penye bab lainnya meliputi A. flavus, A. fumigatus,

Allescheria boydii,Scopulariopsis, Penicillium, Rhizopus, Absidia, dan Candida Spp.

Sebagai tambahan, otomikosis dapat merupakan infeksi sekunder dari predisposisi

tertentu misalnya otitis eksterna yang disebabkan bakteri yang diterapi dengan

kortikosteroid dan berenang (Kumar, 2005).

  Banyak faktor yang menjadi penyebab perubahan jamur saprofit ini mejadi

jamur yang patogenik, tetapi bagaimana mekanismenya sampai sekarang belum

diketahui. Beberapa faktor dibawah ini dianggap berperan dalam terjadinya infeksi,

seperti perubahan epitel, peningkatan kadar pH, gangguan kualitatif dan kuantitatif

dari serumen, faktor sistemik (seperti gangguan imun tubuh, kortikosteroid,

antibiotik, sitostatik, neoplasia), faktor lingkungan (panas, kelembaban), riwayat

otomikosis sebelumnya, otitis media supuratif kronik, post mastoidektomi, atau

penggunaan substansi seperti antibiotika spectrum luas pada telinga (Lalwani, 2011).

9
2.4 Epidemiologi

Angka insidensi otomikosis tidak diketahui, tetapi sering terjadi pada daerah

dengan cuaca yang panas, juga pada orang-orang yang senang dengan olah raga air. 1

dari 8 kasus infesi telinga luar disebabkan oleh jamur. 90 % infeksi jamur ini

disebabkan oleh Aspergillus Sp dan selebihnya adalah Candida Sp. Angka prevalensi

Otomikosis ini dijumpai pada 9 % dari seluruh pasien yang mengalami gejala dan

tanda otitis eksterna. Otomikosis ini lebih sering dijumpai pada daerah dengan cuaca

panas, dan banyak literatur menyebutkan otomikosis berasal dari negara tropis dan

subtropis. Di United Kingdom (UK), diagnosis otitis eksterna yangdisebabkan oleh

jamur ini sering ditegakkan pada saat berakhirnya musim panas. Otomikosis dijumpai

lebih banyak pada wanita (terutama ibu rumah tangga) daripada pria. Otomikosis

biasanya terjadi pada dewasa, dan jarang pada anak-anak. Pada penelitian tersebut,

dijumpai otomikosis sering pada remaja laki-laki, yang juga sesuai dengan yang

dilaporkan oleh peneliti lainnya (Satish, 2013).

2.5 Patofisiologi

Keadaan lingkungan dan kondisi tubuh manusia sebagai inang merupakan

bagian dari faktor predisposisi terjadinya otomikosis. Faktor predisposisi tersebut

dapat meliputi ketiadaan serumen, kelembaban yang tinggi, peningkatan temperatur

dan trauma lokal yang biasanya sering disebabkan oleh kapas telinga (cotton buds)

dan alat bantu dengar. Otomikosis juga berkaitan dengan histologi dan fisiologi

10
kanalis auditorius eksternus. Pada interior resesus timpani, bagian medial sampai

isthmus cenderung mengumpulkan sisa keratin dan serumenm dan merupakan area

yang sulit dibersihkan. Terdapat 4 proses yang dapat menyebabkan infeksi pada liang

telinga yaitu obstruksi serumen yang menyebabkan retensi air, hilangnya serumen

akibat pembersihan yang berlebih atau terpapar air terus menerus, trauma, dan

perubahan pH di permukaan liang telinga luar. Selain itu, faktor lain yang

mempengaruhi kemunculan otomikosis seperti faktor sistemik (gangguan imunitas,

penggunaan kortikosteroid, sitostatika, dan neoplasia), riwayat otitis bakterial,

OMSK, dan mastoidektomi radikal sebelumnya. Dermatomikosis di area tubuh lain

juga dapat menjadi faktor predisposisi, karena kemungkinan jamur di bagian tubuh

terinokulasi ke liang telinga luar dan menyebabkan otomikosis. Retensi air

menyebabkan peningkatan kelembapan di permukaan liang telinga luar sehingga

jamur dapat mudah berproliferasi dan tingginya kelembaban juga dapat mengabrasi

epitel sehingga mudah diinvasi oleh jamur. Hilangnya serumen akibat pembersihan

telingan yang berlebihan atau karena terlalu sering terbilas air juga menghilangkan

serumen yang memiliki fungsi proteksi dari jamur dan organisme lainnya sehingga

invasi oleh jamur patogen mudah terjadi di liang telinga luar. Trauma dan perubahan

pH juga menyediakan kondisi terbaik untuk jamur berkembang biak di permukaan

kulit liang telinga luar. Invasi hifa dan spora dari jamur patogen pada kulit liang

telinga luar menyebabkan proses peradangan yang ditandai dengan nyeri, panas,

11
eritema, dan gatal. Hifa yang tumbuh di dalam liang telinga juga menyebabkan rasa

penuh dan tidak nyaman di dalam telinga.

2.6 Manifestasi klinik

Gejala otitis eksterna dengan otomikosis sulit dibedakan. Akan tetapi, pruritus

merupakan gejala yang paling sering didapati pada otomikosis, diikuti dengan rasa

tidak nyaman, penurunan pendengaran, tinnitus, rasa penuh di telinga, otalgia, dan

discharge. Hasil otoskopi seringkali menunjukkan adanya miselia, membantu

menegakkan diagnosis. Liang telinga luar dapat tampak eritem dan debris jamur

dapat tampak putih, abu-abu, atau hitam. Pasien pada umumnya telah berusaha

mengobati dengan antibakteri topikal tetapi tidak mengalami perbaikan. Karakteristik

pemeriksaan fisik berbeda pada tiap jamur. Pada Aspergillus dapat dijumpai hifa dan

spora yang tampak menonjol ke liang telinga sedangkan Candida, karena merupakan

bentuk ragi dan bercampur serumen sehinggal tampak kekuningan. Oleh sebab itu

12
lebih sulit mendiagnosis otomikosis akibat Candida daripada Aspergillus melalui

pemeriksaan fisik saja.

2.7 Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik menggunakan otoskopi ditemukan bentukan jaringan

berwarna putih, abu-abu dan hitam atau seperti keju dan ditemukan adanya tanda-

tanda inflamasi dan exfoliasi, pada telinga luar. Infeksi jamur pada umumnya terlihat

hifa halus dan spora (conidiophores) tampak pada Aspergillus candida, ragi,

myecelium dengan karakteristik putih, ketika bercampur dengan serumen berwarna

kekuningan.

2.8 Pemeriksaan penunjang

Spesimen diambil menggunakan kapas dan dikirim ke laboratorium kurang

dari setengah hingga satu jam untuk pemeriksaan jamur. Spesimen ditempatkan

langsung pada slide untuk pemeriksaan secara langsung. Slide ini akan stabil setelah

dikeringkan dengan panas lembut dan kemudian diwarnai dengan pewarna methylen

blue yang dicampur dengan potassium hidroksida 10% dengan perbandingan 2:1.

Kemudian di observasi menggunakan mikroskop dengan perbesaran 10x dan 40x.

Morfologi dari koloni dapat dibedakan antara yeast-like dan filamentous

fungi. Kebayakan koloni dengan bentukan seperti krim berwarna putih, halus, dan

kasar adalah jamur ragi sedangkan yang jarang adalah yeast-like colonies dari jamur

13
dismorfik. Filamentous fungi cenderung berbentuk seperti debu, helaian, untaian

yang terlihat berwarna putih kuning, hijau, biru kehijauan, hitam, dan lain lain.

2.9 Komplikasi otomikosis

 Komplikasi otomikosis :

o Otitis media serosa

o Perforasi Membran timpani

o External auditory canal osteitis

o Pasien imunocompromise  skull base osteomyelitis atau otitis

externa maligna

2.10 Tatalaksana

Tatalaksana dari otomikosis dibagi menjadi terapi non farmakologi dan terapi

farmakologi. Terapi farmakologi dibagi menjadi dua yaitu terapi simtomatik dan

terapi spesifik.

Terapi non farmakologi dapat dilakukan dengan cara membersihkan telinga

dengan berbagai macam cara antara lain dengan menggunakan lidi kapas atau kapas

yang dililitkan pada aplikator, pengait serumen atau suction, bisa juga dilakukan

irigasi ringan kemudian dikeringkan.

Terapi Farmakologi pada pasien otomikosis dengan membran timpani yang

intak dapat berupa gel,cream dan salep, sedangkan bila membran timpani tidak intak

tidak boleh diberikan karena partikel tersebut dapat menyebabkan peradangan dan

14
perkembangan jaringan granulasi pada telinga tengah. Biasanya digunakan obat-

obatan topikal karena konsentrasi yang diinginkan pada obat di permukaan kulit akan

dicapai tak lama setelah aplikasi (onset cepat), dan konsentrasi yang lebih tinggi dari

anti jamur tersebut pada lokasi yang terinfeksi. Pada pasien otomikosis dapat pula

diberikan terapi simptomatik berupa analgesik untuk mengurangi nyeri pada telinga,

dapat pula diberikan antibiotik untuk mencegah infeksi sekunder, antihistamin juga

dapat diberikan untuk mengurangi keluhan gatal karena adanya jamur.

• Terapi Farmakologis spesifik terdiri dari nistatin adalah antibiotik

makrolida poliena yang menghambat sintesis sterol pada membran

sitoplasma. Azoles adalah agen sintetis yang mengurangi konsentrasi

ergosterol merupakan sterol penting dalam membrane sitoplasma

normal. Klotrimazol yang paling banyak digunakan sebagai azol

topikal tampaknya menjadi salah satu agen terapi yang paling efektif

dalam otomikosis dengan bunga efektifitas 95-100%. Klotrimazol

memiliki efek bakterisid dan hal ini merupakan keuntungan bila

terdapat infeksi campuran dari bakteri dan jamur. Bisa juga diberikan

Salicylic acid 2% in alcohol, ototopical drops with propylene glycol.

2.11 Prognosis

Umumnya baik bila diobati dengan pengobatan yang adekuat. Pada saat terapi

dengan antijamur dimulai, maka akan dimulai suatu proses penyembuhan yang baik

secara imunologis. Resiko kekambuhan sangat tinggi, jika faktor yang menyebabkan

15
infeksi sebenarnya tidak dikoreksi dan fisiologi lingkungan normal dari kanalis

auditorius eksternus masih terganggu.

16
BAB III

KESIMPULAN

3.1 Kesimpulan

Otomikosis adalah peradangan pada kanalis auditorius eksternus yang

disebabkan oleh jamur. Gejala otitis eksterna dengan otomikosis sulit dibedakan.

Akan tetapi, pruritus merupakan gejala yang paling sering didapati pada otomikosis,

diikuti dengan rasa tidak nyaman, penurunan pendengaran, tinnitus, rasa penuh di

telinga, otalgia, dan discharge. Pada pemeriksaan fisik menggunakan otoskopi

ditemukan bentukan jaringan berwarna putih, abu-abu dan hitam atau seperti keju

dan ditemukan adanya tanda-tanda inflamasi dan exfoliasi, pada telinga luar.

Tatalaksana menggunakan klotrimazol (azol) tampaknya menjadi salah satu agen

terapi yang paling efektif dalam otomikosis dengan bunga efektifitas 95-100%.

Klotrimazol memiliki efek bakterisid dan hal ini merupakan keuntungan bila terdapat

infeksi campuran dari bakteri dan jamur. Prognosis dari otomikosis baik apabila

diobati dengan adekuat.

17
DAFTAR PUSTAKA

Anwar,K, Gohar,MS. Otomycosis; clinical features, predisposing factors and


treatment implications. 2014 May-Jun; 30(3): 564–567

Barati B, Okhovvat S A R, Goljanian A, Omrani M R, Otomycosis in Central Iran: a


clinical and mycological study. Iranian Red Crescent Med J,2011, 13(12):
73-76.

Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Ternggorok, Kepala & Leher Edisi Ke 7,
Cetakan Keempat, Tahun 2015. Penerbit: Badan Penerbit FK UI

Carney A S, 2008, Otitis externa and otomycosis. In: Gleeson MJj Jones NS, Clarke
R, et al. (eds). Scott-Brown’s Otolaryngology, Head and Surgery, vol 3,
7th ed., 2011, London: Hodder Arnold Publishers.

Djaafar ZA. 2009. Kelainan telinga tengah. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N, Ed.
Buku Ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok kepala leher. Edisi
ketujuh. Jakarta: FKUI.

Gray, H., 2009. Gray's Anatomy: With original illustrations by Henry Carter.
Arcturus Publishing.

Guitterez P H, Alvarez Sj, Sanudo et al., 2015, Presumed diagnosis: Otomycosis. A


study 451 patients, Acta Otorinolaringol Esp, 56: pp. 81-96.

Ho T, Vrabec JT, Yoo D, Coker NJ, Otomycosis: Clincal feaures and treatment
implications, Otolaryngol-Head Neck Surg, 2016, 135, pp. 78-91.

Ismail, Mohammad. Kafri, Abeer. Ismail, Mazen. Iranian Society of Medical


Mycology and Invasive Fungi Research Center. Otomycosis: Etiology
and clinical features. 2017

Kiakojori, K., Jamnani, N.B., Khafri, S., Pmran, S.M, Assessment of response to
treatment in patients with otomycosis journal of Iranian journal
otorhinolaryngology, NCBI, 2018

18
Kumar A, Funal spectrum in Otomycosis patients, JK science, 2005;7:152-5

Mills JH, Khariwala SS, Weber PC. 2006. Anatomy and physiology of hearing. In:
Bailey JB, Johnson JT. Head and neck surgery otolaryngology. 4th ed,
Vol 2. Philadelphia: Lippincott W, Wilkins.
Murat, K Ozcan, Muge Ozcan, Aydin Karaarslan, & Filiz Karaarslan. (2003).
Otomycosis in Turkey: Predisposing factors, aetiology and therapy. The
Journal of Laryngology and Otology

Netter, Frank H. 2014. Atlas of Human Anatomy Edisi 6. Jakarta: EGC.

Lalwani A K, External & middle ear: Diseases of the external ear. In: Lawani AK
ed. Current diagnosis & treatment, Head & Neck Surgery 2 nd ed., 2011,
Mc Graw Hill’s-Lange, Chapter 47.

Paparella MM, Adams GL, Levine SC. 2012. Penyakit telinga tengah dan mastoid.
Dalam: Effendi H, Santoso K, Ed. BOIES buku ajar penyakit THT Edisi
6. Jakarta: EGC.

Paulsen F. & J. Waschke. 2012. Sobotta Atlas Anatomi Manusia : Kepala, Leher dan
Neuroanatomi. Jakarta : EGC.

Prasad, S.C. et Al. 2014. Primary Otomycosis in the Indian Subcontinent:


Predisposing Factors, Microbiology, and Classification journal of
International Journal of Microbiology, Hindawi.

Satish HS, Viswanatha B, Manjuladevi M. A Clinical Study of Otomycosis. IOSR


Journal of Dental and Medical Sciences 2013; 5 (2):57-62

Tang Ho, Jeffrey T Vrabec, Donald Yoo, Newton J Coker. (2006). Otomycosis :
Clinical featuresand treatment implications. The Journal of
Otolaryngology-Head and neck Surgery

19

Anda mungkin juga menyukai