Anda di halaman 1dari 8

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Definisi skizofrenia adalah gangguan jiwa berat yang ditandai dengan

penurunan atau ketidakmampuan berkomunikasi, gangguan realitas

(halusinasi atau waham), afek tidak wajar, gangguan kognitif (tidak mampu

berpikir abstrak) serta kesulitan melakukan aktivitas sehari-hari (Keliat

dkk,2011). Menurut Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa

III (PPDGJ III), skizofrenia dijelaskan sebagai gangguan jiwa yang ditandai

dengan distorsi khas dan fundamental dalam pikiran dan persepsi yang

disertai dengan adanya afek yang tumpul atau tidak wajar.

Menurut data WHO, prevalensi pasien skizofrenia sekitar 0,2% hingga

2% atau berjumlah 24 juta pasien di seluruh dunia. Insidensi atau kasus baru

yang muncul tiap tahun sekitar 0,01% (Lesmanawati, 2012). Data dari

Riskesdas 2013 menyatakan prevalensi pasien gangguan jiwa berat di

Indonesia sebesar 1,7 per mil. Prevalensi terbanyak adalah Propinsi DI

Yogyakarta (2,7 per mil), Aceh (2,7 per mil), Sulawesi Selatan (2,6 per mil),

Bali (2,3 per mil), dan Jawa Tengah (2,3 per mil) (Lesmanawati, 2012). Di DI

Yogyakarta terdapat Rumah Sakit Jiwa yang merupakan RSJ rujukan

diseluruh provinsi Yogyakarta yaitu RSJ Grhasia.

American Psychiatric Association (APA) menyatakan bahwa

perjalanan penyakit skizofrenia terdiri dari tiga fase yaitu fase akut, fase

1
2

stabilisasi dan fase stabil (Reverger, 2012), sehingga sasaran terapi bervariasi

berdasarkan fase dan keparahan penyakit (Melatiani dkk, 2013). Pada fase

akut, sasarannya adalah mengurangi atau menghilangkan gejala psikotik dan

meningkatkan fungsi normal pasien. Pada fase stabilisasi, sasarannya adalah

mengurangi resiko kekambuhan dan meningkatkan adaptasi pasien terhadap

kehidupan dalam masyarakat (Melatiani dkk, 2013). Terapi pada fase akut

selama 7 hari pertama, terapi stabilisasi selama 6-8 minggu dan terapi fase

stabil dilakukan sekitar 5 tahun (Dipiro dkk, 2009).

Terapi yang bisa digunakan adalah terapi non farmakologi dan

farmakologi.Terapi farmakologi berupa obat antipsikotik yang dibagi menjadi

2 golongan yaitu antipsikotik tipikal atau generasi pertama, seperti

Amitriptilin, Klorpromazin, Flufenazin, Haloperidol, Loksapin, Molindon,

Ferfenazin, Phenobarbital, Thioridazin, Thiotiksen, dan Trifluoperazin; dan

antipsikotik atipikal atau generasi kedua, seperti Aripiprazol, Klozapin,

Olanzapin, Paliperidon, Quetiapin, Risperidon, dan Ziprasidon (Price dan

Brahm, 2011). Jenis yang paling sering digunakan untuk antipsikotik tipikal

adalah Haloperidol (Reverger, 2012) dan terapi tunggal yang sering

digunakan di Indonesia adalah Risperidon dari golongan antipsikotik atipikal

(Jarut dkk, 2013).

Berdasarkan penelitian di RSJ Grhasia, penggunaan terapi kombinasi

lebih sering dibandingkan dengan terapi tunggal (Perwitasari, 2008). Terapi

kombinasi yang paling sering digunakan adalah Haloperidol dengan

Klorpromazin (Jarut dkk, 2013). Pada penggunaan obat antipsikotik sering


3

menimbulkan efek samping berupa gejala ekstrapiramidal, sehingga diberikan

obat Triheksifenidil untuk mengatasinya. Pola penggunaan obat ini lebih

sering diberikan langsung bersama obat antipsikotik sebelum gejala

ekstrapiramidal muncul (Wijono dkk, 2013).

Sesuai algoritma pengobatan, firstline pada pengobatan fase akut

pasien skizofrenia adalah antipsikotik atipikal (Fahrul dkk, 2014). Hal ini

dikarenakan efek samping yang ditimbulkan oleh obat antipsikotik atipikal

minimal dan resiko untuk terkena tardive dyskinesia lebih rendah (Irwan dkk,

2008), sedangkan Haloperidol memiliki resiko tinggi terhadap timbulnya

gejala ekstrapiramidal (Lesmanawati, 2012). Dijelaskan pula dalam penelitian

bahwa efektivitas pengobatan dengan terapi oral tipikal sebesar 6,25% dan

terapi oral atipikal sebesar 15,38% (Lesmanawati, 2012). Dilihat dari skor

PANSS, pasien skizofrenia yang menggunakan Risperidon menunjukkan

perbedaan yang bermakna pada simtom positif hingga minggu keempat

dibandingkan dengan pasien skizofrenia yang menggunakan Haloperidol

(Sianturi, 2014). Akan tetapi, sesuai studi penelitian masih didapatkan

pasien skizofrenia yang diberikan Haloperidol sebagai terapi fase akut (Fahrul

dkk, 2014).

Dari hasil penelitian didapatkan banyak pasien skizofrenia yang

mengalami relaps karena faktor ekonomi yaitu tidak adanya biaya untuk

menebus obat setelah keluar dari rumah sakit jiwa, ketidakpatuhan pasien

pada pengobatan, mendapat perlakuan kasar dan pertengkaran yang terus

menerus dengan saudara kandung, konflik yang berkepanjangan dengan


4

seseorang, dan emosi (marah) yang diekspresikan secara berlebihan oleh

keluarga (Amelia dan Anwar, 2013). Dengan adanya kemungkinan relaps

tersebut didapatkan data lama sakit pasien skizofrenia rerata 6,9 tahun,

dengan lama sakit minimal 3 bulan dan maksimal selama 30 tahun (Dewi,

2013), serta lama rawat inap rerata adalah 23 hari (Melatiani dkk, 2013).

Di Amerika Serikat, biaya untuk menangani pasien skizofrenia

diperkirakan 30 milyar dolar AS setiap tahunnya (Nevid dkk, 2005).

Penelitian terbaru di Inggris tahun 2004-2005 memperkirakan biaya total

yang dikeluarkan untuk pasien skizofrenia sebesar £6,7 milyar (Bhugra,

2010). Di Indonesia, satu episode skizofrenia dan mendapatkan satu kali

perawatan menghabiskan biaya total rata-rata sebesar Rp 1.817.466

(Melatiani dkk, 2013).

Pada Januari 2014, sesuai dengan Undang-undang Nomor 40 tahun

2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), Indonesia menjalankan

suatu sistem baru dalam pembiayaan kesehatan. Sistem ini dikenal dengan

Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Dalam sistem JKN, skizofrenia termasuk

dalam penyakit kronis yang mendapat jaminan dan pelayanan berobat secara

gratis bagi peserta baik di tingkat Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama

(FKTP) dan Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan (FKRTL)

(Lesmanawati, 2012). Risperidon dan Haloperidol merupakan obat

antipsikotik yang keduanya ditangung oleh JKN. Hal ini tercantum pada

Pedoman Penerapan Formularium Nasional yang merupakan hasil Keputusan


5

Direktur Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan nomor

HK.02.03/III/1346/2014.

Melalui sistem JKN tersebut diharapkan bisa memudahkan beban

penderitaan pasien skizofrenia, untuk itu diharapkan bagi semua pasien

skizofrenia mau menjalani setiap terapi yang ada. Sebagaimana tertulis dalam

QS. Al Insyirah ayat 5 dan 6, bahwa sesudah kesulitan pasti ada kemudahan.

“Sebab sesungguhnya bersama kesulitan itu adakemudahan.

Sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan.” (QS. Al Insyirah: 5, 6)

Karena Allah juga telah menurunkan obat bagi semua penyakit.

Seperti hadits :

‫ بَ َرأَ بِإِ ْذ ِن هللاِ َع َّز َو َج َّل‬،‫اب ال َّد َوا ُء ال َّدا َء‬


َ ‫ص‬َ َ‫ فَإِ َذا أ‬،‫لِ ُك ِّل َدا ٍء َد َوا ٌء‬
“Setiap penyakit pasti memiliki obat. Bila sebuah obat sesuai dengan

penyakitnya maka dia akan sembuh dengan seizin Allah Subhanahu wa

Ta’ala.” (HR. Muslim)

Berdasarkan latar belakang di atas, penulis tertarik untuk meneliti

perbandingan cost-effectiveness terapi kombinasi dari Risperidon dan

Haloperidol pada fase akut pasien skizofrenia.


6

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka perumusan masalah penelitian ini

adalah “Bagaimana analisis efektivitas biaya terapi kombinasi dari Risperidon

dan Haloperidol pada fase akut pasien skizofrenia?”

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian adalah melakukan analisis efektivitas biaya terapi

kombinasi dari Risperidon dan Haloperidol pada fase akut pasien skizofrenia.

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi RSJ Grhasia Yogyakarta

Sebagai evaluasi untuk mengembangkan suatu Clinical Pathway dalam

rangka menciptakan sistem pelayanan yang efektif dan efisien.

2. Bagi responden

Sebagai upaya mendapatkan penanganan yang tepat dan benar dari segi

farmakoekonomi.

3. Bagi keluarga

Mendapatkan informasi tentang pemilihan obat yang efektif dan efisien

dari segi ekonomi.

4. Bagi peneliti

Bertambahnya pengetahuan, pengalaman dan pengembangan kemampuan

ilmiah, khususnya yang berkaitan dengan efektivitasRisperidon dan

Haloperidol dari segi farmakoekonomi.

5. Bagi Penelitian

Sebagai bahan informasi dan data tambahan penelitian berikutnya.


7

E. Keaslian Penelitian

Penelitian terdahulu terkait perbandingan efektivitas biaya Risperidon dengan

Haloperidol pada pasien skizofrenia adalah sebagai berikut :

Tabel 1 Daftar Penelitian Sebelumnya


Nama Judul
Tahun Persamaan Perbedaan Hasil
peneliti Penelitian
Ferdinan Perbedaan 2010 Membanding Penelitian iniKelompok
Leo Sianturi Efektivitas kan membandingkan yang
Risperidon efektivitas Risperidon dan menggunakan
dan Risperidon Haloperidol dariRisperidon
Haloperidol dan segi menunjukkan
terhadap Haloperidol farmakoekonom perbedaan
Simtom sedangkan yang
Postitif metode bermakna
Pasien penelitian dalam skor
Skizofrenia sebelumnya PANSS
membandingkan simtom positif
Risperidon dan hingga minggu
Haloperidol darikeempat
segi quality of dibandingkan
life dengan
kelompok ang
menggunakan
Haloperidol
Melatiani Analisis 2012 Menganalisa Metode Hasil
Biaya pada tentang biaya penelitian penelitian
Pasien yang menganalisa pada pasien
Skizofrenia ditanggung biaya skizofrenia
Rawat Inap oleh pasien penggunaan rawat inap di
di Rumah skizofrenia Risperidon dan RS “X”
Sakit “X” Haloperidol, Surakarta
Surakarta sedangkan tahun
Tahun 2012 metode 2012 yaitu
penelitian biaya total
sebelumnya rata-rata
menganalisa pasien
semua obat skizofrenia
antipsikotik sebesar Rp
1.817.466,00
Rizka Pengaruh 2015 Metode Penelitian Jenis terapi
Annur Putri Perbedaan penelitian membandingkan antipsikotik
Jenis Terapi menggunaan terapi dari segi tidak
8

Antipsikotik teknik non- ekonomi memberikan


terhadap eksperimenta sedangkan pengaruh
Lama l dengan penelitian terhadap
Rawat Inap desain cross sebelumnya perbedaan
Pasien sectional membandingkan lama rawat
Skizofrenia dari data terapi dari segi inap pasien
Fase Akut sekunder lama rawat inap skizofrenia
di Rumah fase akut di
Sakit Jiwa RSJD Sungai
Daerah Bangkong
Sungai
Bangkong

Anda mungkin juga menyukai