Anda di halaman 1dari 8

MAKALAH UAS DRUG ABUSE AND DRUG MISUSE

SHABU-SHABU

Disusun Oleh:
Aini Yesia Puspita, S.Farm. 208115053

Dosen Pengampu: Dr. apt. Yosef Wijoyo, M.Si.

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI APOTEKER


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2021
PENDAHULUAN

NAPZA (Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif lain) adalah bahan/ zat/ obat yang bila
masuk ke dalam tubuh manusia akan mempengaruhi tubuh terutama otak/ susunan saraf pusat,
sehingga menyebabkan gangguan kesehatan fisik, psikis, dan fungsi sosialnya karena terjadi
kebiasaan, ketagihan (adiksi) serta ketergantungan (dependensi) terhadap NAPZA. Penyalah gunaan
dan pengedar gelap NAPZA merupakan masalah global dan menjadi ancaman serius bagi bangsa dan
negara. Saat ini, di dunia sudah lebih dari 200 juta orang menggunakan Narkotika dan obat-obatan
terlarang. Masalah penyalah gunaan NAPZA yang terjadi di dunia didominasi oleh Amfetamin seperti
Adderall. Amfetamin sebagai obat yang memiliki efek stimulansia, memiliki cara kerja dengan
meningkatkan kadar dopamine di dalam otak. Dopamine adalah zat kimia (atau neuro transmiter)
yang berhubungan dengan kesenangan, pergerakkan, dan perhatian. Penggunaan Amfetamidilegalkan
untuk beberapa indikasi medis seperti Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD), narkolepsi,
dan obesitas (Kurniadi, Nafila, dan Wahyunita, 2018).
Amfetamin berbentuk bubuk warna putih dan keabuan, cara penggunaannya dengan dihirup.
Amfetamin juga memiliki sediaan berbentuk tablet yang biasa diminum dengan air. Amfetamin
memiliki dua jenis yaitu MDMA (methylene dioxy methamphetamine) dan methamfetamin ice (biasa
dikenal sebagai shabu). MDMA biasa dikemas dalam bentuk pil dan kapsul sedangkan shabu cara
penggunaanya dengan dibakar menggunakan kertas aluminium kemudian asapnya dihisap atau
dengan bong (Nasution, Lubis, dan Sudibrata, 2017).
PEMBAHASAN

Detoksifikasi Shabu-Shabu
Detoksifikasi merupakan rangkaian intervensi yang bertujuan untuk menatalaksana kondisi
akut dari intoksikasi maupun putus zat, diikuti dengan pembersihan zat dari tubuh penyalahguna atau
ketergantungan narkotika. Melalui program detoksifikasi akan dapat meminimalisasi dampak
terhadap fisik yang disebabkan oleh penggunaan narkotika, sedangkan kondisi akut yang terkait
dengan penyelamatan hidup bukan disebut sebagai detoksifikasi (BNN, 2010).
Penatalaksanaan terapi sindroma putus zat:
1. Observasi 24 jam untuk menilai kondisi fisik dan psikiatrik
2. Rawat inap diperlukan apabila gejala psikotik berat, gejala depresi berat atau kecenderungan
bunuh diri, dan komplikasi fisik lain
3. Terapi anti psikotik (Haloperidol 3×1,5-5 mg, risperidone 2×1,5-3 mg, diazepam 3×5-10 mg,
clobazam 2×10 mg atau anti depresi golongan SSRI atau trisiklik/tetrasiklik sesuai kondisi
klinis.
4. Terapi suportif: istirahat, olahraga, dan diet sehat.
5. Risiko untuk relaps sangat tinggi selama periode awal putus zat sehingga diperlukan
intervensi psikososial seperti terapi supportif, CBT, relapse prevention (BNN, 2010).
Penatalaksanaan terapi intoksikasi shabu-shabu:
1. Simptomatik
- Untuk penggunaan oral rangsang muntah dan pemberian activated charcoal merupakan
suatu intervensi yang penting
- Terapi pengobatan suportif lain, misal: anti psikotik dengan dosis rendah (haloperidol 2-5
mg atau chlorpromazine 1 mg/kgBB setiap 4-6 jam
- Jika paranoid menjadi masalah atau perilaku menyerang dan membahayakan, berikan
benzodiazepine seperti lorazepam 2 mg IV
2. Komplikasi
- Anti hipertensi bila diperlukan
- Kontrol temperatur (selimut dingin dengan klorpromazin 1 mg/kgBB setiap 6 jam)
- Beta receptor blocker dapat mengurangi beberapa gejala chatecolominergic dan
benzodiazepine dapat mengontrol ansietas
- Kondisi kejang dapat diatasi dengan benzodiazepine (diazepam atau lorazepam)
- Karena ada kemungkinan terjadi aritmia kordis yang dapat mengancam kehidupan, maka
kemungkinan dapat diberikan propranolol untuk mengatasi kondisi ini
- Asamkan urin dengan ammonium klorida 2,75 mEq/kg atau ascorbic acid 8 gram/hari
sampai pH urin lebih dari 5 akan mempercepat ekskresi obat (BNN, 2010).
Terapi intoksikasi amfetamin: Beri Diazepam 10-30 mg oral atau pareteral,atau Klordiazepoksid 10-
25 mg oral atau Clobazam 3x10 mg. Dapat diulang setelah 30 menit sampai 60 menit. Untuk
mengatasi palpitasi beri propanolol 3x10-40 mg oral (Nasution, Lubis, dan Sudibrata, 2017).
Terapi untuk waham dan delirium pada putus amfetamin: Pada gangguan waham karena amfetamin
atau kokain berikan injeksi Haloperidol 2.5-5 mg IM dan dilanjutkan peroral 3x2,5-5 mg/hari
(Nasution, Lubis, dan Sudibrata, 2017).
Salah satu akibat penyalahgunaan NAPZA yaitu kekambuhan (relapse). Relapse NAPZA
adalah penggunaan kembali NAPZA setelah sebuah periode abstinensia. Beberapa ahli menganggap
yang digolongkan kekambuhan hanya mencakup kepada orang-orang yang telah menyelesaikan atau
melengkapi rangkaian terapi formal dan kembali menggunakan NAPZA dengan pola yang serupa atau
lebih buruk dari penggunaan sebelum abstinensia. Relapse pada penyalahgunaan NAPZA disebabkan
karena adiksi adalah suatu penyakit yang bersifat kronis atau akut. Rehabilitasi bukanlah menjadi
jaminan penyalaguna NAPZA akan sembuh dari ketergantungannya. Banyak pengguna yang
meskipun telah menjalani program rehabilitasi di panti, belum bisa benar-benar meninggalkan
NAPZA atau sembuh. Selama beberapa dekade terakhir semakin banyak bukti menunjukkan bahwa
sekelompok pengguna narkoba menderita kondisi yang lebih kronis, dimana mereka mengalami siklus
kekambuhan, pemulihan pengobatan, penahanan, dan pemulihan, yang seringkali berlangsung
beberapa tahun. Probabilitas transisi ke pemulihan terkait dengan tingkat keparahan, orientasi
masalah, kemanjuran diri, keterlibatan swadaya, lingkungan pemulihan, dan jumlah perawatan yang
diterima. Kecanduan merupakan kondisi kronis serta menunjukkan kebutuhan dan keefektifan
pemantauan dan pemeriksaan pascapelepasan (Raharni, Idaiani, dan Prihatini, 2020).
Therapeutic community
Therapeutic community adalah metode rehabilitasi sosial yang ditujukan kepada korban
penyalahgunaan napza, dimana orang-orang dengan masalah dan tujuan yang sama berkumpul
sebagai sebuah “keluarga”, sehingga terjadi perubahan tingkah laku ke arah yang positif (lepas dari
ketergantungan NAPZA). Para penyalahguna napza yang mengikuti rehabilitasi sosial dengan metode
Therapeutic Community akan belajar memahami dan menerapkan nilai-nilai positif yang menjadi
struktur dan pilar TC selama kurun waktu tertentu sehingga diharapkan terjadi perubahan pola pikir,
sikap, dan perilaku yang positif. Metode TC menggunakan 4 struktur dan 5 pilar yang menjadi dasar
pelaksanaan rehabilitasi sosial. Empat struktur merupakan nilai-nilai yang ditanamkan kepada klien,
sedangkan lima pilar merupakan cara menanamkan nilai-nilai tersebut. Setiap klien diwajibkan
menghafalkan untuk kemudian mengamalkan 4 struktur dan 5 pilar ini sebagai bagian dari keseharian
mereka. Untuk memudahkan klien menghafal, klien diwajibkan menuliskan semuanya dalam sebuah
walking paper yang akan selalu mereka bawa selama masih di fase awal rehabilitasi (dikenal dengan
fase induksi). Walking paper tersebut salah satunya berisi tentang nilai-nilai yang harus diterapkan
oleh klien selama mengikuti rehabilitasi sosial dengan model TC. Nilai tersebut diantaranya adalah
kejujuran, tanggung jawab, percaya pada lingkungan, timbal balik yang sepadan, dan memaafkan
(Ardani dan Cahyani, 2019).
Therapeutic Community
Struktur Pilar
Behaviour management shaping (membentuk Family milleu concept (pendekatan
perubahan perilaku) kekeluargaan)
Emotional and Psychological (melatih Peer Pressure (perubahan perilaku melalui
kemampuan emosi dan psikologis) kelompok sebaya)
Intelectual and Spiritual (peningkatan aspek Therapeutic Session (jadwal kegiatan padat
intelektual dan spiritual) sehingga klien tidak memiliki waktu senggang
yang tidak bermanfaat)
Vocational/survival skill (pembekalan Religious Class (meningkatkan kualitas
keterampilan) keimanan klien)
Role Model (meningkatkan kepercayaan diri)
Apoteker dalam therapeutic community berperan pada proses konseling. Apoteker dapat
menjadi konselor dengan syarat mempunyai kompetensi meliputi pengetahuan (knowledge),
keterampilan (skill), maupun sikap (attitude). Pelaksanaan konseling individu dalam proses pemulihan
bagi klien ketergantungan narkotika, psikotropika, dan obat terlarang (NAPZA) adalah upaya
membantu klien oleh konselor secara inidividu dengan mengutamakan hubungan konseling, konselor
berperan untuk memberikan dukungan dan Pendidikan. Kemudian apoteker akan melakukan evaluasi
baik secara formatif maupun sumatif. Evaluasi formatif adalah proses mengumpulkan data tentang
aktivitas dan efisiensi penggunaan media yang digunakan agar tingkat keberhasilan tujuan dapat
tergambar, apabila ada yang kurang, harapannya selama proses kinerja dapat diperbaiki. Evaluasi
sumatif mengukur keberhasilan di akhir kinerja program. Evaluasi sumatif kadang-kadang disebut
sebagai eksternal dimana menilai suatu program pada akhir kegitan program fokusya adalah pada
hasil. Instrumen pengumpulan data pada evaluasi, yaitu kuisioner, survey, wawancara observasi dan
pengujian model. Fungsi dan manfaat evaluasi sumatif tentunya merupakan indikator dari taraf
keberhasilan proses kegitan, layanan yang dilakukan (Isnaeni, Badrujaman, dan Sutisna, 2020).
Dalam menerapkan evaluasi formatif dan sumatif dalam layanan konseling individu langkah
yang dilakukan seorang konselor di antaranya identifikasi masalah klien serta mengembangakan
sebuah rencana penangan yang dirancang, membuat struktur tahapan dan arah klien dan konselor
untuk mencapai tujuan dalam proses layanan konseling yang telah ditetapkan bersama-sama. Pada
evaluasi formatif tentunya melihat proses dalam layanan konsling yang menjadi sasaran evaluasi
diantaranya koselor yang memberikan layanan, pengelolaan layanan, proses konseling, prosedur
konseling yang dilakukan konselor serta fasilitas pendukung dari runagn dan media yang digunakan.
untuk menjaring data-data tersebut bisa dengan observasi, wawancara, studi dokumentasi, dan angket.
Sedangkan evaluasi sumatif ditujukan kepada hasil dari layanan konseling itu sendiri apakah sesuai
dengan perencanaan program, melihat ketuntasan akan permasalahan yang dihadapi klien, serta
bagaimana kepuasan akan layanan yang diberikan selama mengikuti program konseling. Untuk
mendapatkan data-data tersebut tentunya harus disusun secara sistematis dengan menggunakan
berbagian intrumen yang bisa dimanfaatkan (Isnaeni, Badrujaman, dan Sutisna, 2020).

KESIMPULAN
Shabu shabu merupakan salah satu jenis NAPZA yang sering disalahgunakan. Terapi
detoksifikasi bertujuan untuk membersihkan zat di dalam tubuh pecandu. Obat anti psikotik
digunakan dalam detoksifikasi shabu shabu. Keberhasilan terapi detoksifikasi dipengaruhi oleh
kemauan tiap individu. Selain detoksifikasi, pada pecandu shabu dapat diterapkan therapeutic
community dengan mengumpulkan para pecandu menjadi satu dan dilakukan diskusi. Metode TC
menggunakan 4 struktur dan 5 pilar yang menjadi dasar pelaksanaan rehabilitasi sosial. Apoteker
berperan dalam proses konseling sehingga pecandu mengalami perubahan perilaku yang positif.

DAFTAR PUSTAKA
Ardani, I., Cahyani, H., S., H., 2019. Efektivitas Metode Therapeutic Community dalam Pencegahan
Relapse Korban Penyalahguna Napza di Panti Sosial Pamardi Putra Galih Pakuan Bogor
Tahun 2017. Buletin Penelitian Sistem Kesehatan. 22(3). 184-191.
BNN, 2010. Petunjuk Pelaksanaan dan Petunjuk Teknis Detoksifikasi pada Penyalahguna Narkotika
di Layanan Terapi dan Rehabilitasi.
Isnaeni, H., Badrujaman, A., Sutisna, A., 2020. Studi Pustaka Evaluasi Konseling Individu dalam
Rehabilitasi Penyalahgunaan NAPZA. Teraputik. 3(3). 107-113.
Kurniadi, N., Nafila, Wahyunita, S., 2018. Gambaran Amfetamin pada Urin Pasien Klinik Pratama
Institusi Penerima Wajib Lapor (IPWL) Badan Narkotika Nasional (BNN) Banjarbaru
Maret 2017. Jurnal Ergasterio. 5(1). 11-15.
Nasution, H., H., Lubis, W., H., Sudibrata, A., 2017. Penyalahgunaan NAPZA.
http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/63568 diakses pada tanggal 13 April 2021.
Raharni, Idaiani, S., Prihatini, N., 2020. Kekambuhan pada Pasien Penyalahguna Narkoba,
Psikotropika, Zat Adiktif (NAPZA) Pasca Rehabilitasi: Kebijakan dan Program
Penanggulangan. Media Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. 30(2). 183-198.

Anda mungkin juga menyukai