Anda di halaman 1dari 58

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Skizofrenia

2.1.1 Definisi Skizofrenia

Skizofrenia berasal dari bahasa Yunani, schizophrenia yang terdiri

dari dua kata ―schizo‖ yang berarti retak atau pecah (split), dan

―phrenia‖yang berarti pikiran atau jiwa (mind). Dengan demikian

skizofrenia dapat dijelaskan gangguan yang terjadi pada fungsi otak yang

mengalami keterbelahan antara apa yang dirasakan, diyakini dan apa yang

sebenarnya terjadi (splitting of personality).

Skizofrenia merupakan salah satu bentuk gangguan psikosa yang

paling sering dijumpai. Skizofrenia merupakan penyakit otak persisten dan

serius yang mengakibatkan perilaku psikotik, kesulitan berfikir konkret,

memproses informasi, hubungan interpersonal, serta memecahkan masalah

menurut Stuart & Sundeen, dalam (Yusuf & PK, 2021). Skizofrenia

merupakan gangguan neurobiologikal otak yang kronis dan serius, sindroma

secara klinis yang dapat mengakibatkan kerusakan hidup baik secara tidak

wajar atau tumpul, gangguan fungsi kognitif serta mengalami kesulitan

dalam melakukan aktivitas sehari-hari (Pardede & Hasibuan, 2019).

2.1.2 Etiologi

Penyebab utama dari skizofrenia masih belum dapat dipastikan

namun, berdasarkan beberapa literatur, skizofrenia disebabkan oleh faktor

genetik dan dapat diperparah dengan kondisi lingkungan. Sebagai hipotesis


dopaminergik, skizofrenia dapat disebabkan oleh hiperaktivitas atau

hipoaktivitas dopaminergik pada area tertentu di otak serta ketidaknormalan

reseptor dopamin (DA). Hiperaktivitas reseptor dopamin (DA) pada area

mesocaudate berkaitan dengan munculnya gejala-gejala positif Sementara

hipoaktivitas reseptor dopamin (DA) pada area korteks prefrontal berkaitan

dengan munculnya gejala-gejala negative, menurut Guyton and Hall dalam

(Dewi & Sukmayanti, 2020). Kondisi lingkungan yang dapat memperparah

skizofrenia biasanya kondisi psikososial individu. Sebagai seorang individu,

kita seharusnya dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan yang

didalamnya terkandung norma dan etika. Akan tetapi, tidak semua orang

dapat menyesuaikanya , sehingga muncul keluhankeluhan kejiwaan yang

salah satunya adalah skizofrenia. Situasi atau kondisi yang tida kondusif dan

sifatnya menekan mental bagi individu inilah yang akhirnya menjadi stresor

psikososial.

Terdapat beberapa penyebab terjadinya skizofrenia menurut Videback

dan Doengoes dalam (Yusuf A. P., 2021):

a. Teori biologi

Teori biologi ini berfokus pada faktor genetik, faktor neuroanatomi dan

neurokimia (struktur dan fungsi otak ), serta imunovirologi yakni respon

tubuh terhadap pajanan suatu virus. Terdapat beberapa faktor dalam teori

biologi tersebut, antara lain

1) Faktor genetik
Penelitian genetik berfokus pada apakah skizofrenia diwariskan atau

diturunkan secara genetic pada keluarga terdekat (seperti orang tua,

saudara kandung, anak-cucu). Penelitian yang dilakukan pada anak

kembar menunjukkan bahwa anak kembar identik beresiko

mengalami gangguan ini sebesar 50%, sedangkan kembar fraternal

beresiko hanya 15%. Hal ini mengidikasikan bahwa skizofrenia

memiliki satu orang tua biologis penderita skizofrenia memiliki 15%

serta apabila kedua orang tua biologisnya menderita skizofrenia maka

angka tersebut meningkat menjadi 35%.

2) Faktor neuroanatomi dan neurokimia

Melalui pencitraan teknik non invasive, seperti CT scan, magnetic

resonance imaging (MRI) dan positron emission tomography (PET),

para ilmuwan mampu meneliti struktur otak (neuroanatomi) dan

aktivitas otak (neurokimia) individu penderita Skizofrenia dapat

memiliki jaringan otak yang lebih sedikit, hal ini dapat

memperlihatkan suatu kegagalan perkembangan atau kehilangan

jaringan selanjutnya. CT scan menunjukkan pembesaran ventrikel

otak dan atrofi korteks otak. Gambaran PET menunjukkan bahwa ada

penurunan oksigen dan metabolism glukosa pada struktur korteks

frontal otak, penurunan volume otak dan fungsi otak yang abnormal

pada area temporal dan frontal individu penderita Skizofrenia.


b. Teori psikodinamika

Gejala psikosis termasuk skizofrenia merupakan akibat dari ego yang

lemah. Perkembangan ego telah dihambat oleh hubungan anak/orang tua

yang simbiotik dalam pola asuh orang tua. Karena ego lemah

menyebabkan penggunaan mekanisme pertahanan ego terhadap berbagai

permasalahan hidup dan perkembangan menjadi maladaptive sehingga

terbentuk perilaku yang tida sejalan dengan kondisi emosi dan pikiran.

c. Teori dinamika keluarga

Teori sistem keluarga menggambarkan perkembangan skizofrenia seiring

dengan sistem disfungsi dalam keluarga. Konflik antar pasangan yang

muncul dalam keluarga, menyebabkan keluarga mengalami

ketidakberfungsian dalam menjalankan tugas dan peran keluarga, dan

berdampak secara fisik maupun psikologis terhadap anggota keluarga.

Setiap individu dalam keluarga akan mengalami kecemasan dalam

tingkat yang berbeda-beda, termasuk acar menyelesaikan kecemasan

tersebut. Kurang adekuatnya fungsi dan peran keluarga akan menjadi

salah satu penyebab maslaah psikologis dan sangat beresiko untuk

menjadi gangguan jiwa termasuk skizofrenia.

2.1.3 Patofisiologi Skizofrenia

Secara terminologi, skizofrenia berarti skizo adalah pecah dan frenia

adalah kepribadian. Skizofrenia adalah sekelompok gangguan psikotik

dengan gangguan dasar pada kepribadian, distorsi perasaan pikir, waham

yang tidak wajar, gangguan persepsi, afek (perasaan) yang upnormal.


Meskipun demikian kesadaran yang jernih, kapasitas intelektual biasanya

tidak terganggu, mengalami ketidakmampuan berat dalam menilai

kenyataan (pekerjaan, sosial, dan waktu senggang) . Secara biologis,

penyebab skizofrenia adalah gangguan neurofisiologis yang bersifat

bawaan. Selain faktor biologis, skizofrenia disebabkan oleh faktor

psikososial dan sosiokultural. Faktor lingkungan yang menyebabkan

skizofrenia meliputi penyalahgunaan obat, pendidikan yang rendah, dan

status ekonomi. Onset (gejala awal suatu penyakit) skizofrenia biasanya

terjadi pada masa akhir remaja atau awal dewasa usia 20 tahun, pada masa

dimana otak sudah mencapai kematangan yang penuh. Angka kejadian pria

lebih banyak dari pada wanita dengan perbandingan 1,4 : 1 (McGrath et al.,

dalam Farida et al., 2021). Patofisiologi skizofrenia dihubungankan dengan

genetik dan lingkungan. Faktor genetik dan lingkungan saling berhubungan

dalam patofisiologi terjadinya skizofrenia. Neurotransmitter yang berperan

dalam patofisiologinya adalah DA, 5HT, glutamat, peptide, norepinefin.

Pada pasien skizofrenia terjadi hiperreaktivitas sistem dopaminergik

(hiperdopaminergia pada sistem mesolimbik kemudian berkaitan dengan

gejala positif dan hipodopaminergia pada sistem mesocortis dan

nigrostriatal lalu yang bertanggungjawab terhadap gejala negatif dan gejala

ekstrapiramidal). Reseptor dopamine yang terlibat adalah reseptor

dopamine-2 (D2) yang akan dijumpai peningkatan densitas reseptor D2

pada jaringan otak pasien skizofrenia. Peningkatan aktivitas sistem

dopaminergik pada sistem mesolimbik yang bertanggungjawab terhadap


gejala positif. Sedangkan peningkatan aktivitas serotonergik akan

menurunkan aktivitas dopaminergik pada sistem mesocortis yang

bertanggungjawab terhadap gejala negatif. Pada skizofrenia terdapat

penurunan aliran darah dan ambilan glukosa, terutama di korteks

prefrontalis, dan pada pasien tipe II (negativisme) terdapat penurunan

sejumlah neuron (penurunan jumlah substansia grisea). Selain itu, migrasi

neuron abnormal selama perkembangan otak secara patofisologis sangat

bermakna. Atrofi penonjolan dendrit dari sel piramidal telah ditemukan pda

korteks prefrontalis dan girus singulata. Penonjolan dedrit mengandung

sinaps glutaminergik, sehingga transmisi glutamineriknya terganggu. Selain

itu, pada area yang terkena, pembentukan GABA dan atau jumlah neuron

GABAnergik tampaknya berkurang sehingga penghambatan sel piramidal

menjadi berkurang. Makna patofisologis khusus dikaitkan dengan dopamin.

Availabilitas dopamin atau agonis dopamin yang berlebihan dapat

menimbulkan gejala skizofrenia. Penghambatan pada reseptor dopamin-D2

telak sukses digunakan dalam penatalaksanaan skizofrenia.. Di sisi lain,

penurunan reseptor D2 yang ditemukan pada korteks prefrontalis dan

penurunan reseptor D1 dan D2 berkaitan dengan gejala negatif skizofrenia.,

seperti kurangnya emosi. Penurunan reseptor dopamin mungkin terjadi

akibat pelepasan dopamin mungkin terjadi akibat pelepasan dopamin yang

meningkat dan ini tidak memiliki efek patogenetik. Dopamin berperan

sebagai transmiter melalui beberapa jalur (Silbernagl.,dalamFarida et al.,

2021).
a. Jalur dopaminergik ke sistem limbik (mesolimbik)

b. Jalur dopaminergik ke korteks (sistem mesokorteks) mungkin penting

dalam perkembangan skizofrenia

c. Pada sistem tubuloinfundibular, dopamin mengatur pelepasan hormon

hipofisis (terutama pelepasan prolaktin)

d. Dopamin mengatur aktivitas motorik pada sitem nigrostriatum Serotonin

mungkin juga berperan dalam menimbulkan gejala skizofrenia. Kerja

serotonis yang berlebihan dapat menimbulkan halusinasi dan banyak

obat antipsikotik akan menghambat eseptor 5-HT2A (WIDODO, 2018).

Literarur lain yang menyebutkan patofisiologi skizofrenia, didalam otak

terdapat milyaran sambungan sel. Setiap sambungan sel menjadi tempat

untuk meneruskan maupun menerima pesan dari sambungan sel yang

lain. Sambungan sel tersebut melepaskan zat kimia yang disebut

neurotransmitter yang membawa pesan dari ujung sambungan sel yang

satu ke sel yang lainnya. Di dalam otak yang terserang skizofrenia,

terdapat kesalahan atau kerusakan pada sistem komunikasi tersebut.

Pada orang yang normal, sistem switch seperti dalam sebuah ponsel,

akan bekerja secara normal. Sinyal-sinyal persepsi yang datang serta

rangsangan dari lingkungan dan rangsangan psikososial akan dikirim

kembali dengan sempurna tanpa ada gangguan sehingga menghasilkan

perasaan, pemikiran, dan akhirnya melakukan tindakan sesuai kebutuhan

yang diperlukan pada saat itu. Pada otak penderita skizofrenia, sinyal-

sinyal yang dikirim mengalami gangguan sehingga tidak berhasil


mencapai sambungan sel yang dituju. Skizofrenia terbentuk secara

bertahap dan penderita skizofrenia biasanya tidak menyadari ada sesuatu

yang tidak beres dalam otaknya dalam kurun waktu yang lama.

Kerusakan yang terjadi secara perlahan-lahan ini yang akhirnya menjadi

skizofrenia dan sangat tersembunyi serta berbahaya. Gejala yang timbul

secara perlahan ini bisa saja menjadi skizofrenia akut. Periode

skizofrenia akut adalah gangguan yang singkat dan kuat, yang meliputi

halusinasi, penyesatan pikiran atau delusi, dan kegagalan pikiran.

Skizofrenia juga dapat menyerang secara tiba-tiba, perubahan perilaku

yang sangat dramatis terjadi dalam beberapa hari atau minggu. Serangan

yang mendadak memicu terjadinya priode akut. Kebanyakan didapati

bahwa mereka didalam sosialnya dikucilkan, kemudian karena

dikucilkan tersebut, mereka akan menderita depresi yang berat, dan

tidak dapat berperan sosial seperti orang normal dalam lingkungannya.

Skizofrenia juga dapat menjadi kronis jika dibiarkan saja tanpa tindakan,

biasanya saat penderita memasuki fase kronis dia akan cenderung

melakukan tindakan kekerasan atau perilaku kekerasan (PK), kehilangan

karakter sebagai manusia dalam kehidupan sosial, tidak memiliki

motivasi sama sekali, depresi berat, halusinasi, dan tidak memiliki

kepekaan tentang perasaannya sendiri (Yosep.,dalam Purniawan, 2018).


2.1.4 Gambaran klinis Skizofrenia

Gambar 2.1 Pathway Skizofrenia (Yosep.,dalam Purniawan, 2018).

Gambar 2.2 Gambaran klinis Mekanisme gejala Skizofrenia (Frankenburg, n.d.)


dalam Farida et al., 2021).
2.1.5 Gejala Skizofrenia

Gejala skizofrenia ditandai dengan adanya penyimpangan yang

mendasar dan karakteristik dari pikiran, persepsi, serta yang mendasar dan

karakterisktik dari pikiran, serta oleh afek emosi yang tidak wajar atau

tumpul. Menurut PPDGH-III (2001) Skizofrenia dapat ditegakkan bila ada

sedikitnya satu egjala berikut ini (dan biasanya dua gejala atau lebih bila

gejala-gejala itu kurang tajam atau kurang jelas).

Secara general gejala serangan skizofrenia dibagi menjadi gejala positif,

negatif, gejala lainnya (disorganisasi)

1. Gejala Positif, yaitu tanda yang biasanya pada orang kebanyakan tidak

ada, namun pada pasien skizofrenia justru muncul. Gejala positif adalah

gejala yang bersifat aneh, antara lain berupa delusi, halusinasi,

ketidakteraturan pembicaraan, dan perubahan perilaku, antara lain

sebagai berikut

a. Isi pikiran

1) Thouht of echo, isi pikiran tentang diri senduri yang berulang atau

bergema dalam kepalanya, adanya pengulangan isi pikiran dengan

kualitas yan berbeda

2) Thought insertion or withdrawal, isi pikiran dimana merasa sesuatu

yang asing dari luar mausk ke dalam pikirannya ( insertion) atau isi

pikirannya diambil keluar oleh sesuatu dari luar dirinya (withdrawal)

3) Thought broadcasting, isi pikiranbya tersiar keluar dehingga orang

lain atau umum mengetahuinya.


b. Delusi

1) Delusion of control, waham tentang dirinya dikendalikan oleh

sesuatu kekuatan tertentu dari luar.

2) Delusion of influence, waham tentang dirinya dipengaruhi oleh

sesuatu kekuatan tertentu dari luar

3) Delusion of passivity, waham tentang dirinya tidak berdaya dan

pasrah terhadap suatu kekuasaan dari luar

4) Delusion perception, pengalaman inderawi yang tak wajar, yang

bermakna sangan khas bagi dirinya, biasanya bersifat mistik atau

mukjizat.

c. Halusinasi

Suara halusinasi yang berkomentar secara terus menerus terhadap

perilaku pasien, mendiskusikan perihal pasien diantara mereka sendiri

(diantara berbagai suara yang berbicara), jenis suara halusinasi lain yang

berasal dari salah satu bagian tubuh.

d. Waham

Waham-waham menetap jenis lainnya, yang menurut budaaya setempat

dianggap tidak wajar dan sesuatu yang mustahil, misalnya perihal

keyakinan agama atau politik tertentu, atau kekuatan dan kemampuan

diatas manusia biasa (Yusuf & PK, 2021).

e. Menyimpan dendam

f. Gaduh, gelisah, tidak dapat diam, mondar-mandir, agresif, bicara dengan

semangat dan gembira berlebihan


2. Gejala negatif

Merupakan kehilangan ciri khas atau fungsi normal seseorang,

termasuk kurang atau tidak mampu mengekspresikan emosi pada wajah

dan perilaku, kurangnya dorongan untuk beraktifitas, tidak dapat

menikmati kegiatan-kegiatan yang disenangi dan kurangnya

kemampuan berbicara, misalnya :

a. Afek tumpul atau datar, gambaran alam perasaan ini dapat terlihat

dari wajahnya yang tidak menunjukkan ekspresi

b. Menarik diri atau mengasingkan diri, tidak mau bergaul atau kontak

dengan orang lain, suka melamun, sukar diajak bicara, pendiam

c. Tidak ada inisiatif, tidak ada daya dan usaha, tidak ada spontanitas,

monoton dan serba malas

3. Gejala lainnya (disorganisasi)

Perilaku yang aneh dan disorganisasi pembicaraan. Perilaku yang aneh

ini, misalnya katatonia, dimana pasien menampilkan perilaku tertentu

berulang-ulang, menampilkan pose tubuh yang aneh atau waxy

flexibility, yaitu orang lain dapat memutar atau membentuk posisi

tertentu dari anggota badan klien, yang akan dipoertahankan dalam

waktu yang lama. Sedangkan disorganisasi pembicaraan adalah masalah

dalam mengorganisasikan ide dan pembicaraan, sehingga orang lain

mengerti, dikenal dengan gangguan berfikir formal (Ah. Yusuf, 2019).

2.1.6 Tipe Skizofrenia

Menurut DSM-V 2001 tipe skizofrenia antara lain:


a. Skizofrenia paranoid

Memenuhi kriteria umum diagnose skizofrenia, sebagai tambahan

adanya halusinasi dan/atau waham harus menonjol, gangguan afektif,

dorongan kehendak dan pembicaraan, serta gejala katatonik secara

relatif tidak nyata/tidak menonjol.

b. Skizofrenia hebefrenik

Diagnosis skizofrenia hebrefenik utnuk pertama kali hanya ditegakkan

pada usia remaja atau dewasa muda, kepribadian premorbid

menunjukkan ciri khas seperti pemalu dan senang menyendiri, untuk

diagnosa hebrefenik yang meyakinkan umumnya diperlukan

pengalaman kontinu selama 2 atau 3 bulan lamanya. Ganggaun afektif

dan dorongan kehendak, serta gangguan proses pikir umumnya

menonjol.

c. Skizofrenia katatonik

Memenuhi kriteria umum untuk diagnosis skizofrenia, satu atau lebih

dari perilau berikut ini harus mendominasi gambaran klinisnya: stupor,

gaduh gelisah, menampilkan posisi tubuh tertentu, negativism, rigiditas,

flesibilitas cerea, gejala-gejala lain seperti kepatuhan otomatis terhadap

perintah dan pengulangan kata-kata serta kalimat.

d. Skizofrenia tak terinci

Memenuhi krtiteria umum untuk diagnosis skizofrenia, tidak memenuhi

skizofrenia paranoid, hebrefenik, atau katatonik, tidak memenuhi kriteria

untuk skizofrenia residual atau depresi pasca-skizofrenia.


e. Depresi pasca-skizofrenia

Klien telah menderita skizofrenia selama 12 bulan terakhir, beberapa

gejala skizofrenia masih tetap ada, dan gejala-gejala depresif menonjol

dan mengganggu paling sedikit dalam kurun waktu 2 minggu.

f. Skizofrenia residual

Gejala negatif dari skizofrenia yang menonjol, sedikitnya ada riwayat

satu episode psikotik, sedikitnya sudah melampaui kurun waktu satu

tahun, tida terdapat dementia atau penyakit gangguan otak organik lain

g. Skizofrenia simpleks

Gelaja negatif yang khas dari skizofrenia residual, disertai dengan

perubahan-perubahan perilau pribadi yang bermakna, bermanifestasi

sebagai kehilangan minat yang mencolok, tida berbuat sesuatu, tanpa

tujuan hidup, dan penarikan diri secara sosial (Yusuf & PK, 2021).

2.1.7 Rentang Respon Skizofrenia

Perilaku yang berhubungan dengan masalah-masalah proses informasi

yang berkaitan dengan skizofrenia sering disebut sebagai defisit kognisi.

Perilaku ini meliput masalah-masalah semua aspek ingatan, perhatian,

bentuk, dan jumlah ucapan (kelainan pikiran formal), pengambilan

keputusan, dan delusi (bentuk dan isi pikiran). Di bawah ini adalah tabel

perilaku yang berhubungan dengan masalah kognitif pada skizofrenia

(Sutejo.,dalam WIDODO, 2018).


Masalah kognitif Perilaku
Ingatan Pelupa
Tidak berminat
Kurang patuh
Perhatian Kesulitan menyelesaikan tugas
Kesulitan berkonsentrasi pada tugas
Bentuk dan isi pembicaraan Kesulitan mengkomunikasikan
pikiran dan perasaan
Pengambilan keputusan Kesulitan melakukan dan
menjalankan aktivitas
Pikiran konkret atau ketidak
mampuan untuk menjalankan
perintah multiple
Masalah dalam pengelolaan waktu
Kesulitan mengelola keuangan
Penafsiran kata-kata dan simbol
secara harfiah
Isi piker Delusi
Tabel 2.1 Perilaku yang Berhubungan dengan Masalah Kognitif

2.1.8 Riwayat Klinis Skizofrenia

Riwayat klinis skizofrenia menurut Linda Carman dalam (WIDODO, 2018).

Bahwa riwayat klinis skizofrenia sering kali rumit dan cenderung terjadi

dalam tiga fase, yaitu:

1. Fase Prodromal

Fase prodromal ditandai dengan deteriorasi yang jelas dalam fungsi

kehidupan, sebelum fase aktif gejala gangguan, dan tidak dissebabkan

oleh gangguan afek atau akibat gangguan penggunaan zat.awal

munculnya skizofrenia dapat terjadi setelah melewati periode yang

sangat panjang, yaitu ketika seorang individu mulai menari diri secara

sosial dari lungkungannya. Fase prodromal ini berlangsung selama

beberapa minggu hingga bertahun-tahun. Beberapa literature


menambahkan fase premorbid diawal fase prodromal, dan

kekambuhan dibagian akhir fase residual. Gejalanya, antara lain:

a. Kemunduran dalam waktu lama (6 sampai 12 bulan) dalam tingkat

fungsi perawatan diri, sosial, waktu luang, pekerjaan, atau

akademik.

b. Timbul gejala positif dan negatif.

c. Periode kebingungan pada klien dan keluarga.

2. Fase Aktif

Fase aktif gejala ditandai dengan munculnya gejala-gejala skizofrenia

secara jelas. Sebagian besar penderita gangguan skizofrenia memiliki

kelainan pada kemampuannya untuk melihat realitas dan kesulitan

dalam mencapai insight. Sebagai akibatnya episode psikis dapat

ditandai oleh adanya kesenjangan yang semakin besar antara individu

dengan lingkungan sosialnya. Antara lain:

a. Permulaan intervensi asuhan kesehatan, khususnya hospitalisasi.

b. Pengenalan pemberian obat dan modalitas terapeutik lainnya.

c. Perawatan difokuskan pada rehabilitasi psikiatrik saat klien belajar

untuk hidup dengan penyakit yang mempengaruhi pikiran,

perasaan, dan perilaku.

3. Fase Residual

Fase residual terjadi setelah fase aktif, tidak disebabkan oleh gangguan

afek atau gangguan penggunaan zat.


a. Pengalaman sehari-hari dengan penanganan gejala.

b. Pengurangan dan penguatan gejala.

c. Adaptasi
Pada fase aktif gejala skizofrenia yang muncul antara lain :

a) Gangguan perasaan

Mulai dari emosi yang meningkat (meledak-ledak) hingga emosi

yang kosong (tanpa ekspresi)

b) Gangguan perilaku

Pasien skizofrenia cenderung menarik diri secara sosial

c) Gangguan persepsi

Pasien mengalami gangguan dalam persepsinya ditunjukkan dengan

gejala sebagai berikut :

Gejala persepsi Definisi


Halusinasi Kesalahan persepsi tanpa ada stimulus (objek)
yang nyata. Halusinasi yang paling sering terjadi
adalah halusinasi auditorik (pendengaran), ODS
mendengar bisikan yang seringkali berkomentar
atau menyuruh untuk melakuksn tindakan
membahayakan dirinya atau orang lain.
Ilusi Kesalahan persepsi yang timbul terhadap
stimulus (objek) yang nyata
Depersonalisasi Mengalami atau merasakan bahwa dirinya tidak
nyata, berubah bentuk, atau asing
Derealisasi Merasakan bahwa lingkungan sekitarnya
berubah, tidak nyata, atau asing
Tabel 2.2 Gejala Persepsi

d) Gangguan pikiran

Gangguan pikiran yang dialami antara lain berupa gangguan pada

proses pikir dan isi pikir. Gejala pada proses pikir biasanya dikenali
dari pembicaraannya, yang dilaporkan oleh keluarga atau masyarakat.

Gejala gangguan proses pikir, antara lain :

Gejala gangguan Definisi


proses pikir
Bicara tidak Ide (tema) pembicaraan berpindah-pindah dari
nyambung (asosiasi satu subjek ke subjek lain yang tida
longgar, inkoherensi) berhubungan sama sekali. Dalam kondisi yang
berat (inkoherensi). Pembicaraan yang
disampaikan secara umum tidak dapat
dimengerti, antara ide yang satudan ide lainnya
tidak memiliki hubungan yang logis
Bicara berputar- Pembicaraan berputar sehingga lambat mencapai
putar inti pembicaraan yang dimaksud
(sirkumstansial, (sirkumstansial) atau berputar namun tidak
tangensial) pernah mencapai tujuan pembicaraan secara
langsung dan seringkali pada akhirnya tida
mencapai poin yang diharapkan
Bicara kacau Membuat kata baru atau arti baru dari kata yang
(Neologisme) telah ada, yang hanya bisa dipahami oleh dirinya
sendiri
Terhambat Pembicaraan tiba-tiba berhenti, disambung
(Blocking) kembali beberapa saat, namun tidak
berhubungan dengan topic pembicaraan
sebelumnya
Mutisme Tidak mau berbicara sama sekali atau mau
berbicara namun sangat minimal
Ekolalia Menirukan kata-kata yang diucapkan orang lain
Tabel 2.3 Gejala gangguan proses pikir

Gangguan isi pikir yang utama adalah waham, yaitu keyakinan yang

salah yang tidak sesuai dengan fakta, budaya, agama, nilai-nilai, dan

status pendidikan, namun tetap dipertahankan walaupun telah diberikan

bukti-bukti yang jelas untuk mengkoreksi keyakinan salahnya tersebut.


2.1.9 Penatalaksanaan

1. Fase Akut

a. Farmakoterapi

Pada Fase akut terapi bertujuan mencegah pasien melukai dirinya atau

orang lain, mengendalikan perilaku yang merusak, mengurangi

beratnya gejala psikotik dan gejala terkait lainnya misalnya agitasi,

agresi dan gaduh gelisah.

 Langkah Pertama: Berbicara kepada pasien dan memberinya

ketenangan.

 Langkah Kedua: Keputusan untuk memulai pemberian obat.

Pengikatan atau isolasi hanya dilakukan bila pasien berbahaya

terhadap dirinya sendiri dan orang lain serta usaha restriksi lainnya

tidak berhasil. Pengikatan dilakukan hanya boleh untuk sementara

yaitu sekitar 2-4 jam dan digunakan untuk memulai pengobatan.

Meskipun terapi oral lebih baik, pilihan obat injeksi untuk

mendapatkan awitan kerja yang lebih cepat serta hilangnya gejala

dengan segera perlu dipertimbangkan.

1) Obat injeksi:

a) Olanzapine, dosis 10 mg/injeksi, intramuskulus, dapat diulang

setiap 2 jam, dosis maksimum 30mg/hari.

b) Aripriprazol, dosis 9,75 mg/injeksi (dosis maksimal 29,25

mg/hari), intramuskulus.
c) Haloperidol, dosis 5mg/injeksi, intramuskulus, dapat diulang

setiap setengah jam, dosis maksimum 20mg/hari.

d) Diazepam 10mg/injeksi, intravena/intramuskulus, dosis

maksimum 30mg/hari.

Obat Antipsikotika Rentang Dosis Anjuran Bentuk Sediaan


(mg/hari)
Antipsikotika 1. 2.
Generasi I (APG-I)
Klorpromazin 300 – 1000 tablet (25 mg,100 mg)
Perfenazin 16 – 64 tablet (4 mg)
Trifluoperazin 15 – 50 tablet (1 mg, 5 mg
Haloperidol 5 – 20 tablet (0.5, 1 mg, 1.5 mg,
2 mg, 5 mg) injeksi short
acting (5 mg/mL), tetes
(2 mg/5 mL), long acting
(50 mg/mL)
Anti Psikotik 3. 4.
Generasi II (APG-II)
Aripriprazol 10 – 30 tablet (5 mg, 10 mg, 15
mg), tetes (1 mg/mL),
discmelt (10 mg, 15 mg),
injeksi (9.75 mg/mL)
Klozapin 150 – 600 tablet (25 mg, 100 mg)
Olanzapin 10 – 30 tablet (5 mg, 10 mg),
zydis (5 mg, 10 mg),
injeksi (10 mg/mL)
Quetiapin 300 – 800 tablet IR (25 mg, 100
mg, 200 mg, 300 mg),
tablet XR (50 mg, 300
mg, 400 mg)
Risperidon 2–8 tablet ( 1 mg, 2 mg, 3
mg), tetes ( 1 mg/mL),
injeksi Long Acting (25
mg, 37.5 mg, 50 mg)
Paliperidon 3–9 tablet (3 mg, 6 mg, 9 mg)
Zotepin 75-150 tablet (25 mg, 50 mg)
Tabel 2.4 Daftar Obat Antipsikotika, Dosis dan Sediaannya

2) Obat oral: Pemilihan antipsikotika sering ditentukan oleh

pengalaman pasien sebelumnya dengan antipsikotika misalnya,


respons gejala terhadap antipsikotika, profil efek samping,

kenyamanan terhadap obat tertentu terkait cara pemberiannya.

Pada fase akut, obat segera diberikan segera setelah diagnosis

ditegakkan dan dosis dimulai dari dosis anjuran dinaikkan

perlahan-lahan secara bertahap dalam waktu 1 – 3 minggu, sampai

dosis optimal yang dapat mengendalikan gejala.

3) Psikoedukasi

Tujuan Intervensi adalah mengurangi stimulus yang berlebihan,

stresor lingkungan dan peristiwa-peristiwa kehidupan. Memberikan

ketenangan kepada pasien atau mengurangi keterjagaan melalui

komunikasi yang baik, memberikan dukungan atau harapan,

menyediakan lingkunganyang nyaman, toleran perlu dilakukan.

4) Terapi lainnya

ECT (terapi kejang listrik) dapat dilakukan pada Skizofrenia

katatonik dan Skizofrenia refrakter.

2. Fase Stabilisasi

1) Farmakoterapi

Tujuan fase stabilisasi adalah mempertahankan remisi gejala atau

untuk mengontrol, meminimalisasi risiko atau konsekuensi

kekambuhan dan mengoptimalkan fungsi dan proses kesembuhan

(recovery). Setelah diperoleh dosis optimal, dosis tersebut

dipertahankan selama lebih kurang 8 – 10 minggu sebelum masuk ke


tahap rumatan. Pada fase ini dapat juga diberikan obat anti psikotika

jangka panjang (long acting injectable), setiap 2-4 minggu.

2) Psikoedukasi

Tujuan Intervensi adalah meningkatkan keterampilan orang dengan

skizofrenia dan keluarga dalam mengelola gejala. Mengajak pasien

untuk mengenali gejala-gejala, melatih cara mengelola gejala, merawat

diri, mengembangkan kepatuhan menjalani pengobatan. Teknik

intervensi perilaku bermanfaat untuk diterapkan pada fase ini.

2. Fase Rumatan

1) Farmakoterapi

Dosis mulai diturunkan secara bertahap sampai diperoleh dosis minimal

yang masih mampu mencegah kekambuhan. Bila kondisi akut, pertama

kali, terapi diberikan sampai dua tahun, bila sudah berjalan kronis

dengan beberapa kali kekambuhan, terapi diberikan sampai lima tahun

bahkan seumur hidup.

2) Psikoedukasi Tujuan Intervensi adalah mempersiapkan pasien kembali

pada kehidupan masyarakat.Modalitas rehabilitasi spesifik, misalnya

remediasi kognitif, pelatihan keterampilan sosial dan terapi vokasional,

cocok diterapkan pada fase ini.Pada fase ini pasien dan keluarga juga

diajarkan mengenali dan mengelola gejala prodromal, sehingga mereka

mampu mencegah kekambuhan berikutnya (KEMENKES, 2015).


2.1.10 Penatalaksanaan Efek Samping

Bila terjadi efek samping, misalnya sindrom ekstrapiramidal (distonia akut

atau parkinsonisme), langkah pertama yaitu menurunkan dosis

antipsikotika. Bila tidak dapat ditanggulangi, berikan obat-obat

antikolinergik, misalnya triheksilfenidil, benztropin, sulfas atropin atau

difenhidramin injeksi IM atau IV.

Nama Generik Dosis Waktu Target efek samping


(mg/har paruh ekstrapiramidal
i) eliminasi
(jam)
Triheksilfenidil 1-15 4
Akatisia, distonia,
parkinsonisme
Amantadin 100-300 10-14 Akatisia, parkinsonisme
Propranolol 30-90 3-4 Akatisia
Lorazepam 1-6 12 Akatisia
Difenhidramin 25-50 4-8 Akatisia, distonia,
parkinsonisme
Sulfas Atropin 0.5-0.75 12-24 Distonia akut
Tabel 2.5 Daftar Obat Yang Digunakan Untuk Mengatasi Efek Samping
Anti Psikotik

Untuk efek samping tardif diskinesia, turunkan dosis

antipsikotika.Bila gejala psikotik tidak bisa diatasi dengan penurunan

dosis antipsikotika atau bahkan memburuk, hentikan obat dan ganti

dengan golongan antispikotika generasi kedua terutama klozapin. Kondisi

Sindroma Neuroleptik Malignansi (SNM) memerlukan penatalaksanaan

segera atau gawat darurat medik karena SNM merupakan kondisi akut

yang mengancam kehidupan. Dalam kondisi ini semua penggunaan

antipsikotika harus dihentikan. Lakukan terapi simtomatik, perhatikan

keseimbangan cairan dan observasi tanda-tanda vital (tensi, nadi,

temperatur, pernafasan dan kesadaran). Obat yang perlu diberikan dalam


kondisi kritis adalah : dantrolen 0.8 – 2.5 mg/kgBB/hari atau bromokriptin

20-30 mg/hari dibagi dalam 4 dosis. Jika terjadi penurunan kesadaran,

segera dirujuk untuk perawatan intensif (ICU) (KEMENKES, 2015).

2.2 Konsep Caregiver

1.2.1 Definisi Caregiver

Caregiver adalah seseorang baik yang dibayar ataupun tidak dibayar

yang bersedia memberikan perawatan kepada orang lain dalam

kehidupannya. Caregiver adalah seseorang yang mempunyai tugas untuk

membantu orang – orang yang ada hambatan dalam melakukan kegiatan

fisik sehari – hari baik yang bersifat kegiatan harian personal (personal

activity daily living) seperti makan, minum, berjalan, atau kegiatan harian

yang bersifat instrumental seperti memakai pakaian, mandi, menelepon atau

belanja (Subroto, dalam (RSJ Bina Karsa Medan, 2019). Caregiver

merupakan seorang pendukung informal bagi penderita yang membutuhkan

perawatan dan bertanggungjawab terhadap kebutuhan penderita, serta

melakukan tugas dan menghabiskan sebagian besar waktu untuk penderita

tanpa menerima bayaran. Neale, Jhon dan Kring, dalam (RSJ Bina Karsa

Medan, 2019) juga menjelaskan bahwa caregiver adalah seseorang yang

menyediakan perawatan baik itu dalam bentuk fisik dan atau emosional bagi

individu yang menderita penyakit atau kecacatan, biasanya individu

merupakan seseorang yang dicintai. Caregiver memberikan bantuan untuk

menjalani kehidupan sehari-hari, perawatan kesehatan, bimbingan,

persahabatan serta interaksi. Sehingga kebutuhan dasar baik berupa


perlindungan terpenuhi dan pengawasan bisa terpenuhi baik individu

tersebut dalam keadaan tidak mampu (RSJ Bina Karsa Medan, 2019).

1.2.2 Jenis Caregiver

Family caregiver Allaince/FCA (2018) menyatakan caregiver dibagi

menjadi dua kelompok yakni caregiver informal dan caregiver formal.

1) Caregiver informal adalah individu yang memberikan bantuan rawatan

sehari-hari serta bantuan tugas pemberian obat-obatan. Dan individu ini

biasanya tidak mendapatkan bayaran atas layanan yang diberikan,

seperti anggota keluarga, teman ataupun tetangga. Sedangkan

2) Caregiver formal adalah pemberi layanan kesehatan yang mendapatkan

bayaran dalam setting rumah, fasilitas layanan jangka panjang maupun

fasilitas layanan rehabilitasi, termasuk dengan perawat (RSJ Bina Karsa

Medan, 2019).

1.2.3 Tugas caregiver

Widiastuti, dalam (RSJ Bina Karsa Medan, 2019), menyatakan bahwa

tugas caregiver tidak hanya sebatas pekerjaan rumah tangga, melainkan ada

empat kategori yaitu antara lain :

1. Physical care/perawatan fisik

Seperti menyediakan makan, menggantikan pakaian, memotong kuku,

membersihkan kamar dan lain-lain.


2. Social care/kepedulian

Antara lain bertindak sebagai sumber informasi dari seluruh dunia diluar

perawatan rumah, menjadi pendengar yang baik, mengunjungi tempat

hiburan, menjadi supir, dll

3. Emotional care

Seperti menunjukkan kepedulian, cinta dan kasih sayang kepada klien

yang tidak selalu ditunjukkan ataupun dikatakan cukup dilakukan melalaui

tugas-tugas lain yang dikerjakan, dan yang terakhir

4. quality care yaitu memantau tingkat perawatan, standar pengobatan, dan

indikasi kesehatan.

1.3 Perawat Sebagai Caregiver

1.3.1 Definisi Perawat Sebagai Caregiver

Peran sebagai pemberi asuhan keperawatan (caregiver) merupakan

peran yang paling utama bagi seorang perawat. Pada peran ini perawat

diharapkan mampu memberikan pelayanan keperawatan kepada individu

sesuai diagnosis masalah yang terjadi. Perawat menggunakan proses

keperawatan untuk mengidentifikasi diagnosis keperawatan mulai dari

masalah fisik sampai pada masalah psikologis. Dengan pendekatan

pemecahan masalah sesuai dengan metode dan proses keperawatan. Perawat

dituntut untuk melakukan asuhan keperawatan sesuai dengan standar

profesinya, yang terdiri atas: pengkajian, penetapan diagnosis keperawatan,

perencanaan, melaksanakan tindakan keperawatan dan evaluasi


keperawatan. Tindakan keperawatan yang dimaksud meliputi: intervensi

keperawatan, observasi keperawatan, pendidikan dan konseling

keperawatan, sesuai dengan standar asuhan keperawatan yang ditetapkan

oleh organisasi profesi (Yuniarti, 2020).

Asuhan keperawatan itu sendiri adalah rangkaian interaksi perawat

dengan klien dan lingkungannya untuk mencapai tujuan pemenuhan

kebutuhan dan kemandirian klien dalam merawat dirinya. Menurut

Undang- Undang Keperawatan Tahun 2014, sasaran pemberian asuhan

keperawatan adalah menguunakan istilah klien, bukan pasien atau

penderita. Hal ini dilaukan dengan pertimbangan bahwa sasaran

pemberian asuhan keperawatan bukan hanya pada mereka yang sakit,

tetapi juga pada mereka yang berisiko diberikan asuhan agar tidak jatuh

sakit (Siti Kotijah, 2021).

1.4 Konsep Pengalaman

1.4.1 Definisi Pengalaman

Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia pengalaman merupakan

sesuatu yang pernah dialami, di jalani, di rasa, dan di tanggung oleh

seseorang (KBBI, 2018). Pengalaman juga bisa diartikan suatu pengamatan

yang merupakan kombinasi pengelihatan, penciuman, dan pendengaran.

Pengalaman yang sudah terjadi dapat di bagikan kepada siapa saja untuk di

gunakan sebagai pedoman serta pembelajaran bagi yang menerimanya. Jadi

pengalaman juga bisa diartikan sebagai suatu peristiwa atau kejadian

berkesan yang dialami seseorang dan selalu diingat (Ade Nopy, 2021).
1.5 Konsep Komunikasi Terapeutik

1.5.1 Definisi Komunikasi Terapeutik

Komunikasi terapeutik (TC) merupakan bagian dari komunikasi

kesehatan telah menjadi cara perawatan yang baik, sebagai pendekatan bagi

klien penyalahgunaan obat seperti narkoba dan masalah lain dalam

kehidupan. Komunikasi terapeutik pada dasarnya merupakan pendekatan

yang digunakan dan berkembang terutama dalam bidang psikiatri, dan

psikologi (Apriliyanti et al., 2021).

Komunikasi terapeutik berusaha mengurangi kecemasan dengan

mengurangi aktivasi dan gangguan kognitif, dengan berusaha mengubah

kognitif individu, respons emosional, dan/atau perilaku. Bentuk perawatan

utama dalam komunikasi terapeutik adalah kognitif terapi dan pelatihan

keterampilan komunikasi (Patty et al dalam (Apriliyanti et al., 2021). Lebih

lanjut, Patty, menjelaskan bahwa terapi kognitif ini dimaksudkan sebagai

terapi perilaku emotif rasional yang berfokus pada pemikiran atau

kepercayaan yang mengarah pada konsekuensi emosi dan perilaku negatif.

Dengan komunikasi terapeutik perawat dapat membantu klien untuk

beradaptasi dan mengurangi kecemasan klien dalam berbicara sehingga bisa

mengurangi konsekuensi dalam emosi dan perilaku negatif. Proses ini lebih

memakan waktu dan membutuhkan lebih banyak pelatihan dalam

keterampilan berkomunikasi perawat, komunikasi terapeutik yang dilakukan

oleh perawat ini efektif untuk mempercepat penyembuhan klien (Patty et al.,

dalam (Apriliyanti et al., 2021). Komunikasi terapeutik digunakan sebagai


pemberian perawatan oleh caregiver pada klien fisiologis dan pada klien

dengan penyakit psikologis seperti skizofrenia.

1.5.2 Teknik Komunikasi Terapeutik

Teknik terapeutik merupakan bagian dari komunikasi fasilitatif pada

komunikasi terapeutik. Teknik terapeutik adalah beberapa teknik dalam

berkomunikasi, yang perlu dipilih perawat sesuai respon dan hasil analisis

masalah klien. Teknik ini tidak dapat digunakan sendiri dari satu teknik,

harus digabung antara satu teknik dengan teknik lainnya sesuai respon dari

klien. Bentuk teknik komunikasi terapeutik meliputi antara lain

a. Verbal

Dalam komunikasi verbal, kata-kata menjadi alat atau simbol yang

dipakai untuk mengekspresikan ide atau perasaan, membangkitkan

respon emosional, atau menguraikan obyek, observasi. Misal, saat

pertama kali menjalin hubungan dengan klien, perawat harus

menggunakan teknik verbal; broad opening (pertanyaan terbuka),

informing (memberi informasi yang fakta) dan focusing ( tetap menuju

tujuan yang lebih spesifik, lebih jelas dan berfokus pada realitas), tunggu

respon klien, baru kembangan teknik verbal berikutnya. Potter dan Perry,

dalam (NUGRAHA, 2020) menyatakan bahwa komunikasi verbal

termasuk kedalam penggunaan kata-kata atau tulisan dan sangat

dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu :

1. Kemaknaan (Denotative and Connotative Meaning)


Kemaknaaan sesungguhnya relatif lebih mudah ditangkap

karenamenggunakan makna dengan kata yang diucapkan sesuai

dengan kondisi.

2. Perbendaharaan kata (Vocabulary)

Perbendaharaan kata sangat berpengaruh terhadap jalannya

komunikasi terapeutik, apabila penerima tidak mampu mengartikan

kata-kata atau kalimat dari pengirimnya (perawat), maka akan terjadi

kesalah pahaman atau klien tersebut tidak mengerti.

3. Kecepatan (Pacing)

Kecepatan ucapan adalah aspek lain yang mempengaruhi komunikasi

verbal. Berbicara dengan cepat dalam menyampaikan informasi atau

sedang berbicara dapat menyebabkan kebingungan pada klien.

4. Intonasi/nada suara (Intonation)

Berkomunikasi atau berbicara dengan intonasi atau nada suara yang

tinggi bisa memberikan penilaian bagi klien bahwa perawat tersebut

bernada marah dan menimbulkan persepsi yang salah atau negatif.

Sedangkan sebaliknya bila intonasi/nada suara pelan, bisa-bisa tidak

terdengar oleh klien. Oleh karena itu berintonasi/nada suara yang

standard, tidak terlalu kuat dan tidak terlalu pelan. Intonasi nada

suara dipengaruhi oleh keadaan/kondisi emosi pada saat

berkomunikasi (berbicara).

5. Kejelasan dan keringkasan


(Clarity and Brevity) Kejelasan dan keringkasan pesan yang

disampaikan dapat dikatakan efektif jika disampaikan dengan cara

yang sederhana. Semakin singkat kata yang digunakan, semakin

sedikit kebingungan yang timbul. Kejelasan pesan biasanya dapat

dilakukan melalui penggunaan kalimat yang mudah dimengerti.

6. Waktu dan relevansi (Timing and Relevance).

Penyampaian pesan yang penting, dengan cara yang baik dan emosi

yang terkendali, namun bila tidak dilakukan pada waktu yang tepat,

maka pesan yang disampaikan tidak diterima oleh klien. Waktu

menjadi sesuatu yang kritis bagi persepsi seseorang terhadap pesan

yang diterima.

b. Non Verbal

Selain teknik verbal, perawat juga harus menggunakan teknik non verbal

seperti; kontak mata, mendekat ke arah pasien untuk menciptakan

lingkungan terapeutik, tersenyum, berjabatan tangan, dan sebagainya.

Setelah itu dikombinasikan dengan teknik verbal, tunggu respon pasien,

tentukan teknik berikutnya. Elemen komunikasi terapeutik secara non

verbal antara lain, sebagai berikut:

1. Vokal; nada; kualitas; keras atau lembut, kecepatan, yang semuanya

menggambarkan suasana emosi.

2. Gerakan: reflek, posture, ekspresi muka, gerakan yang berulang atau

gerakan gerakan yang lain. Khusus gerakan dan ekspresi muka dapat

diartikan sebagai suasana hati.


3. Jarak (space) : jarak dalam berkomunikasi dengan orang lain

menggambarkan keintiman.

4. Sentuhan: dikatakan sangat penting, namun perlu pertimbangan aspek

budaya dan kebiasaan (Lilik Ma'rifatul Azizah, 2016).

Secara lengkap analisis penggunaan teknik komunikasi terapeutik dapat

dipelajari pada pembahasan analisa proses interaksi (API), sebuah bagan

yang menganalisis teknik komunikasi perawat pasien dan diobservasi dari

komunikasi verbal, non verbal perawat dan pasien, analisa berpusat pada

perawat, analisa berpusat pada pasien, dan rasional dari respon pasien serta

alasan penggunaan teknik terpilih (Ah. Yusuf, 2019).

Berikut adalah contoh penerapan teknik terapeutik:

TEKNIK DEFINISI CONTOH NILAI TIDAK


TERAPEUTIK TERAPEUTIK

Mendengar Proses aktif Mempertaha Secara non Gagal


dari nkan kontak verbal mendengarkan
penerimaan mata dan mengkomunikas
informasi komunikasi ikan kepada
dan non verbal pasien tentang
penelaahan reseptif minat dan
reaksi penerimaan
seseorang perawat
terhadap
pesan yang
diterima
Pembukaan Memberikan ―Apa yang Menunjukkan Dominasi
yang luas dorongan sedang anda penerimaan oleh interaksi oleh
pada pasien pikirkan?‖ perawat dan perawat,
untuk nilai inisiatif penolakan
memilih pasien terhadap respons
topik yang
akan
dibicarakan
Pengulanga Mengulang ―Anda Menunjukkan Kurang validasi
n kembali pada mengatakan bahwa perawat tentang
pernyataan pasien bahwa ibu sedang interpretasi
pikiran anda telah mendengarkan perawat
utama yang meninggal dan mengenai pesan;
telah ketika anda menvalidasi, bersikap
diekspresika berusia menguatkan, mendakwa,
n 5tahun‖ atau memberikan
mengembalikan jaminan, dan
perhatian pasien membela diri
pada suatu yang
telah diucapkan
pasien
Klarifikasi Berupaya ―Saya tidak Membantu Gagal untuk
untuk jelas dengan mengklarifikasi memastikan;
menjelaskan apa yang perasaan, ide, mengasumsi
kedalam anda dan persepsi bahwa mengerti
kata-kata ide maksdukan. pasien, serta
atau pikiran Dapatkah memberikan
pasien yang anda kejelasan
tidak jelas, menjelaskan tentang
atau meminta kembali‖ hubungan antara
pasien untuk perasaan, ide
menjelaskan dan persepsi
artinya pasien dengan
tindakannya
Refleksi Mengarahka ―Anda Memfalidasi Menstereotipikk
n kembali tampak pebgertian an respons
ide, tegang dan perawat tentang pasien; waktu
perasaan, cemas, apa yang dan kedalaman
pertanyaan, apakah ini diucapkan perasaan yang
dan isi berhubungan pasien dan tida sesuai,
pembicaraan dengan menekan ketidaktepatan
kepada pembicaraan sempati, minat respons terhadap
pasien anda dengan dan rasa hormat pengalaman
ibu anda terhadap pasien kultural serta
semalam?‖ tingkat
pendidikan
pasien
Pemusatan Pertanyaan ―Saya pikir ―Memberi Membiarkan
atau kita kesempatan terjadi abstraksi
pernyataan seharusnya kepada pasien dan generalisasi;
yang membicaraka untuk penggantian
membantu n lebih lanjut membahas topic
pasien untuk tentang masalah sentral
meluaskan hubungan dan tetap
topic anda dnegan mengarahkan
pembicaraan ayah anda‖ komunikasi
yang penting kepada
pencapaian
tujuan‖
Berbagai Meminta ―Anda Menyampaikan Menantang
persepsi pasien untuk tersenyum, pengertian harfiah;
memastikan tetapi saya perawat dan memastikan;
pengertian merasa mempunyai mencoba;
peraewat bahwa anda kemampuan membela diri
tentang apa sangat marah untuk
yang kepada saya‖ meluruskan
dipikirkan kerancuan
dan
dirasakan
oleh pasien
Identifikasi Isu atau ―Saya Memberikan Memberikan
tema masalah perhatikan kesempatan saran;
pokok yang dari semua kepada perawat memberikan
timbul hubungan untuk jaminan, dan
berulang kali yang anda meningkatkan tida menyetujui
uraikan, anda sebaik mungkin
seslalu eksplorasi dan
dikecewakan pengertian
oleh pria. pasien tentang
Menurut pentingnya
anda apakah masalah tersebut
ini yang
menjadi isu
pokok?‖
Diam Kurang Duduk Memberikan Menanyakan
komunikasi bersama waktu kepada pada klienn
verbal untuk klien danklien untuk ―mengapa‖
alas an mengkomuni
berpikir, terhadap respon
terpaeutik kasikan menghayati, untuk
minat & memperlambat menghentikan
peran serta
tempo dan kediamannya
perawat mendorong
secara klien untuk
nonverbalmengawali
percakapan
Humor Pengeluaran Hal ini Dapat penggunaan
energy memberikan meningkatkan tanpa
melalui makna yang penghayatan pengecualian;
menikmati benar –benar dari secara sadar merendahkan
ketidak baru untuk merespresikan klien,
sempurnaan kata ―gugup‖ topik, mengatasi menyaring
diucapkan paradoksikal, untuk
dengan nada berlawanan, menghindari
bercanda memberikan keakraban non
pilihan baru terapeutik
merupakan
sublimasi yang
dapat diterima
Tabel 2.6 Teknik Komunikasi Terapeutik (Ah. Yusuf, 2019)
1.5.3 Fase Komunikasi Terapeutik

Komunikasi terapeutik adalah pengalaman belajar bersama antara

perawat dan klien untuk memperbaiki emosi atau tingkah laku klien, dalam

pelaksanaanya terdapat 4 fase agar mudah dikembangkan perawat dalam

memperbaiki perilaku klien, yaitu; prainteraksi, orientasi, kerja dan

terminasi.

1. Pra interaksi, fase ini dimulai sebelum kontrak pertama dengan klien.

Perawat mengeksplorasi perasaan, fantasi dan ketakutannya, sehingga

kesadaran dan kesiapan perawat untuk melakukan hubungan dengan

klien dapat di pertanggung jawabkan. Pada fase ini perawat perlu

mendapatkan informasi tentang pasien sehingga dapat merencanakan

apa saja yang harus dilakukan, setelah itu menentukan kontrak pertama

dengan pasien.

2. Perkenalan atau orientasi, fase ini dimulai dari pertemuan dengan

pasien. Hal utama yang perlu dikaji adalah alasan pasien minta

pertolongan yang akan mempengaruhi terbinanya hubungan terapeutik

perawat pasien. Dalam memulai hubungan, tugas utama adalah

membina rasa percaya, penerimaan dan pengertian, komunikasi yang

terbuka dan perumusan kontrak dengan klien.

3. Fase Kerja, pada fase ini perawat dan pasien mengeksplorasi stressor

yang mempengaruhi perilaku pasien, mendorong perkembangan

kesadaran diri dengan menghubungkan persepsi pikiran, dan perbuatan

pasien. Perawat membantu pasien mengatasi kecemasan, meningkatkan


kemandirian, bertanggung jawab terhadap diri sendiri, dan

mengembangkan mekanisme koping yang konstruktif. Perubahan

perilaku maladaptif menjadi adaptif merupakan fokus fase ini.

4. Terminasi, merupakan fase sulit dan penting dari hubungan terapeutik

yang sudah terbina optimal. Pada fase ini pasien menghadapi realitas

perpisahan yang tidak dapat diingkari, klien dan perawat bersama-sama

meninjau kembali proses perawatan yang telah dilalui dan pencapaian

tujuan. Fase terminasi harus di atasi dengan memakai konsep proses

kehilangan. Proses terminasi yang sehat akan memberikan pengalaman

positif dalam membantu pasien mengembangkan koping adaptif untuk

perpisahan (Ah. Yusuf, 2019).

1.5.4 Unsur- Unsur dan Prinsip Komunikasi Terapeutik

1. Unsur unsur komunikasi terapeutik, antara lain:

a. Sumber proses komunikasi yang merupajan prakarsa oleh pengirim

dan penerima pesan sebagai tolak ukur keberhasilan mengirim.

b. pesan verbal dan non verbal.

c. penerima yang akan juga membalas pesan.

d. lingkungan sebagai saluran penyampaian (panca indera), penerimaan

pesan dan lingkungan alamiah.

2. Prinsip-prinsip komunikasi terapeutik, antara lain :

a. Perawat harus mengenal diri sendiri dengan menghayati, memahami

diri dan nilai yang dianut.


b. Komunikasi ditandai dengan sikap saling menerima, percaya dan

menghargai.

c. Perawat harus memahami, menghayati nilai yang dianut klien.

d. Perawat harus menyadari pentingnya kebutuhan biopsikosexual dan

spiritual klien.

e. Perawat harus menciptakan suasana bebas rasa takut.

f. Perawat harus menciptakan motivasi klien untuk mengubah diri agar

lebih ―matang‖.

g. Perawat harus mampu menguasai perasaan diri seperti perasaan

gembira, sedih, marah, berhasil atau frustasi.

h. Memahami betul arti empati yang terapeutik dan simpati yang tidak

terapeutik.

i. Kejujuran dan komunikasi terbuka merupakan dasar dari hubungan

terapeutik.

j. Mampu berperan sebagai role model.

k. Mempunyai sifat Altruisme.

l. Berpegangan pada etika.

m. Bertanggung jawab terhadap diri dan orang lain (Lilik Ma'rifatul

Azizah, 2016).

1.5.5 Komunikasi Terapeutik Pada Pasien Skizofrenia

Menurut literatur, Gina Oktaria Dalam Jurnal lmiah FISIP Volume 4

No. 2 Oktober 2017 hal 1 dalam (Putri & Suwadnyana, 2020). Dalam

penelitiannya menunjukkan keberhasilan komunikasi terapeutik dalam


proses pemulihan pasien skizofrenia tidak terlepas dari pelaksanaan tahap-

tahap komunikasi terapeutik yang baik. Yaitu:

a. Tahap pra interaksi sebagai tahap persiapan sebelum melaksanakan

komunikasi dengan pasien. Langkah-langkah tahap pra interaksi pada

pasien dengan gangguan jiwa terutama skizofrenia, antara lain :

Persiapan diri, perawat, dan klien

1) mengeksplorasi perasaan diri, ketakutan, dan fantasi

2) Menganalisis kekuatan profesional diri dan keterbatasan

3) Mendapatkan data awal tentang klien

4) Membuat rencana pertemuan/kontrak dengan klien (kegiatan, waktu,

dan tempat), serta persiapan alat dan tempat

b. Fase Orientasi

1) Berikan salam terapeutik, perkenalkan diri dan tanyakan/sebut nama

klien (sambil menjabat tangan klien)

2) Evaluasi/Validasi, tanyakan perasaan klien saat ini, kemudian lakukan

Validasi (kognitif, afektif dan psikomotorik)

3) Kontrak, jelaskan tujuan pertemuan (sesuai rencana), lakukan kontrak

waktu (15—20 menit), lakukan kontrak tempat

c. Fase Kerja

Tahap kerja yang berguna untuk mengubah perilaku klien menjadi lebih

baik dan normal. Langkah-langkah tahap kerja pada klien dengan

gangguan jiwa terutama skizofrenia, antara lain :


1) Tanyakan keluhan klien dan gali alasan klien meminta

bantuan/pertolongan

2) Eksplorasi pikiran, perasaan, dan tindakan klien

3) Sediakan komunikasi terbuka, kepercayaan, dan penerimaan klien apa

adanya

4) Identifikasi masalah bersama klien dan berikan kesempatan klien

menyimpulkan masalahnya dan berikan reinforcement

5) Berikan kesempatan klien untuk bertanya dan berikan reinforcement

d. Tahap terminasi

Dimana perawat memutuskan untuk menyelesaikan pertemuan secara

sementara untuk bertemu kembali di lain waktu yang telah dijanjikan

bersama atau untuk selamanya dikarenakan pasien didiagnosa pulih

kembali normal. Langkah-langkah tahap pra terminasi pada pasien dengan

gangguan jiwa terutama skizofrenia, antara lain :

1) Evaluasi objektif/subjektif, tanyakan perasaan klien setelah

interaksi/pertemuan, evaluasi hasil pertemuan terkait tujuan pertemuan

2) Jelaskan rencana tindak lanjut setelah pertemuan

3) Lakukan untuk pertemuan yang akan datang (kontrak yang akan

datang)

4) Mengakhiri interaksi/komunikasi dengan salam dan berjabat tangan

(Siti Kotijah, 2021).


Dalam melakukan proses penyembuhan bagi klien skizofrenia, selain

menggunakan tahapan juga menggunakan teknik komunikasi terapeutik

psikosis, yang terdiri dari dua puluh teknik diantaranya:

1) Mendengarkan, dalam hal ini perawat berusaha mengerti klien dengan

cara mendengarkan apa yang disampaikan klien.

2) Menunjukkan penerimaan, menerima tidak berarti menyetujui. Menerima

berarti bersedia untuk mendengarkan orang lain tanpa menunjukkan

keraguan atau ketidaksetujuanmemberikan pertanyaan yang mudah

dipahami klien.

3) Menanyakan pertanyaan yang berkaitan, tujuan perawat bertanya adalah

untuk mendapatkan informasi yang spesifik mengenai apa yang

disampaikan oleh klien.

4) Pertanyaan terbuka, pertanyaan yang tidak memerlukan jawaban ―ya‖

dan ―mungkin‖, tetapi pertanyaan memerlukan jawaban yang luas,

sehinga pasien dapat mengemukaka masalahnya, perasaannya dengan

kata-kata sendiri, atau dapat memberikan informasi yang diperlukan

untuk mengetahui kondisi klien melalui komunikasi dengan memberi

kesempatan kepada klien untuk menjelaskan kondisinya dan mengajukan

pertanyaan yang berkaitan.

5) Mengulang ucapan klien, dengan menggunakan kata-kata sendiri

bertujuan untuk perawat dalam memberikan umpan balik bahwa ia

mengerti pesan klien dan berharap komunikasi dilanjutkan.


6) Menawarkan diri, perawat menyediakan diri tanpa respon bersyarat atau

respon yang diharapkan.

7) Mengklarifikasi tujuan dari teknik untuk menyamakan pengertian yang

disampaikan perawat ke klien.

8) Memfokuskan, bertujuan untuk membatasi bahan pembiacaraan sehingga

percakapan menjadi lebih spesifik dan dimengerti klien.

9) Menyatakan hasil observasi, perawat harus memberikan umpan balik

kepada klien dengan menyatakan hasil pengamatannya, bertujuan untuk

membuat klien berkomunikasi lebih jelas tanpa perawat harus bertanya

kepada klien dengan cara perawat memberikan arahan pembicaraan.

10) Menawarkan informasi, memberikan informasi dengan cara

memberikan penyuluhan dan sosialisasi kepada klien.

11) Diam (memelihara ketenangan). Diam akan memberikan kesempatan

kepada perawat dan klien untuk mengorganisir pikirannya. Penggunaan

metode ini memerlukan keterampilan dan ketepatan waktu , jika tidak

akan menimbulkan perasaan tidak enak. Digunakan pada saat klien

perlu mengekspresikan ide tapi tidak tahu bagaimana melakukan atau

menyampaikan hal tersebut.

12) Meringkas, bertujuan untuk mengulang kembali topik pelajaran yang di

bahas bersama klien.

13) Memberikan kesempatan pada klien untuk memulai pembicaraan.

Dengan memberikan kesempatan kepada klien untuk berinisiatif dalam

memilih topik pembicaraan.


14) Menganjurkan untuk meneruskan pembicaraan, teknik ini memberikan

kesempatan kepada klien untuk mengarahkan hampir seluruh

pembicaraan.

15) Menempatkan kejadian secara berurutan dengan tujuan mengurutkan

kejadian secara teratur akan membantu perawatan klien untuk

melihatnya dalam suatu prespektif.

16) Memberikan kesempatan kepada klien untuk menguraikan persepsinya

dengan tujuan klien harus merasa bebas untuk menguraikan persepsinya

kepada perawat.

17) Refleksi, bertujuan untuk mengemukakan pendapatnya, membuat

keputusan dan memikirkan diri sendiri.

18) Assertive, kemampuan dengan cara meyakinkan dan nyaman

mengekspresikan pikiran dan perasaan diri dengan tetap menghargai

orang lain.

19) Memberikan penghargaan Penghargaan jangan sampai menjadi beban

untuk klien. Jangan sampai klien berusaha keras dan melakukan

segalanya demi untuk mendapatkan pujian atau persetujuan atas

perbuatannya.

20) Humor, bertujuan untuk mnegurangi ketegangan aibat stress dan

meningkatkan keberhasilan asuhan keperawatan (Putri & Suwadnyana,

2020).

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dalam jurnal ilmiah

Mahasiswa FISIP Unsyiah Volume 2, Nomor 2, Mei 2017, yang dilakukan


perawat RSJ Aceh dalam pemulihan pasien gangguan jiwa halusinasi

melalui empat tahapan yaitu tahap prainteraksi, orientasi, kerja dan

terminasi. Terdapat juga hambatan dalam menerapakan komunikasi

terapeutik yang berasal dari diri klien dan diri perawat, berikut

penjabarannya:

1. Perawat Rumah Sakit Jiwa Aceh telah menerapkan komunikasi terapeutik

dalam pemulihan klien gangguan jiwa halusinasi melalui empat tahap yang

meliputi :

a. Tahap Pra interaksi, dalam tahap ini sebelum melakukan komunikasi

terapeutik perawat RSJ Aceh mencari seluruh informasi mengenai klien

seperti melalui dokumen laporan harian dan data status kesehatan klien

serta dari keluarga klien yang bersangkutan. Hal ini bertujuan untuk

mengetahui perkembangan keadaan klien dan tindakan yang harus

diberikan kepada klien gangguan jiwa halusinasi.

b. Tahap orientasi, dalam tahap ini perawat RSJ Aceh membina hubungan

saling percaya dengan melakukan perkenalan dan pendekatan melalui

komunikasi verbal dan non verbal (sentuhan, kontak mata, ekspresi,

gerakan tubuh) serta beberapa teknik meliputi:

1) pertanyaan terbuka

2) mendengarkan secara aktif

3) menyatakan hasil pengamatan dari perawat dan data StaKes pasien

4) sikap terbuka

5) rasa empati
6) memberikan pengertian dan arahan yang positif dan nyata, dan

7) memberikan pujian. Hal ini bertujuan agar klien dapat membuka diri

sehingga perawat mudah dalam menangani klien gangguan jiwa

halusinasi.

c. Tahap kerja, dalam tahap ini perawat melakukan tindakan keperawatan

pada klien gangguan jiwa halusinasi sesuai dengan standar penanganan

masalah keperawatan halusinasi untuk pemulihan klien. Perawat

melakukan tindakan pada klien gangguan jiwa halusinasi melalui

interaksi individu, kelompok dan keluarga klien. Interaksi individu antara

perawat dan klien yang disebut dengan strategi pelaksana (SP) terdiri dari

empat tindakan yang dilakukan secara bertahap:

1) membantu klien mengenali halusinasi dan melatih klien mengontrol

halusinasi dengan cara menghardik halusinasi

2) melatih klien mengontrol halusinasi dengan cara menggunakan obat

secara teratur

3) melatih klien mengontrol halusinasi dengan cara klien bercakap-cakap

dengan orang lain, dan

4) melatih klien mengontrol halusinasi dengan cara klien beraktivitas

secara terjadwal. Interaksi kelompok antara perawat dan klien yang

disebut dengan Terapi Aktifitas Kelompok (TAK) dilakukan dengan

tema-tema tertentu sesuai kebutuhan klien. Terapi keluarga yang

diberikan perawat melalui PenKes agar proses penyembuhan klien

dapat berkesinambungan.
d. Tahap terminasi, dalam tahap ini perawat mengakhiri komunikasi

terapeutik dalam menjalankan tindakan keperawatan pada klien

gangguan jiwa halusinasi. Pada tahap ini, kegiatan yang dilakukan

perawat adalah mengevaluasi hasil kegiatan yang telah dilakukan sebagai

dasar untuk tindak lanjut yang akan datang yang meliputi:

1) terminasi sementara, mengevaluasi hasil interaksi perawat dengan

klien dan menentukan kontrak selanjutnya jika diperlukan, dan

2) terminasi akhir, mengevaluasi secara keseluruhan tindakan terapi yang

sudah diberikan dan yang harus dilanjutkan oleh keluarga klien

melalui PenKes keluarga.

Pada saat penerapan komunikasi terapeutik terdapat hambatan yang

berasal dari diri pasien dan juga dari diri perawat yang meliputi :

a. Hambatan dari diri klien gangguan jiwa halusinasi yaitu resistens berupa

penolakan pasien halusinasi untuk berinteraksi dengan perawat dan

menutup diri serta menyangkal tentang masalah gangguan jiwanya,

karena klien mengangap dirinya tidak sakit. Hal tersebut menyebabkan

perawat tidak dapat mengetahui masalah klien secara lebih jelas dan

tidak dapat memberikan tindakan keperawatan pada klien.

b. Hambatan dari diri perawat yaitu berupa hambatan internal dari dalam

diri perawat seperti

1) mood yang kurang bagus akibat masalah pribadi yang dialami oleh

perawat
2) multi peran sehingga membuat perawat tidak fokus dalam menjalankan

tugasnya dan

3) perbedaan bahasa yang menghambat komunikasi antara perawat dan

klien (Meliza & M.Si, 2017).

1.6 Konsep Rumah Singgah ODGJ

Undang-undang Nomor 18 Tahun (2014) menjelaskan tentang ―upaya

kesehatan jiwa‖ adalah setiap kegiatan untuk mewujudkan derajat kesehatan

jiwa yang optimal bagi setiap individu, keluarga, dan masyarakat dengan

pendekatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif. Dalam pasal 3

disebutkan bahwa upaya kesehatan jiwa bertujuan:

1. Menjamin setiap orang dapat mencapai kualitas hidup yang baik,

menikmati kehidupan kejiwaan yang sehat, bebas dari ketakutan,

tekanan, dan gangguan lain yang dapat mengganggu kesehatan jiwa

2. Menjamin setiap orang dapat mengembangkan berbabagai potensi

kecerdasan

3. Memberikan perlindungan dan menjamin pelayanan kesehatan jiwa bagi

ODMK (Orang Dengan Masalah Kesehatan) dan ODGJ (Orang Dengan

Gangguan Jiwa) berdasarkan hak asasi manusia

4. Memberikan pelayanan kesehatan secara terintegrasi, komprehensif dan

berkesinambungan melalui upaya promotif, preventif, kuratif, dan

rehabilitatif bagi ODMK dan ODGJ

5. Menjamin ketersediaan dan keterjangkauan sumber daya dalam upaya

kesehatan jiwa
6. Meningkatkan mutu upaya kesehatan jiwa sesuai dengan perkembangan

ilmu pengetahuan dan teknologi

7. Memberikan kesempatan kepada ODMK dan ODGJ untuk dapat

memperoleh hak nya sebagai WNI (Warga Negara Indonesia)

Undang-undang Nomor 18 Tahun (2014) menjelaskan upaya

kesehatan jiwa dilakukan dengan kegiatan promotif, preventif, kuratif,

dan rehabilitatif, serta dilaksanakan oleh pemerintah, pemerintah daerah,

dan/atau masyarakat. Kegiatan upaya promotif kesehatan jiwa bertujuan

untuk:

a. Mempertahankan dan meningkatkan derajat kesehatan jiwa

masyarakat secara optimal

b. Menghilangkan stigma, diskriminasi, pelanggaran hak asasi ODGJ

sebagai bagian dari masyarakat

c. Meningkatkan pemahaman dan peran serta masyarakat terhadap

kesehatan jiwa

d. Meningkatkan penerimaan dan peran serta masyarakat terhadap

kesehatan jiwa

Undang-undang Nomor 18 Tahun (2014) menjelaskan upaya

preventif kesehatan jiwa merupakan suatu kegiatan untuk mencegah

terjadinya masalah kejiwaan dan gangguan jiwa. Upaya preventif dapat

dilaksanakan di keluarga, lembaga, dan masyarakat. Upaya preventif di

masyarakat dapat dilaksanakan dalam bentuk menciptakan lingkungan

masyarakat yang kondusif; memberikan komunikasi, informasi, dan


edukasi mengenai pencegahan gangguan jiwa; dan menyediakan

konseling bagi masyarakat yang membutuhkan.

Upaya kuratif dijelaskan sebagai kegiatan pemberian pelayanan

kesehatan terhadap ODGJ yang mencakup proses diagnosis dan

penatalaksanaan yang tepat sehingga ODGJ dapat berfungsi kembali

secara wajar di lingkungan keluarga, lembaga, dan masyarakat. Upaya

kuratif bertujuan untuk penyembuhan atau pemulihan, pengurangan

penderitaan, pengendalian disabilitas, dan pengendalian gejala penyakit.

Proses penegakan diagnosis untuk menentukan kondisi kejiwaan dan

tindak lanjut penatalaksanaan, dilakukan oleh dokter umum, psikolog,

dan dokter spesialis kedokteran jiwa.

Upaya rehabilitatif merupakan kegiatan atau serangkaian kegitan

pelayanan kesehatan jiwa yang ditujukan untuk mencegah atau

mengendalikan disabilitas, memulihkan fungsi sosial, memulihkan

fungsi okupasional, serta mempersiapkan dan memberi kemampuan

ODGJ agar mandiri di masyarakat. Upaya rehabilitatif ODGJ meliputi

rehabilitasi psikiatrik dan/atau psikososial dan rehabilitasi sosial.

Undang-undang Nomor 18 Tahun (2014) menjelaskan tentang sumber

daya dalam upaya kesehatan jiwa, meliputi: sumber daya manusia di

bidang kesehatan jiwa, fasilitas pelayanan di bidang kesehatan jiwa,

pembekalan kesehatan jiwa, teknologi dan produk teknologi kesehatan

jiwa, dan pendanaan kesehatan jiwa. Pada fasilitas pelayanan di bidang

kesehatan jiwa terdiri dari:


a. Fasilitas pelayanan kesehatan

b. Fasilitas pelayanan di luar sektor kesehatan dan fasilitas pelayanan

berbasis masyarakat.

Fasilitas pelayanan kesehatan, meliputi: Puskesmas dan jejaring,

klinik pratama, dan praktik dokter dengan kompetensi pelayanan

kesehatan jiwa; rumah sakit umum; rumah sakit jiwa, dan rumah

perawatan. Fasilitas pelayanan kesehatan jiwa harus memiliki sumber

daya manusia di bidang kesehatan jiwa, perbekalan kesehatan jiwa, serta

mengikuti perkembangan teknologi dan produk teknologi kesehatan jiwa

yang berbasis bukti. Pada setiap provinsi wajib mendirikan paling sedikit

satu rumah sakit jiwa dan wajib memiliki paling sedikit satu ruang

perawatan dengan tingkat keamanan yang memenuhi standar.

Undang-undang Nomor 18 Tahun (2014) memaparkan sembilan

fasilitas pelayanan di luar sektor kesehatan dan fasilitas pelayanan

berbasis masyarakat, yaitu: praktik psikolog, praktik pekerja sosial, panti

sosial, pusat kesejahteraan sosial, pusat rehabilitasi sosial, rumah

perlindungan sosial, pesantren atau institusi berbasis keagamaan, rumah

singgah, dan lembaga kesejahteraan sosial. Fasilitas pelayanan di luar

sektor kesehatan dan fasilitas pelayanan berbasis masyarakat dalam

menyelenggarakan pelayanan kuratif harus bekerja sama dengan fasilitas

pelayanan kesehatan, termasuk di dalamnya adalah rumah singgah.


Rumah singgah yang masuk dalam fasilitas pelayanan di luar

sektor kesehatan dan fasilitas pelayanan berbasis masyarakat harus

memiliki izin dan memenuhi persyaratan keamanan, keselamatan,

kenyamanan, dan kemudahan sesuai dengan pedoman yang berlaku

dalam pemberian pelayanan terhadap ODMK dan ODGJ. Peraturan

Pemerintah Republik Indonesia Nomor 39 Tahun (2012) tentang

Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial juga menyebutkan rumah singgah

sebagai sarana dan prasarananya. Dalam peraturan pemerintah tersebut

juga dijelaskan rumah singgah sebagai suatu tempat tinggal sementara

bagi penerima pelayanan yang dipersiapkan untuk mendapat pelayanan

lebih lanjut. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 39 Tahun

(2012) pasal 47 menjelaskan standar minimum sarana dan prasarana

rumah singgah meliputi:

1. Bangunan rumah yang terdiri dari ruang kantor, ruang pelayanan

teknis, ruang istirahat/tidur, ruang makan, ruang kesehatan, ruang

tamu, ruang ibadah, dan kamar mandi

2. Tenaga pelayanan yang terdiri dari tenaga administrasi dan tenaga

fungsional

3. Peralatan yang terdiri dari instalasi air dan air bersih, peralatan

penunjang perkantoran, penerangan, peralatan komunikasi, peralatan

teknis bagi penerima pelayanan, dan kendaraan

4. Pangan bagi penerima pelayanan yang terdiri dari makanan pokok dan

makanan tambahan.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 54 Tahun

(2017) tentang penanggulangan pemasungan pada orang dengan gangguan

jiwa menjelaskan tidak jarang ODGJ pasca pemasungan harus kehilangan

tempat tinggal karena keluarga dan/atau masyarakatnya tidak

menghendaki ODGJ untuk pulang ke rumahnya pasca perawatan dengan

alasan ―trauma‖ dengan perilaku ODGJ sebelumnya. Dalam kondisi

tersebut, ODGJ harus kehilangan tempat tinggal dan hidup tanpa pelaku

rawat. Hal ini sering mengakibatkan ODGJ tinggal bertahun-tahun di RS

atau meninggalkan RS tanpa ijin, kemudian tinggal menggelandang di

jalan. Sistem perawatan rumah sakit maupun layanan publik saat ini belum

mampu mengakomodir kebutuhan tempat tinggal bagi ODGJ tanpa

pelaku. Sebagian besar rumah sakit mengharuskan pasien pulang dengan

keluarga, sehingga bila tidak mungkin terjadi, rumah sakit mengambil

langkah drop in atau mengirim pasien ke panti sosial.

Layanan publik dan sistem bantuan yang ada belum

memungkinkan ODGJ untuk memiliki dana untuk menyewa tempat

tinggal di rumah-rumah bersubsidi milik pemerintah. Untuk menangani

kesenjangan tersebut, layanan residensial perlu dipertimbangkan. Layanan

residensial memiliki bentuk yang beraneka ragam, yaitu fasilitas

perumahan di komunitas; kelompok tinggal atau hidup berkelompok

(group homes), panti (boarding home) dan rumah singgah atau rumah

antara (halfway house), Therapeutic community atau Milleu Therapy dan

layanan rawat harian (day care). Dalam hal ini Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor 54 Tahun (2017) menjelaskan

rumah panti (boarding home) dan rumah singgah atau rumah antara

(halfway house) hampir sama dengan group home, kelompok layanan

tempat tinggal ini dikelola secara penuh oleh tenaga profesional kesehatan

jiwa sehingga spesifik ditujuakan untuk ODGJ.

Layanan yang diberikan bertujuan untuk membantu terbentuknya

hubungan sosial, namun ada hasil penelitian terbaru melaporkan tempat

tinggal seperti ini lebih sedikit kesempatan untuk dukungan sosial karena

ODGJ tidak diberi kesempatan untuk mengungkapkan kebutuhannya

termasuk dengan siapa mereka ingin tinggal. Layanan tempat tinggal

seperti ini biasanya memiliki batas waktu tinggal kecuali pada kelompok

ODGJ yang membutuhkan dukungan khusus terus menerus. Indikasi

ODGJ membutuhkan dukungan lebih yaitu:

a. ODGJ tanpa keluarga, memiliki penyakit multipel (termasuk diagnosis

ganda, misalnya dengan penyalahgunaan zat dan alkohol, retardasi

mental, penyakit fisik lebih dari dua diagnosis), usia lanjut

b. Mengalami skizofrenia yang berat

c. Anak-anak merasa ketakutan dan jengkel, karena merasa hidup di

rumah sakit

d. Kehidupan perkawinan menurun

e. ODGJ memiliki perilaku yang tidak mudah seperti agresif atau

tendensi perilaku antisosial yang ekstrim


1.7 Riset Pendukung

No. Judul artikel; Metode ( Desain, Hasil Penelitian


Penulis, sampel, Instrumen,
Tahun Analisis)

1. Komunikasi Desain : Hasil penelitian


Terapeutik Deskriptif menunjukkan bahwa dalam
Perawat untuk Sampel: percakapan atau komunikasi
Meningkatkan 78 oleh perawat dan terapeutik setiap perawat
Konsep Diri pasien skizofrenia di memiliki karakteristik yang
Pasien Rumah Sakit Jiwa Dr. berbeda-beda pada giliran
Skizofrenia, Radjiman Wediodiningrat bicara (turn-taking), urutan
Rosa Instrumen: berbicara (sequences),
Apriliyanti , observasi, teknik rekaman perbaikan (repair) dan
Andria audio, dan pencatatan data pilihan (preference), selain
Saptyasari , di lapangan yang itu pada penelitian ini juga
Ratih Puspa, dilakukan di RSJ Dr. ditemukan bahwa masing-
2021 Radjiman Wediodiningrat masing perawat memiliki
Malang. karakteristik yang berbeda-
Analisis: beda dari aspek verbal
Teknik analisis yang maupun non verbal dalam
digunakan dalam penggunaan 5 komponen
penelitian yaitu pada komunikasi terapeutik
Conversation Analysis untuk meningkatkan konsep
diri pasien. Dalam penerapan
komunikasi terapeutik
komponen kepercayaan
adalah komponen yang
paling dominan digunakan
oleh perawat untuk
meningkatkan konsep diri
pasien. Perbedaan penerapan
komunikasi terapeutik
tersebut juga dipengaruhi
latar belakang perawat,
kemampuan perawat dalam
komunikasi terapeutik,
keterbukaan pasien dan juga
lama durasi perawatan
pasien.
2. Fenomenologi Desain : Hasil penelitian ini
Komunikasi Pendekatan kualitatif menunjukkan bahwa
Terapeutik Sampel: pengalaman komunikasi
Family 6 orang informan terapeutik yang dilakukan
Caregiver keluarga (family family caregiver dalam
Komunitas caregiver) ODS bentuk komunikasi
Peduli Instrumen: interpersonal dapat
Skizofrenia wawancara daring membantu proses penyadaran
Indonesia menggunakan voice call ODS mengenai penyakit
(KPSI), Shofia WhatsApp skizofrenia yang ditunjukkan
Nur Rahma , Analisis: dengan kemauan ODS untuk
Rini Riyantini , metode analisis data minum obat secara teratur,
Dian Tri fenomenologi serta komunikasi dalam
Hapsari, 2021 bentuk menunjukkan
penerimaan, mendengarkan
dengan seksama, dan regulasi
emosi saat berkomunikasi
dengan ODS dapat
memberikan penanganan
yang tepat saat ODS
mengalami gejala
kekambuhan (relapse)
sehingga dapat membantu
proses perkembangan ODS.
3. Pengalaman Desain : Penelitian menemukan 6
Caregiver Di Pendekatan kualitatif tema, yaitu: gejala gangguan
Rumah Sampel: jiwa yang muncul pada
Singgah Dalam 10 partisipan yang masuk ODGJ, penyebab terjadinya
Merawat Klien dalam kriteria inklusi, gangguan jiwa, perawatan
Gangguan yaitu caregiver yang holistik, beban perawatan,
Jiwa, Intan berusia 20-75 tahun, strategi koping caregiver, dan
Faizatun caregiver yang harapan caregiver terhadap
Nafisa, 2021 memberikan bantuan klien gangguan jiwa.
kepada klien gangguan
jiwa di rumah singgah,
sudah memberikan
perawatan lebih dari satu
bulan.
Instrumen:
wawancara mendalam (in-
depth interview) serta
field note
Analisis:
dianalisis menggunakan
IPA (Interpretative
Phenomenological
Analysis)
4. Penerapan Desain : Hasil penelitian ini
Komunikasi Studi Kasus menunjukkan setelah
Terapeutik Sampel: dilakukannya komunikasi
Pada Pasien 2 (dua) pasien skizofrenia terapeutik dengan frekeunsi 6
Skizofrenia yang berdasarkan sesi selama 6 hari kedua
Dalam pengkajian memiliki subjek mengalami
Mengontrol halusinasi serta memenuhi peningkatan kemampuan
Halusinasi Di kriteria inklusi dan dalam mengontrol halusinasi.
RS Jiwa eksklusi yang telah Komunikasi terapeutik dapat
Menur ditetapkan meningkatkan kemampuan
Surabaya, Yosi Instrumen: mengontrol halusinasi subjek
Apriliania , lembar wawancara pre jika dilakukan bertahap
Esti Widiania, post test untuk sesuai prosedur yang bisa
2020 mengetahui kemampuan digunakan.
pasien mengenali dan
mengontrol halusinasi
yang dibuat oleh peneliti,
lembar observasi harian
untuk mengetahui
kemampuan pasien
mengenali dan
mengontrol halusinasi
yang dibuat oleh peneliti,
standart operating
proccedur (SOP)
komunikasi terapeutik
yang dibuat oleh peneliti
dan alat perekam
wawancara menggunakan
gawai pintar, lembar
wawancara pre test,
lembar penilaian
pelaksanaan komunikasi
terapeutik, lembar
observasi harian respon
kemampuan pasien
Analisis:
mengambil kesimpulan
dari hasil pre dan post tes
kemudian dinarasikan
oleh peneliti.
5. Peran Desain : Hasil penelitian dapat
Komunikasi Pendekatan kualitatif disimpulkan bahwa
Antar Pribadi Sampel: komunikasi merupakan hal
Perawat perawat di Rumah Sakit yang paling penting bagi
Dengan Pasien Ratumbuysang perawat untuk menangani
Gangguan Jiwa Instrumen: dan merawat pasien
Di Rumah observasi dan wawancara gangguan jiwa dalam proses
Sakit Analisis: penyembuhan. Komunikasi
Ratumbuysang Kualitatif dengan antarpribadi yang dilakukan
Manado, mendeksripsikan dan perawat dalam menangani
Cinthya Evita menganalisis data yang dan merawat pasien
Sumangkut akan diperoleh dan gangguan jiwa yaitu
Antonius kemudian dijabarkan menggunakan komunikasi
Boham Eva kedalam bentuk terapeutik. Dengan
Altje penjelasan. menggunakan komunikasi
Marentek, terapeutik dapat
2020 memudahkan perawat dalam
menangani, merawat, serta
membina pasien gangguan
jiwa. Teknik komunikasi
terapeutik yang dilakukan
perawat yaitu dengan
menggunakan komunikasi
yang lembut, komunikasi
yang terbuka, komunikasi
yang tegas kepada pasien
yang tidak kooperatif, serta
komunikasi terapeutik yang
perawat lakukan supaya
terjalin suatu hubungan
saling percaya atau disebut
dengan BHSP (Bina
Hubungan Saling Percaya)
antara perawat dengan pasien
gangguan jiwa.

Tabel 2.8 Riset Pendukung (Studi Literatur)


1.8 Kerangka Teori
TUGAS CAREGIVER
SKIZOFRENIA CAREGIVER  physical care
]
 social care
 emotional
care
GEJALA
 Positif  Quality care
 Negatif PERAWAT KELUARGA
 Lainnya
(Disorganisasi)

PERAWATAN FUNGSI KELUARGA


KLIEN 1. Fungsi afektif
SKIZOFRENIA 2. Fungsi sosialisasi dan status
 Terapi medis sosial
 Terapi non medis 3. Fungsi reproduksi
4. Fungsi ekonomi
5. Fungsi fisik/ perawatan
kesehatan

5 TUGAS KESEHATAN
KELUARGA
1. Mampu memutuskan
tindakan kesehatan yang
tepat bagi keluarga
2. Mampu merawat anggota
keluarga yang mengalami
gangguan kesehatan
3. Mampu mempertahankan
suasana di rumah yang
sehat
4. Memodifikasi lingkungan
untuk menjamin kesehatan
anggota keluarga serta,
5. Mampu memanfaatkan
pelayanan kesehatan di
sekitarnya bagi keluarga.

KOMUNIKASI TERAPEUTIK:
 Proses/fase komunikasi
terapeutik
 Teknik komunikasi terapeutik
 Penerapan bentuk komunikasi
terapeutik verbal & non verbal
 Hambatan pelaksanaan

Gambar 2.3 Kerangka teori

Anda mungkin juga menyukai