Anda di halaman 1dari 38

TERAPI KOGNITIF PADA SKIZOFRENIA

DENGAN CONTOH KASUS

Pembimbing :
Dr. dr. Rusdi Maslim, Sp. KJ, M.Kes

Disusun oleh :
Aisyah Novita (2014-061-035)

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KEDOKTERAN JIWA DAN PERILAKU


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIKA ATMA JAYA JAKARTA
PERIODE 30 NOVEMBER 2015 – 9 JANUARI 2016
JAKARTA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Skizofrenia berasal dari bahasa Yunani yaitu Skhizein yang berarti terpisah
dan Phren yang berarti pikiran. Skizofrenia diartikan sebagai sindroma klinis dari
berbagai, namun sangat mengganggu, psikopatologi yang melibatkan kognisi,
emosi, persepsi, dan aspek-aspek lain dari perilaku.1 Tanda dan gejala yang
timbul dapat berbeda pada waktu yang berbeda, seperti adanya halusinasi
intermiten, kemampuan melakukan fungsi sosial yang bervariasi, atau gejala
gangguan mood yang hilang timbul selama perjalanan penyakit skizofrenia
World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa skizofrenia
menempati urutan ke-10 penyakit non-fatal yang paling banyak diderita di dunia.2
Prevalensi skizofrenia seumur hidup adalah sebesar 1%, artinya artinya satu dari
seratus penduduk dunia akan mengalami skizofrenia selama waktu hidupnya.
Prevalensi skizofrenia sama antara pria dan wanita, onset usia pada laki-laki
adalah 10-25 tahun dan pada wanita usia 25-35 tahun. Berdasarkan hasil Riset
Kesehatan Dasar 2013, epidemiologi skizofrenia adalah 1,4 per mil penduduk
sampai 1,4 persen
Tata laksana yang dapat diberikan pada pasien skizofrenia berupa farmakologi
dan non farmakologi. Agen farmakologi seperti anti psikosis digunakan untuk
mengatasi ketidakseimbangan zat kimiawi, sedangkan terapi non farmakologi
seperti psikoterapi berguna untuk mengatasi masalah non biologis. Terapi
skizofrenia memberikan hasil yang lebih baik dengan terapi kombinasi antara
keduanya dibandingkan hanya diberikan salah satu (farmakologis atau non
farmakologis) saja.
Terapi kognitif adalah suatu sistem psikoterapi yang didasarkan pada teori
gangguan emosi (Beck, 1967). Berdasarkan kalimat tersebut yang mana
disebutkan bahwa terapi kognitif adalah suatu psikoterapi, dipikirkan apakah
terapi kognitif dapat berguna bagi pasien Skizofrenia dan bagaimana cara
melakukan terapi kognitif terhadap pasien Skizofrenia. Pada penelitian meta-
analisis yang dilakukan oleh Gould et al dan Pilling et al dikonfirmasi bahwa
teknik-teknik yang dilakukan dalam terapi kognitif pada gejala positif dan negatif
terdapat kemanjuran. Semua intervensi yang dilakukan dalam penelitian tersebut
merupakan tambahan dari terapi medikasi. Berdasarkan hasil dari penelitian-
2
penelitian yang dilakukan sebelumnya sebagai dokter, dapat dipelajari bagaimana
melakukan terapi kognitif untuk membantu pasien dengan Skizofrenia tidak
hanya dari segi medikasi tetapi juga dari segi psikoterapi dengan terapi kognitif
dan dari hal ini pula judul dari referat ini yang mana adalah ‘Terapi Kognitif pada
Skizofrenia’ dipilih.

1.2. Tujuan
1.2.1. Tujuan Umum
Mengetahui bagaimana melakukan terapi kognitif pada pasien Skizofrenia
1.2.2. Tujuan Khusus
 Mengetahui apa itu terapi kognitif
 Mengetahui bagaimana melakukan pendekatan dengan pasien Skizofrenia
dengan gejala-gejalanya
 Mengetahui bagaimana dan cara melakukan terapi kognitif
 Mengetahui apakah terapi kognitif dapat diterapkan pada pasien dalam
kasus

3
BAB II
RINGKASAN PUSTAKA DAN KASUS
2.1. Ringkasan Pustaka
2.1.1. Skizofrenia
2.1.1.1. Definisi Skizofrenia1
Skizofrenia adalah suatu sindrom klinis psikopatologis yang bervariasi,
melibatkan kognisi, emosi, persepsi, dan aspek perilaku lainnya. Manifestasi
yang timbul bervariasi untuk pasien dan waktu yang berbeda, namun dampak
yang ditimbulkan biasanya cukup berat dan terjadi dalam jangka waktu yang
lama. Skizofrenia ditandai berbagai gejala yang menyebabkan penyimpangan isi
pikir, bahasa, dan persepsi sehingga menimbulkan perilaku tidak normal.
Skizofrenia juga sering ditandai adanya gejala psikosis, seperti mendengar suara
atau delusi.

2.1.1.2. Epidemiologi Skizofrenia


Skizofrenia memiliki prevalensi yang sama antara wanita dan pria
tetapi berbeda pada onset usia penderita. Onset usia pada laki-laki adalah 10-
25 tahun dan pada wanita usia 25-35 tahun. Prevalensi skizofrenia pada
penggunaan zat paling tinggi didapatkan pada pengguna alkohol.
Penggunaan obat-obatan lain seperti ganja, amfetamin, kokain, dan obat
sejenis lainnya juga meningkatkan timbulnya gejala psikotik.

2.1.1.3. Etiologi Skizofrenia


Beberapa faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya skizofrenia adalah:
a) Genetik
Genetik memiliki peranan dalam menyebabkan skizofrenia paranoid.
Kemungkinan seseorang mengalami skizofrenia meningkat apabila orang
tersebut memiliki hubungan biologis dengan pasien skizofrenia, tergantung
pada seberapa dekat hubungan tersebut. Pada kembar monozigot,
kemungkinan mengalami skizofrenia adalah sebesar 50%. Angka ini empat
hingga lima kali lebih besar dibandingkan bila skizofrenia terjadi pada
kembar dizigot atau keluarga inti. Peranan genetik ini berkurang apabila
skizofrenia dialami oleh kerabat jauh. Data yang ada menunjukkan bahwa
meskipun genetik berperan menyebabkan skizofrenia, seseorang yang
4
rentan terhadap skizofrenia tidak akan mengalami penyakit ini tanpa
adanya faktor lain seperti lingkungan.
Penelitian lain menunjukkan terdapat hubungan antara usia ayah
dengan perkembangan skizofrenia, di mana anak yang lahir dari ayah yang
berusia lebih dari 60 tahun lebih rentan mengalami gangguan ini. Hipotesis
menyatakan bahwa hal ini disebabkan karena spermatogenesis pada pria
berusia tua cenderung memiliki kerusakan epigenetik yang lebih besar
dibandingkan pria berusia muda.

b) Faktor biokimia
 Hipotesis dopamin
Hipotesis menyatakan bahwa skizofrenia merupakan akibat dari
aktivitas dopamin yang berlebihan. Teori ini berasal dari dua observasi,
yaitu (1) potensi dan efikasi obat antipsikotik (seperti dopamine
receptor antagonist) berhubungan dengan kemampuan obat tersebut
dalam berperan sebagai antagonis reseptor dopamin tipe 2; (2) obat-
obatan yang bekerja meningkatkan aktivitas dopaminergik, seperti
kokain dan amfetamin adalah psikotomimetik. Teori dasar ini tidak
dapat menjelaskan apakah hiperaktivitas dopaminergik disebabkan
oleh pelepasan dopamin yang berlebihan, reseptor dopamin yang
berlebihan, atau kombinasi keduanya. Jaras dopamin mana yang dilalui
dalam otak juga tidak diketahui, meskipun umumnya jaras mesolimbik
dan mesokortikal adalah yang paling umum dilalui.
Neuron-neuron dopaminergik pada jaras ini diproyeksikan dari
badan sel di otak tengah ke neuron dopaminoseptif di sistem limbik
dan korteks serebral. Pelepasan dopamin yang berlebihan pada pasien
skizofrenia berhubungan dengan gejala positif psikosis. Pemeriksaan
Positron Emission Tomography (PET) pada reseptor dopamin
menunjukkan adanya peningkatan reseptor D2 pada nukleus kaudatus
pasien skizofrenia yang tidak mengonsumsi obat.

 Serotonin
Hipotesis juga menyatakan bahwa pelepasan serotonin yang
berlebihan menyebabkan gejala positif dan negatif pada skizofrenia.

5
Aktivitas antagonis serotonin oleh klozapin dan antipsikosis generasi
kedua dalam mengurangi gejala positif pada pasien kronis.

 Norepinefrin
Anhedonia (penurunan kemampuan dalam merasakan kesenangan)
merupakan gejala prominen skizofrenia. Degenerasi neuronal selektif
pada sistem norepinefrin berperan dalam menimbulkan gejala
skizofrenia ini, namun biokimia dan farmakologi yang mendasari hal
ini belum dipahami secara jelas.

 GABA
Neurotransmiter inhibitor γ-aminobutyric acid (GABA) berperan
dalam patofisiologi skizofrenia berdasarkan penemuan adanya
penurunan neuron GABA pada hipokampus pasien skizofrenia.

 Neuropeptida
Neuropeptida seperti substansi P dan neurotensin, terletak dalam
neurotransmitter katekolamin dan indolamin dan mempengaruhi aksi
dari neurotransmitter tersebut. Perubahan pada mekanisme
neuropeptida dapat memfasilitasi, menghambat, atau mengubah sistem
neuronal tersebut.

 Glutamat
Pensiklidin, antagonis glutamat memberikan gejala akut
menyerupai skizofrenia.

 Asetilkolin dan nikotin


Penelitian postmortem pada skizofrenia menunjukkan penurunan
reseptor muskarinik dan nikotinik pada kaudatus-putamen,
hipokampus, dan area tertentu pada korteks prefrontal. Reseptor ini
memegang peranan dalam regulasi sistem neurotransmitter yang
terlibat dalam kognisi, yang terganggu pada skizofrenia.

c) Neuropatologi
Pada abad ke-20, peneliti telah mampu menemukan dasar
neuropatologis pada skizofrenia, terutama pada sistem limbik dan basal

6
ganglia, termasuk neuropatologis atau abnormalitas neurokimia pada
korteks serebral, talamus, dan batang otak. Penurunan volum otak pada
skizofrenia terjadi akibat penurunan densitas akson, dendrit, dan sinaps
yang memediasi fungsi asosiatif otak. Densitas sinaps paling besar adalah
saat berusia satu tahun, kemudian akan menurun pada awal pubertas hingga
mencapai jumlah saat dewasa. Perubahan neuropatologi pada skizofrenia
dapat dilihat pada hal sebagai berikut:
 Ventrikel serebral
Pemeriksaan CT Scan pada pasien skizofrenia menunjukkan
pembesaran ventrikel ketiga dan lateral, serta penurunan volum
korteks. Penurunan volum substansia grisea korteks terjadi pada fase
awal penyakit dan hingga saat ini belum dapat dipastikan apakah lesi
tersebut bersifat progresif atau tidak seiiring berkembangnya penyakit.

 Penurunan kesimetrisan
Terdapat ketidaksimetrisan pada beberapa area otak penderita
skizofrenia, termasuk lobus temporal, frontal, dan oksipital.
Ketidaksimetrisan ini diduga terjadi sejak dalam kandungan dan
merupakan indikasi lateralisasi otak selama masa perkembangan.

 Sistem limbik
Penelitian postmortem pada otak pasien skizofrenia menunjukkan
penurunan ukuran pada area amigdala, hipokampus, dan girus
hipokampus. Hipokampus tidak hanya mengecil tetapi juga fungsinya
menjadi abnormal karena gangguan transmisi glutamat. Disorganisasi
neuron pada hipokampus juga tampak pada jaringan otak pasien
skizofrenia dibandingkan pada orang yang tidak mengalami
skizofrenia.

 Korteks prefrontal
Berdasarkan penelitian postmortem ditemukan adanya
abnormalitas pada korteks prefrontal pasien skizofrenia. Gambaran
radiologi juga menunjukkan adanya defisit fungsional pada area
korteks prefrontal.

7
 Talamus
Beberapa penelitian pada talamus menunjukkan adanya penciutan
volum atau pengurangan neuron, terutama subnukleus. Terdapat
penurunan jumlah neuron pada nukleus medius dorsalis yang
mempunyai hubungan timbal balik dengan korteks prefrontal. Pada
pasien skizofrenia, jumlah neuron total berkurang sebesar 30-45% dan
penurunan ini tidak dipengaruhi oleh penggunaan obat antipsikosis.

 Ganglia basalis dan serebelum


Peran ganglia basalis dan serebelum dalam menyebabkan
skizofrenia terlihat dari (1) banyak pasien skizofrenia menunjukkan
gerakan-gerakan abnormal meskipun mereka tidak mengonsumsi obat-
obatan yang menyebabkan gangguan gerak. Gerakan abnormal yang
dilakukan seperti cara berjalan yang aneh, wajah menyeringai, dan
stereotipik; (2) Gangguan gerak yang melibatkan ganglia basalis
(seperti penyakit Huntington, Parkinson) merupakan gangguan yang
paling sering berhubungan dengan psikosis.
Penelitian neuropatologis menunjukkan adanya kehilangan sel atau
pengurangan ukuran globus palidus dan substansia nigra, selain itu
ditemukan juga adanya peningkatan jumlah reseptor D2 pada kaudatus,
putamen, dan nukleus akumbens.

d) Sirkuit neural
Gangguan pada jaras dopaminergik korteks prefrontal menyebabkan
terjadinya gangguan pada prefrontal dan sistem limbik yang dapat
menimbulkan gejala positif dan negatif. Data dari penelitian menunjukkan
bahwa disfungsi dari sirkuit cingulatum basal ganglia talamokortikal
anterior mempengaruhi timbulnya gejala psikosis positif, sedangkan
disfungsi dari sirkuit dorsolateral prefrontal menyebabkan timbulnya
gejala negatif.

e) Metabolisme otak
Penelitian menunjukkan bahwa molekul spesifik pada otak, seperti
fosfomonoester dan inorganik fosfat pada pasien skizofrenia lebih rendah
dibandingkan pada yang tidak menderita skizofrenia. Selain itu, konsentrasi

8
dari N-asetil aspartat, marker dari neuron yang berada di hipokampus dan
lobus frontalis lebih rendah pada pasien skizofrenia.

f) Psikoneuroimunologi
Beberapa kelainan imunitas memiliki hubungan dengan skizofrenia,
kelainan tersebut berupa penurunan produksi sel T interleukin-2,
berkurangnya respon limfosit, kelainan reaksi selular dan humoral terhadap
neuron, serta adanya antibodi antibrain.

2.1.1.4. Model Kognitif Skizofrenia3


Model yang digunakan untuk menjelaskan skizofrenia didasarkan pada
biologik, sosial dan konseptualisasi psikologis. Model biologis telah
ditekankan pada penyebab fisik dari penyakit yang meliputi ketidaknormalan
pada struktur dan fungsi yang disebabkan oleh genetik, trauma lahir,
perkembangan abnormal atau infeksi virus. Model sosial difokuskan pada
pengaruh lingkungan yang meliputi kemiskinan, pengaruh perkotaan dan
budaya, keluarga dan tekanan sosial. Model psikologis melihat dari berbagai
macam sudut pandang, sering mempertimbangkan kerumitan dari hubungan
interpersonal.
Tidak satupun dari model ini yang secara universal diterima
dikarenakan semuanya memiliki keterbatasan dalam menjelaskan bukti
penelitian yang tersedia.
Vulnerability Stress Model of Psychosis
Gejala psikosis, termasuk yang ada pada skizofrenia, muncul dari kombinasi
kerentanan :
 Biologis, termasuk genetik
 Sosial, termasuk tinggal pada lingkungan perkotaan
 Psikologis, yang mungkin : bias ekstrenalisasi, kecenderungan untuk
mengambil keputusan, kesulitan untuk mengambil peran,
kepercayaan tentang diri yang negatif atau membingungkan
Dengan stres yang berarti pada individu oleh karena tipe, keparahan,
hubungan atau possible implications yang mungkin diperkuat oleh ketakutan
menjadi ‘gila’ dan stigmatisasi.

9
2.1.1.5. Diagnosis Skizofrenia4
Kriteria diagnostik PPDGJ-III
 Harus ada sedikitnya satu gejala berikut ini yang amat jelas (dan
biasanya dua gejala atau lebih bila gejala-gejala itu kurang tajam atau
kurang jelas) :
a. - “thought echo” = isi pikiran dirinya sendiri yang berulang atau
bergema dalam kepalanya (tidak keras), dan isi pikiran ulangan,
walaupun isinya sama, namun kualitasnya berbeda; atau
- “thought insertion or withdrawal” = isi pikiran yang asing dari
luar masuk ke dalam pikirannya (insertion) atau isi pikirannya
diambil keluar oleh sesuatu dari luar dirinya (withdrawal); dan
- “thought broadcasting”= isi pikirannya tersiar keluar sehingga
orang lain atau umum mengetahuinya

b. - “delusion of control” = waham tentang dirinya dikendalikan oleh


suatu kekuatan tertentu dari luar; atau
- “delusion of influence” = waham tentang dirinya dipengaruhi
oleh suatu kekuatan tertentu dari luar
- “delusion of passivity” = waham tentang dirinya tidak berdaya
dan pasrah terhadap suatu kekuatan dari luar (tentang dirinya =
secara jelas merujuk ke pergeakan tubuh/aggota gerak atau ke
pikiran, tindakan, atau penginderaan khusus)
- “delusion perception” = pengalaman inderawi yang tak wajar,
yang bermakna sangat khas bagi dirinya, biasanya bersifat mistik
atau mukjizat
c. halusinasi auditorik :
- suara halusinasi yang berkomentar secara terus menerus terhadap
perilaku pasien, atau
- mendiskusi perihal pasien di antara mereka sendiri (diantara
berbagai suara yang berbicara), atai
- jenis suara halusinasi lain yang berasal dari salah satu bagian
tubuh
d. waham – waham menetap jenis lainnya, yang menurut budaya
setempat dianggap tidak wajar dan sesuatu yang mustahil, misalnya

10
perihal keyakinan agama atau politik tertentu, atau kekuatan dan
kemampuan di atas menusia biasa (misalnya mampu mengendalikan
cuaca, atau berkomunikasi dengan mahluk asing dari dunia lain)
 Atau paling sedikit dua gejala dibawah ini yang harus ada secara jelas :
e. Halusinasi yang menetap dari panca-indera apa saja, apabila disertai
baik oleh waham yang mengambang maupun yang setengah
berbentuk tanpa kandungan afektif yang jelas, ataupun disertai ide-ide
berlebihan (over-valued ideas) yang menetap, atau apabila terjadi
setiap hari selama berminggu-minggu atau berbulan-bulan terus
menerus.
f. Arus pikiran yang terputus (break) atau yang mengalami sisipan
(interpolation), yang berakibat inkoherensi atau pembicaraan yang
tidak relevan, atau neologisme

g. Perilaku katatonik, seperti keadaan gaduh-gelisah (excitement), posisi


tubuh tertentu (posturing) atau fleksibilitas cerea, negativisme,
mutisme, dn stupor
h. Gejala-gejala negatif seperti sikap sangat apatis, bicara yang jarang,
dan respon emosional yang menumpul atau tidak wajar, biasanya
yang mengakibatkan penarikan diri dari pergaulan sosial dan
menurunnya kinerja sosial, tetapi harus jelas bahwa semua hal
tersebut tidak disebabkan oleh depresi atau medikasi neuroleptika.
 Adanya gejala-gejala khas tersebut diatas telah berlangsung selama
kurun waktu satu bulan atau lebih (tidak berlaku untuk setiap fase
nonpsikotik prodromal)
 Harus ada suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu
keseluruhan (overall quality) dari beberapa aspek perilaku pribadi
(personal behaviour), bermanifestasi sebagai hilangnya minat, hidup tak
bertujuan, tidak berbuat sesuatu, sikap larut dalam diri sendiri (self-
absorbed attitude), dan penarikan diri secara sosial.

Pola perjalanan penyakit


Perjalanan gangguan skizofrenik dapat diklasifikasikan dengan menggunakan kode 5
karakter berikut:

11
F20.x0 Berkelanjutan
F20.x1 Episodik dengan kemunduran progresif
F20.x2 Episodik dengan kemunduran stabil
F20.x3 Episodik berulang
F20.x4 Remisi tak sempurna
F20.x5 Remisi sempurna
F20.x8 Lainnya
F20.x9 Periode pengamatan kurang dari 1 tahun

Subtipe
F20.0 Skizofrenia Paranoid
 memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia
 sebagai tambahan :
o halusinasi dan/atau waham harus menonjol;
a. suara-suara halusinasi yang mengancam pasien atau memberi
perintah, atau halusinasi auditorik tanpa bentuk verbal berupa
bunyi pluit (whistling), mendengung (humming), atau bunyi tawa
(laughing)
b. halusinasi pembauan atau pengecapan rasa, atau bersifat seksual,
atau lain-lain perasaan tubuh; halusinasi visual mungkin ada tetapi
jarang menonjol
c. waham dapat berupa hampir setiap jenis, tetapi waham
dikendalikan (delusion of control), dipengaruhi (delusion of
influence, atau passitivity, dan keyakinan dikejar-kejar beraneka
ragam, adalah yang paling khas
o gangguan afektif, dorongan kehendak dan pembicaraan, serta gejala
katatonik secara relatif tidak nyata dan tidak menonjol
F20.1 Skizofrenia Hebefrenik/Disorganized
 Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia
 Diagnosis hebefrenia untuk pertama kali hanya ditegakkan pada usia
remaja atau dewasa muda (onset biasanya mulai 15-25 tahun)
 Kepribadian premorbid menunjukkan ciri khas: pemalu, dan senang
menyendiri (solitary), namun tidak harus demikian untuk menentukan
diagnosis

12
 Untuk diagnosis hebefrenia yang meyakinkan umumnya diperlukan
pengamatan kontinu selama 2 atau 3 bulan lamanya, untuk memastikan
bahwa gambaran yang khas berikut ini memang benar bertahan :
- perilaku yang tidak bertanggung jawab dan tak dapat diramalkan, serta
mannerisme; ada kecenderungan untuk selalu menyendiri (solitary)
dan perilaku menunjukkan hampa tujuan dan hampa perasaan
- afek pasien dangkal (shallow) dan tidak wajar (inapropriate), sering
disertai oleh cekikikan (giggling) atau perasaan puas diri (self-
satisfied), senyum sendiri (self-absorbed smiling), atau oleh sikap
tinggi hati (lofty manner), tertawa menyeringai (grimaces),
mannerisme, mengibuli secara bersenda gurau (pranks), keluhan
hipokondriakal, dan ungkapan kata yang diulang-ulang (reiterated
phrases);
- proses pikir mengalami disorganisasi dan pembicaraan tak menentu
(rambling) serta inkoheren
 Gangguan afektif dan dorongan kehendak, serta gangguan proses pikir
umumnya menonjol. Halusinasi dan waha mungkin ada tetapi biasanya
tidak menonjol (fleeting and fragmentary delusions and hallucination).
Dorongan kehendak (drive) dan yang bertujuan (determination) hilang serta
sasaran ditinggalkan, sehingga perilaku penderita menunjukkan ciri khas,
yaitu perilaku tanpa tujuan (aimless) dan tanpa maksud (empty of purpose).
Adanya suatu preokupasi yang dangkal dan bersifat dibuat-buat terhadap
agama, filsafat dan tema abstrak lainnya, makin mempersukar orang
memahami jalan pikiran pasien.
F20.2 Skizofrenia Katatonik
 Memenuhi kriteria umum untuk diagnosis skizofrenia
 Satu atau lebih dari perilaku berikut ini harus mendominasi gambaran
klinis:
a. stupor (amat berkurangnya dalam reaktivitas terhadap lingkungan dan
dalam gerakan serta aktivitas spontan) atau mutisme (tidak berbicara)
b. gaduh gelisah (tampak jelas aktivitas motorik yang tak bertujuan, yang
dipengaruhi oleh stimuli eksternal)
c. menampilkan posisi tubuh tertentu

13
d. negativisme
e. rigiditas
f. fleksibilitas cerea / waxy flexibility
g. gejala-gejala lain seperti “command automatism” dan pengulangan
kata serta kalimat-kalimat
F20.3 Skizofrenia Tak terinci (Undifferentiated)
 Memenuhi kriteria umum untuk diagnosis skizofrenia
 Tidak memnuhi kriteria untuk diagnosis skizofrenia paranoid, hebefrenik,
atau katatonik
 Tidak memenuhi kriteria untuk skizofrenia residual atau depresi pasca-
skizofrenia
F20.4 Depresi Pasca-skizofrenia
 Diagnosis harus ditegakkan hanya kalau :
a. pasien telah menderita skizofrenia (yang memenuhi kriteria umum
skizofrenia) selama 12 bulan terakhir ini
b. beberapa gejala skizofrenia masih tetap ada (tetapi tidak lagi
mendominasi gambaran klinisnya) dan
c. gejala-gejala depresif menonjol dan menganggu, memenuhi paling
sedikit kriteria untuk episode depresif (F32.-) dan telah ada dalam kurun
waktu paling sedikit 2 minggu
 Apabila pasien tidak lagi menunjukkan gejala skizofrenia diagnosis
menjadi episode depresif (F32.-). Bila gejala skizofrenia masih jelas dan
menonjol, diagnosis harus tetap salah satu dari subtipe skizofrenia yang
sesuai (F20.0-F20.3)
F20.5 Skizofrenia Residual
 Untuk suatu diagnosis yang meyakinkan, persyaratan berikut ini harus
dipenuhi semua :
a. gejala negatif dari skizofrenia yang menonjol, misalnya perlambatan
psikomotorik, aktivitas menurun, afek yang menumpul, sikap pasif dan
ketiadaan inisiatif, kemiskinan dalam kuantitas atau isi pembicaraan,
komunikasi non-verbal yang buruk seperti dalam ekspresi muka,
kontak mata, modulasi suara, dan posisi tubuh, perawatan diri dan
kinerja sosial yang buruk

14
b. sedikitnya ada riwayat satu episode psikotik yang jelas di masa lampau
yang memenuhi kriteria untuk diagnosis skizofrenia
c. sedikitnya sudah melampaui kurun waktu satu tahun dimana intensitas
dan frekuensi gejala yang nyata seperti waham dan halusinasi telah
sangat berkurang (minimal) dan telah timbul sindrom negatif dari
skizofrenia
d. tidak terdapat dementia atau penyakit/gangguan otak organik lain,
depresi kronis atau institutionalisasi yang dapat menjelaskan disabilitas
negatif tersebut
F20.6 Skizofrenia Simpleks
 Diagnosis skizofrenia simleks sulit dibuat secara meyakinkan karena
tergantung pada pemantapan perkembangan yang berjalan perlahan dan
progresif dari
- gejala negatif yang khas dari skizofrenia residual tanpa didahului
riwayat halusinasi, waham, atau manifestasi lain dari episode psikotik
dan
- disertai dengan perubahan-perubahan perilaku pribadi yang bermakna,
bermanifestasi sebagai kehilangan minat yang mencolok, tidak berbuat
sesuatu, tanpa tujuan hidup, dan penarikan diri secara sosial
 Gangguan ini kurang jelas gejala psikotiknya dibandingkan sub tipe
skizofrenia lainnya.

F20.8 Skizofrenia Lainnya


F20.9 Skizofrenia YTT

2.1.1.6. Manifestasi klinis Skizofrenia2


Beberapa hal yang harus diperhatikan untuk mendiagnosis skizofrenia adalah:
1. Riwayat pasien
2. Gejala yang ditimbulkan oleh pasien berbeda seiring dengan berjalannya
waktu
3. Perhatikan bagaimana edukasi, intelektual dan budaya pasien

Tanda dan gejala premorbid


Tanda dan gejala premorbid muncul sebelum fase prodromal dari
penyakit. Perbedaan antara tanda dan gejala premorbid dan prodromal
15
adalah, premorbid muncul sebelum proses penyakit dimulai sedangkan
prodromal adalah saat penyakit berlangsung. Tanda premorbid tipikal dari
skizofrenia adalah pasien memiliki kepribadian skizoid/skizotipal seperti
pendiam, pasif, introvert, pada masa kanak-kanak hanya memiliki sedikit
teman dan pada saat remaja tidak memiliki teman dekat. Beberapa orang
dewasa, dapat muncul onset mendadak obsesif kompulsif sebagai gambaran
prodromal. Saat pasien dirawat pertama kali, kadang hal ini dianggap sebagai
awal mula penyakit, tetapi gejala dan tanda telah muncul beberapa bulan atau
tahun lalu. Tanda yang muncul dapat berupa gejala somatik seperti sakit
kepala, otot-otot tegang, kelemahan, dan masalah pencernaan. Diagnosis
awal dapat berupa malingering, chronic fatigue syndrome, atau kelainan
somatisasi. Keluarga dan teman menyadari, bahwa pasien berubah dan tidak
dapat menjalankan fungsi sosial maupun pekerjaannya dengan baik. Pada
fase ini pasien akan mulai muncul ide-ide abstrak, filosofi, dan pertanyaan-
pertanyaan religius. Tanda dan gejala prodromal tambahan adalah kelakuan
kacau, afek abnormal, pembicaraan, ide-ide serta pengalaman yang
kacau/aneh.
Pemeriksaan status mental
1. Deskripsi umum:
Penampilan pasien skizofrenia beragam, mulai dari disheveled, agitasi,
teriak-teriak hingga diam dan tidak bergerak sama sekali. Selain itu, pasien
dapat menjadi banyak bicara dan menunjukkan postur tubuh yang aneh.
Tingkah laku dapat berupa agitasi/violent yang merupakan respon dari
halusinasi yang dialami pasien. Lainnya adalah kecerobohan yang ganjil atau
kekakuan pada pergerakan tubuh. Kelainan gerak yang bisa terjadi adalah
tics, stereotoipi, mannerism, atau echopraxia.
2. Mood, perasaan dan afek:
Dua gejala afektif pasien skizofrenia adalah penurunan responsif emosi
sampai terjadi anhedonia dan juga emosi yang berlebihan atau emosi yang
tidak sesuai. Halusinasi yang sering terjadi adalah halusinasi auditorik,
halusinasi lainnya dapat terjadi tapi lebih jarang dan bersifat tidak khas. Ilusi
dapat muncul pada fase aktif/fase prodromal/ remisi.

16
3. Pikiran:
Isi pikir biasanya berhubungan dengan kelainan dari kepercayaan
pasien dan interpretasi dari suatu stimuli. Waham adalah contoh nyata dari
gangguan isi pikir, dan biasanya waham yang timbul adalah persecutory,
grandiose, religious atau somatik. Pasien juga merasa bahwa lingkungan luar
mengontrol pikiran dan kelakuan pasien atau sebaliknya bahwa pasien yang
mengontrol lingkungan luar seperti matahri terbit. Pasien juga memiliki
preokupasi dengan esoteric, abstrak, simbolik, psikologis atau filosofi. Loss
of ego boundaries menjelaskan bahwa pasien merasa televisi, koran,
memiliki hubungan dengan dirinya (ideas of referrence).
Arus pikir yang ada pada pasien skizofrenia adalah asosiasi longgar,
inkorensia, tangensial, sirkumstansial, neologism, echolalia, verbigeration,
word salad dan mutism. Proses pikir terlihat dari bagaimana cara pasien
berbicara, menulis, dan menggambar. Kelainan proses piker yang dapat
ditemukan adalah flight of ideas, bloking, gangguan atensi, miskin isi pikir,
lemahnya gangguan abstrak, perservation, over inclusion, dan
sirkumstansial. Thought control adalah kekuatan dari luar yang
mempengaruhi pikiran dan perasaan pasien. Thought broadcasting adalah
keadaan dimana pasien merasa orang lain dapat membaca pikiran pasien dan
menyebarkannya melalui televisi atau radio.
Penderita skizofrenia dapat mengalami agitasi dan gangguan dalam
mengendalikan impuls. Pasien juga dapat menjadi impulsif terhadap
seseorang. Beberapa contoh tindakan impulsif adalah bunuh diri (suicide)
dan membunuh orang lain (homicide) yang muncul sebagai respon dari
halusinasi ataupun waham.
Orientasi pada penderita skizofrenia umumnya tidak terganggu. Bila
terdapat gangguan orientasi maka gangguan organik pada otak dapat menjadi
penyebabnya. Memori penderita skizofrenia juga biasanya intak ataupun
terdapat defisiensi minor. Gangguan kognisi menjadi level prediktor
keparahan dari skizofrenia. Gangguan kognisi dapat beruapa gangguan atensi,
fungsi eksekutif, working memory, dan episodic memory. Gangguan kognisi
ini menjadi target dari terapi farmakologi dan psikososial. Insight dari pasien
skizofrenia biasanya buruk. Reliabilitas dari pasien skizofrenia tidak kurang

17
dari pasien psikiatri lainnya, tetapi untuk verifikasi informasi yang diberikan
pasien diperlukan informasi dari sumber lainnya.

2.1.1.7. Terapi Skizofrenia


Farmakoterapi
Antipsikotik dapat mengurangi gejala psikotik dan menurunkan kejadian
relaps. 70% pasien yang diterapi dengan anti psikotik mencapai remisi. Obat
yang digunakan untuk mengobati skizofrenia sangat bervariasi tetapi
semuanya memiliki kapasitas sebagai antagonis reseptor dopamin di otak. Anti
psikotik dapat dikategorikan dalam dua grup utama yaitu anti psikotik generasi
pertama atau antagonis reseptor dopamin dan anti psikotik generasi kedua atau
serotonin dopamin antagonis (SDAs).
Fase terapi pada Skizofrenia dapat dibagi menjadi:
 Terapi pada psikosis akut
Terapi pada fase akut difokuskan untuk mengurangi gejala psikotik
yang paling berat. Fase ini berlangsung selama 4 sampai 8 minggu.
Skizofrenia akut berkaitan dengan agitasi berat, yang dapat diakibatkan
karena gejala lain seperti delusi yang menakutkan, halusinasi, kecurigaan dan
penggunaan stimulan.
Pasien dengan agitasi diberikan tertapi anti psikotik dan
benzodiazepine. Anti psikotik yang diberikan berupa haloperidol,
fluphenazine, olanzapine, atau ziprasidone. Pemberian secara injeksi
intramuscular untuk memberikan efek yang cepat. Setelah diberikan injeksi
anti psikotik pasien akan menjadi lebih tenang tetapi tidak menimbulkan efek
sedasi. Benzodiazepine juga efektif untuk psikosis akut. Lorazepam dapat
diberikan secara oral maupun intramuscular. Pemberian lorazepam ini dapat
mengurangi jumlah pemberian anti psikotik yang dibutuhkan untuk
mengontrol pasien psikotik.
 Terapi selama stabilisasi dan fase maintenance
Tujuan pada fase ini yaitu untuk mencegah berulangnya gejala psikotik
dan membantu memperbaiki fungsional pasien. Pada fase ini, pasien dalam
kondisi yang relatif untuk remisi dengan satu gejala psikotik yang minimal.

18
Pasien stabil yang di berikan anti psikotik rumatan memiliki angka relaps
yang lebih rendah dibandingkan dengan yang dihentikan pengobatannya.

Non-farmakoterapi
 Terapi Psikososial
Terapi psikososial memiliki berbagai macam metode untuk
meningkatkan kemampuan bersosialisasi, self-sufficiency, keterampilan
praktis, dan komunikasi interpersonal dengan penderita skizofrenia.
Tujuannya adalah memampukan pasien yang memiliki penyakit berat untuk
berkembang secara sosial dan keterampilan bekerja sehingga pasien dapat
menjalani hidup independen. Terapi ini dapat dilakukan di rumah sakit,
klinik rawat jalan, pusat kesehatan jiwa, di rumah maupun panti sosial.
 Terapi Keterampilan Sosial
Pelatihan keterampilan sosial ini kadang-kadang merujuk pada
terapi perilaku. Selama pemberian farmakoterapi, terapi ini dapat secara
langsung mendukung dan bermanfaat bagi pasien. Sebagai tambahan pada
pasien skizofrenia dengan gejala psikotik, gejala yang mudah dilihat dapat
mempengaruhi cara pasien untuk membangun relasi dengan orang lain,
termasuk diantaranya seperti tidak ada kontak mata, respon yang aneh,
ekspresi wajah yang janggal, kurangnya spontanitas dalam situasi sosial, dan
persepsi yang tidak tepat. Terapi perilaku ini menunjukkan perilaku-perilaku
ini melalui rekaman video kepada pasien dan juga orang lain, terapi dengan
role playing, dan memberikan pekerjaan rumah untuk keterampilan khusus
yang memerlukan latihan. Pelatihan keterampilan sosial dapat menurunkan
angka relaps.
 Terapi Keluarga
Pasien skizofrenia biasanya pulang dalam keadaan remisi parsial
sehingga dibutuhkan peran keluarga untuk memberikan terapi. Terapi
berfokus pada situasi saat ini termasuk identifikasi dan menghindari situasi
yang berpotensi menjadi masalah. Anggota keluarga harus mendukung
keluarganya yang memiliki skizofrenia untuk memulai lagi aktivitas teratur
secepatnya, dengan mengabaikan gangguan yang dialami dan penyangkalan
akan beratnya gangguan yang dialami. Terapis juga membantu pasien dan

19
keluarganya untuk mengerti mengenai skizofrenia dan diskusi mengenai
episode psikotiknya. Pendekatan terapi keluarga dapat membantu
mengurangi stress dan coping pasien dalam kehidupan sehari-harinya. Terapi
harus mengendalikan emosi keluarga, emosi yang berlebihan dapat
menganggu proses penyembuhan pasien.
 Terapi komunitas asertif
Pasien mendapat 1 tim multidisipliner yang terdiri dari pemimpin kasus,
psikiatris, perawat, dokter umum, dan lainnya. Tim tersebut mendampingi
pasien 24 jam setiap harinya selama 1 minggu. Hal ini meliputi pemberian
obat ke rumah, mengawasi kesehatan mental dan fisik, kemampuan sosial,
dan hubungan pasien- keluarga.
 Terapi kelompok
Terapi kelompok pada penderita skizofrenia difokuskan pada rencana
kehidupan pasien, masalah, dan hubungan pasien. Kelompok dapat bersifat
behavior-oriented, psychodynamically/insight oriented, atau suportif. Terapi
kelompok dapat mengurangi masalah isolasi sosial, meningkatkan keakraban
pasien, dan meningkatkan daya realita pasien skizofrenia. Kelompok yang
bersifat suportif menunjukkan efek yang lebih baik pada pasien skizofrenia.
 Cognitive behavioral therapy (CBT)
CBT telah digunakan pada pasien skizofrenia untuk meningkatkan kognitif
pasien, mengurangi distraktibilitas, dan memperbaiki kemampuan
mengambil keputusan pasien. Terapi ini lebih efektif pada pasien yang
memiliki tilikan baik.
 Psikoterapi individu
Beberapa penelitian menunjukkan psikoterapi individu terbukti dapat
membantu dan dapat dilakukan bersamaan dengan terapi farmakologi. Dalam
psikoterapi pasien skizofrenia, kepercayaan pasien terhadap pengobatan
sangat diperlukan. Hubungan emosional antara terapis dan pasien dan
perilaku terapis dapat diinterpretasikan oleh pasien dan mempengaruhi hasil
terapi. Beberapa dokter dan peneliti menekankan bahwa kemampuan pasien
untuk membentuk ikatan dengan terapi dapat memprediksikan hasil yang
akan didapatkan.

20
Dalam konteks hubungan professional, fleksibilitas sangat
dibutuhkan untuk membangun relasi dengan pasien. Contohnya seperti
makan bersama dengan pasien, duduk di lantai, jalan-jalan, makan di
restoran, memberi dan menerima hadiah, bermain tenis meja, mengingat
ulang tahun pasien, atau hanya duduk dalam diam bersama pasien. Tujuan
utamanya adalah untuk menyampaikan ide kepada pasien bahwa terapis
dapat dipercaya, ingin memahami keadaan pasien dan mencoba untuk
melakukan hal itu, dan yakin pada kemanusiaan pasien tanpa peduli seberapa
terganggunya, merasa dimusuhi atau keanehan pasien pada saat itu.
 Terapi personal
Terapi personal merupakan psikoterapi yang fleksibel dan saat ini merupakan
terapi individual untuk penderita skizofrenia. Tujuannya untuk meningkatkan
penyesuaian personal dan sosial dan mencegah terjadinya relaps. Terapi
personal merupakan metode pilihan menggunakan keterampilan sosial dan
latihan relaksasi, psikoedukasi, refleksi diri, kesadaran diri dan
mengeksplorasi kerentanan individu terhadap terjadinya stres. Pasien yang
menerima terapi personal menunjukkan perbaikan pada penyesuaian sosial
dan memiliki angka relaps yang rendah selama 3 tahun dibandingkan dengan
pasien yang tidak menerima terapi personal.
 Dialectical Behavior Therapy
Terapi ini menggunakan kombinasi antara terapi kognitif dan teori perilaku
yang dapat diberikans ecara individual maupun kelompok. Terapi ini terbukti
bermanfaat pada kondisi borderline dan mungkin memiliki manfaat pada
penderita skizofrenia. Terapi ini menekankan pada perbaikan keterampilan
interpersonal dengan adanya terapis yang aktif dan empati.
 Vocational Therapy
Beberapa metode digunakan untuk membantu pasien dalam mencapai
kembali keterampilan lama yang dimiliki dan mengembangkan keterampilan
yang baru. Program dalam terapi ini adalah pelaksanaan lokakarya,
kelompok kerja, kerja part-time atau program transisi tenaga kerja.
 Integrasi terapi medis dan psikososial
Pada metode ini penggunaan farmakoterapi dikombinasikan dengan terapi
psikososial (nonfarmakoterapi). Pada beberapa penelitian didapatkan hasil

21
bahwa kombinasi kedua pendekatan tersebut dapat menghasilkan hasil yang
lebih baik.

2.1.2. Definisi Terapi Kognitif


Terapi kognitif merupakan sebuah cara untuk mencoba mengenali dan
kemudian memahami pemikiran yang berjalan bersamaan dengan perasaan
pasien. Pada dasarnya terapi kognitif melibatkan percakapan dengan perawat,
dokter, psikolog atau orang-orang terlatih lainnya tentang kekhawatiran dan
keprihatinan dan mencoba untuk memahaminya dengan lebih baik. Hal ini
dilakukan agar terdapat kemungkinan untuk melihat secara berbeda dimana
mungkin terdapat alternatif terhadap kesimpulan yang didapat dari hal-hal
yang meyebabkan penderitaan.3

2.1.3. Terapi Kognitif pada Skizofrenia3


2.1.3.1. Bukti Efektifitas Kognitif Terapi pada Skizofrenia
Terapi ini didasarkan pada pendekatan terapi terhadap gejala-gejala
Skizofrenia dan ditargetkan pada gejala individual seperti delusi dan
halusinasi. Pada studi yang dilakukan oleh Sensky et al, 2000, dikatakan
bahwa pada akhir terapi, dimana dilakukan terapi kognitif selama 9 bulan,
responden menunjukkan perbaikan dari gejala depresi serta gejala positif dan
negatif. Gumley dan kolega juga menyatakan terdapat keuntungan positif pada
pasien relaps dengan terapi ini. Gould et al dan Pilling et al dikonfirmasi
bahwa teknik-teknik yang dilakukan dalam terapi kognitif pada gejala positif
dan negatif terdapat kemanjuran. Semua intervensi yang dilakukan dalam
penelitian tersebut merupakan tambahan dari terapi medikasi.

2.1.3.2. Intervensi Dini, Relasi Terapeutik dan Assessment


Intervensi dini mungkin dapat mengurangi kerusakan pada situasi
sosial dan kepercayaan diri dari pasien. Dipercaya bahwa pasien berhak
menerima pengobatan sedini mungkin untuk meminimalisasi penderitaan
(distress) dan ketidakmampuan (disability). Langkah pertama dalam
melakukan terapi psikologis adalah pengembangan dari kepercayaan dan kerja
sama. Tanpa hal ini, terapi tidak memungkinkan. Hal-hal yang perlu
22
diperhatikan pada relasi terapeutik meliputi engagement, langkah, pendekatan
tanpa konfrontasi. Dalam engagement yang perlu diperhatikan adalah
penggunaan bahasa yang baik dan pantas, mengetahui tingkat pemahaman
pasien, mengembangkan tujuan-tujuan yang ingin dicapai dalam terapi, dan
membuat pasien meninggalkan sesi dengan sudut pandang baru, perasaan
terlindungi dan pertemanan dimana dibutuhkan topik yang tidak mengancam,
empati, dukungan, penerimaan, kesabaran, tidak mengonfrontasi, dan tanpa
persetujuan terhadap kepercayaan pasien yang meliputi waham dan halusinasi.
Kadang disela-sela dapat dilakukan pembicaraan santai untuk memelihara dan
menambah ikatan dengan pasien.
Assessment/penilaian membutuhkan keinginan, perhatian dan
pengalaman dalam kerja sama dengan pasien, dan merupakan satu-satunya
jalan untuk mengerti kehidupan mereka dan masalah yang mereka hadapi.
Jadi, penilaian berguna untuk mengerti latar belakang seseorang,
mengembangkan rumusan berdasarkan model stress-kerentanan,
menginformasikan pilihan intervensi dan mengembangkan dasar untuk
mengukur perubahan. Penilaian tidak pernah berhenti sampai terapi itu sendiri
selesai. Penilaian lengkap pada pasien meliputi pemahaman terhadap riwayat
pribadi (kelahiran, perkembangan awal, pendidikan, pekerjaan, hubungan,
riwayat keluarga, penggunaan zat/obat-pbatan tertentu, masalah dengan
hukum), sosial, medis (kesehatan/penyakit terdahulu), dan juga kesehatan
mental maupun masalah dan gejala yang ada. Penilaian tidak hanya bisa
didapat dari pasien namun juga dapat diperoleh dari keluarga, teman, tetangga,
petugas medis, rekam medik psikiatri sebelumnya. Perlu diketahui juga onset
dari gejala dan penyakitnya, apa saja dan bagaimana gejalanya serta
bagaimana perasaan pasien terhadap dirinya dan juga pemahaman tentang
penyakitnya. Perlu pula ditanyakan faktor-faktor yang memotivasi pasien dan
tujuan hidup atau cita-citanya.

2.1.3.3. Rumusan Kasus Individual dan Perencanaan Terapi


Rumusan kasus berkembang dari proses penilaian dan kadang
membimbing. Rumusan kasus memberikan kerangka kerja dari yang mana
untuk mengembangkan intervensi terapeutik dan pembangunannya sendiri
dapat berupa terapeutik. Penyediaan cara untuk memahami berbagai elemen
23
pada kehidupan seseorang yang telah bercampur dan menimbulkan
permasalahan saat ini dapat memberikan atau kadang tidak, dukungan untuk
mengatasinya. Apa yang termasuk dalam rumusan yang disajikan kepada
pasien memerlukan pertimbangan. Untuk beberapa orang, diagram sederhana
yang menghubungkan stres dengan kerentanan mungkin dapat berguna. Hal
ini dapat dijelaskan dengan menunjukan, menggunakan diagram, bahwa
beberapa orang memiliki tingkat kerentanan yang sangat rendah namun
tingkat stres yang tinggi sehingga mereka menjadi sakit (A), yang mana
lainnya dapat begitu rentan dengan tingkat stres yang rendah dan
menyebabkan kesakitan (B).

Stres tinggi –
Krentanan rendah (A)
Stres

Kerentanan tinggi –
Stres rendah (B)

Kerentanan

Mengerti latar belakang pasien adalah langkah pertama, yang meliputi :


 Faktor predisposisi atau kerentanan : segala persoalan yang mungkin
membuat seseorang menjadi lebih sensitif terhadap stres dan secara
spesifik yang menyebabkan penyakit psikotik
 Faktor pencetus : segala pengalaman yng berhubungan yang secara
segera membuat pasien mengalami kesakitan
 Faktor yang mengekalkan/mengabadikan : segala persoalan yang
membuat pemulihan penuh menjadi lebih sulit dan kekambuhan yang
lebih mungkin terjadi
 Faktor pelindung : kekuatan yang mana dapat membantu penyembuhan
(akal budi, hubungan, minat, bakat)
Selanjutnya mengenali masalah sekarang yang dilanjutkan dengan
menjelaskan pikiran, perasaan dan perilaku yang mendominasi dan yang

24
berhubungan dengan penyakit dan yang terakhir mengidentifikasi masalah
yang mendasari dan hal ini merupakan hal yang sulit yang dapat
memunculkan delusi dan perilaku.
Berikut adalah contoh dari rumusan : (sensitif psikosis)

Faktor
Faktor Faktor Faktor
Predisposisi
Pencetus (tidak Pengekal Pelindung
(riwayat
dapat mengatasi (sedikit teman, (dukungan
keluarga positif,
masalah mencoba terlalu keluarga,
riwayat dpresi,
disekolah) keras, dll) intelegensi baik)
dll)

Masalah Sekarang (orang-orang membicarakan dirinya, sulit


berkonsentrasi, dll)

Pikiran (merasa
Tindakan
tidak pantas, Perasaan
(mengisolasi diri,
diragukan, dapat (tertekan, cemas,
kemarahan kepada
mengambil pikiran kadang marah)
orang terdekat, dll)
orang lain)

Sosial (teman-teman pergi, Fisik (merasa digerakkan oleh kekuatan


tinggal bersama keluarga) dari luar, tidak tidur saat malam hari)

Persoalan yang mendasari (pekerjaan di masa depan, hubungan)

2.1.3.4. Psikoedukasi dan Normalisasi


Kunci agar klien dapat mengerti kesakitan dan pengalaman
membingungkan yang muncul pada Skizofrenia adalah psikoedukasi
berdasarkan rumusan kasus. Sebuah bentuk spesifik dari psikoedukasi adalah
normalisasi yang mana gejala-seperti suara-suara dan paranoia- yang muncul
sebagai abnormal dan dihubungkan dengan ‘kegilaan’ didiskusikan.
Psikoedukasi telah bertahun-tahun menjadi kunci dari program terapeutik.
Psikoedukasi terbukti berguna membantu pasien dan perawatnya untuk
mengetahui apa yang salah dengan mereka, apa diagnosisnya, dan bagaimana
perkembangan kondisinya.

25
Psikoedukasi individual membantu pasien untuk merasa didengarkan dan
dimengerti dan pendekatan ini menambah kefektifannya. Pada awal proses
penilaian, pertanyaan-pertanyaan seperti ini sebaiknya ditanyakan :
 Apa yang anda ingin ketahui atas apa yang terjadi pada anda?
 Bagaimana hal ini dijelaskan padamu sebelumnya?
 Bagaimana perasaan anda terhadap hal ini?
 Apa artinya ini untuk anda?
Tiga komponen dari tilikan yang telah digambarkan :
 Menerima kebutuhan terapi
 Menerima bahwa dirinya memiliki penyakit
 Menerima bahwa suara-suara atau delusi berasal dari dirinya sendiri

Normalisasi merupakan sebuah proses yang mana pikiran, perilaku, mood dan
pengalaman dibandingkan dan dimengerti dalam hal pikiran, perilaku, mood
dan perasaan serupa yang dihubungkan dengan individu-individu lain yang
tidak terdiagnosis sebagai orang sakit terutama penyakit mental. Berikut
adalah tujuan dari normalisasi :
 Untuk mendukung pengertian terhadap fenomena psikologis yang juga
menyerupai gejala Skizofrenia
 Mengurangi ketakutan ‘menjadi gila’
 Memfasilitasi reatribusi terhadap halusinasi dan alternatif menjelaskan
delusi
 Meningkatkan kepercayaan diri
 Mengurangi isolasi dan perasaan terisolasi
 Mengurangi stigma oleh orang lain (keluarga, teman, tetangga, publik)
dan diri sendiri
Pada hubungannya dengan psikosis, ada beberapa situasi yang secara spesifik
stres dapat menjadi penyebab gejala pasikosis beberapa merupakan
pengalaman, yang lain merupakan keadaan yang tidak biasa namun dapat
dimengerti. Berikut adalah keadaan ‘normal’ dimana gejala psikosis dapat
muncul :
 Keadaan kehilangan
 Ketakutan

26
 Trauma
 Organik seperti induksi obat, keracunan, demam, dll
 Kematian, kehilangan yang menyebabkan misidentifikasi
 Halusinasi hipnogogik dan hipnopompik
 Kerasukan
Risiko dari normalisasi mungkin dapat menjadi meminimalisasi masalah
secara tidak baik. Lebih umumnya, penerimaan terhadap pendengaran suara-
suara dapat diartikan menjadi ‘hanya terus dan hidup’ dengan hal-hal itu.
Risiko dari normalisasi meliputi minimalisasi atau kegagalan untuk
menghadapi konsekuensi atau perkembangan kepercayaan yang ‘jika itu
adalah pikiran saya bukan dari orang luar yang mengatakannya, saya pasti
sangat jahat’. Kepercayaan ini, harus dijelaskan dan setelahnya dapat
ditangani.

2.1.3.5. Intervensi pada Delusi


Pengertian tradisional dari delusi adalah kepercayaan yang salah
dengan ketentuan yang mutlak meskipun bukti bertentangan dan diluar
jangkauan dari latar belakang sosial, pendidikan, budaya, keagaamaan
seseorang (Hamilton, 1984). Dan setelahnya berdasarkan bukti-bukti
penelitian, maka didefinisikan bahwa delusi merupakan sebuah kepercayaan
(mungkin salah) yang hebat pada sebuah rangkaian dari sebuah persetujuan
(Turkington et al, 1996). Tidak terlalu berbeda dengan ide-ide yang sangat
bernilai dan kepercayaan normal. Ide-ide tersebut dipertahankan tanpa bukti
namun dapat diubah ketikan sebuah bukti diselidiki.
Pengertian terhadap kejadian awal yang memicu perkembangan sebuah
delusi adalah sangat penting. Dalam beberapa keadaan, hal ini harus
didapatkan dari keluarga, teman-teman atau menelaah rekam medis lama.
Klien akan menjelaskan secara rutin kejadian dalam hidupnya yang
pengaruhnya sangat parah dan menyebabkan penderitaan seperti perceraian,
kematian pasangan, menyaksikan pembunuhan atau sexual abuse, kecelakaan
serius, dll. Mungkin juga terdapat stres minor seperti meninggalkan rumah
untuk kuliah atau perubahan jam kerja dari siang ke malam, yang mana untuk
beberapa orang sangatlah rentan.

27
Pada beberapa orang, onset dari penyakit mereka secara jelas pada pikiran
mereka, sedangkan yang lainnya sulit, bahkan tidak bisa, atau mungkin tidak
ingin mengingatnya. Saat kejadian dapat secara jelas diingat dan tidak
meyebabkan penderitaan, penjelasan rinci dapat diperoleh. Ketika seseorang
seperti tidak ingin mengingatnya, ada baiknya untuk memeriksa kemungkinan
‘apakah hal tersebut sangat tidak nyaman untuk diingat? Mungkin kita dapat
kembali lagi nanti, saat anda telah siap.’ Sementara keraguan dapat
merefleksikan ketidaknyamanan atau ingatan yang menyakitkan, klien juga
dapt merasa paranoid, curiga terhadap motif yang digunakan, atau malu jika
mereka memiliki tilikan dan berpikir mereka tampak bodoh.
Kapanpun pendekatan langsung mungkin dilakukan untuk
mendapatkan informasi yang relevan, tanyakan dari pertanyaan berikut ini
yang cukup beralasan sebagai titik awal :
 Kapan masalah tersebut dimulai?
 Kapan pertama kali anda berpikir...?
 Kapan terakhir kali anda merasa sehat?
 Kapan pertama kali anda mengunjungi dokter tentang masalah ini?
 Kapan anda pertama kali pergi ke psikiater tentang masalah ini?
 Kapan pertama kali anda dirawat?
Kadang beberapa rangkaian kejadian akan dijelaskan, mungkin meniti
kembali pada masa kanak-kanak dan mungkin juga bukan pengalaman
psikotik, hal ini penting untuk membuat rumusan. Klien mungkin memilih
untuk menjelaskan pengalaman yang terbaru yang mungkin berhubungan
dalam berbagai cara dengan episode psikotik klien sekarang atau klien
mungkin mengenali kejadian menyedikan atan membingungkan yang spesifik.
Bagaimana cara untuk mengetahui bahwa cerita klien cukup lengkap?
Kadang klien akan membiarkan anda mengetahui bahwa apa yang telah
diceritakannya semuanya berhubungan/relevan. Bagaimana menumukan
hubungan antara kejadian penggerak, kepercayaan dan konsekuensi? ABC
framework dapat digunakan dalam area terapi kognitif untuk membantu
mengklarifikasi hubungan antara kejadian dan kepercayaan dan dapat
digunakan untuk membedakan kejadian penggerak, kepercayaan dan
konsekuensi yang seringkali membingungkan yangmanan orang-orang lompat

28
dari A ke C tanpan mempertimbangkan kepercayaan. Pada keadaan ini,
pikiran negatif lainnya mungkin timbul dan efeknya berbeda pada tiap
individu, yang diantaranya :
 Personalisasi
 Abstrak selektif (getting things out of context)
 Lompat pada kesimpulan
 Minimalisasi
 Maksimalisasi
 Overgeneralisasi
 Beralasan dikotomus (berpikir all or nothing)
Cara melawan/berdebat delusi :
 Menelaah isi dari delusi
 Menerapkan sifat asli dari delusi
 Mendiskusikan bukti-bukti, termasuk efek samping obat
 Pertimbangkan untuk berdiskusi tentang apa yang orang lain pikirkan
 Pikirkan pertimbangan-pertimbangan lain ‘apa ada kemungkinan lain’
 Telaah dan selidiki saran teoritis, namun jangan berharap klien untuk
melakukannya
 Observasi segala perkembangan

2.1.3.6. Intervensi pada Halusinasi


Halusinasi diartikan oleh model kognitif sebagai pikiran otomatis yang
dirasakan oleh klien yang berasal dari luar (diluar pikirannya). Kecenderungan
eksternalisasi dikombinasikan dengan kejadian yang menekan dan paparan
pada keadaan yang berhubungan pengalaman ini. Halusinasi dapat
dipertahankan dengan perilaku aman (menghindar) juga dengan penjelasan
disfungsional (iblis yang berbicara pada saya), dan afek tingkat tinggi
(penderitaan yang parah sebagai respon dari isi suara-suara).
Working with Auditory Hallucinations Reattribution of Auditory
Hallucinations
 Mengklarifikasi sumber suara  Mendiskusikan fenomena
 Bekerja dengan reatribusi untuk mengkonfirmasi bahwa
hal tersebut bukan ilusi atau

29
dengan penjelasan klien waham referensi
terhadap pendengaran suara  Memeriksa persepsi klien (apa
dan mengetesnya dapat didengar orang lain, dan
 Secara kolaborasi cek bila perlu/rekam)
menghasilkan kemungkinan  Temukan kepercayaan dari
lain yang menjelaskan dan asal suara
mengetesnya  Diskusikan kepercayaan
 Gunakan buku harian suara terhadap asal suara
untuk mengetahui pemicu dan  Cari penjelasan
fluktuasi  Tujuan adalah untuk klien
 Bekerja secara sistematis dapat mempertimbangkan
membuat strategi coping kemungkinan suara-suara
 Mengurangi hubungan dengan tersebut adalah pikirannya
afek yang dapat sendiri
mengeksaserbasi  Jika mereka merespon bahwa
 Mengurangi perilaku aman suara-suara tersebut bukan
jika klien mengalami gejala pikiran mereka, hubungkan
yang bertahan dengan : mimpi buruk, ingatan
 Menggunakan respon rasional yang mengganggu emosi,
dan bekerja dengan trauma keadaan tertekan, normal
yang berhubungan atau halusinasi dan penjelasan
gunakan normalisasi orang lain terhadap
 Mengklarifikasi segala skema pengalaman tersebut
yang berhubungan
 Berikan sesi dorongan

Beberapa klien melakukan pendekatan yang sangat pasif dan terpisah dengan
pengalaman mendengar sura-suara. Kadang mereka merasa cukup menyerah,
tidak memberikan respon terhadap suara-suara dan menyerah terhadap strategi
coping dan menghindari perasaan marah terhadapnya namun sering merasa
sangat ketakutan dan tertekan dengan pengalaman itu.
Sikap yang ditunjukkan klien terhadap suara-suara adalah faktor
penentu dari penderitaan yang ditimbulkan. Orang-orang yang merasa dirinya

30
merupakan korban yang tidak berdaya dari tekanan supernatural biasanya
sangat menderita dan kesakitan. Setelah seseorang dapat menyatakan
kepercayaannya terhadap suara-suara (seperti : aku tidak berdaya), pendekatan
yang lembut dapat digunakan, meliputi :
 Mendaftar bukti yang berhubungan dengan apa yang suara katakan
 Bekerja dengan bagaimana cara suara-suara mengganggu kerja
fungsional
 Menggunakan rangkaian ide-ide yang terkait dengan kejadian ‘normal’
dengan obsesi
 Panduan citra (mengampil posisi suara, respon terhadap suara atau vice
versa)
 Menjabarkan ciri positif
 Bertindak melawan skema (misal : menunjukkan kompetensi saat suara
mengatakan seseorang tidak berguna)
Contoh strategi mengatasi halusinasi auditorik :
 Kontrol perilaku : mandi air hangat, berjalan-jalan, berolah raga,
relaksasi, dll
 Sosialisasi : berteman, menceritakan pada orang terpercaya, dll
 Perawatan kesehatan mental : medikasi, hubungi pekerja kesehatan
 Perilaku simptomatik : tidak dianjurkan (mabuk, memukul, berteriak-
teriak)
 Kontrol kognitif : distraksi (main komputer, menonton TV,
mendengarkan musik, dll), fokus (biarkan suara dan relaks),
mengguanakan normalisasi (jelaskan bahwa ini berasal dari
Skizofrenia)
 Memulai untuk tegas terhadap suara-suara dan melakukan dialog
Jika terdapat halusinasi lain seperti halusinasi visual maka terapi meliputi :
 Menjelaskan dengan tepat tentang fenomena tersebut
 Menggunakan buku harian atau pengingatan kembali secara rinci
 Menelaah arti dan hubungan dari pengelihatan seseorang tersebut
 Mengunakan pendekatan berdasarkan rumusan untuk mengertinya

31
2.2. Kasus
Nn. I, wanita, 18 tahun, dibawa oleh pamannya ke RS Duren Sawit karena pasien
marah-marah, mengamuk pada tetangga, berperilaku kacau sejak 2 minggu
SMRS. Keluhan ini dikatakan oleh keluarga pasien mulai muncul sejak pasien
diduga tidak teratur meminum obat jiwanya kurang lebih 1 bulan SMRS. Pasien
marah-marah kepada keluarga dan tetangga pasien tanpa alasan yang jelas dan
juga menciumi mobil di parkiran RS tempat ibunya dirawat. Pasien mengatakan
ia mendengar suara-suara yang tidak jelas namun menyeramkan di telinganya.
Suara tersebut membuat pasien merasa ketakutan. Pasien juga mengatakan
mendengar suara nyanyian yang tidak hilang dan tidak ada sumbernya dan sangat
mengganggu dirinya. Pasien juga mengaku melihat penampakan makhluk halus.
Pasien juga yakin bahwa seorang lelaki yang sedang menyukai dirinya galak
terhadap dirinya dan berbicara keras seperti marah-marah pada dirinya.
Sebelumnya, pasien pernah berobat gangguan jiwa satu tahun yang lalu dengan
gejala yang sama dan dilakukan rawat jalan dan berobat teratur. Obat terakhir
yang diminum adalah Risperidon tab 1 mg, 2 x 1 tab / hari, Trihexyphenidyl tab 1
mg, 2 x 1 tab / hari, Clozapine tab 6,25 mg, 1 x 1 tab / hari sampai akhirnya 2
bulan SMRS saat ibu pasien masuk rumah sakit dan pasien sibuk mengurus
ibunya.
Pada pemeriksaan status mental ditemukan:
1. Mood : iritabel
2. Afek : terbatas
a. Ekspresi wajah: cukup baik
b. Intonasi suara: cukup
c. Gerakan tangan: tidak terdapat gerakan tangan involunter
d. Postur tubuh: baik
e. Keserasian: serasi
3. Pembicaraan : spontan, lancar, artikulasi jelas, kecepatan
berbicara normal, volume suara cukup
4. Gangguan persepsi :
a. Ilusi : Tidak ditemukan
b. Halusinasi :
 Halusinasi auditorik

32
Pasien mengatakan mendengar suara-suara
seperti orang bernyanyi, suara musik, suara
berisik mengobrol tanpa ada sumbernya, juga
suara-suara menyeramkan yang membuat pasien
takut (suara menyeramkan)
 Halusinansi visual
Pasien mengatakan melihat penampakan
makhluk halus disekitarnya seperti kepala
buntung dan orang gantung diri, dan akan
menghilang dengan sendirinya
c. Depersonalisasi : Tidak ditemukan
d. Derealisasi : Tidak ditemukan
5. Pikiran :
Proses pikir / bentuk pikiran:
 Produktivitas : cukup
 Kontinuitas : menjaab sesuai pertanyaan
Isi pikiran
 Waham
- Waham refrensi : pasien yakin bahwa lelaki yang
menyukainya galak dan berkata kasar pada dirinya
sehingga pasien tidak suka dan takut dengan lelaki tersebut
 Preokupasi : tidak ditemukan
 Ide bunuh diri : tidak ditemukan
 Obsesi : tidak ditemukan
 Pengendalian impuls tidak terganggu, tilikan pasien derajat 4.
Pasien dapat dipercaya. Pemeriksaan fisik lainnya dalam
batas normal.

33
BAB III
PEMBAHASAN

Skizofrenia merupakan suatu gangguan jiwa jangka panjang yang memiliki


gejala-gejala dan diagnosis yang diperoleh dari kriteria yang telah dijabarkan dalam
bab sebelumnya. Seperti yang diketahui, bahwa terapi pada Skizofrenia sendiri yang
utama adalah terapi medikasi dengan anti-psikosis. Namun sebagai tambahan dan
penguat terapi medikasi dapat dilakukan psikoterapi salah satunya Terapi Kognitif.
Terapi kognitif sendiri dibuat berdasarkan dari trias kognitif yaitu kepercayaan
seseorang tentang dirinya, personal world/dunia pribadi-termasuk orang-orang yang
ada dalam hidupnya, dan masa depan. Terapi kognitif ini dilakukan secara terstruktur
antara pasien dan terapis yang mana menyangkut masalah yang dihadapi sekarang dan
resolusi terhadap masalah tersebut.1
Awalnya terapi kognitif lebih digunakan pada pasien dengan depresi atau
cemas, dimana pasien dan terapis akan mendiskusikan apa yang dipikirkan pasien dan
bagaimana perasaannya terhadap keadaan sekarang. Dari penelitian-penelitian yang
dilakukan sebelumnya, terapi kognitif ini mulai dipakai juga pada pasien dengan
gejala psikotik dan juga pasien-pasien yang memiliki gejala positif dan negatif.
Banyak hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan terapi kognitif, salah satunya
adalah keadaan seimbang dimana keterbukaan pembicaraan harus sama dengan
berkata-kata cukup dan tidak membingungkan pasien. Fokus ke permasalah pasien
yang didiskusikan memanglah penting namun harus dipikirkan pula waktu dan cara
yang tepat untuk mengarahkan pembicaraan menuju masalah pasien.
Pada awal dilakukan pendekatan dengan pasien dimana harus dibuat suatu
ikatan kepercayaan antara terapis dan pasien. Pasien haruslah merasa nyaman dan
merasa seperti punya teman, agar pasien lebih mudah untuk berbicara. Perlu digali
secara pelan dan hati-hati untuk menemukan faktor kerentanan pada pasien, masalah
apa saja yang dihadapi pasien, apa saja yang mengganggu pikiran pasien. Perlu
diketahui apa saja faktor-faktor pencetus yang membuat pasien jatu dalam keadaan
sekarang. Sangat perlu mengetahui apa yang pasien pikirkan tentang dirinya, apakah
pasien ingin mengetahui apa yang terjadi pada dirinya, bagaimana perasaan pasien
saat ini tak lepas juga perasaan-perasaan terdahulu, apakah pasien merasa ada yang
salah dengan dirinya.
Perlu dilakukan tarik-ulur dalam pembicaraan dengan pasien. Hal ini
dikarenakan tidak selalu pasien bisa langsung terbuka membicarakan masalahnya.
34
Bahkan pasien tidak merasa bahwa ia membutuhkan terapi, sehingga perlu diketahui
bagaimana dan apa yang pasien rasakan pada dirinya. Jika pasien mengaku
mendengara suara-suara/mengalami halusinasi, harus digali bagaimana suara-suara
tersebut mempengaruhi pasien, apa yang dikatakan oleh suara tersebut dan bagaimana
perasaan pasien saat mendengar suara tersebut, bagaimana cara pasien mengatasi
suara-suara tersebut apakah suara-suara tersebut muncul dalam keadaan tertentu,
dimana keadaan tertentu ini/faktor pemicu harus dicari dan perlu diketahui asal suara
tersebut, apakah pasien mengetahui bahwa asal suara tersebut adalah pikirannya
sendiri. Jika pasien memiliki keyakinan-keyakinan tertentu yang tidak sesuai dengan
norma-budaya-sosial, tidak perlu secara terburu-buru mengatakan bahwa hal tersebut
salah, melainkan harus meneliti dari sudut pandang pasien yang dibandingkan dengan
orang lain.
Terapi kognitif dapat diterapkan pada pasien dalam contoh kasus. Pasien
dalam kasus ini memiliki tilikan 4 dimana ia mengetahui bahwa dirinya memiliki
gangguan jiwa. Kerja sama antara pasien dan terapis dapat dilakukan. Pasien
mengatakan bahwa ia merasa terganggu karena mendengar suara-suara yang tidak
jelas asalnya dan juga ia ingin sembuh dari penyakitnya karena pasien ingin sekali
bekerja untuk membantu keluarganya. Pasien telah menerima pengobatan dan
melewati masa akut dimana gejala psikotik sudah berkurang. Pasien juga cukup baik
dalam berbicara dan bercerita. Pasien cukup terbuka untuk menceritakan masalah-
masalah yang dihadapinya sebelum masuk rumah sakit. Pasien juga mau menerima
kehadiran para petugas kesehatan. Pasien mengatakan ia tidak ingin kalah dari
masalah-masalah yang mengganggu pikirannya dan ia juga masih dalam usia yang
sangat produktif. Pasien juga mendapatkan dukungan dari keluarganya yang mana
merupakan salah satu sumber motivasi pasien untuk mengatasi penyakitnya. Namun
untuk mencoba melakukan terapi kognitif seperti yang telah dijabarkan dalam bab
sebelumnya belum dapat dilakukan pada pasien, dikarenakan pasien sudah siap untuk
pulang dalam hari yang dekat sehingga pertemuan dengan pasien hanya 2 kali. Pada
pasien ini, sebelumnya, oleh petugas kesehatan, telah didiskusikan tentang masalah
yang mengganggu pikiran pasien dan tentang suara-suara yang didengar oleh pasien.
Dilakukan 10 sesi dengan frekuensi 2x/minggu. Dalam mengikuti sesi ini, pasien
mengaku sudah dapat lebih baik mengatasi gangguan yang dialami olehnya sehingga
ia merasa sangat senang mendapat terapi seperti ini.

35
Kesulitan-kesulitan yang dapat dihadapi dalam terapi kognitif seperti
munculnya keadaan-keadaan dimana kadang apa yang terjadi tidak sesuai dengan apa
yang direncanakan dan diharapkan. Jika dihadapkan pada pasien dengan tilikan yang
sangat buruk, dapat dilakukan sesi secara reguler selama 10-15 menit sebanyak 2-3
kali perminggu dimana tujuan dan fokus adalah pada pengembangan hubungan dan
kepercayaan. Terapis haruslah secara hati-hati merencanakan struktur pada tiap sesi
tanpa mencoba untuk melakukan terlalu banyak sampai pasien memiliki kontrol yang
cukup dan merasa cukup percaya untuk bekerja pada kesulitannya.3 Diharapkan
terapis memiliki sikap yang sabar dan dengan cara perlahan, terbuka dan empati dan
biarkan pasien. Hal ini berlaku pada setiap pasien, dimana membuat hubungan yang
baik antara pasien-terapis pada awal sesi, dapat membuahkan hasil yang lebih baik
dan juga mendapatkan penjelasan yang lebih akurat dari pasien tentang keadaannya
serta keterbukaan pasien untuk menerima terapi, mengikuti saran atas apa yang baik
pada dirinya dikemudian hari.

36
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1. Kesimpulan
Skizofrenia adalah suatu sindrom klinis psikopatologis yang bervariasi,
melibatkan kognisi, emosi, persepsi, dan aspek perilaku lainnya. Kerentanan
setiap orang berbeda-beda dalam perkembangannya menimbulkan gejala. Hal
ini dapat ditelaah dari faktor biologis, sosial dan psikologis, serta mencari tahu
faktor pemicu seperti adakah masalah-masalah yang mengganggu pikiran dan
perasaan seseorang.
Terapi Skizofrenia dapat berupa farmakologis dan non-farmakologis
dimana terapi non-farmakologis salah satunya adalah psikoterapi dan yang
khususnya dibahas terapi kognitif. Terapi kognitif merupakan sebuah cara untuk
mencoba mengenali dan kemudian memahami pemikiran yang berjalan
bersamaan dengan perasaan pasien. Pada terapi kognitif banyak hal-hal yang
perlu diperhatikan dan dilakukan untuk memperoleh hasil yang baik
dikemudian hari seperti membangun kepercayaan antara pasien dan terapis,
bersikap empati, menjadi pendengar yang baik, bersikap terbuka dan
mepersilahkan pasien untuk berbicara sekenanya untuk menciptakan suasana
nyaman. Terapi kognitif dapat digunakan untuk mengenali halusinasi dan
bagaimana cara untuk mengatasinya, mengenali delusi, mengatasi gejala negatif
dan positif, dan terlebih lagi, bersama-sama dengan pasien saling memahami
pemikiran dan perasaan agar pasien dapat mengenali dan mengatasi dengan
mandiri permasalahan dalam dirinya. Dan bahwa disamping pentingnya terapi
medikasi, psikoterapi yang dapat dilakukan seperti terpai kognitif adalah juga
bagian yang penting dalam mengusahakan prognosis yang baik bagi pasien

4.2. Saran
Terapi kognitif memang sudah nyata dilakukan oleh berbagai instansi dalam
mengatasi gangguan jiwa termasuk Skizofrenia. Untuk dikemudian hari, baik
sekali apabila terapi ini dicoba dilakukan pada pasien yang terdiagnosis
Skizofrenia, karena terapi ini dapat membuat pasien menyadari dan melihat
jalan alternatif lain terhadap masalah yang dihadapinya dan untuk mencari cara
mengatasinya.

37
DAFTAR PUSTAKA

1. Sadock BJ, Kaplan HI, Sadock VA. Kaplan & Sadock’s Synopsis of
Psychiatry: Behavioral Sciences/clinical Psychiatry. Lippincott Williams &
Wilkins; 2007. 1504 p.
2. WHO | Schizophrenia [Internet]. WHO. [cited 2015 Dec 7]. Available from:
http://www.who.int/mental_health/management/schizophrenia/en/
3. Kingdon DG, Turkington D. Cognitive therapy of schizophrenia. Guilford
Press; 2005.
4. Departemen Kesehatan RI. Direktorat Jenderal Pelayanan Medik. Pedoman
Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III. 1st ed. Jakarta;
1993.

38

Anda mungkin juga menyukai