Anda di halaman 1dari 33

KOMPLIKASI TONSILOADENOIDEKTOMI

REFERAT KEDUA

Oleh:
dr. Sri Wulan Dhari
20/468461/PKU/18968

Pembimbing:
dr. Dian Paramita Wulandari, M.Sc., Sp.T.H.T.K.L (K)

Departemen Telinga, Hidung, Tenggorok, Bedah Kepala-Leher Fakultas Kedokteran, Kesehatan


Masyarakat, dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada,
RSUP Dr. Sardjito
Yogyakarta
2022
ii

Lembar Pengesahan

Referat Kedua

Komplikasi Tonsiloadenoidektomi

Diajukan oleh:
dr. Sri Wulan Dhari
20/468461/PKU/18968

Pembimbing

dr. Dian Paramita Wulandari, M.Sc., Sp.T.H.T.K.L (K) Tanggal :


NIP.198005152008122002

Disetujui oleh :

Ketua Program Studi Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Bedah Kepala-Leher
Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan
Universitas Gadjah Mada Yogyakarta

Dr.dr. Camelia Herdini, M.Kes, Sp.T.H.T.K.L (K) FICS Tanggal :


NIP.197512182008122002

ii
iii

Daftar Isi

Halaman Judul …………………………………………………………………………… i


Lembar Pengesahan ……………………………………………………………………… ii
Daftar Isi …….…………………………………………………………………………… iii
Daftar Gambar …………………………………………………………………………… iv
Daftar Tabel ….…………………………………………………………………………… v

BAB I. Pendahuluan
1.1. Latar Belakang ……………………………………………………………………. 1
1.2. Rumusan Masalah ………………………………………………………………… 2
1.3. Tujuan …………………………………………………………………………….. 2

BAB II. Tinjauan Pustaka


2.1. Anatomi dan Fisiologi Tonsila Palatina dan Adenoid ……………………………. 3
2.2. Indikasi Tonsilektomi dan Adenoidektomi ……………………………………….. 9
2.3. Prevalensi Komplikasi Tonsiloadenoidektomi …………………………….……… 11
2.4. Komplikasi Tonsiloadenoidektomi …………...…………………………………… 13
2.5. Keluhan Umum Pasca Tonsiloadenoidektomi …………………………..………… 21

BAB III. Kesimpulan ……………………………………………………………………. 24


Referensi ………………………………………………………………………………… 25

iii
iv

Daftar Gambar

Gambar 1. Cincin Waldeyer ………………….…………………………………………. 3


Gambar 2. Tonsila palatina dan struktur sekitar ………………………………...………. 5
Gambar 3. Vaskularisasi tonsila palatina ………………………………………………... 6
Gambar 4. Inervasi Tonsil …………………………………………...…………………… 7
Gambar 5. Histologi Tonsil ………………………………………………………………. 8
Gambar 6. Mouth Gag Davis dan Blade …………………………………………………. 12
Gambar 7. BladeDoughty ………………………………………………………………… 12

iv
v

Daftar Tabel

Tabel 1. Kriteria Paradise ………………….…………………………………………. 10


Tabel 2. Indikasi Adenoidektomi …………..………………………………...………. 11

v
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tonsilektomi merupakan prosedur operasi yang praktis dan aman. Tonsilektomi
merupakan prosedur yang paling sering dilakukan dalam sejarah operasi. Pada awal tahun
1960 dan 1970-an, telah dilakukan 1 sampai 2 juta tonsilektomi, adenoidektomi atau
gabungan keduanya setiap tahunnya di Amerika Serikat. Angka ini menunjukkan
penurunan dari waktu ke waktu dimana pada tahun 1996, diperkirakan 287.000 anak-anak
di bawah 15 tahun menjalani tonsilektomi, dengan atau tanpa adenoidektomi. Dari jumlah
ini, 248.000 anak (86,4%) menjalani tonsiloadenoidektomi dan 39.000 lainnya (13,6%)
menjalani tonsilektomi saja. Data nasional di Indonesia mengenai jumlah operasi
tonsilektomi atau adenotonsilektomi belum ada. Namun, data yang didapatkan dari
RSUPNCM selama 5 tahun terakhir (1999-2003) menunjukkan kecenderungan penurunan
jumlah operasi tonsilektomi. Fenomena ini juga terlihat pada jumlah operasi
tonsiloadenoidektomi dengan puncak kenaikan pada tahun kedua (275 kasus) dan terus
menurun sampai tahun 2003 (152 kasus). Sedangkan data dari rumah sakit Fatmawati
dalam 3 tahun terakhir (2002-2004) menunjukkan kecenderungan kenaikan jumlah operasi
tonsilektomi dan penurunan jumlah operasi tonsiloadenoidektomi. Pada dekade terakhir,
tonsilektomi tidak hanya dilakukan untuk tonsilitis berulang, namun juga untuk berbagai
kondisi yang lebih luas termasuk kesulitan makan, kegagalan penambahan berat badan,
halitosis, mendengkur dan gangguan bicara (HTA, 2004).
Tonsilektomi merupakan tindakan bedah yang dilakukan dengan anestesi umum
maupun lokal, sehingga komplikasi yang ditimbulkannya merupakan gabungan komplikasi
tindakan bedah dan anestesi. Sekitar 1:15.000 pasien yang menjalani tonsilektomi
meninggal baik akibat perdarahan maupun komplikasi anestesi dalam 5-7 hari setelah
operasi (Frey, 2002). Ahli bedah harus menyadari potensi komplikasinya dan siap dalam
tata kelola komplikasi yang mungkin terjadi. Perdarahan pasca operasi biasanya berhenti
dengan tindakan lokal atau kauter tetapi dapat mengancam jiwa. Risiko anestesi telah
menurun dengan teknik modern, tetapi risiko jalan napas, aspirasi, dan edema paru masih
mungkin terjadi (Randall dan Hoffer, 1998). Katup nasofaring dapat terganggu akibat
terjadinya inkompetensi velopharyngeal atau stenosis nasofaring. Sakit tenggorokan,
otalgia, demam, dehidrasi, dan edema uvular lebih sering menjadi keluhan pasca operasi.
Perdarahan pasca operasi dibagi menjadi perdarahan primer yang terjadi dalam 24 jam
pertama, dan perdarahan sekunder yang terjadi setelah 24 jam, biasanya pada hari ke 7 sd
1
2

10 pasca operasi. Perdarahan intraoperatif paling sering pada adenoidektomi umumnya


akibat sisa jaringan adenoid (Khalid AS et al., 2018). Komplikasi yang jarang terjadi
diantaranya subluksasi atlantoaksial, fraktur kondilus mandibula, infeksi, cedera tuba
eustachius, dan trauma psikologis. Nyeri menjadi komplikasi dan keluhan pasca operasi
yang paling umum terjadi (Randal DA et al., 1998). Indikasi, prevalensi, komplikasi dan
keluhan pasca tonsiloadenoidektomi akan dibahas lebih lanjut dalam makalah ini.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah di atas, maka dapat dirumuskan
beberapa hal penting sebagai berikut:
a. Tonsiloadenoidektomi merupakan prosedur operasi yang praktis dan aman yang
umumnya dilakukan pada kondisi tonsilitis/adenoiditis berulang maupun hipertropi
tonsil/adenoid. Namun pada dekade terakhir, tren tonsiloadenoidektomi dilakukan
untuk berbagai kondisi yang lebih luas termasuk gangguan pernapasan saat tidur pada
anak, halitosis, mendengkur dan gangguan bicara.
b. Komplikasi dari tindakan operasi tonsiloadenoidektomi dapat terjadi baik intra operatif
maupun pasca operatif
c. Komplikasi yang terjadi bisa diakibatkan oleh tindakan operasi itu sendiri atau sebagai
akibat resiko anestesi
d. Keluhan pasca operasi tonsiloadenoidektomi umum terjadi dan diperlukan upaya dalam
mengatasi keluhan tersebut
e. Diperlukan pengetahuan yang komprehensif mengenai komplikasi pada
tonsiloadenoidektomi agar operator dapat mengantisipasi komplikasi-komplikasi yang
mungkin terjadi.

1.3 Tujuan
Untuk mengetahui indikasi, prevalensi, komplikasi dan keluhan yang umum terjadi pasca
tindakan operasi tonsiloadenoidektomi. Selain itu juga perlu memahami upaya dalam mengatasi
komplikasi dan keluhan pasca operasi yang tidak diharapkan tersebut.
3

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2. 1. Anatomi dan Fisiologi Tonsila Palatina dan Adenoid

Cincin Waldeyer mulai terbentuk di saluran pernapasan selama bulan kelima


kehamilan. Cincin waldeyer terdiri tonsil lingual, adenoid, dan tonsil palatina. Struktur ini
merupakan kombinasi dari epitel, limfoid, dan sel mesenchymal. Kriptus epitel tumbuh
menjadi jaringan ikat epitel, yang kemudian diinfiltrasi oleh sel limfoid pada bulan
keempat kehamilan. Pada bulan ketujuh kehamilan, bantalan adenoid pertama kali terlihat.

Gambar 1. Cincin Waldeyer

Tonsil faringeal (Adenoid) dilapisi oleh epitel torak bersilia, terletak pada dinding
posterosuperior nasofaring. Adenoid terletak di dinding belakang nasofaring. Jaringan
4

adenoid di nasofaring terutama ditemukan pada dinding atas dan posterior, walaupun dapat
meluas ke fosa Rosenmuller dan dekat dengan orifisium tuba eustachius, sehingga sering
dikaitkan dengan keluhan-keluhan terkait otalgia. Pada adenoid, terdapat lekukan-lekukan
vertikal dari jaringan limfoid yang dipisahkan oleh celah yang dalam. Adenoid tidak
memiliki kripta dan kapsul seperti tonsil palatina. Adenoid mulai dibentuk pada bulan
ketiga gestasi. Primordia glandular pada posterior faring diinfiltrasi oleh limfosit. Dilapisi
oleh epitel pseudostratifikasi bersilia. Terbentuk sempurna pada bulan ketujuh gestasi
sebagi jaringan berbentuk massa pyramidal tunggal pada dasar posterosuperior permukaan
nasofaring berlipat tanpa kripta yang nyata (Berkovitz dkk, 2009). Adenoid akan
membesar secara fisiologis sejak usia 6 tahun dan kemudian mengalami regresi
hingga menghilang pada usia 20 tahun. Adenoid divaskularisasi oleh cabang dari arteri
karotis eksterna, yaitu arteri fasialis cabang palatina asendens, arteri faringeal
asendens, dan arteri maksilaris. Drainase limfatik adenoid adalah ke dalam nodus
jugularis superior secara langsung atau melalui nodus retrofaringeal dan
parafaringeal.
Tonsil palatina merupakan jaringan limfoid yang berbentuk ovoid, terletak di
dinding lateral orofaring (fossa tonsilaris) antara arkus faring anterior (lipatan otot
palatoglossal) dan arkus faring posterior (lipatan otot palatofaringeal). Tonsil palatina
berbatasan ke superior dengan palatum molle, ke inferior dengan dasar lidah, serta
ke anterior dengan arkus palatoglossal. Tonsil memiliki dua kutub (atas dan bawah)
dan dua permukaan (medial dan lateral). Permukaan epitel tonsil merupakan
kelanjutan dari epitel orofaring. Tonsil (fausial atau palatina) berjumlah sepasang,
merupakan organ yang berbentuk oval yang berlokasi di dinding lateral orofaring, di fossa
tonsilaris diantara plika palatoglosus dan plika palatofaringeus. Tonsila palatina diliputi
oleh selapis tipis epitel yang menjorok masuk ke dalam parenkimnya membentuk kripte-
kripte (Modul Kolegium, 2015). Tonsila palatina mulai terbentuk pada bulan ketiga gestasi.
Tonsil palatina berasal dari faring kedua kantong dan terlihat pada bulan ketujuh
kehamilan. Tonsil berkembang dari kantung faringeal kedua ventral sebagai 8-12 tonjolan
epitel yang tumbuh ke dalam dinding faring, membentuk 10-30 kripta. Cabang kripta
terbentuk pada trimester akhir (Goeringer, et.al, 1987). Struktur anatomi tonsila palatina
terdiri atas beberapa bagian, diantaranya:
a. Kutub atas terdapat lipatan semilunaris yang berada di antara arkus anterior dan
posterior, menyisakan suatu ruang yang disebut fossa supratonsilaris.
5

b. Kutub bawah melekat pada lidah, terdapat lipatan membran mukosa berbentuk segitiga
dari arkus anterior ke bagian anteroinferior dari tonsil dan menyisakan suatu ruang
yang disebut ruang tonsilaris anterior.
c. Permukaan medial terdapat kripta, yaitu invaginasi permukaan epitel berlapis gepeng
tanpa lapisan tanduk yang berbentuk seperti tabung, dapat berisi detritus yang terdiri
dari sel-sel epitel, bakteri, dan sisa-sisa makanan, dan dapat dikeluarkan oleh
tekanan dari arkus faring anterior.
d. Permukaan lateral dilapisi oleh kapsul fibrosa yang terpisah dari dasar tonsil oleh
jaringan ikat longgar sehingga mempermudah diseksi saat tonsilektomi.
e. Bantalan tonsil dibentuk oleh otot konstriktor superior, nervus glossofaringeal, dan otot
stiloglosus. Lateral dari otot konstriktor superior, terdapat arteri fasialis, kelenjar
liur submandibula, otot digastrik sisi posterior, otot pterigoid medial, dan angulus
mandibula. (Gambar 2).

Gambar 2. Tonsila Palatina dan struktur sekitar

Tonsil lingual terletak pada dasar lidah dan meluas dari foramen cecum sampai ke
epiglottis. Tonsil ini diliputi oleh stratified squamous epithelium dan terpisah dari otot lidah
hanya melalui lapisan jarigan fibrosa. Tonsil ini terdiri dari sejumlah elevasi berbentuk
bulat atau seperti kawah pada bagian tengah jaringan limfoid dimana terdapat bukaan
saluran kelenjar mukosa. Tonsil tuba berada di dinding lateral nasofaring, tepatnya di
sekitar ostium tuba lateral kiri kanan.
Suplai darah tonsil sangat bervariasi, tetapi secara umum disuplai dari arteri
faringeal asenden, palatina asenden, dan cabang dari arteri lingual dan fasial, semua cabang
arteri carotis eksterna. Jarang divaskularisai langsung oleh arteri carotis eksterna itu sendiri.
6

Arteri carotis interna berjalan kira-kira 2 cm di posterolateral dasar tonsil; sehingga pada
waktu pembedahan, harus diperhatikan tempat yang tepat untuk diseksi untuk menghindari
cedera pada pembuluh darah. Tonsila palatina divaskularisasi oleh arteri fasialis cabang
tonsilaris (dari arteri karotis eksterna) sebagai arteri utama, diikuti arteri faringeal asenden,
arteri palatina, arteri lingual cabang dorsal, dan arteri maksilaris cabang palatina desenden
(Gambar 3). Drainase vena dari tonsil adalah ke vena paratonsilaris yang terletak pada
permukaan lateral tonsil dan ke vena fasialis komunis serta pleksus vena faringeal. Pada
adenoid tidak terdapat jaringan limfatik afferen, jaringan limfatik efferen menuju
retrofaring dan nodus cervical profunda superior. Drainase limfatik tonsil adalah ke dalam
nodus jugulodigastrik dari kelompok servikalis profunda superior yang terletak di bawah
angulus mandibula. Saluran limfatik dari tonsil yang utama adalah ke limfonodi cervical
superior dalam dan jugular; dengan demikian penyakit inflamasi dari tonsil merupakan
faktor yang signifikan pada perkembangan abses atau adenitis cervical pada anak-anak.
Tonsil dan adenoid merupakan bagian dari sistem imun sekunder tanpa limfatik aferen.

Gambar 3. Vaskularisasi pada Tonsil Palatina


Saat operasi, umumnya gumpalan darah tidak dikeluarkan untuk mencegah
perdarahan, tetapi aturan ini tidak berlaku untuk operasi tonsil. Setelah tonsilektomi,
gumpalan darah yang ada di fossa tonsilaris akan diangkat. Hal ini dilakukan untuk
mencegah perdarahan pasca operasi karena bekuan darah pada fossa tonsilaris mengganggu
retraksi dinding pembuluh darah dengan mencegah kontraksi otot-otot sekitarnya yaitu
otot-otot yang membentuk batas-batas fossa tonsilaris. Ligasi arteri tonsilar khususnya
arteri tonsilar inferior penting selama tonsilektomi. Selama tonsilektomi, vena paratonsillar
mungkin rusak menyebabkan perdarahan yang berlebihan.
7

Adenoid dipersarafi oleh n.glossofaring dan n.vagus (Gambar 4). Nervus sensorik
yang mempersarafi tonsil adalah nervus palatina minor, cabang dari nervus trigeminalis
divisi maksilaris (CN V2), dan nervus glossofaringeal (CN IX).

Gambar 4. Inervasi Tonsil


Adenoid dilapisi oleh epitel kolumner pseudostratifikatum bersilia yang terlipat
membentuk sejumlah lipatan. Epitel nasofaring dibatasi serangkaian lipatan mukosa, di
sekitar terdapat parenkim limfoid yang tersusun atsa folikel-folikel dan terbagi menjadi 3-4
lobus dengan septa jaringan ikat. Adenoid tumbuh dengan cepat setelah lahir dan biasanya
mengalami involusi dan atrofi dari usia 7-10 tahun. Adenoid jarang terlihat pada orang
dewasa. Tonsil terdiri dari massa folikel limfoid didukung oleh kerangka jaringan ikat.
Limfosit padat di tengah setiap nodul, area yang umumnya disebut sebagai sentrum
germinativum (karena multiplikasi limfosit terjadi disini). Kripta tonsil menembus hampir
seluruh ketebalan tonsil dan membedakannya secara histologis dari organ limfoid lainnya.
Permukaan lumen tonsil dilapisi dengan lapisan epitel skuamosa berlapis nonkeratin dan
berlanjut pada batas orofaring. Involusi tonsil dimulai saat pubertas; pada usia tua, hanya
sedikit jaringan tonsil yang tersisa. Kriptus tonsil mengandung sel-sel dan debris epitel
yang terdeskuamasi. Biasanya, debris ini dibersihkan dari kripta. Jarang, debris-debris ini
tetap berada di dalam kripta, sampai mengeras dan terlihat kuning. Struktur imunologinya
terbagi atas 4 kompartemen yaitu epitel kripte retikuler, area ekstrafolikuler, zona mantel
folikel limfoid dan sentrum germinativum folikel limfoid.
Struktur histologi tonsil sangat erat hubungannya dengan fungsinya sebagai organ
imunologis. Seperti adenoid, tonsil palatina tidak mempunyai limfatik aferen tetapi
mempunyai 10 sampai 30 invaginasi seperti kripte yang cabangnya terletak di dalam
parenkim tonsil dan dihubungkan dengan epitel squamous antigen-processing khusus.
Epitel ini bekerja sebagai sistem imun untuk antigen inhalasi dan ingesti. Epitel kripte
8

mempunyai sistem kompleks sel antigen-processing khusus dan micropores yang


mengirim antigen pada cel limfoid aktif imunologis. Tonsil dan adenoid merupakan
jaringan limfoid utama pada traktus aerodigestivus. Keduanya terlibat dalam imunitas lokal
maupun sistemik. Adenoid juga menjadi target organ pada stimulasi alergi, yang dapat
berakibat terjadinya hipertrofi.

Gambar 5. Histologi Tonsil

Tonsil memiliki beberapa fungsi diantaranya :


a. Pertahanan tubuh: Limfosit T di regio parafolikular menyediakan imunitas selular
terhadap berbagai virus, bakteri, dan jamur. Ketika patogen- patogen masuk ke dalam
jaringan limfoid, mereka akan dihadapkan dengan antibodi-antibodi IgM dan IgG yang
diproduksi oleh sel plasma.
b. Lini pertama traktus aerodigestif: Jaringan limfoid di subepitel orofaring berperan
sebagai lini pertama yang menghalang ‘penyusup’ berbahaya masuk ke saluran
pernafasan dan pencernaan. Kripta pada tonsil memperluas area permukaan untuk
berkontak dengan benda-benda asing.
9

c. Produksi antibodi: Limfosit B pada folikel limfoid memproduksi antibodi IgA.

2.2 Indikasi Tonsilektomi dan Adenoidektomi


Tatalaksana tonsilitis berupa medikamentosa dan operatif berupa tonsilektomi dan
atau adenoidektomi. Antibiotika yang diberikan adalah golongan penisilin masih
merupakan terapi pilihan. Terapi standar untuk tonsilitis akut dengan kecurigaan
streptokokus sebagai organisme penyebab adalah penicillin V selama 10-14 hari. Regimen
ini perlu dilanjutkan minimal 7 hari untuk mencegah komplikasi. Alternatif lain bila pasien
alergi penisilin adalah golongan makrolid atau sefalosporin oral. Indikasi untuk
tonsilektomi bervariasi disepanjang sejarah. Di era pra-antibiotik, tonsilektomi dianggap
sebagai alat terapi yang sangat efektif untuk penyembuhan dan pencegahan komplikasi
infeksi tonsil, mencapai 1,4 juta tonsilektomi di AS hanya dilakukan pada tahun 1949. Tren
ini berlanjut sampai tahun 1970-an, ketika indikasi mulai dipertanyakan, menyebabkan
penurunan jumlah tonsilektomi yang sangat nyata, dari hampir 2 juta yang dilakukan setiap
tahun pada 1960-an hingga 400.000 yang saat ini diadakan di AS (Galindo Torres et al,
2017).
Tonsilektomi didefinisikan sebagai suatu tindakan bedah yang mengangkat
keseluruhan jaringan tonsil palatina, termasuk kapsulnya dengan melakukan diseksi ruang
peritonsiler diantar kapsula tonsil dan dinding muskuler tonsil. Tindakan ini dapat
dilakukan dengan atau tanpa adenoidektomi. Adenoidektomi adalah tindakan pengangkatan
adenoid, dapat dilaksanakan dengan atau tanpa tonsilektomi.
Indikasi tonsilektomi dan adenoidektomi dilakukan bersamaan berbeda pada
kondisi dimana dipertimbangkan hanya dilakukan adenoidektomi saja. Indikasi
pembedahan bervariasi bila dilihat dari kelompok usia. Pada anak yang sangat muda
sebgian besar memiliki asalah obstruksi jalan nafas dan sleep apnea terkait hipertrofi
adenotonsillar, walaupun infeksi kronis turut berperan secara signifikan. Pada usia yang
lebih tua, selain permasalahan obstruksi jalan nafas, lebih dikarenan proses infeksi
diantaranya tonsilitis kronik, faringitis streptokokus kronik rekuren dan abses peritonsillar.
Perlu dicatat bahwa mayoritas operasi tonsilektomi dilakukan secara simultan bersamaan
dengan adenoidektomi.
Pada beberapa kasus, tonsilektomi merupakan pilihan terapi yang dianjurkan.
Indikasi tonsilektomi adalah sebagai berikut :
a. Indikasi Absolut
1) Pembengkakan tonsil menyebabkan disfagia berat, gangguan tidur (OSAS)
10

2) Abses peritonsilaris yang tidak berespon atau rekuren.

3) Tonsilitis yang menimbulkan kejang demam.

4) Keperluan biopsi untuk pemeriksaan patologi.

5) Curiga keganasan

b. Indikasi Relatif

1) Terdapat 7 episode atau lebih infeksi tonsil dalam setahun, 5 episode atau lebih
dalam 2 tahun, dan 3 episode atau lebih dalam 3 tahun.
2) Halitosis atau bau mulut yang persisten.
3) Tonsilitis kronis atau rekuren pada karier streptokokus yang tidak berespons
terhadap terapi medikamentosa.
4) Hipertrofi tonsil unilateral yang dicurigai sebagai keganasan.

Kriteria Paradise juga menjabarkan indikasi tonsilektomi menurut AAO-HNS


Guidelines, 2011 yang ditunjukkan pada tabel 1.
Tabel 1. Kriteria Paradise (AAO-HNS Guidelines, 2011)

Kriteria Definisi
Frekuensi minimal Sedikitnya 7 (tujuh) kali episode tonsilitis yang
episode nyeri tenggorok terdokumentasi selama setahun;
Lebih dari 5 kali episode tonsillitis dalam setahun selama 2
tahun; atau
Lebih dari 3 kali episode dalam setahun selama 3 tahun

Nyeri tenggorok ditambah minimal salah satu dari gambaran


Gambaran klinis berikut ini :
Temperatur lebih dari 38.3 C
Adenopati cervical (limfonodi >2cm)
Eksudat tonsil
Kultur positif untuk Streptokokus grup A beta hemolitikus

Indikasi adenoidektomi selain terkait dengan infeksi pada adenoid, juga dapat
diindikasikan pada beberapa kasus sinusitis atau infeksi telinga. Tabel 2 menunjukkan
beberapa indikasi adenoidektomi (Sataloff, 2016).
Adenoid obstruktif yang besar dapat menyebabkan hyponasal speech (rhinolalia
clausa) yang mungkin membaik setelah adenoidektomi. Namun, pasien dengan hypernasal
11

speech (insufisiensi velopharyngeal /VPI atau rhinolalia aperta) tidak dilakukan


adenoidektomi, karena dapat memperburuk kondisi. Namun, dalam kasus yang jarang,
hipertrofi tonsil yang berlebihan dapat menghambat gerakan palatal, yang dapat
meningkatkan hypernasal speech setelah tonsilektomi.

Tabel 2. Indikasi Adenoidektomi


Infeksi Obstruksi Sleep Apnea atau Sleep Lainnya
disturbance
Adenoiditis purulen Hipertrofi Hipertropi adenoid Suspek
Sinusitis Kronik pada anak-anak adenoid yang terkait dengan : Neoplasia
Hipertropi adenoid terkait dengan : berhubungan Cor pulmonale
Failure to thrive
Otitis media kronik dengan efusi dengan excessive
Dysphagia
Otitis media kronik rekuren akut snoring dan Speech abnormalities
Abnormalitas
Otitis media kronik dengan chronic mouth
pertumbuhan
perforasi breathing craniofacial
Occlusion
Otorrhea atau Chronic tube otorrhea
abnormalities

2.3. Prevalensi Komplikasi Tonsiloadenoidektomi


Insiden penyebab kematian setelah pembedahan adenotonsillar bervariasi. Pada tahun 1946,
Bishop melaporkan bahwa 9% dari semua kematian intraoperatif terjadi selama tonsilektomi.
Kematian akibat prosedur anestesi dilaporkan setinggi 1:1560 di pertengahan abad ini. Laporan
dari tahun 1960-an menggambarkan kejadian 1 kematian dalam 10.000-16.000. Penyebabnya
dilaporkan akibat perdarahan, teknik anestesi yang lebih tua (tanpa intubasi endotrakeal), dan
terlalu sering menggunakan narkotika pasca operasi. Komplikasi akibat anestesi umum sendiri
menurun dari 1:16.000 hingga 1:35.000 kasus. Komplikasi terkait anestesi pada pasien yang
menjalani tonsilektomi dan adenoidektomi terkait dengan laringospasme yang merupakan
penyebab paling umum gangguan jalan nafas atas yang mengarah ke POPE (Post Obstructive
Pulmonary Edem) tipe II. Komplikasi anestesi intraoperatif pada populasi penelitian Sebastian GP
et al., diantaranya yaitu kompresi tabung ET yang merupakan komplikasi paling umum seperti
yang terlihat pada 19 (12,7%) pasien diikuti oleh ekstubasi yang tidak disengaja terlihat pada 10
(6,7%) pasien dan gigi copot terlihat pada 9 (6,0%) pasien. Telah ditemukan bahwa kompresi dan
obstruksi tabung ET menjadi komplikasi tersering karena pemilihan ukuran blade mouth gag
12

Davis yang salah (Gambar 6). Ekstubasi yang tidak disengaja saat mengubah posisi kepala dan
juga selama pelepasan blade lidah Doughty's (Gambar 7) adalah hal lain yang biasa ditemui pada
komplikasi anestesi baik pada tonsilektomi konvensional maupun tonsilektomi koablasi.
Komplikasi anestesi dan perdarahan masih merupakan penyebab sebagian besar kematian. Tidak
termasuk penyebab kematian akibat anestesi, kematian yang disebabkan oleh operasi
adenotonsillar sendiri sebaiknya dapat dihindari (Randall dan Hoffer, 1998).

Gambar 6. Mouth Gag Davis dan Blade

Gambar 7. BladeDoughty
Meskipun tonsiloadenoidektomi merupakan teknik bedah sederhana, beberapa komplikasi
dapat terjadi membahayakan nyawa pasien, dengan diperkirakan 2-5% kejadian komplikasi serius.
Komplikasi dan efek samping yang paling sering adalah nyeri (yang melekat pada tonsilektomi),
13

perdarahan (awal jika terjadi dalam 24 jam, atau terlambat sesudahnya), dan mual atau muntah,
dengan pendarahan dianggap yang paling serius. Kejadian perdarahan yang lebih tinggi pada
pasien yang diagnosis awalnya adalah tonsilitis rekuren. Riwayat abses peritonsillar juga terkait
dengan tingginya kejadian perdarahan pasca tonsilektomi.
Tonsilektomi mungkin memiliki komplikasi yang membahayakan hidup pasien. Angka
kematian berkisar dari 1/10.000 sampai 1/35.000 dengan tingkat morbiditas dari 1,5 hingga 14%,
terutama akibat perdarahan (Cohen D et al. 2008). Sejumlah penelitian menyimpulkan bahwa
perdarahan pasca operasi merupakan komplikasi yang paling relevan untuk ahli bedah dan
membutuhkan rawat inap. Alexander dkk menghitung kematian akibat perdarahan terjadi sebanyak
2/10.000 kasus tonsilektomi, paling banyak pada 24 jam pertama pasca operasi.
Anak-anak di bawah 3 tahun harus tetap dirawat inap karena insiden komplikasi yang lebih
tinggi; Wiatrak et al. menemukan bahwa 7% memiliki komplikasi jalan napas, 4% mengalami
dehidrasi, dan 1,5% mengalami pendarahan. McColley dkk. juga menemukan bahwa anak-anak
dengan polisomnografi gangguan nafas saat tidur terbukti memiliki 23% insiden gangguan
pernapasan pasca operasi yang parah, membutuhkan intervensi, dan mereka memerlukan
pemantauan rawat inap pasca operasi. Richmond dkk. menemukan bahwa 27% pasien dengan
sindrom Down, kelumpuhan otak, retardasi mental, atau kelainan bawaan lainnya memiliki
komplikasi pernapasan.
Insufisiensi velofaring yang signifikan secara klinis terjadi pada 1:1500 hingga 1:3000
pasca operasi adenoidektomi. Untuk insufisiensi velofaring pasca operasi, terapi wicara
diindikasikan bila menetap 2 bulan; operasi pushback palatal atau faring diindikasikan setelah
insufisiensi menetap 6 hingga 12 bulan. Pembedahan dibutuhkan pada 50% kasus yang menetap.
Lima belas persen hingga 28% pasien memiliki sisa tonsil, meskipun hanya 6% yang
mengalami faringitis berulang. Temperatur lebih dari 38,5°C terjadi pada 2,6% hingga 7,1%
pasien. Kennedy dan Storm melaporkan bahwa tonsilektomi dengan anestesi lokal memiliki lima
kali lebih tinggi terjadinya perdarahan dibandingkan dengan penggunaan anestesi umum,

2.4. Komplikasi Tonsilektomi dan Adenoidektomi


Dengan berkembangnya keilmuan teknik anestesi dan bedah, tonsiloadenoidektomi
menjadi prosedur yang lebih aman dibandingkan di masa lalu, namun ada potensi serius untuk
gejala pasca operasi bahkan sampai dengan kematian. Infiltrasi fossa tonsil dengan epinefrin
mengurangi kehilangan darah intraoperatif namun dapat menyebabkan lebih banyak perdarahan
pasca operasi dengan menutupi keadaan hemostatik yang sebenarnya.
Tonsilektomi elektrokauter mengurangi kehilangan darah saat operasi, tetapi tidak
14

mengurangi perdarahan pasca operasi dan meningkatkan rasa sakit pasca operasi. Laser karbon
dioksida kemungkinan mengurangi nyeri pasca operasi dibandingkan dengan elektrokauter dan
merupakan alat pemotong yang baik tetapi kurang efektif untuk hemostasis.
Selain pendarahan, ada komplikasi lain, beberapa yang dianggap dalam kejadian normal,
seperti: odynophagia, sakit telinga, demam, muntah, cedera velopharyngeal atau insufisiensi
velopalatal.
Komplikasi tonsiloadenoidektomi dapat diklasifikasi menjadi komplikasi perioperatif dan
pasca operasi.
a. Perioperatif.
1) Trauma akibat instrumentasi. Ada potensi cedera pada wajah, mulut, dan tenggorokan dari
instrumen bedah, kauter, dan laser. Draping yang tepat sangat penting.
a) Kerusakan pada gigi dan sudut mulut, diminimalkan dengan penyisipan gag secara
lembut.
b) Kerusakan dinding faring posterior akibat blade lidah
c) Cedera pilar anterior karena insisi mukosa yang buruk
d) Iskemi lidah
e) Hematoma udem uvula, lidah, palatum mole dan nasofaring. Obstruksi jalan nafas
pasca adenoidektomi terjadi akibat udem lidah, palatum mole dan nasofaring
f) Cedera pilar posterior akibat diseksi tumpul kapsul tonsil
g) Dislokasi sendi temporomandibular
h) Hilangnya rasa akibat kompresi papilla oleh blade lidah
i) Luka bakar termal di mulut akibat penggunaan diatermi pada keadaan konsentrasi
oksigen yang tinggi
j) Trauma bola mata. Mata juga harus ditutup kain yang dijepit saat melakukan draping.
Penjepit kain dapat menyebabkan trauma bola mata.
2) Perdarahan primer. Merupakan komplikasi yang paling signifikan. Jumlah pendarahan
selama tonsilektomi bervariasi pada masing-masing pasien, metode bedah dan ahli bedah.
Kehilangan darah rata-rata sekitar 100-120 ml. Faktor yang bertanggung jawab terjadinya
perdarahan primer mungkin karena infeksi baru-baru ini, abses peritonsiler sebelumnya dan
diseksi tumpul intratonsil. Penatalaksanaan perdarahan primer yaitu dengan teknik diseksi
yang hati-hati dan pengikatan semua titik perdarahan, pendarahan berlebihan dikendalikan
dengan kompresi pak pada fosa, menjahit pilar yang dapat dilepas keesokan harinya dengan
membagi jahitan. Pak bahan yang dapat diserap seperti Calgitex atau Gelfoam dapat
digunakan.
15

3) Aspirasi merupakan risiko yang signifikan karena lambung pasien biasanya penuh dengan
darah yang tertelan. Kebanyakan ahli anestesi menggunakan intubasi cepat dalam situasi
ini. Setelah intubasi, jalan napas harus disedot melalui pipa endotrakeal untuk membuang
darah yang tersedot. Lambung dikosongkan dari darah untuk mengurangi risiko muntah
dan aspirasi saat pasien bangun. Trakeostomi mungkin diperlukan jika perdarahan aktif
mencegah intubasi.

b. Pasca operasi
1) Komplikasi immediate
a) Perdarahan reaksioner. Perdarahan reaksioner yaitu perdarahan yang terjadi ketika
tekanan darah mengalami peningkatan lokal, yang membuka dengan paksa pembuluh
darah yang dilapisi oleh sesuatu yang natural maupun artifisial. Sedangkan menurut
Woodruff (1974), perdarahan reaksioner terjadi pada 24 jam setelah terjadinya luka.
Perdarahan ini dapat terjadi karena pergeseran benang jahit atau pergeseran bekuan
darah dan mengakibatkan meningkatnya tekanan darah yang menyebabkan terjadinya
perdarahan. Kemungkinan penyebab perdarahan dapat dikarenakan :
(1) Pelepasan bekuan darah dari lumen pembuluh darah. Bekuan darah nasofaring
atau bekuan coroner. Darah dapat terkumpul dan menggumpal di nasofaring
selama adenoidektomi. Nasofaring harus di-suction dengan jelas sebelum
ekstubasi. Kegagalan suction dapat menyebabkan pelepasan gumpalan darah
tersebut dan terjadi aspirasi ke paru.
(2) Vasodilatasi pembuluh darah mungkin mengalami spasme pada saat operasi.
Perubahan tekanan darah atau kondisi pembuluh darah akibat agen-agen anestesi.
(3) Perdarahan vena pasca operasi, yang mungkin disebabkan oleh tekanan vena
berlebihan yang disebabkan oleh batuk atau muntah.
Dua aspek yang berbahaya :
(1) Selama fase pemulihan dari anestesi, refleks batuk tidak terbentuk sepenuhnya,
maka darah di saluran napas dapat menyebabkan sesak napas pada pasien dengan
oklusi mekanis jalan napas.
(2) Perdarahan, menyebabkan hipovolemia dapat menyebabkan kegagalan sirkulasi
perifer dan kematian.
b) Mual dan muntah. Muntah pasca tonsilektomi dikaitkan dengan beberapa etiologi.
Peningkatan insiden pada :
(1) Jenis kelamin wanita
16

(2) Riwayat muntah pasca operasi


(3) Mabuk perjalanan
(4) Riwayat gastroparesis
(5) Obesitas
Faktor pemicu :
(1) Aktivasi kemoreseptor dan mekanoreseptor di orofaring.
(2) Darah tertelan di perut.
(3) Manipulasi intraoperatif menyebabkan :
(a) Stimulasi langsung zona pemicu kemoreseptor di area postrema
(b) Stimulasi saraf trigeminal
(c) Vestibular input ke pusat muntah
c) Edem pulmo. Pasien dengan sindrom Down, kelumpuhan otak, retardasi mental, atau
kelainan bawaan lainnya memiliki komplikasi pernapasan Edem pulmo pertama kali
ditemukan tahun 1977, dan dapat terjadi intraoperatif dan beberapa jam pasca operatif.
Anak-anak dengan gangguan nafas saat tidur, Sindrom Down dan gangguan kongenital
lainnya sebaiknya diobservasi rawat inap, karena memiliki insidensi tinggi terkait
pernafasan setelah operasi.
2) Komplikasi intermediate
a) Perdarahan Sekunder: Perdarahan yang terjadi 24 jam setelah operasi dan klasik dalam
6-8 hari. Perdarahan sekunder yaitu perdarahan setelah adenoidektomi, biasanya diatasi
dengan kompresi nasal pak yang adekuat atau kauter bipolar. Pasien dengan perdarahan
persisten sebaiknya dicek di ruang operasi apakah masih ada sisa jaringan limfoid, bila
masih ada akan mudah dilakukan pengambilan jaringan sisanya agar homeostasis juga
sempurna. Injeksi anestesi lokal peritonsillar intraoperative (dengan atau tanpa
epinefrin) dan pengecatan bismut ke fossa tonsil tidak ditemukan terkait dengan
mengurangi kemungkinan perdarahan. Begitu juga dengan penggunaan antibiotik
perioperatif dan ketorolac (Ziang JY, 2017). Mengenai risiko perdarahan pasca
tonsilektomi, tidak signifikan secara statistic perbedaan terdeteksi pada pasien yang
tonsillar pilar dijahit dibandingkan dengan yang tidak (Torres dkk, 2017).
b) Nekrosis dan hilangnya uvula dapat terjadi akibat kerusakan pasokan arteri.
c) Infeksi fossa tonsil: Pasca operasi, fossa tonsil normal mengandung gumpalan
keputihan yang jarang terinfeksi pada minggu pertama bermanifestasi klinis dengan
demam dan sakit telinga. Jika tidak diobati dapat menyebabkan perdarahan sekunder
yang serius.
17

d) Atelektasis paru: Atelektasis paru yang menyebabkan pneumonia, abses paru karena
menghirup darah atau fragmen jaringan tonsil.
e) Endokarditis bakterial subakut (EBAS): Tonsilektomi di katup pasien penyakit jantung
dapat menyebabkan EBAS karena bakteremia sementara
f) Nyeri: Nyeri pasca tonsilektomi adalah manifestasi paling umum pada minggu
pertama.
Penggunaan elektrokauter menimbulkan nyeri lebih berat dibandingkan teknik cold
diseksi dan teknik jerat. Nyeri pascaoperasi muncul karena kerusakan mukosa dan
serabut saraf glosofaringeus atau vagal, inflamasi dan spasme otot faringeus yang
menyebabkan iskemia dan siklus nyeri berlanjut sampai otot diliputi Kembali oleh
mukosa, biasanya 14-21 hari setelah operasi.
g) Nyeri telinga: Nyeri telinga pasca operasi biasanya merupakan nyeri alih dari fossa
tonsilar akibat neuralgia glosofaringeal.
3) Komplikasi tertunda (delayed)
a) Jaringan parut pasca operasi. Trauma instrumentasi akibat hilangnya mukosa pada
palatum mole dapat mengakibatkan jaringan parut di palatum mole sehingga membatasi
mobilitas palatum dan mempengaruhi suara pasien. Stenosis nasofaring terjadi akibat
adanya jaringan parut yang dalam tanpa adanya jaringan otot yang dapat diidentifikasi di
nasofaring, palatum mole, dan pilar anterior dan posterior. Juga terdapat jaringan parut
pada dua tingkat nasofaring. Pertama, ada stenosis choanae, biasanya dengan obliterasi
komplit nasofaring. Kedua, ada juga jaringan parut pada nasorofaring di level palatum
mole dan pilar posterior dengan jaringan parut ke posterior dinding orofaring.
b) Sisa jaringan tonsil. Diseksi yang tidak lengkap dapat meninggalkan sisa tonsil di pole
bawah, menyebabkan infeksi akut berulang dan abses peritonsillar
c) Hipertropi tonsila lingua. Hipertropi tonsil lingual merupakan komplikasi tertunda dan
dapat terjadi sebagai kompensasi hilangnya tonsil palatina.
4) Komplikasi lainnya yang tidak biasa
a) Gangguan Neuromuskular
Operasi adenotonsillar dapat dilakukan pada anak-anak dengan gangguan
neuromuskular, biasanya untuk gejala obstruktif. Gangguan neuromuskular seperti
malformasi Arnold-Chiari, distrofi miotonik, sindrom Down, dan pseudobulbar palsy
meningkatkan risiko, meskipun peningkatannya relatif tidak terukur dengan baik.
Pasien-pasien ini meningkatkan risiko komplikasi pasca operasi dan rawat inap lebih
lama. Grundfast dkk. menemukan bahwa enam dari 13 pasien tersebut mengalami
18

komplikasi termasuk: obstruksi jalan napas atas, atelektasis, dan asupan oral yang buruk.
Rerata lama rawat inap pada kelompok ini yaitu 6.4 hari.
b) Subluksasi Atlantoaxial ( Grisel Syndrome)
Dislokasi tulang cervical (Syndrome Grisel). Dislokasi atlanto-occipital akibat injuri
ligament longitudinal anterior spina merupakan komplikasi yang jarang tejadi. Sepuluh
persen pasien dengan sindrom Down memiliki kelemahan sendi atlantoaxial dan
beresiko subluksasi selama manipulasi leher dan suspensi dengan mouth gag. Pasien
dengan sindrom Down harus melakukan roentgenogram tulang servikal dengan tampilan
fleksi dan ekstensi, yang tidak stabil memerlukan evaluasi bedah saraf pra operasi. Pada
sindrom Grisel dapat terjadi setelah adenoidektomi. Infeksi atau peradangan pada
nasofaring menyebabkan dekalsifikasi korpus vertebral dan kelemahan ligamen
transversal anterior antara aksis dan atlas. Subluksasi spontan terjadi sekitar 1 minggu
setelah operasi, ditandai dengan rasa sakit dan tortikolis. Sipila dkk. melaporkan
kejadian ini setelah anestesi local tonsilektomi, mungkin karena kontaminasi bakteri dari
ruang prevertebral selama injeksi anestesi.
c) Insufisiensi velofaring. Ini terjadi karena penutupan palatum molle yang tidak sempurna
ke dinding faring posterior dan lateral. Beberapa ahli bedah menghilangkan lebih sedikit
jaringan adenoid dengan adanya disfungsi palatum. Insufisiensi velofaring persisten
terjadi pada pasien dengan kelainan palatal. Insufisiensi Velofaringeal (VPI) dapat
terjadi karena adenotonsilektomi, meskipun biasanya hanya berlangsung beberapa
minggu atau bulan. Adenoidektomi merupakan penyebab utama, tetapi tonsilektomi juga
memperbesar jalan nafas nasofaring dan turut berperan juga. Hipernasal (rhinolalia
aperta) dan regurgitasi nasal merupakan gejala utama. Hipernasalitas terutama
melibatkan suara seperti ee, ah, m, n, k, p, s, dan f. Kelompok ini mencakup pasien
dengan gejala sumbing submukosa langit-langit mulut, anomali orofasial seperti
Sindrom Treacher-Collins atau Pierre-Robin, dan gangguan neuromuskular yang
mengganggu fungsi palatal. Ahli bedah harus mencari uvula bifid, zona pellucida (garis
biru) atau raphe median dari palatum mole, dan berbentuk takik V pada palatum durum.
Beberapa ahli bedah merekomendasikan sefalogram lateral pra operasi selama fonasi
pada semua pasien. Nasofaringoskopi harus dilakukan ketika dicurigai kelainan palatum
mole dan menunjukkan pemendekan dan cekung dari palatum mole bila ada sumbing
submucosa. Fluoroskopi menunjukkan gerakan dinding palatal dan faring dan
memberikan informasi yang lebih baik daripada radiografi statis, tetapi lebih jarang
digunakan sejak munculnya nasofaringoskopi fiberoptik.
19

d) Fraktur Kondilus Mandibula


Beberapa ahli bedah meningkatkan eksposur dengan subluksasi mandibula anterior
selama tonsilektomi dan adenoidektomi. Hal ini mengakibatkan patah tulang kondilus.
e) Infeksi
Bakteremia transien yang disebabkan oleh tonsilektomi dan adenoidektomi perlu
diperhatikan pada pasien yang berisiko endokarditis bakterial dan bagi mereka yang
menggunakan sendi prostetik. Infeksi lokal dan adenitis servikal akibat tonsilektomi
jarang terjadi. Osteomielitis servikal dapat terjadi pada tonsilektomi.
f) Trismus
Tonsilektomi dapat menyebabkan iritasi dan peradangan otot pterigoid yang
mengakibatkan spasme otot dan trismus, seperti pada abses peritonsillar.
g) Pertumbuhan Kembali Jaringan Limfoid
Lima belas persen hingga 28% pasien memiliki sisa tonsil, meskipun hanya 6% yang
mengalami faringitis berulang. Adenoid dapat tumbuh kembali dari jaringan limfoid
yang berdekatan, tetapi ini karena pengangkatan yang tidak bersih.
h) Trauma Tuba Eustachius
Lubang tuba eustachius berdekatan dengan adenoid dan dapat terluka akibat penggunaan
instrument yang tidak hati-hati. Beberapa ahli bedah melakukan kerokan dengan melihat
langsung agar tidak terjadi perlukaan pada tuba eustachius. Trauma tuba eustachius
dapat menyebabkan tuba menyempit dan terjadi otitis media sebagai komplikasinya.
Sekuel termasuk disfungsi tuba eustachius, otitis media kronis dengan efusi, dan tuba
patulous. Komplikasi ini jarang terjadi.
i) Perubahan Imunologi
Tonsil dan adenoid mengandung sel B yang teraktivasi. Pengangkatannya menyebabkan
penurunan sementara imunoglobulin, terutama IgA sekretorik. Dampak dari perubahan
ini tidak signifikan secara klinis dan teori. Pada tahun 1971, Vianna dkk. menjelaskan
peningkatan risiko limfoma Hodgkin pada pasien yang sebelumnya telah menjalani
adenotonsilektomi. Beberapa penelitian selanjutnya menunjukkan bahwa sekitar dua kali
lebih banyak anak-anak yang menjalani tonsilektomi mengalami limfoma Hodgkin,
tetapi tidak ada menunjukkan hubungan kausal apapun. Peningkatan risiko polio setelah
tonsilektomi tidak pernah divalidasi.
j) Cedera Saraf Fasialis
Cedera saraf yang terjadi, lebih sering pada saraf glossopharyngeal dan hypoglossal.
Dilaporkan juga kejadian cedera saraf fasialis, rekuren laring, dan cedera pleksus
20

simpatis. Pneumomediastinum dan emfisema subkutan pasca tonsilektomi dan


adenoidektomi, mungkin disebabkan oleh kebocoran udara melalui fossa tonsil akibat
valsava selama ekstubasi. Pada anak-anak, tonsiloadenoidektomi dilakukan dengan
pembiusan umum dan injeksi anestesi topikal lokal pada area tonsil dengan anestesi
lokal dengan atau tanpa adrenalin. Prosedur ini tidak hanya mengurangi nyeri dan
kehilangan darah intraoperatif, tetapi juga menyederhanakan dan mempercepat prosedur.
Beberapa kasus menyebutkan komplikasi injeksi anestesi pada area peritonsil berupa
parese nervus VII (Lubszczyk, M et al, 2018). Artikel pertama yang menyebutkan efek
anestesi ini tahun 1983, dimana kejadian paralisis satu sisi nervus fasialis terjadi
beberapa menit setelah injeksi pada area peritonsillar, operasi segera dihentikan dan
paralisis sembuh spontar setelah 4 jam. Kasus kedua tahun 2005, anak usia 4 tahun,
injeksi anestesi diberikan di area peritonsillar, dan setelah pasien dikirim ke ruang
resusitasi pasca operasi, pasien mengalami palsy nervus fasialis kanan. Dalam waktu 1
jam parese fasialis sampai pada skor House Brackman grade IV. Setelah 4 jam parese
membaik spontan. Hal ini diduga injeksi yang terlalu dalam ataupun manipulasi area
parafaring yang menggunakan jarum sebaiknya dilakukan secara lembut dan perlahan.
Beberapa mekanisme parese nervus fasialis terkait bius umum dijabarkan dalam literatur
Glauber: membuka mulut menggunakan instrument dalam jangka waktu yang lama dan
menahan rahang dengan keras selama intubasi dapat menyebabkan perese nervus
fasialis. Tiwari dan Keane dalam literatur lain menyebutkan penambahan epinefrin pada
anestesi lokal atau stimulasi jarum pada area parafaring dapat menginduksi respon
vaskular simpatis yang menyebabkan iskemi foramen stilomastoid, menyebabkan parese
nervus fasialis.
k) Disgesia
Wanita dan usia 60 tahun beresiko terjadi disgesia setelah tonsilektomi. Informasi dn
edukasi terkait komplikasi disgesia pasca operasi tonsilektomi (Kitaya S et al, 2019)
sebainya diberikan kepada pasien. Indra pengecap tergantung pada 3 saraf kranial
diantaranya N VII, IX dan X yang menginervasi kedua sisi mukosa oral, faring dan
lingual. Operasi otolaringologi yang dapat menyebabkan disfungsi pengecapan atau
disgesia adalah operasi telinga tengah, laringomikrosurgeri, uvulopalatofaringoplasti dan
tonsillektomi (Tomofuji S et al., 2005). Ada beberapa kemungkinan penyebab gangguan
pengecapan pada tonsilektomi (Tomita H et al., 2002) :
(1) Injuri cabang lingual nervus glossofaringeal saat bagian inferior tonsil dilepas
(2) Tekanan retractor lidah
21

(3) Defisiensi zinc akibat kurangnya intake setelah pembedahan


(4) Efek samping medikasi
Penyebab yang paling memungkinkan yaitu injuri cabang lingual nervus glossofaringeal,
yang membawa serabut gustatori dari sepertiga belakang lidah akibat lesi langsung
(ligase atau peregangan saraf) atau lesi tidak langsung (jaringan parut saraf selama
penyembuhan pasca operasi). Variasi anatomi cabang lingual nervus glosofaring
beresiko injuri selama tonsilektomi. Ohtsuka dkk mengemukakan cabang ini hanya
sebgaian dilindungi oleh serabut otot stilofaring, palatofaring dan konstriktor faring
posterior. Cabang lingual nervus glosofaring berbatasan langsung dengan kapsul tonsil
karena perlindungan sebagian dari otot konstriktor faring menempatkannya bersiko
tinggi terjadi cedera.
l) Komplikasi langka berupa kontraktur faring di area cincin Waldeyer. Sebelumnya
dilaporkan sebagai sekuel dari sipilis. Terutama terkait dengan tonsilektomi dan
adenoidektomi daripada tonsilektomi terpisah atau adenoidektomi, karena prosedur
gabungan menghasilkan area yang lebih besar dan lebih melingkar dari permukaan
faring yang gundul dengan potensi skar kontraktur. Pengangkatan mukosa yang
berlebihan meningkatkan risiko. Dinding posterior faring, pilar tonsil, dan langit-langit
menyatu. Kondisi ini sulit untuk diperbaiki, dan operasi jarang berhasil. McDonald dkk
menjelaskan penggunaan flap mukosa palatal unilateral. Cotton menggunakan flap
berbasis lateral yang terdiri dari: sebagian besar dinding posterior faring untuk
memunculkan kembali area stenotik.

5) Komplikasi lain yang jarang dilaporkan


a) Aspirasi benda asing: Gigi copot, potongan kasa, bola kapas, potongan jaringan tonsil.
Baik ahli bedah maupun ahli anestesi harus memperhatikan masalah gigi pasien. Gigi
yang goyang beresiko terlepas dan aspirasi selama manipulasi operatif. Dapat
diamankan dengan melapisi kasa. Minta ijin untuk mencabut gigi yang benar-benar
goyang. Penempatan mouth gag secara hati-hati mencegah terganggunya gigi. Rontgen
dada sebaiknya dilakukan untuk kecurigaan aspirasi bila terdapat gigi yang lepas selama
operasi.
b) Emfisema mediastinum
c) Kelumpuhan saraf glossopharyngeal
d) Fistula kelenjar ludah dari kelenjar submandibular ke fossa tonsilaris
e) Meningitis dan Abses Otak
22

2.5. Keluhan Umum Pasca Operasi


Keluhan umum pasca operasi menjadi perhatian yang perlu diketahui para ahli bedah. Pada
Sebagian besar pasien pasca operasi tonsiloadenoidektomi keluhan ini umum terjadi dan
membutuhkan perhatian dalam mengatasi keluhan yang ada serta guna mengatasi komplikasi
lanjut dari keluhan tersebut.
a. Nyeri Tenggorok
Nyeri tenggorok terjadi pada hampir semua pasien pasca operasi. Elektrokauter meningkatkan
nyeri pasca operasi dibandingkan diseksi dingin dengan teknik jerat. Tonsilektomi laser KTP
(Kalium Titanyl Phospate) juga menyebabkan nyeri pasca operasi yang berkepanjangan
dibandingkan dengan diseksi dingin / kauter hisap. Penggunaan laser CO2 menghasilkan lebih
sedikit rasa sakit daripada elektrokauter. Ini mungkin karena penurunan kedalaman efek
termal. Kerugian dalam hal ini adalah penurunan hemostatik efektivitas laser ini. Tingkat
keparahan pasca operasi nyeri meningkat seiring bertambahnya usia. Administrasi perioperatif
dan antibiotik pasca operasi ditunjukkan penurunan nyeri pasca operasi terus menerus pada
anak-anak dari rata-rata 4,4 hingga 3,3 hari. Peranan blok peritonsil yang digunakan intra
operatif yang diberikan sebagai tambahan terapi standar pada anestesi general untuk
mengurangi nyeri pasca tonsilektomi masih kontroversial. Keuntungan blok peritonsil intra
operatif antara lain: mengurangi nyeri pasca operasi, penurunan kehilangan darah dan
perdarahan sekunder, serta mempermudah teknik diseksi yang dilakukan selama operasi.
Ketamin 0,2 atau 0,5
mg/kgBB dapat menjadi pilihan utama sebagai obat anestesi yang diberikan. Dimana
ketamin dapat secara tunggal atau dikombinasikan dengan obat anestesi lokal seperti
pehakain atau bupivakain dan analgetik lain untuk mendapatkan hasil yang lebih baik dan
efek samping yang lebih minimal (Sonati MI dkk, 2011). Penelitian Farouk dkk, 2017
menyebutkan bahwa Levobupivacaine atau levobupivacaine + infiltrasi adrenalin ke dalam
fossa tonsil sebelum tonsilektomi pediatrik tidak menyebabkan perubahan nyeri pasca operasi,
waktu untuk asupan oral pertama, jumlah total analgesik yang digunakan dan periode
pemulihan, waktu untuk permintaan analgesik pertama, dan jumlah perdarahan. Berbeda
dengan penelitian Montasir J dkk, 2020. Penelitian tersebut menemukan bahwa infiltrasi
bupivacaine membantu secara signifikan mengurangi rasa sakit yang terkait dengan
tonsilektomi. Tingkat keparahan nyeri pada kelompok bupivakain secara signifikan lebih
rendah daripada di lidokain dan kelompok plasebo (salin normal) pada 4, 8, 12 dan 16 jam
setelah operasi.
23

b. Nyeri Telinga
Otalgia sering menyertai sakit tenggorokan. Otalgia dapat terjadi karena nyeri alih,
kemungkinan besar melalui saraf glossofaringeal. Cedera atau edema tuba eustachius dapat
menyebabkan efusi telinga tengah pasca operasi atau otitis media. Telinga harus dievaluasi
untuk menyingkirkan otitis jika ada keluhan sakit telinga.
c. Demam
Demam dapat terlihat dalam 18 hingga 36 jam pertama setelah tonsilektomi dan bisa karena
efek anestesi/atelektasis, stres, dan bakteremia sementara. Temperatur lebih dari 38,5°C terjadi
pada 2,6% hingga 7,1% pasien. Demam meningkatkan kehilangan cairan dan dapat
menyebabkan dehidrasi.
d. Dehidrasi
Beberapa faktor dapat memperburuk dehidrasi. Anestesi umum dan darah yang tertelan dapat
menyebabkan mual dan muntah dan mengganggu hidrasi oral. Emesis dan dehidrasi menunda
pasien pulang atau butuh rawat inap pada 0,1% hingga 0,7% pasien. Rawat inap biasanya
kurang dari 24 jam
e. Uvula
Uvula kadang-kadang teramputasi secara tidak sengaja selama tonsilektomi. Diseksi terlalu
dekat dengan dasar uvular dapat mengganggu drainase limfatik dan vena, menyebabkan edem.
Pembengkakan uvular sering terjadi, dan kadang-kadang perlu dilakukan uvulektomi parsial
untuk pengobatan sensasi disfagia atau globus yang mungkin terjadi. Steroid sistemik dapat
diberikan selama sekitar satu minggu untuk mengurangi edema yang berlebihan.
Perawatan pasca operasi bila dilakukan dengan baik akan membantu mengatasi keluhan
sekaligus mencegah komplikasi pasca operasi yang tidak diinginkan. Perawatan pasca operasi
dapat dilakukan hal-hal berikut ini :
a. Observasi Nadi Rutin : Setiap 15 menit selama 2 jam. Setiap 30 menit selama 2 jam lagi
Perhatikan tanda bahaya meliputi :
1) Peningkatan denyut nadi yang cepat,
2) Pucat dan
3) Muntah darah. Ini harus dianggap serius bila terdapat gumpalan darah. Dalam kasus
perdarahan aktif, pasien harus dipindahkan ke ruang operasi dan sumber perdarahan harus
diligasi.
b. Analgesia pasca operasi - Parenteral atau Oral. Deksametason intraoperatif sekarang secara
rutin diberikan untuk meningkatkan mual dan muntah pasca operasi, serta mengurangi nyeri
pasca operasi dan pembengkakan. Pasien pasca tonsilektomi juga biasanya dipulangkan
24

dengan obat-obatan golongan opiate, seperti oxycodone atau acetaminophen-oxycodone,


untuk mengontrol rasa sakit untuk minggu pertama setelah operasi, meskipun ada beberapa
data yang menunjukkan bahwa manajemen dengan obat nonopiat mungkin memadai.
Antiinflamasi nonsteroid, khususnya ibuprofen, telah terbukti meningkatkan kontrol nyeri
tanpa meningkatkan risiko perdarahan (Jessica J, 2018)
c. Antibiotik parenteral selama 2 hari, dilanjutkan per oral selama 1 minggu menurunkan
morbiditas.
d. Pasien diletakkan pada posisi Post tonsilektomi (posisi miring ke kiri) memfasilitasi
pengeluaran sekret dari mulut dan tenggorokan, menghindari aspirasi.
e. Pasien disarankan untuk melakukan diet oral lunak pada awalnya diikuti oleh pola makan
biasa.
BAB III
KESIMPULAN

Tonsiloadenoidektomi merupakan operasi yang aman, tetapi ahli bedah harus menyadari
potensi komplikasinya dan siap dalam tatakelola komplikasi yang mungkin terjadi.
Tonsiloadenoidektomi umumnya dilakukan pada kondisi tonsilitis/adenoiditis berulang maupun
hipertropi tonsil/adenoid. Komplikasi dari tindakan operasi tonsiloadenoidektomi dapat terjadi
baik intra operatif maupun pasca operatif. Komplikasi yang terjadi bisa diakibatkan oleh tindakan
operasi itu sendiri atau sebagai akibat resiko anestesi.
Komplikasi operasi tonsiloadenoidektomi paling sering yaitu perdarahan. Kejadian
perdarahan dapat terjadi intra maupun pasca operasi. Perdarahan yang terjadi dapat berupa
perdarahan primer, reakisioner maupun perdarahan sekunder. Selain pendarahan, ada komplikasi
lain, beberapa yang dianggap dalam kejadian normal, seperti: odynophagia, sakit telinga, demam,
muntah, cedera velopharyngeal atau insufisiensi velopalatal.
Keluhan pasca operasi adenotonsilektomi umum terjadi dan diperlukan upaya dalam
mengatasi keluhan tersebut. Diperlukan pengetahuan yang komprehensif mengenai komplikasi
pada operasi tonsiloadenoidektomi agar operator dapat mengantisipasi komplikasi-komplikasi
yang mungkin terjadi.

25
Referensi

1. Al Sebeih, K.,Hussain, J., Albatineh, A.N. 2018. Postoperative complications following tonsil
and adenoid removal in Kuwaiti children: A retrospective study, Annals of Medicine and
Surgery 35 (2018) 124–128

2. Alexander RJ, Kukreja R, Ford GR. Secondary post-tonsillectomy hemorrhage and informed
consent. J Laryngol Otol 2004;118:937–40.

3. Ashley W.P., James B.S., 2016. Ballenger’s Otorhinolaryngology 18 Head and Neck
Surgery. Department of Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery University of
Pennsylvania, Philadelphia, Pennsylvania Former Director, National Institute on Deafness
and Other Communication Disorders, National Institutes of Health.

4. Bailey, B.J., Johnson, J.T. & Rosen, C.A. 2014. Baileys head and neck surgery -
otolaryngology, Philadelphia: Wolters Kluwer, Lippincott Williams et Wilkins.

5. Berkovitz, B.K.B., Holland, G.R.,Moxham,B.J., 2009. Oral Anatomy, Histology, and


Embryologi. New york : Mosby elsevier.

6. Caetta, A., Timashpolsky, A., Tominaga, S.M., D’Souza, N., Goldstein, N.A. 2021.
Postoperative respiratory complications after adenotonsillectomy in children with obstructive
sleep apnea. International Journal of Pediatric Otorhinolaryngology 148 (2021) 110835

7. Cohen D, Dor M. Morbidity and mortality of post-tonsillectomy bleeding: analysis of cases. J


Laryngol Otol 2008;122:88–92.

8. Cullen KA, Hall MJ, Golosinskiy A. 2006. Ambulatory surgery in the United States. Natl
Health Stat Rep 2009;28(11) :1-25.

9. Deitmer T, Neuwirth C. 2010. 105 Cases of post-tonsillectomy hemorrhage revisited.


Laryngorhinootologie 2010;89:424–8.

10. Dhingra P.L, Shruti D., 2014. Disease of Ear Nose and Throat & Head and Neck Surgery 6 th
Edition. Mosby, Saunders, Churchill Livingstone, Butterworth-Heinemann and Hanley &
Belfus are the Health Science imprints of Elsevier.Soldatova, L., Doty, R.L. 2018. Post-
tonsillectomy taste dysfunction: Myth or reality? World Journal of Otorhinolaryngology-Head
and Neck Surgery (2018) 4, 77e83

11. Frey R.J.,2002. Gale Encyclopedia of Medicine. Published December, 2002 by the Gale
Group

12. Gallagher TQ, Wilcox L, McGuire E, Derkay CS. 2010. Analyzing factors associated with
major complications after adenotonsillectomy in 4776 patients: comparing three
tonsillectomy techniques. Otolaryngol Head and Neck Surg 2010:142(6):886-92

13. Goeringer GC, Vidic B. 1987. The embryogenesis and anatomy of Waldeyer’s ring.
Otolaryngol Clin or h Am. 1987;20(2) 207-17.

26
27

14. Har-El G, Nash M. Tonsillectomy and adenoidectomy. Complications in Head and Neck
Surgery. American Academy of Otolaryngology Head and Neck Surgery, 149–172

15. Health Technology Assessment (HTA) Departemen Kesehatan Republik Indonesia.


Tonsilektomi pada anak dan dewasa. Jakarta. 2004. Hal 1-25

16. Ikoma R, Sakane S, Niwa K, Kanetaka S, Kawano T, Oridate N. 2014. Risk factors for post-
tonsillectomy hemorrhage. Auris Nasus Larynx 2014;41 (4):376–9.

17. Jessica J.W, Khoon-Yen T. 2018. Post Operative Tonsillectomy Hemorrhage. Emerg Med
Clin N Am-(2018). https://doi.org/10.1016/j.emc.2017.12.009.

18. Kelly LE, Sommer DD, Ramakrishna J, Hoffbauer S, Arbab-tarti S, Reid D, Maclean J, Koren
G. 2015. Morphine or Ibuprofen for Post-Tonsillectomy Analgesia: A Randomized Trial.
Pediatrics (2015) 135 (2): 307–313. https://doi.org/10.1542/peds.2014-1906.

19. Kitaya S, Kikuchi T, Yahata I, Ikeda R, Nomura K, Kawese T, Katori Y. 2019. Risk factors of
Post-Tonsillectomy dysgeusia. Auris Nasus Larynx (2019), https://doi.org/
10.1016/j.anl.2019.07.005

20. Lubszczyk, M., Sopel, A.L., Polaczkiewicz, D. 2018. Facial nerve palsy and laryngospasm as
a complication of local anaesthesia during adenotonsillectomyyngospasm as a complication
of local anaesthesia during adenotonsillectomy. Case report. Auris Nasus Larynx (2018). 2428

21. Moroco, A.E., Saadi, R.A., Wilson, M.N. 2020. Post-tonsillectomy respiratory complications
in children with sleep disordered breathing. International Journal of Pediatric
Otorhinolaryngology 131 (2020) 109852

22. Ohtsuka K, Tomita H, Murakami G. Anatomy of the tonsillar bed: topographical relationship
between the palatine tonsil and the lingual branch of the glossopharyngeal nerve. Acta
Otolaryngol Suppl 2002;99–109.

23. Probst, R., Grevers, G. & Iro, H., 2006. Basic Otorhinolaryngology: a step by step learning
guide; 54 tables, Stuttgart: Thieme.

24. Randal, D.A., Hoffer, M.E. 1998. Complications of tonsillectomy and adenoidectomy.
Otolaryngol Head Neck Surg 1998;118:61-8.

25. Sebastian GP et al. 2019. Immediate and Delayed Complication of Adenotonsillectomy. Int J
Otorhinolaryngol Head Neck Surg. 2019 Jul;5(4):1013-1019.

26. Sonbaty MI, Dahab MA, Mostafa A, Shanab OA. Preemptive peritonsillar ketamine
infiltration: post operative analgesic efficacy versus meperidine. M.E.J. ANESTH.
2011;21(1):43-51.

27. Tiwari, I.B., Keane, T. 1970. Hemifasial palsy after inferior dental block for dental treatment.
Br Med J 1970;1:798

28. Tomita H, Ohtuka K. 2002. Taste disturbance after tonsillectomy. Acta Otolaryngol Suppl
2002: 164-72.
28

29. Tomofuji S, Sakagami M, Kushida K, Terada T, Mori H, Kakibuchi M. Taste disturbance


after tonsillectomy and laryngomicrosurgery. Auris Nasus Larynx 2005;32:381–6

30. Torres, B.P.G., Garcia, F.D.M., Orozco, J.W. 2017. Tonsillectomy in adults: Analysis of
indications and complications. Auris Nasus Larynx (2017),
http://dx.doi.org/10.1016/j.anl.2017.08.012

31. Windfuhr, J.P. 2013. Serious Complications following Tonsillectomy: How Frequent Are They
Really? ORL 2013;75:166–173

32. Zi Yang Jiang, Bleeding After Tonsillectomy, Operative Techniques in Otolaryngology -


Head and Neck Surgery, http://dx.doi.org/10.1016/j.otot.2017.08.011

Anda mungkin juga menyukai