Anda di halaman 1dari 25

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Tentang Skizofrenia
2.1.1. Definisi Skizofrenia
Menurut Katona et al (2012) Skizofrenia menggambarkan mispresepsi
pikiran dan presepsi yang timbul dari pikiran atau imajinasi dari kenyataan,
mencakup waham dan halusinasi. Skizofrenia adalah gejala yang mengacu kepada
gangguan psikis yang ditandai oleh penyimpangan realitas, penarikan diri dari
interaksi sosial, juga disorganisasi persepsi, pikiran, dan kognisi (Wiramihardja,
2007).
Menurut Isaacs (2005) Skizofrenia adalah sekelompok reaksi psikotik
yang mempengaruhi berbagai individu termasuk berpikir dan komunikasi,
menerima dan menginterpretasikan realitas, merasakan dan memajukan emosi
serta perilaku dengan sikap yang tidak bisa diterima secara sosial. Skizofrenia
adalah suatu sindrom dengan variasi penyebab (banyak yang belum diketahui),
dan perjalanan penyakit (tidak selalu bersifat kronis) yang luas, serta sejumlah
akibat yang tergantung pada pengaruh genetik, fisik, dan sosial budaya (Kaplan et
al., 2010).

2.1.2 Epidemiologi
Skizofrenia dapat ditemukan pada semua kelompok masyarakat di
berbagai daerah. Insiden dan tingkat prevalensi secara kasar hampir sama di
seluruh dunia. Gangguan ini mengenai hampir 1% populasi dewasa dan biasanya
onsetnya pada usia remaja akhir atau awal masa dewasa. Menurut Howard, Castle,
Wessely, dan Murray, 1993 di seluruh dunia prevalensi seumur hidup skizofrenia
kira-kira sama antara laki-laki dan perempuan diperkirakan sekitar 0,2%-1,5%.
Pada laki-laki biasanya gangguan ini mulai pada usia lebih muda yaitu 15-25
tahun, sedangkan pada perempuan lebih lambat yaitu sekitar 25-35 tahun. Onset
untuk perempuan lebih rendah dibandingkan laki-laki, yaitu sampai umur 36
tahun, yang perbandingan risiko onsetnya menjadi terbalik, sehingga lebih banyak
perempuan yang mengalami skizofrenia pada usia yang lebih lanjut bila
dibandingkan dengan laki-laki (Durand, 2007).

5
6

2.1.3 Etiologi Skizofrenia


2.1.3.1 Teori Biologi
Teori biologi berfokus pada faktor genetik, faktor neuroanatomi dan
neurokimia, serta faktor imunovirologi. Menurut Doenges (2007) berikut
penyebab terjadinya skizofrenia, antara lain :
1) Faktor genetik, kebanyakan dari penelitian genetik berfokus pada keluarga
terdekat, seperti orang tua, saudara kandung, dan anak cucu untuk melihat
apakah skizofrenia diwariskan atau diturunkan secara genetik.
2) Faktor neuroanatomi dan neurokimia, penelitian menunjukan bahwa individu
penderita skizofrenia memiliki jaringan otak yang lebih sedikit, hal ini dapat
memperhatikan suatu kegagalan perkembangan atau kehilangan jaringan
selanjutnya.
3) Faktor imunovirologi, ada teori popular yang mengatakan bahwa perubahan
patologi otak pada individu penderita skizofrenia dapat disebabkan oleh
pajanan virus, atau respon imun tubuh terhadap virus dapat mengubah
fisiologi otak.

3.1.3.2 Teori Biokimia


Skizofrenia mungkin berasal dari ketidakseimbangan kimiawi otak yang
disebut neurotransmitter, yaitu kimiawi otak yang memungkinkan neuron-neuron
berkomunikasi satu sama lain. Beberapa ahli mengatakan bahwa skizofrenia
berasal dari aktivitas neurotransmitter dopamin yang berlebihan di bagian-bagian
tertentu otak atau dikarenakan sensitivitas yang abnormal terhadap dopamin.
Banyak ahli yang berpendapat bahwa aktivitas dopamin yang berlebihan saja
tidak cukup untuk skizofrenia. Beberapa neurotransmitter lain seperti serotonin
dan norepinephrin tampaknya juga memainkan peranan (Durand, 2007).

3.1.3.3 Teori Psikososial


Teori psikososial meliputi adanya faktor hereditas yang semakin lama
semakin kuat, adanya trauma yang bersifat kejiwaan, adanya hubungan orang tua-
anak yang patogenik, serta interaksi yang patogenik dalam keluarga
(Wiraminaradja, 2005).
7

Adanya pola interaksi dalam keluarga mempengaruhi penderita


skizofrenia. Sebagai contoh, istilah schizophregenic mother kadang-kadang
digunakan untuk mendeskripsikan tentang ibu yang memiliki sifat dingin,
dominan, dan penolak, yang diperkirakan menjadi penyebab skizofrenia pada
anak-anaknya (Durand, 2007).
Menurut katona (2012) Skizofrenia berhubungan dengan sosial ekonomi
dan kejadian hidup yang berlebihan pada tiga minggu sebelum onset gejala akut.
Penderita skizofrenia pada keluarga yang ekspresi emosi tinggi, keluarga yang
berkomentar kasar dan mengkritik memiliki peluang untuk kambuh. Selain itu,
adanya stressor psikososial menyebabkan perubahan dalam kehidupan sesseorang,
sehingga orang itu terpaksa mengadakan penyesuaian diri (adaptasi) untuk
menangggulangi stressor (tekanan mental) yang timbul. Pada umumnya jenis
stressor psikososial yang dimaksud dapat digolongkan sebagai berikut :
1) Perkawinan, berbagai permasalahan perkawinan merupakan sumber
stress yang dialami seseorang misalnya pertengkaran, perpisahan
(separation), perceraian (divorce), kematian salah satu pasangan,
ketidaksetiaan dan lain sebagainya.
2) Problem orangtua, permasalahan yang dihadapi orangtua, misalnya
tidak punya anak, kebanyakan anak, kenakalan anak, sakit dan
hubungan yang tidak baik dengan mertua, ipar, besan dan sebagainya.
3) Hubungan interpersonal, gangguan interpersonal ini dapat berupa
hubungan dengan kawan dekat yang mengalami konflik, atau konflik
dengan kekasih, konflik dengan rekan kerja, konflik antara atasan dan
bawahan dan lain sebagainya.
4) Pekerjaan, masalah pekerjaan dapat merupakan sumber stress pada diri
seseorang yang bila tidak dapat diatas yang bersangkutan dapat jatuh
sakit, misalnya kehilangan pekerjaan (PHK).
5) Keuangan, masalah keuangan (kondisi sosial-ekonomi) yang tidak
sehat, misalnya pendapatan jauh lebih rendah dari pengeluaran, terlibat
hutang, kebangkrutan usaha, soal warisan dan lain sebagainya.
8

6) Hukum, keterlibatan seseorang dalam masalah hukum dapat


merupakan sumber stress pula, misalnya tuntutan hukum, pengadilan,
penjara.
7) Perkembangan adalah masalah perkembangan baik fisik maupun
mental seseorang, misalnya masa remaja, masa dewasa, menopause,
usia lanjut dan sebagainya.
8) Sumber stress yang dapat mempengaruhi kondisi kejiwaan seseorang
anatar lain penyakit (terutama penyakit kronis), jantung, kanker,
operasi, kecelakaan dan lain-lain.
9) Faktor keluarga, yang dimaksud disini adalah faktor stress yang
dialami oleh anak dan remaja yang disebabkan karena kondisi keluarga
yang tidak baik.
10) Lain-lain, stressor kehidupan lainnya juga dapat menimbulkan
gangguan kejiwaan (stress pasca trauma) adalah antara lain bencana
alam, hura-hura, peperangan, kebakaran, perkosaan, kehamilan di luar
nikah.

2.1.4 Patofisiologi
Berikut adalah patofisiologi terjadinya skizofrenia :
1. Pada sistem limbik dan ganglia basal otak penderita skizofrenia berbeda
dengan orang normal, dimana ventrikel melebar, penurunan massa abu-abu,
dan pada beberapa area terjadi peningkatan serta penurunan aktivitas
metabolik.
2. Pada penyakit skizofrenia dapat terjadi karena kecenderungan genetik,
kelainan pada sistem kekebalan, perkembangan pada sistem saraf yang
gangguan, teori neurodegenerative, kelainan pada reseptor dopamin, dan
kelainan pada otak yaitu terjadi hiperaktivitas atau hipoaktivitas
dopaminergik.
3. Gejala positif berkaitan dengan hiperaktif reseptor dopamin di mesocaudate,
sedangkan gejala negatif dan kognitif berkaitan dengan hipofungsi reseptor
dopamin dalam korteks prefrontal.
9

4. Disfungsi glutamatergic. Kekurangan aktivitas glutamatergic menyebabkan


dopaminergik hiperaktif sehingga timbul gejala skizofrenia.
5. Kelainan pada serotonin (5-hydroxytriptamine [5-HT]), pada pasien
skizofrenia dengan scan otak yang abnormal memiliki konsentrasi 5-HT
yang lebih tinggi (dipiro et al., 2014).

2.1.5 Klasifikasi Skizofrenia


2.1.5.1 Skizofrenia Hebefrenik (Disorganized Type)
Skizofrenia hebefrenik atau disebut juga hebefrenia, menurut Maramis
(2008) permulaannya perlahan-lahan dan sering timbul pada masa remaja atau
antara 15–25 tahun. Gejala yang dominan adalah gangguan proses berpikir,
gangguan kemauan dan adanya depersonalisasi. Gangguan psikomotor seperti
perilaku kekanak-kanakan sering terdapat pada jenis ini.
Ciri utama skizofrenia tipe ini adalah regresi yang primitif, terdapat
gangguan pada pola pikir yang jelas, penampilan yang berantakan. Penderita juga
sering tertawa tanpa alasan yang jelas dan perilaku dianggap sebagai suatu yang
konyol (Sadock et al., 2015).

2.1.5.2 Skizofrenia Katatonik


Skizofrenia katatonik atau disebut juga katatonia, timbulnya pertama kali
antara umur 15-30 tahun dan biasanya akut serta sering didahului oleh stres
emosional. Mungkin terjadi gaduh gelisah katatonik atau stupor katatonik. Pada
stupor katatonik, penderita tidak menunjukan perhatian sama sekali terhadap
lingkungannya dan emosinya sangat dangkal. Secara tiba-tiba atau perlahan-lahan
penderita keluar dari keadaan stupor ini dan mulai berbicara dan bergerak. Gaduh
gelisah pada skizofrenia katatonik, terdapat hiperaktivitas motorik, tapi tidak
disertai dengan emosi yang semestinya dan tidak dipengaruhi oleh rangsangan
dari luar (Durand, 2007).
Ciri utama pada skizofrenia katatonik adalah gangguan pada psikomotor
yang dapat meliputi ketidakbergerakan motorik atau aktivitas motorik yang
berlebihan, negatifisme yang ekstrim, sama sekali tidak mau berbicara dan
10

berkomunikasi, gerakan-gerakan yang tidak terkendali, mengulang ucapan orang


lain, dan mengikuti tingkah laku orang lain (Arif, 2006).

2.1.5.3 Skizofrenia Undifferentiated


Skizofrenia Undifferentiated diklasifikasikan mengalami skizofrenia dari
jenis yang berbeda-beda. Penderita memiliki gejala-gejala utama skizofrenia tetapi
tidak memenuhi kriteria tipe paranoid, terdisorganisasi/hebefrenik, atau katatonik
(Durand, 2007).
Tipe Undifferentiated merupakan tipe skizofrenia yang menampilkan
perubahan pola simptom-simptom yang cepat menyangkut semua indikator
skizofrenia. Misalnya, indikasi kebingungan (confusion), emosi yang tidak dapat
dipegang karena berubah-ubah, adanya waham, referensi yang berubah-ubah atau
salah, autisme seperti mimpi dan sewaktu-waktu juga ada fase yang menunjukkan
ketakutan (Davison, 2006).

2.1.5.4 Skizofrenia Residual


Skizofrenia tipe residual ditandai dengan penarikan diri dari masyarakat,
afek datar, serta asosiasi longgar (Videback, 2008).
Menurut Arif (2006) Skizofrenia tipe residual ditetapkan bilamana pernah
ada paling tidak satu episode skizofrenia untuk suatu diagnosis yang meyakinkan,
persyaratan berikut ini harus dipenuhi :
a) Gejala negatif skizofrenia yang menonjol, misalnya perlambatan
psikomotor, aktivitas menurun, afek tumpul, sikap pasif, sulit berbicara,
komunikasi non verbal buruk seperti kontak mata, ekspresi muka, sikap
tubuh dan perawatan diri.
b) Sedikitnya ada riwayat psikotik yang jelas di masa lalu yang memenuhi
kriteria diagnosa untuk skizofrenia.
c) Sedikitnya sudah melampaui kurun waktu satu tahun dimana intensitas
dan frekkuensi gejala yang nyata seperti waham dan halusinasi telah
sangat berkurang dan telah timbul sindrom negatif skizofrenia.
11

2.1.5.5 Skizofrenia Paranoid


Jenis skizofrenia paranoid ditandai dengan delusi atau halusinasi pada
pendengaran. Penderita skizofrenia ini biasanya pertama kali muncul pada usia
20-an atau 30-an. Kepercayaan diri atau ego yang tinggi pada skizofrenia
paranoid lebih tinggi dari skizofrenia katatonik dan disorganized type. Skizofrenia
ini ditandai dengan kemunduran mental, respon emosi dan perilaku (Sadock et al.,
2015). Menurut Davison (2006) Ciri utama skizofrenia tipe ini adalah waham
yang mencolok atau halusinasi auditorik. Waham biasanya adalah waham kejar
atau waham kebesaran. Ciri-ciri lainnya meliputi ansietas, kemarahan, menjaga
jarak dan suka berargumentasi, dan agresif.

2.1.6 Gelaja Skizofrenia


Pada skizofrenia tidak terdapat gejala yang patognomik khusus. Adapun
manifestasi klinis yang diperhatikan pada pasien dengan skizofrenia terdiri dari
dua gejala, yaitu gelaja positif dan gejala negatif :
1. Gejala positif skizofrenia, antara lain : a) Delusi atau waham adalah suatu
keyakinan yang tidak rasional (tidak masuk akal) meskipun telah
dibuktikan secara objektif bahwa keyakinannya itu tidak rasional namun
penderita tetap meyakinkan kebenarannya; b) Halusinasi yaitu pengalaman
panca indera tanpa ada rangsangan (stimulus), misalnya penderita
mendengar suara-suara bisikan; c) kekacauan alam pikir, yang dapat
dilihat dari isi pembicaraan. Misalnya bicara kacau sehingga tidak dapat
diikuti alur pikirannya; d) gaduh, gelisah, tidak dapat diam, mondar
mandir, agresif, dan bicara dengan semangat dan gembira yang berlebihan;
e) merasa dirinya “orang besar”, merasa serba mampu, serba hebat dan
sejenisnya, pikiran penuh dengan kecurigaan atau seakan-akan ada
ancaman terhadap dirinya; dan f) Menyimpan rasa permusuhan.
2. Gejala negatif skizofrenia, antara lain : a) alam perasaan (affect) “tumpul”
dan “mendatar”. Gambaran alam perasaan ini dapat terlihat dari wajahnya
yang tidak menunjukkan ekspresi; b) Menarik diri (with drawn) tidak mau
bergaul atau kontak dengan orang lain, suka melamun (day dreaming); c)
Kontak emosional sedikit, sukar diajak bicara, pendiam; d) pasif dan
12

apatis, menarik diri dari pergaulan sosial; e) sulit dalam berfikir abstrak; f)
kehilangan dorongan kehendak (avolition) dan tidak ada inisiatif, tidak ada
upaya dari usaha, tidak ada spontanitas, monoton serta tidak ingin apa-apa
dan serba malas (kehilangan nafsu) (Hawari, 2007).

2.2 Tinjauan Tentang Terapi Skizofrenia


2.2.1 Terapi Nonfarmakologi
Terapi nonfarmakologi pada pasien skizofrenia berupa pendekatan
psikososial. Intervensi psikososial merupakan bagian dari perawatan yang
komprehensif dan dapat meningkatkan kesembuhan jika diintegrasikan dengan
terapi farmakologis. Intervensi psikososial ditujukan untuk memberikan dukungan
emosional pada pasien.
Terapi psikososial dimaksudkan penderita agar mampu kembali
beradaptasi dengan lingkungan sosial sekitarnya dan mampu merawat diri,
mampu mandiri tidak tergantung pada orang lain sehingga tidak menjadi beban
bagi keluarga dan masyarakat. Penderita selama ini menjalani terapi psikososial
ini hendaknya masih tetap mengkonsumsi obat psikofarmaka sebagaimana juga
halnya waktu menjalani psikoterapi (Kaplan et al., 2010).
Berikut beberapa terapi psikososial dalam penyakit skizofrenia, yaitu :
2.2.1.1 Terapi Kelompok
Terapi kelompok merupakan salah satu jenis terapi humanistik. Pada
terapi ini, beberapa penderita berkumpul dan saling berkomunikasi dan terapi
berperan sebagai fasilitator dan sebagai pemberi arah di dalamnya. Para
peserta terapi saling memberikan feedback tentang pikiran dan perasaan yang
dialami. Peserta diposisikan pada situasi sosial yang mendorong peserta untuk
berkomunikasi, sehingga dapat memperkaya pengalaman peserta dalam
kemampuan berkomunikasi (Durand, 2007).
Terapi kelompok bagi skizofrenia biasanya memusatkan pada rencana,
masalah, dan hubungan dalam kehidupan nyata. Kelompok mungkin
terorientasi secara perilaku, terorientasi secara psikodinamika, atau suportif.
Terapi kelompok efektif dalam menurunkan isolasi sosial, meningkatkan rasa
persatuan, dan meningkatkan tes realitas bagi pasien skizofrenia. Kelompok
13

yang memimpin dengan cara suportif, bukannya dalam cara interpretatif,


tampaknya paling membantu bagi pasien skizofrenia (Kaplan et al., 2010).

2.2.1.2 Terapi Perilaku


Terapi perilaku merupakan aplikasi dari prinsip belajar untuk pencegahan
perilaku maladaptif. Orientasi terapi ini terletak pada minatnya untuk
menangani dengan tepat keluhan yang akan ditampilkan pasien, dan melatih
pasien untuk mendapat keterampilan baru untuk mengendalikan kehidupan
agar lebih efektif (Wiramihardja, 2012).
Pendekatan perilaku menunjukan pandangan positif dan optimis terhadap
terhadap perilaku manusia yang dianggap tidak umum. Teknik untuk
mengurangi kecemasan biasanya berkaitan dengan memasangkan stimulus
yang menimbulkan kecemasan dengan stimulus netral. Pada kontrol stimulus
situasi di luar diri orang dikelola supaya perilaku yang diinginkan mucul dan
terus dilaksanakan. Apabila perilaku muncul dan menetap maka diberi
penguatan positif. Penguatan ada 2 macam yaitu penguatan positif dan
penguatan negatif, penguatan positif dapat berupa hadiah, sedangkan negatif
dapat berupa penghindaran atau penghilangan stimulus yang membuat tidak
nyaman dan tidak berkaitan dengan hukuman (Prawitasari, 2011).

2.2.1.3 Terapi Individual


Menegakan hubungan biasanya sulit dilakukan, pasien skizofrenia
seringkali kesepian dan menolak terhadap keakraban dan kepercayaan.
Adanya pengamatan yang cermat dari jauh, kesabaran dan ketulusan hati lebih
disukai daripada merendahkan diri (Kaplan et al., 2010).
Kunci dari terapi individu dengan pendekatan strategi pelaksanaan
komunikasi adalah bagaimana pasien dapat mengungkapkan perasaanya, dapat
mengungkapkan perilaku yang diperankannya dan menilainya sesuai dengan
kondisi realitas. Essensi dari terapi individu mencakup seluruh aspek
kehidupan yang menjadi beban psikisnya. Hal ini memungkinkan dalam
proses terapi individu masalah yang terjadi pada pasien akan dieksplorasi
14

sampai pada titik permasalahan yang krusial dan didiskusikan sesuai dengan
situasi, kondisi, serta kemampuan yang dimiliki pasien (Nasir, 2011).

2.2.2 Terapi Farmakologi


Obat-obatan yang digunakan untuk mengobati skizofrenia disebut
antipsikotik. Antipsikotik bekerja mengontrol halusinasi, delusi dan perubahan
pola pikir yang terjadi pada skizofrenia. Antipsikotik pertama diperkenalkan 50
tahun yang lalu dan merupakan terapi obat-obatan pertama yang efektif untuk
mengobati skizofrenia (Baihaqi, 2007). Terdapat 2 kategori obat antipsikotik yang
dikenal saat ini, yaitu antipsikotik tipikal dan antipsikotik atipikal (dipiro et al,
2014).
Antipsikotik memiliki aktivitas yang hampir sama terutama dalam mengeblok
aktivitas dari neurotransmitter dopamin. Namun, terdapat berbagai tipe
skizofrenia yang menggambarkan penyebab fisiologi yang berbeda maka dapat
dikatakan antipsikotik ini memiliki tingkat efektivitas yang berbeda untuk setiap
pasien yang berbeda. Pemilihan jenis antipsikosik mempertimbangkan gejala
psikosik yang dominan dan efek samping obat. Bila gejala negatif lebih menonjol
dari gejala positif pilihannya adalah obat antipsikotik atipikal (golongan generasi
kedua), sebaliknya jika gejala positif lebih menonjol dibandingkan gejala negatif
pilihannya adalah tipikal (golongan generasi pertama).

2.3 Obat-obat Antipsikotik


Obat antipsikotik bekerja dengan cara memblok aktivitas dopamin dan
reseptor serotonin (5-HT2A). Obat antipsikotik dibagi menjadi dua yaitu
antipsikotik tipikal dan antipsikotik atipikal. Obat antipsikotik atipikal
mempunyai efek esktrapiramidal yang lebih ringan. Kedua jenis obat menghambat
beberapa reseptor antara lain reseptor α adrenergic, asetilkolin muskarinik dan
histamin (Nugroho, 2011).
2.3.1 Antipsikotik Tipikal
Obat yang bekerja dengan menghambat reseptor dopamin terutama D 2 dan
juga menghambat asetilkolin muskarinik, α adrenergic, histamine (H-1) dan
serotonin (5-HT2A). Aktivitas antipsikotik tipikal berkaitan dengan aktivitas pada
15

reseptor D2. Obat yang termasuk golongan tipikal adalah klorpromazin,


haloperidon, asetofenazin, klorprotiksen, mesoridazen, perfenazin, thioridazin dan
proklorferazin.

Efek yang dihasilkan dari penggunaan obat yaitu ekstrapiramidal meliputi


dystonia akut, akatisia, gejala parkinsonism, dan tardive dyskinesia. Efek tersebut
disebabkan karena pengeblokan reseptor D2 di bagian striatum pada basal ganglia
(Nugroho, 2011).

Tabel II.1 Obat Antipsikotik Tipikal

Nama Generik Nama Dosis awal Dosis Bentuk sediaan


Dagang (mg/hari) Harian
(mg/hari)
Chlorpromazine Thorazine, 50-150 300-1000 Tablet 10, 25, 50,
Promactil, 100, 200 mg
Cepezet
Fluphenazine Prolixin, 5 5-20 Tablet 1, 2.5, 5, 10
Permitil, mg
Moditen HCl
Haloperidol Haldol, 2-5 2-20 Tablet 0.5, 1, 2, 5, 10,
Govotil 20 mg
Loxapine Loxitane 20 50-150 Kapsul 5, 10, 25, 50
mg
Perphenazine Trilafon 4-24 16-64 Tablet 2, 4, 8, 16 mg
Thioridazine Mellaril 50-150 100-800 Tablet 10, 15, 25, 50,
100, 150, 200 mg
Thiothixene Navane 4-10 4-50 Kapsul 1, 2, 5, 10, 20
mg
Trifluoperazine Stelazine, 2-5 5-40 Tablet 1,2,5, 10 mg
Stelosi
(dipiro et al., 2014)

2.3.2 Antispikotik Atipikal


Obat antipsikotik atipikal memiliki efek farmakologi penghambatan pada
reseptor 5-HT2A dan D2. Kemampuan lebih besar yaitu mengubah aktivitas resptor
5-HT2A daripada mengintervensi efek reseptor D2. Obat bekerja sebagai agonis
parsial terhadap reseptor 5-HT1A, yang menghasilkan efek sinergistik dengan
antagonism reseptor 5-HT2A. Obat golongan antipsikotik atipikal adalah klozapin,
asenapin, olanzapine, kuetiapin, paliperidon, resperidon, sertindol, ziprasidon dan
aripiprazol (Katzung, 2013).
16

Tabel II.2 Obat Antipsikotik Atipikal

Nama Nama Dosis awal Dosis Harian Bentuk sediaan


Generik Dagang (mg/hari) (mg/hari)
Aripiprazole Abilify 5-15 15-30 Tablet 2, 5, 10, 20,
30 mg
Asenapine Saphris 5 10-20 Tablet 10, 25, 50,
100, 200 mg
Clozapine Clozaril, 25 100-800 Tablet 25, 50, 100,
Clorilex, 200 mg
sizoril
Iloperidone Fanapt 1-2 6-24 Tablet
Lurasidone Latuda 20-40 40-120 Tablet
Olanzapine Zyprexa, 5-10 10-20 Tablet 2.5, 5, 7.5,
onzapin 10, 15, 20 mg
Paliperidone Invega 3-6 3-12 Tablet lepas-panjang
3, 6, 9 mg
Quetiapine Seroquel 50 300-800 Tablet 25, 50, 100,
200, 300, 400 mg
Resperidone Risperdal, 1-2 2-8 Tablet 0.25, 0.5, 1,
Rizodal, 2, 3, 4 mg
Noprenia
Ziprasidone Geodon 40 80-160 Kapsul 20, 40, 60,
80 mg
(dipiro et al., 2014)

2.3.3 Efek Samping Obat Antipsikotik


Pada pasien skizofrenia mengkonsumsi obat dalam jangka waktu yang lama
menyebabkan munculnya berbagai efek samping yang tidak diinginkan. Efek
samping yang muncul berupa tardive dyskinesia dimana terjadi pergerakan mulut
dan wajah yang tidak dapat dikontrol, untuk mengurangi efek samping ini dengan
menurunkan dosis dari obat antipsikotik. Selain itu, gangguan fungsi seksual
untuk mengatasinya biasanya menggunakan dosis efektif terendah atau mengganti
dengan obat antipsikotik yang efek sampingnya lebih sedikit (Irwan, 2008).
Adanya efek antikolinergik berupa mulut kering dan pandangan kabur, cara
mengatasi mulut kering yaitu dengan mengunyah permen karet (Dipiro et al.,
2014)
Efek samping lain yang biasanya muncul penggunaan obat antipsikotik
adalah Ekstrapiramidal Sindrom. Ekstrapiramidal dapat berupa tremor pada
tangan dan kaki. Selain itu, adanya kekakuan pada pergerakan sehingga menjadi
17

lebih lambat. Cara mengatasinya pasien harus bergerak (berjalan) setiap waktu
untuk mengatasi efek samping yang ditimbulkan (Kaplan et al., 2016).

2.4 Pengobatan Skizofrenia


2.4.1 Tujuan Pengobatan Skizofrenia
Tujuan dari pengobatan skizofrenia adalah untuk mengurangi gejala yang
timbul, meningkatkan fungsi psikososial dan mengembalikan aktivitas pasien
menjadi lebih produktif (pasien dapat melakukan aktivitas sehari-hari) serta
tercapainya terapi pengobatan yang sesuai. Mengurangi gejala merupakan tujuan
utama terapi skizofrenia dan pilihan obat yang tepat akan mengurangi gejala yang
ada (Dipiro et al., 2014).
Menurut Ikawati (2011) tujuan pengobatan skizofrenia adalah mengembalikan
fungsi normal pasien dan mencegah kekambuhan. Sasaran terapinya bervariasi
berdasarkan tahapan dan keparahan penyakit. Pada tahap akut, sasarannya adalah
mengurangi atau menghilangkan gejala psikotik dan meningkatkan fungsi normal
pasien. Sedangkan pada tahap stabilisasi, sasarannya adalah mengurangi resiko
kekambuhan dan tahap stabil meningkatkan adaptasi pasien terhadap kehidupan
dalam masyarakat.
Pada pengobatan skizofrenia berupa obat antispikosis merupakan terapi dalam
kesembuhan penyakit skizofrenia. Namun, pengobatan farmakologi berupa
antipsikotik saja tidak cukup sehingga perlu adanya terapi nonfarmakologi berupa
psikososial. Terapi psikososial merupakan suatu pendukung yang dapat
diterapkan untuk kesembuhan pasien. Hal ini menjadikan pasien skizofrenia lebih
efektif jika meggunakan dua kombinasi terapi yaitu antipsikotik dan psikososial
untuk meningkatkan kesembuhan (Kaplan et al., 2016).

2.4.2 Komponen Pengobatan Skizofrenia


Komponen pengobatan skizofrenia menurut National Institute Of Mental
Health (2016) berupa :
1. Pengobatan aktif berupa pemberian terapi yang tegas untuk memastikan
bahwa pasien tetap dalam program pengobatan. Kepatuhan pengobatan
18

ditekankan. Pasien skizofrenia yang kurang patuh terhadap pengobatan


mungkin bermanfaat melalui pendekatan yang komprehensif tersebut.
2. Adanya dukungan keluarga merupakan sebuah prinsip bahwa anggota
keluarga harus terlibat dalam proses pengobatan pasien. Anggota keluarga
umumnya berkontribusi dalam perawatan pasien dan memerlukan
pendidikan, bimbingan, dan dukungan, serta pelatihan untuk membantu
mengoptimalkan dan meningkatkan kesejahteraan pasien baik dalam
pemberian obat maupun dalam memecahkan masalah yang dihadapi
pasien.
3. Rehabilitasi menekankan pada pelatihan sosial dan kejujuran untuk
membantu pasien skizofrenia berpartisipasi dalam komunitas. Program
rehabilitasi dapat mencakup layanan konseling dan pelatihan keterampilan
untuk mempertahankan hubungan yang positif.

2.4.3 Pengobatan Tahap Akut


Tujuan pengobatan tahap akut adalah untuk mencegah keparahan psikosis
yang berhubungan dengan agitasi (kegelisahan), kecemasan dan ketakutan
berkaitan dengan gejala akut yang dialami pasien. Pada tahap ini, adanya
hubungan antara psikiatri dan anggota keluarga maupun pihak lain sangat
membantu dalam kesembuhan pasien. Selain itu, penggunaan obat antipsikotik
baik tipikal maupun atipikal segera pada tahap akut karena berhubungan dengan
gangguan emosi dan gangguan terhadap kehidupan pasien dan membahayakan
diri sendiri serta orang lain. Pemberian obat biasanya digunakan parenteral
karena memberikan efek yang lebih cepat dari pemberian peroral (Lehman et al.,
2010).

2.4.4 Pengobatan Tahap Stabilisasi


1. Pada tahap stabilisasi bertujuan untuk mencegah kekambuahan,
meminimalkan stress pada pasien, meningkatkan pemulihan dan
meningkatkan adaptasi pasien hidup di masyarakat.
2. Pada tahap ini pengobatan antipsikotik dikontrol. Penghentian pengobatan
dan menurunan dosis dapat menyebabkan kekambuhan pada pasien.
19

3. Adanya keluarga dalam kepatuhan pengobatan pada pemberian obat


kepada pasien lebih efektif. Hal ini untuk mengajarkan ketrampilan
pengobatan yang bermanfaat sehingga dapat mengatasi kekambuhan dan
efek samping (Kaplan et al., 2016)

2.4.5 Pengobatan Tahap Stabil


1. Pada tahap stabil bertujuan untuk menentukan pasien mendapatkan
manfaat dari pengobatan.
2. Pada tahap ini, pemantauan efek samping harus dilakukan secara teratur
3. Pengobatan psikososial menunjukan efektifitas kesembuhan pasien berupa
dukungan keluarga, pengobatan komunitas dan keterampilan sosial.
4. Pengobatan antipsikotik pada tahap stabil merupakan terapi jangka
panjang untuk meminimalkan resiko kekambuhan. Penggunaan dosis yang
minimal dalam tahap stabil untuk mencegah timbulnya efek samping yang
tidak diinginkan (Lehman et al., 2010).

2.5 Tinjauan Tentang Perilaku dan Perilaku Kesehatan


2.5.1 Perilaku
Perilaku adalah hasil dari segala macam pengalaman serta interaksi manusia
dengan lingkungannya yang terwujud dalam bentuk pengetahuan, sikap dan
tindakan (Azwar, 2011). Menurut Ali (2010) Perilaku adalah respon atau interaksi
individu terhadap stimulasi yang berasal dari luar dan atau dari dalam dirinya.
Perilaku dari pandangan biologis merupakan suatu kegiatan atau aktivitas
organisme yang bersangkutan. Jadi perilaku manusia pada hakikatnya adalah
suatu aktivitas daripada manusia itu sendiri (Notoatmodjo, 2007).

2.5.2 Latar Belakang Perilaku


Menurut Anies (2006) Perilaku kesehatan bertitik tolak dari kenyataan
bahwa perilaku itu merupakan fungsi dari 5 hal, yaitu :
1. Niat seseorang untuk bertindak sehubungan dengan kesehatan atau
perawatan kesehatannya (behavior intention)
2. Dukungan sosial dari masyarakat sekitar (social support)
20

3. Ada atau tidak adanya informasi, baik tentang kesehatan maupun tentang
fasilitas kesehatan (accessibility of information)
4. Otonomi pribadi yang bersangkutan dalam mengambil tindakan atau
keputusan (personal autonomy)
5. Situasi yang memungkinkan untuk bertindak (action situation)

2.5.3 Perilaku Kesehatan


Perilaku kesehatan adalah tindakan atau aktivitas seseorang terhadap
rangsangan yang berkaitan dengan sakit atau penyakit, sistem pelayanan
kesehatan, makanan, dan lingkungan. Respon atau reaksi organisme dapat
berbentuk pasif (perilaku tertutup, atau tanpa tindakan) dan aktif (perilaku
terbuka, tindakan yang nyata atau practice) (setiawati, 2008). Perilaku kesehatan
menurut Notoatmodjo (2007) merupakan suatu respon dari seseorang berkaitan
dengan masalah kesehatan, penggunaan pelayanan kesehatan, pola hidup, maupun
lingkungan sekitar yang mempengaruhi.
Berikut adalah beberapa rangsangan yang terkait dengan perilaku kesehatan
terdiri dari tiga unsur, yaitu :
1. Perilaku terhadap sakit atau penyakit
Perilaku tentang bagaimana respon seseorang menanggapi rasa sakit dan
penyakit yang bersifat respons internal (berasal dari dalam dirinya) maupun
eksternal (dari luar dirinya). Perilaku sakit didefinisikan sebagai cara dimana
gejala ditanggapi, dievaluasi, dan diperankan oleh seorang individu yang
mengalami sakit, kurang nyaman, atau tanda-tanda lain dari fungsi tubuh yang
kurang baik (Anderson, 2009).
Perilaku pencegahan penyakit, dan penyembuhan penyakit bila sakit serta
pemulihan kesehatan bilamana telah sembuh dari penyakit. Perilaku
pencegahan ini merupakan respon untuk melakukan pencegahan penyakit,
termasuk juga perilaku untuk tidak menularkan penyakit kepada orang lain
(Notoatmodjo, 2007).

2. Perilaku terhadap sistem pelayanan kesehatan


21

Perilaku ini adalah respon individu terhadap pelayanan kesehatan yang


meliputi fasilitas, petugas dan cara pelayanan kesehatan baik pelayanan modern
maupun tradisional.
Pelayanan kesehatan adalah setiap upaya yang diselenggarakan sendiri
atau secara bersama-sama dalam suatu organisasi untuk memelihara dan
meningkatkan kesehatan, mencegah dan menyembuhkan penyakit serta
memulihkan kesehatan perorangan, keluarga, kelompok dan atupun masyarakat
(Depkes RI, 2009).

3. Perilaku terhadap makanan (nutrition behavior)


Respon individu terhadap lingkungan sebagai faktor penentu kesehatan
manusia. Dengan kata lain, bagaimana seseorang mengelola lingkungannya
sehingga tidak menggangu kesehatan. Tubuh manusia tumbuh karena adanya
zat-zat yang berasal dari makanan. Adanya pengetahuan tentang zat-zat gizi
seseorang akan mampu menyediakan dan menghidangkan makanan secara
seimbang, dalam arti komposisi ini penting untuk pertumbuhan dan
perkambangan.
Adapun fungsi makanan bagi tubuh adalah mengurangi dan mencegah rasa
lapar, mengganti sel-sel tubuh yang rusak, untuk pertumbuhan badan, sebagai
sumber tenaga, dan membantu pertumbuhan penyakit. Selain makanan, yang
harus diperhatikan adalah minuman (Notoatmodjo, 2010).

2.5.4 Klasifikasi Perilaku Kesehatan


Kholid (2012) mengklasifikasikan perilaku yang berhubungan dengan
kesehatan sebagai tiga bentuk perilaku, sebagai berikut :
1) Perilaku kesehatan (health behavior), yaitu perilaku-perilaku yang
berkaitan dengan upaya kegiatan seseorang dalam memelihara dan
meningkatkan kesehatannya.
2) Perilaku sakit (illness behavior) perilaku sakit ini mencakup respon
seseorang terhadap sakit dan penyakit, presepsinya terhadap sakit,
pengetahuan tentang penyebab dan gejala penyakit, dan pengobatan
penyakit.
22

3) Perilaku peran sakit (the sick role behavior) yaitu tindakan atau kegiatan
seseorang yang sedang sakit untuk memperoleh kesembuhan, dan
mengenal fasilitas atau sarana pelayanan kesembuhan yang layak, dan
mengetahui hak (memperoleh pelayanan kesehatan) dan kewajiban orang
sakit (tidak menularkan penyakitnya, memberitahukan penyakitnya, dan
sebagainya).

2.5.5 Perubahan Perilaku Kesehatan


Lawrence Green menyatakan bahwa perilaku kesehatan manusia
dipengaruhi oleh dua faktor pokok, yaitu faktor perilaku (behavior causes) dan
faktor non perilaku (non behavior causes). Faktor perilaku itu sendiri dipengaruhi
oleh tiga faktor, yaitu :
2.5.5.1 Faktor-faktor predisposisi (predisposing factors)
Faktor-faktor predisposisi (predisposing factors) yang terwujud dalam
pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai, dan sebagainya.
2.5.5.2 Faktor-faktor pendukung (enabling factors)
Faktor-faktor pendukung (enabling factor), yang terwujud dari dalam
bentuk lingkungan fisik, tersedia atau tidak tersedianya fasilitas-fasilitas atau
sarana-sarana kesehatan, misalnya puskesmas, obat-obatan, alat-alat kontrasepsi,
jamban dan sebagainya.
2.5.5.3 Faktor-faktor pendorong (reinforcing factors)
Faktor pendorong atau penguat (reinforcing factors) yang terwujud
dalam sikap dan perilaku petugas kesehatan atau petugas lain, keluarga yang
merupakan referensi dari perilaku (Notoatmodjo, 2010).

2.6 Tinjauan Tentang Dukungan Keluarga


2.6.1 Definisi
Dukungan keluarga merupakan bantuan yang diberikan oleh anggota
keluarga yang lain sehingga akan memberikan kenyamanan fisik dan psikologis
pada orang yang dihadapkan pada situasi stress (Taylor, 2006). Menurut Potter
(2009) Dukungan keluarga merupakan bentuk pemberian dukungan terhadap
anggota keluarga lain yang mengalami permasalahan, yaitu memberikan
23

dukungan pemeliharaan, emosional untuk mencapai kesejahteraan anggota


keluarga dan memenuhi kebutuhan psikososial. Dukungan keluarga terkait dengan
kesejahteraan dan kesehatan dimana lingkungan keluarga menjadi tempat individu
belajar seumur hidup.
Sedangkan keluarga adalah dua atau lebih dari dua individu yang tergabung
karena hubungan darah, hubungan perkawinan atau pengangkatan dan mereka
hidup dalam satu rumah tangga, berinteraksi satu sama lain dan didalam perannya
masing-masing menciptakan serta mempertahankan kebudayaan (Friedman,
2010).

2.6.2 Bentuk Dukungan Keluarga


Keluarga yang berhasil, berfungsi dengan baik, bahagia dan kuat tidak
hanya seimbang dalam hal pemberian perhatian terhadap anggota keluarga lain,
menggunakan waktu bersama-sama, memiliki pola komunikasi yang baik,
memiliki tingkat orientasi yang tinggi terhadap agama, tetapi juga dapat
menghadapi krisis dengan pola yang positif. Krisis dalam keluarga dapat lebih
dimengerti apabila tiap tahap perkembangan keluarga diteliti karena setiap tahap
membutuhkan peran. Berikut adalah beberapa bentuk dukungan dalam keluarga
yaitu:
1) Dukungan Penilaian
Dukungan penilaian meliputi pertolongan pada individu untuk memahami
kejadian depresi dengan baik dan juga sumber depresi dan strategi koping
yang dapat digunakan dalam menghadapi stressor. Dukungan ini terjadi bila
ada ekspresi penilaian yang positif terhadap individu. Individu mempunyai
seseorang yang dapat diajak bicara tentang masalah mereka, terjadi melalui
ekspresi pengharapan positif individu kepada individu lain, penyemangat,
persetujuan terhadap ide-ide atau perasaan seseorang dan perbandingan positif
seseorang dengan orang lain, misalnya orang yang kurang mampu (Friedman,
2010).
Keluarga bertindak sebagai sebuah umpan balik, membimbing, menengahi
pemecahan masalah, sebagai sumber dan validator identitas keluarga.
Dukungan ini dalam bentuk suatu penghargaan yang diberikan kepada
24

anggota keluarga yang mempunyai permasalahan-permasalahan. Penilaian ini


bisa negatif dan positif dimana pengaruhnya sangat besar kepada individu
(Setiadi, 2008).

2) Dukungan Instrumental
Dalam dukungan instumental sebagian keluarga telah memberikan
dukungan kepada anggota keluarganya yang menderita gangguan jiwa dengan
baik dan positif, keluarga mampu melakukan perannya sebagai keluarga
dengan baik dengan memberikan dukungan berupa pengobatan, mengantarkan
penderita untuk kontrol dan mengawasi dalam meminum obat. Bentuk
dukungan tersebut yaitu:
a) Mengantarkan penderita malakukan pengobatan
b) Melakukan dan mengantarkan penderita untuk kontrol ke pelayanan
kesehatan dengan rutin
c) Memberikan obat kepada penderita sesuai dengan anjuran yang diberikan
d) Melakukan pengawasan terhadap penderita yang meminum obat untuk
memastikan obat tersebut di minum (Hartanto, 2014)
Keluarga merupakan sebuah sumber pertolongan praktis dan konkrit.
Dukungan instrumental keluarga merupakan suatu dukungan atau bantuan
penuh dari keluarga dalam bentuk memberikan bantuan tenaga, dana, maupun
meluangkan waktu untuk membantu atau melayani dan mendengarkan
penderita dalam menyampaikan perasaannya.

3) Dukungan Informasional
Dukungan informasional meliputi komunikasi dan tanggung jawab
bersama, termasuk di dalamnya memberikan solusi dari masalah, memberikan
nasehat, pengarahan, saran, atau umpan balik tentang apa yang dilakukan oleh
seseorang. Keluarga dapat menyediakan informasi dengan menyarankan
tentang dokter, terapi yang baik bagi dirinya, dan tindakan spesifik bagi
individu untuk melawan stressor. Individu yang mengalami depresi dapat
keluar dari masalahnya dan memecahkan masalahnya dengan dukungan dari
keluarga dengan menyediakan feed back. Pada dukungan informasi ini
25

keluarga sebagai penghimpun informasi dan pemberi informasi (Christine,


2010).

4) Dukungan Emosional
Dukungan emosional memberikan individu perasaan nyaman, merasa
dicintai saat mengalami depresi, bantuan dalam bentuk semangat, empati, rasa
percaya, perhatian sehingga individu yang menerimanya merasa berharga.
Pada dukungan emosional ini keluarga menyediakan tempat istirahat dan
memberikan semangat (Friedman, 2010).
Selama stressor berlangsung, individu sering menderita secara emosional,
sedih, cemas, dan kehilangan harga diri. Jika depresi mengurangi perasaan
seseorang akan hal dimiliki dan dicintai. Dukungan emosional memberikan
individu perasaan nyaman, merasa dicintai saat mengalami depresi, bantuan
dalam bentuk semangat, empati, rasa percaya, perhatian sehingga individu
yang menerimanya merasa berharga. Pada dukungan emosional ini keluarga
menyediakan tempat istirahat dan memberikan semangat (Christine, 2010).

Keluarga memiliki tugas dalam bidang kesehatan, berikut adalah hal


yang harus dilakukan keluarga yaitu :
a) Mengenal masalah kesehatan setiap anggotanya. Kesehatan merupakan
kebutuhan keluarga yang tidak boleh diabaikan karena tanpa kesehatan
segala sesuatu tidak akan berarti. Orang tua perlu mengenal keadaan
kesehatan dan perubahan-perubahan yang dialami anggota keluarga.
Perubahan sekecil apapun yang dialami anggota keluarga secara tidak
langsung menjadi perhatian dan tanggung jawab keluarga.
b) Mengambil keputusan untuk melakukan tindakan kesehatan yang tepat
bagi keluarga. Tugas ini merupakan upaya keluarga yang utama untuk
mencari pertolongan yang tepat sesuai dengan keadaan keluarga, dengan
pertimbangan siapa diantara keluarga yang mempunyai kemampuan
memutuskan untuk menentukan tindakan keluarga. Tindakan kesehatan
yang dilakukan oleh keluarga diharapkan tepat agar masalah kesehatan
dapat dikurangi atau bahkan teratasi.
26

c) Memberikan keperawatan anggota keluarga yang sakit atau yang tidak


dapat membantu dirinya sendiri karena keadaan fisik. Perawatan ini dapat
dilakukan di rumah apabila keluarga memiliki kemampuan melakukan
tindakan agar masalah yang parah tidak terjadi.
d) Mempertahankan suasana rumah yang menguntungkan kesehatan dan
perkembangan kepribadian anggota keluarga. Keluarga memainkan peran
yang bersifat mendukung anggota keluarga yang sakit. Dengan kata lain perlu
adanya sesuatu kecocokan yang baik antara kebutuhan keluarga dan asupan
sumber lingkungan bagi pemeliharaan kesehatan anggota keluarga.
e) Mempertahankan hubungan timbal balik antara keluarga dan lembaga
kesehatan (pemanfaatan fasilitas kesehatan yang ada). Hubungan yang
sifatnya positif akan memberi pengaruh yang baik pada keluarga mengenai
fasilitas kesehatan. Diharapkan dengan hubungan yang positif terhadap
pelayanan kesehatan akan merubah setiap perilaku anggota keluarga ( Setiadi,
2008).

2.7 Tinjauan tentang Kepatuhan


2.7.1 Definisi
Kepatuhan adalah suatu perubahan perilaku dari perilaku yang tidak mentaati
peraturan ke perilaku yang mentaati peraturan (Notoatmodjo, 2007). Menurut
Stanley (2007) Kepatuhan adalah tingkat perilaku pasien yang tertuju terhadap
intruksi atau petunjuk yang diberikan dalam bentuk terapi apapun yang
ditentukan, baik diet, latihan, pengobatan atau menepati janji pertemuan dengan
dokter.
Menurut Hussar (2005), faktor-faktor yang mempengaruhi ketidakpatuhan
seseorang terhadap penggunaan obat adalah :
1. Penyakit
Jenis penyakit juga ikut mempengaruhi ketidakpatuhan seseorang
terhadap pengobatan penyakit yang diderita, misalnya pada pasien dengan
penyakit kronis lebih cenderung pada perilaku tidak patuh.
2. Therapeutic regimen
Therapeutic regimen yang tidak sesuai atau tidak tepat dapat
mempengaruhi ketidakpatuhan seseorang terhadap penggunaan obat.
27

a) Multiple drug therapy


Seseorang yang harus menggunakan lebih dari satu jenis obat akan
lebih mengalami kesulitan untuk patuh jika dibandingkan dengan
seseorang yang hanya menggunakan satu jenis obat saja.
b) Frekuensi pengobatan (frequency of administration)
Pada pengobatan dengan frekuensi yang lebih sering akan
terganggu oleh aktivitas pekerjaan rutin yang dilakukan. Sehingga
akan membawa pasien untuk lebih tidak patuh dalam pengobatan.
c) Lama Pengobatan (duration of therapy)
Derajat ketidakpatuhan seseorang terhadap pengobatan akan
semakin meningkat dengan meningkatnya lama pengobatan yang
dialami.
d) Efek samping (adverse reaction)
Efek samping yang tidak menyenangkan dialami oleh pasien akan
meningkatkan ketidakpatuhan terhadap pengobatan.
e) Hilangnya gejala (patient may be asymptomatic)
Dalam beberapa kasus pasien mengalami gejala sakit yang sudah
hilang dan keadaan membaik pasien akan segera menghentikan
pengobatan sebelum waktunya karena merasa sudah cukup
menghilangkan gejala sakit yang dialami.
f) Biaya pengobatan (cost of medication)
Mahalnya biaya pengobatan telah dinyatakan oleh beberapa pasien
sebagai alasan untuk tidak mengambil penuh pengobatan yang
diresepkan.
g) Pengukuran yang salah (administration of medication)
Meskipun pasien sudah patuh terhadap pengobatan tetapi yang
terjadi adalah pengukuran jumlah obat yang salah, hal ini mungkin
disebabkan perangkat yang digunakan salah, misalnya : takaran sendok
yang bervariasi.
h) Rasa obat (taste of medication)
Rasa dari obat yang digunakan adalah salah satu faktor utama yang
mempengaruhi kepatuhan pengobatan terutama anak-anak.
28

3. Interaksi pasien dengan tenaga kesehatan


Kualitas dan efektifitas interaksi antara pasien dengan dokter dan
pasien dengan farmasi merupakan faktor penentu utama dalam hal
pemahaman pasien, sikap pasien terhadap penyakitnya dan regimen
terapinya. Salah satu yang menjadi kebutuhan pasien adalah psychological
support atau dukungan psikologis.

2.7.2 Cara meningkatkan Kepatuhan


Menurut Niven (2002) mengusulkan lima titik rencana untuk mengatasi
ketidakpatuhan pasien :
a) Pasien harus mengembangkan tujuan kepatuhan serta memiliki keyakinan dan
sikap yang positif terhadap suatu penatalaksanaan, dan keluarga serta teman
juga harus mendukung keyakinan tersebut.
b) Perilaku sehat sangat dipengaruhi oleh kebiasaan, maka dari itu perlu
dikembangkan suatu strategi yang bukan hanya untuk mengubah perilaku,
tetapi juga untuk mempertahankan perubahan tersebut. Perilaku disini
membutuhkan pemantau terhadap diri sendiri, evaluasi diri dan penghargaan
terhadap perilaku yang baru tersebut.
c) Pengontrolan terhadap perilaku sering tidak cukup untuk mengubah perilaku
itu sendiri.
d) Dukungan sosial dalam bentuk dukungan emosional dari anggota keluarga
yang lain, teman dapat membantu mengurangi ansietas, mereka dapat
menghilangkan godaan pada ketidakpatuhan, dan mereka sering menjadi
kelompok pendukung untuk mencapai kepatuhan.
e) Dukungan dari professional kesehatan, terutama berguna saat pasien
menghadapi perilaku sehat yang penting untuk dirinya sendiri. Selain itu
tenaga kesehatan juga dapat meningkatkan antusias terhadap tindakan tertentu
dan memberikan penghargaan yang positif bagi pasien yang telah mampu
beradaptasi dengan program pengobatannya.
29

2.7.3 Metode Mengukur Kepatuhan


Menurut Hussar (2005) pengukuran kepatuhan dapat diukur dengan dua
metode, yaitu :
2.7.3.1 Metode Langsung
Metode langsung (direct methods) yaitu bias dengan mengukur
konsentrasi obat di dalam cairan biologis pasien.
2.7.3.2 Metode Tidak Langsung
Metode tidak langsung (indirect methods) yaitu bias dengan self report
dan interview atau wawancara dengan pasien, metode ini merupakan yang
paling simple. Pill count juga merupakan metode deteksi lainnya yang dapat
mengukur kepatuhan penggunaan obat pasien.

Anda mungkin juga menyukai