NIM : 10120106
D3 KEPERAWATAN
Terapi aktivitas kelompok (TAK) adalah salah satu terapi modalitas yang dilakukan oleh seorang
perawat pada sekelompok klien dengan masalah keperawatan yang sama (Keliat &
Pawirowiyono, 2014).
Manfaat
a.Umum
-Meningkatkan kemampuan kemampuan uji realitas (reality testing) melalui komunikasi dan
umpan balik dengan atau dari orang lain.
-Melakukan sosialisasi
b. Khusus
c. Rehabilitasi
Tipe : Biblioterapy.
Aktifitas : menggunakan artikel, sajak, puisi, buku, surat kabar untuk merangsang dan
mengembangkan hubungan dengan orang lain.
Tipe : relaksasi.
Aktifitas : fokus pada orientasi waktu, tempat, dan orang, benar, salah.
3. Mengembangkan sosialisasi
TAHAPAN
Kelompok sama dengan individu, mempunyai kapasitas untuk tumbuh dan berkembang.
Kelompok akan berkembang melalui empat fase, yaitu : fase praklompok, fase awal kelompok,
fase kerja kelompok, fase terminasi kelompok (Prabowo, 2017).
Fase Prakelompok
Dimulai dengan membuat tujuan, menentukan leader, jumlah anggota, kriteria anggota, tempat
dan waktu kegiatan, media yang digunakan. Menurut Yosep dalam Prabowo (2017), jumlah
kelompok yang ideal dengan cara verbalisasi biasanya 7 – 8 orang. Sedang jumlah minimum 4
dan maksimum 10. Kriteria anggota yang memenuhi syarat untuk mengikuti TAK adalah : sudah
punya diagnosa yang jelas, tidak terlalu gelisah, tidak agresif, waham tidak terlalu berat.
2. Fase Awal Kelompok
Fase ini ditandai dengan ansietas karena masuknya kelompok baru, dan peeran baru. Stuart dan
Laria dalam Prabowo (2017) membagi fase ini menjadi tiga fase, yaitu orientasi, konflik, dan
kohesif.
Tahap Orientasi
b. Tahapan Konflik
Merupakan masa sulit dalam proses kelompok. Pemimpin perlu memfasilitasi ungkapan
perasaan, baik positif maupun negative dan membantu kelompok mengenali penyebab konflik.
Serta mencegah prilaku yang tidak produktif.
c. Tahap Kohesif
Anggota kelompok merasa bebas membuka diri tentang informasi dan lebih intim satu sama lain.
Pada fase ini kelompok sudah menjadi intim. Kelompok menjadi stabil dan realistis. Pada akhir
fase ini, anggota kelompok menyadari produktivitas dan kemampuan yang bertambah disertai
percaya diri dan kemandirian.
e. Fase Terminasi
Terminasi yang sukses ditandai oleh perasaan puas dan pengalaman kelompok akan digunakan
secara individual pada kehidupan sehari-hari. Terminasi dapat bersifat sementara (temporal) atau
akhir.
PSIKOFARMAKA
Psikofarmakologi adalah studi tentang obat-obatan yang digunakan untuk mengobati gangguan
mental yang mempengaruhi suasana hati, perhatian, perilaku, dan proses berpikirmu. Meskipun
obat-obat ini sangat bervariasi dalam komposisi dan kemanjurannya, banyak dari itu bekerja
dengan menargetkan neurotransmitter di otak, biasanya dengan merangsang atau menghambat
pelepasan mereka atau menghalangi pengambilan kembali dalam sistem saraf.
Meskipun jarang dibicarakan di luar pengaturan medis, dalam beberapa dekade terakhir,
penggunaan obat-obatan untuk mengurangi gejala gangguan mental, terutama depresi atau
gangguan defisit perhatian, telah menjadi lebih dapat diterima secara sosial. Pergeseran budaya
ini telah mengakibatkan agen psikoaktif ini menjadi diantara obat-obatan yang paling banyak
diresepkan saat ini, serta meningkatnya persaingan diantara perusahaan farmasi untuk membuat
formulasi baru atau memojokkan pasar psikiatri baru.
Meskipun ada di mana-mana, bagaimanapun, masih ada banyak perdebatan tentang penggunaan
obat-obatan untuk mengatasi tantangan kesehatan mental, terutama apakah aman menggunakan
stimulan yang kuat untuk menangani masalah kurangnya perhatian pada anak-anak, atau apakah
efek samping potensial dari obat antidepresan lebih besar daripada segala kemungkinan manfaat
perawatan. Selain itu, efektivitas umum antidepresan ketika diukur terhadap plasebo tetap
kontroversial, walaupun banyak penelitian besar telah menyimpulkan bahwa perawatan yang
terbukti paling efektif menggabungkan obat antidepresan dengan psikoterapi.
Psikofarmaka adalah berbagai jenis obat yang bekerja pada susunan saraf pusat. Efek utamanya
pada aktivitas mental dan perilaku, yang biasanya digunakan untuk pengobatan gangguan
kejiwaan. Terdapat banyak jenis obat psikofarmaka dengan farmakokinetik khusus untuk
mengontrol dan mengendalikan perilaku pasien gangguan jiwa. Golongan dan jenis
psikofarmaka ini perlu diketahui perawat agar dapat mengembangkan upaya kolaborasi
pemberian psikofarmaka, mengidentifikasi dan mengantisipasi terjadinya efek samping, serta
memadukan dengan berbagai alternatif terapi lainnya.
Berdasarkan efek klinik, obat psikotropika dibagi menjadi golongan antipsikotik, antidepresan,
antiansietas, dan antimanik (mood stabilizer).
JENIS-JENIS
Antipsikotik
Obat ini dahulu disebut neuroleptika atau major tranqullizer. Indikasi utama obat golongan ini
adalah untuk penderita gangguan psikotik (skizofrenia atau psikotik lainnya).
Derivat fenotiazin
Rantai samping alifatik Contoh:
Levomepromazine (Nozinan)
Trifluoperazin (Stelazine)
Perfenazin (Trilafon)
Flufenazin (Anatensol)
Derivat butirofenon
Derivat thioxanten
Deribat dibenzoxasepin
Contoh: Loksapin
Derivat difenilbutilpiperidin
Derivat benzamide
Antidepresan
Golongan trisiklik
Golongan tetrasiklik
Efek samping yang sering terjadi pada pemberian antidepresan antara lain sebagai berikut.
Perubahan pada gambaran EKG (kardiotoksik terutama pada antidepresan golongan trisiklik).
Obstipasi, mulut dan tenggorokan kering, mual, sakit kepala, serta lain-lain.
Obat golongan ini dipakai untuk mengurangi ansietas/kecemasan yang patologis tanpa banyak
berpengaruh pada fungsi kognitif. Secara umum, obat-obat ini berefek sedatif dan berpotensi
menimbulkan toleransi/ketergantungan terutama pada golongan Benzodiazepin.
Derivat benzodiazepin
Derivat gliserol
Derivat barbitrat
Obat-obat golongan Benzodiazepam paling banyak disalahgunakan karena efek hipnotiknya dan
terjaminnya keamanan dalam pemakaian dosis yang berlebih. Obat-obat golongan ini tidak
berefek fatal pada overdosis kecuali bila dipakai dalam kombinasi dengan antisiolitik jenis lain
atau dicampur alkohol.
Sakit kepala.
Disartria.
Ketergantungan.
Gejala putus zat (gelisah, tremor, bila berat bisa sampai terjadi kejang-kejang).
EFEK SAMPING
Antipsikotik
Efek utama obat antipsikotik adalah menyupresi gejala psikotik seperti gangguan proses pikir
(waham), gangguan persepsi (halusinasi), aktivitas psikomotor yang berlebihan (agresivitas), dan
juga memiliki efek sedatif serta efek samping ekstrapiramidal. Timbulnya efek samping sangat
bervariasi dan bersifat individual.
1. Gangguan neurologik
Gejala ekstrapiramidal
Akatisia
Kegelisahan motorik, tidak dapat duduk diam, jalan salah duduk pun tak enak.
Distonia akut
Kekakuan otot terutama otot lidah (protusio lidah), tortikolis (otot leher tertarik ke satu sisi),
opistotonus (otot punggung tertarik ke belakang), dan okulogirikrisis (mata seperti tertarik ke
atas).
Sindroma Parkinson/Parkinsonisme
Terdapat rigiditas otot/fenomena roda bergerigi, tremor kasar, muka topeng, hipersalivasi,
disartria.
Diskinesia tardif
Gerakan-gerakan involunter yang berulang, serta mengenai bagian tubuh/ kelompok otot tertentu
yang biasanya timbul setelah pemakaian antipsikotik jangka lama.
Kondisi gawat darurat yang ditandai dengan timbulnya febris tinggi, kejang-kejang, denyut nadi
meningkat, keringat berlebihan, dan penurunan kesadaran. Sering terjadi pada pemakaian
kombinasi antipsikotik golongan Butirofenon dengan garam lithium.
2. Gangguan otonom
Hipotensi ortostatik/postural
Penurunan tekanan darah pada perubahan posisi, misalnya dari keadaan berbaring kemudian
tiba-tiba berdiri, sehingga dapat terjatuh atau syok/kesadaran menurun.
3. Gangguan hormonal
Hiperprolaktinemia
Galactorrhoea
Amenorrhoea
4. Gangguan hematologi
Agranulositosis
Thrombosis
Neutropenia
5. Lain-lain
Antidepresan
Efek samping yang sering terjadi pada pemberian antidepresan antara lain sebagai berikut.
Perubahan pada gambaran EKG (kardiotoksik terutama pada antidepresan golongan trisiklik).
Obstipasi, mulut dan tenggorokan kering, mual, sakit kepala, serta lain-lain.
Sakit kepala.
Disartria.
Ketergantungan.
Gejala putus zat (gelisah, tremor, bila berat bisa sampai terjadi kejang-kejang)
PERAN PERAWAT
Perawat memiliki peranan yang penting dalam program terapi psikofarmaka. Untuk itu perawat
dituntut menguasai secara luas berbagai pengetahuan mengenai masalah yang dihadapi oleh
pasien terkait penggunaan obat psikofarmaka.Selain itu seorang perawat wajib memiliki
pengetahuan yang luas mengenai program terapi psikofarmaka yang meliputi jenis, manfaat,
dosis, cara kerja obat dalam tubuh, efek samping, cara pemberian, dan kontra indikasi sehingga
asuhan keperawatan dapat diberikan secara holistik.
IDENTIFIKASI MASALAH KLIEN DALAM PEMBERIAN OBAT PSIKOFARMAKA
Perawat memiliki peran yang sangat penting dalam mengidentifikasi masalah pemberian obat
psikofarmaka. Identifikasi masalah dalam pemberian psikofarmaka dimulai dari pengkajian
dengan melakukan pengumpulan data yang meliputi diagnosa medis, riwayat penyakit, hasil
pemeriksaan penunjang seperti laboratorium, jenis obat yang digunakan, dosis, waktu pemberian
serta program terapi yang lain yang diterima oleh pasien dan memahami serta melakukan
berbagai kombinasikan obat dengan terapi Modalitas.
Selain itu perawat juga harus melakukan pendidikan kesehatan untuk klien dan keluarga tentang
pentingnya minum obat secara teratur dan penanganan efek samping obat dan monitoring efek
samping penggunaan obat. Melalui pengkajian yang komprehensif, perawat dapat
mengidentifikasi permasalahan yang sedang dialami pasien.
Masalah kesehatan jiwa yang dialami pasien dalam program pemberian obat psikofarmaka dapat
dikelompokkan sebagai berikut: psikosis, gangguan depresi, gangguan mania, gangguan ansietas,
gangguan insomnia, gangguan obsesif kompulsif dan gangguan panik.
Selain mengidentifikasi peran diatas, perawat memiliki peran yang sangat penting yaitu mampu
mengkoordinasikan berbagai cara dan kerja yang dilakukan semua anggota tim sesuai dengan
tujuan yang akan dicapai antara klien, keluarga dan tim kesehatan sehingga tujuan perawatan
dapat berjalan sesuai tujuan yang diharapkan, untuk itu perawat dituntut mampu bekerja didalam
suatu sistem dan budaya kerja yang tinggi.
Karena Anda telah mampu memahami dengan baik permasalahan yang dialami dan strategi
pemberian obat psikofarmaka pada klien gangguan jiwa, maka bahasan selanjutnya adalah peran
perawat dalam pemberian psikofarmaka. Adapun langkah-langkah tersebut akan diuraikan
sebagai berikut.
Koordinasi terapi modalitas. Koordinator merupakan salah satu peran seorang perawat. Perawat
harus mampu mengkoordinasikan berbagai terapi modalitas dan program terapi agar klien
memahami manfaat terapi dan memastikan bahwa program terapi dapat diterima oleh klien.
Pemberian terapi psikofarmakologik. Perawat memiliki peran yang sangat besar untuk
memastikan bahwa program terapi psikofarmaka diberikan secara benar. Benar klien, benar obat,
benar dosis, benar cara pemberian, dan benar waktu.
Pemantauan efek obat. Perawat harus harus memantau dengan ketat setiap efek obat yang
diberikan kepada klien, baik manfaat obat maupun efek samping yang dialami oleh klien.
Pendidik klien. Sebagai seorang edukator atau pendidik perawat harus memberikan pendidikan
pendidikan kesehatan bagi klien dan keluarga sehingga klien dan keluarga memahami dan mau
berpartisipasi aktif di dalam melaksanakan program terapi yang telah ditetapkan untuk diri klien
tersebut.
Program rumatan obat. Bertujuan untuk memberikan bekal pengetahuan kesehatan pada klien
mengenai pentingnya keberlanjutan pengobatan pasca dirawat.
Peran serta dalam penelitian klinik interdisiplin terhadap uji coba obat. Perawat berperan serta
secara aktif sebagai bagian dari tim penelitian pengobatan klien.