LARYNGOPHARYNGEAL REFLUX
Disusun Oleh :
Pembimbing:
TANGERANG
Daftar Isi
BAB I.....................................................................................................................................................3
PENDAHULUAN.................................................................................................................................3
BAB II...................................................................................................................................................3
LARYNGOPHARYNGEAL RELUX.................................................................................................3
2.1. Anatomi..................................................................................................................................3
2.1.1 Faring............................................................................................................................3
2.1.2 Laring............................................................................................................................5
2.1.3 Esofagus.........................................................................................................................6
2.2. Fisiologi Menelan....................................................................................................................7
2.3. Definisi....................................................................................................................................8
2.4. Epidemiologi...........................................................................................................................8
2.5. Etiologi....................................................................................................................................9
2.6. Patofisiologi............................................................................................................................9
2.7. Manifestasi Klinis..................................................................................................................11
2.8. Pemeriksaan Penunjang.......................................................................................................12
2.8.1. Laringoskopi...............................................................................................................12
2.8.2. Ambulatory ph-Monitoring (ph-Metri)....................................................................14
2.8.3. Intraluminal Impedance Monitoring........................................................................14
2.9. Diagnosis Banding.................................................................................................................14
2.10. Tatalaksana.......................................................................................................................15
2.11. Komplikasi........................................................................................................................15
2.12. Prognosis..........................................................................................................................15
Daftar Pustaka....................................................................................................................................16
BAB I
PENDAHULUAN
LPR seringkali dikaitkan dengan etiologi penyebab dari berbagai penyakit laring,
seperti refluks laringitis, stenosis subglotis, karsinoma laring, granuloma, ulserasi kontak, dan
nodul vokalis. Gejala LPR nonspesifik dan merupakan suatu manifestasi dari etiologi lainnya
(infeksi, alergi, rokok, iritan inhalasi), hal ini terkadang membuat sulit untuk terdiagnosa.
Pada referat ini akan dibahas mengenai anatomi, penyakit LPR secara keselurhan, pendekatan
dalam diagnosa dan tatalaksana dari LPR, dengan harapan diagnosa dan tatalaksana LPR
dapat dilakukan secara cepat dan tepat sangat penting untuk menjaga kualitas hidup pasien
dan mencegah berkembangnya penyakit di traktus aerodigestif yang dapat mengancam
nyawa.
3
BAB II
LARYNGOPHARYNGEAL RELUX
2.1. Anatomi
2.1.1 Faring
Faring atau tenggorokan adalah tabung berbentuk corong sepanjang kurang
lebih 13 cm. Dimulai pada nares internal hingga ktulang rawan krikoid, tulang
rawan paling rendah dari laring (kotak suara). Faring terletak tepat di posterior
rongga hidung dan mulut, diatas dari laring, dan berada di anterior dari vertebra
servikal. Dinding faring terdiri dari otot rangka dan dilapisi dengan selaput lendir.
Kontraksi otot rangka ini membantu dalam proses menelan (deglutition). Faring
berfungsi sebagai ruang lewatnya udara dan makanan, menyediakan ruang
beresonansi untuk suara, dan disini terdapat tonsil, yang memiliki peran dalam reaksi
imunologis.
Gambar 1. Faring
Otot-otot seluruh faring disusun dalam dua lapisan, lapisan melingkar luar
dan lapisan longitudinal dalam. Pada Gambar 1, tampak faring dibagi menjadi tiga
wilayah anatomi:
1. Nasofaring
4
Merupakan bagian superior faring, yang terletak di posterior rongga hidung dan
meluas ke langit-langit lunak. Langit-langit lunak, yang membentuk bagian posterior
atap mulut, adalah partisi otot berbentuk lengkung antara nasofaring dan orofaring
yang dilapisi oleh selaput lendir. Ada lima lubang di dindingnya, antara lain dua
lubang internal, dua lubang yang mengarah ke tabung pendengaran
(pharyngotympanic) yang umumnya dikenal sebagai tuba Eustachius, dan
pembukaan ke dalam orofaring. Dinding posterior juga mengandung tonsil faringeal
(adenoid). Melalui nares internal, nasofaring menerima udara dari rongga hidung
bersama dengan paket lendir yang mengandung debu. Nasofaring dilapisi dengan
epitel kolumnar bersilia yang semu yang disebarkan, dan silia menggerakkan lendir
ke bawah menuju bagian yang paling inferior dari faring. Nasofaring juga menukar
sedikit udara dengan tabung pendengaran untuk menyamakan tekanan udara antara
faring dan telinga tengah.
2. Orofaring
Merupakan bagian tengah faring, terletak di posterior rongga mulut dan
memanjang dari langit-langit lunak ke tingkat tulang hyoid. Hanya ada satu lubang di
dalamnya, fauces (lubang dari mulut). Bagian faring ini memiliki fungsi pernafasan
dan pencernaan, berfungsi sebagai jalan umum untuk udara, makanan, dan minuman.
Karena orofaring mengalami abrasi oleh partikel makanan, maka dilapisi dengan
epitel skuamosa berstrata non-keratin. Dua pasang tonsil, palatine dan tonsil lingual
ditemukan di orofaring
3. Laringofaring
Merupakan bagian inferior faring atau hipofaring, dimulai pada tingkat tulang
hyoid. Pada ujung inferiornya terbuka ke esofagus di posterior dan laring (kotak
suara) di bagian anterior. Seperti halnya orofaring, laringofaring merupakan jalur
pernapasan dan pencernaan dan dibatasi oleh epitel skuamosa berlapis strata non-
keratin.
2.1.2 Laring
Laring memiliki bentuk seperti kotak triangular yang tersusun atas 3 kartilago
berpasangan dan 3 kartilago tidak berpasangan, serta merupakan suatu penghubung
antara faring dan trakea. Tulang rawan yang menyusun laring adalah kartilago
epiglotis, kartilago krikoid, kartilago aritenoid, kartilago kurniculata, dan kartilago
5
tiroid. Tiga kartilago yang tidak memiliki pasangan adalah kartilago tiroid, krikoid,
dan epiglottis. Epiglotis merupakan tulang rawan yang berbentuk seperti daun
dengan fungsi sebagai katup untuk mencegah terjadinya aspirasi makanan dan isi
oropharynx ke saluran pernafasan. Batas atas laring adalah auditus laring, sedangkan
batas bawahnya adalah batas kaudal kartilago krikoid. Kerangka laring tersusun dari
satu tulang, yaitu tulang hyoid dan beberapa tulangrawan. Tulang hyoid berbentuk
huruf U, dimana bagian atasnya berhubungan dengan lidah, mandibula, dan
tengkorak oleh tendon dan otot-otot. Sewaktu menelan, kontraksi otot-otot ini akan
menyebabkan laring tertarik ke atas. Sedangkan pada keadaan diam, maka otot-otot
ini bekerja untuk membuka mulut dan membantu menggerakan lidah.
6
Gambar 3. Anatomi Pita Suara
2.1.3 Esofagus
Esofagus atau kerongkongan adalah tuba sebagai jalur masuknya makanan ke
dalam lambung, terletak posterior dari trakea. Esofagus dimulai pada ujung inferior
laringofaring dan melewati mediastinum anterior ke kolom vertebral. Kemudian ia
menembus diafragma melalui lubang yang disebut hiatus esofagus, dan berakhir di
bagian superior lambung.
Mukosa esofagus terdiri dari epitel skuamosa berstrata nonkeratin, lamina
propria (jaringan ikat areolar), dan muscularis muscosae (otot polos). Mukosa
kerongkongan juga mengandung kelenjar lendir. Epitel skuamosa berstrata yang
terkait dengan bibir, mulut, lidah, orofaring, laringofaring, dan kerongkongan
memberikan perlindungan terhadap abrasi dan kerusakan akibat partikel makanan
yang dikunyah, dicampur dengan sekresi, dan ditelan. Submukosa mengandung
jaringan ikat areolar, pembuluh darah, dan kelenjar lendir. Muscularis sepertiga
superior esofagus adalah otot rangka, sepertiga perantara adalah otot rangka dan otot
polos, dan otot inferior adalah otot polos. Di setiap ujung kerongkongan, muscularis
menjadi sedikit lebih menonjol dan membentuk dua sfingter — upper esophageal
sphincter (UES) yang terdiri dari otot rangka, dan lower esophageal sphincter
(LES), yang terdiri dari otot polos. Sfingter esofagus bagian atas mengatur
pergerakan makanan dari faring ke kerongkongan dan sfingter esofagus bagian
bawah mengatur pergerakan makanan dari esofagus ke dalam lambung. Walaupun
esofagus mengeluarkan lendir dan mengangkut makanan ke dalam lambung, namun
esophagus tidak menghasilkan enzim pencernaan, dan tidak terdapat proses
penyerapan.
7
Gambar 4. Anatomi Esofagus
2.2. Definisi
2.3. Epidemiologi
Secara umum, angka kejadian LPR di negara barat mencapai 10-15% dan
sering ditemukan pada usia diatas 40 tahun. Pada 50% pasien yang mengalami
penyakit GERD, 4-10% diantaranya memiliki manifestasi LPR. Berdasarkan jenis
kelamin, prevalensi kejadian LPR pada wanita lebih tinggi, yaitu sebanyak 66,7%,
terutama pada usia 45-64 tahun. Sekitar 55% pasien LPR tidak memiliki manifestasi
klinis suara serak, kemudian sekitar 20-45% pasien menunjukkan gejala rasa terbakar
pada ulu hati, regurgitasi, dan gangguan pencernaan.
8
alkohol, obat-obatan (teofilin, nitrat, dopamine, narkotik, dll). Selain itu, dapat juga
disebabkan oleh abnormalitas dari pergerakan/motilitas esofagus karena penyakit
neuromuskular, laringektomi, etanol. Kemudian, dikarenakan penurunan resistensi
mukosa (radioterapi rongga mulut, radioterapi esofagus, xerostomia), penurunan
salivasi, pengosongan lambung yang tertunda/lambat (obstruksi, diet tinggi lemak,
tembakau, alkohol), peningkatan tekanan intraabdominal (hamil, obesitas, makan
berlebih, minuman karbonasi), atau dapat disebabkan oleh hipersekresi asam lambung
atau pepsin.
2.5. Patofisiologi
Dalam keadaan normal, bahan refluks (asam lambung dan pepsin) tidak akan
mencapai laring karena laringofaring akan mendeteksi bahan tersebut terlebih dahulu
dan menimbulkan mekanisme batuk sebagai cara untuk mencegah bahan refluks
masuk ke introitus laring. Namun pada beberapa orang, bahan refluks tetap mencapai
laring dan mengiritasi pita suara karena gangguan dari proses fisiologis tersebut yang
meliputi gangguan dari sfingter atas esophagus, gangguan dari sfingter bawah
esofagus, gangguan fungsi motorik esofagus dengan pembersihan asam lambung, dan
gangguan resistensi jaringan mukosa esophageal.
Upper Esophageal Sphincter (UES) memiliki peranan yang sangat penting
dalam mekanisme terjadinya LPR. Peristiwa refluks harus menghasilkan peningkatan
pada tekanan UES untuk melindungi laringofaring, namun apabila terjadi relaksasi
UES yang tidak tepat selama peristiwa refluks ini, dapat menyebabkan konten dari
refluks mencapai ke laringofaring.
Pada individu yang sehat, esophagus dilengkapi dengan bahan perlindungan
dari konten asam lambung, yaitu sfingter bawah esophagus, gerakan peristaltik
esophagus, dan resistensi jaringan lumen esophagus. Sfingter bawah esophagus
didukung oleh otot diafragma dan tekanan abdomen yang tinggi, yang menekan
segmen intra-abdominal dari esophagus. Tekanan sfingter bawah esophagus juga
diatur oleh mekanisme hormon dan berfungsi sebagai respon terhadap alkalinisasi isi
lambung. Gerakan peristaltis primer berfungsi untuk menghantarkan makanan menuju
lambung, sedangkan gerakan peristaltis sekunder berfungsi untuk membersihkan
residu-residu bolus atau sebagian hasil refluks dan juga meningkatkan pembersihan
9
serta menetralkan residu dengan air liur yang merupakan antacid alami tubuh. Lumen
esophagus memiliki lapisan lendir yang melapisinya sehingga mencegah penetrasi dari
molekul besar seperti pepsin.
Namun, epitel respiratori bersilia pada laring tidak memiliki proteksi yang
sama dengan esophagus. Faring memiliki pH netral yaitu 7, sedangkan asam lambung
memiliki pH yaitu 1,5 hingga 2. Apabila terjadi refluks, pH faring akan menurun dan
paparan terhadap asam, pepsin yang teraktivasi, dan garam empedu sehingga faring
mengalami kerusakan. Secara umum, paparan asam lambung 50 kali per hari pada
bagian esofagus masih dapat dianggap normal, sedangkan paparan asam lambung 3
kali setiap minggu pada laring sudah dapat membuat kerusakan pada epitel mukosa
laring. Selain itu, beberapa penelitian mengatakan bahwa carbonic anhydrase tipe III
memiliki peranan penting dalam melindungi epitelium laring melalui sekresi
bikarbonat, sehingga dapat mengatur pH terhadap respon dari refluks, akan tetapi pada
64% dari jaringan laring dari pasien LPR, enzim ini tidak ditemukan. Hal ini
disebabkan karena adanya pepsin. Refluks yang mengandung komponen pepsin
merupakan refluks non asam. Pada saat pepsin mencapai di laring –di saat laring
mengalami kerusakan dan pH di laring menurun-, pepsin akan teraktivasi optimal di
pH 2. Pepsin menyebabkan kerusakan komponen intraseluler seperti badan Golgi dan
lisosom, dan merusak pula carbonic anhydrase, E-cadherin, dan Sep 70,
mengakibatkan laring tidak memiliki enzim pelindung.
Tidak semua peristiwa refluks masuk ke laringofaring berasal dari lambung.
Videofluoroskopi dengan jelas menunjukkan refluks esofagofaringeal (EPR) pasien
dengan gejala LPR dan/atau dismotilitas esofagal. Jenis refluks berasal dari
kerongkongan proksimal sebagai akibat dari keterlambatan pembersihan esofagus dan
kemungkinan gangguan fungsi UES. Refluks esofagofaringeal dapat terdiri dari air
liur dan bolus makanan / cair di pH apa pun dan tidak mengandung pepsin atau
empedu asam.
10
Gambar 6. Laryngopharyngeal Reflux
Secara umum, pasien dengan LPR akan datang dengan trias keluhan: disfonia,
disfagia/odinofagia, dan globus faringeus. Disfonia atau hoarseness (suara serak)
merupakan gejala tersering yang ditemukan pada konteks klinis. Pada satu studi,
ditemukan disfonia timbul pada 100% pasien dengan LPR, namun tidak sama sekali
pada pasien dengan GERD (tanpa LPR). Disfonia umumnya merupakan gejala
fluktuatif yang terjadi di pagi hari dan membaik pada siang hari. Pada survei tahun
2022 yan dilakukan oleh 415 anggota American Broncho-Esophagological
Association, para responden mengalami gejala LPR sebagai berikut: throat clearing
(98%), batuk kronis (97%), globus pharyngeus (sensasi mengganjal di tenggorok)
(95%), difonia (95%) dan post nasal drip (57%).
Belafsky et al. membuat sebuah kuensioner yaitu Reflux Symptom Index (RSI)
untuk menilai gejala pada pasien dengan LPR (Gambar 7). Tiap pertanyaan dapat
dinilai dengan skala 0 (tidak ada masalah) hingga 5 (gejala berat). Skor total lebih dari
13 dianggap sebagai hasil yang abnormal. Sebuah studi lain menyimpulkan skor total
diatas 10 merupakan indikasi kuat adanya proses refluks patologis. RSI dapat
digunakan untuk menilai derajat keparahan gejala, atau juga sebagai parameter respon
11
terapi pada pasien dengan LPR; ditemukan RSI pasien dengan LPR yang tidak
diberikan terapi lebih tinggi dibandingkan yang diberikan terapi. Salah satu
kekurangan dari RSI spesifitasnya yang rendah, sehingga kurang baik dalam
penegakan diagnosa LPR atau menyingkirkan diagnosa banding lain
12
Gambar 8. Gambaran laring abnormal. (a) Leukoplakia; (b) Reinke’s edema; (c) bilateral true
vocal fold nodules; (d) true vocal fold hemorrhagic polyp; (e) true vocal fold erythema; (f) vocal
fold granuloma; (g) interarytenoid bar; (h) arytenoid medial wall erythema; (i) posterior
pharyngeal wall cobble stoning
Temuan endoskopi dapat secara ringkas dijelaskan dengan Reflux Findings
Score (Gambar 9), yang merupakan indikator keseluruhan peradangan laring. Skala
ini bervariasi dari nilai 0 (tidak ada kelainan) sampai dengan nilai maksimum 26
(nilai yang terburuk) dan RFS > 7 yang dianggap tidak normal. Walaupun setiap
komponen bersifat subyektif tetapi skor secara keseluruhan merupakan penilaian
yang dapat dipercaya dalam melihat perbaikan dengan terapi anti refluks
13
Gambar 9. Reflux Findings Score
14
untuk jumlah kejadian di faring masih kontroversial. Meski jelas bahwa satu episode
LPR dapat mencederai mukosa jalan nafas, namun beberapa individu asimptomatik
atau dua episode LPR mungkin lebih bersifat fisiologis daripada secara klinis.Hasil
pemantauan pH 24 jam harus ditinjau pada masing-masing individu pasien. Jumlah
peristiwa LPR dan waku pemaparan terhadap asam perlu dipertimbangkan. Meski
pH ≤4 merupakan batas yang diterima untuk menandakan refluks di esophagus, akan
tetapi pada penelitian terkini telah disaranakn bahwa pH ≤5 mungkin secara klinis
penting di laringofaring, mengingat aktivasi pepsin yang persisten di tingkat
keasaman ini.
Walaupun pemantauan pH dual-probe 24 jam adalah standar emas dalam
mendiagnosis LPR, namun banyak kekurangannya. Sebagaimana telah dibahas di
atas, posisi yang tepat dari probe sangat penting dan terkadang menghabiskan waktu.
Episode refluks faring mngkin terjadi dalam volume yang sangat kecil sehingga tidak
terdeteksi oleh probe pH caliber kecil melalui faring dan UES.
15
berupa MII-pH (multichannel intraluminal impedance) probe testing, yang dapat
mengukur pH sekaligus aliran serta konduktivitas refluks. Sampai saat ini belum ada
konsensus definisi pasti LPR dalam impedance monitoring.
16
Gambar 12. Perbandingan antara GERD dan LPR
2.9. Tatalaksana
17
8. Edukasi, reassurance, dan teknik relaksasi untuk memastikan pasien tenang,
serta mengurangi kecemasan dan depresi.
2.9.2. Medikamentosa
Tujuan utama dari tatalaksana medikamentosa adalah mengurangi keasaman
cairan lambung dan menetralisir aktivitas asido-peptik pada laring, faring, dan
esofagus. Terapi medikamentosa diberikan apabila keluhan tidak membaik dengan
perubahan gaya hidup.
18
2.9.3. Pembedahan
2.10. Komplikasi
LPR yang didiagnosa dini, ditangani secara adekuat, dan terkontrol jarang
menimbulkan komplikasi berat. Akan tetapi, hal ini seringkali sulit diterapkan karena
underdiagnose dan under treatment pada kasus non-spesifik, serta sifat LPR yang
bersifat kronik-intermiten. Komplikasi yang dapat ditimbulkan LPR antara lain:
1. Gangguan pada laring yang dapat ditimbulkan antara lain: laringitis refluks,
stenosis subglotis, granuloma, ulkus kontak, dan nodul vokalis, vocal
abuse dan scaring.
2. Paparan berulang cairan refluks dapat menyebabkan perubahan
histopatologis jaringan laring maupun faring, sehingga meningkatkan risiko
terjadi keganasan.
3. Refluks juga dapat menyebabkan infeksi berulang secara asenden, sehingga
terjadi rhinitis, sinusitis, hingga otitis media.
4. LPR juga dapat menjadi faktor komorbid asma dan penyakit saluran napas
lainnya seperti pneumonia berulang atau bronkitis melalui mekanisme
aspirasi/mikroaspirasi.
5. Karena sifatnya yang cenderung kronik-intermiten, apabila berkepanjangan
dapat pula menurunkan quality of life dan menyebabkan gangguan psikis
seperti kecemasan dan depresi.
2.11. Prognosis
Angka keberhasilan terapi pada penderita LPR cukup tinggi, yaitu 90% dengan
gabungan terapi non-medikamentosa dan medikamentosa yang tepat dan adekuat.
Pada jangka pendek, LPR jarang menimbulkan komplikasi yang berat atau mengacam
jiwa. Akan tetapi LPR yang berkepanjangan akan menyebabkan perubahan histologis
bermakna dan dapat menimbulkan gangguan fungsi. Pada banyak pasien GERD yang
sudah 6 bulan bebas gejala pun, pemeriksaan histologi pada faring dan laring tetap
menunjukan hasil yang tidak normal. Perubahan reversibel histologi akan secara
perlahan dan merupakan proses tahunan. Faktor predisposisi yang menetap juga akan
menyebabkan rekurensi. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa walaupun tingkat
19
keberhasilan pengobatan LPR memiliki angka kesuksesan yang tinggi, namun tingkat
kekambuhannya juga tinggi.
Daftar Pustaka
1. American Academy of Ophthalmology Staff. The eye. In: Skuta GL, Cantor LB, Weiss
JS, editors. Fundamentals and principles of ophthalmology. Basic and clinical science
course. San Fransisco: American Academy of Ophthalmology;2012. h. 71-85.
2. Andayani G. Retina. In: Sitorus RS, Sitompul R, Widyawati S, Bani AP, editors. Buku
ajar oftalmologi. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia;2017. h. 40-8
3. Tortora G, Nielsen M. Principles of human anatomy, 14th Ed. New York: Wiley; 2016.
4. Park YH, Nam HW. Clinical features and treatment of okular toxoplasmosis. Korean J
Parasitol. 2013.
5. Edwar L. Toksoplasmosis. In: Sitorus RS, Sitompul R, Widyawati S, Bani AP, editors.
Buku ajar oftalmologi. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia;2017. h. 223-7.
6. Maenz M, Schlüter D, Liesenfeld O, Schares G, Gross U, Pleyer U. Okular
toxoplasmosis past, present and new aspects of an old disease. Prog Retin Eye Res.
2014.
7. Pappas G, Roussos N, Falagas ME. Toxoplasmosis snapshots: Global status of
Toxoplasma gondii seroprevalence and implications for pregnancy and congenital
toxoplasmosis. Int J Parasitol. 2009.
20
8. Shimada K. Cyst Formation by Toxoplasma gondii (RH strain) in vitro. Arch
Ophthalmol. 1974.
9. Brézin AP, Kasner L, Thulliez P, Li Q, Daffos F, Nussenblatt RB, et al. Okular
toxoplasmosis in the fetus: Immunohistochemistry analysis and DNA amplification.
Retina. 1994.
10. Silveira C, Vallochi AL, Rodrigues da Silva U, Muccioli C, Holland GN, Nussenblatt
RB, et al. Toxoplasma gondii in the peripheral blood of patients with acute and chronic
toxoplasmosis. Br J Ophthalmol. 2011.
11. Norose K, Mun H-S, Aosai F, Chen M, Piao L-X, Kobayashi M, et al. IFN-γ–regulated
Toxoplasma gondii distribution and load in the murine eye. Investig Opthalmology Vis
Sci. 2003.
12. Subauste CS, Ajzenberg D, Kijlstra A. Review of the series “Disease of the Year 2011:
Toxoplasmosis” pathophysiology of toxoplasmosis. Ocul Immunol Inflamm. 2011.
13. Smith JR, Franc DT, Carter NS, Zamora D, Planck SR, Rosenbaum JT. Susceptibility of
retinal vascular endothelium to infection with Toxoplasma gondii tachyzoites. Investig
Opthalmology Vis Sci. 2004.
14. Arias JD. Retinal and choroidal manifestations of toxoplasmosis. American Academy of
Ophthalmology. 2010
15. Ozgonul C, Besirli CG. Recent developments in the diagnosis and treatment of ocular
toxoplasmosis. Ophthalmic Res. 2017.
16. Kanski J. Clinical ophthalmology. Oxford: Butterworth-Heinemann; 2002.
17. Holland GN, Lewis KG. An update on current practices in the management of ocular
toxoplasmosis. Am J Ophthalmol. 2002 Jul;134(1):102–14.
18. Lasave AF, Díaz-Llopis M, Muccioli C, Belfort R Jr, Arevalo JF. Intravitreal
clindamycin and dexamethasone for zone 1 toxoplasmic retinochoroiditis at twenty-four
months. Ophthalmology; 2010. h.1831-8.
19. Bosch-Driessen LH, Verbraak FD, Suttorp-Schulten MS., van Ruyven RL., Klok AM,
Hoyng CB, et al. A prospective, randomized trial of pyrimethamine and azithromycin vs
pyrimethamine and sulfadiazine for the treatment of ocular toxoplasmosis. Am J
Ophthalmol. 2002.
20. Soheilian M, Sadoughi M-M, Ghajarnia M, Dehghan MH, Yazdani S, Behboudi H, et
al. Prospective randomized trial of trimethoprim/sulfamethoxazole versus
21
pyrimethamine and sulfadiazine in the treatment of ocular toxoplasmosis.
Ophthalmology. 2005. h. 1876–82.
22