Anda di halaman 1dari 31

REFARAT

OBSTRUKSI JALAN NAFAS DAN TATALAKSANANYA

Oleh:
Widya G Simanjuntak
1801006
Pembimbing:
Dr. Mual Kristian Sinaga, Sp.An KMN

DEPARTEMEN ANESTESI DAN REAMINASI


RUMAH SAKIT MURNI TEGUH
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIV. HKBP NOMMENSEN
2019
Daftar Isi

Daftar Isi ................................................................................................................................ i

BAB I Pendahuluan.............................................................................................................. 1

BAB II Tinjauan Pustaka...................................................................................................... 2

2. 1. Anatomi Saluran Nafas Atas ................................................................................... 2

2. 2. Mekanisme Pernafasan ............................................................................................ 6

2. 3. Etiologi, Gejala Klinis, Stadium Obstruksi Saluran Nafas Atas ............................... 9

2. 4. Pemeriksaan Fisik Obstruksi jalan Nafas Atas ....................................................... 14

2. 5. Penatalaksanaan Saluran Nafas Atas ..................................................................... 14

BAB III Kesimpulan .......................................................................................................... 28

Daftar Pustaka ..................................................................................................................... 29

i
BAB I
Pendahuluan

Saluran nafas atas terdiri dari hidung, faring dan laring. Masing- masing memiliki
fungsi yang berperan dalam hal menjaga saluran nafas atas. Hidung dan cavitas nasi
berhubungan dengan fungsi penghidu, pernafasan, penyaringan debu dan pelembapan udara
pernafasan. Faring berfungsi dalam hal respiratorik dan memungkinkan terjadinya vokalisasi
serta laring untuk melindungi jalan napas bawah dari obstruksi benda asing.
Obstruksi saluran nafas atas adalah sumbatan pada saluran nafas atas yang disebabkan
oleh adanya radang, benda asing, trauma, tumor, dan kelumpuhan nervus rekuren bilateral,
sehingga ventilasi pada saluran nafas terganggu. Tanda bahwa jalan napas mengalami obstruksi
adalah suara nafas abnormal: Snoring, gurgling, stridor, tarikan otot leher, ada cekungan di
suprasternal notch, cekungan di daerah iga dan di bawah diafragma, tak terasa ada udara
ekspirasi. Obstruksi saluran nafas atas dapat menyebabkan kegawatdaruratan saluran nafas
mulai dari asfiksia hingga kematian. Kegawatdaruratan saluran nafas membutuhkan tindakan
segera dengan tidak menggunakan alat yaitu, head tilt, chin lift dan jaw trust, Heimlich
manueuver, dengan menggunakan alat, yaitu intubasi endotrakea, trakeostomi, dan
krikotiroidostomi.

1
BAB II
Tinjauan Pustaka

2. 1. Anatomi Saluran Nafas Atas


a. Hidung1
Di dalam hidung (nasus) terdapat organum olfactorium perifer. Fungsi hidung dan
cavitas nasi berhubungan dengan:

a. Fungsi penghidu
b. Pernafasan
c. Penyaringan debu
d. Pelembapan udara pernapasan
e. Penampungan sekret dari sinus paranasales dan ductus nasolacrimalis
Bentuk luar hidung sangat bervariasi dalam hal ukuran dan bentuk, terutama
karena perbedaan pada tulang rawan hidung. Punggung hidung yang meluas dari
akar hidung di wajah ke puncaknya (ujung hidung) . Hidung meliputi bagian
eksternal yang menonjol dari wajah dan bagian internal berupa rongga hidung
sebagai alat penyalur udara. Hidung bagian luar tertutup oleh kulit dan disupport
oleh sepasang tulang hidung.
Rongga hidung terdiri atas :
 Vestibulum yang dilapisi oleh sel submukosa sebagai proteksi
 Dalam rongga hidung terdapat rambut yang berperan sebagai penapis udara
 Struktur konka yang berfungsi sebagai proteksi terhadap udara luar karena
94 strukturnya yang berlapis
 Sel silia yang berperan untuk mlemparkan benda asing ke luar dalam usaha
untuk membersihkan jalan napas.

2
Bagian internal hidung adalah rongga berlorong yang dipisahkan menjadi
rongga hidung kanan dan kiri oleh pembagi vertikal yang sempit, yang disebut septum.
Masing-masing rongga hidung dibagi menjadi 3 saluran oleh penonjolan turbinasi atau
konka dari dinding lateral. Rongga hidung dilapisi dengan membran mukosa yang
sangat banyak mengandung vaskular yang disebut mukosa hidung. Lendir di sekresi
secara terus-menerus oleh sel-sel goblet yang melapisi permukaan mukosa hidung dan
bergerak ke belakang ke nasofaring oleh gerakan silia.
Rongga hidung dimulai dari Vestibulum, yakni pada bagian anterior ke bagian
posterior yang berbatasan dengan nasofaring. Rongga hidung terbagi atas 2 bagian,
yakni secara longitudinal oleh septum hidung dan secara transversal oleh konka
superior, medialis, dan inferior.

Hidung berfungsi sebagai saluran untuk udara mengalir ke dan dari paru-paru.
Jalan napas ini berfungsi sebagai penyaring kotoran dan melembabkan serta
menghangatkan udara yang dihirupkan ke dalam paru-paru. Hidung bertanggung jawab
terhadap olfaktori atau penghidu karena reseptor olfaksi terletak dalam mukosa hidung.
Fungsi ini berkurang sejalan dengan pertambahan usia.
 Vaskularisasi dan Persarafan
Pendarahan dinding medial dan lateral cavitas nasi terjadi melalui cabang arteria
spheno palatina, arteria ethmoidalis anterior dan arteria ethmoidalis posterior, arteri
palatina mayor, arteri labialis superior, dan rami lateralis arteria facialis. Plexus venosus
menyalurkan darah kembali ke dalam vena sphenopalatina, vena facialis, dan vena
ophtalmica.
Persarafan bagian dua pertiga inferior membran mukosa hidung terutama terjadi
melalui nervus nasopalatinus, cabang nervus cranialis V2. Bagian anterior dipersarafi
oleh nervus ethmoidalis anteior, cabang nervus nasociliaris yang merupakan cabang
nervus cranialis V1. Dinding lateral cavitas nasi memperoleh persarafan melalui rami
nasales maxilaris (nervus cranialis V2), nervus palatinus major, dan nervus ethmoidalis
anterior.
 Fungsi Rongga Hidung
Terdapat 3 fungsi Rongga Hidung, antara lain :
a. Dalam hal pernafasan, udara yang diinspirasi melalui rongga hidung akan menjalani
tiga proses yaitu penyaringan (filtrasi), penghangatan, dan pelembaban. Penyaringan
dilakukan oleh membran mukosa pada rongga hidung yang sangat kaya akan pembuluh

3
darah dan glandula serosa yang mensekresikan mukus cair untuk membersihkan udara
sebelum masuk ke Oropharynx. Penghangatan dilakukan oleh jaringan pembuluh darah
yang sangat kaya pada ephitel nasal dan menutupi area yang sangat luas dari rongga
hidung. Dan pelembaban dilakukan oleh concha, yaitu suatu area penonjolan tulang
yang dilapisi oleh mukosa.
b. Epithellium olfactory pada bagian medial rongga hidung memiliki fungsi dalam
penerimaan sensasi bau.
c. Rongga hidung juga berhubungan dengan pembentukkan suara-suara fenotik dimana ia
berfungsi sebagai ruang resonansi.
b. Faring
Faring merupakan saluran yang memiliki panjang kurang lebih 13 cm yang
menghubungkan nasal dan rongga mulut kepada larynx pada dasar tengkorak. Faring
meluas dari dasar cranium sampai tepi bawah cartilago cricoidea di sebelah anterior dan
sampai tepi bawah vertebra cervicalis VI di sebelah posterior. Dinding faring terutama
dibentuk oleh dua lapis otot-otot faring. Lapisan otot sirkular di sebelah luar terdiri dari
tiga otot konstriktor. Lapisan otot internal yang terutama teratur longitudinal, terdiri dari
muskulus palatopharyngeus, musculus stylopharingeus, dan musculus
salphingopharingeus. Otot-otot ini mengangkat faring dan laring sewaktu menelan dan
berbicara.
Fungsi Faring
Nasofaring  Ada saluran penghubung antara nasopharinx dengan telinga
bagian tengah, yaitu Tuba Eustachius dan Tuba Auditory
 Ada Phariyngeal tonsil (adenoids), terletak pada bagian
posterior nasopharinx, merupakan bagian dari jaringan
Lymphatic pada permukaan posterior lidah
 Mempunyai fungsi respiratorik.
Orofaring  Merupakan bagian tengah faring antara palatum lunak dan
tulang hyoid. Refleks menelan berawal dari orofaring
menimbulkan dua perubahan, makanan terdorong masuk ke
saluran pencernaan (oesephagus) dan secara simultan katup
menutup laring untuk mencegah makanan masuk ke dalam
saluran pernapasan
 Mempunyai fungsi pencernaan makanan

4
Laringofaring  Merupakan posisi terendah dari faring. Pada bagian
bawahnya, sistem respirasi menjadi terpisah dari sistem
digestil. Makanan masuk ke bagian belakang, oesephagus
dan udara masuk ke arah depan masuk ke laring.
 Vaskularisasi dan persarafan
Arteria tonsillaris, cabang arteria facialis melintas lewat musculus constrictor
pharyng superior dan masuk ke kutub bawah tonsil. Tonsila palatina juga menerima
ranting-ranting arterial dari arteria palatina ascendens, arteria lingualis, arteria palatina
descendens, dan arteria pharyngea ascendens.
Ketiga muskulus konstriktor faring dipersyarafi oleh plexus pharyngealis
(nervus glossopharyngeus) yang terletak pada dinding lateral faring, terutama pada
muskulus konstriktor faringealis medius. Susunan secara bertumpang tindih muskulus
konstriktor menyisakan empat celah pada otot-otot tersebut untuk struktur yang
memasuki faring.
c. Laring
Laring tersusun atas 9 Cartilago ( 6 Cartilago kecil dan 3 Cartilago besar ). Terbesar
adalah Cartilago thyroid yang berbentuk seperti kapal, bagian depannya mengalami
penonjolan membentuk “adam’s apple”, dan di dalam cartilago ini ada pita suara.
Sedikit di bawah cartilago thyroid terdapat cartilago cricoid. Laring
menghubungkan Laringopharynx dengan trachea, terletak pada garis tengah
anterior dari leher pada vertebrata cervical 4 sampai 6.

Gambar 3. Anatomi laring

5
Fungsi utama laring adalah untuk memungkinkan terjadinya vokalisasi. Laring
juga melindungi jalan napas bawah dari obstruksi benda asing dan memudahkan batuk.
Laring sering disebut sebagai kotak suara dan terdiri atas:
Epiglotis Daun katup kartilago yang menutupi ostium ke
arah laring selama menelan
Glotis Ostium antara pita suara dalam laring
Kartilago Thyroid Kartilago terbesar pada trakea, sebagian dari
kartilago ini membentuk jakun ( Adam’s Apple )
Kartilago Krikoid Satu-satunya cincin kartilago yang komplit dalam
laring (terletak di bawah kartilago thyroid )
Kartilago Aritenoid Digunakan dalam gerakan pita suara dengan
kartilago thyroid
Pita suara Ligamen yang dikontrol oleh gerakan otot yang
menghasilkan bunyi suara; pita suara melekat pada
lumen laring.

2. 2. Mekanisme Pernafasan2

Dalam pernapasan selalu terjadi dua siklus, yaitu inspirasi (menghirup udara) dan
ekpirasi (menghembuskan udara). Berdasarkan cara melakukan inspirasi dan ekspirasi
serta tempat terjadinya, manusia dapat melakukan dua mekanisme pernapasan, yaitu
pernapasan dada dan pernapasan perut.

Pernapasan dada

Proses inpirasi ini diawali dengan berkontraksinya muskulus interkotalis (otot antar
tulang rusuk), sehingga menyebabkan terangkatnya tulang rusuk. Keadaan ini
mengakibatkan rongga dada membesar dan paru-paru mengembang. Paru-paru yang
mengembang menyebabkan tekanan udara rongga paru-paru menjadi lebih rendah dari
tekanan udara luar. Dengan demikian, udara luar masuk ke dalam paru-paru.
Sebaliknya, proses ekspirasi berlangsung pada saat muskulus interkostalis berelaksasi
sehingga tulang rusuk turun kembali. Keadaan ini mengakibatkan rongga dada
menyempit dan paru-paru mengecil. Paru-paru yang mengecil menyebabkan tekanan

6
udara dalam rongga paru-paru menjadi lebih tinggi dari tekanan udara luar, sehingga
udara keluar dari paru-paru.

Pernapasan perut

Mekanisme proses inspirasi pernapasan perut diawali dengan berkontraksinya otot


diafragma, sehingga diafragma yang semula melengkung berubah menjadi datar.
Keadaan diafragma yang datar mengakibatkan rongga dada dan paru-paru
mengembang. Tekanan udara yang rendah dalam paru-paru menyebabkan udara dari
luar masuk ke dalam paru-paru. Proses ekspirasi terjadi pada saat otot diafragma
berelaksasi, sehingga diafragma kembali melengkung. Keadaan melengkungnya
diafragma mengakibatkan rongga dada dan paru-paru mengecil, tekanan udara dalam
paru-paru naik, sehingga udara keluar dari paru-paru.

Macam-macam pola pernapasan patologis (abnormal)

1. Takipnea

Takipnea adalah frekuensi pernapasan yang lebih cepat dari pernapasan normal (>20
kaliper menit) yang dapat muncul dengan atau tanpa dispnea. Takipnea biasanya terjadi
pada penyakit flu atau pilek pada anak-anak. Beberapa penyabab lain yaitu pneumonia,
penyakit paru obstruktif (PPOK), emboli paru, dan asma yang dapat meningkatkan laju
respirasi.

2. Bradipnea

Bradipnea merupakan kebalikan dari takipnea dimana frekuensi pernapasan yang


jumlahnya menurun di bawah frekuensi pernapasan normal (<14 kali per menit).
Terjadi pada penyakit uremia, koma diabetik, dll.

3. Dispnea

Dispnea atau sesak napas adalah perasaan sulit bernapas dan merupakan gejala utama
dari pentakit kardiopulmonar. Seseorang yang mengalami dispnea sering mengeluh
napasnya menjadi pendek atau merasa tercekik. Gejala objektif sesak napas termasuk
juga penggunaan otot-otot pernapasan tambahan (sternokleidomastoideus, scalenus,
trapezius, pectoralis mayor), pernapasan cuping hidung, takipnea, dan
hiperventilasi.sesak napas tidak selalu menunjukkan adanya penyaki, orang normal

7
akan mengalami hal yang sama setelah melakukan kegiatan fisik dalam tingkat tingkat
yang berbeda.

4. Ortopnea

Ortopnea merupakan sesak napas yang terjadi bila penderita dalam posisi berbaring dan
akan berkurang bila penderita berada dalam posisi tegak (duduk atau berdiri). Penyebab
tersering ortopnea adalah gagal jantug kongesif akibat dari peningkatan volume darah
di vaskularisasi sentral pada posisi berbaring.

5. Hipoventilasi

Hipoventilasi merupakan suatu penurunan frekuensi ventilasi. Penurunan ini berkaitan


dengan metabolisme atau kecepatan metabolisme yang sedang berlangsung.
Hipoventilasi dapat menyebabkan peningkatan PCO2 sehingga berakibat pada
penurunan pH darah yang akhirnya dapat menyebabkan asidosis respiratorik.

6. Hiperventilasi

Hiperventilasi merupakan cara tubuh mengompensasi metabolisme tubuh yang


melampau tinggi dengan pernapasan lebih cepat dan dalam, sehingga terjadi
peningkatan jumlah oksigen dalam paru-paru. Proses ini di tandai adanya peningkatan
denyut nadi, napas pendek, adanya nyeri dada, menurunnya konsentrasi CO2 dan lain-
lain. Biasanya hiperventilasi disebabkan oleh asidosis, infeksi, dan kecemasan.

7. Hiperpnea (pernapasan dalam)

Hiperpnea merupakan peningkatan ventilasi paru yang dihubungkan dengan kebutuhan


metabolisme karena kebutuhan oksigen yang meningkat. Kebutuhan oksigen yang
meningkat dicapai dengan cara meningkatkan frekuensi pernapasan, volume tidal, atau
keduanya.

8. Pernapasan Kussmaul

Pola pernapasan kusmaul berupa irama pernapasan yang cepat, dalam, dan teratur
(takipnea disertai dengan hiperpnea). Jumlah kedalamannya meningkat sering melebihi
20 kali permenit. Pernapasan ini dijumpai biasanya pada klien dengan asidosis
metabolik (misalnya pada diabetes militus tdak terkontrol, gagal ginjal, dll).

9. Pernapasan Cheyne-Stokes

8
Pernapasan Cheyne-Stokes merupakan suatu keadaan pernapasan dengan irama
pernapasan yang semakin lama akan semakin membesar. Setelah mencapai maksimum,
irama pernapasan berubah semakin lama menjadi semakin kecil dan kemudian
dilanjutkan dengan tahap apnea. Jadi, rangkaian pernapasan diputus-putus oleh periode
apnea. Jenis pernapasan ini biasanya terjadi pada klien gagal jantung, peningkatan
tekanan intracranial, overdosis obat. Namun secara fisiologis, jenis pernapasan ini
terutama terdapat pada orang di ketinggian 12.000-15.000 kaki di atas permukaan laut
dan pada bayi saat tidur.

10. Pernapasan biot

Pernapasan biot yaitu pernapasan yang mirip dengan pernapasan cheyne-stokes, tetapi
amplitudonya rata dan disertai apnea. Secara klinis, pola yang terlihat adalah satu atau
beberapa kali usaha melakukan pernapasan dengan amplitudo dan irama yang tidak
teratur serta diselingi periode istirahat. Pernapasan dapat dalam dan dangkal, penyebab
antara lain depresi pernapasan dan kerusakan otak (khususnya setinggi medulla
oblongata).

2. 3. Etiologi, Gejala Klinis, Stadium Obstruksi Saluran Nafas


Atas3,4,5
A. Etiologi
1. Kongenital
a. Atresia koana
Atresia koana adalah tertutupnya satu atau kedua posterior kavum nasi oleh
membran abnormal atau tulang. Hal ini terjadi akibat kegagalan embriologik dari
membran bukonasal untuk membelah sebelum kelahiran. Gejala yang paling khas
pada atresia koana adalah tidak adanya atau tidak adekuatnya jalan napas hidung.
b. Stenosis subglotik6
Pada daerah subglotik, 2-3 cm dari pita suara, sering terdapat penyempitan.
Kelainan yang dapat menyebabkan stenosis subglotik ialah :
1. Penebalan jaringan submukosa dengan hyperplasia kelenjar mucus dan fibrosis.
2. Kelainan bentuk tulang rawan krikoid dengan lumen yang lebih kecil.
3. Bentuk tulang rawan normal dengan ukuran lebih kecil
4. Pergeseran cincin trakea pertama kearah atas belakang ke dalam lumen krikoid.

9
Gejala stenosis subglotik ialah stridor, dispneu, retraksi di suprasternal, epigastrium
interkostal serta subklavikula

2. Radang
Epiglotits akut
Epiglotitis akut adalah suatu keadaan inflamasi akut yang terjadi pada daerah
supraglotis dari orofaring, meliputi epiglotis, valekula, aritenoid, dan lipatan
ariepiglotika. Pada pasien anak-anak, gejala yang sering ditemui adalah sesak napas
dan stridor yang didahului oleh demam, sedangkan pada pasien dewasa gejala yang
terjadi lebih ringan, dan yang paling sering dikeluhkan adalah nyeri tenggorokan
dan nyeri saat menelan.
3. Trauma
a. Trauma Mandibula
Trauma pada wajah menuntut manajemen jalan napas yang agresif namun
cermat. Trauma pada mandibula dapat menghasilkan patah tulang dan dislokasi
yang membahayakan nasofaring dan orofaring. Patah tulang wajah dapat
dikaitkan dengan perdarahan, pembengkakan, peningkatan sekresi, dan gigi
yang terlepas, yang menyebabkan kesulitan dalam mempertahankan jalan napas
paten. Patah tulang mandibula, terutama patah tulang bilateral, dapat
menyebabkan hilangnya dukungan struktural saluran napas normal, dan
obstruksi jalan napas dapat terjadi jika pasien berada dalam posisi terlentang.
Pasien yang menolak untuk berbaring mungkin mengalami kesulitan dalam
mempertahankan saluran napas mereka atau penanganan sekresi. Selain itu,
menyediakan anestesi umum, sedasi, atau relaksasi otot dapat menyebabkan
total kerugian saluran napas karena berkurangnya atau tidak adanya nada otot.
b. Trauma leher
Cedera menembus leher dapat menyebabkan cedera pembuluh darah dengan
hematoma signifikan, yang dapat mengakibatkan perpindahan dan obstruksi
saluran napas. Mungkin perlu untuk secara perlahan membentuk jalan napas
jika perpindahan dan obstruksi ini mencegah intubasi endotrakeal yang berhasil.
Perdarahan dari cedera pembuluh darah yang berdekatan bisa sangat besar, dan
kontrol operatif mungkin diperlukan. Baik cedera tumpul dan menembus leher
dapat menyebabkan gangguan pada laring atau trakea, mengakibatkan obstruksi
saluran napas dan/atau pendarahan parah ke pohon trakheobronkial. Cedera
10
leher melibatkan gangguan laring dan trakea atau kompresi dari saluran napas
dari perdarahan ke jaringan lunak dapat menyebabkan obstruksi parsial jalan
napas.
c. Trauma laring
Meskipun fraktur laring jarang terjadi, mereka dapat hadir dengan obstruksi
saluran napas akut. Cedera ini ditunjukkan oleh Trias tanda klinis:
1. Suara serak
2. Emfisema subkutan
3. Patah tulang teraba
Intubasi endoskopik fleksibel dapat membantu dalam situasi ini, tetapi hanya
jika dapat dilakukan segera. Jika intubasi tidak berhasil, maka Trakeostomi
darurat ditunjukkan, diikuti dengan perbaikan operasi. Namun, Trakeostomi
sulit untuk melakukan di bawah kondisi darurat, dapat dikaitkan dengan
pendarahan berlimpah, dan dapat memakan waktu. Bedah cricothyroidotomy,
meskipun tidak lebih disukai dalam situasi ini, dapat menjadi opsi penyelamatan
nyawa. Trauma menembus ke laring atau trakea dapat menjadi berlebihan dan
memerlukan manajemen segera. Cedera ini sering dikaitkan dengan trauma
pada kerongkongan, arteri karotis, atau vena jugularis, serta kerusakan jaringan
lunak atau pembengkakan. Pernapasan yang bising menunjukkan obstruksi
saluran napas parsial yang dapat mendadak menjadi lengkap, sedangkan tidak
adanya suara pernapasan menunjukkan OB-struction lengkap. Ketika tingkat
kesadaran pasien tertekan, Deteksi obstruksi jalan napas yang signifikan lebih
halus, dan sesak napas mungkin satu-satunya petunjuk untuk obstruksi saluran
napas atau cedera trakheobronkus. Jika fraktur laring diduga, berdasarkan
mekanisme cedera dan temuan fisik yang halus, computed tomography (CT)
dapat membantu mendiagnosa cedera ini.
d. Paralisis Laring
 Paralisis n. laringeus superior
Paralisis n. laringeus superior di proksimal percabangannya menjadi
cabang ekstern dan intern menyebabkan penderita tersedak bila minum akibat
anastesi mukosa sebab tidak merasa minuman turun. Terjadi juga perubahn
nada dan resonansi suara bila penderita bicara keras atau menyanyi terlalu lama
karena tegangan pita suara terganggu. Gerakan abduksi dan adduksi pita suara
tidak terganggu.
11
 Paralisis n. laringeus rekurens

N.laringeus rekurens atau n. laringeus inferior melayani m.abduktor dan


m.adduktor pita suara. Paralisis bilateral n. laringeus rekurens menyebabkan
sesak nafas karena celah suara sempit karena kedua pita suara tidak dapat
abduksi pada inspirasi, sehingga menetap pada posisi paramedian

e. Trauma trakea
Trauma tumpul tidak menimbulkan gejala atau tanda, tetapi dapat juga
mengakibatkan kelainan lebih hebat berupa sesak nafas karena penekanan jalan
nafas atau aspirasi darah atau emfisema kutis bila trakea robek.
f. Trauma intubasi
Pemasangan pipa endotrakea yang lama dapat menimbulkan udema laring dan
trakea. Gejalanya suara penderita terdengar parau, dan adanya kesulitan
menelan, gangguan aktivitas laring, dan beberapa derajat obstruksi pernafasan.
4. Tumor
a. Hemangioma
Gejalanya ialah terdapat hemoptisis dan bila tumor itu besar, terdapat juga
sumbatan laring.
b. Papiloma Laring
Gejala utama adalah suara parau. Kadang-kadang terdapat pula betuk. Apabila
papiloma telah menutup rima glottis maka timbul sesak nafas dengan stridor.
c. Tumor Ganas Laring
Serak adalah gejala utama karsinoma laring, merupakan gejala paling dini
tumor pita suara. Hal ini disebabkan karena gangguan fungsi fonasi laring. Pada
tumor ganas laring, pita suara gagal berfungsi secara baik disebabkan oleh
ketidakteraturan pita suara, oklusi atau penyempitan celah glotik, terserangnya
otot-otot vokalis, sendi dan ligament krikoaritenoid dan kadang-kadang
menyerang saraf. Kadang-kadang bisa afoni karena nyeri, sumbatan jalan nafas
atau paralisis komplit
5. Benda Asing
a. Benda asing di hidung

12
Benda asing di hidung sering terjadi pada anak, dan pada anak sering luput dari
perhatian, gejala yang sering ditimbul yaitu hidung tersumbat, rinore unilateral
dengan cairan kental dan berbau, kadang – kadang demam, nyeri, epitaksisi dan
bersin.
b. Benda asing di orofaring dan hipofaring
Benda asing di orofaring dan hipofaring dapat tersangkut antara lain di tonsil,
dasar lidah, valekula dan sinus piriformis yang akan menimbulkan rasa nyeri
menelan (odinofagia), baik saat makan maupun meludah, terutama benda asing
tajam seperti tulang ikan dan tulang ayam. Pemeriksaan di dasar lidah, valekula
dan sinus piriformis diperlukan kaca tenggorokan yang besar (no 8 – 10). Benda
asing di sinus piriformis menunjukkan tanda Jakcson (Jackson’s Sign) yaitu
terdapat akumulasi ludah di sinus piriformis tempat benda asing tersangkut.
c. Benda asing di laring
Benda asing pada laring bisa bersifat total atau subtotal. Jika benda asing
dilaring menutupi secara total merupakan kegawatan dan akan menimbulkan
gejala berupa disfonia sampai afonia, apne dan sianosis.
B. Gejala Klinis
 Suara nafas abnormal: Snoring, gurgling, stridor
 Tarikan otot leher
 Ada cekungan di suprasternal notch
 Cekungan di daerah iga dan di bawah diafragma
 Tak terasa ada udara ekspirasi
C. Stadium Obstruksi Jalan Nafas Atas7
Jackson membagi sumbatan laring yang progresif dalam 4 stadium:
Stadium I : Adanya retraksi di suprasternal dan stridor. Pasien tampak tenang
Stadium II: Retraksi pada waktu inspirasi di daerah suprasternal makin dalam, ditambah
lagi dengan timbulnya retraksi di daerah epigastrium. Pasien sudah mulai gelisah.
Stadium III : Retraksi selain di daerah suprastrenal, epigastrium juga terdapat di
infraklavikula dan di sela-sela iga, pasien sangat gelisah dan dispnea.
Stadium IV : Retraksi bertambah jelas, pasien sangat gelisah, tampak sangat ketakutan
dan sianosis, jika keadaan ini berlangsung terus maka penderita akan kehabisan tenaga,
pusat pernapasan paralitik karena hiperkapnea. Pada keadaan ini penderita tampaknya
tenang dan tertidur, akhirnya penderita meninggal karena asfiksia.

13
2. 4. Pemeriksaan Fisik Obstruksi jalan Nafas Atas 8

Pemeriksaan pertama pada pasien dilakukan inspeksi dari depan atau samping untuk
mengidentifikasi masalah dengan jelas seperti obesitas, kollar servikal, alat traksi,
trauma eksternal atau ada indikasi kesulitan jalan nafas seperti adanya anomali dan
tangan sering diyakini adanya kesulitan jalan nafas. Membuka mulut, besarnya fungsi
persendian temporomandibula, adalah sangat penting untuk memungkinkan insersi
blade laringoskop dan visualisasi glotis. Pada orang dewasa seharusnya dapat membuka
mulut 30-40 mm atau sekitar 2 jari antara gigi seri atas dengan gigi seri bawah. Jarak
dari permukaan dalam mandibula ke tulang hyoid selama leher ekstensi maksimal
sekurang-kurangnya 2 jari pada orang dewasa. Jarak tyromental sekitar 3 jari. Tidak
banyak perbedaan hasil menggunakan jarak hyomental atau tyromental kecuali bahwa
tulang rawan tiroid lebih mudah lokasinya. Pada leher, pemeriksaan massa, fiksasi dan
mobilitas khususnya dengan ekstensi. Pasien dengan leher pendek, gemuk, leher
berotot (seperti pakaian football klasik), dengan gigi yang utuh menimbulkan kesulitan
untuk mask ventilasi dan sangat sulit untuk laringoskopi. Eksposur laring
membutuhkan pleksi sekitar 35 derajat pada leher bagian bawah dan ekstensi sekitar 80
derajat pada leher bagian atas khususnya persendian atlantoocipital

Penilaian kesulitan pemasangan intubasi

Skor Mallampati

2. 5. Penatalaksanaan Saluran Nafas Atas


A. Tindakan Pembebasan Jalan Nafas dengan Tanpa Alat 3,9
1. Head-tilt (dorong kepala ke belakang) Cara : Letakkan satu telapak tangan di dahi
pasien dan tekan ke bawah, sehingga kepala menjadi tengadah sehingga penyangga
lidah terangkat ke depan.

14
2. Chin lift Cara : Gunakan jari tengah dan jari telunjuk untuk memegang tulang dagu
pasien, kemudian angkat dan dorong tulangnya ke depan
3. Jaw thrust Cara : Dorong sudut rahang kiri dan kanan ke arah depan sehingga barisan
gigi bawah berada di depan barisan gigi atas. Atau gunakan ibu jari ke dalam mulut dan
bersama dengan jarijari lain tarik dagu ke depan.
B. Pengelolaan jalan napas Akibat Sumbatan Benda Asing Padat
1. Tersedak ( Choking ) Back Blow/Back Slaps
Korban dewasa sadar
1. Bila korban masih sempoyongan. Rangkul dari belakang
2. Lengan menahan tubuh, lengan yang lain melalukan Back Blow/Back Slaps.
Pertahankan korban jangan sampai tersungkur
3. Berikan pukulan / hentakan keras 5 kali , dengan kepalan ( genggaman tangan ). ada
titik silang garis imaginasi tulang belakang dan garis antar belikat. Bila belum berhasil
secara pelan segera baringkan korban pada posisi terlentang. Lakukan abdominal
thrust..
2. Abdominal Thrust
Korban berdiri/Korban dewasa sadar
1. Rangkul korban yang sedang sempoyongan dengan kedua lengan dari belakang
2. Lakukan hentakan tarikan, 5 kali dengan menarik kedua lengan penolong
bertumpuk pada kepalan kedua tangannya tepat di titik hentak yang terletak pada
pertengahan pusar dan titik ulu hati korban. Bila belum berhasil secara pelan segera
baringkan korban pada posisi terlentang. Lakukan abdominal thrust.
Korban terbaring /Korban dewasa tidak sadar
1. Bila korban jatuh tidak sadar, segera baringkan terlentang
2. Penolong mengambil posisi seperti naik kuda diatas tubuh korban atau disamping
korban sebatas pinggul korban.
3. Lakukan hentakan mendorong 5 kali dengan menggunakan kedua lengan penolong
bertumpu tepat diatas titik hentakan ( daerah epigastrium ).
C. Tindakan Pembebasan Jalan Nafas dengan Alat
1. Oropharyngeal Airway (OPA)
Digunakan pada pasien tidak sadar bila head tilt-chin lift tidak berhasil
mempertahankan jalan nafas atas terbuka. Tidak boleh diberikan pada pasien yang
sadar/setengah sadar karena dapat menyebabkan batuk dan muntah.
2. Nasopharyngeal Airway (NPA)
15
Dapat digunakan pada pasien sadar/setengah sadar. Indikasi lain penggunaan NPA
adalah bila terdapat kesulitam pengunaan OPA seperti ada trauma disekitar mulut atau
trismus.
3. Extraglottic and Supraglottic Devices
a. Laryngeal Mask Airway dan Intubasi LMA
LMA merupakan pipa yang ujungnya berbentuk sungkup dengan balon yang bisa
dikembangkan. LMA dimasukkan ke dalam faring tanpa laringoskopi
Indikasi pemasangan LMA
 Ketidakmampuan penolong memberikan ventilasi dengan alat kantong
nafas-sungkup muka
 Henti nafas dan henti jantung

Cara pemasangan

 Masukkan LMA ke dalam mulut sampai terasa ada tahanan. Adanya


tahanan menunjukkan ajung distal pipa LMA sampai hipofaring
 Kembangkan balonnya. Pengembangan balon akan mendorong sungkup
menutupi lubang trakea dan menyebabkan udara mengalir lewat pipa masuk
 Pemberian ventilasi degan pipa LMA akan mengalirkan udara lewat lubang
di tengah sungkup
 Periksa pengembangan dinding dada dan lakukan auskultasi di 5 tempat
untuk memastikan udara masuk ke dalam paru-paru.
b. Laryngeal Mask Airway dan Intubasi LTA
Airway tabung laring (LTA) adalah perangkat napas ektraglottik dengan
kemampuan yang mirip dengan LMA dalam menyediakan ventilasi pasien.
ILTA adalah evolusi dari perangkat yang memungkinkan intubasi melalui LTA.
LTA tidak definitif, sehingga rencana untuk memberikan jalan napas definitif
diperlukan. Seperti LMA, LTA ditempatkan tanpa visualisasi langsung dari
glotis dan tidak memerlukan manipulasi yang signifikan dari kepala dan leher
untuk penempatan.

Pemberian Ventilasi dengan alat bantu jalan nafas tingkat lanjut

1. Intubasi Endotrakea

16
Intubasi endotrakea merupakan proses memasukkan pipa endotrakea ke dalam trakea
pasien

Kegunaan pipa endotrakea:

 Memelihara jalan nafas atas tetap terbuka paten)


 Membantu pemberian oksigen konsentrasi tinggi
 Memfasilitasi pemeberian ventilasi dengan volume tidal yang tepat untuk
memelihara pengembangan paru yang adekuat.
 Mencegah jalan nafas dari aspirasi isi lambung atau benda padat atau cairan ke
mulut, kerongkongan atau jalan nafas atas.
 Mempermudah penyedotan cairan dalam trakea

Indikasi intubasi endotrakea adalah

 Ventilasi tekanan positif dengan kantong nafas-sungkup muka yang tidak


memungkinkan atau tidak efektif pada henti jantung
 Pasien gagal nafas, hipoksia hipoksemia yang memerlukan oksigen aliran tinggi
yang gagal dengan alat-alat ventilasi yang tidak invasif.
 Pasien yang tidak bisa mempertahankan jalan nafas sendiri, misalnya pasien
koma/berada di bawah pengaruh obat anestesi.
2. Combitube (Pipa esofagus-trakea)
Combitube merupakan pipa dengan dua lumen dan dua balon. Pipa ini dipasang
tanpa perlu memvisualisasi pita suara. Satu lumen mempunyai lubang-lubang
ventilasi di sisi pipa pada tingkat hipofaring dan ujung distalnya buntu. Satu lumen
lainnya mempunyai ujung yang terbuka. Bila combitube dimasukkan ke dalam
mulut dan balon faring dikembangka, ballon akan berada di antara dasar lidah dan
palatum molle, sehingga combitube berada pada posis yang tepat dan memisahkan
orofaring dari hipofaring. Pengembangan balon esofagus akan memisahkan trakea
dan esofagus. Kontraindikasi pengunaan combitube adalah pasien dengan refleks
laring atau faring.
Cara pemasangan combitube
1. Pegang dan masukkan pipa combitube yang balonnya dalam keadaan kempis
dengan arah lengkungan pipa searah dengan lengkungan faring ke dalam mulut
sampai 2 garis hitam pada pipa terletak di antara di gigi atas dan gigi bawah
pasien

17
2. Kemudian kembangkan balon faring (proksimal/biru) dengan 80-100 ml udara
dan kemudian balon esofagus (distal/putih) dengan 12-15 ml udara
3. Pastikan posisi combitube didalam esofagus atau trakea.
4. Dengan memberikan ventilasi melalui pipa biru (faring/proksimal) dan lihat
dada terangkat, maka pipa combitube masuk ke dalam esofagus. Meskipun
combitube masuk kedalam esofagus tapi dapat mengembangkan paru karena
ventilasi masuk ke dalam lubang-lubang pada sisi lumen faring yang berada
diantara 2 balon, dan udara akan masuk ke dalam trakea
5. Apabila ventilasi melalui pipa biru (faring/proksimal) tidak dapat
mengembangkan paru, artinya dada tidak terangkat, maka ventilasi diberikan
melalui pipa putih (trakea/distal) dan lihat dada terangkat, berarti combitube
masuk ke dalam trakea sehingga fungsi combitube sama dengan pipa
endotrakea.
3. Krikotiroidotomi10
Krikotiroidotomi merupakan tindakan penyelamat pada pasien dalam keadaan
gawat napas. Dengan cara membelah membrane krikotiroid untuk dipasang kanul.
Membrane ini terletak dekat kulit, tidak terlalu kaya darah sehingga lebih mudah
dicapai. Tindakan ini harus dikerjakan cepat walaupun persiapannya darurat.
 Klasifikasi

Krikotiroidotomi dibagi menjadi 2 macam yaitu needle cricothyroidotomy


dan surgical cricothyroidotomy

a. Needle cricothyroidotomy. Pada needle cricothyroidotomy,sebuah semprit


dengan jarum digunakan untuk melubangi melewati membran krikoid yang
berada sepanjang trakea. Setelah jarum menjangkau trakea, kateter dilepaskan
dari jarumnya dan dimasukkan ke tenggorokan dan dilekatkan pada sebuah
kantung berkatup.

18
Gambar 15. Krikotiroidotomi

b. Surgical cricothyroidotomy. Pada surgical cricothyroidotomy, dokter dan tim


medis lainnya membuat insisi melewati membran krikoid sampai ke trakea
dengan tujuan memasukkan pipa untuk ventilasi pasien.

 Teknik Krikotirodotomi
Pasien tidur telentang dengan kepala ekstensi pada artikulasio atlanto
oksipitalis. Puncak tulang rawan tiroid (Adam’s apple) mudah diidentifikasi
difiksasi dengan jari tangan kiri. Dengan telunjuk jari tangan kanan tulang
rawan tiroid diraba ke bawah sampai ditemukan kartilago krikoid. Membrane
krikotiroid terdapat diantara kedua tulang rawan ini. Daerah ini diinfiltrasi
dengan anestetikum kemudian dibuat sayatan horizontal pada kulit. Jaringan
dibawah sayatan dipisahkan tepat pada garis tengah. Setelah tepi bawah
kartilago tiroid terlihat, tusukkan pisau dengan arah ke bawah. Kemudian,
masukkan kanul bila tersedia. Jika tidak, dapat dipakai pipa plastic untuk
sementara.
Krikotirodotomi merupakan kontraindikasi pada anak dibawah 12
tahun, demikian juga pada tumor laring yang sudah meluas ke subglotik dan
terdapat laryngitis. Stenosis subglotik akan timbul bila kanul dibiarkan terlalu
lama karena kanul yang letaknya tinggi akan mengiritasi jaringan-jaringan
disekitar subglotis, sehingga terbentuk jaringan granulasi dan sebaiknya segera
diganti dengan trakeostomi dalam waktu 48 jam.
 Indikasi dan kontraindikasi
Indikasi Absolut krikotiroidotomi :

19
 Gagal intubasi, tidak terjadi ventilasi, atau pasien tidak bias tenang terhadap
pemasangan alat bantu nafas.
Indikasi relative krikotiroidotomi :
 Trauma wajah atau orofaringeal yang massif
 Pembengkakan wajah atau orofaringeal yang masif.
Kontraindikasi absolute:
Tidak ada kontraindikasi absolute untuk dilakukan krikotiroidotomi
Kontrainsokasi relative :
Transeksi trakea dengan retraksi trakea ke mediastinum
Fraktur laring atau trauma pada kartilago krikoid
Tumor laring
Anak usia < 8 tahun karena anatomi kecil dan jaringannya sangat lembut
Gangguan perdarahan
Edema leher yang massif
Inflamasi laring yang berat (laringotrakeitis, difteri, inflamasi kimia, TB).
4. Trakeostomi11,12
Trakeostomi adalah suatu tindakan dengan membuka dinding depan/anterior trakea
untuk mempertahankan jalan nafas agar udara dapat masuk ke paru-paru dan
memintas jalan nafas bagian atas. Menurut letak stoma, trakeostomi dibedakan letak
yang tinggi dan letak yang rendah dan batas letak ini adalah cincin trakea ketiga.
Sedangkan menurut waktu dilakukan tindakan maka trakeostomi dibagi dalam 1)
trakeostomi darurat (dalam waktu yang segera dan persiapan sarana sangat kurang)
2) trakeostomi berencana (persiapan sarana cukup) dan dapat dilakukan secara baik.

Gambar 14 Trakeostomi

Anatomi

20
Trakea merupakan tabung berongga yang disokong oleh cincin kartilago.
Trakea berawal dari kartilago krikoid yang berbentuk cincin stempel dan meluas ke
anterior pada esofagus, turun ke dalam thoraks di mana ia membelah menjadi dua
bronkus utama pada karina. Pembuluh darah besar pada leher berjalan sejajar dengan
trakea di sebelah lateral dan terbungkus dalam selubung karotis. Kelenjar tiroid terletak
di atas trakea di setelah depan dan lateral. Ismuth melintas trakea di sebelah anterior,
biasanya setinggi cincin trakea kedua hingga kelima. Saraf laringeus rekuren terletak
pada sulkus trakeoesofagus. Di bawah jaringan subkutan dan menutupi trakea di bagian
depan adalah otot-otot supra sternal yang melekat pada kartilago tiroid dan hioid. 8

Indikasi trakeostomi

Indikasi trakeostomi termasuk sumbatan mekanis pada jalan nafas dan gangguan
non obstruksi yang mengubah ventilasi dan pasien dengan crtical ill yang memerlukan
intubasi cukup lama (7-21 hari).
Gangguan yang mengindikasikan perlunya trakeostomi;
1. Untuk mengatasi obstruksi laring yang menghambat jalan nafas
2. Mengurangi ruang rugi (dead air space) disaluran nafas atas seperti daerah
rongga mulut, sekitar lidah dan faring. Dengan adanya stoma maka seluruh
oksigen yang masuk kedalam paru, tidak ada yang tertinggal diruang rugi
itu. Hal ini berguna pada pasien dengan kerusakan paru, yang kapasitas
vitalnya berkurang.
3. Mempermudah pengisapan sekret dari bronkus pada pasien yang tidak dapat
mengeluarkan sekret secara fisiologik, misalnya pada pasien dalam keadaan
koma.
4. Untuk memasang alat bantu nafas (respirator)
5. Untuk mengambil benda asing dari subglotik, apabila tidak mempunyai
fasilitas untuk bronkoskopi.
6. Penyakit inflamasi yang menyumbat jalan nafas ( misal angina ludwig),
epiglotitis dan lesi vaskuler, neoplastik atau traumatik yang timbul melalui
mekanisme serupa
Tindakan trakeostomi dilakukan pada pasien dengan sumbatan laring stdium 2
dan 3. Tindakan ini akan menurunkan jumlah udara residu anatomis paru hingga 50 %
nya. Sebagai hasilnya, pasien hanya memerlukan sedikit tenaga yang dibutuhkan untuk

21
bernafas dan meningkatkan ventilasi alveolar. Tetapi hal ini juga sangat tergantung
pada ukuran dan jenis pipa trakeostomi.
Indikasi lain yaitu:
1. Cedera parah pada wajah dan leher
2. Setelah pembedahan wajah dan leher
3. Hilangnya refleks laring dan ketidakmampuan untuk menelan sehingga
mengakibatkan resiko tinggi terjadinya aspirasi

Syarat dan Kontra Indikasi
Perkutaneus trakeostomi memerlukan penahan rasa sakit, sedasi dan
penghambat neuro muscular pada pasien yang dipasang intubasi dan ventilator
mekanik. Perkutaneus Trakeostomi tidak dapat dilakukan pada pasien kegawat
daruratan jalan nafas terutama pada trauma suprglotis atau orofasial. Staf medik yang
ada dirumah sakit harus terlatih dan berpengalaman dalam menajemen jalan nafas,
Perkutaneus trakeostomi, bronkoskopi dan surgical tracheostomy jika Perkutaneus
trakeostomi gagal atau terjadi komplikasi. Pasien umur dibawah 16 tahun terutama
umur 12 tahun tidak dapat dilakukan PT.
Deformitas yang tampak jelas pada jalan nafas, jaringan parut yang
sebelumnya didapatkan dari operasi seperti trakeostostomi atau sternotomi, udem
leher, obesitas, gondok, atau tumor pada leher yang menyulitkan untuk palpasi lokasi
lapangan operasi seperti kartilago krikoid. Pada keadaan seperti ini dapat dianjurkan
untuk SST. Pembuluh darah yang tampak di bawah kulit, inflamasi, dan/ atau ruam
pada lokasi operasi juga merupakan kontra indikasi PDT.
Kesulitan untuk mengoptimalkan regangan leher pasien akibat trauma servical
atau arthritis, adanya leher yang pendek atau akibat kifosis yang berat adalah kontra
indikasi PDT. PDT harus ditunda jika hemodinamik pasien tidak stabil. Untuk
melakukan PDT pada pasien yang telah diketahui mengalami gangguan jalan nafas
bergantung pada opini dan pengalaman operator.
Pendarahan diathesis yang tidak teratasi merupakan risiko mutlak yang dapat
menimbulkan pendarahan yang tidak dapat dikontrol selama prosedur.
Pembagian Trakeostomi
Pembagian trakeotomi dipandang dari kesulitan dan kedaruratannya adalah
sebagai berikut :

22
1. Trakeotomi biasa
Trakeotomi pada penderita yang tidak sesak dan trakea mudah dicari,
indikasinya :
a) Tumor laring yang belum lanjut (belum sesak), persiapan biopsi.
b) Tumor pangkal lidah/tonsil, persiapan radiasi atau operasi (untuk
anestesi).
2. Trakeotomi sulit
Di sini trakea sulit teraba, dapat terjadi karena :
a) Trakea letaknya “dalam”, sulit dicapai; hal ini karena ada tumor koli.
b) Kepala sulit ekstensi karena adanya tumor koli.c) Ada jaringan kelenjar
tiroid besar di atasnya.
d) Ada pembuluh vena besar karena bendungan disebabkan oleh tumor koli.
e) Lubang operasi tidak konsisten di garis tengah, karena asisten memegang
haak (pengait) tidak di garis tengah secara konsisten.
f) Insisi terlalu pendek, lapangan operasi sempit sehingga sulit meraba
trakea.
g) Trakea terdorong ke lateral karena terdesak oleh tumor koli.
h) Trakea tak teraba karena ada sikatrik bekas trakeotomi dahulu.
3. Trakeotomi darurat
Darurat karena penderita sesak bahkan mungkin sudah sianosis; sesak
karena lumen sudah menutup jalan napas lebih dari 90%.
4. Trakeotomi darurat dan sulit
Kombinasi ini bisa terjadi yang sangat membahayakan jiwa penderita.

 Jenis Tindakan Trakeostomi

1. Surgical trakeostomy
Tipe ini dapat sementara dan permanen dan dilakukan di dalam ruang
operasi. Insisi dibuat diantara cincin trakea kedua dan ketiga sepanjang 4-
5 cm.
2. Percutaneous Tracheostomy
Tipe ini hanya bersifat sementara dan dilakukan pada unit gawat darurat.
Dilakukan pembuatan lubang diantara cincing trakea satu dan dua atau dua
dan tiga. Karena lubang yang dibuat lebih kecil,

23
3. Mini Tracheostomy
Dilakukan insisi pada pertengahan membran krikotiroid dan trakeostomi
mini ini dimasukan menggunakan kawat dan dilator.
 Alat-Alat Trakeostomi
Jenis Pipa Trakeostomi
1. Cuffed Tubes Selang dilengkapi dengan balon yang dapat diatur
sehingga memperkecil risiko timbulnya aspirasi
2. Uncuffed Tubes Digunakan pada tindakan trakeostomi dengan
penderita yang tidak mempunyai risiko aspirasi.
3. Trakeostomi dua cabang (dengan kanul dalam) Dua bagian
trakeostomi ini dapat dikembangkan dan dikempiskan sehingga kanul
dalam dapat dibersihkan dan diganti untuk mencegah terjadi obstruksi.
4. Silver Negus Tubes Terdiri dua bagian pipa yang digunakan untuk
trakeostomi jangka panjang. Tidak perlu terlalu sering dibersihkan dan
penderita dapat merawat sendiri.
5. Fenestrated Tubes Trakeostomi ini mempunyai bagian yang terbuka
di sebelah posteriornya, sehingga penderita masih tetap merasa
bernapas melewati hidungnya. Selain itu, bagian terbuka ini
memungkinkan penderita untuk dapat berbicara.

 Teknik Trakeostomi
Pasien tidur terlentang, bahu diganjal dengan bantalan kecil sehingga
memudahkan kepala untuk diekstensikan pada persendian atalantooksipital.
Dengan posisi seperti ini leher akan lurus dan trakea akan terletak di garis
median dekat permukaan leher. Kulit leher dibersihkan sesuai dengan prinsip
aseptik dan antiseptik dan ditutup dengan kain steril. Obat anestetikum dengan
10%-15% Lidokain dengan 1;200.000 disuntikkan dikartilago tarakeal 1 dan
2 atau 2 dan 3 secara infiltrasi.

Dimulai pada insisi transversal 2-3 mm pada midline subkrikoid dibuat


pada kulit yang ditandai. Pasang curved mosquito forceps dapat digunakan
untuk diseksi tumpul secara vertikal dan tranversal pada fasia pretrakea. Dengan
ujung jari, trakea bagian depan yang telah dipotong dibebaskan dari semua

24
jaringan sampai terasa area interkartilago. Jika terdapat isthmus, isthmus
dipisahkan dari area interkartilago yang akan ditusuk.
Jarum pertama bersama kateter dimasukkan melalui semprit yang berisi
larutan saline untuk suction continous diarahkan pada midline trakea, posterior
dan kaudal. Jarum insersi paramedian akan terpasang benar dengan percobaan
berulang dituntun dengan bronkoskopik. Tanda telah masuknya jarum pada
jalan udara di trakea dibuktikan dengan adanya gelembung udara pada aspirasi
semprit. Pengatur jalan nafas dipastikan dengan jarum yang dimasukkan dari
pipa translaringeal dengan melihat pergerakan jarum yang pelan dari pipa.
Selanjutnya jarum ditarik perlahan ketika memasukkan kateter beberapa
milimeter ke dalam trakea, dan diperiksa pengaturan jalan nafas dengan
bronkoskopi.
Saat jarum dan semprit sepenuhnya telah dilepaskan, kawat penuntun
telah terpasang beberapa sentimeter ke dalam trakea. Kateter kemudian
sepenuhnya dicabut jika kawat penuntun telah masuk ke lumen trakea. Untuk
menjaga kawat penuntun tetap pada kulit yang telah ditandai, kawat tadi
dimasukkan pada dilator yang telah dilubrikasi untuk melebarkan jalan masuk
ke trakea dengan gerakan memutar pelan. Dilator ini dilepaskan jika kawat
penuntun ini telah tepat pada posisi yang telah ditandai. Selama menjaga posisi
kawat penuntun pada kateter dan dilator yang digunakan akan mencegah trauma
pada dinding posterior.
Menurut arah dari tuntunan kateter dan menjaga ujungnya dengan safety
ridge mengarah pada pasien agar kawat penuntun tetap pada kulit yang telah
ditandai. Kateter dengan kawat penuntun dimasukkan sebagai satu unit ke
dalam trakea sampai safety ridge pada kateter tepat pada kulit yang ditandai.
Ujung proximal dari kateter dan kawat dijaga agar tetap lurus, ini dapat
dipastikan ujung distal dari kateter telah diposisiskan dengan baik dibelakang
kawat untuk mencegah trauma dinding posterior trakea selam tindakan
berikutnya.
Dilator serial yang telah dilubrikasi seluruhnya dan pelebaran dimulai
pada jalan masuk ke trakea. Tindakan ini dimulai dengan terlebih dahulu
memasukkan kateter dan kawat penuntun pada dilator curved biru secara
serentak. Untuk meletakkan alat tadi secara tepat, ujung proximal dari dilator
ditempatkan pada tanda posisi tunggal di kateter penuntun. Penempatan ujung
25
distal dilator tepat pada safety ridge dalam kateter penuntun. Perhatikan posisi
amam, dimana tiga uniut tersebut dimasukkan dengan gerakan memutar. Ketiga
alat tadi dimasukkan dan ditarik sewaktu-waktu,saat memutar, untuk
melakukan dilatasi yang efektif pada tempat masuk trakea. Kemudian dilator
tadi dilepaskan dan kawat serta kateter tetap pada tempatnya.
Pelebaran pada trakeostomi ini dilanjutkan dengan menggunakan dilator
yang lebih besar. Jalan masuk trakea tadi telah dilebarkan sedikit sampai ukuran
yang muat untuk pipa trakeostomi yang dipilih. Pelebaran ini memudahkan
untuk memasukkan bagian balon dari pipa ke dalam trakea.
Pipa trakeostomi yang akan dimasukkan sebelumnya diisi pada dilator
biru yang telah dilubrikasi dengan ukuran yang sesuai. Pipa dengan balon yang
kempis dimasukkan ke dalam dilator, sehingga ujungnya kira-kira 2 cm dari
dilator. Sistim ini dimasukkan mengikuti kateter penuntun sampai ke safety
ridge dan selanjutnya dimasukkan sebagai satu unit ke dalam trakea. Segera
setelah balon memasuki trakea, dilator biru, kateter dan kawat penuntun
dikeluarkan. Untuk memasukkan pipa trakeostomi dual kanul, kanul yang lebih
dalam dikeluarkan lebih dulu untuk insersi dan kemudian prosedur selanjutnya
dapat dijalankan. Pipa trakeostomi kemudian dimasukkan pada cincinnya. Jika
menggunakan pipa dengan dual kanul, kanul yang lebih dalam dimasukkan
pada titik ini. Sekarang pipa telah terhubung dengan ventilator, balon
dikembangkan dan pipa translaringeal dikeluarkan setelah dipastikan ventilasi
telah dapat melewati pipa baru yang dimasukkan. AM melihat trakea melalui
pipa trakeostomi dengan menggunakan bronkoskopi, untuk mencari daerah
yang terluka pada dinding trakea posterior dan menghisap darah jika ada.
Pipa trakeostomi difiksasi dengan sutura dan dibalut dengan sebaik-
baiknya Pasien dihindari dari ektensi leher dan alas kepala dinaikkan 30-40
derajat selama satu jam. Pemeriksaan rontgen dada segera setelah tindakan
diperlukan untuk menilai pemasangan yang benar dari pipa trakeostomi dan
untuk mencegah terjadinya pneumotorak. Pemberian analgetik jika diperlukan.

 Perawatan Pasca Trakeostomi segera setelah trakeostomi dilakukan:

1. Rontgen dada untuk menilai posisi tuba dan melihat timbul atau
tidaknya komplikasi

26
2. Antibiotik untuk menurunkan risiko timbulnya infeksi
3. Mengajari pihak keluarga dan penderita sendiri cara merawat pipa
trakeostomi

Perawatan pasca trakeostomi sangat penting karena sekret dapat


menyumbat dan menimbulkan asfiksia. Oleh karena itu, sekret di trakea dan
kanul harus sering diisap ke luar dan anak kanul dibersihkan sesering mungkin
setiap 1-2 jam.

27
BAB III
Kesimpulan

Anatomi saluran nafas atas terdiri atas, hidung, laring dan Mekanisme pernafasan
yang normal ada 2 yaitu, pernafasan perut dan pernafasan dada. Pernafasan yang abnomal
yaitu Takipnea, bradipnea, dispnea, ortopnea, hipoventilasi, hiperventilasi, hiperpnea,
pernapasan kussmaul, pernapasan cheyne-stokes.

Obstruksi saluran napas atas adalah sumbatan pada saluran napas atas yang
disebabkan oleh adanya radang, benda asing, trauma, tumor, dan kelumpuhan nervus rekuren
bilateral sehingga ventilasi pada saluran pernapasan terganggu.
Obstruksi saluran nafas atas adalah sumbatan pada saluran nafas atas yang disebabkan
oleh adanya radang, benda asing, trauma, tumor, dan kelumpuhan nervus rekuren bilateral,
sehingga ventilasi pada saluran nafas terganggu. Tanda bahwa jalan napas mengalami obstruksi
adalah suara nafas abnormal: Snoring, gurgling, stridor, tarikan otot leher, ada cekungan di
suprasternal notch, cekungan di daerah iga dan di bawah diafragma, tak terasa ada udara
ekspirasi. Jackson membagi sumbatan laring yang progresif dalam 4 stadium, yaitu Stadium
I: adanya retraksi di suprasternal dan stridor. Pasien tampak tenang. Stadium II: retraksi pada
waktu inspirasi di daerah suprasternal makin dalam, ditambah lagi dengan timbulnya retraksi
di daerah epigastrium. Pasien sudah mulai gelisah. Stadium III: retraksi selain di daerah
suprastrenal, epigastrium juga terdapat di infraklavikula dan di sela-sela iga, pasien sangat
gelisah dan dispnea. Stadium IV: retraksi bertambah jelas, pasien sangat gelisah, tampak
sangat ketakutan dan sianosis, jika keadaan ini berlangsung terus maka penderita akan
kehabisan tenaga, pusat pernapasan paralitik karena hiperkapnea.
Penanggulangan pada obstruksi saluran napas atas bertujuan agar jalan napas lancar kembali.
Penanggulangan obstruksi jalan nafas dapat menggunakan alat maupun tidak menggunakan
alat. Penanggulangan obstruksi jalan nafas dengan tidak menggunakan alat adalah dengan chin
lift, head tilt dan jaw trust, dan obstruksi jalan nafas karena benda padat dapat menggunakan
Heimlich manueuver yaitu, abdominal trust dan back blow. Penanggulangan obstruksi jalan
nafas dengan alat yaitu intubasi endotrakea, oropharyngeal airway (OPA), nasopharyngeal
airway (NPA), extraglottic and supraglottic Devices, trakeostomi, dan krikotiroidotomi.

28
Daftar Pustaka

1. Moore KL, Dalley AF. Anatomi Berorientasi Klinis. 5th ed. Penerbit Erlangga.
Jakarta; 2013.
2. Whited L, Graham DD. Abnormal Respirations. NCBI. 2019;
3. Stewart RM, Rotondo MF, Henry SM, Drago M, Merrick C, Haskin DS, et al.
Advanced Trauma Life Support. 10th ed. American: American College of Surgeons;
2018.
4. Gompf SG. Epiglottitis [Internet]. Medscape. 2018 [cited 2019 Jul 21]. Available
from: https://emedicine.medscape.com/article/763612-overview
5. Soepardi efiaty dkk. Buku Ajar Ilmu Kesehatan: Telinga Hidung Tenggorok Kepala
dan Leher. 6th ed. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2007.
6. McClay JE. Subglottic Stenosis in Children [Internet]. Medscape. 2018 [cited 2019 Jul
21]. Available from: hhtps://
7. Perhimpunan Dokter Spesialis Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher
Indonesia. Panduan Praktik Klinis Tindakan Clinical Pathway. Vol. 2. 2016.
8. Lamberg JJ. Mallampati Classification [Internet]. Medscape. 2018 [cited 2019 Jul 21].
Available from: https://emedicine.medscape.com/article/2172419-overview
9. Rapoport SK, ZE D, KA S. Treatment of Acute Upper Airway Obstruction. JAMA
Otolaryngol Head Neck Surg [Internet]. 2018; Available from:
10.1001/jamaoto.2017.1922
10. Khan H. Cricothyroidotomy [Internet]. Medscape. 2015 [cited 2019 Jul 21]. Available
from: https://emedicine.medscape.com/article/1830008-overview
11. Lindman J. Tracheostomy [Internet]. Medscape. 2018 [cited 2019 Jul 21]. Available
from: https://emedicine.medscape.com/article/865068-overview
12. Troulliet JL. Tracheotomy in the Intensive Care Unit. Guidel from a French Expert
Panel. 2018;

29

Anda mungkin juga menyukai