Anda di halaman 1dari 4

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Gangguan bipolar adalah gangguan suasana hati (mood) yang terdiri dari
episode mania dan depresi yang dipisahkan oleh periode suasana hati normal.
Seseorang yang memiliki serangan mania tetapi tidak mengalami episode depresi
juga diklasifikasikan memiliki gangguan bipolar (WHO, 2018). Seseorang dengan
gangguan bipolar memiliki periode mood yang normal (APA, 2017). Bipolar
diklasifikasikan menjadi empat, yaitu bipolar I, bipolar II, gangguan cyclothymic,
dan gangguan bipolar yang tidak ditentukan (Wells et al., 2015).
Menurut World Health Organization (WHO), 60 juta orang didunia
dipengaruhi oleh gangguan bipolar (WHO, 2016). Data Riset Kesehatan Dasar
Republik Indonesia (Riskesdas) tahun 2018 menunjukkan prevalensi gangguan
mental emosional yang ditunjukkan dengan gejala depresi dan kecemasan pada usia
15 tahun ke atas mencapai 9,8% dari keseluruhan jumlah penduduk Indonesia
(Kemenkes RI, 2018).
Manifestasi pada pasien bipolar menunjukkan suasana hati depresi atau
suasana hati yang meningkat secara tiba – tiba dan riwayat perubahan suasana hati
yang abnormal atau tidak biasa (Chisholm-Burns et al., 2016). Pasien dengan
gangguan bipolar mengalami periode emosi yang luar biasa, perubahan dalam pola
tidur dan tingkat aktivitas, serta perilaku yang tidak biasa. Periode-periode yang
berbeda ini disebut “episode suasana hati”. Episode suasana hati secara drastis
berbeda dari suasana hati dan perilaku yang khas pada orang tersebut (NIMH,
2016).
Patofisiologi bipolar masih belum sepenuhnya dipahami, penelitian masih
difokuskan pada neurotransmiter seperti norepinefrin (NE), dopamin (DA), dan
serotonin. Terdapat hipotesis yang mengatakan gangguan bipolar disebabkan oleh
ketidakseimbangan aktivitas kolinergik dan katekolaminergik. Ketidakseimbangan
ini dapat menyebabkan gangguan suasana hati (mood) (Chisholm-Burns et al.,
2016).

1
2

Beberapa jenis obat dapat membantu penatalaksanaan gejala gangguan


bipolar. Obat-obatan yang umumnya digunakan untuk mengobati gangguan
bipolar, seperti Mood Stabilizers, Antipsychotics, dan Antidepressant (NIMH,
2016).
Mood stabilizers biasanya efektif dalam pengobatan mania oleh karena itu
terkadang disebut dengan antimania. Obat – obatan golongan ini efektif dalam
mencegah perubahan suasana hati pada gangguan bipolar. Mood stabilizer yang
sering digunakan adalah Litium, Valproat, Carbamazepine, dan Lamotrigin
(Sadock, et al., 2015).
Antipsychotics adalah tambahan yang penting dalam pengobatan gangguan
mood (Ahuja, 2011). Digunakan dalam pengobatan gangguan psikotik dan gejala
psikotik (Katzung et al., 2012). Golongan antipsikotik yang sering digunakan
adalah Clozapine, Risperidon, Haloperidol, Olanzapine, dan Quetiapine (Ahuja,
2011).
Antidepressant adalah obat yang digunakan untuk pengobatan gangguan
depresi. Ini juga disebut sebagai mood-elevator dan timoleptik (Ahuja, 2011). Bagi
beberapa pasien bipolar, antidepresan tanpa penstabil mood dapat menyebabkan
episode mania. Risiko ini lebih rendah jika antidepresan dikombinasikan dengan
obat penstabil mood (Kring et al., 2012). Selective Serotonin Reuptake Inhibitor
(SSRI) tetap merupakan golongan antidepresan yang paling banyak diresepkan.
Saat ini SSRI yang tersedia termasuk Fluoxetine, Sertraline, Paroxetine,
Fluvoxamine, Citalopram, dan Escitalopram (Rothschild et al., 2012).
Fluoxetine termasuk dalam golongan Selective Serotonin Reuptake
Inhibitors (SSRI), merupakan golongan obat antidepresan yang secara selektif
menghambat transporter serotonin dan memiliki aktivitas yang relatif kecil pada
neurotransmiter lain (Trevor et al., 2013). Semua golongan SSRI terjadi
metabolisme dalam hati dan memiliki waktu paruh 18-24 jam. Namun, Fluoxetine
membentuk metabolit aktif dengan waktu paruh 1 – 3 hari (Neal et al., 2012).
Fluoxetine dengan dosis maksimal 80 mg / hari, dapat ditingkatkan dengan
penambahan 20 mg; untuk terapi awal dapat digunakan 5 atau 10 mg / hari; dosis >
20 mg / hari dapat diberikan dalam dosis harian tunggal atau dibagi dua kali sehari
(Wells et al., 2015). Fluoxetine dan SSRI lainnya dapat menyebabkan mual, sakit
3

kepala, kecemasan, agitasi, insomnia, dan disfungsi seksual, namun dapat dikurangi
dengan memulai dengan dosis rendah (Trevor et al., 2013).
Penelitian yang dilakukan oleh Jay Amsterdam (2010) menggunakan
metode double – blind yang dilakukan secara acak pada pasien minimal berusia 18
tahun yang sembuh dari episode depresi utama setelah 50 minggu menerima
monoterapi Fluoxetine (1 x 10 – 40 mg) po, Litium (1 x 300 – 1200 mg) po, atau
plasebo. Ukuran keberhasilan adalah berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk
kambuh. Hasil dari penelitian ini menunjukkan waktu untuk kambuh adalah 249,9
hari untuk kelompok Fluoxetine, 156,4 hari untuk kelompok Litium, dan 186,9 hari
untuk kelompok plasebo. Bahaya kambuh secara signifikan lebih rendah pada
Fluoxetine dibandingkan dengan Litium, dan bahaya yang diperkirakan kambuh
dengan Litium adalah 2,5 kali lebih besar dibandingkan dengan Fluoxetine.
Penelitian lain oleh Gao K, et al. tahun 2008 mengenai terapi yang menyebabkan
mania/hipomania pada monoterapi antidepresan generasi kedua pada pasien dengan
rapid cycling bipolar disorder (RCBD). Dari 180 pasien yang diberikan monoterapi
antidepresan generasi kedua selama 12 bulan menunjukkan tingkat efek
mania/hipomania bervariasi, yaitu sekitar 42,1% untuk Fluoxetine dan 0% untuk
Fluvoxamine dan Mirtazapine. Data yang didapat dianalisis menggunakan t-test,
chi-square, dan regresi logistik.
Berdasarkan latar belakang diatas, maka perlu dilakukan penelitian lebih
lanjut mengenai pola penggunaan monoterapi Fluoxetine pada pasien gangguan
bipolar yang dapat menyebabkan episode mania (Kring.et al., 2012) namun
membutuhkan waktu untuk kambuh yang lebih panjang. Hal tersebut dilakukan
agar pasien mendapatkan pengobatan yang optimal demi tercapainya kualitas hidup
yang baik. Penelitian ini juga diharapkan dapat digunakan untuk membantu kualitas
pelayanan kefarmasian dan penggunaan Fluoxetine secara rasional di Rumah Sakit
Jiwa Dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang.
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimana pola penggunaan Fluoxetine pada pasien gangguan bipolar di
Rumah Sakit Jiwa Dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang?
4

1.3 Tujuan Penelitian


Mengetahui pola penggunaan Fluoxetine yang meliputi jenis sediaan,
bentuk sediaan, dosis, rute pemberian dan lama penggunaan Fluoxetine pada pasien
gangguan bipolar.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Bagi Peneliti
Memberikan informasi mengenai penggunaan Fluoxetine yang sesuai pada
terapi pasien gangguan bipolar.
1.4.2 Bagi Rumah Sakit
a) Penelitian ini diharapkan dapat menjadi pertimbangan bagi penetalaksanaan
terapi pada pasien gangguan bipolar dalam mencapai peningkatan kualitas
hidup pasien dengan pelayanan rumah sakit (khususnya bidang farmasi
klinis) yang lebih baik.
b) Hasil penelitan ini diharapkan dapat menjadi referensi untuk penelitian
berikutnya agar tercipta pengobatan yang lebih optimal dan rasional.

Anda mungkin juga menyukai