Pembimbing :
Dr. dr. Rusdi Maslim, Sp. KJ, M.Kes
Disusun oleh :
Aisyah Novita (2014-061-035)
1.2. Tujuan
1.2.1. Tujuan Umum
Mengetahui bagaimana melakukan terapi kognitif pada pasien Skizofrenia
1.2.2. Tujuan Khusus
Mengetahui apa itu terapi kognitif
Mengetahui bagaimana melakukan pendekatan dengan pasien Skizofrenia
dengan gejala-gejalanya
Mengetahui bagaimana dan cara melakukan terapi kognitif
Mengetahui apakah terapi kognitif dapat diterapkan pada pasien dalam
kasus
3
BAB II
RINGKASAN PUSTAKA DAN KASUS
2.1. Ringkasan Pustaka
2.1.1. Skizofrenia
2.1.1.1. Definisi Skizofrenia1
Skizofrenia adalah suatu sindrom klinis psikopatologis yang bervariasi,
melibatkan kognisi, emosi, persepsi, dan aspek perilaku lainnya. Manifestasi
yang timbul bervariasi untuk pasien dan waktu yang berbeda, namun dampak
yang ditimbulkan biasanya cukup berat dan terjadi dalam jangka waktu yang
lama. Skizofrenia ditandai berbagai gejala yang menyebabkan penyimpangan isi
pikir, bahasa, dan persepsi sehingga menimbulkan perilaku tidak normal.
Skizofrenia juga sering ditandai adanya gejala psikosis, seperti mendengar suara
atau delusi.
b) Faktor biokimia
Hipotesis dopamin
Hipotesis menyatakan bahwa skizofrenia merupakan akibat dari
aktivitas dopamin yang berlebihan. Teori ini berasal dari dua observasi,
yaitu (1) potensi dan efikasi obat antipsikotik (seperti dopamine
receptor antagonist) berhubungan dengan kemampuan obat tersebut
dalam berperan sebagai antagonis reseptor dopamin tipe 2; (2) obat-
obatan yang bekerja meningkatkan aktivitas dopaminergik, seperti
kokain dan amfetamin adalah psikotomimetik. Teori dasar ini tidak
dapat menjelaskan apakah hiperaktivitas dopaminergik disebabkan
oleh pelepasan dopamin yang berlebihan, reseptor dopamin yang
berlebihan, atau kombinasi keduanya. Jaras dopamin mana yang dilalui
dalam otak juga tidak diketahui, meskipun umumnya jaras mesolimbik
dan mesokortikal adalah yang paling umum dilalui.
Neuron-neuron dopaminergik pada jaras ini diproyeksikan dari
badan sel di otak tengah ke neuron dopaminoseptif di sistem limbik
dan korteks serebral. Pelepasan dopamin yang berlebihan pada pasien
skizofrenia berhubungan dengan gejala positif psikosis. Pemeriksaan
Positron Emission Tomography (PET) pada reseptor dopamin
menunjukkan adanya peningkatan reseptor D2 pada nukleus kaudatus
pasien skizofrenia yang tidak mengonsumsi obat.
Serotonin
Hipotesis juga menyatakan bahwa pelepasan serotonin yang
berlebihan menyebabkan gejala positif dan negatif pada skizofrenia.
5
Aktivitas antagonis serotonin oleh klozapin dan antipsikosis generasi
kedua dalam mengurangi gejala positif pada pasien kronis.
Norepinefrin
Anhedonia (penurunan kemampuan dalam merasakan kesenangan)
merupakan gejala prominen skizofrenia. Degenerasi neuronal selektif
pada sistem norepinefrin berperan dalam menimbulkan gejala
skizofrenia ini, namun biokimia dan farmakologi yang mendasari hal
ini belum dipahami secara jelas.
GABA
Neurotransmiter inhibitor γ-aminobutyric acid (GABA) berperan
dalam patofisiologi skizofrenia berdasarkan penemuan adanya
penurunan neuron GABA pada hipokampus pasien skizofrenia.
Neuropeptida
Neuropeptida seperti substansi P dan neurotensin, terletak dalam
neurotransmitter katekolamin dan indolamin dan mempengaruhi aksi
dari neurotransmitter tersebut. Perubahan pada mekanisme
neuropeptida dapat memfasilitasi, menghambat, atau mengubah sistem
neuronal tersebut.
Glutamat
Pensiklidin, antagonis glutamat memberikan gejala akut
menyerupai skizofrenia.
c) Neuropatologi
Pada abad ke-20, peneliti telah mampu menemukan dasar
neuropatologis pada skizofrenia, terutama pada sistem limbik dan basal
6
ganglia, termasuk neuropatologis atau abnormalitas neurokimia pada
korteks serebral, talamus, dan batang otak. Penurunan volum otak pada
skizofrenia terjadi akibat penurunan densitas akson, dendrit, dan sinaps
yang memediasi fungsi asosiatif otak. Densitas sinaps paling besar adalah
saat berusia satu tahun, kemudian akan menurun pada awal pubertas hingga
mencapai jumlah saat dewasa. Perubahan neuropatologi pada skizofrenia
dapat dilihat pada hal sebagai berikut:
Ventrikel serebral
Pemeriksaan CT Scan pada pasien skizofrenia menunjukkan
pembesaran ventrikel ketiga dan lateral, serta penurunan volum
korteks. Penurunan volum substansia grisea korteks terjadi pada fase
awal penyakit dan hingga saat ini belum dapat dipastikan apakah lesi
tersebut bersifat progresif atau tidak seiiring berkembangnya penyakit.
Penurunan kesimetrisan
Terdapat ketidaksimetrisan pada beberapa area otak penderita
skizofrenia, termasuk lobus temporal, frontal, dan oksipital.
Ketidaksimetrisan ini diduga terjadi sejak dalam kandungan dan
merupakan indikasi lateralisasi otak selama masa perkembangan.
Sistem limbik
Penelitian postmortem pada otak pasien skizofrenia menunjukkan
penurunan ukuran pada area amigdala, hipokampus, dan girus
hipokampus. Hipokampus tidak hanya mengecil tetapi juga fungsinya
menjadi abnormal karena gangguan transmisi glutamat. Disorganisasi
neuron pada hipokampus juga tampak pada jaringan otak pasien
skizofrenia dibandingkan pada orang yang tidak mengalami
skizofrenia.
Korteks prefrontal
Berdasarkan penelitian postmortem ditemukan adanya
abnormalitas pada korteks prefrontal pasien skizofrenia. Gambaran
radiologi juga menunjukkan adanya defisit fungsional pada area
korteks prefrontal.
7
Talamus
Beberapa penelitian pada talamus menunjukkan adanya penciutan
volum atau pengurangan neuron, terutama subnukleus. Terdapat
penurunan jumlah neuron pada nukleus medius dorsalis yang
mempunyai hubungan timbal balik dengan korteks prefrontal. Pada
pasien skizofrenia, jumlah neuron total berkurang sebesar 30-45% dan
penurunan ini tidak dipengaruhi oleh penggunaan obat antipsikosis.
d) Sirkuit neural
Gangguan pada jaras dopaminergik korteks prefrontal menyebabkan
terjadinya gangguan pada prefrontal dan sistem limbik yang dapat
menimbulkan gejala positif dan negatif. Data dari penelitian menunjukkan
bahwa disfungsi dari sirkuit cingulatum basal ganglia talamokortikal
anterior mempengaruhi timbulnya gejala psikosis positif, sedangkan
disfungsi dari sirkuit dorsolateral prefrontal menyebabkan timbulnya
gejala negatif.
e) Metabolisme otak
Penelitian menunjukkan bahwa molekul spesifik pada otak, seperti
fosfomonoester dan inorganik fosfat pada pasien skizofrenia lebih rendah
dibandingkan pada yang tidak menderita skizofrenia. Selain itu, konsentrasi
8
dari N-asetil aspartat, marker dari neuron yang berada di hipokampus dan
lobus frontalis lebih rendah pada pasien skizofrenia.
f) Psikoneuroimunologi
Beberapa kelainan imunitas memiliki hubungan dengan skizofrenia,
kelainan tersebut berupa penurunan produksi sel T interleukin-2,
berkurangnya respon limfosit, kelainan reaksi selular dan humoral terhadap
neuron, serta adanya antibodi antibrain.
9
2.1.1.5. Diagnosis Skizofrenia4
Kriteria diagnostik PPDGJ-III
Harus ada sedikitnya satu gejala berikut ini yang amat jelas (dan
biasanya dua gejala atau lebih bila gejala-gejala itu kurang tajam atau
kurang jelas) :
a. - “thought echo” = isi pikiran dirinya sendiri yang berulang atau
bergema dalam kepalanya (tidak keras), dan isi pikiran ulangan,
walaupun isinya sama, namun kualitasnya berbeda; atau
- “thought insertion or withdrawal” = isi pikiran yang asing dari
luar masuk ke dalam pikirannya (insertion) atau isi pikirannya
diambil keluar oleh sesuatu dari luar dirinya (withdrawal); dan
- “thought broadcasting”= isi pikirannya tersiar keluar sehingga
orang lain atau umum mengetahuinya
10
perihal keyakinan agama atau politik tertentu, atau kekuatan dan
kemampuan di atas menusia biasa (misalnya mampu mengendalikan
cuaca, atau berkomunikasi dengan mahluk asing dari dunia lain)
Atau paling sedikit dua gejala dibawah ini yang harus ada secara jelas :
e. Halusinasi yang menetap dari panca-indera apa saja, apabila disertai
baik oleh waham yang mengambang maupun yang setengah
berbentuk tanpa kandungan afektif yang jelas, ataupun disertai ide-ide
berlebihan (over-valued ideas) yang menetap, atau apabila terjadi
setiap hari selama berminggu-minggu atau berbulan-bulan terus
menerus.
f. Arus pikiran yang terputus (break) atau yang mengalami sisipan
(interpolation), yang berakibat inkoherensi atau pembicaraan yang
tidak relevan, atau neologisme
11
F20.x0 Berkelanjutan
F20.x1 Episodik dengan kemunduran progresif
F20.x2 Episodik dengan kemunduran stabil
F20.x3 Episodik berulang
F20.x4 Remisi tak sempurna
F20.x5 Remisi sempurna
F20.x8 Lainnya
F20.x9 Periode pengamatan kurang dari 1 tahun
Subtipe
F20.0 Skizofrenia Paranoid
memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia
sebagai tambahan :
o halusinasi dan/atau waham harus menonjol;
a. suara-suara halusinasi yang mengancam pasien atau memberi
perintah, atau halusinasi auditorik tanpa bentuk verbal berupa
bunyi pluit (whistling), mendengung (humming), atau bunyi tawa
(laughing)
b. halusinasi pembauan atau pengecapan rasa, atau bersifat seksual,
atau lain-lain perasaan tubuh; halusinasi visual mungkin ada tetapi
jarang menonjol
c. waham dapat berupa hampir setiap jenis, tetapi waham
dikendalikan (delusion of control), dipengaruhi (delusion of
influence, atau passitivity, dan keyakinan dikejar-kejar beraneka
ragam, adalah yang paling khas
o gangguan afektif, dorongan kehendak dan pembicaraan, serta gejala
katatonik secara relatif tidak nyata dan tidak menonjol
F20.1 Skizofrenia Hebefrenik/Disorganized
Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia
Diagnosis hebefrenia untuk pertama kali hanya ditegakkan pada usia
remaja atau dewasa muda (onset biasanya mulai 15-25 tahun)
Kepribadian premorbid menunjukkan ciri khas: pemalu, dan senang
menyendiri (solitary), namun tidak harus demikian untuk menentukan
diagnosis
12
Untuk diagnosis hebefrenia yang meyakinkan umumnya diperlukan
pengamatan kontinu selama 2 atau 3 bulan lamanya, untuk memastikan
bahwa gambaran yang khas berikut ini memang benar bertahan :
- perilaku yang tidak bertanggung jawab dan tak dapat diramalkan, serta
mannerisme; ada kecenderungan untuk selalu menyendiri (solitary)
dan perilaku menunjukkan hampa tujuan dan hampa perasaan
- afek pasien dangkal (shallow) dan tidak wajar (inapropriate), sering
disertai oleh cekikikan (giggling) atau perasaan puas diri (self-
satisfied), senyum sendiri (self-absorbed smiling), atau oleh sikap
tinggi hati (lofty manner), tertawa menyeringai (grimaces),
mannerisme, mengibuli secara bersenda gurau (pranks), keluhan
hipokondriakal, dan ungkapan kata yang diulang-ulang (reiterated
phrases);
- proses pikir mengalami disorganisasi dan pembicaraan tak menentu
(rambling) serta inkoheren
Gangguan afektif dan dorongan kehendak, serta gangguan proses pikir
umumnya menonjol. Halusinasi dan waha mungkin ada tetapi biasanya
tidak menonjol (fleeting and fragmentary delusions and hallucination).
Dorongan kehendak (drive) dan yang bertujuan (determination) hilang serta
sasaran ditinggalkan, sehingga perilaku penderita menunjukkan ciri khas,
yaitu perilaku tanpa tujuan (aimless) dan tanpa maksud (empty of purpose).
Adanya suatu preokupasi yang dangkal dan bersifat dibuat-buat terhadap
agama, filsafat dan tema abstrak lainnya, makin mempersukar orang
memahami jalan pikiran pasien.
F20.2 Skizofrenia Katatonik
Memenuhi kriteria umum untuk diagnosis skizofrenia
Satu atau lebih dari perilaku berikut ini harus mendominasi gambaran
klinis:
a. stupor (amat berkurangnya dalam reaktivitas terhadap lingkungan dan
dalam gerakan serta aktivitas spontan) atau mutisme (tidak berbicara)
b. gaduh gelisah (tampak jelas aktivitas motorik yang tak bertujuan, yang
dipengaruhi oleh stimuli eksternal)
c. menampilkan posisi tubuh tertentu
13
d. negativisme
e. rigiditas
f. fleksibilitas cerea / waxy flexibility
g. gejala-gejala lain seperti “command automatism” dan pengulangan
kata serta kalimat-kalimat
F20.3 Skizofrenia Tak terinci (Undifferentiated)
Memenuhi kriteria umum untuk diagnosis skizofrenia
Tidak memnuhi kriteria untuk diagnosis skizofrenia paranoid, hebefrenik,
atau katatonik
Tidak memenuhi kriteria untuk skizofrenia residual atau depresi pasca-
skizofrenia
F20.4 Depresi Pasca-skizofrenia
Diagnosis harus ditegakkan hanya kalau :
a. pasien telah menderita skizofrenia (yang memenuhi kriteria umum
skizofrenia) selama 12 bulan terakhir ini
b. beberapa gejala skizofrenia masih tetap ada (tetapi tidak lagi
mendominasi gambaran klinisnya) dan
c. gejala-gejala depresif menonjol dan menganggu, memenuhi paling
sedikit kriteria untuk episode depresif (F32.-) dan telah ada dalam kurun
waktu paling sedikit 2 minggu
Apabila pasien tidak lagi menunjukkan gejala skizofrenia diagnosis
menjadi episode depresif (F32.-). Bila gejala skizofrenia masih jelas dan
menonjol, diagnosis harus tetap salah satu dari subtipe skizofrenia yang
sesuai (F20.0-F20.3)
F20.5 Skizofrenia Residual
Untuk suatu diagnosis yang meyakinkan, persyaratan berikut ini harus
dipenuhi semua :
a. gejala negatif dari skizofrenia yang menonjol, misalnya perlambatan
psikomotorik, aktivitas menurun, afek yang menumpul, sikap pasif dan
ketiadaan inisiatif, kemiskinan dalam kuantitas atau isi pembicaraan,
komunikasi non-verbal yang buruk seperti dalam ekspresi muka,
kontak mata, modulasi suara, dan posisi tubuh, perawatan diri dan
kinerja sosial yang buruk
14
b. sedikitnya ada riwayat satu episode psikotik yang jelas di masa lampau
yang memenuhi kriteria untuk diagnosis skizofrenia
c. sedikitnya sudah melampaui kurun waktu satu tahun dimana intensitas
dan frekuensi gejala yang nyata seperti waham dan halusinasi telah
sangat berkurang (minimal) dan telah timbul sindrom negatif dari
skizofrenia
d. tidak terdapat dementia atau penyakit/gangguan otak organik lain,
depresi kronis atau institutionalisasi yang dapat menjelaskan disabilitas
negatif tersebut
F20.6 Skizofrenia Simpleks
Diagnosis skizofrenia simleks sulit dibuat secara meyakinkan karena
tergantung pada pemantapan perkembangan yang berjalan perlahan dan
progresif dari
- gejala negatif yang khas dari skizofrenia residual tanpa didahului
riwayat halusinasi, waham, atau manifestasi lain dari episode psikotik
dan
- disertai dengan perubahan-perubahan perilaku pribadi yang bermakna,
bermanifestasi sebagai kehilangan minat yang mencolok, tidak berbuat
sesuatu, tanpa tujuan hidup, dan penarikan diri secara sosial
Gangguan ini kurang jelas gejala psikotiknya dibandingkan sub tipe
skizofrenia lainnya.
16
3. Pikiran:
Isi pikir biasanya berhubungan dengan kelainan dari kepercayaan
pasien dan interpretasi dari suatu stimuli. Waham adalah contoh nyata dari
gangguan isi pikir, dan biasanya waham yang timbul adalah persecutory,
grandiose, religious atau somatik. Pasien juga merasa bahwa lingkungan luar
mengontrol pikiran dan kelakuan pasien atau sebaliknya bahwa pasien yang
mengontrol lingkungan luar seperti matahri terbit. Pasien juga memiliki
preokupasi dengan esoteric, abstrak, simbolik, psikologis atau filosofi. Loss
of ego boundaries menjelaskan bahwa pasien merasa televisi, koran,
memiliki hubungan dengan dirinya (ideas of referrence).
Arus pikir yang ada pada pasien skizofrenia adalah asosiasi longgar,
inkorensia, tangensial, sirkumstansial, neologism, echolalia, verbigeration,
word salad dan mutism. Proses pikir terlihat dari bagaimana cara pasien
berbicara, menulis, dan menggambar. Kelainan proses piker yang dapat
ditemukan adalah flight of ideas, bloking, gangguan atensi, miskin isi pikir,
lemahnya gangguan abstrak, perservation, over inclusion, dan
sirkumstansial. Thought control adalah kekuatan dari luar yang
mempengaruhi pikiran dan perasaan pasien. Thought broadcasting adalah
keadaan dimana pasien merasa orang lain dapat membaca pikiran pasien dan
menyebarkannya melalui televisi atau radio.
Penderita skizofrenia dapat mengalami agitasi dan gangguan dalam
mengendalikan impuls. Pasien juga dapat menjadi impulsif terhadap
seseorang. Beberapa contoh tindakan impulsif adalah bunuh diri (suicide)
dan membunuh orang lain (homicide) yang muncul sebagai respon dari
halusinasi ataupun waham.
Orientasi pada penderita skizofrenia umumnya tidak terganggu. Bila
terdapat gangguan orientasi maka gangguan organik pada otak dapat menjadi
penyebabnya. Memori penderita skizofrenia juga biasanya intak ataupun
terdapat defisiensi minor. Gangguan kognisi menjadi level prediktor
keparahan dari skizofrenia. Gangguan kognisi dapat beruapa gangguan atensi,
fungsi eksekutif, working memory, dan episodic memory. Gangguan kognisi
ini menjadi target dari terapi farmakologi dan psikososial. Insight dari pasien
skizofrenia biasanya buruk. Reliabilitas dari pasien skizofrenia tidak kurang
17
dari pasien psikiatri lainnya, tetapi untuk verifikasi informasi yang diberikan
pasien diperlukan informasi dari sumber lainnya.
18
Pasien stabil yang di berikan anti psikotik rumatan memiliki angka relaps
yang lebih rendah dibandingkan dengan yang dihentikan pengobatannya.
Non-farmakoterapi
Terapi Psikososial
Terapi psikososial memiliki berbagai macam metode untuk
meningkatkan kemampuan bersosialisasi, self-sufficiency, keterampilan
praktis, dan komunikasi interpersonal dengan penderita skizofrenia.
Tujuannya adalah memampukan pasien yang memiliki penyakit berat untuk
berkembang secara sosial dan keterampilan bekerja sehingga pasien dapat
menjalani hidup independen. Terapi ini dapat dilakukan di rumah sakit,
klinik rawat jalan, pusat kesehatan jiwa, di rumah maupun panti sosial.
Terapi Keterampilan Sosial
Pelatihan keterampilan sosial ini kadang-kadang merujuk pada
terapi perilaku. Selama pemberian farmakoterapi, terapi ini dapat secara
langsung mendukung dan bermanfaat bagi pasien. Sebagai tambahan pada
pasien skizofrenia dengan gejala psikotik, gejala yang mudah dilihat dapat
mempengaruhi cara pasien untuk membangun relasi dengan orang lain,
termasuk diantaranya seperti tidak ada kontak mata, respon yang aneh,
ekspresi wajah yang janggal, kurangnya spontanitas dalam situasi sosial, dan
persepsi yang tidak tepat. Terapi perilaku ini menunjukkan perilaku-perilaku
ini melalui rekaman video kepada pasien dan juga orang lain, terapi dengan
role playing, dan memberikan pekerjaan rumah untuk keterampilan khusus
yang memerlukan latihan. Pelatihan keterampilan sosial dapat menurunkan
angka relaps.
Terapi Keluarga
Pasien skizofrenia biasanya pulang dalam keadaan remisi parsial
sehingga dibutuhkan peran keluarga untuk memberikan terapi. Terapi
berfokus pada situasi saat ini termasuk identifikasi dan menghindari situasi
yang berpotensi menjadi masalah. Anggota keluarga harus mendukung
keluarganya yang memiliki skizofrenia untuk memulai lagi aktivitas teratur
secepatnya, dengan mengabaikan gangguan yang dialami dan penyangkalan
akan beratnya gangguan yang dialami. Terapis juga membantu pasien dan
19
keluarganya untuk mengerti mengenai skizofrenia dan diskusi mengenai
episode psikotiknya. Pendekatan terapi keluarga dapat membantu
mengurangi stress dan coping pasien dalam kehidupan sehari-harinya. Terapi
harus mengendalikan emosi keluarga, emosi yang berlebihan dapat
menganggu proses penyembuhan pasien.
Terapi komunitas asertif
Pasien mendapat 1 tim multidisipliner yang terdiri dari pemimpin kasus,
psikiatris, perawat, dokter umum, dan lainnya. Tim tersebut mendampingi
pasien 24 jam setiap harinya selama 1 minggu. Hal ini meliputi pemberian
obat ke rumah, mengawasi kesehatan mental dan fisik, kemampuan sosial,
dan hubungan pasien- keluarga.
Terapi kelompok
Terapi kelompok pada penderita skizofrenia difokuskan pada rencana
kehidupan pasien, masalah, dan hubungan pasien. Kelompok dapat bersifat
behavior-oriented, psychodynamically/insight oriented, atau suportif. Terapi
kelompok dapat mengurangi masalah isolasi sosial, meningkatkan keakraban
pasien, dan meningkatkan daya realita pasien skizofrenia. Kelompok yang
bersifat suportif menunjukkan efek yang lebih baik pada pasien skizofrenia.
Cognitive behavioral therapy (CBT)
CBT telah digunakan pada pasien skizofrenia untuk meningkatkan kognitif
pasien, mengurangi distraktibilitas, dan memperbaiki kemampuan
mengambil keputusan pasien. Terapi ini lebih efektif pada pasien yang
memiliki tilikan baik.
Psikoterapi individu
Beberapa penelitian menunjukkan psikoterapi individu terbukti dapat
membantu dan dapat dilakukan bersamaan dengan terapi farmakologi. Dalam
psikoterapi pasien skizofrenia, kepercayaan pasien terhadap pengobatan
sangat diperlukan. Hubungan emosional antara terapis dan pasien dan
perilaku terapis dapat diinterpretasikan oleh pasien dan mempengaruhi hasil
terapi. Beberapa dokter dan peneliti menekankan bahwa kemampuan pasien
untuk membentuk ikatan dengan terapi dapat memprediksikan hasil yang
akan didapatkan.
20
Dalam konteks hubungan professional, fleksibilitas sangat
dibutuhkan untuk membangun relasi dengan pasien. Contohnya seperti
makan bersama dengan pasien, duduk di lantai, jalan-jalan, makan di
restoran, memberi dan menerima hadiah, bermain tenis meja, mengingat
ulang tahun pasien, atau hanya duduk dalam diam bersama pasien. Tujuan
utamanya adalah untuk menyampaikan ide kepada pasien bahwa terapis
dapat dipercaya, ingin memahami keadaan pasien dan mencoba untuk
melakukan hal itu, dan yakin pada kemanusiaan pasien tanpa peduli seberapa
terganggunya, merasa dimusuhi atau keanehan pasien pada saat itu.
Terapi personal
Terapi personal merupakan psikoterapi yang fleksibel dan saat ini merupakan
terapi individual untuk penderita skizofrenia. Tujuannya untuk meningkatkan
penyesuaian personal dan sosial dan mencegah terjadinya relaps. Terapi
personal merupakan metode pilihan menggunakan keterampilan sosial dan
latihan relaksasi, psikoedukasi, refleksi diri, kesadaran diri dan
mengeksplorasi kerentanan individu terhadap terjadinya stres. Pasien yang
menerima terapi personal menunjukkan perbaikan pada penyesuaian sosial
dan memiliki angka relaps yang rendah selama 3 tahun dibandingkan dengan
pasien yang tidak menerima terapi personal.
Dialectical Behavior Therapy
Terapi ini menggunakan kombinasi antara terapi kognitif dan teori perilaku
yang dapat diberikans ecara individual maupun kelompok. Terapi ini terbukti
bermanfaat pada kondisi borderline dan mungkin memiliki manfaat pada
penderita skizofrenia. Terapi ini menekankan pada perbaikan keterampilan
interpersonal dengan adanya terapis yang aktif dan empati.
Vocational Therapy
Beberapa metode digunakan untuk membantu pasien dalam mencapai
kembali keterampilan lama yang dimiliki dan mengembangkan keterampilan
yang baru. Program dalam terapi ini adalah pelaksanaan lokakarya,
kelompok kerja, kerja part-time atau program transisi tenaga kerja.
Integrasi terapi medis dan psikososial
Pada metode ini penggunaan farmakoterapi dikombinasikan dengan terapi
psikososial (nonfarmakoterapi). Pada beberapa penelitian didapatkan hasil
21
bahwa kombinasi kedua pendekatan tersebut dapat menghasilkan hasil yang
lebih baik.
Stres tinggi –
Krentanan rendah (A)
Stres
Kerentanan tinggi –
Stres rendah (B)
Kerentanan
24
berhubungan dengan penyakit dan yang terakhir mengidentifikasi masalah
yang mendasari dan hal ini merupakan hal yang sulit yang dapat
memunculkan delusi dan perilaku.
Berikut adalah contoh dari rumusan : (sensitif psikosis)
Faktor
Faktor Faktor Faktor
Predisposisi
Pencetus (tidak Pengekal Pelindung
(riwayat
dapat mengatasi (sedikit teman, (dukungan
keluarga positif,
masalah mencoba terlalu keluarga,
riwayat dpresi,
disekolah) keras, dll) intelegensi baik)
dll)
Pikiran (merasa
Tindakan
tidak pantas, Perasaan
(mengisolasi diri,
diragukan, dapat (tertekan, cemas,
kemarahan kepada
mengambil pikiran kadang marah)
orang terdekat, dll)
orang lain)
25
Psikoedukasi individual membantu pasien untuk merasa didengarkan dan
dimengerti dan pendekatan ini menambah kefektifannya. Pada awal proses
penilaian, pertanyaan-pertanyaan seperti ini sebaiknya ditanyakan :
Apa yang anda ingin ketahui atas apa yang terjadi pada anda?
Bagaimana hal ini dijelaskan padamu sebelumnya?
Bagaimana perasaan anda terhadap hal ini?
Apa artinya ini untuk anda?
Tiga komponen dari tilikan yang telah digambarkan :
Menerima kebutuhan terapi
Menerima bahwa dirinya memiliki penyakit
Menerima bahwa suara-suara atau delusi berasal dari dirinya sendiri
Normalisasi merupakan sebuah proses yang mana pikiran, perilaku, mood dan
pengalaman dibandingkan dan dimengerti dalam hal pikiran, perilaku, mood
dan perasaan serupa yang dihubungkan dengan individu-individu lain yang
tidak terdiagnosis sebagai orang sakit terutama penyakit mental. Berikut
adalah tujuan dari normalisasi :
Untuk mendukung pengertian terhadap fenomena psikologis yang juga
menyerupai gejala Skizofrenia
Mengurangi ketakutan ‘menjadi gila’
Memfasilitasi reatribusi terhadap halusinasi dan alternatif menjelaskan
delusi
Meningkatkan kepercayaan diri
Mengurangi isolasi dan perasaan terisolasi
Mengurangi stigma oleh orang lain (keluarga, teman, tetangga, publik)
dan diri sendiri
Pada hubungannya dengan psikosis, ada beberapa situasi yang secara spesifik
stres dapat menjadi penyebab gejala pasikosis beberapa merupakan
pengalaman, yang lain merupakan keadaan yang tidak biasa namun dapat
dimengerti. Berikut adalah keadaan ‘normal’ dimana gejala psikosis dapat
muncul :
Keadaan kehilangan
Ketakutan
26
Trauma
Organik seperti induksi obat, keracunan, demam, dll
Kematian, kehilangan yang menyebabkan misidentifikasi
Halusinasi hipnogogik dan hipnopompik
Kerasukan
Risiko dari normalisasi mungkin dapat menjadi meminimalisasi masalah
secara tidak baik. Lebih umumnya, penerimaan terhadap pendengaran suara-
suara dapat diartikan menjadi ‘hanya terus dan hidup’ dengan hal-hal itu.
Risiko dari normalisasi meliputi minimalisasi atau kegagalan untuk
menghadapi konsekuensi atau perkembangan kepercayaan yang ‘jika itu
adalah pikiran saya bukan dari orang luar yang mengatakannya, saya pasti
sangat jahat’. Kepercayaan ini, harus dijelaskan dan setelahnya dapat
ditangani.
27
Pada beberapa orang, onset dari penyakit mereka secara jelas pada pikiran
mereka, sedangkan yang lainnya sulit, bahkan tidak bisa, atau mungkin tidak
ingin mengingatnya. Saat kejadian dapat secara jelas diingat dan tidak
meyebabkan penderitaan, penjelasan rinci dapat diperoleh. Ketika seseorang
seperti tidak ingin mengingatnya, ada baiknya untuk memeriksa kemungkinan
‘apakah hal tersebut sangat tidak nyaman untuk diingat? Mungkin kita dapat
kembali lagi nanti, saat anda telah siap.’ Sementara keraguan dapat
merefleksikan ketidaknyamanan atau ingatan yang menyakitkan, klien juga
dapt merasa paranoid, curiga terhadap motif yang digunakan, atau malu jika
mereka memiliki tilikan dan berpikir mereka tampak bodoh.
Kapanpun pendekatan langsung mungkin dilakukan untuk
mendapatkan informasi yang relevan, tanyakan dari pertanyaan berikut ini
yang cukup beralasan sebagai titik awal :
Kapan masalah tersebut dimulai?
Kapan pertama kali anda berpikir...?
Kapan terakhir kali anda merasa sehat?
Kapan pertama kali anda mengunjungi dokter tentang masalah ini?
Kapan anda pertama kali pergi ke psikiater tentang masalah ini?
Kapan pertama kali anda dirawat?
Kadang beberapa rangkaian kejadian akan dijelaskan, mungkin meniti
kembali pada masa kanak-kanak dan mungkin juga bukan pengalaman
psikotik, hal ini penting untuk membuat rumusan. Klien mungkin memilih
untuk menjelaskan pengalaman yang terbaru yang mungkin berhubungan
dalam berbagai cara dengan episode psikotik klien sekarang atau klien
mungkin mengenali kejadian menyedikan atan membingungkan yang spesifik.
Bagaimana cara untuk mengetahui bahwa cerita klien cukup lengkap?
Kadang klien akan membiarkan anda mengetahui bahwa apa yang telah
diceritakannya semuanya berhubungan/relevan. Bagaimana menumukan
hubungan antara kejadian penggerak, kepercayaan dan konsekuensi? ABC
framework dapat digunakan dalam area terapi kognitif untuk membantu
mengklarifikasi hubungan antara kejadian dan kepercayaan dan dapat
digunakan untuk membedakan kejadian penggerak, kepercayaan dan
konsekuensi yang seringkali membingungkan yangmanan orang-orang lompat
28
dari A ke C tanpan mempertimbangkan kepercayaan. Pada keadaan ini,
pikiran negatif lainnya mungkin timbul dan efeknya berbeda pada tiap
individu, yang diantaranya :
Personalisasi
Abstrak selektif (getting things out of context)
Lompat pada kesimpulan
Minimalisasi
Maksimalisasi
Overgeneralisasi
Beralasan dikotomus (berpikir all or nothing)
Cara melawan/berdebat delusi :
Menelaah isi dari delusi
Menerapkan sifat asli dari delusi
Mendiskusikan bukti-bukti, termasuk efek samping obat
Pertimbangkan untuk berdiskusi tentang apa yang orang lain pikirkan
Pikirkan pertimbangan-pertimbangan lain ‘apa ada kemungkinan lain’
Telaah dan selidiki saran teoritis, namun jangan berharap klien untuk
melakukannya
Observasi segala perkembangan
29
dengan penjelasan klien waham referensi
terhadap pendengaran suara Memeriksa persepsi klien (apa
dan mengetesnya dapat didengar orang lain, dan
Secara kolaborasi cek bila perlu/rekam)
menghasilkan kemungkinan Temukan kepercayaan dari
lain yang menjelaskan dan asal suara
mengetesnya Diskusikan kepercayaan
Gunakan buku harian suara terhadap asal suara
untuk mengetahui pemicu dan Cari penjelasan
fluktuasi Tujuan adalah untuk klien
Bekerja secara sistematis dapat mempertimbangkan
membuat strategi coping kemungkinan suara-suara
Mengurangi hubungan dengan tersebut adalah pikirannya
afek yang dapat sendiri
mengeksaserbasi Jika mereka merespon bahwa
Mengurangi perilaku aman suara-suara tersebut bukan
jika klien mengalami gejala pikiran mereka, hubungkan
yang bertahan dengan : mimpi buruk, ingatan
Menggunakan respon rasional yang mengganggu emosi,
dan bekerja dengan trauma keadaan tertekan, normal
yang berhubungan atau halusinasi dan penjelasan
gunakan normalisasi orang lain terhadap
Mengklarifikasi segala skema pengalaman tersebut
yang berhubungan
Berikan sesi dorongan
Beberapa klien melakukan pendekatan yang sangat pasif dan terpisah dengan
pengalaman mendengar sura-suara. Kadang mereka merasa cukup menyerah,
tidak memberikan respon terhadap suara-suara dan menyerah terhadap strategi
coping dan menghindari perasaan marah terhadapnya namun sering merasa
sangat ketakutan dan tertekan dengan pengalaman itu.
Sikap yang ditunjukkan klien terhadap suara-suara adalah faktor
penentu dari penderitaan yang ditimbulkan. Orang-orang yang merasa dirinya
30
merupakan korban yang tidak berdaya dari tekanan supernatural biasanya
sangat menderita dan kesakitan. Setelah seseorang dapat menyatakan
kepercayaannya terhadap suara-suara (seperti : aku tidak berdaya), pendekatan
yang lembut dapat digunakan, meliputi :
Mendaftar bukti yang berhubungan dengan apa yang suara katakan
Bekerja dengan bagaimana cara suara-suara mengganggu kerja
fungsional
Menggunakan rangkaian ide-ide yang terkait dengan kejadian ‘normal’
dengan obsesi
Panduan citra (mengampil posisi suara, respon terhadap suara atau vice
versa)
Menjabarkan ciri positif
Bertindak melawan skema (misal : menunjukkan kompetensi saat suara
mengatakan seseorang tidak berguna)
Contoh strategi mengatasi halusinasi auditorik :
Kontrol perilaku : mandi air hangat, berjalan-jalan, berolah raga,
relaksasi, dll
Sosialisasi : berteman, menceritakan pada orang terpercaya, dll
Perawatan kesehatan mental : medikasi, hubungi pekerja kesehatan
Perilaku simptomatik : tidak dianjurkan (mabuk, memukul, berteriak-
teriak)
Kontrol kognitif : distraksi (main komputer, menonton TV,
mendengarkan musik, dll), fokus (biarkan suara dan relaks),
mengguanakan normalisasi (jelaskan bahwa ini berasal dari
Skizofrenia)
Memulai untuk tegas terhadap suara-suara dan melakukan dialog
Jika terdapat halusinasi lain seperti halusinasi visual maka terapi meliputi :
Menjelaskan dengan tepat tentang fenomena tersebut
Menggunakan buku harian atau pengingatan kembali secara rinci
Menelaah arti dan hubungan dari pengelihatan seseorang tersebut
Mengunakan pendekatan berdasarkan rumusan untuk mengertinya
31
2.2. Kasus
Nn. I, wanita, 18 tahun, dibawa oleh pamannya ke RS Duren Sawit karena pasien
marah-marah, mengamuk pada tetangga, berperilaku kacau sejak 2 minggu
SMRS. Keluhan ini dikatakan oleh keluarga pasien mulai muncul sejak pasien
diduga tidak teratur meminum obat jiwanya kurang lebih 1 bulan SMRS. Pasien
marah-marah kepada keluarga dan tetangga pasien tanpa alasan yang jelas dan
juga menciumi mobil di parkiran RS tempat ibunya dirawat. Pasien mengatakan
ia mendengar suara-suara yang tidak jelas namun menyeramkan di telinganya.
Suara tersebut membuat pasien merasa ketakutan. Pasien juga mengatakan
mendengar suara nyanyian yang tidak hilang dan tidak ada sumbernya dan sangat
mengganggu dirinya. Pasien juga mengaku melihat penampakan makhluk halus.
Pasien juga yakin bahwa seorang lelaki yang sedang menyukai dirinya galak
terhadap dirinya dan berbicara keras seperti marah-marah pada dirinya.
Sebelumnya, pasien pernah berobat gangguan jiwa satu tahun yang lalu dengan
gejala yang sama dan dilakukan rawat jalan dan berobat teratur. Obat terakhir
yang diminum adalah Risperidon tab 1 mg, 2 x 1 tab / hari, Trihexyphenidyl tab 1
mg, 2 x 1 tab / hari, Clozapine tab 6,25 mg, 1 x 1 tab / hari sampai akhirnya 2
bulan SMRS saat ibu pasien masuk rumah sakit dan pasien sibuk mengurus
ibunya.
Pada pemeriksaan status mental ditemukan:
1. Mood : iritabel
2. Afek : terbatas
a. Ekspresi wajah: cukup baik
b. Intonasi suara: cukup
c. Gerakan tangan: tidak terdapat gerakan tangan involunter
d. Postur tubuh: baik
e. Keserasian: serasi
3. Pembicaraan : spontan, lancar, artikulasi jelas, kecepatan
berbicara normal, volume suara cukup
4. Gangguan persepsi :
a. Ilusi : Tidak ditemukan
b. Halusinasi :
Halusinasi auditorik
32
Pasien mengatakan mendengar suara-suara
seperti orang bernyanyi, suara musik, suara
berisik mengobrol tanpa ada sumbernya, juga
suara-suara menyeramkan yang membuat pasien
takut (suara menyeramkan)
Halusinansi visual
Pasien mengatakan melihat penampakan
makhluk halus disekitarnya seperti kepala
buntung dan orang gantung diri, dan akan
menghilang dengan sendirinya
c. Depersonalisasi : Tidak ditemukan
d. Derealisasi : Tidak ditemukan
5. Pikiran :
Proses pikir / bentuk pikiran:
Produktivitas : cukup
Kontinuitas : menjaab sesuai pertanyaan
Isi pikiran
Waham
- Waham refrensi : pasien yakin bahwa lelaki yang
menyukainya galak dan berkata kasar pada dirinya
sehingga pasien tidak suka dan takut dengan lelaki tersebut
Preokupasi : tidak ditemukan
Ide bunuh diri : tidak ditemukan
Obsesi : tidak ditemukan
Pengendalian impuls tidak terganggu, tilikan pasien derajat 4.
Pasien dapat dipercaya. Pemeriksaan fisik lainnya dalam
batas normal.
33
BAB III
PEMBAHASAN
35
Kesulitan-kesulitan yang dapat dihadapi dalam terapi kognitif seperti
munculnya keadaan-keadaan dimana kadang apa yang terjadi tidak sesuai dengan apa
yang direncanakan dan diharapkan. Jika dihadapkan pada pasien dengan tilikan yang
sangat buruk, dapat dilakukan sesi secara reguler selama 10-15 menit sebanyak 2-3
kali perminggu dimana tujuan dan fokus adalah pada pengembangan hubungan dan
kepercayaan. Terapis haruslah secara hati-hati merencanakan struktur pada tiap sesi
tanpa mencoba untuk melakukan terlalu banyak sampai pasien memiliki kontrol yang
cukup dan merasa cukup percaya untuk bekerja pada kesulitannya.3 Diharapkan
terapis memiliki sikap yang sabar dan dengan cara perlahan, terbuka dan empati dan
biarkan pasien. Hal ini berlaku pada setiap pasien, dimana membuat hubungan yang
baik antara pasien-terapis pada awal sesi, dapat membuahkan hasil yang lebih baik
dan juga mendapatkan penjelasan yang lebih akurat dari pasien tentang keadaannya
serta keterbukaan pasien untuk menerima terapi, mengikuti saran atas apa yang baik
pada dirinya dikemudian hari.
36
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1. Kesimpulan
Skizofrenia adalah suatu sindrom klinis psikopatologis yang bervariasi,
melibatkan kognisi, emosi, persepsi, dan aspek perilaku lainnya. Kerentanan
setiap orang berbeda-beda dalam perkembangannya menimbulkan gejala. Hal
ini dapat ditelaah dari faktor biologis, sosial dan psikologis, serta mencari tahu
faktor pemicu seperti adakah masalah-masalah yang mengganggu pikiran dan
perasaan seseorang.
Terapi Skizofrenia dapat berupa farmakologis dan non-farmakologis
dimana terapi non-farmakologis salah satunya adalah psikoterapi dan yang
khususnya dibahas terapi kognitif. Terapi kognitif merupakan sebuah cara untuk
mencoba mengenali dan kemudian memahami pemikiran yang berjalan
bersamaan dengan perasaan pasien. Pada terapi kognitif banyak hal-hal yang
perlu diperhatikan dan dilakukan untuk memperoleh hasil yang baik
dikemudian hari seperti membangun kepercayaan antara pasien dan terapis,
bersikap empati, menjadi pendengar yang baik, bersikap terbuka dan
mepersilahkan pasien untuk berbicara sekenanya untuk menciptakan suasana
nyaman. Terapi kognitif dapat digunakan untuk mengenali halusinasi dan
bagaimana cara untuk mengatasinya, mengenali delusi, mengatasi gejala negatif
dan positif, dan terlebih lagi, bersama-sama dengan pasien saling memahami
pemikiran dan perasaan agar pasien dapat mengenali dan mengatasi dengan
mandiri permasalahan dalam dirinya. Dan bahwa disamping pentingnya terapi
medikasi, psikoterapi yang dapat dilakukan seperti terpai kognitif adalah juga
bagian yang penting dalam mengusahakan prognosis yang baik bagi pasien
4.2. Saran
Terapi kognitif memang sudah nyata dilakukan oleh berbagai instansi dalam
mengatasi gangguan jiwa termasuk Skizofrenia. Untuk dikemudian hari, baik
sekali apabila terapi ini dicoba dilakukan pada pasien yang terdiagnosis
Skizofrenia, karena terapi ini dapat membuat pasien menyadari dan melihat
jalan alternatif lain terhadap masalah yang dihadapinya dan untuk mencari cara
mengatasinya.
37
DAFTAR PUSTAKA
1. Sadock BJ, Kaplan HI, Sadock VA. Kaplan & Sadock’s Synopsis of
Psychiatry: Behavioral Sciences/clinical Psychiatry. Lippincott Williams &
Wilkins; 2007. 1504 p.
2. WHO | Schizophrenia [Internet]. WHO. [cited 2015 Dec 7]. Available from:
http://www.who.int/mental_health/management/schizophrenia/en/
3. Kingdon DG, Turkington D. Cognitive therapy of schizophrenia. Guilford
Press; 2005.
4. Departemen Kesehatan RI. Direktorat Jenderal Pelayanan Medik. Pedoman
Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III. 1st ed. Jakarta;
1993.
38