Anda di halaman 1dari 16

PAPER

HIPERTROFI ADENOID

DISUSUN OLEH :

MERTA MELIANA LAJIRA 183307020026


STEVEN CIUANDY 183307020077

PEMBIMBING :
dr. Dewi Puspitasari, M.Ked (ORL-HNS) , Sp. THT-KL

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS PRIMA INDONESIA
MEDAN
2019
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas Berkat dan
Rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan paper ini tepat pada waktunya. Penulis juga
mengucapkan terima kasih kepada dokter pembimbing dr. Dewi Puspitasari, M.Ked (ORL-
HNS) , Sp. THT-KL atas dukungan, bimbingan dan waktu yang telah diberikan dalam proses
penyelesaian paper ini sebagai upaya untuk menjadikan penulis manusia yang berilmu dan
berpengetahuan.
Penyusun menyadari dalam paper ini masih banyak kekurangan, karena keterbatasan
kemampuan maupun pengalaman kami. Maka dari itu kami mengharapkan kritik dan saran
yang membangun demi memperbaiki kekurangan ataupun kekeliruan yang ada. Harapan
kami semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi anak koas stase THT untuk menambah
wawasan dalam bidang kedokteran.

Medan, 10 September 2019

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..................................................................................................i
DAFTAR ISI...............................................................................................................ii
BAB I. PENDAHULUAN...........................................................................................1
1.1 LATAR BELAKANG...................................................................................1
BAB II. TINJAU PUSTAKA.....................................................................................2
2.1 ANATOMI FARING....................................................................................2
2.2 FISIOLOGI FARING....................................................................................3
2.3 DEFENISI.....................................................................................................3
2.4 EPIDEMIOLOGI..........................................................................................4
2.5 ETIOLOGI....................................................................................................4
2.6 PATOFISIOLOGI.........................................................................................4
2.7 MANIFESTASI KLINIS...............................................................................5
2.8 DIAGNOSIS..................................................................................................5
2.9 PENATALAKSANAAN..............................................................................6
2.10 DIAGNOSIS BANDING............................................................................8
2.11 KOMPLIKASI............................................................................................9
2.12 PROGNOSIS...............................................................................................9
BAB III. KESIMPULAN..........................................................................................10
BAB IV. DAFTAR PUSTAKA................................................................................11

ii
iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Adenoid adalah massa yang terdiri dari jaringan limfoid yang terletak pada dinding
posterior nasofaring, termasuk dalam rangkaian cincin waldeyer. Secara fisiologik
adenoid ini membesar pada anak usia 3 tahun dan kemudian akan mengecil dan hilang
sama sekali pada usia 14 tahun. Bila sering terjadi infeksi saluran napas bagian atas maka
dapat terjadi hipertrofi adenoid. Akibat dari hipertrofi ini akan muncul sumbatan koana
dan sumbatan tuba eustachius.(Efiaty et al, 2012).
Di dalam beberapa penelitian hipertrofi adenoid dapat ditemukan pada usia dewasa.
Hamdan dkk. menyatakan dari pasien yang datang dengan keluhan hidung tersumbat,
63,6% ditemukan hipertrofi adenoid, seluruhnya menderita alergi dan secara signifikan
ditandai sekret purulen. Yildirim dkk. menemukan 40 pasien usia dewasa dengan
hipertrofi adenoid dalam rentang waktu lima tahun. Mitchell dkk. melaporkan 110 sampel
yang dikumpulkan selama 4 tahun, kemudian dilakukan penilaian secara patologi
anatomi, hasilnya 92 sampel (84%) merupakan proses inflamasi dan 18 sampel (16%)
diduga sebagai proses keganasan. Di Departemen Telinga Hidung Tenggorok– Kepala
Leher Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin (THT-KL RSHS) Bandung periode Januari–
Desember 2011 berdasarkan hasil pemeriksaan ditemukan 56 pasien usia dewasa dengan
hipertrofi adenoid.(Sinta, et al 2016).
Etiologi hipertrofi adenoid belum dapat dibuktikan secara jelas, namun dapat
disimpulkan, yaitu secara fisiologis, faktor inflamasi, serta proses keganasan. Hipertrofi
adenoid secara fisiologis umumnya bersifat asimtomatik, gejala klinis akan timbul jika
ukuran pembesaran mengisi dua per tiga rongga nasofaring. Inflamasi adenoid ditandai
dengan ditemukan pembesaran ukuran adenoid atau hipertrofi adenoid. Umumnya
hipertrofi adenoid ditemukan dengan gejala klinis berupa hidung tersumbat, rhinolalia,
dapat terjadi perubahan bernapas lewat mulut, serta sering pula disertai mengorok
sehingga menyebabkan gangguan napas pada saat tidur, peradangan telinga tengah, dan
sinusitis.(Sinta, et al, et al).

1
BAB II

TINJAU PUSTAKA

2.1 ANATOMI FARING

Faring adalah tenggorokan atau kerongkongan merupakan suatu bagian dari sistem
pencernaan dan sistem pernapasan. Faring merupakan sebuah tabung fibromuskular yang
terletak persis didepan tulang leher yang berhubungan dengan rongga hidung, telinga tengah
dan laring. Jadi faring terbagi atas tiga bagian yaitu : nasofaring, orofaring, laringofaring.
Palatum mole memisahkan nasofaring dan orofaring dan bekerja sebagai daun katup untuk
memungkinkan kesinambungan antara daerah-daerah ini sewaktu bernapas.
1. Nasopharynx
Nasopharynx terletak di atas palatum molle dan dibelakang rongga hidung. Didalam
submucosa atap terdapat kumpulan jaringan limfoid yang disebut tonsila pharyngea. Isthmus
pharyngeus adalah lubang didasar nasophatynx diantara pinggir bebas palatum molle dan
dinding posterior pharynx. Nasofaring berhubungan dengan cavitas nasi dan telinga tengah
masing-masing melalui choanae dan tuba auditiva, nervus maxilaris berperan pada persarafan
nasopharynx. ( johanes, 2012).
2. Oropharynx
Oropharynx terletak dibelakang cavum oris. Dasar dibentuk oleh sepertiga posterior
lidah dan celah antara lidah dan epiglotis. Pada garis tengah terdapat plica
glossoepiglottica mediana, dan plica glossoepiglottica lateralis pada masing-masing sisi.
Lekukan kanan dan kiri dari plica glossoepiglottica medianan disebut vallecula. Pada
kedua sisi dinding lateral terdapat arcus palatoglossus dan palatofaringeus dengan tonsila
palatina di antaranya. Arcus palatoglossus adalah lipatan membrana mucosa yang
menutupi musculus palatoglossus. Celah diantara kedua arcus palatoglossus disebut
2
isthmus faucium dan merupakan batas antaran rongga mulut dan pharynx. Arcus
palatopharyngeus adalah lipatan membrana mucosa yang menutupi musculus
palatopharyngeus, recessus diantara arcus palatoglossu dan palatopharyngeus diisi oleh
tonsilla palatina.
3. laryngopharynx
laryngopharynx terletak dibelakang aditus laryngis, didnding lateral dibentuk oleh
cartilago thyroidea dan membrana thyrohyoidea. Recessus piriformis merupakan
cekungan pada membrana mucosa yang terletak dikanan dan kiri aditus laryngis.(Richard,
2014).
Persyarafan sensorik membrana mucosa pharynx yaitu ;
a. nasopharynx : nervus maxillaris
b. oropharynx : nervus glossopharynxgeus
c. laryngopharynx ( disekitar aditus laryngis ) : ramus laryngeus internus dari nervus
vagus.
Cincin WALDEYER terdiri dari jaringan limfo-epitel dan merupakan bagian pertahanan
imun tubuh. Terletak diruang transisional antara cavitas nasi dan oris, cincin waldeyer terdiri
dari tonsillae pharyngealis, tubariae, palatine dan lingualis serta rangkaian jaringan limfoid
lateral yang terletak pada plicae salpingophangea. (johanes, 2012). Terdapat pula beberapa
jaringan limfoid di dinding posterior faring dan ventrikel laring. Adenoid atau tonsila
faringeal merupakan sebuah massa yang memiliki dasar yang terletak di dinding posterior
nasofaring dan apeks yang menusuk kearah septum nasi. Permukaan adenoid berlapis-lapis
dalam serangkaian lipatan dengan beberapa kripta namun tidak disertai kompleks kripta
seperti yang terdapat pada tonsil palatina.(Viswantha, 2016).

2.2 FISIOLOGI FARING


Fungsi faring yang terutama ialah untuk respirasi, waktu menelan, resonasi suara dan
untuk artikulasi. Fungsi adenoid adalah bagian imunitas tubuh, banyak alergen yang ikut
bersama udara yang di hirup, saat masuk ke dalam hidung alergen dalam udara tersebut
dijebak oleh lapisan permukaan adenoid yang terdiri dari sel-sel epitel bersilia ditutupi oleh
lapisan tipis lendir, yang bergerak konstan seperti gelombang dan mendorong lendir yang
berisi alergen yang telah terperangkap turun ke faring, kemudian dari titik tersebut lendir
terdorong oleh gerakan menelan dari otot faring dan turun ke lambung yang mana epitelnya
lebih resisten terhadap alergen-alergen tersebut. Adenoid juga merupakan jaringan limfoid
bersama dengan struktur lain dalam cincin Waldeyer. Adenoid memproduksi IgA sebagai

3
bagian penting system pertahanan tubuh garis depan dalam memproteksi tubuh dari invasi
kuman mikroorganisme dan molekul asing (McClay, 2015).

2.3 DEFENISI HIPERTROFI ADENOID


Hipertrofi adenoid adalah pembesaran jaringan adenoid, massa yang terdiri dari
jaringan limfoid yang terletak pada dinding posterior nasofaring, termasuk dalam rangkaian
cincin waldeyer, hal ini sering terjadi akibat infeksi saluran nafas bagian atas berulang. Massa
ini dapat hampir mengisi ruang nasofaring, menggangu saluran udara melalui hidung,
mengobstruksi tuba eustachi dan memblokade pembersihan hidung. Secara fisiologik
adenoid ini membesar pada anak usia 3 tahun dan kemudian akan mengecil dan hilang sama
sekali pada usia 14 tahun.(Efiaty et al, 2012).

2.4 EPIDEMIOLOGI
Inflamasi adenoid pada kelompok usia dewasa ditandai dengan hipertrofi adenoid.
Angka prevalensi hipertrofi adenoid usia dewasa pada penelitian di India adalah 9% dengan
perbandingan lebih banyak pria daripada wanita kelompok usia terbanyak 6−25 tahun.(Rout
et al, 2012). Penelitian lain di Beirut menyatakan hipertropi adenoid usia dewasa distribusi
terbanyak pada pria sekitar 54% serta terjadi pada kelompok usia 17−43 tahun sekitar 60%.
(Yildirim et al, 2008). Pada penelitian ini didapatkan prevalensi 6% dari seluruh pasien di
tempat penelitian, lebih sering terjadi pada pria dan pada kelompok usia 20−29 tahun.

2.5 ETIOLOGI
Hipertrofi adenoid sering disebabkan karena infeksi berulang pada anak yang
mengalami ISPA selain itu episode alergi juga dapat menyebabkan pembesaran adenoid.
Hipertrofi adenoid biasanya asimptomatik namun jika cukup besar akan menyebabkan gejala.
(Sinta, et al 2016).

2.6 PATOFISIOLOGI
Pada balita jaringan limfoid dalam cincin waldeyer sangat kecil. Pada anak berumur 4
tahun bertambah besar karena aktivitas imun, karena tonsil dan adenoid (pharyngeal tonsil)
merupakan organ limfoid pertama di dalam tubuh yang memfagosit kuman-kuman patogen.
Jaringan tonsil dan adenoid mempunyai peranan penting sebagai organ yang khusus dalam
respon imun humoral maupun selular, seperti pada bagian epithelium kripte, folikel limfoid
dan bagian ekstrafolikuler. Oleh karena itu, hipertrofi dari jaringan merupakan respons

4
terhadap kolonisasi dari flora normal itu sendiri dan mikroorganisme patogen.
Adenoid dapat membesar seukuran bola ping-pong, yang mengakibatkan tersumbatnya jalan
udara yang melalui hidung sehingga dibutuhkan adanya usaha yang keras untuk bernapas
sebagai akibatnya terjadi ventilasi melalui mulut yang terbuka. Adenoid dapat menyebabkan
obstruksi pada jalan udara pada nasal sehingga mempengaruhi suara. Pembesaran adenoid
dapat menyebabkan obstruksi pada tuba eustachius yang akhirnya menjadi tuli konduktif
karena adanya cairan dalam telinga tengah akibat tuba eustachius yang tidak bekerja efisien
karena adanya sumbatan.(McClay, 2015; Ballenger, 2010).
2.7 MANIFESTASI KLINIS
Hipertrofi adenoid secara fisiologis umumnya bersifat asimtomatik, gejala klinis akan
timbul jika ukuran pembesaran mengisi dua per tiga rongga nasofaring. Inflamasi adenoid
ditandai dengan ditemukan pembesaran ukuran adenoid atau hipertrofi adenoid. Umumnya
hipertrofi adenoid ditemukan dengan gejala klinis berupa hidung tersumbat, rhinolalia, dapat
terjadi perubahan bernapas lewat mulut, serta sering pula disertai mengorok sehingga
menyebabkan gangguan napas pada saat tidur, peradangan telinga tengah, dan sinusitis
(Sinta, et al 2016).

2.8 DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan berdasarkan :
a. Anamnesis
b. Pemeriksaan Fisis, yang terbagi dua (McClay, 2015; Rusmarjono, 2004; Fernandez D,
2019) :
Directa: 
- Dengan melihat transoral langsung ke dalam nasofaring setelah palatum molle di
retraksi.
- Dengan rhinoskopi anterior melihat gerakan keatas palatum molle waktu
mengucapkan "i" yang terhambat oleh pembesaran adenoid, hal ini disebut
fenomena palatum molle yang negatif

Indirecta:
- Dengan cermin dan lampu kepala melihat nasofaring dari arah orofaring
dinamakan rhinoskopi posterior.

5
- Dengan nasofaringioskop, suatu alat seperti scytoskop yang mempunyai sistem
lensa dan prisma dan lampu diujungnya, dimasukkan lewat cavum nasi, seluruh
nasofaring dapat dilihat.
c. Palpasi:
Jari telunjuk yang dimasukkan ke nasofaring dapat meraba adenoid yang membesar.
d. Pemeriksaan penunjang (McClay, 2015; Joseph GD & Wohl DL, 2005) :
1. Radiologi
Pengambilan foto polos leher lateral juga bisa membantu dalam mendiagnosis
hipertrofi adenoid jika endoskopi tidak dilakukan karena ruang postnasal kadang
sulit dilihat pada anak-anak, dan dengan pengambilan foto lateral bisa
menunjukkan ukuran adenoid dan derajat obstruksi.

Gambar 2: gambaran radiologis adenoid pada foto polos kepala lateral (Bull,
2003).
2. Endoskopi
Endoskopi yang flexible membantu dalam mendiagnosis adenoid hipertrofi,
infeksi pada adenoid, dan insufisiensi velopharyngeal (VPi), juga dalam
menyingkirkan penyebab lain dari obstruksi nasal.

6
Gambar 3: gambaran endoskopi adenoid (Bull, 2003)
2.9 PENATALAKSANAAN
Tidak ada bukti yang mendukung bahwa adanya pengobatan medis untuk infeksi
kronis adenoid, pengobatan dengan menggunakan antibiotik sistemik dalam jangka waktu
yang panjang untuk infeksi jaringan limfoid tidak berhasil membunuh bakteri. Sebenarnya,
banyak kuman yang mengalami resistensi pada penggunaan antibiotik jangka panjang.
Beberapa penelitian menerangkan manfaat dengan menggunakan steroid pada anak dengan
hipertrofi adenoid. Penelitian menujukkan bahwa selagi menggunakan pengobatan dapat
mengecilkan adenoid (sampai 10%). Tetapi jika pengobatan tersebut itu dihentikan adenoid
tersebut akan terulang lagi. Pada anak dengan efusi telinga tengah yang persisten atau otitis
media yang rekuren, adeinoidektomi meminimalkan terjadinya rekuren. 
Indikasi adenoidektomi adalah :
1. Sumbatan hidung yang menyebabkan bernafas melalui mulut
2. Sleep apnea
3. Gangguan menelan
4. Gangguan berbicara
5. Kelainan bentuk wajah muka dan gigi (adenoid face) 
6. Infeksi
7. Kecurigaan neoplasma jinak/ganas
Adenoidektomi dan tonsilektomi dilakukan dengan anestesi general dan penyembuhan
terjadi dalam waktu 48 hingga 72 jam. Terdapat beberapa keadaan yang disebutkan sebagai
kontraindikasi, namun bila sebelumnya dapat diatasi, operasi dapat dilaksanakan dengan tetap
mempertimbangkan manfaat dan risikonya, keadaan tersebut antara lain: (McClay, 2015).
1. Gangguan perdarahan
2. Risiko anestesi yang besar atau penyakit berat
3. Anemia
4. Infeksi akut yang berat

Teknik adenoidektomi terbagi atas dua cara yaitu :


1. Eksisi melalui mulut

7
Merupakan teknik yang paling banyak di gunakan. Adenoid di keluarkan melalui mulut
setelah mulut dibuka dengan menggunakan suatu alat dan menarik langit-langit mulut. Suatu
cermin digunakan untuk melihat adenoid karena adenoid terletak pada rongga hidung bagian
belakang melalui pendekatan ini beberapa instrumen dapat dimasukkan (McClay, 2015;
Hulcrant, 2007).
 Cold Surgical Techniques
- Curette adenoid : Merupakan patokan dan metode konvensional yang sukses
dilakukan. Alat adenoid currete mempunyai sisi yang tajam dan bengkok. Untuk
mengangkat adenoid digunakan mata pisau yang tajam setelah terlebih dahulu
memposisikan nasofaring. Perdarahan dapat dikontrol dengan elektrocauter.
- Adenoid Punch : Penekanan pada adenoid dengan menggunakan satu instrumen
bengkok yang mempunyai celah dan ditempatkan di atas adenoid kumudian celah itu
ditutup dan pisau bedah mengangkat adenoid.
- Magill Forceps : Adalah suatu instnunen yang berbentuk bengkok yang digunakan
untuk mencabut jaringan sisa pada adenoid.
- Elektrocauter dengan suction bovie : Teknik kedua dengan menggunakan
elektrocauter dengan suatu suction bovie yang berfungsi untuk mencabut jaringan
adenoid. (Rusmarjono, 2004; Hultcrantz, 2007).
 Surgical microdebrider : Ahli bedah lain sudah menggunakan metode microdebrider,
sebagian orang menganggapnya lebih efektif. Perdarahan pasti terjadi pada
pengangkatan tetapi sebagian besar dilaporkan perdarahan dengan menggunakan
tradisional currete. Mikrodebrider memindahkan jaringan adenoid yang sulit di
jangkau oleh teknik lain (McClay, 2015; Hultcrantz, 2007).
2. Eksisi melalui Hidung 
Satu-satunya teknik bermanfaat untuk memindahkan adenoid melaui rongga hidung
dengan menggunakan alat mikrodebrider. Dengan prosedur ini, jika terjadi perdarahan
dikontrol dengan menggunakan cauter suction. (McClay, 2015; Hultcrantz, 2007).

2.11 DIAGNOSIS BANDING


Diagnosis Banding :
1. Angiofibroma Nasofaring Belia
Angiofibroma nasofaring belia merupakan suatu tumor jinak yang jarang ditemukan,
secara histologi jinak, tetapi secara klinis ganas. Tumor ini sering dijumpai pada anak

8
laki-laki remaja. Hidung tersumbat merupakan gejala klinis yang paling sering
ditemukan dan gejala yang membedakan dengan hipertrofi adenoid adalah epitaksis.
2. Nasofaring Carcinoma ( NPC )
Kanker nasofaring adalah tumor ganas yang timbul di daerah nasofaring area di atas
tenggorok dan dibelakang hidung. Gejala utamanya berupa epitaksis dan hidung
tersumbat. Salah satu gejala yang membedakannya dengan hipertrofi adenoid adalah
epitaksis, diplopia, dan benjolan di leher.
3. Sinusitis
Sinusitis adalah peradangan selaput lendir rongga sinus disekitar hidung (paranasal).
Gejala utamanya berupa hidung tersumbat. Gejala yang membedakan dengan
hipertrofi adenoid adalah Febris >37oC, Nyeri di pipi dan kepala, dan edema
preorbita.

2.11 KOMPLIKASI
Komplikasi tindakan adenoidektomi adalah perdarahan bila pengerokan adenoid
kurang bersih. Bila terlalau dalam menguretnya akan terjadi kerusakan dinding belakang
faring. Bila kuretase terlalu kelateral maka torus tubarius akan rusak dan dapat
mengakibatkan oklusi tuba eustachius dan akan timbul tuli konduktif. (Efiaty et al, 2012).

9
BAB III

KESIMPULAN
Hipertrofi adenoid adalah pembesaran jaringan adenoid, massa yang terdiri dari
jaringan limfoid yang terletak pada dinding posterior nasofaring yang sering disebabkan
karena infeksi berulang pada anak yang mengalami ISPA selain itu episode alergi juga dapat
menyebabkan pembesaran adenoid. Umumnya hipertrofi adenoid ditemukan dengan gejala
klinis berupa hidung tersumbat, rhinolalia, dapat terjadi perubahan bernapas lewat mulut,
serta sering pula disertai mengorok sehingga menyebabkan gangguan napas pada saat tidur,
peradangan telinga tengah, dan sinusitis. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang. Pada hipertrofi adenoid dilakukan terapi bedah
adenoidektomi dengan cara kuretase memakai adenotom.

10
BAB IV

DAFTAR PUSTAKA

Ballenger, J.J. 2010. Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala, dan Leher.Jilid I.
Dialih bahasakan oleh Staf ahli Bagian THT RSCM-FKUI.Binarupa Aksara.Tangerang.

Bull TR. Color Atlas of ENT Diagnosis. 4th ed. Stuttgart.Newyork: Thieme. 2003. P 109-
111

Efiaty A Soepardy, 2012. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala
dan leher.Jakarta:FKUI

Fernandez D, Muradas M. 2019. Snoring and Obstructive apnea, Upper Airway


evaluation. Available from: http://emedicine.medscape.com/article/868925-overview

Johanes, med sobotta, 2012. Sobotta Atlas Anatomi Manusia Kepala Leher dan
Neuroanatomi. Jilid 3 dialihbahasakan oleh EGC: Jakarta

Joseph GD, Wohl DL. Complication in Pediatric Otolaryngology. London: Taylor&


francis Group. 2005. p.232,296, 305

Hultcrantz E. Surgical treatment of children with obstructive sleep apnea. In: Onerci M,
Kountakis SE, editors. Rhinologic and sleep apnea surgical techniques. Berlin: Springer.
2007. p. 379-390asdsad

Rout MR, Mohanty D, Vijaylaxmi Y, Bobba K, Metta C. Adenoid hypertrophy in adults:


a case series. Indian J Otolaryngol Head Neck Surg. 2012;10(2):10–5.

Rusmarjono. Penyakit serta kelainan pada faring dan tonsil. Dalam: Efiaty AS; Iskandar,
Nurbaiti, editors. Buku ajar ilmu kesehatan telinga-hidung-tenggorok kepala leher. 5th ed:
Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2004. P. 184

Sinta s ratunanda, jipie iman satriyo, dindi, teti dan ratna. Efektivitas Terapi
Kortikosteroid Intranasal pada Hipertrofi Adenoid Usia Dewasa berdasarkan Pemeriksaan
Narrow Band Imaging.48(4).

McClay J. 2015. Adenoidectomy. Available from:http://emedicine.medscape.com/


article/872216overview

11
Yildirim N, Sahan M, Karslioglu Y. Adenoid hypertrophy in adults: clinical and
morphological characteristics. J Int Med Res. 2008;36(1):157–62.

12

Anda mungkin juga menyukai