Referat 2 Makalah
Referat 2 Makalah
REFERAT KEDUA
Oleh:
dr. Sri Wulan Dhari
20/468461/PKU/18968
Pembimbing:
dr. Dian Paramita Wulandari, M.Sc., Sp.T.H.T.K.L (K)
Lembar Pengesahan
Referat Kedua
Komplikasi Tonsiloadenoidektomi
Diajukan oleh:
dr. Sri Wulan Dhari
20/468461/PKU/18968
Pembimbing
Disetujui oleh :
Ketua Program Studi Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Bedah Kepala-Leher
Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan
Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
ii
iii
Daftar Isi
BAB I. Pendahuluan
1.1. Latar Belakang ……………………………………………………………………. 1
1.2. Rumusan Masalah ………………………………………………………………… 2
1.3. Tujuan …………………………………………………………………………….. 2
iii
iv
Daftar Gambar
iv
v
Daftar Tabel
v
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tonsilektomi merupakan prosedur operasi yang praktis dan aman. Tonsilektomi
merupakan prosedur yang paling sering dilakukan dalam sejarah operasi. Pada awal tahun
1960 dan 1970-an, telah dilakukan 1 sampai 2 juta tonsilektomi, adenoidektomi atau
gabungan keduanya setiap tahunnya di Amerika Serikat. Angka ini menunjukkan
penurunan dari waktu ke waktu dimana pada tahun 1996, diperkirakan 287.000 anak-anak
di bawah 15 tahun menjalani tonsilektomi, dengan atau tanpa adenoidektomi. Dari jumlah
ini, 248.000 anak (86,4%) menjalani tonsiloadenoidektomi dan 39.000 lainnya (13,6%)
menjalani tonsilektomi saja. Data nasional di Indonesia mengenai jumlah operasi
tonsilektomi atau adenotonsilektomi belum ada. Namun, data yang didapatkan dari
RSUPNCM selama 5 tahun terakhir (1999-2003) menunjukkan kecenderungan penurunan
jumlah operasi tonsilektomi. Fenomena ini juga terlihat pada jumlah operasi
tonsiloadenoidektomi dengan puncak kenaikan pada tahun kedua (275 kasus) dan terus
menurun sampai tahun 2003 (152 kasus). Sedangkan data dari rumah sakit Fatmawati
dalam 3 tahun terakhir (2002-2004) menunjukkan kecenderungan kenaikan jumlah operasi
tonsilektomi dan penurunan jumlah operasi tonsiloadenoidektomi. Pada dekade terakhir,
tonsilektomi tidak hanya dilakukan untuk tonsilitis berulang, namun juga untuk berbagai
kondisi yang lebih luas termasuk kesulitan makan, kegagalan penambahan berat badan,
halitosis, mendengkur dan gangguan bicara (HTA, 2004).
Tonsilektomi merupakan tindakan bedah yang dilakukan dengan anestesi umum
maupun lokal, sehingga komplikasi yang ditimbulkannya merupakan gabungan komplikasi
tindakan bedah dan anestesi. Sekitar 1:15.000 pasien yang menjalani tonsilektomi
meninggal baik akibat perdarahan maupun komplikasi anestesi dalam 5-7 hari setelah
operasi (Frey, 2002). Ahli bedah harus menyadari potensi komplikasinya dan siap dalam
tata kelola komplikasi yang mungkin terjadi. Perdarahan pasca operasi biasanya berhenti
dengan tindakan lokal atau kauter tetapi dapat mengancam jiwa. Risiko anestesi telah
menurun dengan teknik modern, tetapi risiko jalan napas, aspirasi, dan edema paru masih
mungkin terjadi (Randall dan Hoffer, 1998). Katup nasofaring dapat terganggu akibat
terjadinya inkompetensi velopharyngeal atau stenosis nasofaring. Sakit tenggorokan,
otalgia, demam, dehidrasi, dan edema uvular lebih sering menjadi keluhan pasca operasi.
Perdarahan pasca operasi dibagi menjadi perdarahan primer yang terjadi dalam 24 jam
pertama, dan perdarahan sekunder yang terjadi setelah 24 jam, biasanya pada hari ke 7 sd
1
2
Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah di atas, maka dapat dirumuskan
beberapa hal penting sebagai berikut:
a. Tonsiloadenoidektomi merupakan prosedur operasi yang praktis dan aman yang
umumnya dilakukan pada kondisi tonsilitis/adenoiditis berulang maupun hipertropi
tonsil/adenoid. Namun pada dekade terakhir, tren tonsiloadenoidektomi dilakukan
untuk berbagai kondisi yang lebih luas termasuk gangguan pernapasan saat tidur pada
anak, halitosis, mendengkur dan gangguan bicara.
b. Komplikasi dari tindakan operasi tonsiloadenoidektomi dapat terjadi baik intra operatif
maupun pasca operatif
c. Komplikasi yang terjadi bisa diakibatkan oleh tindakan operasi itu sendiri atau sebagai
akibat resiko anestesi
d. Keluhan pasca operasi tonsiloadenoidektomi umum terjadi dan diperlukan upaya dalam
mengatasi keluhan tersebut
e. Diperlukan pengetahuan yang komprehensif mengenai komplikasi pada
tonsiloadenoidektomi agar operator dapat mengantisipasi komplikasi-komplikasi yang
mungkin terjadi.
1.3 Tujuan
Untuk mengetahui indikasi, prevalensi, komplikasi dan keluhan yang umum terjadi pasca
tindakan operasi tonsiloadenoidektomi. Selain itu juga perlu memahami upaya dalam mengatasi
komplikasi dan keluhan pasca operasi yang tidak diharapkan tersebut.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Tonsil faringeal (Adenoid) dilapisi oleh epitel torak bersilia, terletak pada dinding
posterosuperior nasofaring. Adenoid terletak di dinding belakang nasofaring. Jaringan
4
adenoid di nasofaring terutama ditemukan pada dinding atas dan posterior, walaupun dapat
meluas ke fosa Rosenmuller dan dekat dengan orifisium tuba eustachius, sehingga sering
dikaitkan dengan keluhan-keluhan terkait otalgia. Pada adenoid, terdapat lekukan-lekukan
vertikal dari jaringan limfoid yang dipisahkan oleh celah yang dalam. Adenoid tidak
memiliki kripta dan kapsul seperti tonsil palatina. Adenoid mulai dibentuk pada bulan
ketiga gestasi. Primordia glandular pada posterior faring diinfiltrasi oleh limfosit. Dilapisi
oleh epitel pseudostratifikasi bersilia. Terbentuk sempurna pada bulan ketujuh gestasi
sebagi jaringan berbentuk massa pyramidal tunggal pada dasar posterosuperior permukaan
nasofaring berlipat tanpa kripta yang nyata (Berkovitz dkk, 2009). Adenoid akan
membesar secara fisiologis sejak usia 6 tahun dan kemudian mengalami regresi
hingga menghilang pada usia 20 tahun. Adenoid divaskularisasi oleh cabang dari arteri
karotis eksterna, yaitu arteri fasialis cabang palatina asendens, arteri faringeal
asendens, dan arteri maksilaris. Drainase limfatik adenoid adalah ke dalam nodus
jugularis superior secara langsung atau melalui nodus retrofaringeal dan
parafaringeal.
Tonsil palatina merupakan jaringan limfoid yang berbentuk ovoid, terletak di
dinding lateral orofaring (fossa tonsilaris) antara arkus faring anterior (lipatan otot
palatoglossal) dan arkus faring posterior (lipatan otot palatofaringeal). Tonsil palatina
berbatasan ke superior dengan palatum molle, ke inferior dengan dasar lidah, serta
ke anterior dengan arkus palatoglossal. Tonsil memiliki dua kutub (atas dan bawah)
dan dua permukaan (medial dan lateral). Permukaan epitel tonsil merupakan
kelanjutan dari epitel orofaring. Tonsil (fausial atau palatina) berjumlah sepasang,
merupakan organ yang berbentuk oval yang berlokasi di dinding lateral orofaring, di fossa
tonsilaris diantara plika palatoglosus dan plika palatofaringeus. Tonsila palatina diliputi
oleh selapis tipis epitel yang menjorok masuk ke dalam parenkimnya membentuk kripte-
kripte (Modul Kolegium, 2015). Tonsila palatina mulai terbentuk pada bulan ketiga gestasi.
Tonsil palatina berasal dari faring kedua kantong dan terlihat pada bulan ketujuh
kehamilan. Tonsil berkembang dari kantung faringeal kedua ventral sebagai 8-12 tonjolan
epitel yang tumbuh ke dalam dinding faring, membentuk 10-30 kripta. Cabang kripta
terbentuk pada trimester akhir (Goeringer, et.al, 1987). Struktur anatomi tonsila palatina
terdiri atas beberapa bagian, diantaranya:
a. Kutub atas terdapat lipatan semilunaris yang berada di antara arkus anterior dan
posterior, menyisakan suatu ruang yang disebut fossa supratonsilaris.
5
b. Kutub bawah melekat pada lidah, terdapat lipatan membran mukosa berbentuk segitiga
dari arkus anterior ke bagian anteroinferior dari tonsil dan menyisakan suatu ruang
yang disebut ruang tonsilaris anterior.
c. Permukaan medial terdapat kripta, yaitu invaginasi permukaan epitel berlapis gepeng
tanpa lapisan tanduk yang berbentuk seperti tabung, dapat berisi detritus yang terdiri
dari sel-sel epitel, bakteri, dan sisa-sisa makanan, dan dapat dikeluarkan oleh
tekanan dari arkus faring anterior.
d. Permukaan lateral dilapisi oleh kapsul fibrosa yang terpisah dari dasar tonsil oleh
jaringan ikat longgar sehingga mempermudah diseksi saat tonsilektomi.
e. Bantalan tonsil dibentuk oleh otot konstriktor superior, nervus glossofaringeal, dan otot
stiloglosus. Lateral dari otot konstriktor superior, terdapat arteri fasialis, kelenjar
liur submandibula, otot digastrik sisi posterior, otot pterigoid medial, dan angulus
mandibula. (Gambar 2).
Tonsil lingual terletak pada dasar lidah dan meluas dari foramen cecum sampai ke
epiglottis. Tonsil ini diliputi oleh stratified squamous epithelium dan terpisah dari otot lidah
hanya melalui lapisan jarigan fibrosa. Tonsil ini terdiri dari sejumlah elevasi berbentuk
bulat atau seperti kawah pada bagian tengah jaringan limfoid dimana terdapat bukaan
saluran kelenjar mukosa. Tonsil tuba berada di dinding lateral nasofaring, tepatnya di
sekitar ostium tuba lateral kiri kanan.
Suplai darah tonsil sangat bervariasi, tetapi secara umum disuplai dari arteri
faringeal asenden, palatina asenden, dan cabang dari arteri lingual dan fasial, semua cabang
arteri carotis eksterna. Jarang divaskularisai langsung oleh arteri carotis eksterna itu sendiri.
6
Arteri carotis interna berjalan kira-kira 2 cm di posterolateral dasar tonsil; sehingga pada
waktu pembedahan, harus diperhatikan tempat yang tepat untuk diseksi untuk menghindari
cedera pada pembuluh darah. Tonsila palatina divaskularisasi oleh arteri fasialis cabang
tonsilaris (dari arteri karotis eksterna) sebagai arteri utama, diikuti arteri faringeal asenden,
arteri palatina, arteri lingual cabang dorsal, dan arteri maksilaris cabang palatina desenden
(Gambar 3). Drainase vena dari tonsil adalah ke vena paratonsilaris yang terletak pada
permukaan lateral tonsil dan ke vena fasialis komunis serta pleksus vena faringeal. Pada
adenoid tidak terdapat jaringan limfatik afferen, jaringan limfatik efferen menuju
retrofaring dan nodus cervical profunda superior. Drainase limfatik tonsil adalah ke dalam
nodus jugulodigastrik dari kelompok servikalis profunda superior yang terletak di bawah
angulus mandibula. Saluran limfatik dari tonsil yang utama adalah ke limfonodi cervical
superior dalam dan jugular; dengan demikian penyakit inflamasi dari tonsil merupakan
faktor yang signifikan pada perkembangan abses atau adenitis cervical pada anak-anak.
Tonsil dan adenoid merupakan bagian dari sistem imun sekunder tanpa limfatik aferen.
Adenoid dipersarafi oleh n.glossofaring dan n.vagus (Gambar 4). Nervus sensorik
yang mempersarafi tonsil adalah nervus palatina minor, cabang dari nervus trigeminalis
divisi maksilaris (CN V2), dan nervus glossofaringeal (CN IX).
5) Curiga keganasan
b. Indikasi Relatif
1) Terdapat 7 episode atau lebih infeksi tonsil dalam setahun, 5 episode atau lebih
dalam 2 tahun, dan 3 episode atau lebih dalam 3 tahun.
2) Halitosis atau bau mulut yang persisten.
3) Tonsilitis kronis atau rekuren pada karier streptokokus yang tidak berespons
terhadap terapi medikamentosa.
4) Hipertrofi tonsil unilateral yang dicurigai sebagai keganasan.
Kriteria Definisi
Frekuensi minimal Sedikitnya 7 (tujuh) kali episode tonsilitis yang
episode nyeri tenggorok terdokumentasi selama setahun;
Lebih dari 5 kali episode tonsillitis dalam setahun selama 2
tahun; atau
Lebih dari 3 kali episode dalam setahun selama 3 tahun
Indikasi adenoidektomi selain terkait dengan infeksi pada adenoid, juga dapat
diindikasikan pada beberapa kasus sinusitis atau infeksi telinga. Tabel 2 menunjukkan
beberapa indikasi adenoidektomi (Sataloff, 2016).
Adenoid obstruktif yang besar dapat menyebabkan hyponasal speech (rhinolalia
clausa) yang mungkin membaik setelah adenoidektomi. Namun, pasien dengan hypernasal
11
Davis yang salah (Gambar 6). Ekstubasi yang tidak disengaja saat mengubah posisi kepala dan
juga selama pelepasan blade lidah Doughty's (Gambar 7) adalah hal lain yang biasa ditemui pada
komplikasi anestesi baik pada tonsilektomi konvensional maupun tonsilektomi koablasi.
Komplikasi anestesi dan perdarahan masih merupakan penyebab sebagian besar kematian. Tidak
termasuk penyebab kematian akibat anestesi, kematian yang disebabkan oleh operasi
adenotonsillar sendiri sebaiknya dapat dihindari (Randall dan Hoffer, 1998).
Gambar 7. BladeDoughty
Meskipun tonsiloadenoidektomi merupakan teknik bedah sederhana, beberapa komplikasi
dapat terjadi membahayakan nyawa pasien, dengan diperkirakan 2-5% kejadian komplikasi serius.
Komplikasi dan efek samping yang paling sering adalah nyeri (yang melekat pada tonsilektomi),
13
perdarahan (awal jika terjadi dalam 24 jam, atau terlambat sesudahnya), dan mual atau muntah,
dengan pendarahan dianggap yang paling serius. Kejadian perdarahan yang lebih tinggi pada
pasien yang diagnosis awalnya adalah tonsilitis rekuren. Riwayat abses peritonsillar juga terkait
dengan tingginya kejadian perdarahan pasca tonsilektomi.
Tonsilektomi mungkin memiliki komplikasi yang membahayakan hidup pasien. Angka
kematian berkisar dari 1/10.000 sampai 1/35.000 dengan tingkat morbiditas dari 1,5 hingga 14%,
terutama akibat perdarahan (Cohen D et al. 2008). Sejumlah penelitian menyimpulkan bahwa
perdarahan pasca operasi merupakan komplikasi yang paling relevan untuk ahli bedah dan
membutuhkan rawat inap. Alexander dkk menghitung kematian akibat perdarahan terjadi sebanyak
2/10.000 kasus tonsilektomi, paling banyak pada 24 jam pertama pasca operasi.
Anak-anak di bawah 3 tahun harus tetap dirawat inap karena insiden komplikasi yang lebih
tinggi; Wiatrak et al. menemukan bahwa 7% memiliki komplikasi jalan napas, 4% mengalami
dehidrasi, dan 1,5% mengalami pendarahan. McColley dkk. juga menemukan bahwa anak-anak
dengan polisomnografi gangguan nafas saat tidur terbukti memiliki 23% insiden gangguan
pernapasan pasca operasi yang parah, membutuhkan intervensi, dan mereka memerlukan
pemantauan rawat inap pasca operasi. Richmond dkk. menemukan bahwa 27% pasien dengan
sindrom Down, kelumpuhan otak, retardasi mental, atau kelainan bawaan lainnya memiliki
komplikasi pernapasan.
Insufisiensi velofaring yang signifikan secara klinis terjadi pada 1:1500 hingga 1:3000
pasca operasi adenoidektomi. Untuk insufisiensi velofaring pasca operasi, terapi wicara
diindikasikan bila menetap 2 bulan; operasi pushback palatal atau faring diindikasikan setelah
insufisiensi menetap 6 hingga 12 bulan. Pembedahan dibutuhkan pada 50% kasus yang menetap.
Lima belas persen hingga 28% pasien memiliki sisa tonsil, meskipun hanya 6% yang
mengalami faringitis berulang. Temperatur lebih dari 38,5°C terjadi pada 2,6% hingga 7,1%
pasien. Kennedy dan Storm melaporkan bahwa tonsilektomi dengan anestesi lokal memiliki lima
kali lebih tinggi terjadinya perdarahan dibandingkan dengan penggunaan anestesi umum,
mengurangi perdarahan pasca operasi dan meningkatkan rasa sakit pasca operasi. Laser karbon
dioksida kemungkinan mengurangi nyeri pasca operasi dibandingkan dengan elektrokauter dan
merupakan alat pemotong yang baik tetapi kurang efektif untuk hemostasis.
Selain pendarahan, ada komplikasi lain, beberapa yang dianggap dalam kejadian normal,
seperti: odynophagia, sakit telinga, demam, muntah, cedera velopharyngeal atau insufisiensi
velopalatal.
Komplikasi tonsiloadenoidektomi dapat diklasifikasi menjadi komplikasi perioperatif dan
pasca operasi.
a. Perioperatif.
1) Trauma akibat instrumentasi. Ada potensi cedera pada wajah, mulut, dan tenggorokan dari
instrumen bedah, kauter, dan laser. Draping yang tepat sangat penting.
a) Kerusakan pada gigi dan sudut mulut, diminimalkan dengan penyisipan gag secara
lembut.
b) Kerusakan dinding faring posterior akibat blade lidah
c) Cedera pilar anterior karena insisi mukosa yang buruk
d) Iskemi lidah
e) Hematoma udem uvula, lidah, palatum mole dan nasofaring. Obstruksi jalan nafas
pasca adenoidektomi terjadi akibat udem lidah, palatum mole dan nasofaring
f) Cedera pilar posterior akibat diseksi tumpul kapsul tonsil
g) Dislokasi sendi temporomandibular
h) Hilangnya rasa akibat kompresi papilla oleh blade lidah
i) Luka bakar termal di mulut akibat penggunaan diatermi pada keadaan konsentrasi
oksigen yang tinggi
j) Trauma bola mata. Mata juga harus ditutup kain yang dijepit saat melakukan draping.
Penjepit kain dapat menyebabkan trauma bola mata.
2) Perdarahan primer. Merupakan komplikasi yang paling signifikan. Jumlah pendarahan
selama tonsilektomi bervariasi pada masing-masing pasien, metode bedah dan ahli bedah.
Kehilangan darah rata-rata sekitar 100-120 ml. Faktor yang bertanggung jawab terjadinya
perdarahan primer mungkin karena infeksi baru-baru ini, abses peritonsiler sebelumnya dan
diseksi tumpul intratonsil. Penatalaksanaan perdarahan primer yaitu dengan teknik diseksi
yang hati-hati dan pengikatan semua titik perdarahan, pendarahan berlebihan dikendalikan
dengan kompresi pak pada fosa, menjahit pilar yang dapat dilepas keesokan harinya dengan
membagi jahitan. Pak bahan yang dapat diserap seperti Calgitex atau Gelfoam dapat
digunakan.
15
3) Aspirasi merupakan risiko yang signifikan karena lambung pasien biasanya penuh dengan
darah yang tertelan. Kebanyakan ahli anestesi menggunakan intubasi cepat dalam situasi
ini. Setelah intubasi, jalan napas harus disedot melalui pipa endotrakeal untuk membuang
darah yang tersedot. Lambung dikosongkan dari darah untuk mengurangi risiko muntah
dan aspirasi saat pasien bangun. Trakeostomi mungkin diperlukan jika perdarahan aktif
mencegah intubasi.
b. Pasca operasi
1) Komplikasi immediate
a) Perdarahan reaksioner. Perdarahan reaksioner yaitu perdarahan yang terjadi ketika
tekanan darah mengalami peningkatan lokal, yang membuka dengan paksa pembuluh
darah yang dilapisi oleh sesuatu yang natural maupun artifisial. Sedangkan menurut
Woodruff (1974), perdarahan reaksioner terjadi pada 24 jam setelah terjadinya luka.
Perdarahan ini dapat terjadi karena pergeseran benang jahit atau pergeseran bekuan
darah dan mengakibatkan meningkatnya tekanan darah yang menyebabkan terjadinya
perdarahan. Kemungkinan penyebab perdarahan dapat dikarenakan :
(1) Pelepasan bekuan darah dari lumen pembuluh darah. Bekuan darah nasofaring
atau bekuan coroner. Darah dapat terkumpul dan menggumpal di nasofaring
selama adenoidektomi. Nasofaring harus di-suction dengan jelas sebelum
ekstubasi. Kegagalan suction dapat menyebabkan pelepasan gumpalan darah
tersebut dan terjadi aspirasi ke paru.
(2) Vasodilatasi pembuluh darah mungkin mengalami spasme pada saat operasi.
Perubahan tekanan darah atau kondisi pembuluh darah akibat agen-agen anestesi.
(3) Perdarahan vena pasca operasi, yang mungkin disebabkan oleh tekanan vena
berlebihan yang disebabkan oleh batuk atau muntah.
Dua aspek yang berbahaya :
(1) Selama fase pemulihan dari anestesi, refleks batuk tidak terbentuk sepenuhnya,
maka darah di saluran napas dapat menyebabkan sesak napas pada pasien dengan
oklusi mekanis jalan napas.
(2) Perdarahan, menyebabkan hipovolemia dapat menyebabkan kegagalan sirkulasi
perifer dan kematian.
b) Mual dan muntah. Muntah pasca tonsilektomi dikaitkan dengan beberapa etiologi.
Peningkatan insiden pada :
(1) Jenis kelamin wanita
16
d) Atelektasis paru: Atelektasis paru yang menyebabkan pneumonia, abses paru karena
menghirup darah atau fragmen jaringan tonsil.
e) Endokarditis bakterial subakut (EBAS): Tonsilektomi di katup pasien penyakit jantung
dapat menyebabkan EBAS karena bakteremia sementara
f) Nyeri: Nyeri pasca tonsilektomi adalah manifestasi paling umum pada minggu
pertama.
Penggunaan elektrokauter menimbulkan nyeri lebih berat dibandingkan teknik cold
diseksi dan teknik jerat. Nyeri pascaoperasi muncul karena kerusakan mukosa dan
serabut saraf glosofaringeus atau vagal, inflamasi dan spasme otot faringeus yang
menyebabkan iskemia dan siklus nyeri berlanjut sampai otot diliputi Kembali oleh
mukosa, biasanya 14-21 hari setelah operasi.
g) Nyeri telinga: Nyeri telinga pasca operasi biasanya merupakan nyeri alih dari fossa
tonsilar akibat neuralgia glosofaringeal.
3) Komplikasi tertunda (delayed)
a) Jaringan parut pasca operasi. Trauma instrumentasi akibat hilangnya mukosa pada
palatum mole dapat mengakibatkan jaringan parut di palatum mole sehingga membatasi
mobilitas palatum dan mempengaruhi suara pasien. Stenosis nasofaring terjadi akibat
adanya jaringan parut yang dalam tanpa adanya jaringan otot yang dapat diidentifikasi di
nasofaring, palatum mole, dan pilar anterior dan posterior. Juga terdapat jaringan parut
pada dua tingkat nasofaring. Pertama, ada stenosis choanae, biasanya dengan obliterasi
komplit nasofaring. Kedua, ada juga jaringan parut pada nasorofaring di level palatum
mole dan pilar posterior dengan jaringan parut ke posterior dinding orofaring.
b) Sisa jaringan tonsil. Diseksi yang tidak lengkap dapat meninggalkan sisa tonsil di pole
bawah, menyebabkan infeksi akut berulang dan abses peritonsillar
c) Hipertropi tonsila lingua. Hipertropi tonsil lingual merupakan komplikasi tertunda dan
dapat terjadi sebagai kompensasi hilangnya tonsil palatina.
4) Komplikasi lainnya yang tidak biasa
a) Gangguan Neuromuskular
Operasi adenotonsillar dapat dilakukan pada anak-anak dengan gangguan
neuromuskular, biasanya untuk gejala obstruktif. Gangguan neuromuskular seperti
malformasi Arnold-Chiari, distrofi miotonik, sindrom Down, dan pseudobulbar palsy
meningkatkan risiko, meskipun peningkatannya relatif tidak terukur dengan baik.
Pasien-pasien ini meningkatkan risiko komplikasi pasca operasi dan rawat inap lebih
lama. Grundfast dkk. menemukan bahwa enam dari 13 pasien tersebut mengalami
18
komplikasi termasuk: obstruksi jalan napas atas, atelektasis, dan asupan oral yang buruk.
Rerata lama rawat inap pada kelompok ini yaitu 6.4 hari.
b) Subluksasi Atlantoaxial ( Grisel Syndrome)
Dislokasi tulang cervical (Syndrome Grisel). Dislokasi atlanto-occipital akibat injuri
ligament longitudinal anterior spina merupakan komplikasi yang jarang tejadi. Sepuluh
persen pasien dengan sindrom Down memiliki kelemahan sendi atlantoaxial dan
beresiko subluksasi selama manipulasi leher dan suspensi dengan mouth gag. Pasien
dengan sindrom Down harus melakukan roentgenogram tulang servikal dengan tampilan
fleksi dan ekstensi, yang tidak stabil memerlukan evaluasi bedah saraf pra operasi. Pada
sindrom Grisel dapat terjadi setelah adenoidektomi. Infeksi atau peradangan pada
nasofaring menyebabkan dekalsifikasi korpus vertebral dan kelemahan ligamen
transversal anterior antara aksis dan atlas. Subluksasi spontan terjadi sekitar 1 minggu
setelah operasi, ditandai dengan rasa sakit dan tortikolis. Sipila dkk. melaporkan
kejadian ini setelah anestesi local tonsilektomi, mungkin karena kontaminasi bakteri dari
ruang prevertebral selama injeksi anestesi.
c) Insufisiensi velofaring. Ini terjadi karena penutupan palatum molle yang tidak sempurna
ke dinding faring posterior dan lateral. Beberapa ahli bedah menghilangkan lebih sedikit
jaringan adenoid dengan adanya disfungsi palatum. Insufisiensi velofaring persisten
terjadi pada pasien dengan kelainan palatal. Insufisiensi Velofaringeal (VPI) dapat
terjadi karena adenotonsilektomi, meskipun biasanya hanya berlangsung beberapa
minggu atau bulan. Adenoidektomi merupakan penyebab utama, tetapi tonsilektomi juga
memperbesar jalan nafas nasofaring dan turut berperan juga. Hipernasal (rhinolalia
aperta) dan regurgitasi nasal merupakan gejala utama. Hipernasalitas terutama
melibatkan suara seperti ee, ah, m, n, k, p, s, dan f. Kelompok ini mencakup pasien
dengan gejala sumbing submukosa langit-langit mulut, anomali orofasial seperti
Sindrom Treacher-Collins atau Pierre-Robin, dan gangguan neuromuskular yang
mengganggu fungsi palatal. Ahli bedah harus mencari uvula bifid, zona pellucida (garis
biru) atau raphe median dari palatum mole, dan berbentuk takik V pada palatum durum.
Beberapa ahli bedah merekomendasikan sefalogram lateral pra operasi selama fonasi
pada semua pasien. Nasofaringoskopi harus dilakukan ketika dicurigai kelainan palatum
mole dan menunjukkan pemendekan dan cekung dari palatum mole bila ada sumbing
submucosa. Fluoroskopi menunjukkan gerakan dinding palatal dan faring dan
memberikan informasi yang lebih baik daripada radiografi statis, tetapi lebih jarang
digunakan sejak munculnya nasofaringoskopi fiberoptik.
19
b. Nyeri Telinga
Otalgia sering menyertai sakit tenggorokan. Otalgia dapat terjadi karena nyeri alih,
kemungkinan besar melalui saraf glossofaringeal. Cedera atau edema tuba eustachius dapat
menyebabkan efusi telinga tengah pasca operasi atau otitis media. Telinga harus dievaluasi
untuk menyingkirkan otitis jika ada keluhan sakit telinga.
c. Demam
Demam dapat terlihat dalam 18 hingga 36 jam pertama setelah tonsilektomi dan bisa karena
efek anestesi/atelektasis, stres, dan bakteremia sementara. Temperatur lebih dari 38,5°C terjadi
pada 2,6% hingga 7,1% pasien. Demam meningkatkan kehilangan cairan dan dapat
menyebabkan dehidrasi.
d. Dehidrasi
Beberapa faktor dapat memperburuk dehidrasi. Anestesi umum dan darah yang tertelan dapat
menyebabkan mual dan muntah dan mengganggu hidrasi oral. Emesis dan dehidrasi menunda
pasien pulang atau butuh rawat inap pada 0,1% hingga 0,7% pasien. Rawat inap biasanya
kurang dari 24 jam
e. Uvula
Uvula kadang-kadang teramputasi secara tidak sengaja selama tonsilektomi. Diseksi terlalu
dekat dengan dasar uvular dapat mengganggu drainase limfatik dan vena, menyebabkan edem.
Pembengkakan uvular sering terjadi, dan kadang-kadang perlu dilakukan uvulektomi parsial
untuk pengobatan sensasi disfagia atau globus yang mungkin terjadi. Steroid sistemik dapat
diberikan selama sekitar satu minggu untuk mengurangi edema yang berlebihan.
Perawatan pasca operasi bila dilakukan dengan baik akan membantu mengatasi keluhan
sekaligus mencegah komplikasi pasca operasi yang tidak diinginkan. Perawatan pasca operasi
dapat dilakukan hal-hal berikut ini :
a. Observasi Nadi Rutin : Setiap 15 menit selama 2 jam. Setiap 30 menit selama 2 jam lagi
Perhatikan tanda bahaya meliputi :
1) Peningkatan denyut nadi yang cepat,
2) Pucat dan
3) Muntah darah. Ini harus dianggap serius bila terdapat gumpalan darah. Dalam kasus
perdarahan aktif, pasien harus dipindahkan ke ruang operasi dan sumber perdarahan harus
diligasi.
b. Analgesia pasca operasi - Parenteral atau Oral. Deksametason intraoperatif sekarang secara
rutin diberikan untuk meningkatkan mual dan muntah pasca operasi, serta mengurangi nyeri
pasca operasi dan pembengkakan. Pasien pasca tonsilektomi juga biasanya dipulangkan
24
Tonsiloadenoidektomi merupakan operasi yang aman, tetapi ahli bedah harus menyadari
potensi komplikasinya dan siap dalam tatakelola komplikasi yang mungkin terjadi.
Tonsiloadenoidektomi umumnya dilakukan pada kondisi tonsilitis/adenoiditis berulang maupun
hipertropi tonsil/adenoid. Komplikasi dari tindakan operasi tonsiloadenoidektomi dapat terjadi
baik intra operatif maupun pasca operatif. Komplikasi yang terjadi bisa diakibatkan oleh tindakan
operasi itu sendiri atau sebagai akibat resiko anestesi.
Komplikasi operasi tonsiloadenoidektomi paling sering yaitu perdarahan. Kejadian
perdarahan dapat terjadi intra maupun pasca operasi. Perdarahan yang terjadi dapat berupa
perdarahan primer, reakisioner maupun perdarahan sekunder. Selain pendarahan, ada komplikasi
lain, beberapa yang dianggap dalam kejadian normal, seperti: odynophagia, sakit telinga, demam,
muntah, cedera velopharyngeal atau insufisiensi velopalatal.
Keluhan pasca operasi adenotonsilektomi umum terjadi dan diperlukan upaya dalam
mengatasi keluhan tersebut. Diperlukan pengetahuan yang komprehensif mengenai komplikasi
pada operasi tonsiloadenoidektomi agar operator dapat mengantisipasi komplikasi-komplikasi
yang mungkin terjadi.
25
Referensi
1. Al Sebeih, K.,Hussain, J., Albatineh, A.N. 2018. Postoperative complications following tonsil
and adenoid removal in Kuwaiti children: A retrospective study, Annals of Medicine and
Surgery 35 (2018) 124–128
2. Alexander RJ, Kukreja R, Ford GR. Secondary post-tonsillectomy hemorrhage and informed
consent. J Laryngol Otol 2004;118:937–40.
3. Ashley W.P., James B.S., 2016. Ballenger’s Otorhinolaryngology 18 Head and Neck
Surgery. Department of Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery University of
Pennsylvania, Philadelphia, Pennsylvania Former Director, National Institute on Deafness
and Other Communication Disorders, National Institutes of Health.
4. Bailey, B.J., Johnson, J.T. & Rosen, C.A. 2014. Baileys head and neck surgery -
otolaryngology, Philadelphia: Wolters Kluwer, Lippincott Williams et Wilkins.
6. Caetta, A., Timashpolsky, A., Tominaga, S.M., D’Souza, N., Goldstein, N.A. 2021.
Postoperative respiratory complications after adenotonsillectomy in children with obstructive
sleep apnea. International Journal of Pediatric Otorhinolaryngology 148 (2021) 110835
8. Cullen KA, Hall MJ, Golosinskiy A. 2006. Ambulatory surgery in the United States. Natl
Health Stat Rep 2009;28(11) :1-25.
10. Dhingra P.L, Shruti D., 2014. Disease of Ear Nose and Throat & Head and Neck Surgery 6 th
Edition. Mosby, Saunders, Churchill Livingstone, Butterworth-Heinemann and Hanley &
Belfus are the Health Science imprints of Elsevier.Soldatova, L., Doty, R.L. 2018. Post-
tonsillectomy taste dysfunction: Myth or reality? World Journal of Otorhinolaryngology-Head
and Neck Surgery (2018) 4, 77e83
11. Frey R.J.,2002. Gale Encyclopedia of Medicine. Published December, 2002 by the Gale
Group
12. Gallagher TQ, Wilcox L, McGuire E, Derkay CS. 2010. Analyzing factors associated with
major complications after adenotonsillectomy in 4776 patients: comparing three
tonsillectomy techniques. Otolaryngol Head and Neck Surg 2010:142(6):886-92
13. Goeringer GC, Vidic B. 1987. The embryogenesis and anatomy of Waldeyer’s ring.
Otolaryngol Clin or h Am. 1987;20(2) 207-17.
26
27
14. Har-El G, Nash M. Tonsillectomy and adenoidectomy. Complications in Head and Neck
Surgery. American Academy of Otolaryngology Head and Neck Surgery, 149–172
16. Ikoma R, Sakane S, Niwa K, Kanetaka S, Kawano T, Oridate N. 2014. Risk factors for post-
tonsillectomy hemorrhage. Auris Nasus Larynx 2014;41 (4):376–9.
17. Jessica J.W, Khoon-Yen T. 2018. Post Operative Tonsillectomy Hemorrhage. Emerg Med
Clin N Am-(2018). https://doi.org/10.1016/j.emc.2017.12.009.
18. Kelly LE, Sommer DD, Ramakrishna J, Hoffbauer S, Arbab-tarti S, Reid D, Maclean J, Koren
G. 2015. Morphine or Ibuprofen for Post-Tonsillectomy Analgesia: A Randomized Trial.
Pediatrics (2015) 135 (2): 307–313. https://doi.org/10.1542/peds.2014-1906.
19. Kitaya S, Kikuchi T, Yahata I, Ikeda R, Nomura K, Kawese T, Katori Y. 2019. Risk factors of
Post-Tonsillectomy dysgeusia. Auris Nasus Larynx (2019), https://doi.org/
10.1016/j.anl.2019.07.005
20. Lubszczyk, M., Sopel, A.L., Polaczkiewicz, D. 2018. Facial nerve palsy and laryngospasm as
a complication of local anaesthesia during adenotonsillectomyyngospasm as a complication
of local anaesthesia during adenotonsillectomy. Case report. Auris Nasus Larynx (2018). 2428
21. Moroco, A.E., Saadi, R.A., Wilson, M.N. 2020. Post-tonsillectomy respiratory complications
in children with sleep disordered breathing. International Journal of Pediatric
Otorhinolaryngology 131 (2020) 109852
22. Ohtsuka K, Tomita H, Murakami G. Anatomy of the tonsillar bed: topographical relationship
between the palatine tonsil and the lingual branch of the glossopharyngeal nerve. Acta
Otolaryngol Suppl 2002;99–109.
23. Probst, R., Grevers, G. & Iro, H., 2006. Basic Otorhinolaryngology: a step by step learning
guide; 54 tables, Stuttgart: Thieme.
24. Randal, D.A., Hoffer, M.E. 1998. Complications of tonsillectomy and adenoidectomy.
Otolaryngol Head Neck Surg 1998;118:61-8.
25. Sebastian GP et al. 2019. Immediate and Delayed Complication of Adenotonsillectomy. Int J
Otorhinolaryngol Head Neck Surg. 2019 Jul;5(4):1013-1019.
26. Sonbaty MI, Dahab MA, Mostafa A, Shanab OA. Preemptive peritonsillar ketamine
infiltration: post operative analgesic efficacy versus meperidine. M.E.J. ANESTH.
2011;21(1):43-51.
27. Tiwari, I.B., Keane, T. 1970. Hemifasial palsy after inferior dental block for dental treatment.
Br Med J 1970;1:798
28. Tomita H, Ohtuka K. 2002. Taste disturbance after tonsillectomy. Acta Otolaryngol Suppl
2002: 164-72.
28
30. Torres, B.P.G., Garcia, F.D.M., Orozco, J.W. 2017. Tonsillectomy in adults: Analysis of
indications and complications. Auris Nasus Larynx (2017),
http://dx.doi.org/10.1016/j.anl.2017.08.012
31. Windfuhr, J.P. 2013. Serious Complications following Tonsillectomy: How Frequent Are They
Really? ORL 2013;75:166–173